Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 5)
Kebiasaan di kampung saya itu kalau hajat kawinan udah pasti nanggap dangdutan. Pesta kawinan bisa sampai 3 hari, apalagi kalau yang kawinan dari keluarga kaya bisa sampai 7 hari. Sedangkan kawinan si Emma yang calon suaminya dari keluargga menengah ya cuman 3 hari saja.
Waktu udah lewat tengah malam, seluruh keluarga saling membantu mempersiapkan pesta besok, ibu-ibu memasak menu makanan buat hidangan sementara bapak-bapak dan para pemuda memasang tenda, janur, panggung, sound system dll. Saya udah terlalu capek pengen istirahat jadi berpamitan pada semua yang sedang bekerja.
Pas saya sampai di kamar, ternyata di tempat tidur udah ada si Sari sedang geletakan sambil mainin hp.
"Loh, kok kamu nggak bantu-bantu masak ?" Tanya saya.
"Sari udah capek pak, dari tadi siang nggak brenti-brenti ikut motongin daging, bumbu, sayuran, nyuci-nyuci. Sari ngantuk banget pengen tidur pak." Sari menjawab tanpa lepas perhatian dari HP.
"Lah kok tidurnya disini, kan buat anak-anak perempuan yg belum berkeluarga dikumpulin tidurnya bareng di rumah pakde Marno." Saya mengingatkan dia, soalnya tiga kamar di rumah ini khusus buat yang sudah berkeluargga.
"Ah males pak, penuh sesek banyak orang mana bisa tidur."
"Ya biar kamu kenal sodara-sodaramu toh nak."
"Ah bapak, Sari disini aja lah udah pewe."
"Kamu wa-nan sama siapa sih, kok asik banget?" Saya berusaha ikut melihat layar hp si Sari.
"Iih bapak kepo banget sih, ini urusan anak perempuan." Sari miring ke arah tembok memunggungi saya dengan maksud agar layar hp nya nggak kebaca oleh saya.
"Pacar ya ?" Saya jadi beneran pengen tau apakah si Sari udah punya pacar.
Saya tiduran di sebelah si Sari yang memunggungi, terus ikut rebahan di belakangnya. Kepala saya di sela antara bahu dan kepalanya, ikut baca wa di hpnya.
"Bapak... apaan sih.... tumben-tumbenan kepo banget." Sari mbrengut lalu ngumpetin hp di bawah bantal.
Saya pura-pura mau ngambil hp di bawah bantalnya, Sari langsung menghalangi tangan saya yang menyelinap ke bawah bantal.
"Bapakkkk !"
"Lah... awas ya, nggak bapak beliin hp baru nanti." Saya pura-pura mengancam sambil terus berusaha ngambil hpnya.
Sari berkutat melindungi hp yang dia sumputin di bawah bantal. Tangan kami berkutat, saya berusaha mengambil dan dia berusaha menahan.
"Ih bapak... awas Sari laporin ke ibu nih." Sari mengancam balik.
Saya mengalah, nggak jadi ngambil hp nya Sari. Lalu saya tidur telentang.
"Emang kenapa sih bapak pengen liat hp Sari?" Ih dasar nih anak, kalau tadi menghalangi sampai berkutat tapi sekarang setelah saya mengalah dia malah berbalik ke saya sambil pegang hp di tanggan kirinya.
"Lah kamu kan anak bapak, boleh dong bapak periksa hpnya. Jangan-jangan udah pacaran sama cowok yang nggak jelas."
"Ngga ko pak, Sari belum pacaran, beneran deh, sumpah."
"Terus kenapa nggak mau diperiksa hapenya?"
Sari diam tak menjawab.
"Nah kan bener, kamu punya pacar."
"Belum pak.. masa ngga percaya. Tapi kalo bapak liat hp Sari, beneran nanti dibeliin hp baru?"
"Tergantung..."
"Tergantung apa ?"
"Tergantung mood nya bapak lah.... hahaha." Saya menggodanya.
"Ih bapak. Sebel."
"Ya udah, nanti bapak beliin yg baru."
"Bener ya ?"
"Iyaaaa."
"Janji ya...."
"Iyaaa...."
"Nggak bohong ?"
"Ah udah lah nggak jadi dibeliin." Ancam saya.
"Ih iya deh iyaaa......" Sari mbrengut sambil ngasih hp nya.
Saya terima hp itu dan mulai buka satu demi satu WA nya. Nggak ada yang mencurigakan sih. Selama saya buka hp nya, Sari mepet di badan saya yang terlentang, dia seperti curiga.
Lalu saya klik Gallery foto.
"Jangan buka foto ih bapak...." Sari protes sambil berusaha ngambil hp di tangan saya.
Saya nggak peduli, hp nya saya jauhin dari jangkauan tangan Sari. Dia makin ngotot mau ngambil lagi.
"Katanya mau liat WA.... kok sekarang buka foto?"
"Lah emang kenapa?" Jari saya berhasil membuka gallery di hp nya. Sari makin panik.
Waktu saya makin menjauhkan hp darinya, Sari nekat naik ke badan saya untuk meraih hp. Dadanya yang mungil beradu dengan dada saya.
Haduh....
Kok empuk.
Sari grubukan nggak jelas diatas tubuh saya.
Saya jadi tegang.
Rasanya jadi gatal di situ.
"Bapaaaak... aaaah jangan buka fotoo awas ya bapak aduuh." Sari tetep berusaha mengambil hp.
Sekilas saya lihat galeri fotonya.
Loh.... kok ada sekitar tiga buah foto Sari sedang selfi pakai beha doang?
"Loh... ini foto apa ?" Tanya saya.
Sebentar Sari diam tak menjawab.
Tiba-tiba dia turun nggosoh dari atas tubuh saya lalu dia tidur menghadap tembok, membelakangi saya lagi.
"Sari... ini apa?"
Eh bahunya bergerak turun naik, lalu gemetar.
"Hik..hik..." Sari nangis terisak.
Saat itu saya buka fotonya satu per satu. Weleh beneran, foto selfi Sari sedang menunjukkan dadanya yang cuman pakai beha.
"Kamu.... wah.... bapak laporin ibu nih."
Dia tiba-tiba berbalik, dan kembali merebut hape di tangan saya. Dia berhasil. Segera dia masukkan ke balik bantal.
"Jangan pak... Sari bisa jelasin.... ampun pak..."
"Nggak... ini ibuk harus tau."
Sari kembali memunggungi saya dan menangis.
Akhirnya saya kasian juga.
Jadi saya diamkan aja.
Sialan, titit saya jadi gatal gara-gara ditindih si Sari tadi. Tapi saya udah capek, udah pengen istirahat. Jadi saya biarkan si Sari menangis di sebelah saya sambil memunggungi. Dicampur rasa kasihan dan rasa sayang, akhirnya saya memeluk dia dari belakang. Sari diam saja, tapi lama-lama tangisnya berhenti.
"Bapak nggak akan lapor ibu kan?" Sari bertanya di tengah saya hampir tertidur.
"Nggak, tapi kamu jangan kaya gitu lagi Sar." Saya berusaha menenangkannya.
Lama dia terdiam tanpa bicara.
"Makasih ya pak, nanti sari jelasin kok kenapa Sari bikin foto itu." Katanya. Tapi saya nggak ngejawab lagi, karena saya jatuh tertidur.
Selama tiga hari di kampung, tidak ada kejadian apa-apa yang berarti kecuali si Sari berlaku sangat manis dan penurut sama saya. Tanpa diminta dia buatin kopi pahit kesukaan saya, beliin rokok kalau disuruh, ngambilin air putih kalau saya haus, dan sebagainya.
Selain itu kami jadi lebih sering ngobrol, bercanda, dan kalau tidur biasanya selalu saya peluk dari belakang. Istri saya cuman komentar, "Wiih bapak karo anak saiki akur banget.".
Saya paling cuman jawab, "Nih anak gadismu kalau ada maunya pasti ngebaik-baikin."
"Iiih.... kan bapak duluan yang ngejanjiin hp baru." Sari komentarnya begitu.
Akhirnya 3 hari di kampung terasa sangat singkat. Singkat kata sebelum subuh itu kita harus balik karena Sari nggak bisa ninggalin sekolah terlalu lama dan saya harus kembali jualan bakso. Cuman ternyata istri saya harus tinggal lebih lama karena orangtuanya (mertua saya) meminta supaya dia nginap beberapa hari di rumah mereka (di kampung sebelah).
Saya pulang berdua dengan Sari.
Kami pulang dengan naik Bison lagi di pertigaan yang merupakan jalan masuk ke kampung dan sekalian tempat masyarakat menunggu angkutan umum. Seperti waktu datang, Bison sudah cukup terisi walaupun tidak penuh sesak. Kami terpaksa duduk di bagian paling belakang lagi.
Di tengah perjalanan, Bison makin sesak dengan orang-orang yang pergi ke arah kota kabupaten untuk berbagai macam urusan. Yang paling banyak adalah orang-orang yang mau jualan di pasar.
"Pak... itu anaknya dipangku aja... kasian ini Bu Guru kalau nggak keangkut." Kata Sopir.
Saya lihat, seorang ibu yang memang berpenampilan seorang guru sedang menunggu di luar sambil melongok-longok melihat kemungkinan untuk naik.
Tanpa disuruh, Sari naik ke pangkuan saya dan seorang bapak tua berkopiah hitam pindah dari jok depan ke jok kami. Ibu guru itu naik dan duduk di jok yang tadi bapak koppiah hitam duduki.
Bison kembali berjalan merangkak.
Pantat kecil sari yang mengkal menekan titit saya yang sedang tidur. Tentu saja rasa hangat dan empuknya pantat Sari membuat titit saya perlahan-lahan bangun.
Sari menelungkupkan kedua lengannya ke senderan jok depan, kepalanya tidur diatas lengan. Saya berusaha mengalihkan perhatian ke hal-hal lain supaya titit saya nggak tegang walaupun pantat Sari bergerak-gerak akibat dari gerakan Bison yang belok ke kanan kiri mengikuti kelokan jalan di pegunungan.
"Dari mana mau kemana, mas ? ini anak gadisnya ?" Tanya bapak tua berkopiah hitam di sebelah saya.
"Ooh ini habis dari rumah neneknya dia, anak saya, mau ke Ci****. Bapak mau kemana ?" Kami mulai berbasa-basi. Biasa kalau orang-orang kampung kita itu saling bertegur sapa di kendaraan umum.
"Saya jualan daun pisang di Pasar ****." Jawab bapak tua.
"Daun pisangnya dimana ?"
"Ditaro di atap Bison."
Daun pisang masih sangat laku di kota kabupaten untuk kebutuhan para pedagang seperti ketoprak, lontong, dan lain-lain. Kalau di kota besar, daun pisang digantikan oleh plastik.
Akhirnya setelah berbasa basi sebentar, kami kembali diam. Bapak itu memejamkan mata, dan saya juga mengikuti beliau supaya bisa tidur.
Saya mungkin udah tidur beberapa lama ketika terasa Sari tiba-tiba bangun dan menengok ke arah saya sambil mencubit tangan saya.
"Bapak !!!" Katanya judes.
Saya berpandangan dengan Sari yang menengok ke belakang.
"Apa Sar ?" tanya saya bingung.
Sari cuman cemberut, tapi nggak bilang apa-apa. Dia kemudian menelungkup lagi di senderan jok depan, lalu kami sama-sama tidur lagi.
Tidak berapa lama kemudian, Sari tetep menelungkup seperti itu sambil tidur, tapi satu tangannya mencubit keras tangan saya cukup lama.
Kenapa sih anak saya? Gaje banget nih anak. Saya membiarkan dia mencubit tangan saya. Ah peduli amat.
Cubitan itu berubah jadi memegang pergelangan saya cukup erat. Dia terus menelungkup, tapi kelihatan tubuhnya bergerak-gerak diatas pangkuan saya.
Tiba-tiba dia menarik nafas panjang dan kembali tenang. Pegangannya yang tadi erat di pergelangan tangan saya melonggar dan akhirnya lepas.
Akhirnya Bison sampai di terminal bis antar kota. Kami turun satu per satu.
"Mari nak... bapak duluan." Kata bapak tua berkopiah itu sambil menganggukkan kepala dengan senyum ramah.
"Oh iya pak." Kami pun turun belakangan dan kemudian berjalan mencari bis antar provinsi.
Ketika saya dan Sari berjalan berdua, Sari menggerutu.
"Bapak.... apaan sih tadi?" Tanya-nya.
"Apaan apanya ?" Heran saya dengan pertanyaan Sari.
"Itu tadi tangan bapak !"
"Lah emang tangan bapak kenapa? kan tadi kamu cubit terus kamu pegangin kenceng banget."
"Ih bapak ! Ya Sari cubit lah soalnya tangan bapak tadi kemana-mana." Jawab Sari sambil tetep kelihatan nesu alias kesel.
"Kemana-mana gimana? tangan bapak dari tadi kan diem meluk pinggang kamu."
"Lah... tadi... tangan bapak....kan..."
"Tangan bapak kenapa ?"
"Tadi... bapak ngeremes dada Sari." Sari tertegun, saya juga.
"Sumpah bapak nggak remes-remes.... masa sih bapak genit kaya gitu sama anak sendiri?" Saya kesel juga dengan tuduhan si Sari.
"Jadi... terus.... siapa yang ngeremes-remes dada Sari?" Sari berehenti berjalan dan saya juga berhenti. Kami bertatapan.
"Aduh pak, kayanya bapak tua yang pakek kopiah itu ngegerayangin dada Sari tadi." Wajah Sari terlihat memelas, bibirnya terbuka.
Aduh ngeselin banget bapak tua tadi, kok udah tua gitu masih genit dan berlaku nggak sopan ?
"Terus, kamu kenapa diem aja tadi ?" Saya kesel juga dengan si Sari yang diem aja diremes-remes.
"Kirain..... kirain tadi.... bapak yang remes."
"Lah emang kalo bapak yang kayak gitu kamu gpp?" Tanya saya.
"Yah..... kirain..... anu... Sari mikirnya bapak gak jadi beliin hape baru kalau Sari ngelarang bapak." Sari menundukkan wajah, menatap jalan.
"Kamu itu ya...."
"Tadi kan Sari sempet negur bapak.... tapi kok bapak maksa banget masukin tangan ke dalem baju Sari...."
"Jadi kamu diem menikmatin? gitu ???" Saya kesel juga anak perempuan satu-satunya saya diremes-remes kakek tua genit.
"Euh.... maap pak...."
Aa, saya marah dan kesel dengan kelakuan kakek itu. Tapi waktu saya cari si kakek genit itu ternyata udah ngga ada.
Kuampreeet... saya aja bapaknya nggak pernah kaya gitu sama si Sari.
Eh... pernah sekali..... tapi ya kan itu cuman penasaran doang A, saya juga ngga tau kan kalo itu dadanya si Sari. Itu loh yang waktu kita pas naik Bison pertama kali waktu dateng ke kampung.
Ya tapi, saya juga nggak terang-terangan kaya gitu kan?
Tapi... kok si Sari malah diem ya diremes bapak tua itu ?
Ah kesel banget.
Kampret
Kampret
Kampret
Daripada sama bapak tua peot bandot ngga tau diri itu... ya lebih baik dipegang bapaknya aja kan?
Ya maap A, waktu itu saya pikir begitu.
Bersambung ke :
Kisah 3 : Wagino dalam dilema (bagian 6)