Part 4
Rindiani
Aku mengangguk, mengikuti langkahnya menuju ke parkiran dimana ia memarkirkan mobilnya.
“Belum ada kabar panggilan kerjaan sama sekali ya mbak Rin?” tanyanya saat kami mulai meninggalkan kampus.
“Belum mas. Emang sekarang sulit banget nyari kerjaan.”
“Yang penting sabar aja mbak. Pasti nanti dapet kok.”
Aku mengangguk, dan mengamini perkataannya.
“Ngomong-ngomong, kira-kira Pram marah gak kalo tau saya yang anterin mbak pulang?”
“Ya enggaklah mas. Pram bukan orang seperti itu.”
“Syukurlah.”
“Saya sudah memperhatikannya sejak dia masuk di kampus ini. Bukan apa-apa sih mbak, tapi dia memiliki kepribadian yang unik. Pendiam, kutu buku. Saya sering melihatnya di perpustakaan. Dan sampai sekarang pun dia masih melakukannya.” sambungnya.
“Dia memang pendiam kok mas, kelihatan cuek dan penyendiri, tapi baik kok.”
Sandi mengangguk, lalu melirik jam yang berada ditangannya.
“Mas ada acara?” tanyaku.
“Gak ada kok mbak, cuman ada janji aja sama beberapa teman. Janjian di rumah aja kok.”
“Wah, saya jadi ngerepotin mas Sandi.”
“Enggak kok mbak. Mereka teman-teman yang pengertian kok. Oh iya, kita mampir dirumah saya sebentar ya mbak, boleh?” tanyanya.
“Boleh mas. Sekalian mas ketemuan dulu sama temen-temennya, siapa tau mereka udah nungguin mas.”
Sandi hanya tersenyum, lalu memacu mobilnya dengan sedikit kencang.
Puluhan menit berikutnya, kami tiba di kediamanya, sebuah rumah minimalis dua lantai yang dikelilingi pagar tembok seringgi hampir tiga meter.
Rumah dengan cat warna putih itu tampak megah dan mewah, dengan pintu gerbang yang selalu tertutup rapat. Dan ketika kami sampai disana, seorang lelaki paruh baya dengan sigap membuka herbang itu untuk kami.
“Siang mas Sandi. Siang mbak.” sapanya dengan ramah.
“Siang pak.” jawab Sandi dengan takzim.
Aku hanya tersenyum sambil sedikit menundukkan wajah padanya sebagai tanda hormatku padanya.
“Teman-teman kecil udah pada datang?” tanya Sandi setelah keluar dari mobil.
“Belum Pak, mungkin sebentar lagi. Biasanya mereka tepat waktu kok.”
Lelaki paruh baya itu meninggalkan kami sejenak, menutup kembali pintu gerbang dan menyisakan sedikit bagiannya terbuka sebagai akses keluar masuk.
“Mari mbak, masuk sebentar. Saya taruh tas ini dulu.” ajak sandi.
Aku mengikuti langkahnya, mengekor dibelakang, memasuki rumahnya yang megah. Seorang perempuan paruh baya pun keluar dari arah dalam dan menayapa kami. Sepertinya, kedua orang tersebut merupakan pembantu di rumah ini.
“Wah, ada tamu..” kata si ibu.
“Iya mbok, tolong dibuatkan minum ya..”
Wanita itu mengangguk.
“Mbak mau minum apa? Teh, kopi, es sirup?”
“Kopi boleh bu..”
Si ibu kembali mengangguk.
“Terima kasih.” Kataku lagi sebelum si ibu melangkah pergi.
“Mbak Rindi, saya tinggal sebentar ya.” kata Sandi.
“Iya mas, silahkan.”
Tak berapa lama berselang, si ibu paruh baya kembali, membawakan segelas kopi hitam untukku. Segelas teh panas dan dua gelas air putih.
“Mari mbak, silahkan diminum.” kata si ibu dengan takzim.
Aku mengangguk pelan, dan si ibu kembali masuk kearah dalam rumah.
Beberapa saat berlalu, terdengar suara keramaian di depan rumah, sepertinya suara anak-anak kecil yang tengah memanggil Sandi.
Sandi bergegas keluar, dan menemui mereka. Serombongan anak-anak kecil, mungkin berusia antara tujuh dan delapan tahun tengah menunggu didepan teras.
“Mas, kita boleh renang gak?” tanya salah seorang diantara mereka.
“Boleh.. tapi ingat, setelah renang, harus belajar.”
“Siaaapppp.” jawab mereka serentak.
“Ya sudah, lewat pintu samping ya.” kata Sandi.
Aku mendengar semuanya karena sedang berada di ruang tamu, sambil memandangi beragam bingkai berisi foto-foto Sandi saat masih remaja.
Beberapa foto mungkin saat ia masih kuliah, dan saat wisuda.
“Mari mbak, sambil diminum.” kata Sandi, lalu duduk di sofa di seberangku.
“Iya mas.”
“Mereka anak-anak darimana mas?” tanyaku.
“Dari sekitar sini mbak. Setiap hari sabtu saya membebaskan mereka untuk berenang di kolam renang saya, dibelakang rumah. Setelah itu saya membimbing mereka untuk belajar, seperti les private.”
“Gratis?” tanyaku lagi.
Sandi mengangguk, lalu menyeruput teh di hadapannya.
“Tadi yang datang baru sembilan anak, masih kurang enam lagi.”
“Mereka anak-anak putus sekolah?” tanyaku lagi, lalu menyeruput kopi.
Sandi menggelengkan kepala.
“Mereka masih sekolah mbak, cuman saya kasih pelajaran tambahan, biar makin terasah pikirannya.”
Aku mengangguk pelan, dan dalam hati mengagumi sikap baiknya. Sebagai seorang yang begelut dalan dunia pendidikan, Sandi tidak pelit berbagi pengetahuan, berbagi ilmu yang miliki terhadap orang lain.
“Daripada kita memberi mereka uang, atau kekayaan berupa benda, lebih baik kita memberi mereka pendidikan, memberi ilmu, sebagai modal untuk kehidupan mereka nantinya.”
“Iya benar banget mas, saya setuju. Ilmu gak akan habis dimakan rayap. Sementara benda-benda akan habis, mungkin hanya dalam waktu singkat.”
“Yaaa.. itu maksud saya mbak. Mereka anak-anak kurang mampu disekitar sini, dan saya ingin mereka mereka menjalani masa depan dengan modal ilmu pengetahuan, agar mampu bersaing dengan orang lain.”
“Kemiskinan bukan takdir, tapi tergantung bagaimana kita mengatasinya.” timpalku.
Sandi mengangguk, lalu kembali menyeruput minumanya.
“Yuk, kita lihat mereka.. kalo gak diawasi, kadang mereka bertengkar.” kata Sandi.
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Kami melewati ruang tengah yang berisi perabot-perabot mewah. Di dinding, berbagai foto Sandi terpajang disana. Dibelakang ruang tengah ada sebuah pintu, dan ketika ia membukanya, pemandangan asri nan segar terpampang di hadapan kami. Sebuah kolam renang ukiran kecil dikelilingi oleh detetan tanam-tanaman hias, serta beberapa kursi tempat bersantai.
Anak-anak yang merupakan ‘teman’ Sandi tengah asik berenang. Ada pula yang sedang bersantai, sambil menikmati minuman ringan yang tersedia disitu.
“Teman-teman, ini salah satu teman mas. Kenalin, Namanya mbak Rindi.” Kata Sandi dengan suara sedikit keras.
“Mbak Rindi juga guru?” tanya seorang anak perempuan yang berada di tepian kolam renang.”
“Bukan dek, mbak bukan guru.”
“Oooo kirain guru kayak mas Sandi.”
Anak-anak itu nampak senang dan sangat menikmati waktunya. Demikian juga dengan Sandi, wajahnya nampak ceria melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bergembira di hadapannya.
Aku sangat jarang menemukan kebaikan hati seperti yang Sandi lakukan, terutama dari mereka yang telah mapan kehidupan ekonominya.
Sandi melakukannya dengan ringan hati, bahkan membuka pintu rumahnya untuk anak-anak ini. Tindakannya membuatku kagum.
“Yuk, kita masuk mbak, habisin minumnya, trus saya anter pulang.”
Aku mengangguk, lalu kembali mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Saat melewati ruang tengah, kami berpapasan dengan si mbok, sedang menyapu lantai ruangan tersebut.
“Mbok, nanti kalo mereka habis renang, suruh makan duluan ya mbok. Setelah itu awasi mereka belajar, sampai saya kembali. Saya mau keluar sebentar, mengantarkan mbak ini pulang.” kata Sandi.
“Iya mas..” kata si mbok dengan sopan.
Kami melanjutkan obrolan di ruang tamu, dan hanya beberapa saat kemudian, segerombolan anak-anak yang lain pun berdatangan, menyusul teman-teman mereka yang terlebih dahulu memceburkan diri di kolam renang.
“Dulu, saya suka berenang. Waktu itu saya masih kecil, dan kehidupan keluarga saya bisa dibilang miskin, jadi kalo mau berenang, saya harus ngamen dulu, cari uang buat bayar karcis masuk kolam renang.”
“Keluarga mas petani?” tanyaku.
“Bukan mbak. Bapak saya buruh bangunan, ibu saya pembantu rumah tangga.”
“Sejak dari bangku SD, saya sudah bertekad untuk merubah keadaan keluarga saya. Saya beruntung, karena bisa mengenyam pendidikan gratis berkat adanya beasiswa dari pemerintah.
“Dan sekarang, semua usaha mas itu terbayar. Mas Sandi sudah bisa merubah keadaan keluarga mas.” gumanku.
“Kira-kira begitu mbak. Saya percaya, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.”
“Yang penting sabar, tekun, dan berdoa. Itu kuncinya.”
“Tapi masih kurang satu hal lho mas…” gumanku.
Sandi menatapku dengan sedikit keheranan, ekspersi wajahnya seakan bertanya-tanya.
“Kurang pendamping hidup. Supaya bisa menemani perjalanan hidup, bisa berbagi.”
Sandi tersenyum, lalu menyeruput minumannya. Begitu juga denganku.
“Soal itu, biar waktu yang menjawab. Bagi saya, pasangan hati itu gak bisa asal pilih, apalagi di usia seperti kita sekarang ini mbak.”
Aku mengangguk, menyetujui ucapannya.
“Saya anter pulang sekarang mbak?” tanyanya.
“Iya, boleh mas.”
“Sebentar ya mbak, saya pamit sama si mbok dan teman-teman kecil saya.”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Awalnya, aku merasa Sandi adalah sosok yang kurang ramah, aku mengira ia adalah sosok jauh dari lingkungan pergaulan seperti yang kutemui dalam kehidupanku sehari-hari. Dan semua pemikiran itu salah.
Semua prasangka itu salah, setelah mengenalnya sedikit lebih jauh. Ia membuatku kagum dengan dedikasinya, dengan jiwa sosialnya yang tinggi.
Ditengah hidup yang mapan, ia masih sempat meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dilingkungan sekitar rumahnya dengan memberi les private gratis. Kepeduliannya tentang masa depan ‘teman-teman kecil’nya sangat mulia. Ia ingin mengubah kehidupan masa depan mereka dengan bekal pendidikan, ilmu pengetahuan.
“Kenapa mas gak buka sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu?” tanyaku saat dalam perjalanan.
“Saya sempat berpikiran seperti itu mbak, tapi untuk saat ini, saya belum bisa mewujudkannya. Saya masih aktif mengajar di kampus. Sebagian besar waktu saya tersita disana.”
“Kalo mbak Rin gimana? Apa cita-citanya waktu kecil?”
Aku tertawa kecil, mencoba mengingat beberapa cita-cita yang kuimpikan sejak masih SD.
“Waktu SD, saya bercita-cita jadi pilot mas.” jawabku malu-malu.
Sandi tersenyum sambil melirik ke arahku.
“Sama… saya juga begitu.” timpalnya lalu tertawa.
“Tapi berubah lagi. Waktu SMP pengen jadi wartawan. Soalnya bisa mengunjungi berbagai daerah di negri ini.”
Sandi mengangguk, sambil mengawasi jalan didepan kami.
“Nah, waktu SMA, berubah lagi, pengen jadi dokter.”
“Tapi ternyata otak saya kurang mampu, akhirnya malah masuk di fakultas ekonomi.”
“Semua itu baik kok mbak, bagus. Semua profesi itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua itu mulia kok.”
“Maksudnya gimana mas?” tanyaku.
“Sarjana ekonomi itu penting juga kok. Apalagi untuk cewek, bisa lebih kritis dan pandai dalam mengolah dan mengatur keuangan keluarga. Iya kan?”
Aku mengangguk, menyetujui pendapatnya.
“Perusahan berskala kecil, sampai berlabel internasional, semuanya membutuhkan sarjana ekonomi yang kompeten, agar roda perusahaan bisa berjalan dan bersaing. Saya pribadi lebih senang dan lebih percaya, jika tata kelola keuangan dan analisis ekonomi perusahaan itu dipegang oleh perempuan, karena insting perempuan, ketelitian perempuan dalam mengolah data dan keuangan, biasanya jauh lebih baik daripada laki-laki.”
“Gak juga sih mas, semua tergantung dari kemampuan otak.” bantahku.
“Iya, benar begitu, tapi ingat satu hal mbak, sebagai contoh kecil saja. Dalam keluarga, istri adalah pengendali arus keuangan. Habitatnya perempuan memang disitu, dan lebih cocok disitu.”
Sebuah pemikiran yang matang dan sangat universal, karena aku telah menjalaninya. Ibu rumah tangga merupakan seorang bendahara yang handal, seorang akuntan hebat yang harus mampu mengelola keuangan keluarga. Aku pernah mengalami dan merasakannya.
“Nanti malam mbak Rindi ada acara?” tanya Sandi saat kami telah tiba didepan rumahku.
“Iya mas, ada. Mau keluar sama Pram. Mau belanja.” kataku.
“Wah, selamat bermalam minggu ya mbak.”
Aku tersenyum sambil menunduk malu.
“Mampir dulu mas.”
“Makasih mbak, saya harus langsung pulang, soalnya ada teman-teman dirumah.”
“Oh iya ya.. ya udah, makasih ya mas. Hati-hati dijalan.” kataku seraya keluar dari mobilnya.
Setelah kepergian Sandi, aku memasuki halaman rumah dan mendapati mobilku terparkir disana. Sepeda motor Pram ada disampingnya.
Aku sengaja melewati samping rumah, dan mendapati Pram tengah mengerjakan sesuatu diatas meja belajarnya, di dalam kamar kost.
“Selamat siang sayang..” sapaku.
Pram nampak terkejut melihat kehadiranku.
“Kok ibu udah pulang? Kok gak kabarin saya? Ibu pulang naik apa?” tanyanya bertubi-tubi.
Aku memasuki kamarnya, dan berdiri disampingnya. Kukecup pipinya lalu memeluk tubuhnya dengan sangat erat.
“Ibu pulang dianter mas Sandi. Kebetulan tadi dia makan siang diwarung, waktu warungnya mau tutup.”
“Kok ibu gak ngabarin saya?” tanyanya sambil memutar tubuh, menghadap ke arahku.
“Ibu kira Pram lagi sama mbak Aya. Ibu gak enak mau ganggu waktu kalian, apalagi nanti malam mbak Aya udah harus berangkat.”
Pram mengangguk, lalu meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut.
“Tadi saya ke hotel bu. Tapi mbak Aya lagi ada janjian ketemuan sama teman-temannya di lobi hotel. Mereka ngobrol disana. Saya disuruh nunggu dikamar.”
“Saya gak mau, jadi ya disuruh pulang aja. Katanya nanti jam empat aja baru jemput dia, anterin ke bandara.”
“Trus, Pram udah makan siang?”
“Udah bu, tadi buat mi di rumah ibu.”
“Kok makan mie aja?” tanyaku.
“Gapapa bu, mau masak tapi males. Mau beli makan juga males keluar. Jadi ya buat mie aja”
“Mau ibu masakin?”
Pram menggelengkan kepala.
Kuletakkan tas cangklongku diatas kasur, lalu menutup pintu kamarnya.
“Pram lagi belajar?”
“Enggak bu, cuman baca-baca aja, sekalian nyiapin bahan buat skripsi."
Aku kembali mendekatinya, mengusap kedua pipinya dengan lembut.
“Pacar ibu rajin.. pinter.” gumanku, lalu mengecup kepalanya.
Pram membalas dengan melingkarkan tangan dipinggangku, mengecup perut, lalu menyandarkan wajah disana.
“Ya udah, sayang lanjutin belajarnya, ibu mau tiduran aja disini, nemenin sayang.”
“Enggak bu, udah cukup belajarnya. Mau istirahat juga sama ibu.”
“Kita istirahat disini, boleh?”
“Boleh kok bu, yang penting bisa sama-sama ibu.” jawabnya malu-malu.
Aku tertawa melihat tingkahnya yang masih saja sungkan terhadapku.
“Sayang.. kita udah sama-sama kayak suami istri gini kok masih malu-malu gitu sih?” tanyaku sambil membaringkan tubuh diatas kasurnya.
“Biar bagaimanapun, ibu kan punya privasi juga, punya waktu untuk bersantai, memanjakan diri. Siapa tau ibu lagi pengen istirahat sendiri.”
“Sini, tiduran sama ibu..” kataku.
Pram pun membaringkan tubuh diatas kasur, disampingku.
“Iya, ibu ngerti kok. Dan kamu juga berhak untuk meminta apapun dari ibu, karena ibu milik kamu.” kataku, sambil meletakkan kepala di dadanya.
“Kamu jiga sama seperti ibu, berhak untuk mempunyai waktumu sendiri.”
“Tapi kalo dari ibu, ibu selalu ingin sama-sama kamu.” sambungku.
Pram mengusap lembut kepalaku, lalu mengecupnya. Satu kakiku kutumpangkan keatas pinggulnya.
“Ibu gak bosen sama-sama saya terus?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, lalu beringsut naik keatas tubuhnya, menindihnya.
“Gak bosen sama sekali.”
“Dan kamu tau? Ibu malah gak mau pisah sama kamu.” sambungku.
Pram mengusap lembut pipiku. Tatapannya begitu dalam, seolah menembus ruang terjauh di hatiku.
Kudekatkan wajahku, dan disambutnya dengan sebuah ciuman hangat dan mesra. Pram, lelakiku melumat bibirku dengan penuh rasa.
Aku tahu, ia mengerti apa yang kurasakan tentangnya, Pram memahami sepenuhnya bahwa dia adalah lelakiku. Setiap detik, setiap menit, setiap hari yang telah kulewati bersamanya membuatku mengerti bahwa, irama kehiduapn akan semakin penuh warna dan ceria, jika bisa mendapatkan dan merasakan kebahagiaan.
Sejatinya, aku masih dalam perjalanan menuju ke kehidupan baru, dan dalam satu titik persimpangan jalan, aku bertemu dengan lelakiku, Pram. Ia menemaniku, berjalan disisiku, mengisi kekosongan separuh jiwaku saat suamiku meninggalkanku.
Pram berhasil mengisi kekosongan itu, menjadikan hatiku utuh kembali. Semua yang ada padanya membuatku kagum. Ia laki-laki sempurna dimataku.
“Kita kan udah deket kayak gini. Nah, ibu mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Mau tanya apa bu?”
“Apa yang kamu sukai dari ibu?”
Pram nampak bingung dengan pertanyaanku,
“Gak tau bu. Pokonya ya nyaman aja sama ibu, makanya saya senang dekat sama ibu.”
“Kamu sadar, kalo ibu ini lebih tua dari kamu lhooo..”
“Iya, saya tau kok bu, saya sadar.”
“Kamu gak malu, kalo orang lain tau hubungan kita?”
Pram menatapku dengan penuh keheranan.
“Kok ibu nanyanya gitu?”
“Sayang…, ibu cuman nanya aja kok.”
Pram tersenyum lalu, mengecup keningku.
“Saya gak malu kok bu. Saya gak peduli dengan pendapat orang lain, yang penting saya nyaman, saya bahagia, begitu juga dengan ibu.”
Aku puas dengan jawabannya, karena mengisyaratkan bahwa ia meletakkan hubungan kami, diatas segala opini dan pendapat orang lain. Aku memiliki makna dalam hidupnya.
“Makasih sayang.” balasku singkat, lalu mengecup keningnya.
Seorang janda dengan satu anak, bersanding dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih muda, merupakan suatu hal yang sering menjadi bahan pergunjingan.
Hubungan seperti ini hampir selalu menjadi buah bibir, Dalam konotasi yang cenderung negatif.
Dalam hubunganku dengan Pram, aku adalah perempuan yang beruntung, setidaknya, itulah yang kurasakan sampai saat ini. Usianya masih muda, pola pikir yang dewasa, penuh perhatian terhadapku, maupun putriku Nova, dan disukai oleh kedua orangtuaku.
Pram bisa saja memilih perempuan lain yang lebih dari aku, namun ia tak melakukannya. Ia justru memilihku, walaupun hubungan kami terjalin berdasarkan ‘sama-sama tahu’, karena tanpa ada ungkapan kata-kata cinta dan romantis diantara kami.
Entah apa yang ia lihat dariku sehingga ia bisa menjadi sedekat ini denganku. Sebuah pertanyaan, yang mungkin tak kan pernah terjawab dengan pasti.
Akhirnya, suasana sepi rumah dan mendung di langit kota pelajar membuat kami tertidur pulas.
Pukul tiga, lewat beberapa menit, aku terjaga dari tidurku, sementara Pram masih terlelap, memelukku dengan sangat erat.
Sebuah kecupan dikening yang akhirnya membuat Pram terjaga dari tidurnya.
“Kita mandi, trus ke hotel.” kataku.
Pram mengacuhkanku dengan menutup kembali matanya, wajahnya menempel erat didadaku. Tingkahnya membuatku tersenyum dan gemes.
“Nanti kita telat lhooo.” sambungku, sambil mengusap kepalanya dengan lembut.
Lagi-lagi Pram mengabaikanku, bahkan semakin menenggelamkan wajahnya dipayudaraku.
“Ckckckckckckck.. kayak Nova aja, manja bener.” gumanku.
Pram tersenyum, walaupun matanya masih terpejam.
“Enak.. empuk.. kenyal..” gumannya, sambil mengusapkan wajah di dadaku.
“Namanya juga nenen, kalo batu ya keras.” sahutku.
Pram tertawa, lalu menarik kepalanya dari dadaku. Sambil tersenyum, ia membuka kancing kemejaku, satu persatu, lalu mengusap bagian payudaraku yang tak tertutupi bra.
Perlahan, ia mendekatkan kembali wajah, lalu mengecupnya.
Kupejamkan mata sejenak, menikmati tarian lidahnya dipermukaan kulitku, meresapi setiap detiknya.
Tak hanya sampai disitu, kedua tangannya pun mulai ikut bergerak, meremas lembut selangkanganku, yang masih tertutupi oleh celana jeans.
Setiap detik yang berlalu, setiap menitnya, berhasil membangkitkan gairahku. Pram memancing nafsu birahiku.
Tak sabar dengan permainannya yang lambat dan lembut, akhirnya kubebaskan payudaraku dan menyodorkannya ke mulut Pram.
“Isepin..” bisikku sambil menyelipkan tangan kedalam celananya.
Pram tersenyum, lalu mengusap pipiku.
“Kita mandi yuk.. nanti kita telah jemput mbak Aya.”
“Hhhiiiiiiiiihhhhhhhhhhhhh…!” seruku dengan gemes sambil meremas kemaluannya.
Pram tertawa dan berusaha melepaskan cengkraman tanganku yang kuat dari batang penisnya.
“Tadi ibu ajak mandi gak mau, malah gangguin ibu. Giliran ibu pengen, malah diajak mandi!” protesku sambil terus meremas kemaluannya.
Pram tertawa, sambil mendekapku erat.
“Ibu gak boleh marah-marah, nanti tekanan darahnya naik.”
“Biarinnnn..ibu kesel..!” jawabku.
“Nanti habis anterin mbak Aya, ibu saya bikin lemes, saya buat ibu KO.”
“Sekarang, Kita mandi yuk..”
Aku mengangguk,
"Awas kalo kamu bohongin ibu..!" Kataku sambil meremas krmaluannya.
Pram melumat bibirku,
"Ibu bakal gak bisa jalan besok pagi" bisiknya sambil menyelipkan tangan kedalam celanaku dan mengusap vaginaku.
Aku tersenyum senang, lalu mengajaknya menuju ke rumahku.
♡♡♡
Suasa sore nan teduh kota pelajar benar-benar dimanfaatkan oleh penghuninya untuk menikmati akhir pekan.
Jalan-jalan nampak disesaki oleh kendaraan roda dua dan roda empat.
Malam minggu, malam bagi para muda-mudi untuk bersantai, menikmati waktu dengan pasangannya masing-masing.
“Sayang beneran gak mau pulang sama mbak Aya?” tanyaku saat dalam perjalanan menuju ke hotel.
“Enggak bu. Saya mau liburan disini aja, sekalian siapin bahan buat skripsi. Mau nyicil dulu mumpung lagi libur.”
“Topan, galang, Nina sama Deva juga skripsi?”
“Iya bu. Semester ini udah skripsi semua.”
“Berarti cuman Rita aja yang bisa santai..” gumanku.
“Iya bu, dia masih dua semester lagi baru skripsi.”
Kemacetan adalah pemandangan yang biasa tersaji di akhir pekan, terutama di area Malioboro.
Icon kota pelajar ini merupakan dalah satu tempat favorit bagi sebagian besar penghuni kota pelajar.
Pedagang kaki lima, pedagang asongan, warung tenda, angkringan, selalu menghiasi setiap sudutnya.
Penduduk lokal, para pelancong dari penjuru dunia, maupun dari provinsi lainnya, bercampur baur, memenuhi ruas trotoar.
Kota dengan berjuta kisah didalamnya, merupakan salah satu kota favorit Calya, walaupun ia telah mengunjung banyak kota di luar negri.
Inilah kota kelahiranku, dan aku bangga akan hal tersebut.
Saat memasuki area parkiran hotel, Calya telah menanti kami disana. Ia berdiri didepan pintu lobi. Sambil menyeret travel bag, ia tersenyum ke arah kami.
“Mbak kira kamu telat.” katanya sambil berjalan ke arah belakang mobil, lalu memasukkan travel bag kedalam bagasi.”
“Malam minggu mbak, jadi jalannya rada macet.” kataku.
“Iya, Jogja makin macet aja.” timpalnya.
Hanya beberapa saat kemudian, kami kembali meninggalkan hotel tersebut.
“Wah, bakal kangen lagi sama kota ini..” guman Calya sambil memandangi keadaan di sepanjang Malioboro.
“Kapan-kapan main kesini lagi mbak. Tidur dirumah saya aja, gak perlu nginep di hotel. Gratis kok.”
“Iya mbak Rin, saya pasti kembali kesini kok. Saya gak pernah bosen sama kota ini.”
“Mbak beli rumah aja disini.” celetuk Pram.
“Iya, pengennya begitu sih. Tapi nanti, tunggu kamu nikah dulu.” balas Calya.
Pram mendengus kesal, sementara aku tertawa kecil mendengar percakapan kakak beradik itu.
“Kenapa harus nunggu saya nikah dulu sih mbak? Itung-itung kan buat aset mbak juga. Harga properti disini selalu naik lho.” kataPram.
“Pokoknya kalo kamu udah nikah, mbak bakal bebas, dan bakal mulai mikirin hidup mbak sendiri. Sebelum itu terjadi, mbak gak bakal tenang.”
Pram menggelengkan kepala.
Sepertinya ia tak habis bikir dengan jalan pemikiran sang kakak.
“Atau, moga-moga kamu dapet jodoh orang sini, jadi mbak gak perlu beli rumah disini. Kalo kamu nikah sama orang sini, berarti mbak beliin kamu rumah disini. Jadi, kalo mbak liburan kesini, ada kamu disini.”
“Atau, mbak Aya yang dapet jodoh cowok Jogja, jadi bakal jadi orang sini juga.” sambungku.
Calya tertawa keras mendengar celotehku.
“Enggak ah, aku mau nikah sama orang bule aja, sama cowok dari amerika latin. Ganteng-ganteng.” balasnya.
“Udah.. gak usah mengkhayal.” guman Pram.
“Mbak dapet pacar aja saya udah seneng banget, papah mama juga pasti seneng banget. Apalagi kalo sampe nikah.” sambungnya.
Kini, giliranku tertawa mendengar komentar Pram.
“Enggak. Pokoknya mbak mau nunggu kamu nikah dulu. Kamu fokus kuliah aja, kalo bisa sambil cari pacar. Kenalin ke mbak, ke papah mamah juga, biar mereka gak selalu ngejar mbak nikah.”
Entah harus bagaimana menghadapi sifat keras kepala Calya, dan sebagai seorang wanita, aku sendiri pun tidak bisa memahaminya. Namun disisi lain, aku kagum dan salut padanya. Ia mampu memanfaatkan kesendiriannya dengan sangat baik. Meniti karir, bertanggung jawab terhadap kehidupan sang adik, dan mungkin terhadap kedua orang tuanya. Ia benar-benar patut untuk menjadi contoh perempuan modern.
Sesampainya di bandara, ia menggandeng tangan sang adik dengan mesra, sementara aku mengekor dibelakang mereka. Pram pun nampak tak keberatan dengan hal tersebut, bahkan menggengam erat jemari sang kakak. Suatu pemandangan yang menyejukkan hati melihat kedekatan dan keharmonisan hubungan mereka berdua.
Sesampainya di depan pintu masuk area Check-in, Calya mengajak kami untuk berdiri sejenak di tepian pintu, lalu mengeluarkan beberapa amplop dari dalam tasnya.
“Mbak Rin, ini uang kost Pram untuk tahun ini.” katanya sambil menyerahkan amplop itu padaku, dan segera kuterima.
“Yang ini buat mbak beli BBM, itung-itung sebagai biaya sewa mobil.” katanya lagi, sambil menyerahkan amplop lainnya.
Tentu saja aku menolaknya, bahkan berkeras untuk menolak pemberiannya itu. Namun Calya tetaplah Calya, ia tidak bisa menerima penolakan.
Beberapa saat berdebat, akhirnya Pram berbicara setelah melihat tingkah kami.
“Bu, diterima aja.. kalo ngeyel, nanti mbak Aya ketinggalan pesawat.” gumannya.
“Nah, bener tuh.. udah, pokoknya harus diterima. Saya gak mau tau dan gak mau ditolak.” kata Calya.
Dengan berat hati, aku menerima pemberiannya.
“Pram, sayang.. ini buat kamu jajan selama liburan ini. Anggap aja sebagai gantinya kamu gak pulang kerumah.” kata Calya lagi, lalu menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat pada Pram.
Pram pun menerima pemberian tersebut tanpa melalui perdebatan sepertiku. Sepertinya ia paham dan mengerti betul bagaimana sifat kakak.
“Kamu fokus kerjakan skripsinya ya. Kalo butuh apa-apa, ngomong sama mbak atau sama papah mama.” sambungnya sambil memegang lembut lengan sang adik.
“Iya mbak.. makasih ya mbak. Mbak jaga kesehatan, jangan kerja mulu, inget istirahat juga.” balas Pram.
Calya tersenyum, lalu memeluk erat tubuh sang adik untuk beberapa saat.
“Mbak Rin, saya pamit ya. Titip Pram, kalo ada apa-apa, mbak tolong hubungi saya ya.” kata Calya, lalu memelukku dengan sangat erat.
“Iya, mbak Aya juga jaga kesehatan. Jangan karir aja yang dikejar. Inget umur.” kataku.
Calya tertawa, lalu mencubit pinggangku.
“Ini lagi satu, nikah mulu nikah mulu yang diomongin.” protesnya.
Aku kembali tertawa melihat tingkahnya yang memang selalu nampak risih dan tak senang dengan topik pernikahan.
“Pram, mbak pulang ya.. jaga dirimu baik-baik.” guman Calya, lalu kembali memeluk erat tubuh Pram.
Pram mengangguk, membalas pelukan sang kakak sambil menepuk lembut punggungnya.
“Ya udah, kalian hati-hati dijalan ya,..” katanya sambil melangkah meninggalkan kami.
Pram mengangguk, dan aku mulai melambaikan tangan padanya.
Baru beberapa langkah kami berjalan, ponsel Pram berdering. Sang kakak memanggil. Entah ada hal apa yang mereka bicarakan, namun Pram hanya menjawab seadanya seperti biasanya.
“Ada barangnya mbak Aya yang ketinggalan?” tanyaku.
Pram menggelengkan kepala, lalu meraih jemariku dan menggengamnya dengan sangat erat.
“Mau langsung pulang, atau jalan-jalan dulu?” tanyanya.
“Kalo kita jalan-jalan dulu, boleh?” tanyaku.
“Boleh.. sesekali kita malam mingguan, pacaran..” balasnya, lalu tersenyum dan meremas jemariku dengan lembut.
“Pacaran..” gumanku, lalu tersenyum, sambil terus melangkah disisi lelakiku.
Disepanjang perjalanan, suasana jalan raya dipenuhi oleh kendaraan. Kemacetan menjadi sebuah pemandangan baru bagi kota pelajar.
Sepeda motor, mobil, bis angkutan umum, semua tumpah ruah, memadati jalan-jalan protokol kota pelajar.
“Sayang, kita lewat ring road utara aja, biar gak kejebak macet.”
Pram mengangguk, lalu membawa mobil kami menyusuri jalan lingkar utara kota pelajar.
“Ini orang-orang pada mau kemana ya? Rame banget.” gumanku sambil melayangkan pandangan pada puluhan kendaraan yang berhenti di depan kami karena lampu merah tanda berhenti menyala.
“Malioboro, ke mall, atau mungkin kayak kita, cuman jalan-jalan gak tentu arah.”
Aku mendekatkan tubuh padanya, merangkul lengan, dan menyandarkan kepala dibahunya.
“Kita kan juga mau pacaran kayak mereka.” gumanku.
Pram tersenyum, lalu mengecup kepalaku yang tertutupi jilbab.
“Mau sekalian makan malam?” tanyanya ketika kami melanjutkan perjalanan.
“Boleh, sekali-kali makan diluar. Nanti ibu yang traktir.”
“Saya yang traktir. Masa cewek traktir cowok.”
“Ya gapapa dong sayang, lagian tadi mbak Aya ngasih duit juga kan?”
“Saya juga dikasih kok. Makanya saya aja yang traktir ibu.”
“Punya ibu disimpen aja.”
“Ya sudah, ibu simpen aja uangnya. Nanti kalo kami butuh, kamu bilang ke ibu ya.”
Pram kembali mengecup kepalaku dengan lembut.
“Kita makan dimana bu?”
“Ibu pengen makan bakso. Kamu mau makan apa?”
“Mie ayam bu.”
“pas banget. Ibu tau tempat yang enak. Kita ke Babarsari aja. Disana ada warung yang enak.”
“Tapi kita mampir di SPBU dulu ya bu, isi bensin.”
Aku mengangguk, lalu kembali menyandarkan kepala di samping bahunya, menikmati moment kebersamaan kami.
Sambil menunggu Pram mendampingi petugas SPBU mengisi BBM, kuraih amplop pemberian Calya dan membukanya.
Berlembar-lemabar uang pecaham seratus ribu tertata rapi didalamnya, dan setelah kuhitung, jumlahnya sangat membuatku terkejut.
“Pram, mbak aya ngasih duit ke ibu banyak banget.” gumanku, lalu kembali memasukkan amplop tersebut kedalam tasku.
“Emang berapa sih bu?”
“Itu yang katanya uang sewa mobil. Enam juta. Gila. Itu kan banyak banget.”
Pram tertawa, lalu memintaku untuk menghitung jumlah uang di amplop miliknya. Dan ketika aku selesai mengitung, jumlah nominalnya membuatku menggelengkan kepala.
“Ini jumlahnya sepuluh juta.” gumanku.
Pram menghembuskan nafas panjang.
“Mbak Aya itu gak pernah perhitungan kalo soal uang. Kadang saya sampe capek ngomong sama dia soal uang.”
“Emang selama ini mbak Aya yang biayain kuliah kamu?”
“Sebenernya yang bayarin kuliah saya itu orang tua kami bu, dan mbak Aya yang ngasih saya uang bulanan. Tapi sejak awal saya kuliah, dia yang biayain semua.”
“Bagus dong, artinya mbak Aya emang bener-bener bertanggung jawab sama kamu.” sahutku.
“Tapi dia terlalu boros bu. Saya gak butuh uang sebanyak ini kok.”
“Berarti gaji mbak Aya gede banget dong.”
“Kalo soal gaji, saya gak tau bu. Tapi kalo dari bisnisnya, hasilnya emang gede.”
“Mbak Aya punya usaha juga???”
“Punya kok bu. Dia mulai merintis usahanya sejak jaman dia masih kuliah.”
“Usahanya apa?” tanyaku.
“Jualan pakaian tradisional indonesia di luar negri.” “Wah wah wah… kerennnn.. mbak Aya kreatif!! Pinter cari peluang bisnis.”
Pram tersenyum.
“Tapi gak pinter cari suami.” timpalnya.
Dan kami kembali tertawa, sambil menikmati kemacetan dijalan raya.
“Dulu, dia jualan blangkon, kain batik, wayang kulit dan barang lain yang menjadi simbol budaya. Trus dipasarkan secara Online di luar negri.”
“Ternyata usahanya berjalan dan makin besar, sampai sekarang ini.”
“Bener-bener perempuan hebat.” gumanku.
“Semuanya diurus dia sendiri lho bu. Gak pakai karyawan. Jadi kalo ada permintaan barang apa gitu, mbak Aya tinggal telpon produsennya, trus dikirim ke mbak Aya, nanti selanjutnya mbak Aya yang urus.”
Sepenggal cerita Pram mengenai sang kakak membuatku terkagum-kagum. Calya seolah tampak seperti seorang perempuan sempurna dimataku.
“Kalo soal uang, saya yakin, mbak Aya punya tabungan yang sangat lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya, membiayai saya, dan kedua orang tua kami.”
“Kok kamu yakin?” tanyaku heran.
“Di ATM mbak Aya yang saya pegang, jumlah uangnya lebih dari cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana.”
“Uang itu untuk kamu?” tanyaku.
Pram mengangguk.
“Dan setiap bulan, mbak Aya masih saja ngasih duit ke saya.”
Aku menggelengkan kepala setelah memdengar cerita Pram.
“Ibu tau? Setiap bulan dia pasti menambahkan saldo ditabungan yang ATMnya saya pegang. Saya capek ngomong ke mbak Aya kalo saya gak butuh uang sebanyak itu. Tapi emang dasar dianya aja bawel, cerewet. Ujung-ujungnya ya saya yang dimarahin, diomelin.”
“Bukan cerewet lho Pram, tapi mbak Aya emang sayang sama kamu. Dia pengen hidupmu terjamin, tanpa kekurangan satu apapun. Mbak Aya sayang sama kamu."
Lagi-lagi Pram menghembuskan nafas panjang.
Tak terasa, perbincangan kami itu akhirnya mengantarkan kami memasuki kawasan Babarsari. Kawasan yang terkenal dengan kampus dan deretan temapt-temapt makan ini tak kalah ramai dengan beberapa kawasan lain di kota pelajar.
“Itu tempatnya.” kataku saat kami melewati area yang sering disebut sebagai Selokan Mataram.
“Lumayan rame” guman Pram, sambil mencari tempat parkir.
“Soalnya disini menunya enak.” kataku.
Area parkiran yang penuh dengan kemdaraan memaksa kami untuk memarkirkan mobil di tepi jalan, sedikit jauh dari tempat itu.
Aku hendak membuka pintu mobil dan keluar, namun Pram segera memgang lenganku, mencegahku.
“Sini dulu.” gumannya sambil memegangang lenganku, lalu menuntun tubuhku untuk mendekat padanya.
Tiba-tiba, Pram melumat bibirku dengan lembut. Satu tangannya memegang pipiku, sementara tangannya yang lain menjamah payudara yang masih tertutupi baju.
Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya, namun dengan segera bisa menyesuaikan dan menikmatinya.
Aku membalas dengan mengulum bibirnya, meresapi setiap sentuhan jemarinya yang semakin nakal dan berani.
Ditepi jalan yang ramai kendaraan berlalu lalang, Pram menarik naik ujung baju panjang yang kukenakan, lalu mulai menggerayangi vaginaku.
Kenekatan dan kegilaan kami membuat birahiku bergejolak dan dengan cepat meninggi. Aku bahkan berani menurunkan ritsleting celana jeansnya, lalu mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana dan mengocoknya dengan lembut.
Tak sampai tiga menit, Pram berhasil membuat kemaluanku basah, karena ia mengerjai vaginaku dengan liar dan melahap puting payudaraku dengan keras.
Beberapa saat berlalu, tubuhku mulai berkeringat, apalagi baju panjang yang kukenakan berbahan kain yang lumayan tebal, ditambah dengan jilbab yang masih menutupi kepalaku. Aku benar-bemar tak mampu menguasai diriku sendiri.
Sambil menikmati Payudaraku, ia berusaha meloloskan celana dalamku, dan hanya dalam sekejab, pinggulku terbebas darinya.
“Jilatin memek ibu..” bisikku lirih sambil menahan nikmat yang telah menjalar ke seluruh tubuh.
Kurebahkan tubuh dengan punggung bersandar di pintu mobil yang masih terkunci, lalu membuka lebar kedua pahaku untuknya.
Tanpa membuang waktu, Pram segera melakukannya, memenuhi permintaanku.
Jilatan dan hisapannya yang kasar dan panas menghujani vaginaku dalam sekejab. Tubuhku merinding melihat ia mengerjai vaginaku dengan kasar. Dan rasa nikmat itu semakin menjadi ketika ia kembali mengirimkan dua jarinya memasuki liang kemaluan, vaginaku.
Pram benar-benar gila, ia ingin menghadiahkan orgasme padaku ditengah keramaian orang yang berlalu lalang dijalan.
Dan benar saja, tak lama berselang, otot-otot disekitar pahaku menegang, berkontraksi, lalu terjadilah hal itu.
Sebuah ledakan orgasme hebat terjadi dibawah sana, diiringi oleh hembusan nafasku yang panjang dan berat.
Desahaanku teredam oleh suara bising kendaraan yang lalu lalang dijalan raya. Pram melahap kemaluanku, menjilatinya, menghisap bibir-bibir vaginaku dengan rakus.
Sekali lagi, Pram sukses memberiku kejutan indah, memberi pengalaman baru dengan sensasi hebat didalamnya.
Kuistirahatkan tubuhku sejenak, menikmati orgasme yang perlahan yang mulai menghilang.
“Saaayyaanggg.. lemesss…” gumanku manja.
Pram tersenyum, lalu membersihkan wajahnya yang terkena cairan kemaluanku dengan tissue.
“Mau lagi?” tanyanya, sambil mengelus permukaan vaginaku.
Aku mengangguk, tentu saja aku menerima tawaran tersebut, karena aku tak pernah merasa bosan dengan kenikmatan seks.
“Kita makan dulu, nanti kita lanjutkan di rumah.”
Aku mengangguk pelan, lalu membenahi posisi duduk.
Pram meraih celana dalamku dari atas dashboard dan bermaksud memasangkannya kembali, namun aku menolaknya.
“Gak mau..” gumanku, sambil menggelengkan kepala.
Pram tersenyum, lalu menaruh celana dalam itu diatas dashboard.
“Yuk makan..” ajaknya lagi.
Aku mengangguk, lalu keluar dari mobil dan berjalan disisinya, melangkah menuju ke warung makan yang dipadati oleh puluhan pasang muda mudi.
Mereka nampak sangat menikmati malam akhir pekan, yang dikenal sebagai malamnya para pasangan untuk dinikmati bersama. Kami cukup beruntung karena masih mendapatkan tempat duduk, walaupun terletak jauh di bagian belakang, menghadap ke arah depan.
Satu meja yang tersisa itu tampaknya seperti meja cadangan, yang digunakan jika seluruh meja lainnya telah terisi. Pram memilih duduk disampingku, menghadap kearah para pengungung lain yang tengah asik menyantap makanannya.
“Bakso satu, mie ayam satu ya mbak. Minumnya es the sama es jeruk.” kataku pada pelayan warung yang menghampiri kami.
Ketika pelayan itu meninggalkan kami, Pram kembali beraksi. Tingkah nakalnya cukup membuatku terkejut dan takut, karena dilakukan ditengah keramaian warung.
Meja yang kami tempati memang terletak dibagian belakang, disudut ruangan. Aku duduk disebelah dalam, tepat disisi dinding yang terbuat dari bilah-bilah bambu, dan Pram duduk di sampingku, ditepi lorong. Didepan kami, meja setinggi dada orang dewasa yang ditutupi taplak meja menjadi pelindung yang baik bagi kenakalan tangan Pram.
“Sayang, nanti dilihat orang lhhoo.” Bisikku, ketika Pram mulai menarik naik ujung baju panjangku hingga kebagian tengah pahaku.
Pram tak mendengarkanku, dan mulai kembali mengusap vaginaku. Jantungku berdebar kencang, was-was, takut jika ada orang yang memergoki kami. Aku sadar, kegilaan ini cukup aman untuk kami, karena dibelakang kami terdapat dinding yang memisahkan antara bagian depan dan bagian belakang warung tersebut. Mata kami terus memandang ke arah depan, memgawasi situasi, jika saja ada orang yang berjalan mengarah ke meja kami, sementara dibawah meja, kedua kakiku terbuka lebar, memberi ruang bagi tangan lelakiku, untuk menjamah kemaluanku, lagi.
“Awas nanti dirumah..! Ibu perkosa kamu..!!” bisikku sambil menahan nikmat yang kembali mulai merasukiku.
♡♡♡ Seri 9 TAMAT ♡♡♡
Sampai jumpa di seri selanjutnya.
Terima kasih