Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Gan, klo yg exe rindiani bkan pramuka j pasti bsa pnjang n bnyak lg ceritanya gan
Tmbhin sandi jg yg exe rindiani gan
Kalo dilihat dari alur dan karakter para tokoh, hhmmmm...

Karena ditulis berdasarkan kisah nyata, jadi ya gini ini..

Coba lihat nanti di seri-seri selanjutnya

Makasih ya :rose:
 
Part 2



Rindiani


Pukul setengah empat pagi, Pram membangunkanku dari tidur. Tubuhnya hanya berbalut sehelai handuk. Dengan mata yang masih terasa berat untuk membuka, kupandangi wajahnya dengan tatapan sayu.

“Bu, bangun. Mandi.”

Aku mengabaikannya, lalu kembali bersembunyi dibalik selimut. Dingin, membuatku kembali meringkuk diatas ranjang.

Aku hampir kembali terlelap ketika kurasakan jemari Pram mengusap pangkal pahaku. Lelakiku mencoba mengangguku dengan menyentuh vaginaku yang masih tertutupi celana dalam. Pram tahu benar cara mencegahku agar tidak kembali tertidur.


Usapan lembutnya perlahan membangkitkan gairahku, apalagi ditengah pagi nan dingin. Beberapa saat berlalu, akhirnya Pram melucuti celana dalam yang melindungi kemaluanku dari sentuhan langsung, sepertinya ia ingin agar aku bisa merasakan sentuhannya secara langsung, bukan sekedar usapan dipermukaan celana dalamku.

Pram duduk ditepian ranjang, tepat dibelakangku, dan kembali mengerjai vaginaku. Aku menyukainya, menikmatinya dari balik selimut yang masih menutup rapat tubuhku. Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat kemaluanku menjadi basah setelah celana dalam itu terlepas dari tubuhku.

Dan karena posisi tidur, kemaluanku terhimpit oleh pangkal paha sehingga memakasa Pram untuk menenggelamkan jarinya diantara belahan vaginaku, agar bisa menjangkau seluruh bagiannya.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya ia pun berbaring disisiku, dibelakangku. Satu tangannya mulai meremas payudaraku dengan lembut, sementara satu tangan yang lain sibuk memanjakan pangkal pahaku.

Selimut yang menutupi tubuhku mulai tersingkap, dan kecupan-kecupan hangat mulai menghujani sekitar tengkuk dan leherku. Aku semakin terangsang dan pinggulku mulai bergerak pelan, seolah mengejar jemarinya agar segera memasuki liang vaginaku, karena aku sangat menantikan Pram melakukannya, sangat menginginkannya.

Satu tanganku terjulur kebelakang, meraih lehernya dan mengusapnya, sementara kecupan-kecupan semakin intens menghujani tengkuk dan leherku. Putingku menjadi bulan-bulanan permainan jemarinya hingga tubuhku menggelinjang.

“Jilatin memek ibu.” gumanku lirih.

Tak berapa lama berselang, Pram menuntun tubuhku untuk tidur terlentang dan segera menindihku. Pangkal pahanya tepat berada diatas wajahku. Posisi enam senam sembilan, salah satu posisi favorit dalam dunia seks yang menjadi idola dalam proses pemanasan, untuk saling memanjakan kemaluan pasangan.


Lebih baik dari yang kuinginkan, karena bisa menikmati, mencumbui penis lelakiku yang selama ini selalu berhasil memuaskan hasratku.

Di pangkal paha, Pram langsung melahap vaginaku dengan rakus. Ia sangat menikmatinya, sangat menyukainya, sampai-sampai hisapannya membuat tubuhku bak teraliri listrik.

Sebagai balasan, aku mengerjai penisnya dengan lembut, menikmati setiap jengkal bagiannya dengan lidahku. Dan ketika ujung penisnya tenggelam didalam rongga mulutku, bagian batangnya kukocok pelan.

Aku yakin, Pram sangat menyukainya, karena pinggulnya bergerak pelan, seolah sedang menyetubuhi mulutku.

Kedua tanganku mencengkram erat pantatnya dan memaksa pinggulnya untuk turun, mendesakkan penisnya lebih jauh kedalam mulutku. Seketika Pram berhenti mengerjai kemaluanku, lalu mendesah panjang ketika seluruh bagian penisnya tenggelam sempurna didalam mulutku. Aku merasa senang dan bahagia karena mampu memberinya kenikmatan, mampu melayani hasratnya.

Hampir dua menit kami saling mengumbar hasrat, saling mengerjai krmaluan masing-masing dengan penuh rasa sebelum akhirnya Pram menghentikan permainan itu. Ia turun dari atasku, dan duduk diantara kedua pahaku yang terbuka lebar.

Ia tersenyum padaku, lalu menunduk dan kembali mengusap vaginaku. Kupejamlan mata, merasakan sentuhannya yang lembut, menikmati belaiannya di vaginaku.

Basah, dan licin disekitar selangkanganku menambah nikmat bertubi-tubi bagiku. Kuraih sebuah bantal yang terserak didekatku, lalu meletakkannya dibawah pinggul, agar kemaluanku terangkat, ke arahnya.

Usapan jemarinya diantara celah vaginaku membuatku kembali mendesah. Permukaan kulitku mulai ditumbuhi oleh bulir-bulir keringat karena suhu badanku meningkat drastis. Hawa dingin tak lagi terasa, tertutupi dengan sempurna oleh panasnya permainan kami.

Perlahan, kedua jarinya mulai menyeruak masuk kedalam tubuhku.

Kuhembuskan nafasku perlahan, seiring irama tenggelamnya kedua jari itu didalam liang kenikmatanku. Sebentar lagi, Pram akan kembali mengerjai kemaluanku. Ia pasti akan akan mengocok vaginaku. Salah satu cara darinya yang menjadi kesukaanku, karena mampu mengobati hasrat dan birahiku.

Dan benar saja, setelah beberapa detik, ia mulai menggerakan jarinya, maju dan mundur dengan pelan.

Segera kubuka mata dan melihatnya mengerjai tubuhku. Wajahnya begitu dekat dengan pangkal pahaku, nyaris bersentuhan dengan kemaluanku. Aku begitu menikmati pemandangan panas tersebut, sangat menyukainya.

Kedua tanganku mulai memegang kepalanya, ketika akhirnya lidahnya kembali mendarat dipermukaan kemaluanku. Dijilat, dipermainkannya klitorisku dengan ujung lidahnya, sementara liang sempit vaginaku terus saja dimanjakan dengan kocokannya.

Terbuai kenikmatan, pinggulku kembali bergerak liar, terangkat keatas mengejar jemarinya. Tubuhku menginginkan kocokan yang kasar dan cepat, agar segera bisa merasakan orgasme, bahkan, jika memungkinkan, aku ingin ia membuatku kembali terkencing-kencing seperti yang sudah-sudah.

Karena tak sabar, akhirnya aku menjambak rambutnya dengan keras, lalu mendesakkan kepalanya ke arah kemaluanku.

Saat itulah keinginanku terwujud.

Sebuah hisapan panjang dan keras diberikannya di klitoris, membuat tubuhku mengejang dan pinggulku terangkat tinggi, bahkan ketika telah diganjal oleh sebuah bantal.

Tak butuh waktu lama baginya untuk membuatku merasakan orgasme, karena hanya beberapa saat setelah hisapan keras itu, kocokannya pada liang vaginaku pun bertambah sedikit lebih cepat.

Pinggulku terangkat ke udara dengan punggung sebagai penopangnya. Kepala Pram menjadi sasaran jambakanku dan menekannya dengan kuat kearah vagina.

Hanya beberapa saat, tak sampai satu menit, akhirnya pinggulku kembali jatuh ke permukaan ranjang. Hisapannya berhenti, begitu juga dengan kocokannya. Dan perlahan, kurasakan cairan orgasmeku mulai mengalir keluar.

Tubuhku benar-benar lemas, kehilangan daya, sementara dibawah sana, Pram tersenyum bangga. Ia nampak puas karena mampu membuatku merasakan nikmat seks di pagi hari.

Hampir satu menit kemudian, Pram kembali menuntun tubuhku untuk bergeser naik hingga kebagian kepala ranjang. Kedua pahaku dibukanya sedikit lebih lebar. Pram berlutut, dan mulai mengarahkan penisnya ke arah vaginaku.

“Sayang.. nanti dulu. Masih lemes.” gumanku, sambil memandanginya dengan tatapan sayu.

Pram tersenyum sambil menggeleng pelan. Sepertinya ia akan tetap menyetubuhiku, seperti janjinya kemarin bahwa ia akan membuatku KO, membuatku lemas karena bercinta.

Aku pasrah, walaupun masih ingin beristirahat sejenak, memulihkan tenagaku sebelum melanjutkan permainan kami.

Dan benar saja seperti yang aku duga, Pram, lelakiku tetap bersikukuh ingin menyetubuhiku. Diusapkannya batang penis itu dipermukaan kemaluanku hingga beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya perlahan menekan bagian ujungnya kedalam celah sempit vaginaku.

Sangat pelan, namun terus bergerak masuk, hingga akhirnya kemaluan lelakiku itu tertanam sempurna dalam vaginaku.

Telah berkali-kali aku menikmati keperkasaan penisnya, namun tetap saja, sensasinya selalu terasa sama. Jantungku berdebar-debar melihat kemaluannya tenggelam sempurna di liang kenikmatanku. Tak ada rasa bosan, melainkan hasrat yang selalu membara, menggebu-gebu, menantikan saat-saat panas itu.

Setelah beberapa saat mendiamkan penisnya didalam tubuhku, Pram mulai menggoyang pinggulnya, bergerak mundur dan maju perlahan. Tangannya mencengkram pinggangku, mendesakkan tubuhku ke arah pinggulnya saat ia menghujam liang kemaluanku.


Mataku terpejam, sementara kedua tanganku terlentang, mencengkram sprei dengan sekuat tenaga karena rasa-rasanya aku tak mampu menahan kenikmatan yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku.

Tak butuh waktu lama bagi Pram untuk menghadiahkan orgasme kedua padaku, karena permainan jarinya yang menyasar klitorisku sembari menggoyangkan pinggulnya.

Keadaanku benar-benar payah. Aku kehilangan tenaga, namun Pram tetap saja menghujamkan penisnya kedalam liang kenikmatanku, bahkan semakin cepat dan dalam. Setiap hentakan pinggulnya terasa sangat keras, sehingga menimbulkan suara benturan antara kedua paha kami.

Aku bisa melihat batang penisnya berlumuran cairan orgasmeku, menimbulkan suara kecipak yang lumayan nyaring saat penis itu keluar dan masuk dalam tempo cepat. Pram membuatku merinding, menyaksikan keperkasaan penisnya mengocok vaginaku.

Hampir sepuluh menit berlalu, Pram menjatuhkan tubuh diatasku. Kedua sikunya menopang beban tubuhnya. Kedua tangannya meremas payudaraku dengan sedikit kasar lalu menghisap putingku. Kombinasi sentuhan-sentuhan panas dipayudara dan kocokan penisnya diliang vaginaku membuat tubuhku menggelinjang hebat.

Kedua kakiku mengunci erat pinggulnya, sementara tanganku kembali menjambak rambutnya. Kenikmatan yang kurasa terlalu besar, terlalu hebat, sampai-sampai aku harus menggigit bibirku sendiri demi meredam desahan yang mungkin akan terdengar keras jika aku tak melakukannya.

Hampir lima menit kemudian, Pram semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Aku yakin, sebentar lagi lelakiku akan meraih kepuasannya, ia akan mencapai orgasme.

Sambil menghisap putingku dengan sangat kuat, Pram menghentakkan pinggulnya dengan sangat keras dan dalam, lalu berdiam diri. Pram meraih orgasme dengan sempurna karena penisnya tenggelam dalam liang vaginaku. Semburan sperma yang hangat terasa menghujani bagian terdalam liang kenikmatanku.

Dan hanya beberapa detik kemudian, aku kembali meraih orgasmeku yang ketiga kalinya. Desahan kami silih berganti mengalun merdu, sementara kedua tubuh kami menyatu sempurna.

Kupeluk erat tubuhnya, sementara kedua tungkaiku mengunci pinggangnya, memaksanya untuk menekan pinggul ke arah pangkal pahaku.


Deru nafas yang memburu perlahan kembali normal, dan yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh bermandikan keringat. Lelah dan lemah tanpa daya, namun berakhir dengan kepuasan dengan sempurna. Speri dan kasurku pun kembali basah.

Cairan orgasme kamilah penyebabnya saat Pram mengeluarkan penisnya dari dalam kemaluanku. Pram memgecup keningku dengan lembut, sebelum akhirnya kembali berbaring disampingku.

“Jam empat lewat lima menit.” gumanku.

Pram tersenyum lalu memelukku dengan erat. Ia mengecup pipiku dengan mesra.

“Masih mau?” tanyanya sambil mengusap payudaraku.

Aku menggelengkan kepala. Rasa-rasanya aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan permainan ini. Aku benar-benar kehabisan tenaga untuk melayani keperkasaan lelakiku, Pram.

“Gila.. lemes banget.”

“Nanti ibu tidur lagi di mobil, biar saya yang nyetir.”

“Iya.. makasih ya sayang.. pagi-pagi udah dibikin enak. Dikasih sarapan sosis jumbo.” kataku.

Pram tertawa, lalu megusap kemaluanku dengan lembut.

“Sama-sama Bu, ini roti lapisnya juga enak. Gurih..” gumannya, sambil mencubit pelan bibir vaginaku.

“Pokoknya habis ini, kamu harus mandiin ibu, pakaikan pakaian ibu, buatin sarapan.”

Pram mengangguk.


“Iya bu. Nanti saya mandiin, pakein baju, buatin sarapan. Pokoknya ibu istirahat aja.” balasnya.

“Berarti ibu gak salah pilih pacar. Kamu emang cowok idola banget.” gumanku sambil mencubit pipinya.

“Enggak bu, biasa aja kok. Lagian ibu kan pasti capek banget.”

“Kamu itu pinter banget manjain ibu. Pinter bahagiain ibu.” gumanku.

“Karena saya ingin ibu bahagia. Saya ingin hari-hari ibu ceria, penuh senyum.”

Kupeluk erat tubuhnya, lalu menghujani wajahnya dengan kecupan-kecupan mesra.

“Ibu sudah merasakan semuanya. Sekarang ibu bahagia, jauh lebih bahagia dibandingkan dengan kehidupan ibu yang dulu.”

Pram tersenyum sambil mengusap pipiku. Dikecupnya keningku dengan lembut dan penuh rasa.

“Syukurlah bu, saya senang jika ibu bisa bahagia. Dan memang seharusnya seperti itu.”

“Berarti ibu gak salah memilih kamu jadi orang yang nemenin ibu ke kantor polisi malam itu.”

“Mungkin memang sudah takdirnya begitu kalik ya bu?” tanyanya.

“Mungkin aja sih begitu. Dan ibu senang karena kamu adalah laki-laki yang bisa membuat ibu bangkit kembali, bisa membahagiakan ibu.”

Pram kembali mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku dengan erat.

Jika saja Pram tidak memilih kost dirumahku, mungkin aku tidak akan mengenalnya. Semuanya terasa seperti sebuah melodrama yang unik bagiku.

Anita, perempuan selingkuhan suamiku adalah mahasiswi sekampus dengan Pram. Pram, yang kini telah dekat denganku dan menemaniku dalam keterpurukan adalah mahasiswa dari kampus yang sama dengan Anita. Terasa janggal, namun seperti itulah keadaan yang kujalani. Garis takdir berliku, namun mampu menghadirkan warna-warna indah dalam hidupku.

Pram adalah pelangi, perpaduan berbagai warna yang akhirnya muncul setelah badai dalam rumah tanggaku.


Lelahku sedikit terobati setelah air yang dingin mengguyur seluruh tubuhku. Dan seperti janjinya, Pram benar-benar memandikanku, lalu memintaku untuk duduk di tepian ranjang sementara ia memilih pakaian untukku.

“Hari ini ibu pengen pakai celana jeans, baju kaos lengan panjang. Dalemannya ibu mau G-String sama Bralette."

Pram tersenyum, lalu membuka pintu lemari pakaianku.

“Celana jeans, kaos lengan panjang, G-String, bralette.” Katanya, sambil meletakkan satu persatu pakaian itu disampingku.

“Pinterrr…” gumanku.

Ia lalu memintaku untuk berdiri, dan mulai memasangkan pakaian pada tubuhku.

“Seksi banget.” gumannya setelah memasangkan celana dalam di pinggulku.

“Namanya juga G-String, jadi ya seksi gini.” balasku, sambil mengusap pipinya.

Diusapnya sejenak vaginaku, sebelum akhirnya memasangkan celana jeans untuk menutupinya.

Ia memintaku untuk duduk dimeja makan sementara ia membuatkan sarapan untuk kami berdua.

Caranya bersikap, caranya memperlakukanku benar-benar membuat hatiku luluh. Aku memandanginya sambil tersenyum, melihatnya dengan cekatan membuat segelas kopi dan teh, lalu menyiapkan roti untuk kami.

Kutinggalkan meja makan lalu menghampirinya.

“Ibu janji, nanti malam ibu yang masakin makan malam.” kataku, sambil memeluknya dari belakang.

“Kita masak sama-sama aja bu.”

“Enggak. Pokoknya kamu duduk manis, nanti ibu yang masak.” tegasku.

Pram tersenyum, membalikkan tubuhnya lalu meletakkan kedua tangan di pinggangku.

“Ya sudah, nanti malam ibu yang masak. Sekarang ibu duduk, saya buat sarapan untuk kita.”

Pram mengecup keningku, lalu mengalihkan bibirnya dan melanjutkan dengan melumat bibirku. Ciumannya terasa lembut, membuat suasana pagi menjadi hangat dan romantis.

Aku tak pernah merasa bosan sedikitpun dengan caranya melumat bibirku. Hampir satu menit kami saling melumat bibir, saling menyatakan rasa sayang yang tak pernah terucap lewat rangkaian kata, sampai akhirnya pagutan bibir kami terlepas.

Pram memintaku untuk kembali ke meja makan, namun aku mengabaikannya. Aku tetap berdiri mematung di hadapannya, sambil tersenyum simpul.

“Gak mau makan roti. Gak mau minum kopi.” kataku manja.

“Trus, ibu mau sarapan apa?” tanyanya heran.

“Pengen ini lagi.” balasku, sambil mengusap selangkangannya yang telah tertutupi oleh celana jeans.

“Katanya masih lemes..”

“Sekarang udah enggak kok.” jawabku, sambil meremas lembut penisnya yang kembali mengeras.

Pram tersenyum lalu kembali melumat bibirku. Kedua tangannya sedikit menekan bahuku, memintaku untuk merendahkan tubuh, berlutut dihadapannya.

Dengan senang hati aku melakukannya, dengan senyum terkembang sambil menatap mesra wajahnya.

Pram menurunkan ritsleting celana jeans yang ia kenakan, membuka kancing celananya.

Belum sampai setengah jam yang lalu, aku melihat penisnya, merasakan keperkasaannya dalam memuaskan birahiku, namun kini, jantungku kembali berdebar-debar, tak sabar untuk menikmati penisnya, walaupun hanya sekedar untuk menghisapnya, atau sekedar hanya menggengamnya.

Perlahan namun pasti, akhirnya Pram menurunkan celananya hingga kebagian paha, lalu memegang batang penisnya dan mengarahkannya ke mulutku.

Sebelum memasukkannya kedalam mulut, kusempatkan untuk mengecup ujung kemaluannya, lalu mulai menghisap penis yang selama ini menjadi pemuasku.

Sambil mengulum, mataku tak pernah lepas dari matanya. Ekspresi kenikmatan yang terlukis diwajahnya membuatku semakin bernafsu, semakin liar dalam beraksi.

Kocokan dibagian batang, sementara lidahku bergerak liar membelai kepala penis didalam rongga mulutku membuat lelakiku mendesah pelan. Sesekali matanya terpejam, menengadahkan kepalanya sambil sedikit memaksakan kepalaku untuk menelan semua bagian kemaluannya.

Sama sepertiku, tampaknya Pram pun senang dengan permainan lidahku, ia sangat menikmatinya. Kocokan lembut dipadu dengan hisapan pada kepala penis, lambat laun memancing pinggulnya untuk bergerak liar.

Hampir tujuh menit kemudian, kucengkram erat pantatnya dan memaksakan pinggulnya kearah mulutku. Pram mendesah hebat, lututnya gemetar saat seluruh bagian penisnya tenggelam sempurna dalam rongga mulutku. Baru dua kali aku melakukan deepthroat, namun tampaknya Pram akan segera meraih orgasme.

Pinggulnya bergerak kasar dan liar, menyetubuhi rongga mulutku. Air liurku pun berceceran, mengotori area sekitar mulutku. Aku tak memedulikannya, justru semakin bergairah, pasrah, membiarkannya melakukan semua yang ia sukai.

Rongga mukutku selalu terbuka, menerima tusukan demi tusukan penisnya yang semakin lama semakin cepat dan dalam. Tak sampai dua menit kemudian, Pram, lelakiku mengirimkan penisnya hingga nyaris membuatku tersedak.

Kedua tangannya menahan kepalaku dengan kuat sambil menyemburkan spermanya kedalam kerongkonganku. Sebuah hujaman akhir yang sempurna, karena seluruh batang penisnya lenyap dalam rongga mulutku.

Matanya terpejam dengan kepala menengadah ke arah langit-langit dapur ketika spermanya memancar, memasuki tubuhku. Aku sangat yakin birahi lelakiku benar-benar terpuaskan walaupun ia mendapatkannya hanya melalui seks oral.

Hampir satu menit kemudian, perlahan, Pram menarik keluar penisnya dari dalam mulutku, lalu menarik lembut tanganku untuk berdiri. Ia kembali memelukku dengan sangat erat.

“Makasih, bu.” bisiknya.

Akupun balas memeluknya dengan sangat erat sembari mengusap punggungnya. Aku benar-benar puas, benar-benar merasa senang bisa memuaskan hasrat lelakiku.

Kutinggalkan sejenak dirinya untuk membersihkan wajah dikamar mandi, lalu kembali mengenakan makeup di meja riasku.

Sambil bercermin, aku membayangkan kenakalan yang barus saja kulakukan. Kupandangi wajahku sambil tersenyum. 'Kamu gila, Rindi.' kataku dalam hati.

“Yuk sarapan.” Kata Pram ketika aku kembali kedapur dan duduk di meja makan.

“Mamam sosis gede dua kali, sekarang mamam roti.” gumanku sambil meraih roti diolesi selai dihadapan kami.

Pram tertawa, lalu menyeruput kopinya.

Pagi yang indah. Setidaknya itulah yang kurasakan saat menikmati sarapan sederhana kesukaanku bersama Pram, lelakiku. Luka hati akibat pengkhianatan suamiku telah sembuh, walaupun masih meninggalkan bekas, menyisakan kegamangan tentang masa depanku, dan masa depan Nova.

Perceraian adalah jalan pahit yang akan kulalui, namun dengan kehadiran Pram, aku yakin bahwa aku akan baik-baik saja.

“Kalo setiap pagi ibu bisa tersenyum seperti ini, saya juga ikut senang bu, saya juga ikut bahagia.” guman Pram setelah melihatku tersenyum sendiri Karena mengingat percintaan kami di awal hari.

“Ibu tersenyum karena kamu udah bikin ibu bahagia.” balasku.

Pram kembali menyeruput kopinya, lalu bangkit berdiri dan mendatangiku. Dipeluknya tubuhku dengan sangat erat, lalu berlutut di sisi kursiku.

Kuubah posisi dudukku, menghadap ke arahnya.

“Kalo nanti saya lulus dan pergi dari sini, ibu harus tetap tersenyum setiap pagi, setiap hari. Jangan pernah memulai hari dengan beban di hati.” pesannya.

Suatu kenyataan pahit bagiku jika Pram menghilang dari sisiku, namun aku tak bisa menghalangi rencananya, masa depannya. Entah apa yang terjadi padaku jika saat itu tiba. Kehilangan suami adalah pengalaman pahit terakhir, setidaknya itulah yang kuharapkan.

Aku tidak yakin, apakah aku ada dalam rencana masa depan Pram, dan aku memakluminya. Perbedaan diantara kami terlalu besar, jurang pemisah yang terbentang diantara dua hati kami terlalu lebar. Fakta-fakta inilah yang terkadang membuatku yakin bahwa hubunganku dengan Pram akan berakhir jika ia telah menyelesaikan kuliahnya dan pulang kampung.

Fakta lain bahwa Pram berasal dari keluarga berada pun sedikit banyak membuatku minder. Calya telah menunjukkan kemampuan finansialnya dihadapanku, dan hal tersebut sangatlah cukup untuk membuatku sadar tentang siapa aku.

Dari semua hal tersebut, perbedaan usia dan statusku yang mungkin akan menjadi janda adalah hal yang paling memberatkan. Inilah hal yang paling berpotensi untuk menjegal hubungan kami.

Aku sangat menyayanginya karena ia selalu membuatku bahagia, membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung, dan aku yakin Pram pun merasakan hal yang sama. Namun, hidup tak semudah dan seindah telenovela. Realita kehidupan terkadang sangat kejam, mampu membunuh semua mimpi dan harapan.

Mendengar ucapannya, tak terasa air mataku mengalir, jatuh melalui sudut mataku.

“Kalo nanti kamu pergi, ibu minta kamu jangan lupakan Nova. Kamu boleh melupakan ibu, tapi ibu mohon, jangan lupakan Nova.”

Pram menyeka air mataku, lalu mengusap pipiku dengan lembut.

“Nova… Saya tidak akan pernah melupakan malaikat kecil itu. Dan saya yakin Nova pun akan selalu mengingat saya.” katanya, lalu tersenyum dan merebahkan kepalanya di pangkuanku.

“Kita pulang yuk.. kita jenguk Nova.” katanya beberapa saat kemudian.

Pram bangkit berdiri sambil menggengam jemari kedua tanganku. Dan ketika aku berdiri, ia kembali memelukku dengan sangat erat.

Tidak ada kata-kata, tidak sepatahpun kata terucap. Kami hanya saling berpelukan dengan erat dalam keheningan pagi. Ditengah pelukan itu, aku mengucap syukur dalam hati karena telah bertemu dengan lelaki yang kini tengah memelukku. Ia adalah pembawa kebahagiaan untukku.

Hampir sepuluh menit kemudian, pelukan kami terlepas. Sebuah kecupan lembut nan mesra diberikannya padaku, tepat di keningku. Aku sangat yakin, wanita manapun pasti akan merasa sangat senang dan bahagia jika diperlakukan seperti ini.

Tidak perlu kemewahan maupun kata-kata romantis, tetapi perlakuan, perhatian dan pengertian yang dibutuhkan. Sesederhana itu.

Bercermin dari keluargaku sendiri, dimana kedua orangtuaku pun menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, aku pun berharap demikian, walaupun pernikahanku akan berakhir. Namun, dalam perjalanan kehidupanku yang baru, kuharap aku bisa merasakannya.

Pram telah berusah melakukan hal itu, dan ia berhasil. Ia membawa kedamaian dan bahagia dalam hatiku.


Sepanjang perjalanan pulang, aku tertidur pulas disamping Pram. Mataku terasa berat karena mengantuk. Hampir setengah perjalanan kulalui dengan memejamkan mata sementara Pram tetap setia menyetir mobil.

“Mau gantian nyetir?” tanyaku saat terjaga dari tidur.

Pram menggelengkan kepala.

“Ibu tidur aja lagi. Nanti saya bangunkan kalo udah mau sampe rumah.”

“Enggak ah, udah cukup tidurnya.” kataku, lalu meraih sebotol air mineral dan meneguknya.

“Sayang beneran gak ngantuk? Gak capek??” tanyaku lagi.

Lagi-lagi Pram menggelengkan kepala. Aku bergeser mendekatinya, lalu melingkarkan tangan di pinggangnya. Kepalaku bersandar mesra dibahunya, sambil memandangi jalan lengang didepan.

Berbeda dengan keadaan dikota, langit tampak mendung, awan putih menutupi langit biru sehingga suasana hari nampak teduh. Sesekali Pram mengecup kepalaku yang tertutupi jilbab dengan sempurna.

“Nanti sore jadi bersih-bersih halaman belakang?” tanyanya.

“Iya dong. Kalo sempet, ibu juga mau bersihkan garasi. Udah berdebu banget.”

“Nanti kita kita bersiin sama-sama bu.”

Aku mengangguk, lalu mengecup pipinya.

“Itu rolling door garasi rada macet, kalo mau ditutup susah banget.”

“Iya bu, saya pernah coba mau tutup, tapi keras banget. Nanti saya lihat, saya perbaiki.”

“Emang kamu bisa?” tanyaku.

“Kayaknya sih bisa bu, nanti coba saya lihat dulu.”

Tanpa sadar, aku kembali tertidur. Mataku terpejam dengan sendirinya dibahu lelakiku, Pram. Dan ketika kami hampir sampai di rumah, Pram membangunkanku.

Didepan rumah, kulihat ibu sedang menyapu halaman, membersikannya dari daun-daun kering yang gugur.

“Buukk..” sapaku, sambil memeluknya.

Pram pun mengulurkan tangan, bersalaman dan mencium punggung tangan ibuku. Bukan hanya itu, ibuku pun memberi pelukan hangat padanya, lalu mengajak kami memasuki rumah.

“Bapak dimana bu?” tanyaku, sambil mengiringi langkahnya.

“Bapak lagi ke ladang, nengokin pohon buah-buahan disana.”

“Wah, ada kebun buah juga ya bu??” sahut Pram yang mengekor dibelakangku.

“Ada nak, tapi cuman sedikit aja.”

“Nova masih tidur?” tanyaku.

“Iya, semalam main sama bapak sampai jam jam sebelas, itu pun kalo gak dipaksa, dibawa masuk kamar, mungkin bisa sampai larut malam baru tidur.”

Aku langsung menuju ke kamar tidur kedua orangtuaku dan mendapati Nova, putri kecilku masih tertidur pulas.

Kukecup kedua pipinya dengan lembut lalu mengusap ubun-ubunnya. Tidurnya begitu lelap sehingga ia tak menyadari kehadiranku.

“Nova masih tidur?” tanya Pram.

“Boboknya nyenyak banget.” gumanku, sambil duduk di ruang tengah.

“Tadi ibu buat nasi goreng. Nak pram mau makan nasi goreng?” tanya ibuku.

“Pagi-Pagi makan nasi goreng?” tanya Pram heran.

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.

“Pram, kalo di desa itu, sarapan pagi biasanya singkong rebus, atau pisang goreng, atau ubi jalar, atau nasi goreng lho. Kalo kamu cari roti, dirumah ini ya gak ada.” jawabku.

“Kita ke dapur yuk. Kamu harus ngicipin nasi goreng buatan ibu, enak lhooo.” kataku.

Kusiapkan piring dan segelas teh panas untuknya, lalu menghidangkan nasi goreng buatan ibuku dihadapannya.

“Kayaknya emang enak.” gumannya sambil melihat sepiring besar nasi goreng dihadapannya.

“Kalo ibu yang buat, emang spesial banget. Komplit.”

“Nih, ada suwiran ayam, ada sosis, ada udangnya, ada sayurnya juga, ada telurnya juga.” sambungku.

“Dihabisin lho nak Pram.” kata ibuku.

“Tadi ibu sudah makan sama bapak, sebelum bapak ke ladang.”

“Ibu tinggal dulu ya, mau lanjutin sapu halaman sebentar.” sambung ibuku.

Pram begitu lahap menyantap sarapan itu, walaupun sebelum berangkat, kami telah sarapan dirumah.

“Kalo tiap pagi kamu sarapan seperti ini, pasti bakal gemuk.” gumanku.

“Bener, nasi gorengnya enak bu.”

“Nih, tambah lagi dikit.” kataku sambil menambahkan nasi goreng ke piringnya.

“Ibu gak nambah?”

“Enggak.. ibu masih kenyang. Tadi kan udah sarapan dirumah.”

Pram tersenyum, sementara dibawah meja makan, ia menendang pelan kakiku.

“Maksud ibu, tadi kan udah makan roti sama minum teh.”

“Kalo sarapan sosis, khusus sarapan batiniah.” sambungku sambil berbisik.

Sambil mengunyah makanannya, Pram berusaha menahan senyum.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Nova dari arah kamar tidur kedua orangtuaku. Kitinggalkan meja makan dan bergegas menghampirinya.

Nova telah terbangun dari tidurnya, mungkin karena suara perbincanganku dengan Pram. Segera kuraih tubuhnya dan memanjakannya dalam dekapanku.

Sambil melangkah, kuhujani pipinya dengan ciuman-ciumanku karena rasa rinduku setelah sepekan tak bersua dengannya.

“Selamat pagi super Nova.” Sapa Pram.

Wajah putriku langsung berubah drastis saat melihat Pram. Ia tersenyum dan menjulurkan tangannya ke arah Pram. Tingkahnya membuatku menggelengkan kepala.

“Kenapa sih kalo lihat Pram, kamu langsung minta di gendong?” tanyaku heran.

Pram tertawa, lalu menyeruput sedikit teh yang kubuatkan untuknya, lantas berdiri dan meraih tubuh Nova dari gendonganku.

Sama sepertiku, Pram mengujani pipi putri kecilku dengan ciuman-ciumannya sambil melangkah keluar rumah.

Sepeninggal Pram, kubereskan piring dan sisa-sisa alat-alat dapur dan mencucinya.

Dari arah depan, suara canda tawa antara Pram Nova terdengar jelas. Aku tersenyum bahagia melihat kedekatan mereka, melihat bagaimana manjanya putri kecilku pada Pram. Demikian juga dengan Pram, ia nampak senang dan sangat menikmati waktu bersama Nova.

Mereka seperti sepasang sahabat yang tak bertemu sekian lama, dan menumpahkan rasa rindu itu dalam sebuah pertemuan singkat.

Mungkin saja, Nova menganggap Pram adalah ayahnya, apalagi sejak kepergian suamiku. Atau, mungkin pula ia menganggap Pram adalah seorang sahabat yang menyenangkan.

Entahlah, dunia masa kecil putriku yang penuh lika-liku membuatku sedikit cemas dan khawatir. Bagaimana Nova akan bertumbuh dewasa tanpa kehadiran sosok seorang ayah? Pertanyaan yang selalu menghantuiku, menjadi beban tersendiri selain memikirkan nasibku sendiri.


♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 3 akan rilis beberapa jam kedepan.

Terima kasih :rose:
 
Aku kalo lihat mulustrasi teringat sis neena
Apa jangan2.. ah sudahlah


Hubungan pram sama rindi masih adem ayem yakk
Masih menunggu dan menikmati
Neena??🤔

Hhmmmm... nama yg familiar..

Hub. Rindi Pram memang adem ayem sih bang, cuman tetap aja ada gejolak dlm hati Rindi. Lebih mengarah ke cemas, khawatir, bimbang, etc.

Makasih ya :rose:
 
Neena??🤔

Hhmmmm... nama yg familiar..

Hub. Rindi Pram memang adem ayem sih bang, cuman tetap aja ada gejolak dlm hati Rindi. Lebih mengarah ke cemas, khawatir, bimbang, etc.

Makasih ya :rose:
Apalagi kayanya ga lama lagi si pram nya lulus ya sist, jadi makin bimbang deh si mba Rindi nya...
Yaa apapun itu, Semoga pram fans mba Rindi happy ending lah... Lebih bagus happy ending nya di pelaminan... Wkwkwk

Btw, ane jadi suka banget denger lagu INI karena judul lagunya sama dengan nama cewe di thread favorite ane ini... Alasan lainnya, yaa karena memang enak sih lagunya... Wkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd