Part 4
Rindiani
Aku hanya bisa memegang keningku sambil menggeleng pelan setelah melihat tingkahnya. Ia begitu berani menggoda lelakiku dihadapanku. Dan setelah ujung roknya tersingkap hingga nyaris ke pangkal paha, ia pun berdehem demi menarik perhatian Pram yang tengah asik meninabobokkan Nova.
Lagi-lagi, usahanya menemui kegagalan. Pram hanya meliriknya sekilas lantas mendengus kesal. Ia pun segera membawa Nova memasuki kamar tidurku dan membaringkannya diatas ranjang.
“Masih belum yakin kalo kita gak bakal bisa ngalahin Nova?” tanyaku, lalu tertawa pelan.
Sejurus kemudian, Pram pun keluar dari kamar tidurku.
“Eh.. mau kemana?” tanya Nina heran dengan paha yang masih tersingkap.
“Dapur. Masak.” jawabnya singkat sambil terus melangkah kearah dapur.
Aku tertawa pelan sementara Nina membenahi roknya dengan wajah kesal.
“Bener-bener kayak batu. Udah dikasih paha masih cuek aja.” gerutunya.
Aku segera bangkit dari sofa dan meraih tangannya, lalu mengajaknya ke dapur.
“Karena dia sayang dan peduli sama kamu Nin. Kalo dia gak sayang, gak peduli, mungkin dia bakal manfaatin kamu.” kataku sambil melangkah ke dapur.
“Iya juga sih. Bener. Tapi mungkin emang Pram udah jatuh hati sama mbak Rin, jadinya gak pengen perempuan lain lagi.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil terus melangkah disisinya.
“Sayang mau masak apa?” tanyaku saat melihat Pram sedang mempersiapkan bumbu-bumbu masakan di meja dapur.
“Buat sayur bening aja bu, yang mudah aja. Udah keburu laper.”
“Mau dibantuin?” tanya Nina sambil berdiri disamping kanannya, sementara aku di sebelah kirinya.
Pram menatap Nina sekilas, lalu memandangku dan akhirnya menggelengkan kepala.
“Kalian duduk. Lanjutin ngobrolnya.” katanya sambil memegang tangan kami dan menuntun ke meja makan.
Sambil memperhatikan Pram memasak makan malam, aku dan Nina kembali berbincang-bincang santai. Tak ada hal serius dan penting yang menjadi topik bahasan, selain kehidupan kampus dan skripsi yang sedang ia kerjakan.
“Galang, Topan, Deva, gimana kabarnya? Pada sehat kan?” tanya Pram sambil sibuk memasak.
“Pada sehat kok Pram. Deva yang masih rajin ke kampus, ke perpus. Topan sama Galang ya sama aja kayak kamu. Hilang.” jawab Nina.
“Pasti Rita kesepian.” gumanku.
“Iya.. dia ngeluh gitu juga sih. Makanya tiap hari, kalo pulang dari kampus, main dulu ke kostku.”
“Ngomong-ngomong, ayahnya Galang udah sehat apa belum?” tanyaku.
“Beberapa hari lalu, pas ketemu dia aku juga nanya gitu ke Galang. Katanya sih belum ada perubahan.”
Terdengar Pram menghela nafas panjang.
“Semoga bisa lekas sembuh.” gumanku pelan.
Nina mengangguk pelan, mengamini ucapanku.
“Pinter momong anak, bisa masak. Pram emang calon suami idaman banget.” bisiknya kemudian.
“Kenapa gak kamu pacarin dari dulu sih, padahal kan kenalnya udah lama.” kataku.
“Dulu kan aku belum kenal dia lebih jauh kayak sekarang ini. Kalo aku tahu, pasti udah aku kejar.” jawabnya sambil berbisik.
“Lagian, belum tentu juga aku ini tipe cewek yang jadi selera dia.” sambungnya.
Aku kembali menganggukan kepala, setuju dengan ucapannya karena aku tahu, Pram tidak memiliki ketertarikan hati pada Nina. Dalam hal ini, seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, Pram tidak memiliki kriteria yang pasti terhadap wanita yang menjadi pasangannya.
“Mbak juga gak tahu, dia itu suka cewek yang gimana, yang seperti apa.” balasku.
Nina tertawa, lantas mencubit pinggangku.
“Yang jelas, seperti mbak Rin dong, makanya kalian bisa akur, bisa lengket kayak perangko.”
Aku tak menapik hal tersebut karena itulah realita yang tengah kujalani. Selama ini, kedekatan kami mengalir begitu saja, berjalan layaknya pasangan yang telah saling mengenal dan terikat dalam waktu lama, padahal, usia kemesraan kami masih seumur jagung.
“Saatnya makan.” kata Pram sambil meletakkan semangkuk besar sayur bening buatannya.
Tak lupa pula ia menyajikan tahu dan tempe goreng, ikan asin yang menjadi makanan kesukaannya, dan sambel.
“Thank you chef Pram.” guman Nina, lalu tersenyum.
“Yuk, makan.. lapeerrr…” sambungnya tanpa malu-malu, sambil mulai menyendok nasi dan lauk pauknya.
Pram tertawa pelan sambil memandangi salah satu teman yang paling dekat dengannya itu.
Melihat tingkahnya, melihat kesabaran Pram dalam menghadapinya mbuatku semakin kagum pada lelakiku. Ia tak membutuhkan alasan sekecil apapun untuk melakukan kebaikan, karena aku tahu, Pram melakukannya dengan penuh keikhlasan.
Ia adalah sosok yang menyenangkan, sosok dewasa yang mampu menghadapi pola tingkah pribadi lain. Rita, Nina, Nova, dan aku, telah merasakan hal itu. Tanpa ia sadari, ia membuat kami merasa nyaman dan jatuh hati padanya.
Hanya butuh waktu beberapa saat, Nina pun segera mengambil nasi, lagi.
“Yuk nambah, jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri.” celetuknya sambil kembali menyendok sayur.
Aku dan Pram pun tertawa geli melihat tingkahnya yang seakan tidak malu terhadap kami.
“Awas ndut kalo kebanyakan makan.” kataku.
“Bodo.. nanti aja dipikirin. Yang penting perut kenyang.” jawabnya cuek.
Menu sederhana buatan lelakiku itu terasa lebih nikmat karena kami menyantapnya bersama Nina, apalagi diselingi obrolan ringan, dan canda tawa.
Hampir satu jam lamanya kami menghabiskan waktu di meja makan, bahkan setelah hidangan yang tersaji ludes.
“Gantian. Sekarang kamu istirahat, biar aku yang cuci piring.” kata Nina sesaat setelah kami tak memiliki bahan obrolan.
Pram hanya tersenyum seraya mengacungkan jempolnya.
“Sayang mandi dulu. Biar ibu sama Nina yang ngurusin dapur.” kataku.
“Apa mau dimandiin?” tanya Nina sambil mengedipkan sebelah mata.
“Heeehhhh..??” seruku kaget.
Nina tertawa kencang, sementara lelakiku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Entah hanya sekedar canda atau sebuah tawaran yang serius, namun lagi-lagi ia menunjukkan sikap vulgar dihadapanku.
“Santai aja kaliiiiii mbak, aku kan cuman nanya doang..” gerutunya sambil mulai mengumpulkan piring-piring diatas meja makan.
Mendengar jawabannya, aku segera mencubit pinggangnya hingga ia menjerit dan berusaha menghindar dariku.
Setelah mampu melepaskan diri dariku, ia segera beralih dan berlindung dibelakang Pram. Seperti biasanya, Pram, lelakiku, hanya bisa menghela nafas sambil menggelengkan kepala.
“Pram, pacarmu cemburu..” katanya sambil berlindung dibalik tubuh lelakiku yang berdiri ditepian meja makan.
“Buruan cuci piringnya, ntar kemalaman pulangnya.” sahut Pram.
“Enggak ah, aku gak mau pulang.” jawab Nina singkat.
Pram hanya bisa menggelengkan kepala sambil menatapku.
“Ya udah, gapapa. Besok pulangnya bareng mbak aja. Sekalian mbak berangkat kerja.” kataku.
“Emang bawa baju ganti?” tanya Pram sambil menoleh ke samping, karena Nina masih berdiri dibelakang tubuhnya.
“Enggak.”
“Tapi kan bisa pakai baju mbak Rin.”sambungnya.
“Atau…”
“Atau apa?” tanyaku penasaran.
“Atau…. Bobonya telanjang aja..” jawabnya enteng lalu tertawa pelan.
Pram menepuknya keningnya sementara aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak.
“Mulai kumat.” guman Pram pelan sambil melangkah meninggalkan dapur.
Tingkahnya semakin membuatku gemas dan geregetan, apalagi ia dengan sengaja menggoda lelakiku, berkali-kali walau dihadapanku.
“Nina Gila.” gumanku pelan sambil menyabuni piring dan gelas yang telah kami gunakan.
“Kok gila?” tanyanya heran.
“kamu itu lhooo. Nekat banget godain Pram kayak gitu. Kalo ntar kejadian beneran, kamu udah siap? Mau..?” tanyaku heran.
Sejenak, Nina tertawa pelan sambil membilas piring dan gelas yang telah kucuci dengan sabun.
“Kecil kemungkinan Pram tergoda terhadap perempuan lain. Dia punya kesempatan untuk mendapatkannya, tapi tak pernah memanfaatkannya.”
“Udah hampir empat tahun aku kenal Pram, dan belum pernah sekalipun dia menyentuh tubuhku. Padahal, aku sih gak bakal nolak kalo dia mau.” sambungnya.
Sebuah pengakuan yang janggal bagiku, karena Nina mengungkapkannya tanpa merasa malu maupun sungkan. Aku sangat yakin, kedekatannya dengan lelakiku lebih dalam daripada yang kuketahui.
“Emang Pram gak pernah negur kamu, atau nasihatin kamu, atau ngingetin?” tanyaku.
“Sering sih mbak, tapi aku sih masa bodo aja. Lagian aku kan kayak gitu cuman sama Pram aja. Maksudnya itu deket dan bebas gitu.”
“Kok bisa sih? Padahal Pram kan kayak cowok cuek gitu, kaku kalo sama cewek. Kok kamu betah berteman sama dia. Malah sampe akrab gitu.”
Sejenak, Nina memandangku sambil tersenyum.
“Yuk, kita lanjutin ngobrol diruang tengah.” Katanya sambil mengeringkan tangan setelah selesai membereskan beragam perabot dapur yang telah kami gunakan.
Setelah menghidupkan televisi, kami melanjutkan obrolan, sementara Pram tampak baru saja keluar dari kamar mandi dalam kamar tidurku.
“Bukan apa-apa sih mbak, aku seneng aja deket sama dia, soalnya dia kan gak banyak ngomong. Dia juga gak nakal, gak manfaatin kedekatan kami.”
“Kalian gak pernah bertengkar?” tanyaku lagi.
Nina menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gimana mau tengkar? Dia kan pendiam. Kalo aku nginep di kontrakan dia, paling-paling ngobrolnya cuman bentar doang, abis itu ya kita sibuk sendiri-sendiri.”
“Emang kamu sering nginep?”
“Ya gak sering sih mbak, beberapa kali aja, pas malam minggu.”
“Tidurnya bareng?”
“Enggak. Pram tidur di halaman rumah” jawabnya.
“Haaahhhh?? Dihalaman rumah???” tanyaku kaget.
Nina tertawa sambil memandang lelakiku yang akhirnya keluar dari kamar tidurku. Wajahnya tampak segar setelah mandi.
“Ya enggak dong mbak. Kita tidur bareng itu kalo gak salah cuman tiga kali deh.”
“Empat.” jawab Pram singkat sambil duduk disampingku.”
“Ya kita cuman tidur doang, sampe pagi.”
“Enggak.” protes Pram.
“Kamu tidurnya sampe siang. Gak pernah bangun pagi.” sambungnya.
“idiihhh.. kalo hari minggu ngapain bangun pagi? Kan hari libur.” bantah Nina.
Sedikit banyak, aku bisa menerima hal ini karena peristiwa ini terjadi jauh sebelum aku mengenal mereka. Kedekatan dan kepercayaan Nina sangatlah tinggi terhadap Pram sehingga ia berani menginap bersamanya.
“Kok bisa sih, kamu nginep sama temen cowokmu? Emang gak takut diperkosa?”
Mendengar pertanyaanku, Nina kembali tersenyum padaku dan lelakiku.
“Aku berani nginep dirumah Pram karena aku udah kenal dia. Lagian, aku sih yakin, dia gak bakal kayak gitu.”
“Tapi Pram kan manusia biasa juga. Punya nafsu juga. Bisa aja dia tergoda. Iya kan?” tanyaku.
“Aku juga ngerti sih mbak. Kalo emang kayak gitu, aku sih fine-fine aja. Lagian aku juga udah gak perawan. Gak masalah sih.” jawabnya enteng.
Pram menggelengkan kepala sambil tertawa pelan setelah mendengarkan pengakuan sahabatnya tersebut.
“Berarti kamu percaya sama Pram dong?”
Lagi-lagi Nina tersenyum, lalu meraih jemari lelakiku dan menggengamnya.
“Sampai detik ini, aku selalu percaya bahwa Pram gak akan menyakiti aku, gak akan memanfaatkan aku. Aku yakin akan hal itu.” jawabnya.
“Cuman, aku aja yang kadang gak tau diri. Kadang kelewat batas, terlalu bebas kalo sama Pram.” sambungnya sambil melepaskan genggaman tangannya.
“Selain Pram, pernah nginep sama siapa lagi?” tanyaku penasaran.
Nina menggelengkan kepala.
“Cuman sama Pram aja. Gak ada yang lain.”
“Galang? Deva? Topan?” tanyaku.
“Gak pernah mbak. Gak berani aja sih. Walo kita akrab, aku sih gak yakin aja.”
“Kok bisa ya??” gumanku pelan.
“Waktu itu aku lagi bete aja. Trus main ke mall. Disana juga bosen, kayak orang hilang aja keliling mall gak jelas. Akhirnya iseng aja main ke rumah kontrakan Pram.”
“Bukan iseng, tapi emang udah niat mau main, mau nginep.” protes lelakiku.
Nina tertawa sambil meraih bantalan kecil disampingnya, lalu memeluknya.
“Enggak. Aku gak kepikiran mau nginep disana lho Pram. Beneran.”
“Tadinya iseng aja mau main kesana, trus mau nginep dimana gitu, soalnya bosen di kost.”
“Hotel?” tanyaku.
Nina mengangguk pelan.
“Setelah main ke rumah Pram, malah jadi males mau kemana-mana lagi. Akhirnya ya aku nginep aja disana.”
“Trus, Pram kamu suruh tidur di sofa?” tanyaku.
“Enggak. Tadinya aku yang mau tidur di sofa, tapi dia gak mau. Katanya biar dia aja yang di sofa. Aku sih ngikut aja.” jawabnya enteng.
Ptam tertawa, lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur.
“Kemana?” tanyaku.
“Dapur, buat kopi bu.”
“Aku teh aja Pram.” sahut Nina.
“Lanjutin ceritanya.” kataku lagi karena penasaran.
“Kita sempet ngobrol aja sih sambil tiduran dikamarnya, sampe akhirnya aku ketiduran.” sambung Nina.
Sejenak, Nina menghela nafas. Tatapan matanya menerawang jauh, seakan menjelajahi ruang waktu, kembali ke masa lalu.
“Paginya aku bangun dan ngelihat Pram tidur di sofa.”
“Itu pengalaman pertamaku sama Pram. Nginep dirumahnya. Dan sejak saat itu aku makin yakin kalo Pram itu bukan laki-laki sembarangan. Dia gak seperti laki-laki pada umumnya.”
“Kenapa gak kamu kejar? Dijadiin pacar gitu..”
Nina tertawa, dan bersamaan dengan hal itu, Pram pun keluar dari dapur dengan sebuah nampan berisi tiga gelas minuman.
Sesaat setelah meletakkan nampan itu diatas meja, ia kembali duduk disampingku.
“Dulu aku kan masih gila mbak, masih pingin punya cowok yang keren, gaul, yang asik gitu. Sedangkan Pram kan kayak culun gitu, kuper, pendiam. Pokoknya gak asik kalo dijadiin pacar.”
Pram, lelakiku tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.
“Kalo sekarang?? Masih cari yang gaul gitu??”
“Enggak. Udah bosen. Pengen cari yang serius aja mbak.”
“Nah, gitu dong. Jangan main-main lagi, jangan mikir yang gaul, yang kece. Yang penting bisa buat nyaman dan serius dalam komitmen hubungan.” kataku.
Nina mengangguk, begitu juga dengan Pram.
“Mbak, ada baju ganti gak? Aku males pulang. Mau nginep disini aja.”
“Ada, tapi kayaknya ukurannya gak pas sama badan kamu. Mbak kan gendut.” jawabku.
Kami segeta beranjak ke kamar tidur, sementara Pram menikmati segelas kopinya sambil menyaksikan acara di televisi.
Saat melihat pakaian-pakaianku yang tersusun rapi dalam lemari, Nina tampak bingung memilih pakaian yang hendak dikenakannya.
“Pakai ini aja deh mbak.” katanya sambil meraih sehelai tanktop.
Aku mengangguk setuju dan segera memilih pakaian lain untuk kugunakan. Hanya dalam sekejab, Nina telah melucuti jilbab dan pakaiannya. Yang tersisa hanyalah bra dan sehelai short pant, menutupi payudara dan pangkal pahanya.
“Itu cuman pakai short pant aja? Gak mau pakai celana pendek??” tanyaku setelah melihat pangkal pahanya.
Sekilas, Nina memandangi selangkangannya kemudian mengangguk.
“Ini aja deh, lagian kan cuman dirumah aja.”
“Tapi kan ada Pram.” bantahku.
Nina tertawa pelan, lantas mengenakan tanktop berwarna hitam, yang kontras dengan warna kulitnya sehingga membuatnya tampak lebih putih dan menarik.
“Kayaknya bukan Pram yang tergoda, tapi mbak Rin yang tergoda.” gumannya cuek sambil bercermin di meja riasku.
“Mbak masih suka kontol.” bisikku pelan.
“Yang benerrrr?” tanyanya sambil membalikkan tubuh dan langsung meraba pahaku hingga ke bagian pangkal.
“Eehhh..! Kok nakal?”
Nina hanya tersenyum dan mengabaikan protesku. Tangannya segera mengusap permukaan celana dalam yang menutupi kemaluanku.
Aku segera menghalau jemarinya dan membalas dengan meremas payudaranya, lantas berlari keluar kamar agar terhindar dari kenakalannya hingga Pram terheran-heran melihat kami berlarian menuju ke arahnya.
Di ruang tengah, Nina pun kembali mengerjaiku. Ia berusaha membalas dengan mencubitku, namun segera dicegah oleh Pram.
“Gak cuman Nova yang suka main-main, kalian juga sama aja.” gumannya sambil berpindah posisi dan duduk di ujung sofa, agar terhindar dari keusilan kami.
Aku dan Nina tertawa, lantas segera bergeser, mendekatinya.
“Temenmu ini nakalnya kelewat level. Nenen ibu diremas sama dia.”
“Mbak yang duluan kok. Aku kan cuman ngebalas aja.” bantah Nina.
“Sama-sama punya nenen kok masih saling pegang yang lain.” gerutu lelakiku.
“Ya udah, kalo gitu kamu aja yang pegang nenenku. Gapapa kok” balas Nina sambil merangkul pinggang Pram.
“Eehhh..??!!” seru Pram karena terkejut dengan tingkah sahabatnya itu.
Seperti biasanya, lelakiku berusaha menghindar dan melepaskan tangan Nina, namun usahanya sia-sia belaka karena Nina mendekapnya dengan sangat erat, payudaranya pun menempel erat di lengan lelakiku.
Aku tertawa sambil membekap mulutku sendiri agar suara tawaku tak menganggu tidur putri kecilku.
Pram melayangkan pandangannya padaku, tatapannya seakan melukiskan kegusaran dalam hati akibat tingkah Nina.
Aku hanya bisa mengangguk pelan memberi sinyal bahwa aku baik-baik saja, karrna kami dalam situasi bercanda ria. Tak ada rasa cemburu maupun marah dalam diriku.
Akhirnya aku beralih posisi, duduk disamping Pram, sementara Nina berada disisi lain dengan kedua tangan masih melingkar di pinggang lelakiku.
“Temenmu yang satu ini memang agak aneh..” gumanku sambil memandangi Nina yang asik merebahkan kepala dipundak Pram.
“Apanya yang aneh?” tanyanya cuek.
“Pram kan punya mbak, kenapa kamu yang peluk?”
Nina menatapku sekilas, lalu melepaskan pelukannya. Pram, lelakiku akhirnya bernafas lega.
“Mbak Rin cemburu?? Ya udah, sini, aku peluk.” balasnya.
“…..”
“Maksud mbak, kamu itu lhoooo.. kok gak sungkan, gak takut gangguin Pram, padahal kan ada mbak disini.”
“Biasa aja sih. Kalo sama yang lain ya pasti gak kayak gini. Lagian kan ngelakuinnya didepan mbak. Kalo dibelakang ya berarti selingkuh dong.” jawabnya enteng.
Lagi-lagi, jawaban diplomatis dari Nina membuatku terdiam. Aku sadar, kedekatan yang telah lama terjalin diantara mereka telah menghapus sekat-sekat gender, membiasakan hal yang yang sebelumnya dianggap tabu menjadi suatu pemandangan yang lazim.
Karakter berbanding terbaik yang diperankan oleh Nina, ditambah ketenangan dan kesabaran lelakiku membuat mereka menjadi sepasang sahabat yang klop.
Nina tak segan melakukannya, memamerkan lekuk indah tubuhnya dihadapan Pram, bahkan menggodanya.
“Kalo kamu punya cowok, pasti dia bakal cemburu sama Pram.”
Pram mengangguk setuju dan memandangi Nina.
“Bodo amat. Kalo mau jadi cowokku, harus bisa menerima teman-temanku juga dong. Apalagi kita temenan udah lama banget.”
Sekali lagi, Pram mengangguk setuju, begitu juga denganku. Jalinan persahabatan lebih penting daripada sekedar menjalani jalinan asmara yang mungkin belum bisa dikatakan kearah yang lebih serius.
“Pacar emang penting, tapi temen, sahabat, juga sama pentingnya.” sambung Nina.
“Iyaaaa… emang penting Nin, tapi gak pakai peluk-peluk manja kayak gini juga.” protes Pram.
Nina tertawa pelan sambil menatapku, lantas memintaku untuk kembali duduk disampingnya. “Aku sih biasa aja Pram. Jujur aja ya, aku meluk kamu itu karena nyaman, seneng aja, soalnya kamu gak mikir yang macem-macem. Lagian juga kan pas ada mbak Rin disini, jadi aku biasa aja.”
“Kalo mbak Rin cemburu, gimana?” tanya Pram.
Nina kembali menatapku, sementara aku sedikit penasaran menanti jawaban atas pertanyaan lelakiku.
“Mbak Rin cemburu?” tanya Nina padaku.
Aku menggelengkan kepala, walaupun didalam hatiku ada sedikit rasa cemburu atas sikapnya terhadap Pram.
“Aku yakin, mbak Rin pasti cemburu, walo dikit. Tapi tenang aja mbak, aku tahu kok, Pram gak akan berpaling dari mbak Rin hanya karena aku sering godain dia.” jawab Nina.
“Tapi, bisa aja Pram khilaf, tergoda sama kamu..” kataku.
“Mungkin.. bisa jadi. Tapi aku yakin, bukan dalam hal rasa hati, tapi sekedar nafsu aja.”
“Makanya jangan sering-sering pakai pakaian kayak gini.” guman Pram pelan sambil menatap kearah layar televisi.”
Nina kembali menatap tubuhnya, mulai dari ujung kaki hingga dada.
“Biasa aja. Kita kan lagi dirumah, dan lagi santai sebelum tidur. Jadi wajar dong kalo pakai pakaian kayak gini.”
“Tapi Pram kan ada disini, dia bisa tergoda lihat kamu pakai pakaian kayak gini.” protesku.
“Gaakkkk mungkin. Mbak Rin jauh lebih seksi.”
“Tuh… nenennya aja jauh lebih gede.” sambungnya sambil kembali meremas payudaraku.
Aku terkejut dan terlambat mencegah kecepatan gerakan tangannya sehingga ia berhasil menyentuh payudaraku.
Tentu saja aku segera menghalau tangannya dan segera membalas perbuatannya.
“Kumat lagi..” guman Pram pelan setelah melihat tingkah kami.
“Kalo pun Pram tergoda, berarti itu keberuntunganku dong, bisa main sama Pram. Daripada main sama cowok lain, mending sama temen sendiri yang udah kenal.”
Pram menepuk pelan keningnya setelah mendengar apa yang Nina ucapkan.
“Emang kamu gak malu?” tanya Pram.
“Malu..?? Sama kamu? Sama mbak Rin?” tanyanya sambil menatap kami satu persatu, kemudian menggelengkan krpala.
“Aku udah nyaman berteman sama kalian. Asik, enak, dan buat aku rasanya cocok aja sama kalian. Jadi ya aku berani terbuka, berani jadi aku apa adanya dihadapan kalian.”
Apa yang ia katakan sejalan dengan apa yang kulihat selama berteman dan dekat dengannya. Rasa canggung dan sungkan telah lenyap seiring waktu berjalan. Dan sejauh ini, Pram pun memilih untuk menjadi sosok ‘penetral’ atau bisa dikatakan sebagai sosok yang berusaha menjaga perjalanan hidup Nina dan persahabatan mereka.
Aku yakin, baik Nina maupun Pram, telah saling memahami satu sama lain sehingga ikatan pertemanan mereka tetap berjalan baik, walaupun disisi lain, aku tahu, Pram bersusah payah untuk menahan gejolak birahinya akibat tingkah Nina yang selalu menggodanya.
♡♡♡bersambung♡♡♡
Part 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih