Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 4



Rindiani


Aku hanya bisa memegang keningku sambil menggeleng pelan setelah melihat tingkahnya. Ia begitu berani menggoda lelakiku dihadapanku. Dan setelah ujung roknya tersingkap hingga nyaris ke pangkal paha, ia pun berdehem demi menarik perhatian Pram yang tengah asik meninabobokkan Nova.

Lagi-lagi, usahanya menemui kegagalan. Pram hanya meliriknya sekilas lantas mendengus kesal. Ia pun segera membawa Nova memasuki kamar tidurku dan membaringkannya diatas ranjang.

“Masih belum yakin kalo kita gak bakal bisa ngalahin Nova?” tanyaku, lalu tertawa pelan.

Sejurus kemudian, Pram pun keluar dari kamar tidurku.

“Eh.. mau kemana?” tanya Nina heran dengan paha yang masih tersingkap.

“Dapur. Masak.” jawabnya singkat sambil terus melangkah kearah dapur.

Aku tertawa pelan sementara Nina membenahi roknya dengan wajah kesal.

“Bener-bener kayak batu. Udah dikasih paha masih cuek aja.” gerutunya.

Aku segera bangkit dari sofa dan meraih tangannya, lalu mengajaknya ke dapur.

“Karena dia sayang dan peduli sama kamu Nin. Kalo dia gak sayang, gak peduli, mungkin dia bakal manfaatin kamu.” kataku sambil melangkah ke dapur.

“Iya juga sih. Bener. Tapi mungkin emang Pram udah jatuh hati sama mbak Rin, jadinya gak pengen perempuan lain lagi.”

Aku hanya bisa tersenyum sambil terus melangkah disisinya.

“Sayang mau masak apa?” tanyaku saat melihat Pram sedang mempersiapkan bumbu-bumbu masakan di meja dapur.

“Buat sayur bening aja bu, yang mudah aja. Udah keburu laper.”

“Mau dibantuin?” tanya Nina sambil berdiri disamping kanannya, sementara aku di sebelah kirinya.

Pram menatap Nina sekilas, lalu memandangku dan akhirnya menggelengkan kepala.

“Kalian duduk. Lanjutin ngobrolnya.” katanya sambil memegang tangan kami dan menuntun ke meja makan.

Sambil memperhatikan Pram memasak makan malam, aku dan Nina kembali berbincang-bincang santai. Tak ada hal serius dan penting yang menjadi topik bahasan, selain kehidupan kampus dan skripsi yang sedang ia kerjakan.

“Galang, Topan, Deva, gimana kabarnya? Pada sehat kan?” tanya Pram sambil sibuk memasak.

“Pada sehat kok Pram. Deva yang masih rajin ke kampus, ke perpus. Topan sama Galang ya sama aja kayak kamu. Hilang.” jawab Nina.

“Pasti Rita kesepian.” gumanku.

“Iya.. dia ngeluh gitu juga sih. Makanya tiap hari, kalo pulang dari kampus, main dulu ke kostku.”

“Ngomong-ngomong, ayahnya Galang udah sehat apa belum?” tanyaku.

“Beberapa hari lalu, pas ketemu dia aku juga nanya gitu ke Galang. Katanya sih belum ada perubahan.”

Terdengar Pram menghela nafas panjang.

“Semoga bisa lekas sembuh.” gumanku pelan.

Nina mengangguk pelan, mengamini ucapanku.

“Pinter momong anak, bisa masak. Pram emang calon suami idaman banget.” bisiknya kemudian.

“Kenapa gak kamu pacarin dari dulu sih, padahal kan kenalnya udah lama.” kataku.

“Dulu kan aku belum kenal dia lebih jauh kayak sekarang ini. Kalo aku tahu, pasti udah aku kejar.” jawabnya sambil berbisik.

“Lagian, belum tentu juga aku ini tipe cewek yang jadi selera dia.” sambungnya.

Aku kembali menganggukan kepala, setuju dengan ucapannya karena aku tahu, Pram tidak memiliki ketertarikan hati pada Nina. Dalam hal ini, seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, Pram tidak memiliki kriteria yang pasti terhadap wanita yang menjadi pasangannya.

“Mbak juga gak tahu, dia itu suka cewek yang gimana, yang seperti apa.” balasku.

Nina tertawa, lantas mencubit pinggangku.

“Yang jelas, seperti mbak Rin dong, makanya kalian bisa akur, bisa lengket kayak perangko.”

Aku tak menapik hal tersebut karena itulah realita yang tengah kujalani. Selama ini, kedekatan kami mengalir begitu saja, berjalan layaknya pasangan yang telah saling mengenal dan terikat dalam waktu lama, padahal, usia kemesraan kami masih seumur jagung.

“Saatnya makan.” kata Pram sambil meletakkan semangkuk besar sayur bening buatannya.

Tak lupa pula ia menyajikan tahu dan tempe goreng, ikan asin yang menjadi makanan kesukaannya, dan sambel.

“Thank you chef Pram.” guman Nina, lalu tersenyum.

“Yuk, makan.. lapeerrr…” sambungnya tanpa malu-malu, sambil mulai menyendok nasi dan lauk pauknya.

Pram tertawa pelan sambil memandangi salah satu teman yang paling dekat dengannya itu.

Melihat tingkahnya, melihat kesabaran Pram dalam menghadapinya mbuatku semakin kagum pada lelakiku. Ia tak membutuhkan alasan sekecil apapun untuk melakukan kebaikan, karena aku tahu, Pram melakukannya dengan penuh keikhlasan.

Ia adalah sosok yang menyenangkan, sosok dewasa yang mampu menghadapi pola tingkah pribadi lain. Rita, Nina, Nova, dan aku, telah merasakan hal itu. Tanpa ia sadari, ia membuat kami merasa nyaman dan jatuh hati padanya.


Hanya butuh waktu beberapa saat, Nina pun segera mengambil nasi, lagi.

“Yuk nambah, jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri.” celetuknya sambil kembali menyendok sayur.

Aku dan Pram pun tertawa geli melihat tingkahnya yang seakan tidak malu terhadap kami.

“Awas ndut kalo kebanyakan makan.” kataku.

“Bodo.. nanti aja dipikirin. Yang penting perut kenyang.” jawabnya cuek.

Menu sederhana buatan lelakiku itu terasa lebih nikmat karena kami menyantapnya bersama Nina, apalagi diselingi obrolan ringan, dan canda tawa.

Hampir satu jam lamanya kami menghabiskan waktu di meja makan, bahkan setelah hidangan yang tersaji ludes.

“Gantian. Sekarang kamu istirahat, biar aku yang cuci piring.” kata Nina sesaat setelah kami tak memiliki bahan obrolan.

Pram hanya tersenyum seraya mengacungkan jempolnya.

“Sayang mandi dulu. Biar ibu sama Nina yang ngurusin dapur.” kataku.

“Apa mau dimandiin?” tanya Nina sambil mengedipkan sebelah mata.

“Heeehhhh..??” seruku kaget.

Nina tertawa kencang, sementara lelakiku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Entah hanya sekedar canda atau sebuah tawaran yang serius, namun lagi-lagi ia menunjukkan sikap vulgar dihadapanku.

“Santai aja kaliiiiii mbak, aku kan cuman nanya doang..” gerutunya sambil mulai mengumpulkan piring-piring diatas meja makan.

Mendengar jawabannya, aku segera mencubit pinggangnya hingga ia menjerit dan berusaha menghindar dariku.

Setelah mampu melepaskan diri dariku, ia segera beralih dan berlindung dibelakang Pram. Seperti biasanya, Pram, lelakiku, hanya bisa menghela nafas sambil menggelengkan kepala.

“Pram, pacarmu cemburu..” katanya sambil berlindung dibalik tubuh lelakiku yang berdiri ditepian meja makan.

“Buruan cuci piringnya, ntar kemalaman pulangnya.” sahut Pram.

“Enggak ah, aku gak mau pulang.” jawab Nina singkat.

Pram hanya bisa menggelengkan kepala sambil menatapku.

“Ya udah, gapapa. Besok pulangnya bareng mbak aja. Sekalian mbak berangkat kerja.” kataku.

“Emang bawa baju ganti?” tanya Pram sambil menoleh ke samping, karena Nina masih berdiri dibelakang tubuhnya.

“Enggak.”

“Tapi kan bisa pakai baju mbak Rin.”sambungnya.

“Atau…”

“Atau apa?” tanyaku penasaran.

“Atau…. Bobonya telanjang aja..” jawabnya enteng lalu tertawa pelan.

Pram menepuknya keningnya sementara aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak.

“Mulai kumat.” guman Pram pelan sambil melangkah meninggalkan dapur.

Tingkahnya semakin membuatku gemas dan geregetan, apalagi ia dengan sengaja menggoda lelakiku, berkali-kali walau dihadapanku.

“Nina Gila.” gumanku pelan sambil menyabuni piring dan gelas yang telah kami gunakan.

“Kok gila?” tanyanya heran.

“kamu itu lhooo. Nekat banget godain Pram kayak gitu. Kalo ntar kejadian beneran, kamu udah siap? Mau..?” tanyaku heran.

Sejenak, Nina tertawa pelan sambil membilas piring dan gelas yang telah kucuci dengan sabun.

“Kecil kemungkinan Pram tergoda terhadap perempuan lain. Dia punya kesempatan untuk mendapatkannya, tapi tak pernah memanfaatkannya.”

“Udah hampir empat tahun aku kenal Pram, dan belum pernah sekalipun dia menyentuh tubuhku. Padahal, aku sih gak bakal nolak kalo dia mau.” sambungnya.

Sebuah pengakuan yang janggal bagiku, karena Nina mengungkapkannya tanpa merasa malu maupun sungkan. Aku sangat yakin, kedekatannya dengan lelakiku lebih dalam daripada yang kuketahui.

“Emang Pram gak pernah negur kamu, atau nasihatin kamu, atau ngingetin?” tanyaku.

“Sering sih mbak, tapi aku sih masa bodo aja. Lagian aku kan kayak gitu cuman sama Pram aja. Maksudnya itu deket dan bebas gitu.”

“Kok bisa sih? Padahal Pram kan kayak cowok cuek gitu, kaku kalo sama cewek. Kok kamu betah berteman sama dia. Malah sampe akrab gitu.”

Sejenak, Nina memandangku sambil tersenyum.

“Yuk, kita lanjutin ngobrol diruang tengah.” Katanya sambil mengeringkan tangan setelah selesai membereskan beragam perabot dapur yang telah kami gunakan.

Setelah menghidupkan televisi, kami melanjutkan obrolan, sementara Pram tampak baru saja keluar dari kamar mandi dalam kamar tidurku.

“Bukan apa-apa sih mbak, aku seneng aja deket sama dia, soalnya dia kan gak banyak ngomong. Dia juga gak nakal, gak manfaatin kedekatan kami.”

“Kalian gak pernah bertengkar?” tanyaku lagi.

Nina menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Gimana mau tengkar? Dia kan pendiam. Kalo aku nginep di kontrakan dia, paling-paling ngobrolnya cuman bentar doang, abis itu ya kita sibuk sendiri-sendiri.”

“Emang kamu sering nginep?”

“Ya gak sering sih mbak, beberapa kali aja, pas malam minggu.”

“Tidurnya bareng?”

“Enggak. Pram tidur di halaman rumah” jawabnya.

“Haaahhhh?? Dihalaman rumah???” tanyaku kaget.

Nina tertawa sambil memandang lelakiku yang akhirnya keluar dari kamar tidurku. Wajahnya tampak segar setelah mandi.

“Ya enggak dong mbak. Kita tidur bareng itu kalo gak salah cuman tiga kali deh.”

“Empat.” jawab Pram singkat sambil duduk disampingku.”

“Ya kita cuman tidur doang, sampe pagi.”

“Enggak.” protes Pram.

“Kamu tidurnya sampe siang. Gak pernah bangun pagi.” sambungnya.

“idiihhh.. kalo hari minggu ngapain bangun pagi? Kan hari libur.” bantah Nina.

Sedikit banyak, aku bisa menerima hal ini karena peristiwa ini terjadi jauh sebelum aku mengenal mereka. Kedekatan dan kepercayaan Nina sangatlah tinggi terhadap Pram sehingga ia berani menginap bersamanya.

“Kok bisa sih, kamu nginep sama temen cowokmu? Emang gak takut diperkosa?”

Mendengar pertanyaanku, Nina kembali tersenyum padaku dan lelakiku.

“Aku berani nginep dirumah Pram karena aku udah kenal dia. Lagian, aku sih yakin, dia gak bakal kayak gitu.”

“Tapi Pram kan manusia biasa juga. Punya nafsu juga. Bisa aja dia tergoda. Iya kan?” tanyaku.

“Aku juga ngerti sih mbak. Kalo emang kayak gitu, aku sih fine-fine aja. Lagian aku juga udah gak perawan. Gak masalah sih.” jawabnya enteng.

Pram menggelengkan kepala sambil tertawa pelan setelah mendengarkan pengakuan sahabatnya tersebut.

“Berarti kamu percaya sama Pram dong?”

Lagi-lagi Nina tersenyum, lalu meraih jemari lelakiku dan menggengamnya.

“Sampai detik ini, aku selalu percaya bahwa Pram gak akan menyakiti aku, gak akan memanfaatkan aku. Aku yakin akan hal itu.” jawabnya.

“Cuman, aku aja yang kadang gak tau diri. Kadang kelewat batas, terlalu bebas kalo sama Pram.” sambungnya sambil melepaskan genggaman tangannya.

“Selain Pram, pernah nginep sama siapa lagi?” tanyaku penasaran.

Nina menggelengkan kepala.

“Cuman sama Pram aja. Gak ada yang lain.”

“Galang? Deva? Topan?” tanyaku.

“Gak pernah mbak. Gak berani aja sih. Walo kita akrab, aku sih gak yakin aja.”

“Kok bisa ya??” gumanku pelan.

“Waktu itu aku lagi bete aja. Trus main ke mall. Disana juga bosen, kayak orang hilang aja keliling mall gak jelas. Akhirnya iseng aja main ke rumah kontrakan Pram.”

“Bukan iseng, tapi emang udah niat mau main, mau nginep.” protes lelakiku.

Nina tertawa sambil meraih bantalan kecil disampingnya, lalu memeluknya.

“Enggak. Aku gak kepikiran mau nginep disana lho Pram. Beneran.”

“Tadinya iseng aja mau main kesana, trus mau nginep dimana gitu, soalnya bosen di kost.”

“Hotel?” tanyaku.

Nina mengangguk pelan.

“Setelah main ke rumah Pram, malah jadi males mau kemana-mana lagi. Akhirnya ya aku nginep aja disana.”

“Trus, Pram kamu suruh tidur di sofa?” tanyaku.

“Enggak. Tadinya aku yang mau tidur di sofa, tapi dia gak mau. Katanya biar dia aja yang di sofa. Aku sih ngikut aja.” jawabnya enteng.

Ptam tertawa, lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur.

“Kemana?” tanyaku.

“Dapur, buat kopi bu.”

“Aku teh aja Pram.” sahut Nina.

“Lanjutin ceritanya.” kataku lagi karena penasaran.

“Kita sempet ngobrol aja sih sambil tiduran dikamarnya, sampe akhirnya aku ketiduran.” sambung Nina.

Sejenak, Nina menghela nafas. Tatapan matanya menerawang jauh, seakan menjelajahi ruang waktu, kembali ke masa lalu.

“Paginya aku bangun dan ngelihat Pram tidur di sofa.”

“Itu pengalaman pertamaku sama Pram. Nginep dirumahnya. Dan sejak saat itu aku makin yakin kalo Pram itu bukan laki-laki sembarangan. Dia gak seperti laki-laki pada umumnya.”

“Kenapa gak kamu kejar? Dijadiin pacar gitu..”

Nina tertawa, dan bersamaan dengan hal itu, Pram pun keluar dari dapur dengan sebuah nampan berisi tiga gelas minuman.

Sesaat setelah meletakkan nampan itu diatas meja, ia kembali duduk disampingku.

“Dulu aku kan masih gila mbak, masih pingin punya cowok yang keren, gaul, yang asik gitu. Sedangkan Pram kan kayak culun gitu, kuper, pendiam. Pokoknya gak asik kalo dijadiin pacar.”

Pram, lelakiku tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.

“Kalo sekarang?? Masih cari yang gaul gitu??”

“Enggak. Udah bosen. Pengen cari yang serius aja mbak.”

“Nah, gitu dong. Jangan main-main lagi, jangan mikir yang gaul, yang kece. Yang penting bisa buat nyaman dan serius dalam komitmen hubungan.” kataku.

Nina mengangguk, begitu juga dengan Pram.

“Mbak, ada baju ganti gak? Aku males pulang. Mau nginep disini aja.”

“Ada, tapi kayaknya ukurannya gak pas sama badan kamu. Mbak kan gendut.” jawabku.

Kami segeta beranjak ke kamar tidur, sementara Pram menikmati segelas kopinya sambil menyaksikan acara di televisi.

Saat melihat pakaian-pakaianku yang tersusun rapi dalam lemari, Nina tampak bingung memilih pakaian yang hendak dikenakannya.

“Pakai ini aja deh mbak.” katanya sambil meraih sehelai tanktop.

Aku mengangguk setuju dan segera memilih pakaian lain untuk kugunakan. Hanya dalam sekejab, Nina telah melucuti jilbab dan pakaiannya. Yang tersisa hanyalah bra dan sehelai short pant, menutupi payudara dan pangkal pahanya.

“Itu cuman pakai short pant aja? Gak mau pakai celana pendek??” tanyaku setelah melihat pangkal pahanya.

Sekilas, Nina memandangi selangkangannya kemudian mengangguk.

“Ini aja deh, lagian kan cuman dirumah aja.”

“Tapi kan ada Pram.” bantahku.

Nina tertawa pelan, lantas mengenakan tanktop berwarna hitam, yang kontras dengan warna kulitnya sehingga membuatnya tampak lebih putih dan menarik.

“Kayaknya bukan Pram yang tergoda, tapi mbak Rin yang tergoda.” gumannya cuek sambil bercermin di meja riasku.

“Mbak masih suka kontol.” bisikku pelan.

“Yang benerrrr?” tanyanya sambil membalikkan tubuh dan langsung meraba pahaku hingga ke bagian pangkal.

“Eehhh..! Kok nakal?”

Nina hanya tersenyum dan mengabaikan protesku. Tangannya segera mengusap permukaan celana dalam yang menutupi kemaluanku.

Aku segera menghalau jemarinya dan membalas dengan meremas payudaranya, lantas berlari keluar kamar agar terhindar dari kenakalannya hingga Pram terheran-heran melihat kami berlarian menuju ke arahnya.

Di ruang tengah, Nina pun kembali mengerjaiku. Ia berusaha membalas dengan mencubitku, namun segera dicegah oleh Pram.

“Gak cuman Nova yang suka main-main, kalian juga sama aja.” gumannya sambil berpindah posisi dan duduk di ujung sofa, agar terhindar dari keusilan kami.

Aku dan Nina tertawa, lantas segera bergeser, mendekatinya.

“Temenmu ini nakalnya kelewat level. Nenen ibu diremas sama dia.”

“Mbak yang duluan kok. Aku kan cuman ngebalas aja.” bantah Nina.

“Sama-sama punya nenen kok masih saling pegang yang lain.” gerutu lelakiku.

“Ya udah, kalo gitu kamu aja yang pegang nenenku. Gapapa kok” balas Nina sambil merangkul pinggang Pram.

“Eehhh..??!!” seru Pram karena terkejut dengan tingkah sahabatnya itu.

Seperti biasanya, lelakiku berusaha menghindar dan melepaskan tangan Nina, namun usahanya sia-sia belaka karena Nina mendekapnya dengan sangat erat, payudaranya pun menempel erat di lengan lelakiku.

Aku tertawa sambil membekap mulutku sendiri agar suara tawaku tak menganggu tidur putri kecilku.

Pram melayangkan pandangannya padaku, tatapannya seakan melukiskan kegusaran dalam hati akibat tingkah Nina.

Aku hanya bisa mengangguk pelan memberi sinyal bahwa aku baik-baik saja, karrna kami dalam situasi bercanda ria. Tak ada rasa cemburu maupun marah dalam diriku.

Akhirnya aku beralih posisi, duduk disamping Pram, sementara Nina berada disisi lain dengan kedua tangan masih melingkar di pinggang lelakiku.

“Temenmu yang satu ini memang agak aneh..” gumanku sambil memandangi Nina yang asik merebahkan kepala dipundak Pram.

“Apanya yang aneh?” tanyanya cuek.

“Pram kan punya mbak, kenapa kamu yang peluk?”

Nina menatapku sekilas, lalu melepaskan pelukannya. Pram, lelakiku akhirnya bernafas lega.

“Mbak Rin cemburu?? Ya udah, sini, aku peluk.” balasnya.

“…..”

“Maksud mbak, kamu itu lhoooo.. kok gak sungkan, gak takut gangguin Pram, padahal kan ada mbak disini.”

“Biasa aja sih. Kalo sama yang lain ya pasti gak kayak gini. Lagian kan ngelakuinnya didepan mbak. Kalo dibelakang ya berarti selingkuh dong.” jawabnya enteng.

Lagi-lagi, jawaban diplomatis dari Nina membuatku terdiam. Aku sadar, kedekatan yang telah lama terjalin diantara mereka telah menghapus sekat-sekat gender, membiasakan hal yang yang sebelumnya dianggap tabu menjadi suatu pemandangan yang lazim.

Karakter berbanding terbaik yang diperankan oleh Nina, ditambah ketenangan dan kesabaran lelakiku membuat mereka menjadi sepasang sahabat yang klop.

Nina tak segan melakukannya, memamerkan lekuk indah tubuhnya dihadapan Pram, bahkan menggodanya.

“Kalo kamu punya cowok, pasti dia bakal cemburu sama Pram.”

Pram mengangguk setuju dan memandangi Nina.

“Bodo amat. Kalo mau jadi cowokku, harus bisa menerima teman-temanku juga dong. Apalagi kita temenan udah lama banget.”

Sekali lagi, Pram mengangguk setuju, begitu juga denganku. Jalinan persahabatan lebih penting daripada sekedar menjalani jalinan asmara yang mungkin belum bisa dikatakan kearah yang lebih serius.

“Pacar emang penting, tapi temen, sahabat, juga sama pentingnya.” sambung Nina.

“Iyaaaa… emang penting Nin, tapi gak pakai peluk-peluk manja kayak gini juga.” protes Pram.

Nina tertawa pelan sambil menatapku, lantas memintaku untuk kembali duduk disampingnya. “Aku sih biasa aja Pram. Jujur aja ya, aku meluk kamu itu karena nyaman, seneng aja, soalnya kamu gak mikir yang macem-macem. Lagian juga kan pas ada mbak Rin disini, jadi aku biasa aja.”

“Kalo mbak Rin cemburu, gimana?” tanya Pram.

Nina kembali menatapku, sementara aku sedikit penasaran menanti jawaban atas pertanyaan lelakiku.

“Mbak Rin cemburu?” tanya Nina padaku.

Aku menggelengkan kepala, walaupun didalam hatiku ada sedikit rasa cemburu atas sikapnya terhadap Pram.

“Aku yakin, mbak Rin pasti cemburu, walo dikit. Tapi tenang aja mbak, aku tahu kok, Pram gak akan berpaling dari mbak Rin hanya karena aku sering godain dia.” jawab Nina.

“Tapi, bisa aja Pram khilaf, tergoda sama kamu..” kataku.

“Mungkin.. bisa jadi. Tapi aku yakin, bukan dalam hal rasa hati, tapi sekedar nafsu aja.”

“Makanya jangan sering-sering pakai pakaian kayak gini.” guman Pram pelan sambil menatap kearah layar televisi.”

Nina kembali menatap tubuhnya, mulai dari ujung kaki hingga dada.

“Biasa aja. Kita kan lagi dirumah, dan lagi santai sebelum tidur. Jadi wajar dong kalo pakai pakaian kayak gini.”

“Tapi Pram kan ada disini, dia bisa tergoda lihat kamu pakai pakaian kayak gini.” protesku.

“Gaakkkk mungkin. Mbak Rin jauh lebih seksi.”

“Tuh… nenennya aja jauh lebih gede.” sambungnya sambil kembali meremas payudaraku.

Aku terkejut dan terlambat mencegah kecepatan gerakan tangannya sehingga ia berhasil menyentuh payudaraku.

Tentu saja aku segera menghalau tangannya dan segera membalas perbuatannya.

“Kumat lagi..” guman Pram pelan setelah melihat tingkah kami.

“Kalo pun Pram tergoda, berarti itu keberuntunganku dong, bisa main sama Pram. Daripada main sama cowok lain, mending sama temen sendiri yang udah kenal.”

Pram menepuk pelan keningnya setelah mendengar apa yang Nina ucapkan.

“Emang kamu gak malu?” tanya Pram.

“Malu..?? Sama kamu? Sama mbak Rin?” tanyanya sambil menatap kami satu persatu, kemudian menggelengkan krpala.

“Aku udah nyaman berteman sama kalian. Asik, enak, dan buat aku rasanya cocok aja sama kalian. Jadi ya aku berani terbuka, berani jadi aku apa adanya dihadapan kalian.”

Apa yang ia katakan sejalan dengan apa yang kulihat selama berteman dan dekat dengannya. Rasa canggung dan sungkan telah lenyap seiring waktu berjalan. Dan sejauh ini, Pram pun memilih untuk menjadi sosok ‘penetral’ atau bisa dikatakan sebagai sosok yang berusaha menjaga perjalanan hidup Nina dan persahabatan mereka.

Aku yakin, baik Nina maupun Pram, telah saling memahami satu sama lain sehingga ikatan pertemanan mereka tetap berjalan baik, walaupun disisi lain, aku tahu, Pram bersusah payah untuk menahan gejolak birahinya akibat tingkah Nina yang selalu menggodanya.

♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:
 
"Aku sudah nyaman berteman sama kalian. Asik, enak, dan buat aku rasanya cocok aja sama kalian. jadi ya aku berani terbuka, berani jadi aku apa adanya di hadapan kalian."
Semoga happy ending Mba Rin...
:beer:
 
Bimabet
Part 5



Rindiani


“Kamu gak risih?” tanyaku heran.

“Enggak.. biasa aja. Lagian, mumpung masih disini, dan sama-sama kalian.” jawab Nina singkat.

“Kalo dirumah, aku gak.mungkin bisa kayak gini.” sambungnya.

“Tapi jangan sampe orang lain tau. Sisi pribadimu yang seperti ini cukup kami yang tau, dan jangan berlaku seperti ini dihadapan orang lain.” kataku.

Nina tertawa sambil merangkul tubuhku, ia bahkan mengecup lembut pipiku.

“Mbakku sayangggg… tenang aja..aku gak akan nakal diluar sana. Aku janji..” jawabnya.

“Gak cuman diluar aja, disini juga jangan nakal kayak gini.” celetuk Pram.

“Ya beda dong. Disini bagian dari privasi, kehidupan pribadi aku. Jadi ya aku gak perlu harus sungkan atau malu-malu.”

“Aku gak munafik, aku juga punya nafsu, punya hasrat seksual. Aku perempuan normal yang punya kebutuhan seks yang harus dipenuhi.”

“Tapi kan gak harus kayak gini..” protes Pram.

“emang kamu mau kalo aku kayak gini sama orang lain??” tanya Nina.

Pram segera menggelengkan kepala.

“Nahhh, makanya jangan ngelarang aku..” sambungnya sambil mengalihkan rangkulannya pada lelakiku, bahkan, satu pahanya menumpang diatas paha lelakiku.

Sikap keras kepala yang ia tunjukkan membuatku terheran-heran, apalagi niat baik Pram adalah demi kebaikan Nina sendiri. Namun, tentu saja kami hanya sebatas menyarankannya, bukan mengharuskannya untuk berprilaku dalam kehidupan pribadinya.

“Keras kepala..” guman Pram pelan sambil memandangiku.

“Bodooo…” balas Nina singkat.

Tentu saja aku bisa memahami apa yang Nina sampaikan, karena, sedikit banyak aku telah memahami dan mengerti pribadinya, begitu juga dengan pribadi Pram.

Cemburu? Sedikit banyak ada rasa itu dalam hatiku, terutama karena tingkah manaja Nina yang semakin hari semakin meningkat. Ia tak segan menawarkan dirinya, memamerkan keindahan tubuhnya dihadapan kami, yang tentu saja sangat menggoda, membuat lelakiku harus beruapaya keras untuk mrnahan hasratnya.

Tentu saja Nina tak menghiraukan hal-hal seperti ini, karena ia telah menemukan kenyamanan dan kecocokan dalam hubungannya bersama Pram dan bersamaku.

Akan menjadi suatu hal yang tak lazim, terutama bagi mereka yang belum mengenal kami karena keintiman dan kedekatan ini. Dan disisi lain, aku pun tidak bisa melarang, atau sekedar mengingatkan Nina tentang prilakunya dihadapan Pram, karena sesungguhnya, hubungan kedekatan kami bukan berdasarkan komitmen.

Tidak ada janji-janji manis, tidak ada ikatan resmi yang menyatukan kami. Pram adalah pribadi yang bebas, begitu juga denganku.

“Fokus aja sama skripsinya, ini tahap akhir Nin..” kata Pram.

“Bener lhooo Nin. Itu otaknya dibenerin biar lancar garap skripsi.” sambungku.

Nina melepaskan pelukannya, lantas menyeruput minuman yang ada diatas meja, dihadapan kami.

“Kalian sadar gak sih, mungkin gak sampai setahun lagi, kita bakal berpisah, melanjutkan jalan hidup kita masing-masing.” gumannya setelah meletakkan kembali gelas itu diatas meja.

Aku hanya bisa mengangguk pelan mengamini apa yang ia ucapkan.

“Diluar sana, dikehidupanku nanti, aku yakin, aku gak bakal nemuin orang-orang seperti kalian.”

“Aku punya banyak teman. Puluhan, bahkan mungkin ratusan, tapi gak ada yang sama seperti kalian.” sambungnya.

“Apanya yang gak sama??” tanyaku heran.

Sejenak, Nina memalingkan wajah kearahku, lalu tersenyum.

“Mbak Rin, sama Rita, bisa aku bilang teman cewek yang bisa ngertiin aku. Kalian cuek dan gak risih dengan kelakuanku, dengan tingkahku yang seperti ini.”

“Kalo Pram, hhhmmmmm.. temen cowok yang paling asik. Tenang, pendiam, cuek, gak gampang tergoda.”

“Gak gampang tergoda?” tanyaku lagi.

Nina mengangguk, sementara Pram tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.

“Sebenarnya, Pram selalu berupaya sekuat hati, sekuat tenaga untuk tidak tergoda sama kamu. Pram juga cowok normal kok.” jawabku.

“Benerannn Pram?”

Pram, lelakiku mengangguk pelan.

“Tapi semua itu gak penting Nin. Yang penting itu bagaimana kita menjaga tali pertemanan kita. Gak ada jaminan bahwa hubungan kita gak akan berubah seandainya kita ngelakuin hal itu. Iya kan?” kata Pram kemudian.

“Karena kamu itu teman, sahabat, kelauarga selama ini, dan mungkin sampai kita tua nanti. Kamu patut untuk dihargai, dijaga, karena itulah gunanya teman.”

Sejenak, Nina tertegun dengan apa yang Pram ucapkan, dan setelah beberapa saat berlalu, ia kembali mendekap erat tubuh lelakiku.

“Pasti pingin sih Nin, tapi rasanya gak etis, gak pantas.” sambung Pram setelah Nina melepaskan pelukannya.

Sekali lagi, lelakiku menunjukkan kedewasaannya, menunjukkan karakter lemah lembut dan pembimbing layaknya seorang guru. Aku yakin, Nina pasti mengerti dan memahami hal tersebut.

“Mbak Rin gak tau gimana kehidupanmu dulu. Tapi sekarang, kalo bisa, berusahalah untuk fokus, mulai belajar mengendalikan diri, mengendalikan hawa nafsu.”

“Bukannya mbak Rin mau sok ngatur hidup kamu, tapi mbak mau kamu bener-bener belajar mengalahkan dan mengendalikan hawa nafsu. Jujur aja deh, Mbak juga kemarin-kemarin kayak kamu kok, setelah suami mbak pergi. Tapi sekarang udah mulai belajar untuk lebih tenang, menahan hasrat seksual.”

“Sulit sih, dan bener, susahnya minta ampun, tapi pelan-pelan, pasti bisa.” sambungku.

“Emang kalian gak gituan tiap hari?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, Pram tersenyum dambil menumdukkan kepala.

“Hhmmm.. gak perlu dijawab.. aku udah tahu jawabannya.” kata Nina kemudian.

“Emang jawabannya apa??” tanyaku. Nina tertawa sambil membekap mulutnya.

“Enak? Tiap hari ngentot?” tanyanya.

“Ampun dah..” guman Pram, sementara aku terperangah dengan ucapannya.

Tanpa berkata-kata lagi, aku segera mencubit pinggangnya karena merasa gemes dengan tingkah dan ucapannya.

“Ni anak emang ngeselin..” kataku sambil mencubitbya.

Melihat tingkah kami, Pram segera melerai dan memisahkan dengan berpindah posisi, ia duduk diantara aku dan Nina.

“Jangan berisik, Nova udah tidur.” gumannya, lalu menyeruput kopi.

“Kalian sih gampang, kapan aja pengen bisa langsung main.” celetuk Nina.

“Ya gak tiap hari juga kaliii… buktinya sekarang..” jawabku.

“Ya udah.. kalian main aja, biar aku bisa dapet tontonan gratis.”

“Gila..” guman Pram pelan seraya bangkit berdiri dan melangkah ke dapur.

Sepeninggal Pram, Nina kembali menyeruput minumannya lalu merebahkan kepala dipahaku. Pandangannya pun tertuju pada layar tv.

Beberapa saat berlalu, dan kami pun larut dalam keheningan. Entah apa yang ada dipikiran Nina sehingga ia kembali melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi.

“Mbak.. enak gak main sama Pram?”

Tentu saja aku tak menjawabnya, namun satu tanganku bergerak cepat memasuki tanktop yang ia kenakan melalui bagian dada dan segera meremas payudaranya hingga ia menjerit.

“Awas kalo sampe Nova terbangun." kata Pram sambil mengintip dari arah pintu.

Aku dan Nina berpandangan lalu tertawa pelan.

“Ke dapur yuk.” kata Nina sambil bangkit dari tidurnya.

Sesampainya disana, kami mendapati Pram tengah asik membaca beberapa buku, dan diatas meja, terhampar lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan tangannya.

“Skripsi?” tanya Nina sambil meraih selembar kertas itu dan membacanya.

Pram hanya menengok sekilas sambil mengangguk, lalu kembali membaca buku dihadapannya.

Aku segera meraih kursi dan duduk disampingnya, sementara Nina masih berdiri disisi yang lain sambil terus membaca lembaran kertas yang berada ditangannya.

“Keren.. ini kayaknya udah masuk bab 3.” gumannya sambil memandangi lembaran kertas itu sementara satu tangannya yang lain menyelinap masuk kedalam celananya dan menggaruk pangkal pahanya sendiri.

“Cepet banget.. aku aja belum selesai bab 1.” sambungnya.

Pram menoleh dan mendapati pemandangan, yang mungkin bagi sebagian lelaki adalah sebuah pemandangan yang menggiurkan. Pram segera mengalihkan tatapannya dan kembali berkonsentrasi dengan buku-buku dihadapannya.

“Ninnnn… itu kenapa dari tadi digaruk terus sih?” tanyaku heran.

“Gatel, beberapa hari yang lalu habis cukur..” jawabnya santai.

“Tapi kan gak dihadapan laki-laki.” Protes Pram.

“Emang napa? Kamu mau garukin? Pengen?” balas Nina.

Aku kembali tertawa pelan melihat tinggah kedua manusia tersebut. Seolah merasa tak bersalah, Nina tetap saja bertingkah laku tak sewajarnya dihadapan kami.

“Garuk pakai garpu.” guman Pram pelan sambil kembali menulis diatas lembaran buku dihadapannya.

Nina segera merangkul bahu lelakiku dan menunduk.

“Emang kamu tega?” tanyanya lalu tersenyum.

Bukannya menjawab pertanyaan, Pram kembali menatapku. Aku yakin, Pram sedang dilanda kebingungan dalam menghadapi tingkah tingkah sahabat karibnya yang semakin berani dan ‘nakal’.

Pram segera menggeser sebuah kursi didekatnya dan menenepuknya dengan lembut.

“Sini.. duduk.” katanya sambil menuntun Nina agar duduk dikursi itu.

Sesaat setelah duduk, Pram segera meraih jemari Nina dan menggenggamnya dengan lembut. Ditatapnya mata sahabat karibnya dengan seutas senyum terkembang dibibirnya. Satu tangannya mengusap lembut pipi Nina.

“Sudah berapa lama kita berkenalan?” tanyanya.

“Hampir empat tahun.”

“Sudah berapa lama kita dekat dan akrab?” tanya Pram lagi.

“Dua tahun lebih.”

Entah apa yang ingin dibicarakan oleh lelakiku dengan Nina, aku pun cukup penasaran, apalagi dengan caranya berbicara, gestur tubuhnya dan tatapan matanya itu.

“Kita teman, sahabat, bahkan mungkin sudah layak disebut saudara, karena kedekatan dan keakraban kita. Dan semua itu terbentuk secara alami selama ini. Ada semacam ikatan, komitmen, dan kepedulian didalam kedekatan kita, dan sejauh ini, semua berjalan baik.”

“Jadi maksudnya apa sih?” tanya Nina bingung.

Pram tersenyum, lalu memandangku sekilas dan kembali melanjutkan pembicaraannya.

“Apa yang sudah diantara kita, sebaiknya jangan dirusak, dicemari oleh hawa nafsu. Karena hubungan pertemanan kita jauh lebih baik tanpa seks, seperti yang telah terjalin selama ini.”

“Kamu adalah perempuan baik dimata saya, dan akan tetap seperti itu. Saya tidak perduli bagaimana pandangan orang lain terhadap dirimu. Tetapi bagi saya, kamu tetaplah Nina yang baik dihadapan saya.”

“Seks, bukan unsur pembentuk hubungan kita, tetapi perhatian, saling menjaga dan mendukung.”

Sejenak, Nina tertegun. Ia terpana memandang lelakiku setelah mendengar apa yang Pram ucapkan.

“Bukan berarti kamu gak menarik. Kamu sangat menarik, sangat mengairahkan. Tapi, kita kesampingkan hal itu dan mencoba menjalani hubungan pertemanan kita dengan sewajarnya, tanpa seks.” sambung Pram.

“Tuuuuhhhh.. dengerin..” gumanku pelan.

Pram tersenyum sambil memandangku.

“Sini…” katanya lagi sambil menuntun Nina agar lebih dekat dengannya.

“Entah kamu masih perawan atau tidak, bersikaplah layaknya seorang wanita baik-baik, terutama dihadapan orang lain. Mulailah berpikir dewasa, bersikap elegan layaknya seorang wanita yang anggun.”

Pram lantas kembali mengusap pipi sahabatnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku tahu, Pram sangat menyayangi Nina dan berusaha menjadi teman yang baik baginya. Dan dimataku, Pram telah berhasil melakukannya.

“Berarti kamu tergoda?” tanya Nina.

Pram tertawa pelan sambil menyingkirkan buku dihadapannya, sedikit menjauh dari hadapannya. Aku pun beringsut mendekat dan menyandarkan dagu di bahu lelakiku, ikut memdengarkan obrolan mereka.

“Siapa bilang gak tergoda..?” jawab Pram diplomatis.

“Bukan cuman Pram yang tergoda, mbak juga tergoda kok.” sambungku.

“Beneran..?” tanya Nina.

Pram pun mengangguk, begitu juga denganku.

“Jaga dirimu untuk lelaki yang kelak akan menjadi pendamping hidupmu.” kataku.

“Maksihhh yaaaa…”

“Kalian memang teman-teman baik, kalian perhatian dan sangat sayang sama aku. Aku gak tahu, aku ini sebenernya perempuan normal atau enggak, pantas atau enggak jadi teman kalian.”

“Sejujurnya, aku senang bisa berteman dengan kamu, Pram. Sama mbak Rin juga. Aku ngerasa nyaman aja dan bebas berekspresi. Inilah aku, sisi lain pribadiku yang kalian lihat. Hanya kalian yang tahu.”

“Selama ini aku senang gangguin kamu, godain kamu, karena kamu itu kayak batu, gak bereaksi apapun walaupun udah aku godain dengan cara apapun. Aku sih yakin, kamu gak bakal mengambil kesempatan atau manfaatin aku. Aku yakin banget.”

“Cuman sekedar canda atau serius? Hhmmmm.. kadang ya canda aja, biar gak bosen, gak bete. Kadang ya serius godain kamu. Karena aku juga perempuan normal yang butuh seks. Tapi aku cuman mau ngelakuinnya sama orang yang aku kenal baik.”

Kalimat-kalimat yang ia ucapkan membuatku terpana. Nina berkata jujur dan aku yakin ia mengatakan semua ini bukan sekedar hanya untuk menyenangkan kami, namun sebagai ungkapan dari lubuk hatinya.

Keterbukannya terhadap kami seperti pisau bermata dua, karena posisiku yang bisa dikatakan sebagi pemilik hati Pram.

Cemburu? Tentu ada sedikit rasa itu yang muncul dalam diriku, karena kehadiran Nina dengan segala pesona dan kelebihannya bisa saja membuat lelakiku berpaling.

Pengalaman pahit kehilangan suami telah mengajarkan banyak hal padaku, salah satunya untuk berbenah diri dan memperbaiki sifat serta sikapku yang mungkin kurang atau bahkan tidak disukai oleh laki-laki.

“Kamu gak mikirin perasaan mbak?” tanyaku.

Nina tersenyum sambil memandangku.

“It’s just sex.. gak lebih. Aku gak tahu mbak cemburu atau enggak, tapi aku berani begini karena aku yakin mbak Rin orang yang berpikiran terbuka.” jawab Nina.

“Iya sih, mbak juga gak ngelarang kok, semua terserah Pram aja.” jawabku singkat.

Pram menggeleng pelan sambil meraih jemariku dan meremasnya dengan lembut.

“Kalo dari aku sih gitu.. cuman sekedar seks doang. Gak ada main hati.” sambung Nina.

“Buktinya, aku bisa ngeseks sama mbak Rin, dan sekarang hubungan kita masih biasa aja, baik-baik aja.” sambungnya.

“Tapi berbeda kalo kita yang ngelakuinnya.” kata Pram kemudian.

“Iya sih, karena kamu cowok.”

Pram mengangguk pelan dan melepaskan genggaman tangannya pada jemariku.

“Kamu masih muda, jalan hidupmu maaih panjang. Jadi, sebaiknya jaga tubuhmu sebaik mungkin untuk masa depanmu nanti.” kata Pram.

“Iya lhoo dee.. kasihan kamu.. yang dirugikan itu ya sebenernya kamu sendiri..” sambungku.

“Iya, aku sadar kok. Beneran, aku tahu itu. Tapi aku gak ngerasa kayak gitu kalo seandainya ngelakuin hal itu sama Pram, atau ngelakuinnya sama kalian berdua.”

Pram menggelengkan kepala dan dengan gemes segera mencubit pipi sahabatnya itu.

“Susah bener ngomong sama cewek satu ini.”gerutunya.

“Sebenernya gak serumit itu. Kita ngeseks, kamu senang, aku senang. Kamu puas, aku puas. Selesai.”

“Sekedar seks, sekedar memuaskan hasrat. Itu aja, gak lebih.” jawabnya enteng.

“Kalau ternyata Pram ketagihan gimana? Atau kalo kita main bertiga, dan kami jadi ketagihan.. gimana?” tanyaku.

Nina tersenyum dan segera mencubit pipiku dengan lembut.

“Berarti ya kita bisa main lagi. Aku sih fine-fine aja. Gak masalah.”

“Gini deh mbak.. kita udah saling kenal, udah deket, udah akrab gini. Kalo ketambahan seks sih, buat aku ya gak masalah. Lagian ngelakuinnya sama kalian yang emang udah aku kenal, jadi ya oke-oke aja.”

“Semudah itu?” tanya Pram.

Nina mengangguk mantap, membuat Pram lelakiku mengela nafas panjang, seolah tengah menghadapi jalan buntu dalam mencoba menasihati sahabatnya yang keras kepala.

“Kamu gak malu?” tanyaku lagi.

“Malu..??” jawabnya lalu tersenyum.

“Aku gak malu kok. Dan gak munafik kalo sama kalian. Aku kepengen ngeseks, pengen ngerasain dipuasin cowok. Bukan sekedar masturbasi. Aku suka seks, dan menurutku hal itu wajar kok.”

“Hhmmmm… susah..” guman Pram pelan sambil kembali meraih buku yang sempat ia singkirkan dari hadapannya dan kembali membacanya.

“Udahhh.. gak perlu dipikirin.. fokus aja garap skripsi” balas Nina sambil bangkit berdiri dan berjalan ke arah kulkas.

“Sabar yaaaa…”gumanku pelan sambil mengusap punggung Pram.

Pram hanya tersenyum sambil menatapku, lantas kembali memfokuskan perhatiannya pada buku dihadapannya.

Segera setelah menegguk air dari dalam kulkas tersebut, Nina kembali dan berdiri disampingku.

“Udah ah, aku ngantuk, mau tidur duluan.” katanya sambil memegang bahuku.

“Iya.. tidur duluan aja, mbak nemenin Pram dulu sebentar.”

“Lama juga gapapa.” jawabnya sambil melangkah pergi.

Sederet jawaban, kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Nina sedikit banyak berputar dan mengusik pikiranku. Seks bebas? Ya itulah yang coba Nina ungkapkan pada kami, walaupun tak sebebas seperti budaya luar negri.

Seks, mungkin inilah salah satu faktor yang menyebabkan aku harus kehilangan suamiku. Dan kini, Pram, lelaki muda yang telah dengan setia menemaniku selama beberapa waktu belakangan pun tengah bersinggungan dengan kenikmatan duniawi itu.

Pram adalah lelaki yang menggantikan peran suamiku, dan kini, Nina secara terbuka menawarkan kenikmatan tersebut padanya.

“Sayang beneran gak pengen main sama Nina?” tanyaku pelan.

Pram melirikku sekilas lalu menggelangkan kepala.

“Kalo sayang pengen, gapapa kok..” kataku lagi.

Pram segera menyingkirkan buku dihadapannya, lagi, dan menuntunku untuk duduk menyamping diatas pangkuannya.

“Kalo saya mau, dari dulu saya bisa dapetin Nina.”

“Tapi enggak. Saya gak mau seperti itu bu. Kesannya seperti sekedar memanfaatkan aja.” sambungnya.

Mendengar jawabannya, ada sedikit kelegaan dalam benakku.

“Ibu khawatir aja, kamu bosen sama ibu. Mungkin suami ibu selingkuh karena bosen sama ibu.”

Pram tersenyum sambil mengusap lembut pipiku, lantas membenahi rambut di keningku dan menyisipkannya dibelakang telinga.

“Saya mengenal seks karena ibu, bersama ibu, dan saya gak bosen sama sekali. Nina memang cantik dan menarik. Tapi bagi saya, Nina tetaplah Nina, dia sahabat saya.”

Aku segera melingkarkan tangan dilehernya dan mengecup pipinya dengan lembut. Pram pun melingkarkan tangan di pinggangku.

“Ibu tahu, kamu lelaki setia.. ibu yakin.” kataku.

“Tapi.. misalnya, kalo ibu yang minta.. maksudnya pengen kita threesome, gimana? Kamu mau?” tanyaku.

Pram tersenyum, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya. Aku sangat menikmati kuluman bibirnya yang lambat dan penuh rasa.

“Kenapa..?” tanyanya singkat, setelah ciuman kami berakhir.

"Gapapa sih, ibu cuman khawatir kamu bosen sama ibu, makanya ibu pengen ngasih kamu kebebasan. Ibu khawatir aja, kalo sampe kamu bosen dan akhirnya cari cewek lain.” jawabku jujur.

Pram menggelengkan kepala, lantas menataku dalam-dalam. Diraihnya jemariku dan digenggamnya dengan erat.

“Ibu jangan khawatirkan hal itu.”

“Apa yang ada diantara kita, cukup untuk kita saja. Saya juga gak mau ada laki-laki lain yang menyentuh ibu.” sambungnya.

“Tapi Nina kan cewek..” bantahku.

Pram tersenyum, dan kembali mencubit pipiku dengan gemes, seperti yang telah ia lakukan pada Nina.

“Ketularan otak nakal Nina.” gumannya sambil mencubit hidungku.

Aku hanya bisa tertunduk dan tersenyum, sementara Pram mendekapku erat. Satu tanganya mengusap punggungku dengan lembut.

Sesaat setelahnya, perlahan ia melonggarkan pelukannya dan aku pun kembali memandangi wajahnya. Kedua tapak tanganku menempel erat dikedua sisi pipinya. Kutatap matanya hingga beberapa saat, hingga akhirnya ia mendekatkan wajah dan menciumku.

Lumatan bibirnya terasa hangat dan lembut, membuaiku, membuatku terlena dan balas melakukan hal yang sama padanya. Kedua mataku terpejam, meresapi setiap kuluman bibirnya, menikmatinya ditengah keheningan dapur rumahku yang sederhana.

Sambil terus berciuman, satu tangannya mulai merayap perlahan, mengusap pahaku, dan terus menjalar hingga ke bagian pangkal.

Secara reflek, kubuka kedua pahaku dan membiarkannya menyentuhku, menyentuh kemaluanku yang perlahan mulai basah akibat perbincangan tentang seks bersama Nina.

“Nanti dilihat Nina..” gumanku lirih saat terus mengusap permukaan celana dalam yang menutupi kemaluanku.

Pram mengabaikan bisikannku dan terus mengerjai tubuhku. Kecupan-kecupan panas dan liar segera menghujani sekujur leherku. Aku yakin, lelakiku, Pram, sedang birahi, sama sepertiku.

Satu tanganku segera menyibak sisi celana dalamku dan menuntun tangannya untuk menyentuh vaginaku. Basah dan licin sangat terasa ketika jemarinya mulai mempermainkan vaginaku melalui celah sempit celana dalamku.

Hampir lima menit lamanya Pram mengerjai tubuhku, membuatku semakin bergairah dan larut dalam lautan birahi. Aku bahkan melupakan kehadiran Nina dirumah, yang sewaktu-waktu bisa saja memergoki permainan panas yang kami lakukan.

Tak seberapa lama kemudian, Pram menyibak ujung baju yang kukenakan hingga kebagian leher dan langsung melahap payudaraku. Putingku yang telah mengeras menjadi bulan-bulanan. Dihisap, dijilat, bahkan sesekali digigitnya lembut hingga aku merinding.

Disaat bersamaan, vaginaku dimanjakannya dengan usapan dan belaian. Clitorisku dipermainkannya dengan ujung jemarinya hingga pinggulku bergerak pelan. Pram membuatku terlena, membakar birahiku dengan sempurna melalui permianannya yang lembut dan pelan.

Ia membuat vaginaku semakin basah dan becek, bahkan ketika belum menyetubuhiku. Ditengah kenikmatan permainan itu, tiba-tiba Nina melintas dan dengan cueknya ia melangkah, menuju ke kulkas dibagian sudut dapur.

“Santai aja, terusin aja gapapa kok.” gumannya sambil meraih sebotol air dari dalam kulkas dan meneguknya.

Tentu saja aku dan Pram segera menghentikan permainan kami. Kupeluk erat rubuh lelakiku karena merasa malu terhadap Nina. Entah bagaimana dengan Pram, lelakiku.



♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 6 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd