Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Slh 1 cerita yg sk dicek update apa blm 🤭 menarik ceritanya.
Oh iya huu....
Cerita2 lama yg belum kelar mending dilanjut pakai akun ini aja.
Syg tuh yg karma bgs bgt,, br mulai season 2 jg.
 
Chapter 11



"Din, tolong angkat Zaenab ke kamar. Biar Nyai Ishma dibantu Latifah mengurus Zaenab hingga sadar, dan Ning Sarah sebaiknya pulang." Kata Gus Nur memberi perintah dengan tenang, tidak terdengar nada panik melihat kondisi Zaenab.

"Ba, baik Pak Yai..!" Jawabku gugup, Gus Nur sudah menggunakan panggilan Nyai untuk Ning Ishma di hadapan kami, itu artinya dia menekankan kedudukannya sebagai Kyai di pondok pesantren ini. Entah apa maksudnya menggunakan penekanan seperti itu, tanpa diingatkan pun aku tahu kedudukannya dan kedudukan ku di pesantren ini.

Dengan berhati hati aku mengangkat tubuh Zaenab yang cukup berat, namun fisikku yang terlatih dengan pekerjaan berat tidak membuatku kesulitan mengangkat tubuh Zaenab dan membawanya ke dalam diikuti oleh Latifah yang terlihat cemas. Sampai ruang keluarga, aku bingung harus membawa Zaenab ke kamar yang mana karena ada empat kamar yang pintunya tertutup.

"Bawa masuk ke sini, Din!" Suara merdu Ning Ishma menyadarkanku dengan keberadaan Ning Ishma yang sejak tadi duduk di sofa kayu jati yang sudah tua usianya, dia membuka salah satu pintu kamar yang tertutup. Aku berjalan melewatinya, bau harum dari tubuhnya sudah sangat kukenal, bau tubuh yang kuhirup sepuas puasnya beberapa malam yang lalu. Bisakah aku kembali mengulangi kejadian itu, mereguk nikmatnya tubuh Ning Ishma.

"Enggeh, Nyai..!" Jawabku bergegas membawa masuk Zaenab, tubuhnya terlalu berat dan aku takut tidak bisa menahannya lebih lama. Kamar ini lebih sederhana daripada kamar Ning Ishma, kondisi kamar terlihat rapi dan bersih. Mungkin ini kamar untuk para tamu yang akan menginap. Aku meletakkan Zaenab dengan berhati hati dibantu oleh Latifah yang dengan cekatan menaruh bantal di kepala Zaenab.

Aku menarik nafas lega, beban berat tubuh Zaenab langsung hilang. Aku menatap wajah Zaenab dengan perasaan heran, kenapa gadis ini tiba-tiba pingsan. Padahal semua hutang ayahnya sudah dibayar oleh Mbah Yai Nafi, ternyata Mbah Yai Nafi orang kaya yang dermawan. Uang 100 juta bukan sedikit, dan Mbah Yai sama sekali tidak keberatan untuk membayarnya. Apakah ini yang disebut, Zuhud?

"Buka jilbabnya agar tidak menghambat pernafasannya, dan oleskan minyak kayu putih pada hidung dan dadanya.!" Instruksi dari Ning Ishma membuatku senang, apa lagi harus mengoleskan kayu putih pada bagian dadanya.

"Iya, Nyai..!" Jawabku antusias, dengan cekatan aku menyangga leher Zaenab agar lebih mudah melepaskan jilbabnya.

"Hush, aku nyuruh Latifah, bukan kamu Din ! Ayo keluar, kondisi darurat sudah berlalu.!" Gerutu Ning Ishma mencegahku untuk melanjutkan usahaku membuka jilbab Zaenab, aku hanya tertawa kuda berbalik membelakangi Zaenab dan Latifah.

"Pareng, Nyai..!" Aku berpamitan kepada Ning Ishma yang berdiri mematung di luar pintu kamar, matanya menatapku lembut dengan senyuman yang membuatku terpana, cantik sekali. Mungkin kalau hatiku belum terisi oleh Ning Sarah, aku akan jatuh hati padanya. Dan kalau sampai aku jatuh cinta pada Ning Ishma, hidupku akan terasa sia-sia, penantian tanpa akhir.

"Silahkan, terima kasih." Jawab Ning Ishma, tangannya memegang tanganku saat melintas di hadapannya. Aku memandangnya dengan perasaan jengah, bagaimana kalau sampai Gus Nur melihat perbuatannya, bukankah sama artinya semakin memperburuk keadaanku.

"Jangan pernah panggil aku Nyai saat kita berdua, ingat itu." Bisik Ning Ishma, dia seperti melupakan Latifah yang berada di dalam kamar dan sewaktu waktu akan menoleh ke arah kami.

"Kenapa, Nyai?" Tanyaku pelan, agar tidak ada yang mendengar.

"Karena aku, milikmu." Belum sempat aku menjawab, Ning Ishma mencium bibirku dengan ganasnya, membuatku mundur ketakutan. Gila, ada Gus Nur yang sewaktu waktu masuk dan melihat perbuatan kami. Tapi Ning Ishma tidak membiarkanku mengincar, dia justru memepetku di tembok sehingga aku tidak bisa lagi menghindar darinya.

"Jangan Ning, ada Pak Yai..!" Bisikku panik, masalahku masih tanda tanya dan sekarang Ning Ishma malah menjerumuskan ku pada jurang tanpa dasar.

"Gus Nur tidak akan tahu kalau kamu tidak, teriak." Ning Ishma mengabaikan rasa tungku, dia melumat bibirku dengan bernafsu. Akal sehatnya sudah hilang, cinta sudah membutakan hati dan pikirannya, aku bergidik ngeri.

"Kontol kamu sudah ngaceng, say? Kontol kamu pasti kangen, memekku..!" Bisik Ning Ishma, membuatku memaki kontolku yang tidak tahu diri tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam.

"Sudah Ning, aku takut..!" Aku masih berusaha menyadarkan Ning Ishma, bahwa yang kami lakukan sangatlah berbahaya. Sebelum masalahnya semakin membesar dan api yang dikobarkan Ning Ishma membakar diriku, aku bergegas meninggalkannya ke ruang tamu.

Aku menunduk gelisah, melihat Gus Nur masih bersila di tempatnya. Jelas sekali dia memang sedang menimbang bimbang vonis terberat yang akan aku terima, semoga vonis itu adalah mengusirku dari pondok pesantren, bukan doa jelek yang akan membuat hidupku menderita. Aku sangat yakin, sebagai orang 'alim sekaligus keturunan Kyai besar, doa Gus Nur akan dikabulkan. Terlebih lagi aku sudah menzholiminya dengan cara yang paling nista, aku sudah menggauli Ning Ishma istrinya. Ada tiga golongan orang yang do'anya akan langsung dikabulkan, yaitu doa seorang musafir, doa orang yang sedang berpuasa dan doa orang yang terzalimi.

"Duduk Din, ada yang harus kita bicarakan." Suara Gus Nur seperti malaikat Munkar dan Nakir, begitu menakutkan dan membuat kedua lututku goyah ketakutan. Aku perlu waktu beberapa tarikan nafas untuk melangkah mendekatinya.

"Enggeh, Pak Yai..!" Jawabku bersila di hadapannya, seharusnya tadi aku membalas ciuman Ning Ishma ditambah menjamah bagian intimnya sebagai kenang kenangan sebelum aku pergi dari sini.

"Jangan tegang seperti itu, kita hanya akan membicarakan hal tidak penting." Gus Nur tertawa kecil melihat keadaanku, bajuku tiba tiba basah oleh peluh padahal udara tidaklah panas.

"Enggeh, Pak Yai..!" Jawabku lemah, putus asa.

"Aku dengar dari Mbah Yai, kamu ingin mengabdi sebagai santri dalam, benarkah itu?" Tanya Gus Nur membuatku sedikit lega, dia sama sekali tidak menyinggung masalah yang aku takutkan.

"Enggeh Pak Yai, saya memang berniat seperti itu, ingin mengabdi pada jenengan Para Yai yang semoga dimuliakan oleh Allah." Jawabku, perlahan rasa takutku berangsur hilang.

"Begitu, kalau kamu bersedia aku ingin kamu melayaniku, apakah kamu bersedia?" Tanya Gus membuatku terkesima, apakah aku salah dengar?

"Saya, saya bersedia Pak Yai..!" Hatiku bersorak kegirangan, ternyata kecurigaan ku tidak terbukti. Aku terlalu dibayang-bayangi rasa bersalah, sehingga aku tidak bisa berpikir jernih.

"Sebaiknya kamu mengemasi bajumu, Din. Ada kamar yang tidak terpakai di dapur, kamu bisa menempatinya." Gus Nur tersenyum menatapku yang bahagia, semua persoalanku terselesaikan dalam satu hari. Melayani Para Yai adalah sebuah anugerah yang tidak bisa didapatkan oleh semua santri, melayani para Yai sama artinya dengan belajar kitab langsung di bawah bimbingan Para Yai sumbernya ilmu. Selama ini aku belajar kitab dari para santri senior, tidak langsung pada sumbernya.

"Ter terima kasih, pak Yai..!" Aku segera mencium tangan Gus Nur berkali kali, hari yang kuanggap sebagai hari terburuk, ternyata adalah hari terbaik dalam hidupku.

Waktu ternyata masih berpihak padaku, hidup di pondok pesantren menimba ilmu dari sumbernya langsung, Gus Nur atau nama aslinya K.H. Nurrahman adalah sebuah anugerah yang tidak bisa dijabarkan dengan kata kata. Cita cita kedua orang tua ku untuk mempunyai seorang anak yang menjadi Kyai, terlihat semakin dekat.

*********

"Ada apa, Ning?" Tanyaku lembut menghampiri Ning Sarah yang berdiri melambaikan tangannya padaku, dia duduk di bangku bambu di bawah pohon yang rindang.

Hatiku berbunga-bunga, duduk berduaan di bawah pohon rindang dengan ditemani angin musim kemarau yang terasa sejuk membasuh jiwaku yang terbalut rindu dan cinta.

"Kenapa dengan, Zaenab?" Tanya Ning Sarah membuatku terkejut, ada apa dengan Zaenab sehingga Ning Sarah menanyakannya kepadaku. Jantungku berdegup kencang, menduga Zaenab menceritakan kejadian itu kepada Ning Sarah.

"Kenapa, Zaenab?" Aku balik bertanya dengan perasaan was-was, hancurlah cintaku bila Zaenab membocorkan rahasia hilangnya keperawanannya walau itu semua bukanlah kesalahanku. Aku hanya membantu Zaenab, dia sendiri yang menginginkannya dan tidak seharusnya dia meminta pertanggungjawaban dariku.

"Aku bertanya, kok malah kamu yang balik bertanya? Sejak kepulangannya dia berubah menjadi pendiam dan terlihat lebih murung dari biasanya, padahal semua hutang ayahnya sudah lunas dan dia tidak jadi menikah dengan tua bangka itu." Ning Sarah menatapku lembut, matanya berbinar indah. Bahkan bintang kejora pun akan padam saat bersanding dengan sepasang matanya.

"Aku tidak tahu, kenapa tidak kamu tanyakan langsung?" Kenapa harus membicarakan orang lain saat kita sedang berduaan, tidak bisakah bicara tentang kita. Ning, jangan hancurkan mimpiku dengan senyuman menawanmu. Ulurkan tanganmu, Ning.

"Sudah, tapi dia tidak mau menceritakan apa yang terjadi." Jawab Ning Sarah, matanya menatap bayang bayang pohon yang bergerak gelisah tersapu angin, beberapa daunnya yang mengering jatuh dalam dekapan bumi yang merindukannya.

"Ning, tidak bisakah kita bicarakan tentang diri kita sendiri?" Tanyaku dengan jantung berdebar kencang, menanti bibirmu bicara tentang masa depan yang selalu menjadi rahasia abadi.

"Benarkah kamu, mencintaiku?"tanya Ning Sarah lugas, kejujurannya membuat hatiku berbunga, ada asa yang kau berikan padaku

"Aku bersumpah atas nama Allah, aku mencintaimu Ning." Jawabku penuh semangat, tidak ada keraguan sedikitpun dari nada suaraku. Cinta sudah bersemayam sejak pertama kali aku melihatmu, dengan jilbab putih yang basah oleh guyuran air hujan yang tiba-tiba turun dan kau berlari lari kecil mencari tempat berteduh tepat di sampingku. Sebuah senyum kaku, membalas senyumku sehingga aku menganggapku angkuh.

"Maukah kamu melakukan sesuatu untukku sebagai tanda cintamu?" Tanya Ning Sarah memberiku harapan terindah, apakah ada harapan terindah lebih dari ini?

"Apapun itu, Ning..!" Jawabku mendengar harapan yang diberikan Ning Ishma, aku terbang tinggi ke atas awan dengan sayap cinta yang kau berikan, Ning. Menari di antara awan yang akan segera sirna dalam dekapan angin.

"Datanglah kepada Ayahku dengan hafalan ilmu dari kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi. Assalammualaikum, Kang. Aku tunggu kedatangannya." Jawab Ning Sarah meninggalkanku yang terpaku menatap siluet bayangannya bergoyang, menjatuhkan diriku pada dunia nyata. Harapan, ternyata tidak seindah kenyataan.

"Wa Alaikum salam, Ning." Jawabku memandang kepergiannya hingga hilang di balik rimbunan pohon mangga. Aku pasti datang Ning, dengan hafalan yang kau pinta.


"Kamu kenapa, Din?" Suara lembut Ning Ishma membuyarkan lamunanku tentang Ning Sarah, permintaan Ning Sarah seminggu yang lalu terasa membebani pikiranku.

"Nggak apa-apa, Ning." Jawabku tersenyum, kedatangan Ning Ishma tidak membuyarkan bayang bayang Ning Sarah. Justru aku melihat ada kemiripan antara Ning Sarah dan Ning Ishma, mereka sama sama anak Kyai dan dididik dengan ilmu agama sejak balita. Berbeda denganku, hanya tau mengaji Al-Qur'an dengan dasar iqro.

"Panjang angan angan sangat tidak dianjurkan, ada perbedaan mencolok antara panjang angan angan dan bermimpi. Panjang angan angan adalah hayalan tentang sesuatu yang tidak bisa kamu raih, sedangkan bermimpi akan membuatmu berjuang untuk mendapatkannya. Kenapa kamu tidak menghafal kitab untuk mengisi waktu agar tidak terbuang sia-sia?" Ning Ishma duduk agak jauh dariku, matanya tidak pernah berpaling dariku.

"Saya sedang berusaha untuk menghafal Kitab Nazham Imrithi, Ning." Jawabku gelisah.

Hidupku terlalu rumit untuk memikirkan urusan orang lain, persoalan cintaku dengan Ning Sarah masih menggantung. Sekarang Ning Sarah memintaku menghafal ilmu alat yang terdiri kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi, dua sudah kuhafal, tinggal Kitab Nazham Imrithi. Rasanya sulit, hampir setiap malam aku berusaha menghafalnya tapi tidak ada satu baitpun yang melekat di otakku.

"Lalu?" Ning Ishma semakin lekat menatap wajahku, dia tidak berusaha menyembunyikannya perasaannya.

"Selalu saja aku mengalami kesulitan, setiap bait yang kuhafal hilang keesokan harinya." Jawabku mengeluh.

"Jam berapa, sekarang?" Ning Ishma mengalihkan percakapan, senyumnya terus tersungging di bibirnya yang tipis sensual.

Aku melihat jam di tanganku sudah menunjukkan angka 16 : 20, sudah waktunya mengisi air bak mandi yang besar, namun tugas itu terasa semakin ringan karena sudah terbiasa. Sebenarnya aku tidak perlu bersusah payah mengisi bak karena Gus Nur dan Ning Ishma menyuruhku memakai pompa listrik, tapi aku menolaknya dengan alasan sekalian berolah raga untuk membentuk otot otot tanganku. Aku mulai menimba air dari sumur yang semakin dalam karena musim kemarau, sehingga airnya menyusut walau tidak sampai kering. Sehingga aku harus menimba lebih lama dari pada biasanya.

"Jam 16 : 20, Ning." Jawabku mengerti, Ning Ishma mengingatkan tugasku.

"Kamu isi bak mandi, jangan berhenti sebelum aku menyuruh berhenti." Ning Ishma berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkanku di bale bale dapur.

"Enggeh, Ning...!" Jawabku terus memandangi pantat Ning Ishma yang berisi, aku rindu meremas pantatnya dan terlebih lagi benda yang tersendiri antara selangkangannya.

Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran nakal yang selalu muncul saat berduaan dengan seorang wanita, terutama saat berduaan dengan Ning Ishma. Wanita yang menurutku aneh, dia begitu menggebu-gebu memaksaku melayani nafsu seksnya, sekarang setelah aku tinggal serumah dengannya dia begitu alim dan Sholeh sehingga aku tidak bisa menyentuhnya. Setiap kali aku berharap Ning Ishma mencumbui, setiap kali itu juga aku harus kecewa, Ning Ishma selalu menjaga jarak walau kesempatan itu ada.

Selesai, air bak sudah terisi penuh, sebentar lagi Ning Ishma akan mandi, sedangkan Gus Nur sangat jarang mandi di sini, dia lebih memilih mandi di kamar mandi umum khusus para santri. Aku tidak tahu alasannya, dan aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Sedangkan aku biasanya mandi setelah Ning Ishma, kadang aku menemukan pakaian dalam Ning Ishma tergantung begitu saja di kamar mandi, awalnya aku mengira Ning Ishma lupa. Namun kejadian itu selalu terjadi, apakah itu sebuah kebiasaan buruknya?

"Din, aku menyuruhmu untuk terus menimba air !" Ning Ishma sudah berada di sampingku, entah sejak kapan dia datang. Aku terlalu asyik dengan lamunanku sehingga tidak menyadari kedatangannya.

"Bak sudah terisi penuh, Ning." Jawabku ringan, tugasku sudah selesai dan menanti tugas lain, mencumbu tubuh indah Ning Ishma.

"Kamu nggak dengar apa yang kukatakan, tadi? Jangan berhenti menimba sebelum aku menyuruh berhenti, apa tugas itu terlalu sulit buatmu?" Tanya Ning Ishma membuatku jengah, tugas yang kurasa aneh.

"I iya, Ning.." jawabku, mengambil timba dan meneruskan pekerjaan yang sebenarnya sudah selesai.

"Din, coba kamu masuk..!" Seru Ning Ishma membuatku bersorak kegirangan, tugas lainnya sudah menanti di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam kamar mandi dengan perasaan kecewa, Ning Ishma masih berpakaian lengkap.

"Iya, Ning.." aku menatap heran, teka teki apa yang sedang dimainkan oleh Ning Ishma, dia terus menggodaku seakan aku bisa merengkuh tubuhnya dalam dekapanku dan aku sudah mendekat, dia seperti menjauh.

"Sebelum aku datang, berapa banyak air yang sudah kamu isi?" Tanya Ning Ishma, dia meraih tanganku dengan mesra.

"Penuh, hingga menyentuh bibir bak." Jawabku pasti, aku sudah mengisi bak hingga luber tidak tertampung.

"Kapasitas bak ini hanya segini, seberapa banyak kamu mengisi bak ini sebagian isinya akan tumpah Begitu juga dengan hafalan yang sedang kau kerjakan, selama pikiranmu masih terisi Ning Sarah, kamu tidak akan bisa menghafalnya." Bisik Ning Ishma, tangganya memegang pundaknya sehingga aku menunduk. Ning Ishma mencium belakang telingaku. Ciuman pertamanya sejak aku menjadi abdi dalem di rumahnya.

"Ning...,!" Aku bergidik geli, akhirnya kerinduanku terbayar. Bayang bayang Ning Sarah memudar saat birahiku bergejolak.

"Tidak bisakah kamu menghapus bayang bayang Ning Sarah dari pikiranmu dan menggantinya dengan, diriku..?" Ning Ishma mengalungkan tangannya ke leherku sehingga kami saling berhadapan, wajahnya terlihat semakin cantik diantara gelora nafsu yang terpancar dari tubuhnya.

"Andai kamu bukan seorang istri, aku pasti akan memikirkannya." Jawabku berusaha menghibur Ning Ishma, aku merangkul pinggangnya dengan gelora birahi yang membakar akal sehatku.

"Pernikahan kami seharusnya batal demi, Hukum." Jawab Ning Ishma, jari jari kirinya yang lentik menyentuh bibirku.

"Maksudnya, Ning?" Tanyaku terkejut.

"Haram hukumnya menikah, bagi seorang pria yang membahayakan wanita karena tidak mampu melakukan senggama, tidak mampu memberi nafkah atau memiliki pekerjaan haram, meskipun ia ingin menikah dan tidak takut berbuat zina. Pembagian hukum ini juga berlaku bagi seorang wanita. Itu tertera dalam kitab Qurrotul Uyun." Jawab Ning Ishma, dia menarik leherku sehingga kami kembali berciuman dengan mesra, bahkan aku merasakan kebahagiaan saat bibir kami bersatu.

"Lalu apa hubungannya dengan Gus Nur, saya yakin Gus Nur sudah memenuhi kewajibannya memberi nafkah.?" Tanyaku setelah ciuman singkat kami selesai.

"Aku sudah bilang, jangan pura pura pilon..!" Gerutu Ning Ishma, dia mengangkat sarungku lepas melewati kepalaku, dia sudah mulai tidak bisa mengendalikan dirinya lebih lama lagi. Sarungku digantung di paku yang menancap pada dinding.

"Apakah hal itu cukup untuk membatalkan sebuah, pernikahan?" Tanyaku, berusaha menjaga diri agar tidak terlihat murahan padahal kontolku yang tegak menjulang tidak bisa menyembunyikan gairahnya.

"Cukup, berhentilah bicara hal yang tidak penting. Ada yang lebih penting, kontolmu pasti sudah sangat merindukan memekku." Ning Ishma berjongkok di hadapanku, namun dia berdiri lagi sebelum menyentuh kontolku.

"Kenapa, Ning?" Tanyaku agak kecewa.

"Rokku nanti kotor, kena air." Ning Ishma membuka baju gamis panjangnya dan menaruh tepat di sebelah sarungku. Kini tubuhnya hanya memakai BH, CD dan jilbab membuatnya terlihat semakin sexy.

"Tubuhku sexy kan, sayang!" Goda Ning Ishma, dia memutar tubuhnya menggoda gairahku yang sudah sejak tadi bangkit. Momen seperti ini membuatku lupa dengan bayang bayang Ning Sarah yang selalu datang dalam setiap helaan nafas.

"Indah sekali, Ning..!" Gumamku tidak bisa lagi mengendalikan diri, aku meraih payudara indahnya dan tertutup BH warna krem, selalu BH berwarna krem yang dikenakannya, mungkin karena warna itu begitu serasi dengan kulit tubuhnya.

"Hihihi, sekarang kamu sudah berani kurang ajar..!" Ning Ishma mendelik, aku tahu itu hanya godaan manjanya. Jauh di lubuk hati, dia pasti memuji keberanianku.

"Ning, aku merindukanmu...!" Bisikku lirih, birahi yang membakar jiwaku membuatku lupa wanita yang kuhadapi adalah guruku sendiri. Semuanya kubuang jauh, di di hadapanku bukan lagi guru tapi wanita biasa yang membutuhkan kehangatan dan kejantanan ku.

"Kamu hanya merindukan tubuh dan kehangatan jepitan memekku saja, jauh di hatimu hanya ada Ning Sarah." Gumam Ning Ishma, dia membiarkanku membuka kaitan Bh nya sehingga aku bisa menikmati payudaranya yang indah.

"Apakah aku salah, Ning..?" Aku meraih payudara Ning Ishma, kucium dengan bergairah seperti yang sudah diajarkannya padaku. Harum sekali, membuatku semakin kerajinan mengeksplorasi setiap lekuk payudaranya. Menghisap putingnya dengan rakus membuat Ning Ishma menjerit lirih, menikmati lidah jasadku bermain menggelitik putingnya.

"Ahhhhh ya, kamu cepat sekali belajar..!" Ning Ishma tidak menjawab, dia memeluk kepalaku dengan gemas menggencet di payudara hangatnya.

"Sudah sayang, jilatin memekku..!" Ning Ishma mendorongku, tapi tanganku seperti menempel di payudaranya, aku masih belum puas mempermainkan payudaranya. Merasakan kehangatan dan kekenyalannya.

"Ayooo sayang, jilatin memekku..!" Ning Ishma merajuk, melihatku enggan melepaskan payudaranya.

"Nanti saja Ning, aku masih kangen sama payudara indahnya." Aku kembali menjilati payudaranya membuat Ning Ishma semakin kelojotan nikmat.

"Kami bebas menikmati payudaraku setelah kita menikah, nanti. Sekarang waktu kita terbatas, sewaktu waktu Gus Nur memergoki kita..!" Peringatan Ning Ishma membuatku sadar, kami tidak bisa berlama lama menikmati perbuatan mesum ini, apa lagi kami melakukannya di kamar mandi.

Aku berjongkok, membuka CD Ning Ishma yang menutupi memeknya, indah sekali dan aku tidak akan pernah bosan melihat bentuknya. Aku tidak boleh terpesona oleh keindahan memeknya, waktu sangat berharga jangan sampai terbuang sia sia. Ning Ishma sangat paham dengan situasi yang kami hadapi, sebelah kakinya terangkat ke pundakku, sehingga aku bisa dengan leluasa menjilati memeknya. Semuanya harus dilakukan dengan cepat, setelah memeknya basah, Ning Ishma menarikku berdiri.

"Masukkin kontolmu, sayang, sebelum Gus Nur datang..!" Ning Ishma menungging membelakangiku, tangannya berpegangan pada sisi bak kamar mandi.

Gaya apa lagi, ini ? Apa yang harus kulakukan dalam posisi seperti ini?

*Sini, kontolmu..!" Ning Ishma melambaikan tangannya, aku bergerak maju menempelkan kontolku pada pantatnya yang montok. Ning Ishma meraih kontolku dan meletakkan tepat pada lobang memenya yang sudah basah akibat jilatanku tadi.

"Masukkin, sayyy..!" Runtuh Ning Ishma, dia memundurkan pantatnya sehingga kontolku mulai masuk ke dalam lobang sempit terasa hangat.

"Iya, Ning...!" Tanpa diperintah pun aku mendorong kontolku masuk menyambut dorongan Ning Ishma, dalam sekejap kontolku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Ning Ishma.

"Sssssss, aduhhh nikmatnya memekku...!" Seru Ning Ishma, wajahnya menoleh ke arahku dengan tatapan mata sayu.

"Ahhhhh, makasih Ning...!" Aku tersenyum membalas tatapan Ning Ishma, pinggulku mulai bergerak memompa memeknya dengan bertenaga membuat tubuh Ning Ishma terguncang hebat.

"Aaaaaaammmmmpunnnnn, terussss yang kenceng..!" Ning Ishma terus ikut menyambut Hujaman kontolku, pantatnya bergerak maju mundur dengan cepat.

"Ennakk, Ning. Memekmu enak..!" Aku bergumam merasakan jepitan memek Ning Ishma, kuremas bongkahan pantatnya yang montok menggemaskan .

"Iya, gituuu, yang kenceng entot memekkuuuu..!" Seru Ning Ishma kesetanan, tutur katanya yang selalu sopan, sekarang begitu cabul dan vulgar, menampakan sisi hitam dirinya yang tersembunyi. Aku menatapnya takjub, sekaligus bangga karena bisa menikmati tubuh indahnya.

Aku semakin bergairah memompa memeknya, menunjukkan betapa perkasanya kontolku sehingga membuat Ning Ishma semakin bertekuk lutut padaku.

"Ning, kamu masih lama nggak? Ada Nyai Aisyah menunggu...!" Suara Gus Nur membuatku ketakutan setengah mati, jantungku nyaris berhenti berdetak. Celaka, bagaimana kalau sampai Gus Nur masuk dan melihat perbuatan terkutuk kami?

"Iiiya.. Kang, tunggu sebentar lagi...!" Seru Ning Ishma setelah berhasil mengendalikan dirinya, dia menggoyangkan tubuhnya pelan.

Entah kenapa mendengar jawaban Ning Ishma, keberanianku kembali muncul terlebih Ning Ishma terus menggoyangkan pinggulnya memompa kontolku tanpa rasa takut. Tanggung kalau sampai aku tidak orgasme, dengan keberanian itersisa aku kembali memompa memek Ning Ishma dengan lebih cepat dan bertenaga sehingga menimbulkan suara tepukan cukup keras.

"Jangan lama lama Ning, sampeyan sudah ditunggu sejak tadi." Jawab Gus Nur di sambut goyangan pantat Ning Ishma menyambut hentakan kontolku, wajahnya menoleh ke arahku, matanya mendelik manja menerima perlakuanku. Wajahnya memancarkan rasa bahagia yang tidak bisa diterima dari Gus Nur.

"Iya Kang, jenengan temani Nyai Aisyah dulu.." jawab Ning Ishma, dia mendorongku sehingga kontolku terlepas dari memeknya.

Aku menatapnya heran, apa Ning Ishma sudah mendapatkan orgasmenya?

"Duduk, Sayang...!" Ning Ishma menunjuk lantai kamar mandi yang basah, tanpa protes aku melakukan permintaan Ning Ishma, duduk bersekongkol kaki di lantai yang basah, Ning Ishma segera berjongkok di pangkuanku, tangannya memegang kontolku agar tepat di lobang memeknya.

"Nggak bisa Ning, bukan mahram." Jawab Gus Nur bertepatan dengan masuknya kontolku ke memek Ning Ishma. Mataku terpejam merasakan jepitan memek Ning Ishma yang berkedut meremas kontolku.

"Iyya Kang, sebentar lagi, lagi tanggung...!" Seru Ning Ishma menggoyang kontolku dengan cepat.

"Ya sudah, Akang mau ke masjid dulu.." jawab Gus Nur mengucapkan salam, Ning Ishma tidak membalas salamnya.

"Ning, kok kamu nggak balas salam akang?" Tanya Gus Nur tidak mendengar balasan salam dari Ning Ishma.

Dengan terpaksa Ning Ishma membalas ucapan salam Gus Nur, rasanya ucapan salam itu sangat tidak tepat pada situasi yang sedang kami hadapi. Perbuatan kami tidak mencerminkan keselamatan, perbuatan kami justru menjerumuskan kami pada lembah nista.

"Sayang, sayang, sayang Akku kelllllluaarrrrr...!" Seru Ning Ishma menggigit pundakku, rasa sakit tidak begitu kurasakan karena pada saat yang sama akupun merasakan orgasmeku sampai..

"Aku bahagia, walau hanya untuk beberapa saat Sayang. !" Bisik Ning Ishma setelah badai orgasme yang kami raih berlalu. Perlahan Ning Ishma beranjak dari pangkuanku sehingga kontolku terlepas dari jepitan memeknya, dari celah sempit memeknya mengalir cairan pejuhku yang cukup banyak. Pada saat itu aku berpikir, bagaimana kalau sampai Ning Ishma hamil?

Bersambung
Lanjutkan petualangan udin gan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd