Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 2



Rindiani


Waktu menunjukkan hampir jam setengah empat subuh ketika aku membuka mata. Kupandangi tubuh telanjangku yang tak tertutupi selimut dengan sempurnna, begitu juga dengan Pram yang masih terlelap dengan damai.

Sebuah kecupan kulayangkan untuk keningnya, sebelum akhirnya aku beranjak dari ranjang dan bersiap memulai hari baru.

Dinginya air yang mengalir dari shower sukses mengusir rasa kantuk yang masih menderaku, apalagi aku cukup lama menghabiskan waktu disana, mandi dan mencukur bulu-bulu di kemaluanku yang mulai kembali tumbuh disekitar pangkal pahaku. Dan ketika aku melangkah keluar dari kamar mandi, Pram telah terjaga, duduk ditepian ranjang dengan wajahnya yang masih tampak kusut.

“Pagi sayang.” sapaku sambil menunduk, mengecup kepalanya.

Pram diam membisu, melingkarkan tangan dipinggulku dan memelukku dengan sangat erat. Wajahnya bersandar mesra di perutku.

“Sayang mandi, atau lanjutkan tidurnya, biar ibu buatin sarapan untuk kita.”

Pram segera mengendurkan pelukannya, lalu menengadah, memandangku. Ia mengangguk pelan.

“Mau mandi, biar gak ngantuk.” gumannya, lalu mengecup perutku.

Sekali lagi aku menunduk dan mengecup kepala lelakiku.

“EEEHHHHHH…” kataku saat tiba-tiba Pram menghisap puting payudaraku yang tergantung dihadapannya.

“Nakaaalllllll….” Protesku manja sambil mengusap kepalanya dan membiarkannya menikmati payudaraku.

Hampir satu menit lamanya ia melakukannya, membuatku kembali terangsang di pagi buta hingga akhirnya ia melepaskan bibir dari dadaku.

“Mandi..” gumannya pelan sambil bangkit berdiri.

“Yang bersih..” balasku sambil menepuk pantatnya ketika ia hendak melangkah.

Pram menoleh dan tersenyum sebelum akhirnya memasuki kamar mandi.

Dengan tubuh telanjang, aku menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Kebiasaan baru ini, beraktifitas dengan tubuh telanjang membuatku merasa lebih seksi dan nyaman dengan diriku sendiri. Tak ada rasa malu maupun canggung terhadap lelakiku, apalagi ia pun tak keberatan dengan hal ini.

“Ibu gak dingin?” tanya Pram sambil berdiri disampingku.

“Enggak.. biasa aja sih.” jawabku sambil membuat dua gelas kopi untuk kami.

Pram membalut tubuh hanya dengan sehelai handuk, dan dibaliknya, kemaluannya mengacung, berdiri sempurna sehingga membuat handuk yang melilit di pinggangnya tampak menonjol di bagian pangkal paha.

“Nanti ibu pulang kesini jam berapa?”

“Ibu belum tau.. mungkin sore baru balik kesini.”

“Berarti nanti saya sempat cuci mobilnya kalo misalnya ibu pulangnya lebih awal.”

“Lho.. mobilnya kan masih bersih..” kataku.

“Iya.. luarnya bersih, tapi semalam udah dipipisin sama ibu.” jawabnya.

Aku tertawa dan merasa malu dengan kejadian semalam. Kegilaan kami, paksaanku pada lelakiku berbuah orgasme hebat, dan keluarnya air seni didalam mobilku sendiri.

“Hhhhhiiiiiiihhhhhh… udah dibilang jangan dibahas.” Protesku sambil mencubit hidungnya.

Pram hanya tertawa, lantas memelukku dengan sangat erat.

“Gapapa kok bu. Gak perlu malu. Saya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang normal. Hal yang wajar, apalagi ibu terlihat sangat menikmatinya.” katanya sambil mengusap punggungku.

“Iya.. abisnya enak banget.” gumanku sambil menyandarkan kepala di pundaknya.

Lama kami terdiam dalam pelukan, menghabiskan detik-detik dalam keheningan pagi sambil berpelukan dengan mesra.

Bukan hanya sekedar pelukan biasa, namun sebuah pertautan rasa hati, ketika diam adalah bahasa yang paling kuat untuk mengungkapan apa yang ada diantara kami.

Sebuah rasa yang dalam, mengikat, dan mempersatukan kami begitu erat dan menghempaskan segala perbedaan diantara kami.

Aku yakin, bukan hanya aku, tetapi Pram pun merasakan hal yang sama, dimana rasa hati, perasaan memiliki dan menyayangi semakin bertumbuh dalam diri kami masing-masing.

Kami telah membangun sebuah jembatan, menghubungkan diri seutuhnya dan perlahan mulai menghilangkan sekat, ego masing-masing, demi keharmonisan hubungan.

Dalam hal ini, dimataku, Pram lebih banyak mengorbankan kesenangan, kesempatannya untuk menikmati hidup karena kehadiranku.

“Sayang gak bosen, tiap hari sama ibu terus?” tanyaku sambil menggeser segelas kopi ke arahnya.

Pram hanya menggelengkan kepala, lantas meraih gelas dihadapannya dan menyeruput isinya, sebagai sarapan pembuka hari.

“Kalo saya bosen, saya pasti sudah pindah kost dan menghindari ibu.” jawabnya.

Aku tahu, lelaki muda dihadapanku ini sedang berbicara jujur. Ia mengatakannya bukan sekedar untuk menyenangkanku, tetapi bersumber dari hatinya.

“Semua ini tentang hati. Kenyamanan hati.” katanya lagi, lalu berpindah tempat duduk dan mengisi kursi kosong disampingku.

“Kadang ibu mikir sih, diluar sana banyak perempuan yang lebih menarik, lebih cantik, lebih pinter, lebih segalanya kalo dibandingkan dengan ibu. Tapi, kenapa harus ibu?”

“Saya tidak punya pilihan, dan tidak memilih bu. Kita sama-sama saling mengisi, saling melengkapi dan berbagi rasa. Apakah hal ini sebuah pilihan? Kalo menurut saya, tidak.”

“Sayang.. ngomongnya pakai bahasa sederhana aja. Biar ibu paham.” protesku karena tidak mengerti dengan apa yang ia katakan.

Pram tertawa pelan, lalu kembali menyeruput kopinya, begitu juga denganku.

“Contohnya begini bu, saya terlahir dari rahim ibu saya, bukan atas pilihan saya. Saya memiliki kakak, mbak Aya, juga bukan atas pilihan saya, tapi itulah hidup yang saya jalani.”

“Takdir..” gumanku pelan.

Pram mengangguk, lalu meraih pisang rebus dihadapannya dan menyantapnya.

“Takdir.. kira-kira begitu. Saya menikmati dan menjalani hidup dengan sebaik mungkin. Dan saya yakin, menikmati hidup itu tidak perlu dengan kemewahan.” sambungnya.

“Kok kedengerannya seperti hidup datar-datar aja. Kayak gak ada ambisi?” tanyaku.

“Bukan begitu bu. Maksud saya, mencoba menikmati, mensyukuri apa yang saya dapatkan, walaupun dalam hal yang paling sederhana.”

“Misalnya??” tanyaku penasaran.

“Pagi ini, saya bangun tidur dan bisa memeluk ibu. Dibuatkan sarapan, dan sekarang bisa menikmatinya bersama ibu.”

Aku mengangguk pelan, dan akhirnya mengerti apa yang Pram coba utarakan.

“Materi itu memang penting untuk menunjang kesejahteraan hidup, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya dan mensyukurinya jauh lebih penting. Saya juga punya ambisi kok bu. Saya kepingin seperti mbak Aya, sukses dan bisa hidup mandiri.” sambungnya.

“Ibu yakin, kamu bisa jauh lebih sukses daripada mbak Aya..” kataku.

“Amin… semoga bu.”

Sedikit banyak, Pram memberiku gambaran tentang bagaimana cara ia berpikir, bagaimana cara ia memandang kehidupan melalui matanya.

Ia benar-benar membuatku takjub, dengan ketenangan dan kesederhanaan hidupnya. Dengan mudah, ia menaklukkan beragam godaan kenikmatan duniawi yang menghampirinya.

Puluhan juta, bahkan mungkin ratusan juja uang direkeningnya hanya mengendap begitu saja. Tak sekalipun aku melihatnya menggunakannya untuk bersenang-senang, atau sekedar memanjakan dirinya dengan hidup mewah.

Dengan dukungan finansial dari Calya dan kedua orang tuanya, Pram tak seharusnya dipusingkan oleh masalah keuangan.

Contoh lainnya yang tak kalah penting adalah ketenangan dan kesabarannya dalam menghadapi diriku. Jika banyak kaum adam yang menganggap wanita selalu penuh dengan misteri, maka anggapan itu tidak berlaku baginya, karena sejauh ini, Pram mampu berjalan bersisian denganku, mampu mengerti dan memahami pribadiku.

Memang, tidaklah mudah untuk menselaraskan dua dunia kami, ditambah perbedaan usia dan statusku, namun, Pram mampu menjalankan perannya dengan sangat sempurna.

“Hati-hati dijalan ya bu..” guman Pram saat aku hendak memasuki mobil.

“Iya.. sayang selamat mengerjakan skripsi, harus semangat dan inget makan siang.”

Pram membuka pintu mobil untukku, dan mengecup keningku tepat sebelum aku memasukinya. Saat ia kembali menutup pintu tersebut, kujulurkan tangan dan mengusap pipinya dengan lembut.

“Jangan lupa istirahat..” kataku.

Pram menunduk, lantas melumat bibirku dengan mesra.

“Salam untuk bapak dan ibu, untuk Nova.” katanya lagi setelah ciuman kami berakhir.

Diiringi lambaian tangan dan senyumannya, aku meninggalkan kediamanku, dan untuk pertama kalinya aku menempuh perjalanan pulang seorang diri.

Nova, putri kecilku telah menantiku, dengan segenap kerinduan di dada setelah sepekan tak bersua.

= = =

Hampir jam delapan pagi, aku tiba di kampung halamanku. Ibu sedang menyiram beragam tanaman bunga yang berjejer rapi di pinggir jalan, didepan halaman rumah. Dan ketika melihat kedatanganku, ia segera menghampiriku.

“Lhoo Rindi pulang sendirian?” tanya ibu saat aku keluar dari mobil dan menyalaminya.

“Iya bu.”

“Nak Pram?” tanyanya lagi.

“Pram sedang mulai mengerjakan skripsi bu, jadi gak bisa ikut. Dia hanya titip salam untuk bapak dan ibu.”

Ibu segera mengajakku memasuki rumah. Suasana di dalam masih sangat sepi.

“Nova kemana bu?” tanyaku.

“Pagi-pagi Nova sudah bangun, waktu lihat bapak mau berangkat ke kebun, dia nangis, akhirnya diajak bapak. Mungkin sebentar lagi pulang.”

“Mau ibu buatkan sarapan?” tanya ibuku.

Aku menggelengkan kepala, sambil meraih jemari ibuku dengan kedua tangan.

“Bu, sekarang rindi sudah bekerja.” kataku.

Sejenak, ibuku terdiam dan menatapku. Gengaman lembut kedua tangannya perlahan menguat, lantas memelukku dengan sangat erat.

“Syukurlah nak.. ibu selalu berdoa suapaya Rindi diberi kemudahan, dan mendapatkan pekerjaan. Sepertinya doa ibu terkabul.” guman ibu pelan sambil mendekapku.

“Bu… terima kasih doanya.” balasku sambil mencium punggung tangannya.

Ibu hanya tersenyum, lantas mengecup keningku sambil mengusap pipiku.

“Ibu tahu, kamu pasti bisa melewati semua ini, karena ibu yakin kamu bukan perempuan lemah.”

Sekali lagi, kami berpelukan dengan hangat hingga beberapa saat sebagai ungkapan bahagia yang sedang menyelimuti.


Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantu ibu, karena hampir semua pekerjaan rumah tangga yang menjadi tanggubg jawab ibu telah ia selesaikan. Sementara ibu melanjutkan menyiram tanaman, aku memilih untuk merapikan beragam tanamsn hias di samping rumah, sekedar menyibukkan diri sembari menanti Nova dan bapak pulang dari kebun.

“Nak Pram sehat?” tanya ibuku sambil membantuku mengurusi tanaman bunga dalam pot.

“Sehat bu. Pram baik-baik aja kok.”

“Syukurlah. Nanti Nova pulang, pasti langsung cari nak Pram.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan ibuku. Aku yakin, apa yang beliau katakan akan terjadi, karena hari minggu adalah waktu bagi Nova untuk bertemu dan bermain bersama Pram. Kebiasaan ini adalah rutinitas mingguan untuk mereka, namun tidak kali ini.

“Mudah-mudahan Nova gak cariin Pram. Kalo enggak, bisa repot bu.” jawabku.

Ibu menghela nafas, sambil beralih, berdiri di dekatku.

“Ibu senang kamu sudah bekerja, dan selanjutnya, ibu harap kamu mulai memikirkan masa depanmu dan Nova.”

“Iya bu.. Rindi sudah pikirkan hal itu. Nova adalah prioritas utama.”

“Iya, syukurlah..”

“Ibu juga berharap, kamu mulai membuka hati.” sambung ibuku.

“Maksud ibu, membuka hati bagaimana bu?” tanyaku.

Ibu hanya tersenyum sambil terus menyiangi rerumputan yang tumbuh subur didalam pot-pot tanaman bunga.

“Usiamu masih muda, walaupun belum resmi bercerai, tapi ibu yakin, cepat atau lambat, perceraian itu pasti akan terjadi. Mulailah untuk membuka diri, membuka hati, siapa tahu ada jodoh untukmu.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan ibuku dan tak mampu berkata-kata lagi.

Sebagai seorang ibu, aku bisa memahami kekhawatiran, rasa cemas dan gundah yang ada dalam hatinya, terkait dengan keadaanku.

“Belum saatnya bu. Sekarang rindi harus fokus untuk bekerja dan mempersiapkan masa depan Nova. Rindi gak mau tergesa-gesa bu.”

“Bapak dan ibu sudah tua, sudah tidak mampu berbuat banyak untuk membantumu. Ibu hanya berharap, sebelum Yang Maha Kuasa memanggil ibu dan bapak, rindi sudah berkeluarga lagi, hidup bahagia.”

Kalimat yang beliau ucapkan layaknya sebuah pecut yang menghantam tubuhku. Aku sadar dan mengerti sepenuhnya keinginan ibuku, bahwa ia ingin melihatku bahagia, membangun kembali rumah tangga bersama lelaki lain yang mencintaiku.

Namun, dalam hati, aku telah menemukan kebahagiaanku, aku telah mendapatkan semua yang kuimpikan, bahkan jauh lebih indah dan sempurna dibandingkan dengan apa yang pernah kujalani di masa lalu.

“Rindi minta, bapak dan ibu jangan khawatir tentang hidup Rindi. Rindi baik-baik saja kok bu. Dan sejujurnya, Rindi belum siap untuk hal itu. Saat ini, Rindi hanya ingin fokus untuk mempersiapkan masa depan Nova. Urusan jodoh untuk Rindi, biar Yang Maha Kuasa yang mengaturnya.”

“Iya.. ibu harap kamu bisa segera berbenah diri dan mulai membuka hati. Ingat usiamu nak, dan biar bagaimanapun, Nova tetap membutuhkan sosok seorang ayah.”

Sungguh benar apa yang ibuku katakan, bahwa Nova membutuhkan kehadiran sosok ayah dalam proses tumbuh kembangnya. Aku pun tak memungkiri bahwa aku masih membutuhkan sosok suami, seorang laki-laki sebagai teman dalam perjalanan hiduku kedepan.

Aku sendiri pun ragu akan kemampuanku untuk menjalani kehidupanku seorang diri, berindak sebagai single parent bagi Nova, putriku. Rasa-rasanya beban itu untuk kutanggung sendiri.

Sejauh ini, aku bisa melangkah dan menghadapi semua tantangan hidup karena kehadiran sosok Pram disisiku. Aku tak memungkiri bahwa, sedikit banyak, Pram telah berperan sebagai penolong, pembimbing, dan teman yang selalu mendukung dan penyemangatku.

Namun, tentu saja aku tak bisa berharap sepenuhnya pada Pram, karena kedekatan yang terjalin diantara kami tidaklah mengikat. Pram tetaplah sosok laki-laki yang bebas, bebas untuk menentukan pilihan, bebas untuk menentukan masa depannya.

Aku hanya berharap bahwa aku adalah bagian dari masa depannya kelak, walaupun aku tahu, hal itu sangat mustahil untuk terjadi.


Percakapan pun terhenti ketika bapak dan putri kecilku akhirnya pulang. Saat melihatku, Nova segera berteriak pelan sambil menjulurkan kedua tangannya yang mungil.

“Mama..” gumannya pelan saat aku mendekapnya.

Tentu saja aku terkejut dan merasa terharu dengan kata yang ia ucapkan.

“Perkembangannya memang lambat, gak seperti anak-anak lain.” kata bapak sambil berdiri disampingku.

“Persis seperti rindi dulu waktu masih kecil” sambung ibuku.

Waktu terasa cepat berlalu, dan aku melewatkannya begitu saja. Putri kecilku pun telah mampu mengucapkan beberapa kata dengan jelas.

“Nak Pram?” tanya bapak.

“Pram sedang buat skripsi pak, jadi gak bisa ikut pulang. Dia titip salam buat bapak dan ibu.” kataku.

Bapak hanya mengangguk, lantas meninggalkan kami untuk memasuki rumah. Nova pun segera meminta untuk masuk kedalam rumah, mengikuti bapak yang tengah duduk di teras rumah.

“Pak, Rindi sudah dapet kerjaan.” Kataku, sambil duduk disampingnya.

Sejenak, bapak memandangku, lalu menggengam jemariku.

“Syukurlah nak. Bapak senang, akhirnya harapan bapak terkabul.”

“Rindi dapat kerja di hotel.” kataku lagi.

Bapak hanya mengangguk, lantas meraih Nova dari pangkuanku dan mendudukkannya di pangkuannya.

“Dimanapun Rindi kerja, bapak selalu mendukung. Bapak dan ibu sudah tua, sudah tidak bisa berbuat banyak untuk membantumu.”

Sejenak, aku memandangnya, dan menyadari bahwa kedua orang tuaku pun telah memasuki usia senja. Garis perjuangan hidup yang keras terlukis jelas ditubuhnya yang mulai renta.

“Bapak dan ibu jangan khawatirkan saya. Sekarang saatnya Rindi membalas semua yang telah bapak ibu lakukan.” kataku.

Bapak hanya tersenyum, satu tangannya mengusap kepala putri kecilku yang tengah asik memainkan jemari bapak.

“Yang terpenting dan terutama adalah Nova.” gumannya pelan.

“Bapak dan ibu sudah berencana untuk menjual kebun kita, dan uangnya bisa kamu gunakan untuk mempersiapkan masa depan Nova. Hanya itu yang bisa bapak dan ibu lakukan.”

Aku menggelengkan kepala sembari menggengan erat jemarinya.

“Enggak pak. Jangan. Kebun itu warisan dari kakek. Jangan sampai dijual. Masa depan Nova akan rindi persiapkan sendiri. Bapak jangan khawatir.”

Bapak kembali memandangku sekilas, lalu tersenyum.

“Nanti bapak bicarakan lagi dengan ibumu.” katanya singkat.

Aku hanya mengangguk pelan sambil menahan rasa haru di dadaku. Beban yang selama ini memberatkanku, ternyata menjadi beban bagi kedua orang tuaku. Dan sebagai anak, tentu saja aku tak ingin mereka ikut merasakan kegetiran yang hadir dalam hiduku.

“Pokoknya rindi minta, bapak dan ibu jangan khawatirkan Nova. Kebun kita jangan sampai dijual."

Nova segera turun dari pangkuan bapak dan bermain di halaman rumahku, ketika melihat beberapa anak seusianya datang, dan mengajaknya bermain disana.

“Nova harus mendapatkan yang terbaik dari kita.” guman bapak pelan.

Di usianya yang telah senja, kedua orang tuaku masih terbebani dengan beragam beragam tuntutan hidup, yang kesemuanya bersumber dari keretakan rumah tanggaku.

Atas hal ini, aku merasa malu dan tak berguna, karena hanya menjadi beban bagi mereka. Di usia sekarang, sudah seharusnya mereka terbebas dari segala tuntutan kehidupan dan menikmati usia senja dengan damai dan bahagia.

“Kalau kamu butuh sesuatu, butuh uang, jangan sungkan untuk meminta pada bapak atau ibumu.” kata bapak.

“Pak.. rindi baik-baik saja dan gak kekurangan uang, apalagi sekarang rindi sudah bekerja.”

“Bulan depan, sesudah gajian, rindi berencana membuka tabungan untuk Nova, sebagai persiapan masa depannya.” sambungku.

“Bagus.. harus disiapkan dari sekarang nak, biar nantinya tidak jadi beban.”

Sejenak, kami terdiam sambil memandangi Nova dan teman-temannya bermain. Walaupun tidak selincah dan segesit teman-temannya, Nova cukup menikmati waktunya bersama mereka. Raut wajah gembira, senyum dan tawa selalu menghiasi wajahnya yang cantik.

“Ada kabar dari suamimu?” tanya bapak memecah keheningan.

Aku hanya menggelengkan kepala, dan bapak pun menghela nafas.

“Biarkan saja, jangan diinget-inget lagi.” sahut ibuku sambil meletakkan segelas kopi untuk bapak dan segelas teh panas untukku.

“Rindi sudah memaafkan dia.. yang telah terjadi rindi anggap sebagai takdir jalan hidup.” kataku.

“Tetapi, sebagai laki-laki, sebagai seorang ayah, seharusnya dia bertanggung jawab terhadap Nova.” kata bapak.

“Gak apa-apa pak, rindi bisa dan mampu membesarkan Nova kok. Justru rindi gak mau kalo sampai dia ikut terlibat dalam kehidupan Nova. Rindi gak mau.” kataku.

“Setidaknya, sudah seharusnya dia bertanggung jawab secara finansial terhadap Nova. Memberi tunjangan dan sebagainya.” kata bapak.

“Rindi gak akan meminta. Kalo dia mau ngasih, saya terima. Tapi dia gak ngasih, ya sudah. Rindi bukan pengemis.” jawabku.

Sikap keras yang kutunjukkan bukan karena rasa egois ataupun gengsi, melainkan sebuah prinsip yang memang telah tertanam sejak suamiku memilih untuk meninggalkanku.

Walaupun ada ketakutan, rasa bimbang dalam menjalani kehidupan di masa depan seorang diri, namun, aku yakin akan mampu menjalaninya, walaupun akan sangat berat.

Tanpa sosok suami, aku harus bertindak sebagai seorang ibu, sekaligus seorang ayah untuk Nova. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Namun aku yakin, selalu ada jalan lain, akan ada kemudahan dalam menghadapi situasi tersebut.


Sisa pagi itu kami habiskan dengan berbincang-bincang sambil mengawasi putri kecilku yang tenga asik menikmati waktunya bersama teman-temannya. Dan ketika siang menjelang, Nova kembali dalam pelukanku, bermanja-manja bersamaku diatas ranjang.

“Mirip. Sama persis dengan rindi waktu masih kecil.” guman ibu sambil memandang Nova yang terlelap diatas sofa, di ruang keluarga.

Aku pun tersenyum dan ikut memandangi putri kecilku. Ada rasa bahagia di hatiku, melihat ia dalam keadaan sehat dan sangat menikmati masa kecilnya.

Kedua orangtuaku pun nampak bahagia karena selalu mendapatkan keceriaan berkat kehadiran sang cucu.

“Semoga nasibnya jauh lebih baik daripada rindi.” gumanku sambil mengusap lembut rambutnya.

“Amin..” jawab ibu singkat.

Aku yakin, aku harus berjuang lebih keras demi Nova, demi diriku, untuk kehidupan yang lebih baik. Aku ingin agar Nova bisa mengenyam pendidikan yang baik, hidup berkecukupan dan menjalaninya dengan penuh kebahagiaan.

Hal-hal tersebut tak lepas dari ketersediaan materi, dan aku harus menyiapkannya dari sejak awal, karena tak dapat dipungkiri tingginya biaya pendidikan.

“Jangan sungkan untuk meminta bantuan pada bapak ibu, jika rindi membutuhkan sesuatu. Atau, jika rindi kekurangan uang.

“Iya bu, rindi pasti ngomong kok. Untuk saat ini, rindi belum membutuhkannya.”

Sisa hari itu kuhabiskan dengan menemani Nova bermain, dan ketika sore menjelang, aku pun memandikannya. Sebuah kerinduan seorang ibu, kerinduanku, melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga, mengurus sang buah hati, akhirnya terobati.

Sore hari, aku dan ibu memasak untuk makan malam kami sekeluarga, sementara Nova memilih menghabiskan waktu bersama bapak, di teras rumah. Dan ketika kami menyantap makan malam, aku takjub melihat putriku, dimana ia bisa melakukannya sendiri, walaupun masih membuat meja makan kami sedikit lebih berantakan.

Tingkahnya membuat kami tertawa, tersenyum dalam kehangatan sebuah keluarga.

Ada rasa penyesalan, sesak didadaku karena melewatkan begitu banyak waktu dalam proses tumbuh kembang buah hatiku.

Hampir pukul delapan malam, akhirnya aku meninggalkan kampung halaman, setelah berhasil menidurkan Nova. Tingkahnya yang manja dan lucu membuatku betah dan enggan untuk meninggalkannya.

Namun aku harus segera kembali ke kota, karena ada kehidupan lain yang harus kujalani, dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Terasa berat untuk berpisah dengan putri kecilku, namun aku tak punya pilihan lain dan terpaksa harus melakukannya.


♡♡♡bersambung♡♡♡
Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:
 
Aktornya d tambah dong gan biar gk bosan
Maaf cuma saran
Di seri-seri selanjutnya, pasti akan ada penambahan tokoh lainnya, tapi gak banyak. Karena kisah ini berdasarkan kisah nyata, jadi gak bisa asal asalan menambah karakter.

Sejauh ini, udah ada banyak tokoh lho ya, cuman.. yang selalu berinteraksi dengan rindi hanya Pram.
Nina, Rita, Sandi, sudah masuk juga kan, tapi terus tenggelam karena perjalananan timeline.

Nanti (seri-seri selanjutnya) akan ada tokoh lainnya kok. Sabar ya..

Makasih buat masukannya :rose:
 
Fixed lahh mba rindi nnti harus nikah sama pram biar bener² jadi akhir yg bahagiaa.. maap ngarep hhahahha
Bisa iya, bisa juga enggak

Karena berkaitan dengan ending kisah ini, jadi ya gitu itu.. rahasia dapur bang.. heheheheheheh...

Makasih ya :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd