Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

part 2



Rindiani


Di mataku, Calya adalah sosok pribadi yang baik, walaupun sangat keras kepala dan protektif terhadap Pram. Namun aku belum bisa menebak bagaimana reaksinya jika ia mengetahui kedekatanku dengan sang adik, Pram.

“Kamu udah ngantuk?” tanyaku.

“Belum bu.”

“Mau ibu buatin kopi? Atau teh?”

Pram menggeleng, lalu merapatkan tubuhnya padaku. Kami saling berpelukan, dengan kepalanya berada didadaku. Tangannya bergerak pelan, mengusap pahaku yang terbuka karena bajuku tersingkap.

“Sekarang, ibu kok jadi ketahihan gak pakai celana dalam sih?” tanyanya sambil mengusap lembut pahaku, hingga kebagian pinggul.

Aku tersenyum, lalu menyentuh ujung hidungnya dengan jari telunjukku.

“Bukan ketagihan, sayang. Tapi cuman pengen nyoba aja sih. Pengen tau gimana rasanya.”

“Trus gimana? Ibu suka?”

“Hhmmmm.. rasanya sih deg-degan, was-was kalo ada yang tau ibu gak pakai daleman. Tapi jadi gimana gitu, horni juga.”

Pram tertawa. Tanganya terus bergerak pelan, mengusap permukaan kulitku dengan lembut. Aku menikmatinya, membiarkan lelakiku menyentuhku sesuka hati, karena aku pun menyukainya.

“Tapi ibu gak boleh keseringan kayak gitu ya. Saya gak mau ibu jadi perempuan seperti itu.”

“Iya sayang. Ibu ngelakuin kayak gini kalo keluar sama kamu aja kok. Dan, kalo sayang gak ngijinin, ibu gak akan melakulannya.” jawabku sambil mengusap pipinya.

“Emang dulu, waktu sama suami, ibu gak pernah nyoba?”

“Gak pernah..”

“Ya sama sayang aja, ibu jadi ngerasa bebas gini. Bisa ngelakuin apa aja, nyobain apa aja. Gak tau kenapa, tapi rasanya ya karena sayang ngasih kebebasan dan terbuka sama ibu.”

Pram tersenyum, lalu mengecup bibirku. Sebuah kecupan cepat dan mesra, walaupun ia tak melumat bibirku.

“Karena saya ingin membahagiakan ibu dengan cara saya. Saya gak ingin mengekang ibu. Tapi saya juga gak ingin ibu berubah karena kebebasan itu.”

Aku mengangguk, memahami apa yang Pram sampaikan.

Selama ini, Pram selalu berupaya membahagiakanku dan dia berhasil. Ia tak pernah menuntut sesuatu dariku, mengatur atau memaksakan kehendaknya padaku. Dan dengan cara itu, Pram membahagiakanku, sekaligus menghargai dan mengormatiku sebagai perempuan istimewa baginya.

Kebebasan adalah hak dasar setiap individu. Namun dalam sebuah ikatan hubungan asmara, seperti yang terjalin selama ini, aku lebih memilih untuk menjalankan kebebasanku atas persetujuan Pram, demi menjaga dan mengormatinya, dan untuk kebaikan hubungan kami.

“Trus, apa lagi yang pingin ibu coba?” tanyanya.

Aku berpikir sejenak, memikirkan apa saja keinginanku yang selama ini belum sempat kulakukan.

“Kayaknya sih udah semua. Yang pengen ibu coba itu udah kejadian semua.” jawabku dengan ragu.

Pram tersenyum.

“Yakin? Udah gak ada lagi?” tanyanya.

Kembali aku terdiam, mencoba memikirkan apa saja fantasiku yang belum terwujud.

“Gak tau juga sih sayang. Biasanya kepikirannya pengen apa gitu tiba-tiba muncul aja sih. Kayak tadi sore itu, pengen nyobain jalan-jalan gak pakai celana dalam. Itu spontan aja kok.”

“Tadinya ibu mau ngomong dulu sama kamu, tapi takut kamu gak ngijinin.” sambungku.

Pram, lelakiku tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut. Aku membalas dengan melumat bibir bawahnya ketika ia menikmati bibir atasku.

Sambil bercumbu, kuselipkan tangan diantara himpitan tubuh kami, meraih dan menggengam kemaluannya. Pram mengehentikan sejenak ciumannya, lalu mengusap pipiku dengan lembut. Ditatapnya wajahku untuk beberapa saat, lalu perlahan memejamkan mata dan kembali melumat bibirku.

Perlahan, aku mulai merasakan birahiku kembali bergejolak, dan aku yakin, Pram pun merasakan hal yang sama, karena dibawah sana, penisnya mengeras setelah beberapa saat merasakan remasan jemariku.

Sebagai balasannya, Pram mulai menyentuh organ intimku. Jemarinya merayap melalui pinggulku, menuju ke bagian kemaluanku, dari arah belakang.

Ia mengusapnya, menyentuh setiap bagian kemaluanku sehingga aku mulai merasa kegelian sekaligus terangsang. Satu jarinya mulai memasuki vaginaku, hanya sedikit bagiannya, namun cukup untuk membuat tubuhku menggelinjang.


Sesaat berlalu, pinggulku mulai bergerak perlahan, seolah meminta tusukan jarinya agar bergerak masuk lebih dalam lagi, pada liang vaginaku.

Pram seolah sedang menguji kesabaranku karena ia tak kunjung melakukan hal yang kuinginkan, sementara dibagian atas, bibir kami telah menyatu, saling hisap, saling melumat dengan penuh rasa.

“Saaayyaanngg…” gumanku, setelah melepaskan ciuman kami.

Pram menatapku heran.

“Jarinya dimasukin lebih dalam lagi” pintaku dengan manja.

Pram tertawa, lantas mengecup keningku.

“Ibu gak sabar ya?”

“Hiiiiihhhh..” balasku sambil meremas penisnya dengan sedikit keras.

Pram tertawa, lalu berusaha melepaskan cengkraman tanganku di kemaluannya. Tingkahnya membuatku tertawa, membuyarkan alam kenikmatan yang hampir terbentuk.

“Nakal banget..!” protesku.

Pram lantas memelukku dengan sangat erat, menghujani kepalaku dengan kecupan-kecupan lembut dan mesra.

Kuurungkan niatku untuk merangsangnya, dan membalas pelukannya dengar erat pula.

Berbeda denganku yang telah berubah menjadi pecandu kenikmatan seks, Pram tetaplah seorang Pram yang kukenal sejak awal kedekatan kami. Baginya, seks bukanlah hal utama dalam ikatan hati kami, namun kenyamanan, dan bagaimana kami mengisi ruang diantara dua hati, dengan kasih sayang dan cinta.

Aku telah menyadari hal ini sejak awal kedekatan kami, dan mencoba mengikuti irama yang ia mainkan dalam perjalanan hati kami. Sedikit sulit bagiku, karena entah mengapa, gairaku terhadapnya, nafsuku, selalu saja menggebu-gebu.

Aku seolah tak pernah terpuaskan olehnya, walaupun dalam sekali bercinta, ia mampu membuatku orgasme minimal satu kali.

Jika saja Pram selalu mengikuti kemauanku, menuruti segala jalan pikiranku, aku yakin, hibungan kami akan selalu diwarnai dengan kegiatan seks, percintaan yang tiada habisnya.

Namun, hal sebaliknya yang terjadi.

Malam ini, aku menghidangkan tubuhku untuknya, namun Pram melewatkannya dengan begitu saja. Ia justru memilih untuk menggodaku, lalu menghujaniku dengan kecupan-kecupan mesra sebagai tanda rasa hatinya.

“Ibu harus belajar menahan hawa nafsu..” bisiknya.

Aku hanya mengangguk pelan, sambil memandangi wajahnya.

“Saya tidak ingin pikiran ibu terganggu karena seks, karena masih banyak hal lain yang harus kita pikirkan. Ada hal lain yang harus kita lakukan.”

“Iya sayang, makasih ya..” gumanku, lalu melumat bibirnya dengan lembut.

Pram tersenyum, membenahi beberapa helai rambut di keningku, lalu kembali memeluk erat tubuhku.

“Saya harap ibu jangan berprasangka buruk, atau marah terhadap saya ya bu. Saya hanya ingin agar hubungan kita bukan hanya sekedar seks. Saya ingin, ibu mengajarkan kepada saya tentang bagaimana menjalani hubungan ini dengan cara yang dewasa.”

Pram, lelakiku yang usianya jauh lebih muda, membuatku terpana dengan kalimatnya. Sekali lagi, ia membuatku takjub dan hatiku terenyuh.

“Ibu gak marah kok sayang. Justru ibu senang kamu bisa ngingetin ibu, bisa mengarahkan ibu untuk jadi perempuan yang lebih baik.”

“Jangan sungkan untuk menegur ibu, atau mengingatkan ibu. Karena bagi ibu, kamu satu-satunya laki-laki yang dekat dan mengenal ibu.”

Pram menatapku dalam-dalam.

Jemarinya dengan lembut mengusap kepalaku. Perlahan, ia memdekatkan wajahnya, lalu mengecup keningku.

Jauh di lubuk hatiku, aku berharap bahwa jika kelak aku bisa mendapatkan laki-laki sebagai penganri suamiku, kuharap laki-laki itu adalah Pram, atau setidaknya mampu membahagiakanku seperti yang telah dilakukan oleh Pram.

Mungkin saja selama ini aku sedang bermimpi, atau saja sedang berada di alam lain, karena bertemu dan mengenal Pram. Hanya bahagia dan tawa yang kudapati sepanjang hari. Bagiku, hari-hari selama ini adalah jalan setapak diantara taman bunga. Semuanya indah, dan terlalu manis untukku.

“Bu, kita istirahat yuk.” katanya kemudian.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya menuju ke kamar tidurku.

“Berarti, kalo mau bercinta, harus diatur ya? Kayak pakai jadwal gitu?” tanyaku sambil menutupi tubuh kami dengan sehelai selimut.

Pram memelukku, meletakkan satu lengannya dibelakang leherku, lantas mengecup keningku.

“Gak juga sih bu, maksud saya, jangan sampai ibu tunduk dan mengalah pada nafsu, tapi harus bisa mengendalikannya.”

“gak perlu pakai jadwal kok, yang penting jangan sampai hubungan kita didominasi oleh seks.” sambungnya.

Aku mengangguk pelan, memahami niat baik Pram. Mungkin saja ia ingin memulai untuk menjalani hubungan kami dengan lebih serius, atau sekedar untuk mengingatkanku tentang prilakuku yang kian menggilai seks. Aku memahami sepenuhnya.

“Kamu tau? Ibu beruntung dekat sama kamu. Coba kalo sama laki-laki lain, mungkin ibu udah jadi pecandu seks yang parah.”

Pram, lelakiku tersenyum, menuntun tubuhku untuk naik keatasnya, menindihnya.

“Saya juga beruntung.” timpalnya, sambil meletakkan kedua tapak tangan di pipiku.

“Karena ibu sangat menyayangi saya. Ibu melakukan semua ini untuk saya.” sambungnya, lalu mengecup keningku.

“Karena ibu sayang kamu, dan ibu menganggap, diri ibu milikmu sepenuhnya.”

Pram menarik naik baju yang kukenakan, lalu mengusap punggungku dengan lembut. Kurebahkan kepalaku didadanya dan menikmati curahan kasih sayang lewat sentuhannya.

“Bagi saya, kedekatan kita ini jauh lebih besar. Jauh lebih penting daripada hanya sekedar seks.”

“Saya juga sambil belajar, bagaimana caranya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan belajar menjadi seorang kepala keluarga.”

Aku tersenyum, lalu mengecup ujung hidungnya.

“Kamu sudah siap untuk menjadi seorang suami. Sudah siap untuk menjadi seorang kepala keluarga.” jawabku.

“Jangan khawatir. Selama kamu tetap bersikap dan berpikiran seperti ini, kamu adalah calon suami yang ideal. Dan ibu yakin, istrimu pasti akan sangat bahagia seperti yang ibu rasakan selama ini.”

Pram kembali menatapku, lalu memelukku dengan sangat erat.

“Terima kasih…” bisiknya lembut sambil mengusap punggungku.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya usapan dipunggungku terhenti. Pram telah terlelap dalam mimpi indahnya.

Kupandangi wajahnya, wajah lelaki muda yang selama ini telah menemani perjalanan hidupku. Didalam hati, aku mengucap syukur karena telah dipertemukan dengannya.

Malam itu kami tertidur pulas, tanpa diwarnai oleh persetubuhan maupun kegiatan seks apapun. Aku terlelap dalam pelukannya hingga pagi menyapa.

♡♡♡

Seperti biasanya, aku terjaga saat suara adzan subuh berkumandang. Pram tidak ada disampingku, ia terlebih dulu bangun dan sepertinya sedang mandi karena samar-samar kudengar suara gemercik air dari arah kamar mandi. Kulucuti pakaianku, dan segera menyusul lelakiku ke kamar mandi.

“Pagi..” sapanya, sambil mengusap tubuh telanjangnya dengan sabun.

“Pagi sayang..” balasku.

“Mandi..?”

Aku mengangguk, lalu memelukknya dari arah belakang.

“Dinginn…” gumanku saat tubuh kami menyatu dalam pelukan erat.

Pram melepaskan lingkaran tanganku di perutnya, memutar tubuh, lalu menghidupkan shower diatas kami.

Setelah tubuhku basah, dituangkannya sabun cair di dada, di punggung, dan di kedua pahaku. Seperti yang sudah-sudah, Pram selalu memandikanku, memanjakanku dengan usapan-usapannya yang lembut.

Saat ia sibuk menyabuniku, kusempatkan diri untuk menyikat gigi, sambil sesekali menggodanya dengan menyentuh penisnya yang mengeras. Pram hanya tertawa, lalu menggelengkan kepala seperti biasanya.

“Sini.., gantian ibu yang sabunin kamu.”

Pram menggeleng,

“Saya udah hampir selesai mandi kok bu.”

Aku mengabaikannya, lalu kembali mengusapi tubuhnya. Ia hanya tersenyum melihat tingkahku.

Beberapa saat sesudahnya, kami kembali berpelukan dalam diam. Tak ada lagi rasa dingin ditubuhku, melainkan kehangatan dan kenyamanan karena pelukannya.

Hampir beberapa menit berlalu, akhirnya bibir kami kembali bertemu dalam sebuah ciuman yang lembut dan pelan. Kedua telapak tangannya menempel erat dipipiku. Ia benar-benar memanjakanku, menghadiahkan kebahagiaan di awal hari.

“Wahhh.. ibu bener-bener dimanjain hari ini.” gumanku saat melihat sarapan pagi untuk kami telah terhidang diatas meja riasku.

“Tapi ibu maunya minum kopi aja..” sambungku setelah melihat segelas teh yang biasanya menjadi minuman pembuka hari.

“ya udah, ibu minum kopinya, saya yang minum tehnya.”

Aku tersenyum, lantas mencubit pipinya dengan gemes. Ia meraih cangkir berisi teh, lalu menyeruput sedikit isinya.

“Nanti sore kita anterin mbak Aya ya bu.”

“Iya, boleh kok. Lagian kayaknya selama libur kampus, warung selalu tutup lebih awal kok.”

“Besok ibu pulang gak? Mau nengokin Nova?”

“Iya dong, udah kangen sama dia. Kamu ikut?”

Pram mengangguk senang.

“Ya udah, besok kita berangkat pagi-pagi aja, dan moga aja gak hujan.” sambungku.

Kuraih roti tawar yang telah diolesi selai dan menggigit sedikit bagiannya, lalu menyodorkannya pada Pram. Ia pun ikut memakannya

Sungguh, awal hari yang indah bagi kami.

“Trus, hari ini, mbak Aya mau ngapain?” tanyaku.

“Belum tau bu, tapi nanti habis anterin ibu, saya ke hotel dulu.”

“Ya udah, kalo gitu, nanti kalo ibu pulang lebih awal, ibu nyusul kamu ke hotel aja. Gimana?”

“Enggak, nanti saya jemput ibu. Ibu tunggu di warung aja. Saya khawatir ibu kenapa-kenapa, soalnya area belakang kampus itu sepi banget.”

Aku tersenyum, sambil kembali menyuapi potongan roti yang masih ada di tanganku.

“Iya, makasih ya sayang.”

Pram mengecup keningku, lalu beralih ketepian ranjang dan duduk disana.

“Seumur-umur, ibu belum pernah lho sarapan kayak gini.” gumanku.

“Maksudnya belum pernah makan roti dan minum kopi?” tanyanya.

“Bukan sayang.. tapi pagi-pagi dibuatin sarapan, terus dinikmati sama-sama sambil telanjang kayak gini. Sama suami ibu belum pernah, tapi sama kamu malah udah dua kali." jawabku, lalu menyeruput kopi.

“Semalam saya duluan tidur, trus tadi bangunnya kepagian. Makanya sempet buat sarapan trus mandi.”

“Iya, mungkin kecapekan nemenin belanja.”

Pram melirik jam di dinding.

“Jam lima.” gumannya, lalu beringsut keatas ranjang dan kembali merebahkan tubuhnya disana.

Ia menepuk ruang kosong disamping tubuhnya, mengajakku untuk kembali berbaring.

“Saya membayangkan, dulu, kehidupan ibu sebagai seorang istri, pasti membosankan ya bu?” tanyanya.

“Kalo dulu waktu ngejalaninnya sih gak terasa membosankan. Nah, setelah kenal dan dekat dengan sayang, baru sadar, kalo dulu itu hidup ibu membosankan banget. Monoton, datar banget.”

“Emang dulu, kalo pagi, ibu bangun jam berapa?”

“Ya sama aja seperti sekarang ini. Bangun, mandi, siapin sarapan, siapin pakaian buat suami, ngerjain kerjaan rumah. Siangnya istirahat. Sore, ngerjain kerjaan rumah lagi, kadang nyuci, atau nyapu, atau ngerjain apa gitu. Kalo suami ibu pulang, buatin minum. Malamnya ya makan malam, trus tidur.”

Pram menggelengkan kepala.

“Mulai besok, saya yang siapin sarapan buat ibu. Malamnya kita masak sama-sama.” katanya sambil berbaring menyamping, menghadap kearahku.

“Ya gak perlu seperti itu juga sih. Cuman, ibu seneng aja kalo kamu selalu bersikap seperti ini.”

“Mungkin kelihatannya spele lho, tapi hal kecil seperti ini berharga banget. Kalo menurut ibu sih, romantis banget.”

Pram terdiam, namun aku yakin, ia memahami apa yang telah kusampaikan.

“Dulu, sebelum dia ketahuan selingkuh, ibu gak curiga?”

Aku menggelengkan kepala, lalu menuntun tubuhnya untuk naik keatas tubuhku dan menutupi tubuh telanjang kami dengan selimut.

“Ibu sama sekali gak curiga. Suami ibu pun gak ada tanda-tanda mencurigakan.”

“Emang sih, kalo urusan seks, intensitasnya berkurang banget, tapi ibu mikir hal itu wajar, karena mungkin dia capek dengan pekerjaannya, stres, jadi ya ibu maklumi.”

“Kamu tau? Sekarang Anita sudah mengandung lhooo, udah hamil tiga bulan.” sambungku.

Pram terdiam, menyandarkan dagunya tepat dibagian tengah dadaku.

“Berarti sebentar lagi, dia pasti akan menceraikan ibu, karena ibu gak mau menerima dia lagi.”

Aku mengangguk pelan.

“Ibu siap bercerai?” tanyanya.


♡♡♡ bersambung ♡♡♡

part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.
Terima kasih :rose:
Luarbiasaaa suhuuu
 
part 3



Rindiani

Sejenak aku termenung dengan pertanyaannya. Apakah aku siap menghadapi kenyataan pahit itu?

Tidak ada wanita yang mempimpikan hal tersebut. Tidak ada wanita yang bercita-cita untuk menjadi janda. Sebuah kenyataan pahit yang harus kuterima, terlebih aku telah memiliki seorang putri.

“Ibu gak yakin. Tapi bagaimana pun, ibu harus siap. Harus kuat untuk menerima kenyataan.”

Pram mengusap lembut pipiku.

“Saya yakin, ibu siap. Ibu cukup kuat dan pasti akan baik-baik saja.”

“Janda..” gumanku pelan sambil menatap matanya.

Pram hanya tersenyum.

“Gak ada yang salah dengan menjadi janda, apalagi bukan ibu yang menjadi penyebab perceraian, melainkan perselingkuhan suami ibu.”

“Iya, ibu ngerti. Ibu hanya memikirkan nasib Nova.”

Pram terdiam, raut wajahnya berubah sendu, lalu ia menghela nafas panjang yang terdengar berat, seolah sedang memikul sebuah beban berat di dadanya.

Lama kami terdiam, hanya sekedar saling menatap, membiarkan kesunyian mengisi ruang waktu.

“Apa yang akan terjadi nanti, kita pikirkan nanti. Tapi, saya akan berusaha agar Nova tidak kekurangan apapun dalam hidupnya.”

“Ibu tahu, kamu akan melakukan apapun demi Nova, karena ibu yakin, kamu pun menyayangi Nova seperti ibu menyayangi dia.”

Pram mengangguk, lalu mengecup dadaku.

“Nova akan bahagia.” gumannya.

Aku mengangguk, lalu memeluk erat tubuh lelakiku, Pram. Aku yakin, Pram bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Kasih sayangnya terhadap Nova bukan hanya sekedar kata-kata, atau sekedar cara untuk mencari perhatianku.

Sebagai seorang ibu, aku sangat khawatir dan gundah jika memikirkan nasib putri kecilku. Mungkin aku mampu untuk memberinya perhatian, mencukupi semua kebutuhannya, namun tetap saja, putri kecilku membutuhkan sosok ayah, sosok laki-laki yang bisa ia jadikan tempat bersandar dan berharap, sosok yang bisa ia jadikan panutan, bisa ia banggakan. Bagaimana pun, ia tetap membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah.

Dan untukku sendiri, untuk kebahagiaanku juga, aku tak memungkiri jika aku pun membutuhkan sosok pengganti suamiku. Bukan hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga, tetapi sebagai teman, sebagai sahabat, tempat berbagi cerita, berbagi kehidupan.

Aku tak ingin kehilangannya, namun disisi lain, aku harus mampu menjamin kehidupannya, harus mampu membahagiakannya, karena itulah tanggung jawabku terhadap anakku.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan bu, nanti malah jadi beban. Dijalani aja dulu, biarkan mengalir. Saya yakin, semua akan baik-baik aja. Nova pun akan baik-baik saja.” katanya kemudian, memecah keheningan pagi.

Aku mengangguk. Lalu melumat bibirnya dengan lembut. Di dalam hati, aku mengucap syukur atas kehadiran Pram dalam hidupku.

“Yuk lanjutin sarapan.” ajaknya sambil bangkit dan duduk diatas pangkuankuku.

Ia meraih kedua tanganku, membangunkanku. Tubuh telanjang kami kembali menyatu dalam sebuah pelukan hangat. Diatas pangkuanku, ia memelukku, mengusap punggungku dengan lembut.

Hampir dua menit kami berpelukan dalam diam, sampai akhirnya kecupan dikeningku mengakhirinya. Ia kembali mengajakku kedepan meja rias, melanjutkan sarapan pagi.

Sambil mengunyah roti, sesekali ia menggodaku. Sikap jahil kembli muncul darinya. Ia menjamah payudaraku saat aku sedang menyeruput kopiku. Lalu menjamah kemaluanku saat sedang menikmati septong roti.

“Lama-lama ibu perkosa kamu..!” protesku.

Pram hanya tertawa, lalu meletakkan cangkir diatas meja. Ia memelukku dengan erat.

“Pagi-pagi harus tersenyum. Mengawali hari hari harus dengan keceriaan. Gak boleh ada beban dihati, biar perjalanan hari ini bisa dilalui dengan baik.” katanya sambil merapikan rambut dikeningku, lalu menyisipkannya ditelinga.

Kini, aku mengerti maksud baiknya. Ia ingin aku melupakan sejenak tentang nasib Nova, nasibku, jika aku resmi bercerai. Kulingkarkan tangan di lehernya, lalu mengecup ujung hidungnya.

“Iya sayang.. makasih ya.”

Kami kembali berciuman, saling melumat bibir dengan mesra. Kedua tangannya yang kekar merayap dibelakang tubuhku, mulai dari punggung, hingga ke pantatku.

Usapan lembut itu berubah menjadi remasan, membuatku mulai bergairah dan bernafsu terhadapnya.

“Jilatin memek ibu..” bisikku pelan ditengah kecupan-kecupannya disekitar leherku.

Pram tersenyum, lalu sekali lagi melumat bibirku dengan lembut. Tangannya mulai menggerayangi kedua payudaraku, membuatku mendesah dan menahan nafas karena terangsang dengan perlahan.

Sejurus kemudian, ia bersimpuh dihadapanku. Tatapan matanya tertuju padaku, sementara jemarinya sibuk mengusap pahaku.

Sekujur tubuhku merinding, karena merindukan belaian lidahnya di selangkanganku. Aku sangat menantikan hal itu, dan tak akan pernah bosan dengan caranya menikmati vaginaku.

Tanpa membuang waktu, ia segera mendekatkan wajah pada pangkal pahaku, menjulurkan lidahnya, lalu mulai mengerjai kemaluanku.

Akhirnya, aku bisa merasakan kenikmatan itu lagi, merasakan sentuhan lidahnya yang hangat memanjakan vaginaku.

Matanya terpejam, sementara lidahnya terus menari, menelusuri seriap lekuk kemaluanku. Kedua belah bibir vaginaku disibaknya, seolah membuka jalan bagi jilatannya untuk menelusuri celah yang selalu tertutupi itu.

Tak kurang dari lima menit, Pram sukses membuatku larut dalam buaian birahi. Kemaluanku basah dengan sempurna. Permukaannya dipenuhi oleh air liurnya, sementara cairan pelumas mulai mengalir sedikit demi sedikit, keluar dari liang kenikmatanku.

Terpaan gelombang birahi itu menghanyutkanku, membuatku menggoyangkan pinggulku, mengikuti permainan lidahnya yang pelan dan lembut.

Dengan susah payah aku menahan hasratku, menahan gejolak birahi yang seakan meledak-ledak dalam diriku. Aku ingin ia mengerjai kemaluanku dengan kasar, dengan permainan yang panas dan liar agar hasratku terpuaskan.

Namun, justru sebaliknya. Pram bermain lambat, iramanya sangat lembut dan pelan, sehingga memaksaku untuk menekan kepalanya kearah pangkal pangkal pahaku.


Aku mendesah dengan sedikit keras ketika ia mulai mempermainkan klitorisku dengan ujung lidahnya. Lututku gemetar, tak kuasa menahan gelombang kenikmatan disekitar selangkanganku.

Tak kurang dari dua menit, sebuah hisapan yang lumayan keras di klotorisku sukses membuatku orgasme. Kepalaku menengadah dengan mata terpejam, sementara kedua tanganku menjambak keras rambutnya, menahan kepalanya agar terhimpit dengan permukaan kemaluanku.

Sebuah desahan panjang, disertai hembusan nagas yang berat mengantarkan gelombang orrgasme itu menerpaku. Dan seperti biasanya, dengan cekatan, lidah lelakiku segera menyapu bersih kemaluanku. Dijilat, dihisap, seolah sedang membersihkan kemaluanku.

Lututku goyah, tubuhku limbung dan jatuh terduduk diatas kursi, didepan meja riasku. Pram memandangiku dengan seutas senyum di wajahnya. Ia nampak senang, karena telah membuatku terpuaskan.

Aku tersenyum, memandangnya dengan tatapan sayu dan nafas yang memburu. Kenikmatan yang kurasakan terlalu besar, hingga membuatku seolah kehilangan tenaga, walaupun hanya sekedar untuk membuka mata.

Setelah beberapa saat, Pram berdiri, lalu mengusap kepalaku dengan lembut.

“Lemess..” gumanku lirih sambil memeluk pinggangnya.

Pram menunduk, lalu mengecup kepalaku.

Beberapa menit berlalu, kulepaskan pelukanku. Nafasku telah kembali normal, walaupun tubuh dan kakiku masih terasa lemas. Segera kuraih penisnya dan mengocoknya pelan. Aku ingin memuaskan lelakiku, memanjakannya dengan permainan terbaikku.

Penisnya begitu dekat dengan wajahku, dan ketika aku hendak mengoralnya, Pram menahan kepalaku. Ia mencegahku untuk melakukannya.

Ia menggelengkan kepala saat aku menatap wajahnya.

“Udah cukup. Sekarang ibu istirahat. Saya gak mau ibu kelelahan karena nanti harus bekerja.”

“Tapi kan…” protesku, namun Pram segera meletakkan jarinya didepan bibirku, menghentikan kalimat yang belum selesai kuucapkan.

Lagi-lagi ia menggelengkan kepala.

“Cukup..” katanya lagi.

Ia berlutut dihadapanku, lalu meletakkan kedua tangannya dipipiku.

“Nanti ibu harus kerja, jangan sampai ibu kelelahan..” gumannya.

“Tapi sayang belum dipuaskan, belum dapet jatah.”

“Enggak.. gapapa kok bu. Hal seperti itu bukan masalah bagi saya.”

Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan isi hatiku tentang sosok yang kini bersimpuh dihadapanku. Penolakannya terhadap tawaran kenikmatan dariku sungguh membuat hatiku luluh. Ia membuktikan kata-katanya, bahwa hubungan kami bukan hanya karena seks semata.

“Istirahat dulu yuk.”

Ia kembali mengajakku untuk berbaring diatas ranjang, lalu memelukku dengan sangat erat.

Pukul setengah tujuh pagi, kami kembali turun dari ranjang, bersiap-siap sebelum memulai kegiatan kami masing-masing.

Aku sedang berdiri didepan lemariku, hendak memilih pakaian yang akan kugunakan saat Pram menuntunku untuk menjauhi lemari itu, dan duduk di tepian ranjang.

“Rok atau celana panjang?” tanyanya.

“Celana panjang.”

“Kemeja atau T-shirt?”

“kemeja, lengan panjang.”

Pram menengok seisi lemariku, mencari pakaian untuk kugunakan. Ia membuatku tersenyum dengan sikapnya yang aneh sepagian seperti ini.

“Ini..” katanya sambil menyerahkan sehelai celana panjang jeans dan kemeja sesuai permintaanku.

“Jadi, hari ini ibu gak pakai daleman? Cuman pakaian luar aja?” tanyaku lalu tersenyum.

Pram kembali menengok isi lemariku, namun sepertinya tak menemukan pakaian dalam yang kumaksud.

“Di laci, paling bawah. Yang kanan BH, yang kiri celana dalam.”

“Di rak paling atas, G-string.” sambungku.”

Dengan cepat ia membuka laci dan pintu lemari bagian atas lemariku, lalu melihat isinya.

“G-String atau yang biasa?” tanyanya sambil memamerkan kedua pilihan itu.

“Sayang suka yang mana?” tanyaku.

“Terserah ibu aja sih.”

Aku meraih celana dalam biasa, lalu meletakkannya diatas pangkuanku. Begitu juga dengan Bra.

Setelah selesai, ia menuntunku untuk berdiri, lalu memasangkan seluruh pakaian itu ditubuhku.

“Hari ini ibu bener-bener jadi ratu. Di mandiin, dibuatin sarapan, dibuat orgasme, trus di pasangin pakaian.” gumanku saat ia menutup kancing bajuku.

Pram tersenyum, lalu mngusap pipiku dengan lembut.

“Ibu layak untuk jadi ratu, karena ibu sudah melakukan semuanya untuk saya”

“Makasih sayang..” bisikku, lalu mengecup keningnya.

“Sekarang ibu pakai jilbabnya,”

Aku mengangguk, dan sebelum beralih dari hadapannya, kusempatkan untuk waktu untuk kembali menyentuh penisnya, menggengamnya dengan lembut.

“Ibu belum dikasih ini.” kataku sambil mengocok pelan penisnya.

Pram, lelakiku, melumat bibirku dengan lembut.

“Nanti..” bisiknya.

♡♡♡

Sesampainya di warung tempatku bekerja, seperti biasa, si ibu menyapaku dengan hangat.

“Pagi ini ini mbak Rindi kelihatan segar, ceria, wajahnya kelihatan makin ayu.”

Pram pun sempat mengatakan hal yang sama, saat dalam perjalanan mengantarkanku.

Terdengar sedikit janggal bagiku, karena aku tampil dengan pakaian seadanya, wajahku pun hanya dipolesi dengan make-up tipis sewajarnya. Tidak ada yang istimewa dalam diriku, dan masih seperti kemarin-kemarin.

Apakah karena di awal hari ini, aku telah mendapatkan perlakuan khusus yang romantis dan membuatku bahagia, dan perasaan itu terpancar lewat wajah dan gerak-gerik tubuhku?

Mungkin saja begitu. Pram membuat hatiku berbunga-bunga, memperlakukanku bagai seorang perempuan istimewa di awal hari. Ia membuatku merasa nyaman dan sangat disayangi olehnya. Itulah yang kurasakan.

Hal-hal sederhana seperti yang ia lakukan pagi ini akan membuat wanita manapun bangga pada dirinya sendiri, membuat hati wanita luluh dan rela melakulan apapun untuk mendapatkan perlakuan seperti itu dari seseorang yang ia sayangi.

Aku beruntung, karena Pram telah melakukannya untukku.

“Ah..ibu bisa aja.. saya biasa aja kok bu. Cantikan cewek-cewek kampus kok bu.” balasku.

Si ibu tersenyum.

“Banyak yang cantik karena pakai make-up. Tapi mbak Rindi gak seperti itu, cantiknya gak ngebosenin.”

“Makasih bu..” gumanku, lalu beranjak ke dapur, bersiap untuk bekerja.

Bahagia itu sederhana, dan rasa itu akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih tenang dan nyaman dengan diri sendiri. Rasa itu akan membuat lingkungan disekitarmu merasakan hal yang sama, membawa pengaruh positif pada mereka yang mengenalmu.


Sepagian, hanya beberapa orang yang datang dan menikmati makanan di warung, namun menjelang jam sebelas siang, suasana sepi itu berubah drastis.

Serombongan pelajar entah darimana datangnya tiba-tiba memenuhi warung, jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Tampaknya mereka berasal dari satu sekolah, atau mungkin satu komunitas karena mengenakan pakaian yang seragam.

“Mereka anak-anak darimana bu?” tanyaku.

“Kayaknya sekolahnya di babarsari. Beberapa sering makan disini, dan ibu kenal.”

Saat sedang mengantarkan minuman pesanan, beberapa anak laki-laki diantara mereka mencoba menggodaku. Tentu saja aku tahu mereka sedang bercanda.

“Kamu ini masih kecil, gak cocok pacaran sama mbak.” balasku, sambil meletakkan minuman pesanan mereka.

Banyak diantara mereka yang menertawai anak laki-laki tersebut.

“Kamu belajar yang bener, sekolah yang bener. Trus kuliah. Kalo udah lulus, cari kerja. Baru cari pacar.” sambungku.

“Iya mbak, tapi aku sudah punya pacar.”

“Ini pacarku.” Sambungnya.

Sontak saja seluruh teman-temannya menyorakinya, membuat suasana warung menjadi ramai. Si remaja putri disampingnya tampak malu dengan wajah memerah.

“Udah punya pacar kok masih godain mbak?” tanyaku.

“Enggak kok mbak, cuman bercanda aja kok.”

“Iya nih mbak, dimarahin aja, jewer aja mbak.. emang genit banget kalo liat cewek cantik.” timpal si remaja putri yang merupakan pacar si penggoda.

“Ya udah, kalian makan dulu ya, mbak tinggal kedapur.”

Sambil melangkah kedapur, aku tersenyum ke arah si ibu yang nampak senang karena mungkin dagangannya akan habis setelah rombongan pelajar itu pergi.

“Emang rejeki gak akan kemana ya mbak Rin.” guman si ibu sambil memandangi para pelajar yang dengan lahap menyantap makanan dihadapan mereka.

Aku mengangguk setuju. Aku pun meyakini hal tersebut, walaupun hingga kini, tak satupun kabar tentang lamaran pekerjaan yang telah kukirim. Namun aku yakin, aku pasti akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Aku hanya harus lebih bersabar menanti saat itu.

Dan sesuai dugaan kami, hampir seluruh dagangan makanan itu ludes ketika rombongan pelajar itu meninggalkan warung.

“Wah, saya terlambat” guman Sandi saat melihat menu makanan yang ada.

“Mas telat.” timpalku.

“Iya mbak, tadi masih ada kerjaan dikit. Sebelum pulang mau makan dulu, eh malah udah pada habis. Ya sudah, makan seadanya saja.” balasnya sambil mengambil menu makanan yang ada.

“Maaf mas Sandi, tadi warungnya rame, jadi menunya tinggal kayak gini.” timpal si ibu.

Seperti biasa, aku menyiapkan minuman untuk Sandi, dan menemaninya makan siang. Aku pun menyantap makan siangku bersamanya, dengan lauk pauk seadanya.

“Mbak Rindi, habis makan mbak langsung pulang aja. Kita tutup aja mbak.” kata si ibu.

Aku mengangguk senang, karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu dirumah.

Aku berencana merapikan halaman belakang rumahku, yang mulai ditumbuhi oleh tumbuhan liar dan rumput-rumput yang mulai meninggi. Selain itu, aku bisa beristirahat, sebelum mengantarkan Calya ke bandara.

“Mbak Rindi pulangnya sama mas Sandi aja. Kalian kan rumahnya searah perjalanan.” sambung si ibu.

“Iya mbak, gak apa-apa kok. Kebetulan kerjaan saya sudah selesai.”

Aku berpikir sejenak, tidak langsung menerima tawarannya. Aku yakin, Pram sedang bersama sang kakak dan tentu saja akan menganggu waktu mereka jika ia harus menjemputku, lalu mengantarkanku pulang. Tawaran dari Sandi adalah solusi yang baik. Atau, aku bisa pulang dengan menaiki angkutan umum atau taksi.

“Tapi gak merepotkan mas Sandi kan?”

“Enggak kok mbak, malah saya senang ada temannya.”

“Oke deh kalo gitu, saya numpang sama mas Sandi aja.”

Sandi mengangguk, lalu melanjutkan menyantap makan siangnya.

Awal perkenalan kami kurang menyenangkan bagiku, karena Sandi sedikit berani melanggar privasiku tentang kedekatanku dengan Pram.

Walaupun Sandi tak pernah mengatakan secara langsung, namun aku sangat yakin, saat itu ia menaruh perhatian padaku. Ia menyukaiku. Dan ketika ia mulai merasakan penolakan dariku, sikapnya pun berubah.

Aku yakin, Sandi adalah pribadi yang dewasa dan mampu menerima kenyataan tersebut. Hal itu terbukti dengan moment seperti ini, dimana kami bisa menikmati makan siang bersama tanpa ada rasa canggung, bahkan menawari untuk mengantarkanku pulang kerumah.

“Hati-hati dijalan mas Sandi, mbak Rindi.” kata si ibu saat kami berpamitan.

Entah mengapa, selama ini aku merasa jika si ibu berusaha menjodohkanku dengan Sandi. Aku memakluminya karena si ibu tidak mengetahui kedekatanku dengan Pram, sejauh mana hubunganku dengan Pram.

Berbeda dengan Sandi, yang telah mengetahui kedekatanku dengan Pram, bahkan mungkin mengira bahwa kami adalah sepasang kekasih.

“Jadi dosen itu enak gak sih mas?” tanyaku, saat kami berjalan meninggalkan warung.

“Ada enaknya, ada gak enaknya. Namanya juga pekerjaan mbak, jadi ya sebisa mungkin dinikmati, dijalani dengan sungguh-sungguh.

“Emang gak enaknya gimana mas?”

“gak enaknya itu kalo kita udah ngajar, tapi masih banyak mahasiswa yang belum paham dengan materi yang udah dijelaskan. Atau, nilai mahasiswa yang jelek.”

“Kalo sampai nilainya jelek, berarti kan saya gagal dalam mengajar.”

Aku mengangguk setuju.

“Kalo enaknya yang gimana?”

“enaknya itu kalo punya mahasiswa pinter-pinter. Rajin ngerjain tugas. Nilainya bagus. Dan yang lebih membahagiakan itu kalo sampe ada anak didik yang lulus, sukses, dapet kerjaan bagus. Ada kebangaan tersendiri lho mbak. Rasanya puas banget bisa membimbing dan memberi ilmu sampai dia sukses.”

“Iya yaaa.. pasti rasanya bangga banget kalo ngelihat anak didik bisa sukses.”

“Bener mbak. Dunia pendidikan itu sebenernya tulang punggung kemajuan bangsa, jadi seharusnya kualitasnya selalu ditingkatkan sesuai perkembangan jaman.”

“Haduhhh mas.. jangan ngomong yang berat-berat kayak gitu, otak saya gak mampu mas.” kataku.

Sandi tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Iya, maaf mbak.”

“Oh iya, mbak tunggu saya di depan ya, saya ambil tas diruangan saya dulu.”

“Iya mas, saya tunggu di depan.”

Sambil menunggunya, kusempatkan membuka ponselku, memeriksa jika saja ada pesan dari Pram. Namun sepertinya Pram tengah sibuk, atau paling tidak menemani Calya menghabiskan waktu sebelum berangkat nanti malam. Tak berapa lama, Sandi menyusulku.

“Ayo mbak, kita pulang.”


♡♡♡ bersambung ♡♡♡

part 4 akan rilis beberapa jam kedepan.


terima kasih :rose:
 
Bimabet
Part 4


Rindiani


Aku mengangguk, mengikuti langkahnya menuju ke parkiran dimana ia memarkirkan mobilnya.

“Belum ada kabar panggilan kerjaan sama sekali ya mbak Rin?” tanyanya saat kami mulai meninggalkan kampus.

“Belum mas. Emang sekarang sulit banget nyari kerjaan.”

“Yang penting sabar aja mbak. Pasti nanti dapet kok.”

Aku mengangguk, dan mengamini perkataannya.

“Ngomong-ngomong, kira-kira Pram marah gak kalo tau saya yang anterin mbak pulang?”

“Ya enggaklah mas. Pram bukan orang seperti itu.”

“Syukurlah.”

“Saya sudah memperhatikannya sejak dia masuk di kampus ini. Bukan apa-apa sih mbak, tapi dia memiliki kepribadian yang unik. Pendiam, kutu buku. Saya sering melihatnya di perpustakaan. Dan sampai sekarang pun dia masih melakukannya.” sambungnya.

“Dia memang pendiam kok mas, kelihatan cuek dan penyendiri, tapi baik kok.”

Sandi mengangguk, lalu melirik jam yang berada ditangannya.

“Mas ada acara?” tanyaku.

“Gak ada kok mbak, cuman ada janji aja sama beberapa teman. Janjian di rumah aja kok.”

“Wah, saya jadi ngerepotin mas Sandi.”

“Enggak kok mbak. Mereka teman-teman yang pengertian kok. Oh iya, kita mampir dirumah saya sebentar ya mbak, boleh?” tanyanya.

“Boleh mas. Sekalian mas ketemuan dulu sama temen-temennya, siapa tau mereka udah nungguin mas.”

Sandi hanya tersenyum, lalu memacu mobilnya dengan sedikit kencang.

Puluhan menit berikutnya, kami tiba di kediamanya, sebuah rumah minimalis dua lantai yang dikelilingi pagar tembok seringgi hampir tiga meter.

Rumah dengan cat warna putih itu tampak megah dan mewah, dengan pintu gerbang yang selalu tertutup rapat. Dan ketika kami sampai disana, seorang lelaki paruh baya dengan sigap membuka herbang itu untuk kami.

“Siang mas Sandi. Siang mbak.” sapanya dengan ramah.

“Siang pak.” jawab Sandi dengan takzim.

Aku hanya tersenyum sambil sedikit menundukkan wajah padanya sebagai tanda hormatku padanya.

“Teman-teman kecil udah pada datang?” tanya Sandi setelah keluar dari mobil.

“Belum Pak, mungkin sebentar lagi. Biasanya mereka tepat waktu kok.”

Lelaki paruh baya itu meninggalkan kami sejenak, menutup kembali pintu gerbang dan menyisakan sedikit bagiannya terbuka sebagai akses keluar masuk.

“Mari mbak, masuk sebentar. Saya taruh tas ini dulu.” ajak sandi.

Aku mengikuti langkahnya, mengekor dibelakang, memasuki rumahnya yang megah. Seorang perempuan paruh baya pun keluar dari arah dalam dan menayapa kami. Sepertinya, kedua orang tersebut merupakan pembantu di rumah ini.

“Wah, ada tamu..” kata si ibu.

“Iya mbok, tolong dibuatkan minum ya..”

Wanita itu mengangguk.

“Mbak mau minum apa? Teh, kopi, es sirup?”

“Kopi boleh bu..”

Si ibu kembali mengangguk.

“Terima kasih.” Kataku lagi sebelum si ibu melangkah pergi.

“Mbak Rindi, saya tinggal sebentar ya.” kata Sandi.

“Iya mas, silahkan.”

Tak berapa lama berselang, si ibu paruh baya kembali, membawakan segelas kopi hitam untukku. Segelas teh panas dan dua gelas air putih.

“Mari mbak, silahkan diminum.” kata si ibu dengan takzim.

Aku mengangguk pelan, dan si ibu kembali masuk kearah dalam rumah.

Beberapa saat berlalu, terdengar suara keramaian di depan rumah, sepertinya suara anak-anak kecil yang tengah memanggil Sandi.

Sandi bergegas keluar, dan menemui mereka. Serombongan anak-anak kecil, mungkin berusia antara tujuh dan delapan tahun tengah menunggu didepan teras.

“Mas, kita boleh renang gak?” tanya salah seorang diantara mereka.

“Boleh.. tapi ingat, setelah renang, harus belajar.”

“Siaaapppp.” jawab mereka serentak.

“Ya sudah, lewat pintu samping ya.” kata Sandi.

Aku mendengar semuanya karena sedang berada di ruang tamu, sambil memandangi beragam bingkai berisi foto-foto Sandi saat masih remaja.

Beberapa foto mungkin saat ia masih kuliah, dan saat wisuda.

“Mari mbak, sambil diminum.” kata Sandi, lalu duduk di sofa di seberangku.

“Iya mas.”

“Mereka anak-anak darimana mas?” tanyaku.

“Dari sekitar sini mbak. Setiap hari sabtu saya membebaskan mereka untuk berenang di kolam renang saya, dibelakang rumah. Setelah itu saya membimbing mereka untuk belajar, seperti les private.”

“Gratis?” tanyaku lagi.

Sandi mengangguk, lalu menyeruput teh di hadapannya.

“Tadi yang datang baru sembilan anak, masih kurang enam lagi.”

“Mereka anak-anak putus sekolah?” tanyaku lagi, lalu menyeruput kopi.

Sandi menggelengkan kepala.

“Mereka masih sekolah mbak, cuman saya kasih pelajaran tambahan, biar makin terasah pikirannya.”

Aku mengangguk pelan, dan dalam hati mengagumi sikap baiknya. Sebagai seorang yang begelut dalan dunia pendidikan, Sandi tidak pelit berbagi pengetahuan, berbagi ilmu yang miliki terhadap orang lain.

“Daripada kita memberi mereka uang, atau kekayaan berupa benda, lebih baik kita memberi mereka pendidikan, memberi ilmu, sebagai modal untuk kehidupan mereka nantinya.”

“Iya benar banget mas, saya setuju. Ilmu gak akan habis dimakan rayap. Sementara benda-benda akan habis, mungkin hanya dalam waktu singkat.”

“Yaaa.. itu maksud saya mbak. Mereka anak-anak kurang mampu disekitar sini, dan saya ingin mereka mereka menjalani masa depan dengan modal ilmu pengetahuan, agar mampu bersaing dengan orang lain.”

“Kemiskinan bukan takdir, tapi tergantung bagaimana kita mengatasinya.” timpalku.

Sandi mengangguk, lalu kembali menyeruput minumanya.

“Yuk, kita lihat mereka.. kalo gak diawasi, kadang mereka bertengkar.” kata Sandi.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Kami melewati ruang tengah yang berisi perabot-perabot mewah. Di dinding, berbagai foto Sandi terpajang disana. Dibelakang ruang tengah ada sebuah pintu, dan ketika ia membukanya, pemandangan asri nan segar terpampang di hadapan kami. Sebuah kolam renang ukiran kecil dikelilingi oleh detetan tanam-tanaman hias, serta beberapa kursi tempat bersantai.

Anak-anak yang merupakan ‘teman’ Sandi tengah asik berenang. Ada pula yang sedang bersantai, sambil menikmati minuman ringan yang tersedia disitu.

“Teman-teman, ini salah satu teman mas. Kenalin, Namanya mbak Rindi.” Kata Sandi dengan suara sedikit keras.

“Mbak Rindi juga guru?” tanya seorang anak perempuan yang berada di tepian kolam renang.”

“Bukan dek, mbak bukan guru.”

“Oooo kirain guru kayak mas Sandi.”

Anak-anak itu nampak senang dan sangat menikmati waktunya. Demikian juga dengan Sandi, wajahnya nampak ceria melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bergembira di hadapannya.

Aku sangat jarang menemukan kebaikan hati seperti yang Sandi lakukan, terutama dari mereka yang telah mapan kehidupan ekonominya.

Sandi melakukannya dengan ringan hati, bahkan membuka pintu rumahnya untuk anak-anak ini. Tindakannya membuatku kagum.

“Yuk, kita masuk mbak, habisin minumnya, trus saya anter pulang.”

Aku mengangguk, lalu kembali mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Saat melewati ruang tengah, kami berpapasan dengan si mbok, sedang menyapu lantai ruangan tersebut.

“Mbok, nanti kalo mereka habis renang, suruh makan duluan ya mbok. Setelah itu awasi mereka belajar, sampai saya kembali. Saya mau keluar sebentar, mengantarkan mbak ini pulang.” kata Sandi.

“Iya mas..” kata si mbok dengan sopan.

Kami melanjutkan obrolan di ruang tamu, dan hanya beberapa saat kemudian, segerombolan anak-anak yang lain pun berdatangan, menyusul teman-teman mereka yang terlebih dahulu memceburkan diri di kolam renang.

“Dulu, saya suka berenang. Waktu itu saya masih kecil, dan kehidupan keluarga saya bisa dibilang miskin, jadi kalo mau berenang, saya harus ngamen dulu, cari uang buat bayar karcis masuk kolam renang.”

“Keluarga mas petani?” tanyaku.

“Bukan mbak. Bapak saya buruh bangunan, ibu saya pembantu rumah tangga.”

“Sejak dari bangku SD, saya sudah bertekad untuk merubah keadaan keluarga saya. Saya beruntung, karena bisa mengenyam pendidikan gratis berkat adanya beasiswa dari pemerintah.

“Dan sekarang, semua usaha mas itu terbayar. Mas Sandi sudah bisa merubah keadaan keluarga mas.” gumanku.

“Kira-kira begitu mbak. Saya percaya, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.”

“Yang penting sabar, tekun, dan berdoa. Itu kuncinya.”

“Tapi masih kurang satu hal lho mas…” gumanku.

Sandi menatapku dengan sedikit keheranan, ekspersi wajahnya seakan bertanya-tanya.

“Kurang pendamping hidup. Supaya bisa menemani perjalanan hidup, bisa berbagi.”

Sandi tersenyum, lalu menyeruput minumannya. Begitu juga denganku.

“Soal itu, biar waktu yang menjawab. Bagi saya, pasangan hati itu gak bisa asal pilih, apalagi di usia seperti kita sekarang ini mbak.”

Aku mengangguk, menyetujui ucapannya.

“Saya anter pulang sekarang mbak?” tanyanya.

“Iya, boleh mas.”

“Sebentar ya mbak, saya pamit sama si mbok dan teman-teman kecil saya.”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Awalnya, aku merasa Sandi adalah sosok yang kurang ramah, aku mengira ia adalah sosok jauh dari lingkungan pergaulan seperti yang kutemui dalam kehidupanku sehari-hari. Dan semua pemikiran itu salah.

Semua prasangka itu salah, setelah mengenalnya sedikit lebih jauh. Ia membuatku kagum dengan dedikasinya, dengan jiwa sosialnya yang tinggi.

Ditengah hidup yang mapan, ia masih sempat meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dilingkungan sekitar rumahnya dengan memberi les private gratis. Kepeduliannya tentang masa depan ‘teman-teman kecil’nya sangat mulia. Ia ingin mengubah kehidupan masa depan mereka dengan bekal pendidikan, ilmu pengetahuan.

“Kenapa mas gak buka sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu?” tanyaku saat dalam perjalanan.

“Saya sempat berpikiran seperti itu mbak, tapi untuk saat ini, saya belum bisa mewujudkannya. Saya masih aktif mengajar di kampus. Sebagian besar waktu saya tersita disana.”

“Kalo mbak Rin gimana? Apa cita-citanya waktu kecil?”

Aku tertawa kecil, mencoba mengingat beberapa cita-cita yang kuimpikan sejak masih SD.

“Waktu SD, saya bercita-cita jadi pilot mas.” jawabku malu-malu.

Sandi tersenyum sambil melirik ke arahku.

“Sama… saya juga begitu.” timpalnya lalu tertawa.

“Tapi berubah lagi. Waktu SMP pengen jadi wartawan. Soalnya bisa mengunjungi berbagai daerah di negri ini.”

Sandi mengangguk, sambil mengawasi jalan didepan kami.

“Nah, waktu SMA, berubah lagi, pengen jadi dokter.”

“Tapi ternyata otak saya kurang mampu, akhirnya malah masuk di fakultas ekonomi.”

“Semua itu baik kok mbak, bagus. Semua profesi itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua itu mulia kok.”

“Maksudnya gimana mas?” tanyaku.

“Sarjana ekonomi itu penting juga kok. Apalagi untuk cewek, bisa lebih kritis dan pandai dalam mengolah dan mengatur keuangan keluarga. Iya kan?”

Aku mengangguk, menyetujui pendapatnya.

“Perusahan berskala kecil, sampai berlabel internasional, semuanya membutuhkan sarjana ekonomi yang kompeten, agar roda perusahaan bisa berjalan dan bersaing. Saya pribadi lebih senang dan lebih percaya, jika tata kelola keuangan dan analisis ekonomi perusahaan itu dipegang oleh perempuan, karena insting perempuan, ketelitian perempuan dalam mengolah data dan keuangan, biasanya jauh lebih baik daripada laki-laki.”

“Gak juga sih mas, semua tergantung dari kemampuan otak.” bantahku.

“Iya, benar begitu, tapi ingat satu hal mbak, sebagai contoh kecil saja. Dalam keluarga, istri adalah pengendali arus keuangan. Habitatnya perempuan memang disitu, dan lebih cocok disitu.”

Sebuah pemikiran yang matang dan sangat universal, karena aku telah menjalaninya. Ibu rumah tangga merupakan seorang bendahara yang handal, seorang akuntan hebat yang harus mampu mengelola keuangan keluarga. Aku pernah mengalami dan merasakannya.

“Nanti malam mbak Rindi ada acara?” tanya Sandi saat kami telah tiba didepan rumahku.

“Iya mas, ada. Mau keluar sama Pram. Mau belanja.” kataku.

“Wah, selamat bermalam minggu ya mbak.”

Aku tersenyum sambil menunduk malu.

“Mampir dulu mas.”

“Makasih mbak, saya harus langsung pulang, soalnya ada teman-teman dirumah.”

“Oh iya ya.. ya udah, makasih ya mas. Hati-hati dijalan.” kataku seraya keluar dari mobilnya.

Setelah kepergian Sandi, aku memasuki halaman rumah dan mendapati mobilku terparkir disana. Sepeda motor Pram ada disampingnya.

Aku sengaja melewati samping rumah, dan mendapati Pram tengah mengerjakan sesuatu diatas meja belajarnya, di dalam kamar kost.

“Selamat siang sayang..” sapaku.

Pram nampak terkejut melihat kehadiranku.

“Kok ibu udah pulang? Kok gak kabarin saya? Ibu pulang naik apa?” tanyanya bertubi-tubi.

Aku memasuki kamarnya, dan berdiri disampingnya. Kukecup pipinya lalu memeluk tubuhnya dengan sangat erat.

“Ibu pulang dianter mas Sandi. Kebetulan tadi dia makan siang diwarung, waktu warungnya mau tutup.”

“Kok ibu gak ngabarin saya?” tanyanya sambil memutar tubuh, menghadap ke arahku.

“Ibu kira Pram lagi sama mbak Aya. Ibu gak enak mau ganggu waktu kalian, apalagi nanti malam mbak Aya udah harus berangkat.”

Pram mengangguk, lalu meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut.

“Tadi saya ke hotel bu. Tapi mbak Aya lagi ada janjian ketemuan sama teman-temannya di lobi hotel. Mereka ngobrol disana. Saya disuruh nunggu dikamar.”

“Saya gak mau, jadi ya disuruh pulang aja. Katanya nanti jam empat aja baru jemput dia, anterin ke bandara.”

“Trus, Pram udah makan siang?”

“Udah bu, tadi buat mi di rumah ibu.”

“Kok makan mie aja?” tanyaku.

“Gapapa bu, mau masak tapi males. Mau beli makan juga males keluar. Jadi ya buat mie aja”

“Mau ibu masakin?”

Pram menggelengkan kepala.

Kuletakkan tas cangklongku diatas kasur, lalu menutup pintu kamarnya.

“Pram lagi belajar?”

“Enggak bu, cuman baca-baca aja, sekalian nyiapin bahan buat skripsi."

Aku kembali mendekatinya, mengusap kedua pipinya dengan lembut.

“Pacar ibu rajin.. pinter.” gumanku, lalu mengecup kepalanya.

Pram membalas dengan melingkarkan tangan dipinggangku, mengecup perut, lalu menyandarkan wajah disana.

“Ya udah, sayang lanjutin belajarnya, ibu mau tiduran aja disini, nemenin sayang.”

“Enggak bu, udah cukup belajarnya. Mau istirahat juga sama ibu.”

“Kita istirahat disini, boleh?”

“Boleh kok bu, yang penting bisa sama-sama ibu.” jawabnya malu-malu.

Aku tertawa melihat tingkahnya yang masih saja sungkan terhadapku.

“Sayang.. kita udah sama-sama kayak suami istri gini kok masih malu-malu gitu sih?” tanyaku sambil membaringkan tubuh diatas kasurnya.

“Biar bagaimanapun, ibu kan punya privasi juga, punya waktu untuk bersantai, memanjakan diri. Siapa tau ibu lagi pengen istirahat sendiri.”

“Sini, tiduran sama ibu..” kataku.

Pram pun membaringkan tubuh diatas kasur, disampingku.

“Iya, ibu ngerti kok. Dan kamu juga berhak untuk meminta apapun dari ibu, karena ibu milik kamu.” kataku, sambil meletakkan kepala di dadanya.

“Kamu jiga sama seperti ibu, berhak untuk mempunyai waktumu sendiri.”

“Tapi kalo dari ibu, ibu selalu ingin sama-sama kamu.” sambungku.

Pram mengusap lembut kepalaku, lalu mengecupnya. Satu kakiku kutumpangkan keatas pinggulnya.

“Ibu gak bosen sama-sama saya terus?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, lalu beringsut naik keatas tubuhnya, menindihnya.

“Gak bosen sama sekali.”

“Dan kamu tau? Ibu malah gak mau pisah sama kamu.” sambungku.

Pram mengusap lembut pipiku. Tatapannya begitu dalam, seolah menembus ruang terjauh di hatiku.

Kudekatkan wajahku, dan disambutnya dengan sebuah ciuman hangat dan mesra. Pram, lelakiku melumat bibirku dengan penuh rasa.

Aku tahu, ia mengerti apa yang kurasakan tentangnya, Pram memahami sepenuhnya bahwa dia adalah lelakiku. Setiap detik, setiap menit, setiap hari yang telah kulewati bersamanya membuatku mengerti bahwa, irama kehiduapn akan semakin penuh warna dan ceria, jika bisa mendapatkan dan merasakan kebahagiaan.

Sejatinya, aku masih dalam perjalanan menuju ke kehidupan baru, dan dalam satu titik persimpangan jalan, aku bertemu dengan lelakiku, Pram. Ia menemaniku, berjalan disisiku, mengisi kekosongan separuh jiwaku saat suamiku meninggalkanku.

Pram berhasil mengisi kekosongan itu, menjadikan hatiku utuh kembali. Semua yang ada padanya membuatku kagum. Ia laki-laki sempurna dimataku.

“Kita kan udah deket kayak gini. Nah, ibu mau tanya sesuatu sama kamu.”

“Mau tanya apa bu?”

“Apa yang kamu sukai dari ibu?”

Pram nampak bingung dengan pertanyaanku,

“Gak tau bu. Pokonya ya nyaman aja sama ibu, makanya saya senang dekat sama ibu.”

“Kamu sadar, kalo ibu ini lebih tua dari kamu lhooo..”

“Iya, saya tau kok bu, saya sadar.”

“Kamu gak malu, kalo orang lain tau hubungan kita?”

Pram menatapku dengan penuh keheranan.

“Kok ibu nanyanya gitu?”

“Sayang…, ibu cuman nanya aja kok.”

Pram tersenyum lalu, mengecup keningku.

“Saya gak malu kok bu. Saya gak peduli dengan pendapat orang lain, yang penting saya nyaman, saya bahagia, begitu juga dengan ibu.”

Aku puas dengan jawabannya, karena mengisyaratkan bahwa ia meletakkan hubungan kami, diatas segala opini dan pendapat orang lain. Aku memiliki makna dalam hidupnya.

“Makasih sayang.” balasku singkat, lalu mengecup keningnya.

Seorang janda dengan satu anak, bersanding dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih muda, merupakan suatu hal yang sering menjadi bahan pergunjingan.

Hubungan seperti ini hampir selalu menjadi buah bibir, Dalam konotasi yang cenderung negatif.

Dalam hubunganku dengan Pram, aku adalah perempuan yang beruntung, setidaknya, itulah yang kurasakan sampai saat ini. Usianya masih muda, pola pikir yang dewasa, penuh perhatian terhadapku, maupun putriku Nova, dan disukai oleh kedua orangtuaku.

Pram bisa saja memilih perempuan lain yang lebih dari aku, namun ia tak melakukannya. Ia justru memilihku, walaupun hubungan kami terjalin berdasarkan ‘sama-sama tahu’, karena tanpa ada ungkapan kata-kata cinta dan romantis diantara kami.

Entah apa yang ia lihat dariku sehingga ia bisa menjadi sedekat ini denganku. Sebuah pertanyaan, yang mungkin tak kan pernah terjawab dengan pasti.

Akhirnya, suasana sepi rumah dan mendung di langit kota pelajar membuat kami tertidur pulas.

Pukul tiga, lewat beberapa menit, aku terjaga dari tidurku, sementara Pram masih terlelap, memelukku dengan sangat erat.

Sebuah kecupan dikening yang akhirnya membuat Pram terjaga dari tidurnya.

“Kita mandi, trus ke hotel.” kataku.

Pram mengacuhkanku dengan menutup kembali matanya, wajahnya menempel erat didadaku. Tingkahnya membuatku tersenyum dan gemes.

“Nanti kita telat lhooo.” sambungku, sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

Lagi-lagi Pram mengabaikanku, bahkan semakin menenggelamkan wajahnya dipayudaraku.

“Ckckckckckckck.. kayak Nova aja, manja bener.” gumanku.

Pram tersenyum, walaupun matanya masih terpejam.

“Enak.. empuk.. kenyal..” gumannya, sambil mengusapkan wajah di dadaku.

“Namanya juga nenen, kalo batu ya keras.” sahutku.

Pram tertawa, lalu menarik kepalanya dari dadaku. Sambil tersenyum, ia membuka kancing kemejaku, satu persatu, lalu mengusap bagian payudaraku yang tak tertutupi bra.

Perlahan, ia mendekatkan kembali wajah, lalu mengecupnya.

Kupejamkan mata sejenak, menikmati tarian lidahnya dipermukaan kulitku, meresapi setiap detiknya.

Tak hanya sampai disitu, kedua tangannya pun mulai ikut bergerak, meremas lembut selangkanganku, yang masih tertutupi oleh celana jeans.

Setiap detik yang berlalu, setiap menitnya, berhasil membangkitkan gairahku. Pram memancing nafsu birahiku.

Tak sabar dengan permainannya yang lambat dan lembut, akhirnya kubebaskan payudaraku dan menyodorkannya ke mulut Pram.

“Isepin..” bisikku sambil menyelipkan tangan kedalam celananya.

Pram tersenyum, lalu mengusap pipiku.

“Kita mandi yuk.. nanti kita telah jemput mbak Aya.”

“Hhhiiiiiiiiihhhhhhhhhhhhh…!” seruku dengan gemes sambil meremas kemaluannya.

Pram tertawa dan berusaha melepaskan cengkraman tanganku yang kuat dari batang penisnya.

“Tadi ibu ajak mandi gak mau, malah gangguin ibu. Giliran ibu pengen, malah diajak mandi!” protesku sambil terus meremas kemaluannya.

Pram tertawa, sambil mendekapku erat.

“Ibu gak boleh marah-marah, nanti tekanan darahnya naik.”

“Biarinnnn..ibu kesel..!” jawabku.

“Nanti habis anterin mbak Aya, ibu saya bikin lemes, saya buat ibu KO.”

“Sekarang, Kita mandi yuk..”

Aku mengangguk,

"Awas kalo kamu bohongin ibu..!" Kataku sambil meremas krmaluannya.

Pram melumat bibirku,

"Ibu bakal gak bisa jalan besok pagi" bisiknya sambil menyelipkan tangan kedalam celanaku dan mengusap vaginaku.

Aku tersenyum senang, lalu mengajaknya menuju ke rumahku.

♡♡♡

Suasa sore nan teduh kota pelajar benar-benar dimanfaatkan oleh penghuninya untuk menikmati akhir pekan.

Jalan-jalan nampak disesaki oleh kendaraan roda dua dan roda empat.

Malam minggu, malam bagi para muda-mudi untuk bersantai, menikmati waktu dengan pasangannya masing-masing.

“Sayang beneran gak mau pulang sama mbak Aya?” tanyaku saat dalam perjalanan menuju ke hotel.

“Enggak bu. Saya mau liburan disini aja, sekalian siapin bahan buat skripsi. Mau nyicil dulu mumpung lagi libur.”

“Topan, galang, Nina sama Deva juga skripsi?”

“Iya bu. Semester ini udah skripsi semua.”

“Berarti cuman Rita aja yang bisa santai..” gumanku.

“Iya bu, dia masih dua semester lagi baru skripsi.”

Kemacetan adalah pemandangan yang biasa tersaji di akhir pekan, terutama di area Malioboro.

Icon kota pelajar ini merupakan dalah satu tempat favorit bagi sebagian besar penghuni kota pelajar.

Pedagang kaki lima, pedagang asongan, warung tenda, angkringan, selalu menghiasi setiap sudutnya.

Penduduk lokal, para pelancong dari penjuru dunia, maupun dari provinsi lainnya, bercampur baur, memenuhi ruas trotoar.

Kota dengan berjuta kisah didalamnya, merupakan salah satu kota favorit Calya, walaupun ia telah mengunjung banyak kota di luar negri.

Inilah kota kelahiranku, dan aku bangga akan hal tersebut.

Saat memasuki area parkiran hotel, Calya telah menanti kami disana. Ia berdiri didepan pintu lobi. Sambil menyeret travel bag, ia tersenyum ke arah kami.

“Mbak kira kamu telat.” katanya sambil berjalan ke arah belakang mobil, lalu memasukkan travel bag kedalam bagasi.”

“Malam minggu mbak, jadi jalannya rada macet.” kataku.

“Iya, Jogja makin macet aja.” timpalnya.

Hanya beberapa saat kemudian, kami kembali meninggalkan hotel tersebut.

“Wah, bakal kangen lagi sama kota ini..” guman Calya sambil memandangi keadaan di sepanjang Malioboro.

“Kapan-kapan main kesini lagi mbak. Tidur dirumah saya aja, gak perlu nginep di hotel. Gratis kok.”

“Iya mbak Rin, saya pasti kembali kesini kok. Saya gak pernah bosen sama kota ini.”

“Mbak beli rumah aja disini.” celetuk Pram.

“Iya, pengennya begitu sih. Tapi nanti, tunggu kamu nikah dulu.” balas Calya.

Pram mendengus kesal, sementara aku tertawa kecil mendengar percakapan kakak beradik itu.

“Kenapa harus nunggu saya nikah dulu sih mbak? Itung-itung kan buat aset mbak juga. Harga properti disini selalu naik lho.” kataPram.

“Pokoknya kalo kamu udah nikah, mbak bakal bebas, dan bakal mulai mikirin hidup mbak sendiri. Sebelum itu terjadi, mbak gak bakal tenang.”

Pram menggelengkan kepala.

Sepertinya ia tak habis bikir dengan jalan pemikiran sang kakak.

“Atau, moga-moga kamu dapet jodoh orang sini, jadi mbak gak perlu beli rumah disini. Kalo kamu nikah sama orang sini, berarti mbak beliin kamu rumah disini. Jadi, kalo mbak liburan kesini, ada kamu disini.”

“Atau, mbak Aya yang dapet jodoh cowok Jogja, jadi bakal jadi orang sini juga.” sambungku.

Calya tertawa keras mendengar celotehku.

“Enggak ah, aku mau nikah sama orang bule aja, sama cowok dari amerika latin. Ganteng-ganteng.” balasnya.

“Udah.. gak usah mengkhayal.” guman Pram.

“Mbak dapet pacar aja saya udah seneng banget, papah mama juga pasti seneng banget. Apalagi kalo sampe nikah.” sambungnya.

Kini, giliranku tertawa mendengar komentar Pram.

“Enggak. Pokoknya mbak mau nunggu kamu nikah dulu. Kamu fokus kuliah aja, kalo bisa sambil cari pacar. Kenalin ke mbak, ke papah mamah juga, biar mereka gak selalu ngejar mbak nikah.”

Entah harus bagaimana menghadapi sifat keras kepala Calya, dan sebagai seorang wanita, aku sendiri pun tidak bisa memahaminya. Namun disisi lain, aku kagum dan salut padanya. Ia mampu memanfaatkan kesendiriannya dengan sangat baik. Meniti karir, bertanggung jawab terhadap kehidupan sang adik, dan mungkin terhadap kedua orang tuanya. Ia benar-benar patut untuk menjadi contoh perempuan modern.

Sesampainya di bandara, ia menggandeng tangan sang adik dengan mesra, sementara aku mengekor dibelakang mereka. Pram pun nampak tak keberatan dengan hal tersebut, bahkan menggengam erat jemari sang kakak. Suatu pemandangan yang menyejukkan hati melihat kedekatan dan keharmonisan hubungan mereka berdua.

Sesampainya di depan pintu masuk area Check-in, Calya mengajak kami untuk berdiri sejenak di tepian pintu, lalu mengeluarkan beberapa amplop dari dalam tasnya.

“Mbak Rin, ini uang kost Pram untuk tahun ini.” katanya sambil menyerahkan amplop itu padaku, dan segera kuterima.

“Yang ini buat mbak beli BBM, itung-itung sebagai biaya sewa mobil.” katanya lagi, sambil menyerahkan amplop lainnya.

Tentu saja aku menolaknya, bahkan berkeras untuk menolak pemberiannya itu. Namun Calya tetaplah Calya, ia tidak bisa menerima penolakan.

Beberapa saat berdebat, akhirnya Pram berbicara setelah melihat tingkah kami.

“Bu, diterima aja.. kalo ngeyel, nanti mbak Aya ketinggalan pesawat.” gumannya.

“Nah, bener tuh.. udah, pokoknya harus diterima. Saya gak mau tau dan gak mau ditolak.” kata Calya.

Dengan berat hati, aku menerima pemberiannya.

“Pram, sayang.. ini buat kamu jajan selama liburan ini. Anggap aja sebagai gantinya kamu gak pulang kerumah.” kata Calya lagi, lalu menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat pada Pram.

Pram pun menerima pemberian tersebut tanpa melalui perdebatan sepertiku. Sepertinya ia paham dan mengerti betul bagaimana sifat kakak.

“Kamu fokus kerjakan skripsinya ya. Kalo butuh apa-apa, ngomong sama mbak atau sama papah mama.” sambungnya sambil memegang lembut lengan sang adik.

“Iya mbak.. makasih ya mbak. Mbak jaga kesehatan, jangan kerja mulu, inget istirahat juga.” balas Pram.

Calya tersenyum, lalu memeluk erat tubuh sang adik untuk beberapa saat.

“Mbak Rin, saya pamit ya. Titip Pram, kalo ada apa-apa, mbak tolong hubungi saya ya.” kata Calya, lalu memelukku dengan sangat erat.

“Iya, mbak Aya juga jaga kesehatan. Jangan karir aja yang dikejar. Inget umur.” kataku.

Calya tertawa, lalu mencubit pinggangku.

“Ini lagi satu, nikah mulu nikah mulu yang diomongin.” protesnya.

Aku kembali tertawa melihat tingkahnya yang memang selalu nampak risih dan tak senang dengan topik pernikahan.

“Pram, mbak pulang ya.. jaga dirimu baik-baik.” guman Calya, lalu kembali memeluk erat tubuh Pram.

Pram mengangguk, membalas pelukan sang kakak sambil menepuk lembut punggungnya.

“Ya udah, kalian hati-hati dijalan ya,..” katanya sambil melangkah meninggalkan kami.

Pram mengangguk, dan aku mulai melambaikan tangan padanya.

Baru beberapa langkah kami berjalan, ponsel Pram berdering. Sang kakak memanggil. Entah ada hal apa yang mereka bicarakan, namun Pram hanya menjawab seadanya seperti biasanya.

“Ada barangnya mbak Aya yang ketinggalan?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala, lalu meraih jemariku dan menggengamnya dengan sangat erat.

“Mau langsung pulang, atau jalan-jalan dulu?” tanyanya.

“Kalo kita jalan-jalan dulu, boleh?” tanyaku.

“Boleh.. sesekali kita malam mingguan, pacaran..” balasnya, lalu tersenyum dan meremas jemariku dengan lembut.

“Pacaran..” gumanku, lalu tersenyum, sambil terus melangkah disisi lelakiku.


Disepanjang perjalanan, suasana jalan raya dipenuhi oleh kendaraan. Kemacetan menjadi sebuah pemandangan baru bagi kota pelajar.

Sepeda motor, mobil, bis angkutan umum, semua tumpah ruah, memadati jalan-jalan protokol kota pelajar.

“Sayang, kita lewat ring road utara aja, biar gak kejebak macet.”

Pram mengangguk, lalu membawa mobil kami menyusuri jalan lingkar utara kota pelajar.

“Ini orang-orang pada mau kemana ya? Rame banget.” gumanku sambil melayangkan pandangan pada puluhan kendaraan yang berhenti di depan kami karena lampu merah tanda berhenti menyala.

“Malioboro, ke mall, atau mungkin kayak kita, cuman jalan-jalan gak tentu arah.”

Aku mendekatkan tubuh padanya, merangkul lengan, dan menyandarkan kepala dibahunya.

“Kita kan juga mau pacaran kayak mereka.” gumanku.

Pram tersenyum, lalu mengecup kepalaku yang tertutupi jilbab.

“Mau sekalian makan malam?” tanyanya ketika kami melanjutkan perjalanan.

“Boleh, sekali-kali makan diluar. Nanti ibu yang traktir.”

“Saya yang traktir. Masa cewek traktir cowok.”

“Ya gapapa dong sayang, lagian tadi mbak Aya ngasih duit juga kan?”

“Saya juga dikasih kok. Makanya saya aja yang traktir ibu.”

“Punya ibu disimpen aja.”

“Ya sudah, ibu simpen aja uangnya. Nanti kalo kami butuh, kamu bilang ke ibu ya.”

Pram kembali mengecup kepalaku dengan lembut.

“Kita makan dimana bu?”

“Ibu pengen makan bakso. Kamu mau makan apa?”

“Mie ayam bu.”

“pas banget. Ibu tau tempat yang enak. Kita ke Babarsari aja. Disana ada warung yang enak.”

“Tapi kita mampir di SPBU dulu ya bu, isi bensin.”

Aku mengangguk, lalu kembali menyandarkan kepala di samping bahunya, menikmati moment kebersamaan kami.

Sambil menunggu Pram mendampingi petugas SPBU mengisi BBM, kuraih amplop pemberian Calya dan membukanya.

Berlembar-lemabar uang pecaham seratus ribu tertata rapi didalamnya, dan setelah kuhitung, jumlahnya sangat membuatku terkejut.

“Pram, mbak aya ngasih duit ke ibu banyak banget.” gumanku, lalu kembali memasukkan amplop tersebut kedalam tasku.

“Emang berapa sih bu?”

“Itu yang katanya uang sewa mobil. Enam juta. Gila. Itu kan banyak banget.”

Pram tertawa, lalu memintaku untuk menghitung jumlah uang di amplop miliknya. Dan ketika aku selesai mengitung, jumlah nominalnya membuatku menggelengkan kepala.

“Ini jumlahnya sepuluh juta.” gumanku.

Pram menghembuskan nafas panjang.

“Mbak Aya itu gak pernah perhitungan kalo soal uang. Kadang saya sampe capek ngomong sama dia soal uang.”

“Emang selama ini mbak Aya yang biayain kuliah kamu?”

“Sebenernya yang bayarin kuliah saya itu orang tua kami bu, dan mbak Aya yang ngasih saya uang bulanan. Tapi sejak awal saya kuliah, dia yang biayain semua.”

“Bagus dong, artinya mbak Aya emang bener-bener bertanggung jawab sama kamu.” sahutku.

“Tapi dia terlalu boros bu. Saya gak butuh uang sebanyak ini kok.”

“Berarti gaji mbak Aya gede banget dong.”

“Kalo soal gaji, saya gak tau bu. Tapi kalo dari bisnisnya, hasilnya emang gede.”

“Mbak Aya punya usaha juga???”

“Punya kok bu. Dia mulai merintis usahanya sejak jaman dia masih kuliah.”

“Usahanya apa?” tanyaku.

“Jualan pakaian tradisional indonesia di luar negri.” “Wah wah wah… kerennnn.. mbak Aya kreatif!! Pinter cari peluang bisnis.”

Pram tersenyum.

“Tapi gak pinter cari suami.” timpalnya.

Dan kami kembali tertawa, sambil menikmati kemacetan dijalan raya.

“Dulu, dia jualan blangkon, kain batik, wayang kulit dan barang lain yang menjadi simbol budaya. Trus dipasarkan secara Online di luar negri.”

“Ternyata usahanya berjalan dan makin besar, sampai sekarang ini.”

“Bener-bener perempuan hebat.” gumanku.

“Semuanya diurus dia sendiri lho bu. Gak pakai karyawan. Jadi kalo ada permintaan barang apa gitu, mbak Aya tinggal telpon produsennya, trus dikirim ke mbak Aya, nanti selanjutnya mbak Aya yang urus.”

Sepenggal cerita Pram mengenai sang kakak membuatku terkagum-kagum. Calya seolah tampak seperti seorang perempuan sempurna dimataku.

“Kalo soal uang, saya yakin, mbak Aya punya tabungan yang sangat lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya, membiayai saya, dan kedua orang tua kami.”

“Kok kamu yakin?” tanyaku heran.

“Di ATM mbak Aya yang saya pegang, jumlah uangnya lebih dari cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana.”

“Uang itu untuk kamu?” tanyaku.

Pram mengangguk.

“Dan setiap bulan, mbak Aya masih saja ngasih duit ke saya.”

Aku menggelengkan kepala setelah memdengar cerita Pram.

“Ibu tau? Setiap bulan dia pasti menambahkan saldo ditabungan yang ATMnya saya pegang. Saya capek ngomong ke mbak Aya kalo saya gak butuh uang sebanyak itu. Tapi emang dasar dianya aja bawel, cerewet. Ujung-ujungnya ya saya yang dimarahin, diomelin.”

“Bukan cerewet lho Pram, tapi mbak Aya emang sayang sama kamu. Dia pengen hidupmu terjamin, tanpa kekurangan satu apapun. Mbak Aya sayang sama kamu."

Lagi-lagi Pram menghembuskan nafas panjang.

Tak terasa, perbincangan kami itu akhirnya mengantarkan kami memasuki kawasan Babarsari. Kawasan yang terkenal dengan kampus dan deretan temapt-temapt makan ini tak kalah ramai dengan beberapa kawasan lain di kota pelajar.

“Itu tempatnya.” kataku saat kami melewati area yang sering disebut sebagai Selokan Mataram.

“Lumayan rame” guman Pram, sambil mencari tempat parkir.

“Soalnya disini menunya enak.” kataku.

Area parkiran yang penuh dengan kemdaraan memaksa kami untuk memarkirkan mobil di tepi jalan, sedikit jauh dari tempat itu.

Aku hendak membuka pintu mobil dan keluar, namun Pram segera memgang lenganku, mencegahku.

“Sini dulu.” gumannya sambil memegangang lenganku, lalu menuntun tubuhku untuk mendekat padanya.

Tiba-tiba, Pram melumat bibirku dengan lembut. Satu tangannya memegang pipiku, sementara tangannya yang lain menjamah payudara yang masih tertutupi baju.

Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya, namun dengan segera bisa menyesuaikan dan menikmatinya.

Aku membalas dengan mengulum bibirnya, meresapi setiap sentuhan jemarinya yang semakin nakal dan berani.

Ditepi jalan yang ramai kendaraan berlalu lalang, Pram menarik naik ujung baju panjang yang kukenakan, lalu mulai menggerayangi vaginaku.

Kenekatan dan kegilaan kami membuat birahiku bergejolak dan dengan cepat meninggi. Aku bahkan berani menurunkan ritsleting celana jeansnya, lalu mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana dan mengocoknya dengan lembut.

Tak sampai tiga menit, Pram berhasil membuat kemaluanku basah, karena ia mengerjai vaginaku dengan liar dan melahap puting payudaraku dengan keras.

Beberapa saat berlalu, tubuhku mulai berkeringat, apalagi baju panjang yang kukenakan berbahan kain yang lumayan tebal, ditambah dengan jilbab yang masih menutupi kepalaku. Aku benar-bemar tak mampu menguasai diriku sendiri.

Sambil menikmati Payudaraku, ia berusaha meloloskan celana dalamku, dan hanya dalam sekejab, pinggulku terbebas darinya.

“Jilatin memek ibu..” bisikku lirih sambil menahan nikmat yang telah menjalar ke seluruh tubuh.

Kurebahkan tubuh dengan punggung bersandar di pintu mobil yang masih terkunci, lalu membuka lebar kedua pahaku untuknya.

Tanpa membuang waktu, Pram segera melakukannya, memenuhi permintaanku.

Jilatan dan hisapannya yang kasar dan panas menghujani vaginaku dalam sekejab. Tubuhku merinding melihat ia mengerjai vaginaku dengan kasar. Dan rasa nikmat itu semakin menjadi ketika ia kembali mengirimkan dua jarinya memasuki liang kemaluan, vaginaku.

Pram benar-benar gila, ia ingin menghadiahkan orgasme padaku ditengah keramaian orang yang berlalu lalang dijalan.

Dan benar saja, tak lama berselang, otot-otot disekitar pahaku menegang, berkontraksi, lalu terjadilah hal itu.

Sebuah ledakan orgasme hebat terjadi dibawah sana, diiringi oleh hembusan nafasku yang panjang dan berat.

Desahaanku teredam oleh suara bising kendaraan yang lalu lalang dijalan raya. Pram melahap kemaluanku, menjilatinya, menghisap bibir-bibir vaginaku dengan rakus.

Sekali lagi, Pram sukses memberiku kejutan indah, memberi pengalaman baru dengan sensasi hebat didalamnya.

Kuistirahatkan tubuhku sejenak, menikmati orgasme yang perlahan yang mulai menghilang.

“Saaayyaanggg.. lemesss…” gumanku manja.

Pram tersenyum, lalu membersihkan wajahnya yang terkena cairan kemaluanku dengan tissue.

“Mau lagi?” tanyanya, sambil mengelus permukaan vaginaku.

Aku mengangguk, tentu saja aku menerima tawaran tersebut, karena aku tak pernah merasa bosan dengan kenikmatan seks.

“Kita makan dulu, nanti kita lanjutkan di rumah.”

Aku mengangguk pelan, lalu membenahi posisi duduk.

Pram meraih celana dalamku dari atas dashboard dan bermaksud memasangkannya kembali, namun aku menolaknya.

“Gak mau..” gumanku, sambil menggelengkan kepala.

Pram tersenyum, lalu menaruh celana dalam itu diatas dashboard.

“Yuk makan..” ajaknya lagi.

Aku mengangguk, lalu keluar dari mobil dan berjalan disisinya, melangkah menuju ke warung makan yang dipadati oleh puluhan pasang muda mudi.

Mereka nampak sangat menikmati malam akhir pekan, yang dikenal sebagai malamnya para pasangan untuk dinikmati bersama. Kami cukup beruntung karena masih mendapatkan tempat duduk, walaupun terletak jauh di bagian belakang, menghadap ke arah depan.

Satu meja yang tersisa itu tampaknya seperti meja cadangan, yang digunakan jika seluruh meja lainnya telah terisi. Pram memilih duduk disampingku, menghadap kearah para pengungung lain yang tengah asik menyantap makanannya.

“Bakso satu, mie ayam satu ya mbak. Minumnya es the sama es jeruk.” kataku pada pelayan warung yang menghampiri kami.

Ketika pelayan itu meninggalkan kami, Pram kembali beraksi. Tingkah nakalnya cukup membuatku terkejut dan takut, karena dilakukan ditengah keramaian warung.

Meja yang kami tempati memang terletak dibagian belakang, disudut ruangan. Aku duduk disebelah dalam, tepat disisi dinding yang terbuat dari bilah-bilah bambu, dan Pram duduk di sampingku, ditepi lorong. Didepan kami, meja setinggi dada orang dewasa yang ditutupi taplak meja menjadi pelindung yang baik bagi kenakalan tangan Pram.

“Sayang, nanti dilihat orang lhhoo.” Bisikku, ketika Pram mulai menarik naik ujung baju panjangku hingga kebagian tengah pahaku.

Pram tak mendengarkanku, dan mulai kembali mengusap vaginaku. Jantungku berdebar kencang, was-was, takut jika ada orang yang memergoki kami. Aku sadar, kegilaan ini cukup aman untuk kami, karena dibelakang kami terdapat dinding yang memisahkan antara bagian depan dan bagian belakang warung tersebut. Mata kami terus memandang ke arah depan, memgawasi situasi, jika saja ada orang yang berjalan mengarah ke meja kami, sementara dibawah meja, kedua kakiku terbuka lebar, memberi ruang bagi tangan lelakiku, untuk menjamah kemaluanku, lagi.

“Awas nanti dirumah..! Ibu perkosa kamu..!!” bisikku sambil menahan nikmat yang kembali mulai merasukiku.

♡♡♡ Seri 9 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya.

Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd