Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter 5 : Sisi Kelam



"Kang Udin....!" Panggilan lembut membuatku menoleh, ternyata Latifah. Gadis cantik itu berjalan mendekatiku, mau apa lagi dia mencariku.

"Ada apa, Fah?" Aku menatapnya, harus kuakui gadis ini cantik dan menarik terutama saat tersenyum. Aneh, sejak mondok di sini, aku lebih memperhatikan para santriwati. Seingatku selama mondok di Cirebon, aku tidak pernah memperhatikan kecantikan para santriwati.

"Kamu ditunggu Ning Sarah." Kata Latifah memamerkan senyumnya yang menawan, deretan giginya yang putih teratur bersinar seperti mutiara.

"Ning Sarah, ada apa?" Tanyaku heran, hatiku berdesir senang setiap kali mendengar namanya. Nama yang terpatri di dasar hatiku, apakah aku jatuh cinta?

"Nggak tahu, Ning Sarah ada di gardu Utara. Sepertinya, ah sudahlah." Latifah tidak meneruskan perkataannya, dia meninggalkanku. Ya Allah, pantatnya berlenggak lenggok memancing syahwatku.

*Terima kasih.." jawabku ketika tersadar dari pesona pinggulnya.

Aku bergegas ke gardu Utara, memang tujuannku ke rumah Gus Nur yang terletak tidak jauh dari gardu. Dan gardu itu akan kutempati setiap malam hingga hukumanku selesai. Dari kejauhan, aku melihat Ning Sarah duduk seorang diri menungguku, jantungku berdetak semakin kencang dan langkah kakiku menjadi berat.

"Ada apa, Ning ?" Tanyaku setelah bersusah payah menghampirinya, wajahnya yang cantik membuatku tidak berani menatap wajahnya yang asik memandang bunga bunga mawar yang bermekaran di pekarangan rumah Gus Nur.

"Kamu sombong, tidak sekalipun menyapa saat kita berpapasan." Jawab Ning Sarah tanpa melihat ke arahku, jari jarinya yang lentik mempermainkan ujung jilbabnya yang berwarna putih serasi dengan kulitnya yang juga berwarna putih. Kalau saja aku berani menatap wajahnya, aku akan melihat urat biru membayang samar pada pipinya yang halus.

"Sombong? Sepertinya tidak." Jawabku membela diri. Seharusnya Ning Sarah introspeksi diri, yang sombong itu dia bukan malah menuduhku yang sombong. Tidak ada yang bisa kusombongkan selama mondok, karena kami lebih kagum dengan para santri dan santriwati yang berasal dari keluarga ulama atau kami menganggapnya sebagai darah biru dari pada santri atau santriwati yang berasal dari keluarga kaya. Aku tidak berasal dari ke dua golongan itu, ayahku bukan ulama dan juga bukan orang kaya walau dia punya hektaran sawah dan kebun.

"Kamu tidak merasa sejak dari Cirebon tidak sekalipun kamu menyapaku, seakan aku ini tidak pernah ada. Aku masih bersabar dan menganggapmu pemalu, tapi setelah di sini kamu masih saja mengabaikan kehadiranku seakan aku tidak pernah ada. Aku ini anak Abah Yai Nafi', pemimpin pondok pesantren ini, seharusnya kamu menaruh hormat padaku." Jawaban ketus Ning Sarah semakin memperkuat anggapanku bahwa gadis ini sombong, dia begitu bangga dengan apa yang dimilikinya dan tidak kumiliki.

"Ma maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu..!" Jawabku mengalah, tidak ada gunanya berdebat dengan gadis ini, hanya akan mempersulit posisiku selama mondok di sini. Lagi pula dia anak seorang Kyai, setidaknya aku bisa mengharapkan barokah darinya.

Aku hanya merasa heran, hanya persoalan sepele membuat Ning Sarah marah dan merasa tersinggung dengan sikapku. Apa yang salah dengan sikapku ini, kurasa wajar. Toh aku tidak pernah berbuat kurang ajar padanya.

"Kamu nggak peka, setiap santri berlomba mencari perhatianku, kamu tahu itu?" Ning Sarah menjawab ketus, matanya yang tajam menatapku sinis.

"Aku tahu." Sebagai seorang anak Kyai pemimpin pondok, tentu setiap santri akan berlomba mencari perhatiannya dan melakukan apapun tanpa diminta oleh Ning Sarah bahkan aku akan melakukan apa yang diinginkan olehnya.

"Bahkan Kang Zuher sengaja datang padaku dengan kitab yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu, tapi aku tolak karena ingin kamu yang melakukannya." Jadi, begitu kejadiannya, Kang Zuber menyusun kitab yang sempat kuangggap hilang agar bisa mendapatkan pujian dari Ning Sarah.

"Aku tidak ngerti maksudmu, Ning." Jawabku jujur, entah apa maksud Ning Sarah mengatakan hal ini padaku. Aku tidak keberatan kalau saja Ning Sarah menerima Kitab dari Kang Zuber, maka tanggung jawabku selesai.

"Kamu keterlaluan....!" Seru Ning Sarah, dia meninggalkan ku begitu saja, wanita yang aneh, aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya.

************



Ning Ishma


"Kang, kenapa aku mengerjakannya sendiri?" Protesku ke Kang Zuber yang seenaknya menyerahkan tugas membersihkan dapur yang atapnya kotor dipenuhi sawang sisa pembakaran dari tungku.

"Zuber akan mengantarku ke kota, ada yang akan aku beli di sana." Jawab Gus Nur tiba berada di dapur, membuatku terdiam.

"Iya, maaf Gus." Terpaksa aku menerima tugas ini sendiri dengan perasaan berat, inilah hukuman harus kuterima. Entah ini azab atau berkah, karena hukuman ini aku bisa merasakan kehangatan bibir Ning Ishma.

"Jangan takut, kamu tidak akan mengerjakan semuanya sendiri. Ning Ishma sedang memanggil Zaenab untuk membantu." Membuatku menarik nafas lega, tugasku akan jauh lebih ringan dengan bantuan orang lain. Terlebih orang yang akan membantu tugasku dua gadis cantik, dan aku yakin bukan azab yang kuterima, tapi barokah yang aku dapat.

"Terima kasih, Gus." Aku tersenyum senang, pekerjaan akan lebih ringan apa bila dilakukan dengan dua orang gadis cantik.

"Assalammualaikum..!" Ning Ishma masuk diiringi Zaenab dan Latifah. Melihat Ning Ishma, hatiku berdebar aneh membayangkan kejadian semalam. Entah kejadian itu akan terulang, atau tidak.

"Wa 'alaikum Sallam..!" Kami menjawab berbarengan, aku menunduk pura pura sibuk mengikat sapu lidi pada sebilah bambu untuk membersihkan sawang yang ada di langit langit dapur.

"Alhamdulillah, kalian sudah datang. Kalau gitu aku pamit." Gus Nur mengucapkan salam dan meninggalkan kami di dapur yang luas.

"Nab, Fah, bawa ini ke dapur Bah Yai. Tadinya aku mau nyuruh Baharuddin untuk membawanya, tapi Gus Nur sudah memberikan tugas lain untuknya." Ning menunjuk dua buah baskom besar yaitu terletak di bale bale bambu yang ada di dapur.

"Enggeh, Ning." Latifah dan Zaenab mengambil tepung beras, kelapa dan gula aren yang sudah tertata rapi di dalam baskom besar, mereka segera berpamitan meninggalkan kami.

Aku menatap kepergian kedua gadis itu dengan perasaan dongkol, kedatangan mereka ternyata bukan untuk membantuku. Sekarang aku hanya berdua dengan Ning Ishma, apakah kejadian semalam akan kembali terulang? Membayangkannya membuat gairahku bangkit, tanpa dicegah benda yang berada di selangkanganku mengeras sempurna sehingga aku kelimpungan berusaha menyembunyikannya dari pandangan Ning Ishma. Percuma, sekeras apapun aku berusaha, sarung yang aku pakai tidak mampu menyembunyikan kontolku yang terbangun dari tidurnya.

"Kamu ngapain dengan Ning Sarah, di gardu?" Tanya Ning Ishma setelah Zaenab dan Latifah pergi, dia menatapku tajam dan nada suaranya begitu dingin. Aku bersyukur dia tidak melihat ke arah selangkanganku, sehingga dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Eh, itu cuma ngobrol biasa." Ternyata Ning Ishma kepo, sehingga menanyakan hal yang bukan urusannya.

"Kamu pacaran dengan, Ning Sarah? Awas, aturan di pondok tidak boleh pacaran, karena itu akan mendekatkanmu dengan zina." Kata Ning Ishma ketus, memojokkan ku dengan tuduhannya yang membabi buta.

"Aku nggak pacaran, Ning." Jawabku membela diri. Memang benar, aku tidak berpacaran dengan Ning Ishma.

"Alah, aku tahu Ning Ishma sudah lama menaruh perhatian ke kamu, sejak kalian nyantri di Pondok Pesantren Al Furqon di Cirebon." Ning Ishma terus menuduhku, dia menatapku tajam.

"Kata siapa, Ning?" Tanyaku heran, kenapa Ning Ishma menduga begitu?

"Waktu aku kuliah di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, aku diminta Abah Yai untuk ikut mengajar para santriwati di Pesantren tempatmu mondok. Ternyata benar kata Ning Sarah, kamu sombong sehingga tidak mengenalku." Pengakuan Ning Ishma membuatku sangat terkejut, ternyata dia pernah mengajar di Pondok Pesantren tempatku nyantri di Cirebon.

"Maaf Ning, aku tidak pernah memperhatikan para santriwati dan juga para Ustadzah di sana." Jawabku jujur, bukan berarti aku tidak tertarik dengan para santriwati cantik di sana. Semua ini karena daya ingatku yang kurang, sehingga aku jarang bisa membedakan wajah para santriwati yang seragam dengan jilbab mereka.

Tidak ada bantahan dari Ning Ishma, sepertinya dia menganggap semuanya sudah clear. Perdebatan singkat itu membuat gairahku hilang dalam sekejap, kontolku kembali pada ukuran semula, tertidur dengan pulasnya. Satu persoalan selesai, persoalan lain menunggu diselesaikan, aku memperbaiki posisi sarungku hingga pas dan tidak merosot saat aku beraktifitas.

Aku mengambil tangga bambu dari pekarangan belakang, untuk kugunakan membersihkan sawang di langit langit dapur dan sarang laba laba yang bebas tanpa pernah ada yang menyentuhnya. Sekarang jadi tugasku untuk membersihkannya hingga tidak ada lagi yang tersisa.

"Ning, biar saya kerjakan sendiri.!" Seruku mencegah Ning Ishma yang ikut membantu membersihkan sawang sawang di langit langit dapur, entah sejak kapan dia mengambil tangga aluminium yang ringan sehingga dia bisa membawanya tanpa meminta bantuanku.

"Nggak apa apa, aku sudah biasa kerja." Jawab Ning Ishma, dengan lincah dia menaiki tangga. Untuk beberapa saat aku terpaku melihatnya membersihkan sawang sawang di langit dapur dengan cekatan, menandakan dia sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Ning Ishma bukan tipikal wanita manja seperti Ning Sarah, dia sudah terbiasa melakukan semuanya seorang diri. jilbabnya yang berwarna krem ternoda oleh sawang yang berhamburan dan jatuh di jilbab dan bajunya. Membuatnya terlihat semakin menawan, sungguh beruntung Gus Nur bisa mempersuntingnya.





********

Akhirnya selesai juga membersihkan dapur, sekarang saatnya mengisi bak mandi yang sangat besar. Tidak ada waktu beristirahat untuk tubuhku yang mulai letih, semuanya harus aku kerjakan sebelum Gus Nur tiba bersama Kang Zuber. Aku tidak mau, Gus Nur menganggapmu lalai dalam melaksanakan tugas.

Di sumur, kejadian semalam berkelebat tanpa kusadari. Gairahku kembali bangkit tanpa dapat dicegah, kontolku kembali terbangun dari tidurnya. Astaghfirullah, Ya Allah, apa yang telah dilakukan Ning Ishma? Dia berhasil membuat hidupku kacau. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayang bayang itu. Konsentrasi, konsentrasi, aku harus mengisi bak mandi sebelum Gus Nur tiba dan melihat bak mandi belum terisi penuh.

"Kamu kenapa, Din?" Suara merdu Ning Ishma membuatku terkejut, reflek aku membalikkan tubuh ke belakang. Ning Ishma berdiri dengan senyumnya yang menawan, mataku terbelalak melihat apa yang dikenakan Ning Ishma. Dia mengenakan piyama mandi dan rambutnya tertutup handuk sehingga aku bisa melihat lehernya yang jenjang. Aku memejamkan mata, berharap sosok yang sedang berdiri di hadapanku segera sirna saat membuka mata, dan sosok itu tetap berdiri di hadapanku saat mataku terbuka.

"Kamu kenapa, Din? Aku bukan hantu, atau mungkin kamu menganggapku bidadari?" Goda Ning Ishma, memutar tubuhnya di hadapanku sehingga aku bisa mencium bau keringatnya yang menurutku harum.

"Eh iya, bidadari." Jawabku latah, dia memang seperti bidadari yang turun dari kahyangan untuk mandi, seperti kisah Joko Tarub. Bedanya, bidadari ini akan mandi di kamar mandi airnya kutimba dengan tetesan keringat.

"Kamu sebenarnya ganteng, cuma terlalu bodoh." Kata Ning Ishma mengejekku, seingatku yang pernah mengatakan aku ganteng hanya ke dua orang tuaku.

"Maaf..!" Aku menunduk malu, terlihat sarung yang kukenakan mengembung. Semoga Ning Ishma tidak melihatnya dan menganggapku kurang ajar.

"Dari kemarin, kamu terus minta maaf. Kenapa kamu menunduk seperti itu? Apakah aku terlalu tua untukmu sehingga kamu tidak tertarik padaku?" Pertanyaan Niang Ishma kembali membuat lututku gemetaran, dia terlalu cantik sehingga aku tidak berani menatapnya dan membuatku lupa diri. Jangan sampai aku memperkosa Ning Ishma, hanya karena aku tidak mampu menahan nafsu.

"Ti.....tidak..!" Suaraku tercekat, nafasku tersengal-sengal. Semoga Ning Ishma segera masuk kamar mandi, membebaskanku dari siksaan birahi.

"Berarti benar, aku tidak menarik. Pantas Gua Nur tidak pernah menjamah ku sejak kami menikah." Suara pilu Ning Ishma membuatku kaget, dia salah menafsirkan jawabanku.

"Bu bukan begitu maksudnya, anda sangat cantik dan setiap orang yang melihat anda pasti jatuh bertekuk lutut." Aku menarik nafas lega setelah berhasil mengatakan apa yang kulihat, Ning Ishma memang sangat cantik dan setiap pria yang mendapatkannya sangat beruntung. Semua kemuliaan ada padanya.

"Benarkah, itu?" Ning Ishma mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya yang begitu dekat. Refleks aku memejamkan mata, tidak berani menatap wajahnya yang penuh pesona. Terlalu lancang kalau aku berani menatap wajahnya yang mulia, wajah yang selalu terbasuh air wudhu.

"Kenapa kamu memejamkan matamu? Katamu, aku sangat cantik..!" Hembusan nafas Ning Ishma menerpa wajahku seperti semalam, meluluh lantakan kesadaranku. Jiwaku terbawa angin surga, berkelana dalam dunia yang indah dan asing.

"Jangan.!" Suaraku terhenti ketika bibirku tersumpal bibir Ning Ishma yang hangat, tubuhku mengejang kaku. Nafasku seperti terhenti oleh hembusan nafas Ning Ishma yang membelai wajahku, lidahnya yang basah menyeruak masuk ke dalam mulutku, bergerak liar menyentuh apapun yang bisa disentuhnya. Mataku tetap terpejam, mulutku tetap terbuka saat Ning Ishma menyudahi aksinya.

"Ikut, aku..!" Ning Ishma menarik tanganku yang belum sadar setelah kejadian tadi sehingga hampir saja terjatuh karena sarung yang kukenakan terlepas dan menjerat kakiku. Refleks aku memegang sarung dan menaikkan hingga dada, Ning Ishma tidak memberiku kesempatan membetulkan sarung yang kupakai. Dia terus menarik tanganku, terpaksa aku berlari kecil mengikutinya.

"Aduhhh..!" Aku berteriak kesakitan saat menabrak kusen pintu yang berdiri angkuh.

"Aduh, maaf Din..!" Ning Ishma tertawa geli melihatku kesakitan memegang kening.

Sepertinya Ning Ishma tidak peduli dengan penderitaan ku, dia kembali menarik tanganku setelah menutupi tubuh dengan tergesa-gesa. Ning Ishma mendorongku jatuh terduduk di atas bale bale bambu. Aku menatapn wajahnya yang cantik berubah menjadi liar seperti akan menerkamku.

"Ning...!" Aku berseru ngeri, melihat sorot matanya dan nafasnya yang tersengal segal. Dia menampakkan sisi liar jiwanya, jiwa yang selama ini berusaha dibelenggu dengan segala aturan kaidah agama. Sekarang jiwa itu bangkit, menampakkan jati dirinya yang asli.

"Diam, aku butuh kamu...!" Ning Ishma berkata lirih, dia mendorongku rebah di atas bale bale bambu yang langsung menjerit menerima hempasan tubuhku.

"Ning, sadarlah..!" Jiwaku yang lemah dan mulai hanyut oleh gelombang birahi, berusaha mengingatkannya. Apa yang dia lakukan tidak benar, bermain main dengan syahwat.

"Jangan berpura-pura, aku tahu kamipun menginginkannya." Gumam Ning Ishma berjongkok di hadapanku, dan sebelum aku sadar apa yang diinginkannya. Ning Ishma menarik sarungku dengan kasar, lalu mencampakkannya ke lantai. Sarung yang kupakai sudah tidak dibutuhkannya, karena sarung itu akan menghalanginya dengan benda yang mengacung tegak tersembunyi sarung.

"Ning, istighfar...!" Peringatanku terlambat, Ning Ishma berhasil menarik celana dalamku dan membebaskan kontolku dari kurungannya. Kontolku menggeliat menikmati kebebasannya, mengacung tegak ke wajah Ning Ishma.

"Ichhh.... Gede...!" Seru Ning Ishma, dia langsung menggenggam kontolku dengan takjub, tangannya yang halus terasa hangat dan rasa hangat itu menjalar ke setiap pembuluh darahku, memacu jantungku berdetak semakin cepat.

"Tidak boleh, Ning...!" Seruku berusaha menyadarkan Ning Ishma, jangan sampai dia terjerumus dalam lembah nista karena memperkosaku. Di mana harga diriku kalau dia berhasil memperkosaku, aku yang seharusnya memperkosanya. Tapi tenagaku seperti lenyap, jangankan untuk memperkosanya, untuk bangkit dari atas bale-bale pun aku tidak mampu.

"Aku suka ini, suka lepas dengan semua aturan yang sudah membelenggu sejak kecil." Tidak peduli dengan rengekanku, Ning Ishma semakin menunjukkan dominasinya dengan menjilati kontolku. Tak ada rasa jijik, dia begitu menikmati ketidak berdayakaan ku. Aku mengerang, menikmati sensasi lidah Ning Ishma yang menjilati batang kontolku, sekujur tubuhku merespon sensasi nikmat yang aneh. Hilanglah dosa, menjauh dari sanubari dan pikiranku.

"Sudah Ning, jijik...!" Aku berusaha mengingatkan Ning Ishma yang kesetanan menjilati batang kontolku, dia tidak peduli dengan penolakan ku. Dia semakin rakus menikmati setiap bagian batang kontolku.

"Kontolmu enak, sayang.... Slruppl.... Sruppl...." Ning Ishma semakin bernafsu bahkan dia mulai melumat batang kontolku, seakan kontolku permen lollipop yang nikmat. Kontolku terasa hangat di dalam mulutnya yang basah, air liurnya membanjiri barang kontolku.

"Ning...!" Aku menyerah, tidak ada gunanya terus menerus menolak kenikmatan yang sedang kurasakan. Bukankah sebagai seorang santri, kepatuhan adalah sarat mutlak untuk bisa semakin cepat menyerap ilmu dari sang guru.

"Enakan, sayang?" Goda Ning Ishma memandang wajahku, wajah lembutnya berubah menjadi binal. Untuk pertama kali, aku berani terang terangan menatap wajahnya dan tanpa dapat dicegah, hatiku berdesir indah.

"Ennnak, Ning...!" Aku tersipu malu, mengakui apa yang dilakukan Ning Ishma benar benar sangat nikmat. Dia telah memberikan kenikmatan tahu yang tidak seharusnya kami nikmati.

"Kalau diginiin..?" Goda Ning Ishma semakin melebarkan pahaku, tangannya mengocok kontolku sementara lidahnya menjilati kantong pelerku dekat dengan lobang anus ku. Ya ampun, aku berusaha mendorong kepala Ning Ishma menjauh dari anusku, wajahnya terlalu mulia berada tepat di lobang anus.

"Nikmati saja Din, seperti aku juga menikmatinya." Suara Ning Ishma lirih merasuk ke dalam kalbuku, dia yang menginginkannya dan tidak ada alasan untukku mencegahnya.



Ini nikmat, sulit aku mengatakannya seperti apa. Sensasinya membuat tubuhku menggelinjang seperti cacing kepanasan, apa lagi yang sedang melakukannya wanita cantik dari trah darah biru para ulama. Ini surga yang tidak pernah aku bayangkan, surga yang hanya ada dalam cerita dan sekarang aku seperti memasuki dunia cerita yang begitu indah dan memabukkan.

"Ning, berhenti.....!" Aku mengeram, merintih seperti orang kesurupan. Aku bertahan sekuat tenaga saat merasakan gelombang aneh yang akan meledakkan jiwaku.

"Diam, jangan gerak gerak terus. Biarkan aku menikmati kebebasanku, biarkan sisi kelam diriku menikmati setiap bagian kontol dan pelermu." Ning Ishma kembali menjilati leherku, tangannya semakin cepat mengocok kontolku. Dia menemukan mainan yang membuatnya bahagia, apakah aku harus merampas kebahagian yang sedang dirasakannya saat ini? Tidak, aku tidak mau membuatnya kecewa.

"Ohhhhhh, Ibuuuu, bapakkk....!" Tanpa sadar aku memanggil nama ibu dan bapakku, yang berharap aku menjadi seorang Kyai sebagai tabungan dunia dan akhirat mereka. Sekarang aku malah terjerumus gelombang syahwat, Ning Ishma menjadikanku sebagai korban birahinya yang tidak pernah didapatkan dari suaminya Gus Nur.

"Aku pegel, pejuhmu belum keluar juga..!" Seru Ning Ishma memandangku, tangannya terus mengocok kontolku.

"A...apa...?" Tanyaku menggeliat, rasa nikmat semakin menggila.

"Kamu sudah pernah, ngentot ya?" Tanya Ning Ishma membuatku terkejut dengan tuduhannya, kenapa dia menuduhku seperti i?

"Belum pernah, Ning." Jawabku jujur, pertanyaannya membuat orgasmeku kembali tertunda.

"Bohong, buktinya kamu belum ngecrot juga !" Seru Ning Ishma, aku merasa aneh dengan tatapan matanya yang tiba tiba berubah, seperti marah.

"Demi Allah, aku belum pernah melakukannya." Ya ampun, kenapa aku bersumpah di tempat yang salah? Dosaku kembali bertambah dalam sekejap.

"Hahaha, maaf sayang, aku cemburu." Jawab Ning Ishma, nyaris membuatku tidak percaya dengan pendengaranku.

Ning kembali menghisap kontolku, kepalanya bergerak naik turun memompa kontolku. Kenikmatan yang kurasakan pun semakin menggila, menyingkirkan kesadaranku, hingga akhirnya aku merasakan sekujur tubuhku kaku dan sebuah ledakkan dahsyat membuatku terlempar ke dunia kenikmatan yang baru pertama aku rasakan.

"Ning, akkkkkkkkkkkku,...!" Aku tidak tahu apa yang kurasakan, ada yang keluar dari kontolku tanpa bisa dicegah.

"Maaf, Ning..!" Kataku setelah kesadaranku pulih, aku baru sadar sudah mengencingi mulut Ning Ishma. Aneh, sepertinya Ning Ishma tidak keberatan aku mengencingi mulutnya, dia malah menghisap kontolku dengan bertenaga.

"Sudah Ning, ngilu..!" Aku berusaha mencegah Ning Ishma untuk menyidahi aksinya yang luar.

"Kenapa? Pejuhmu ennak..!" Kata Ning Ishma membuka mulutnya sehingga aku bisa melihat cairan kental berwarna putih yang kutahu adalah spermaku. Lalu Ning Ishma menelannya hingga tidak ada yang tersisa, dia menganggap cairan spermaku adalah suplemen penambah stamina.

"Waduh, sebentar lagi Maghrib. Cepat, nanti kamu telat ke masjid.!" Seru Ning menyadarkanku, dia mengambil sarung yang tergeletak di lantai dan memberikannya kepadaku beserta celana dalamku. Dengan tergesa besar aku memakainya.

"Ingat, urusan kita belum selesai..!" Bisik Ning Ishma lembut, diakhiri ciuman di pipiku saat aku akan meninggalkannya.

"Maksudnya?" Tanyaku tidak mengerti.

"Dasar bodoh, nanti aku ceritakan semuanya padamu." Jawab Ning Ishma, dia mendorongku keluar lewat pintu dapur. Entahlah, apa yang akan terjadi setelah kejadian ini.

Bersambung
Waduuh kentang jadinya hu:tegang::konak:
 
Chapter 6



"Kang, dari tadi aku lihat kamu ngelamun?" Tanya Kang Zuber heran, sejak tadi dia hanya bicara sendiri tanpa kuhiraukan. Fikiranku tertuju pada kejadian sore tadi, harus kuakui itu sangatlah nikmat, melebihi dari yang kubayangkan selama ini. Wajah cantik Ning Ishma, terlihat begitu menikmati apa yang dilakukannya padaku.

"Lagi ingat, desa." Jawabku bohong, dan tidak mungkin aku mengatakan kejadian yang sebenarnya pada Kang Zuber.

Walau aku tidak bisa mengingkari perasaan bersalah karena melakukan sebuah dosa besar, bahkan aku melakukannya dengan seorang wanita terhormat yang dianggap mempunyai karomah karena dia seorang wanita keturunan Kyai, darah biru di kalangan ulama. Walau itu semua bukanlah kesalahanku, aku hanyalah korban.

Pengalaman sebelum Maghrib membuatku shock, rasa bersalah terus menerus menggayuti hatiku. Ya Allah, semuanya terjadi tanpa dapat dicegah, Ning Ishma berubah menjadi singa lapar yang memperkosaku, merobek robek kesucian ku. Ini dosa besar apa lagi aku melakukannya dengan perempuan bersuami, hukumannya adalah rajam.

"Kang, ngintip santriwati yuk.!" Ajak Kang Zuber, membuyarkan lamunanku.

"Sampeyan nggak kapok, Kang?" Tanyaku heran, setelah hukuman yang kami terima. Setiap malam kami harus meronda dan siangnya membersihkan rumah Gus Nur sehingga waktu tidur kami jauh berkurang. Hukuman yang justru membuatku terjerumus dalam lembah nista.

"Itu salahmu, kenapa hp tidak kamu silent?" Kang Zuher menyalahkan kebodohanku, aku tidak bisa memungkirinya dan memang semuanya salahku.

"Iya maaf !" Ah kalau saja aku tidak menguping Gus Nur, aku tidak akan mengalami kejadian sore tadi menjelang Maghrib, saat ini aku masih perjaka ting-ting.

"Sekarang jam satu Kang, nggak ada yang ke kamar mandi." Jawabku ketus, sepertinya Kang Zuber sangat senang dengan berbagai petualangan mesum. Ah, apa bedanya dengan aku? Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan kenakalanku mengintip para santriwati mandi.

"Nanti jam 3 akan banyak santriwati ke kamar mandi, waktu yang tepat untuk mengintip. Apa lagi kalau yang ke kamar mandi Latifah atau Zaenab." Gumam Kang Zuber, membayangkan ke dua gadis yang dianggap bunga pesantren diantara 100 orang santriwati lainnya. Harus kuakui, ke dua gadis itu cantik.

"Kang Zuher sering ngintip mereka?" Tanyaku teringat dengan celoteh Latifah tentang bulu jembut lebat Zaenab, aku jadi penasaran ingin mengintipnya

"Hehehe, kalau ada kesempatan." Kang Zuher tertawa mengakui perbuatannya, aku ikut tertawa. Ternyata di tempat ini aku punya teman yang sama gilanya

"Memangnya kamu nggak pernah ngintip, selama mondok di Cirebon?" Tanya Kang Zuber telak, membuatku malu sendiri. Apa bedanya aku dengan Kang Zuber dalam dunia intip mengintip.

" Hahahaha, aku nggak pernah ketahuan. Baru di sini aku ketahuan, mungkin kita kualat karena berani ngintip Gus Nur." Jawabku mengakui kegilaanku selama mondok di Cirebon.

"Mungkin, eh dulu kamu satu pesantren dengan Ning Sarah ya?" Kang Zuher mengalihkan topik percakapan kami, membuat hatiku berdesir aneh. Nama itu selalu membuatku bahagia dan juga menderita.

"Iya, tapi aku kurang memperhatikan Ning Sarah. Kata teman temanku Ning Sarah anak K.H Ahmad Nafi', jadi aku nggak berani terang-terangan melihatnya, paling dari jauh. Eh nggak tahunya yang dimaksud K.H Ahmad Nafi'adalah Abah Yai, kaget aku." Jawabku mengenang kejadian di Cirebon, mengagumi kecantikan Ning Sarah dari kejauhan.

Hingga suatu hari aku memberanikan diri mengiriminya surat cinta dalam bahasa Arab, sebenarnya belum bisa dikatakan surat cinta karena aku meng-copy dari sebuah majalah pesantren. Laukaanal hubbu kalimat tuktabu lantahat aqlamie… walakinal hubbu riehun tahub.( Kalaulah cinta itu kata yang harus ditulis, niscaya penaku sudah habis. Tapi untunglah cinta itu adalah udara yang terus berhembus. ) Itulah kalimat yang aku tulis dan kutitipkan kepada salah satu santriwati yang kulihat sering bersamanya, namun surat itu tidak pernah berbalas. Aku kembali mengiriminya surat, dan kembali mengiriminya surat hingga aku bosan sendiri karena tidak ada satupun Suratku yang mendapat balasan. Gadis itu terlalu sombong, aku berjanji menghilangkan bayang bayangnya dalam hidupku. Pikiran ku mulai membentuk sosok Ning Sarah sebagai gadis sombong dan angkuh.

"Kamu naksir, Ning Sarah?" Tanya Kang Zuber, dia menatapku tajam seakan bisa membaca pikiranku.

"Aku nggak pantas untuknya, dia anak Abah Yai Nafi'. Apalah aku.?" Jawabku pelan, rasa marah dan jengkel atas semua keangkuhan Ning Sarah terasa menusuk hatiku mungkin ini lebih baik dari pada aku terus menerus mengharapkan cintanya yang tidak akan pernah kumiliki.

Seperti yang selalu dikatakan K.H Muntaha : "Tubuh yang kita gunakan untuk beribadah dan berjuang pasti akan rusak, begitu pula saat tubuh kita tidak digunakan untuk berjuang dan beribadah juga akan rusak. Sama-sama rusak, tapi lebih baik'kita gunakan untuk beribadah dan berjuang sehingga hidup kita tidak dia sia." Ya, aku akan berjuang untuk beribadah dari pada aku harus berjuang untuk cinta yang tidak akan kumiliki, aku tidak mau menyia-nyiakan hidupku.

"Hahaha, kenapa kamu takut untuk berjuang mendapatkan cinta Ning Sarah? Kamu tidak serendah seperti yang kamu bayangkan, selulus ya kamu menuntut ilmu agama kamu akan menjadi seorang ulama. Kalau nasibmu bagus suatu saat kamu akan mempunyai pondok pesantren dan orang akan memanggilmu Pak Yai." Kata Kang Zuber, matanya menerawang jauh.

"Amin Yaa rabbal'alamiin." Memang itu tujuan ke dua orang tuaku memasukkannya di Pesantren, tapi niat luhur itu sudah ternoda oleh perbuatan bejadku. Ilmu yang aku pelajari menjadi sia-sia. Ya Allah, maafkan semua dosa-dosa ku ini.

"Kalau aku, entah akan jadi apa setelah keluar dari Pesantren." Gumam Kang Zuber, tangannya merapikan peci yang dikenakannya.

"Jadi Kyai, minimal jadi Ustadz atau da'i." Jawabku pasti, menurut pengakuan Kang Zuber dia sudah di pesantren ini selama lima tahun. Kang Zuber adalah santri dalam yang mengabdikan hidupnya untuk melayani para kyai, mengerjakan semua pekerjaan rumah Abah Yai dan para Kyai lainnya. Sehingga dia bisa mondok di sini tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun, semua kebutuhannya ditanggung oleh para Yai yang dilayaninya.

"Orang tuaku miskin, nggak mungkin aku bikin pesantren." Jawab Kang Zuber.

"Akang bisa ikut ngajar di Pesantren tanpa mendirikan pesantren." Jawabku diplomatis.

"Iya, semoga aku berjodoh dengan, Ning..!" Gumam Kang Zuber, entah Ning siapa yang dimaksud olehnya. Jangan jangan dia juga naksir Ning Sarah?

"Hei lihat, sudah ada santriwati yang ke kamar mandi..!" Seru Kang Zuber menunjuk ke arah kamar mandi santriwati.

"Zuber...!" Sebuah suara lembut membuat kami terkejut menoleh ke arah sumber suara, Gus Nur berdiri tidak jauh dari kami. Tamatlah riwayat kami sekarang, hukuman apa lagi yang akan kami terima.

"I i iya, Gus..!" Kang Zuber menunduk gelisah.

"Jagalah hatimu, jagalah pandanganmu yang akan mendekatkanmu kepada zina." Suara Gus Nur begitu sabar memberi nasihat, entah terbuat dari apa hatinya

"Enggeh, Gus Yai..!"

"Dan ingatlah, setiap kita akan menuai hasil dari perbuatan kita. Tak ada yang luput dari pandangan Allah, Sang Maha Melihat. Bertaubat, bertaubatlah sebelum waktu kita di dunia ini habis." Aku menunduk gelisah, Gus Nur seperti menelanjangi perbuatan ku dengan Ning Ishma. Firasatnya begiytajam, ucapannya mampu menikam kesadaranku. Aku harus bertaubat, sebelum semuanya terlambat.

"Zuber, ikutlah ke masjid denganku. Aku ingin tau hafalan kitabmu sebelum kau pergi meninggalkan pesantren." Aku terkejut mendengar penuturan Gus Nur, apakah Kang Zuber akan diusir dari Pesantren karena perbuatannya sudah tidak termaafkan?

"Enggeh, Gus..!" Kang Zuber mengangguk, matanya menatapku seperti meminta pertolongan.

Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan kasar, maafkan aku tidak bisa menolongmu. Posisiku sama berbahayanya denganmu. Aku memandang Kang Zuher yang berjalan mengekor Gus Nur, langkahnya gontai tidak bertenaga. Masa depannya penuh tanda tanya, keluar dari pesantren dan kembali ke masyarakat umum untuk mengamalkan ajaran yang diterimanya bukanlah perkara mudah. Apa lagi kalau dihadapkan pada masalah mencari nafkah, entah apa yang akan dilakukan Kang Zuber yang buta dalam masalah itu.

Pletak, sebuah batu kecil tepat menghantam bale-bale gardu membuatku terkejut. Aku menoleh mencari siapa yang sudah menggodaku dengan tumpukan kerikil, sepertinya dari arah belakang gardu. Dan aku terpaku begitu tahu siapa yang sudah menggodaku, Ning Ishma berdiri di samping rumahnya melambaikan tangan ke arahku. Ya Allah, cobaan apa lagi yang harus kuterima, Ning Ishma berubah menjadi sosok yang menakutkan buatku.

Kembali Ning melemparkan batu kerikil ke arahku, tindakannya akan membuat heboh para santriwati apa bila mereka melihatnya. Terpaksa aku menghampirinya sebelum yang lain tahu. Tidak cukupkah dia melakukannya padaku, merenggut mahkota kesucian ku. Apakah dia akan mengulangi tindakannya selagi kesempatan itu ada? Entahlah, aku terjebak dalam kenikmatan syahwat yang sempat kudapatkan dan dosa serta laknat yang akan kudapatkan.

"Ikut, aku..!" Ning Ishma menarik tanganku sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, dia menariknya masuk pintu dapur. Aku terpaku menatap bale-bale yang menjadi saksi kenikmatan yang diperoleh dan juga nista yang kami lakukan.

"Ning, jangan Ning..!" Aku berusaha mengingatkan, walau aku sendiri mulai terbakar birahi. Kenikmatan yang ditawarkannya, sulit aku abaikan. Antara dosa dan kenikmatan adalah dua sisi mata uang yang menjadi satu.

"Jangan munafik, kamu menikmati seponganku tadi? Sekarang gantian kamu harus bisa memuaskan memekku, sebagai imbalan kenikmatan yang aku berikan." Ning Ishma menjawab ketus, dia menariknya ke ruang tengah.

"Ning, mau ke mana kita?* Aku terkejut, tubuhku gemetar memasuki ruang tengah. Ini rumah yang dinaungi cahaya mulya, ini rumah penuh barokah yang selalu diisi oleh amalan ibadah, bagaimana mungkin aku harus mengotorinya dengan perbuatan terkutuk dan nista.

"Ke kamarku..!" Ning Ishma menarik tanganku sekuat tenaga, tidak peduli dengan penolakan ku. Tenaganya begiykuat, menyeret ku masuk kamarnya yang berbau harum surgawi.

"Ning, saya bisa kualat..!" Seruku ngeri, entah malapetaka apa yang akan menimpaku karena berani mengotori kamar Gus Nur dan Ning Ishma dengan perbuatan nista. Semua ilmu akan kehilangan faedahnya.

Ning Ishma sama sekali tidak peduli dengan penolakan dan rasa takutku, dia memelukku dan mengulum bibirku dengan bernafsu, memusnahkan semua rasa takutku berganti dengan birahiku. Dengan perasaan canggung, aku membalas ciumannya, bibirnya begitu hangat dan lembut.

"Gitu donk sayang, kalau dicium harus membalasnya." Ning Ishma tersenyum menatapku dan untuk pertama kali aku berani membalas tatapannya, matanya yang jernih begitu indah dan mempesona. Kulit wajahnya begitu halus membuatku tergoda untuk menyentuhnya dengan tangan gemetar.

"Hihihi, malam ini aku milikmu dan kamu milikku." Bisik Ning Ishma, hembusan nafasnya menggelitik telingaku.

"Kamu mau aku buka jilbabku, biar kamu bebas membelai rambutku.." Ning Ishma menjauh dariku, Merlung matanya menggoda kesadaranku.

Perlahan Ning Ishma membuka jilbab lebar yang selalu dipakainya, membebaskan rambutnya yang hitam bergelombang menyentuh punggungnya. Ya Tuhan, dia seperti bidadari surga yang diimpikan setiap pria di muka bumi, kecantikannya begitu alami tanpa pulasan.

"Kamu mau lihat, tubuhku tanpa penutup?" Goda Ning Ishma melihatku terpesona mengagumi kecantikannya, bahkan mataku tak mampu berkedip. Sebuah kedipan kecil akan membuat bidadari itu hilang dari hadapanku.

"Kenapa, diam?" Suara Ning Ishma menyadarkanku, perlahan aku mengangguk.

Tawa kecil Ning Ishma mengiringi gerakannya yang gemulai mengangkat ujung baju yang dipakainya membuat nafasku terhenti, mataku mengikuti gerakan tangannya. Ya Allah, kulit perutnya begitu mulus, semakin sempurna dengan perutnya yang rata tanpa lemak. Gerakan lambat Ning Ishma memanjakan mataku dengan keindahan yang ada padanya.

Tatapanku beralih ke segetiga mungil yang melindungi memeknya dari pandangan liarku, seindah apa yang tersembunyi di baliknya aku ingin secepatnya melihat, konon di situlah lubang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan surga dunia, sehingga Nabi Adam terlempar dari surga karena benda itu.

"Ning..!" Aku mendesah lirih saat pakaiannya sampai di lehernya sehingga aku bisa melihat gundukan payudara yang berukuran sedang terbelenggu oleh BH yang dipakainya, inilah pertama kali aku melihat tubuh seorang wanita yang secara suka rela menelanjangi dirinya di hadapanku.

Lututku lunglai melihat pemandangan yang ada di depanku, tubuhku terhuyung mencari pegangan agar tidak terjatuh, kalau hal itu terjadi sungguh memalukan. Tanganku berhasil meraih sisi ranjang besi yang dingin, pada saat yang sama lututku tidak mampu menahan beban tubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai dingin mentertawakan kecanggunganku.

"Kamu kenapa sayang? Hihihi....!" Goda Ning Ishma, dia memegang ketiakku berusaha membantuku berdiri. Dengan susah payah aku berhasil berdiri dan menjatuhkan pantatku di sisi ranjang, sungguh memalukan.

"Ning...!" Mataku terbelalak melihat Ning setengah membungkuk sehingga payudaranya yang membusung indah tepat berada di hadapanku dengan jarak hanya beberapa centimeter sehingga aku bisa mencium aromanya yang harum dan memabukkan, begitu dekat sehingga aku bisa urat urat berwarna biru membayang samar.

Sejak kapan Ning Ishma melepaskan BH yang dipakainya, sehingga aku bisa melihat putingnya yang mungil berwarna kecoklatan? Nikmat apa lagi yang harus aku ingkari ? Dosa dan syahwat berjalan beriringan mencampakkan norma dan aturan yang ada, dan aku terperangkap di dalamnya.

"Kenapa, sayang..?" Goda Ning Ishma, payudaranya menyentuh wajahku, kehangatannya semakin membakar birahiku.

"Bo, boleh aku pegang?" Aku memajukan wajahku menempel pada payudara yang begitu menggoda.

"Pegang apa, sayang..?" Suara Ning Ishma terdengar mendesah.

"Sus..,.sus.. nya..!" Jawabku gagap.

"Tentu sayang, kamu boleh pegang susuku karena sekarang aku milikmu.." Ning meraih kedua tanganku dan meletakkannya pada sepasang payudaranya yang hangat, kenyal dan halus. Ya Tuhan, terimakasih aku sudah mendapatkan kesempatan memegang sepasang payudara indah impian para pria. Tanganku terus memegangnya, meresapi hangat yang terpancar dan mengalir ke pembuluh darah di tanganku.

"Jangan cuma dipegang, remas pelan, pelintir putingnya dan hisap seperti bayi yang sedang menyusu, maka kamu akan tahu betapa nikmatnya bermain-main dengan payudara wanita." Bisik Ning Ishma lirih, matanya terpejam dan sebuah senyum tipis membayang di bibir.

"Akkku..!" Perlahan aku meremas payudara Ning Ishma, berusaha mengikuti semua instruksinya dan benar ada keasikan tersendiri.

"Awwww....!" Jeritan kecil Ning Ishma membuatku terkejut, sepertinya remasanku terlalu keras dan membuat Ning Ishma kesakitan.

"Ma maaf, Ning..!" Aku menatapnya iba.

"Hihihi, aku nggak apa apa sayang.." Ning Ishma kembali melumat bibirku dan aku mulai bisa mengimbangi ciumannya dengan kaku, sementara tanganku kembali meremas payudaranya dengan lebih lembut. Ciuman kami berlangsung lebih lama dari tadi, membuat kami nyaris kehabisan nafas.

"Kamu curang, masa cuma aku yang telanjang..!" Ning Ishma mendorongku hingga terlentang, aku baru menyadari tubuh Ning Ishma polos tanpa sehelai benangpun. Mataku terbelalak melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang jarang, membuatnya terlihat semakin indah.

"Iyyyya...!" Seruku terpana dan tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Kok malah ngelihatin terus, bukannya buka baju? Kamu mau aku yang bukain baju kamu?" Tanya Ning Ishma, berkacak pinggang.

"Iyaaaaa..!" Aku sudah tidak mampu berpikir lagi, persetan dengan dosa dan nista yang akan mengotori jiwaku, merusak hatiku yang susah payah kujaga. Aku membuka kaos dan sarung dan juga celana dalam yang kukenakan. Melemparnya ke sembarang tempat, tanpa aku melihatnya.

"Murid yang berbakti..!" Seru Ning Ishma tertawa melihat kecanggunganku yang berusaha menyembunyikan kontolku yang berdiri mengacung dengan telapak tangan.

"Kenapa diumpetin, sayang? Kan aku sudah lihat, bahkan sudah ngisep kontol kamu." Goda Ning Ishma, dia kembali melumat bibirku, lebih bernafsu dari pada tadi dan akupun sudah semakin tahu apa yang harus kulakukan.



"Ning, ennakk..!" Gumamku menikmati kocokan tangan Ning Ishma pada kontolku yang sudah tegang sempurna.

"Kamu akan merasakan yang lebih enak lagi, percayalah padaku." Ning Ishma mendorongku rebah ke ranjang berkasur empuk ranjang yang ditempati berdua dengan Gus Nur, anehnya rasa bersalah yang sempat menghinggapi ku hilang dengan ke mana.

Kembali Ning menjilati kontolku dengan bernafsu, membuatku mengerang nikmat. Bahkan rasanya lebih nikmat dibandingkan tadi, mungkin karena aku bisa lebih rileks menikmati sensasi yang kudapatkan. Yang aku heran, kenapa Ning Ishma tidak merasa jijik menjilati dan bahkan menghisap kontolku. Terbayang olehku saat Ning Ishma menelan seluruh pejuhku, gairahku semakin memuncak ingin kembali menikmati sensasi saat pejuhku muncrat di mulut Ning Ishma. Tapi harapanku sirna, Ning menyudahi aksinya menjilati dan menghisap kontolku.

"Gantian, sekarang kamu yang harus jilatin memekku." Ning Ishma merangkak di atas tubuhku dan berjongkok tepat di atas wajahku sehingga aku bisa melihat dengan jelas memeknya merekah.

"Jilatin, sayang..!" Seru Ning Ishma, untuk beberapa detik aku ragu melakukannya. Ning Ishma semakin menurunkan pinggulnya sehingga memeknya menyentuh mulutku, tercium bau memek yang has. Awalnya aku merasa jijik, hingga terbayang olehku saat Ning Ishma menjilati kontolku. Rasa jijik hilang dalam sekejap, berganti dengan gairah untuk mencoba menjilati memek Ning Ishma.

"Ahhhhh, iya begitu sayang...!" Jeritan kecil Ning Ishma saat lidahku menyentuh kelentitnya, padahal aku melakukannya tidak sengaja. Rasanya aneh saat lidahku mengenai memeknya yang berlendir, rasa asin dan gurih yang belum pernah aku temukan. Tidak ada ada yang istimewa dengan rasa cairan memek Ning Ishma, yang luar biasa adalah sensasi yang kudapatkan karena menjilati memek istri dari Kyaiku Gus Nur dan juga anak dari Kyai besar yang namanya terkenal.

"Ohhhhhh, ahhhhh ennnnakkk...!" Ning Ishma menjambak rambutku sehingga wajahku semakin terbenam di selangkangannya. Aku yang menemukan mainan baru semakin bernafsu menjilati memek Ning Ishma, mulut dan pipiku basah oleh cairan memek Ning Ishma.

"Ampunnnnn, Akku ngecrottttt...!" Ning Ishma berteriak histeris, kurasakan tubuhnya mengejang menduduki wajahku sehingga aku tidak bisa bernafas tanganku berusaha menahan pinggulnya agar bisa sedikit menghirup udara yang mulai menipis di rongga paru-paruku.

"Kamu hebat sayang, belum pernah aku merasakan oral senikmat ini." Ning Ishma mengangkat pinggulnya, bergerak ke arah perutku sehingga bisa membuatku menarik nafas lega.

"Memek Ning Ishma, enak.." aku menjilati sisa-sisa lendir Ning Ishma menempel di bibirku, terlalu sayang kalau terbuang sia-sia.

"Kamu akan merasakan yang lebih nikmat dari memekku ini, sayang.." goda Ning Ishma menatapku sayu, diraihnya kontolku yang tegak bagai tugu Monas, digesek gesekkan pada memeknya yang sangat basah. Perlahan Ning Ishma menurunkan pinggulnya, otomatis memeknya menelan kontolku dalam jepitan memeknya yang hangat dan licin.


aisi meaning

"Ning...!" Aku menatap takjub melihat kontolku bergerak perlahan masuk ke dalam lobang memek Ning Ishma, tidak pernah kubayangkan perjakaku hilang diambil memek anak seorang kyai besar dan juga istri dari guruku.

"Kontol kamu gede banget, sampe mentok..!" Gumam Ning Ishma, matanya terpejam menikmati inci demi inci kontolku membelah memeknya yang sempit, begitu terasa jepitannya, begitu nikmat sehingga aku tidak bisa berkata kata.

"Ning...!" Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan, aku larut dalam gejolak birahi nista di kamar guruku, mereguk nikmatnya zina yang memabukkan.

"Kenapa, sayang? Kontol kamu sangat keras dan panjang, belum pernah aku merasakan yang seperti ini." Ning Ishma mulai menggerakkan pinggulnya setelah beberapa saat beradaptasi dengan kontolku, bibirnya terbuka dan terdengar rintihan pelan yang membuat bulu kudukku merinding.

"Kamu sudah sering, berzina?" Tanyaku takjub, Ning Ishma ternyata mempunyai sisi liar yang tersembunyi di balik wajahnya yang lembut dan tenang.

"Kamu yang kedua, sayang..!" Ning Ishma terus menggerakkan pinggulnya perlahan, menikmati gerakkan kontolku memompa memeknya yang sempit. Matanya menatap ku sayu, senyumnya terlihat bahagia.

"Yang pertama, Gus Nur?" Tanyaku penasaran, kenapa Ning Ishma sengaja memilihku, bukankah ada banyak pria lain yang lebih tampan dariku.

"Bukan, Gus Nur tidak pernah ngentotin memekku, dia impoten. Sudah jangan ungkit hal itu, kita nikmati saja malam ini." Jawab Ning Ishma, dia memelukku dan bibirnya kembali melumat bibirku, sementara pinggulnya terus bergerak memompa kontolku dengan irama yang semakin cepat sehingga aku bisa mendengar suara keciplak dari memeknya saat kontolku menyodok.

"Memekkkk, ennnnakkk...!" Seruku takjub, kontolku semakin leluasa keluar masuk memek Ning Ishma, semakin lama semakin cepat.

"Kontol kamu nikmat, memekku semakin lebar dientot kontolmu sayang.." Ning Ishma semakin liar memompa kontolku, wajahnya begitu bahagia seakan dia terlepas dari beban hidup.

"Akkku nggak tahannnn, akkku mauuuu kellluarrrr...." Ning Ishma menjerit kecil, matanya yang indah mendelik menyambut orgasme dahsyat. Tubuhnya beberapa kali mengejang bersamaan dengan kedutan kedutan kecil pada memeknya meremas kontolku.

"Kamu hebat, sayang. Belum pernah aku mengalami orgasme sehebat ini." Ning Ishma menatapku, tatapannya terasa aneh namun kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajahnya yang terlihat semakin cantik.

"Ning, kok udahan?" Tanyaku kecewa ketika Ning Ishma bangkit dan kontolku terlepas dari jepitan memeknya yang nikmat, Ning Ishma merebahkan tubuhnya di sisiku

"Kamu di atas, aku capek." Jawab Ning Ishma membuatku kikuk, ini pengalaman pertama ku dan aku belum tahu harus melakukan apa.

"Kok malah diam, say? " Tanya Ning Ishma melihatku duduk memandangnya tanpa melakukan apa apa, aku terlalu hijau dan belum pernah lihat bokep sehingga tidak tahu apa yang harus aku lakukan, lagi pula aku tidak berani kurang ajar, biar bagaimanapun Ning Ishma adalah guruku dan juga istri dari guruku.

"Say saya harus bagaimana, Ning?" Tanyaku lugu, sementara kontolku ingin secepatnya masuk ke dalam lobang sempit menyimpan berjuta kenikmatan tiada tara.

"Aduh, anak bahlul. Ngentot nggak perlu belajar, ini naluri setiap mahluk hidup. Ayo sini sayang, merangkak di atasnya seperti yang aku lakukan." Ning Ishma semakin melebarkan pahanya sehingga memeknya terlihat membelah, menggoda kontolku yang belum meraih orgasme.

Ya, memang benar seperti yang dikatakan Ning Ishma, aku hanya perlu mengikuti naluri ku. Aku merangkak di atas tubuh Ning Ishma, posisiku seperti akan melakukan push up. Ning Ishma meraih kontolku dan mengarahkannya tepat di lobang memeknya yang sudah siap menerima kehadiran kontolku.

"Tekan kontolmu, entot aku...!" Ning Ishma memeluk pinggangku dan menariknya dengan bertenaga, otomatis kontolku menerobos memeknya dengan bertenaga sehingga menyentuh dasarnya.

"Ahhhhh...!" Aku menarik nafas lega, kontolku kembali merasakan jepitan hangat memek Ning Ishma, nikmat sungguh nikmat.

"Oooooo, aaaaaa... Entot aku yang kenceng...!" Ning Ishma menjerit kecil saat aku memompa memeknya, seakan tidak puas dengan gerakkan ku yang kaku, dia ikut menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

Geliat nista di kamar yang seharusnya sakral semakin memuncak, Ning Ishma terus menggerakkan pinggulnya dengan cepat hingga akhirnya dalam waktu relatif singkat, dia kembali meraih orgasme kedua nya. Sementara aku harus bersusah payah mengenai orgasme yang tak kunjung tiba.

"Ning, akkkkku kelllllluaarrrrr, !" Seruku histeris saat pejuhku meledak membanjiri memek Ning Ishma.

"Akkku jugaaaa, sayyyyy...!" Ning Ishma menjerit histeris ketika dia kembali mendapatkan orgasme yang kesekian kalinya.

Kami terdiam, saling berpelukan saat tubuh kami mengejang mendapatkan orgasme. Perlahan tubuh kami lunglai, Ning Ishma memelukku semakin erat saat aku akan bangkit dari atas tubuhnya.

**********

Kepada Calon Imamku

Baharuddin


Kutunggu kamu di belakang aula pada jam 13 : 30, apa bila kamu bersedia menjadi Imamku suatu saat nanti

TTD,

Pengagum rahasia


Aku membaca tulisan di atas kertas berwarna pink yang keharumannya sudah memudar, sebuah surat yang kuterima tanpa tau siapa pengirimnya. Inilah surat pertama dan terakhir yang kuterima selama mondok di Cirebon, surat ini kuterima dua hari setelah menerima ijazah kelulusanku di Madrasah Aliyah. Siapa yang sudah mengirimnya untukku? Mungkinkah ini surat dari Ning Sarah? Ah, mustahil dia membalas Suratku setelah belasan surat aku kirim padanya. Ah, kenapa aku harus memikirkan siapa penulis surat ini? Sepertinya ini hanya lelucon, kalau dia benar-benar mencintaiku tentu mencantumkan namanya pada surat ini.

Aku masih ingat, saat datang ke belakang aula dan aku tidak menemukan siapa pun di sana. Sebuah lelucon yang menyakitkan

Surat ini tiada artinya sama sekali, untuk apa aku harus menyimpannya dan menebak nebak siapa pengirimnya. Toh aku sudah memiliki wanita cantik yang menyerahkan dirinya secara suka rela, Ning Ishma walau dia bukan sepenuhnya milikku tapi aku merasa ikut memilikinya walau hanya sesaat. Aku akan memusnahkan surat ini, Sebuah gerakan kecil akan merobek-robek surat ini menjadi serpihan kecil yang tidak berarti. Gerakan kecil itu tak kunjung juga datang, biarlah surat ini menjadi kenangan dari imajiku. Kembali aku melipatnya dan menyimpan di bagian paling bawah tumpukan bajuku.

HM, jam 15 : 30, sudah wakyaku mengisi bak kamar mandi Gus Nur, sebentar lagi bidadari akan mandi. Aku tersenyum riang meninggalkan kamar yang seluruh penghuninya sibuk dengan urusan menghayal kitab dengan bimbingan para ustad di aula. Sedangkan aku selama seminggu harus menjalani hukuman sehingga tidak bisa mengikuti pengajian. Langkahku terasa ringan, berjalan melintasi jalan setapak yang tertata rapi. Aku ingin secepatnya sampai rumah Gus Nur, menyiapkan air untuk bidadariku. Ah, hidup ini begitu indah, seindah mimpi yang berpendar di hatiku.

Di gardu Utara langkahku terhenti, Ning duduk memandang dingin ke arahku. Kenapa aku harus selalu bertemu dengan mahkluk sombong dan angkuh ini, rupanya dia harus belajar ilmu aqidah agar tahu kesalahannya di mana.

"Sombong, seharusnya santri baru harus menaruh hormat kepadaku." Ning Sarah bergumam pelan, menyindirku yang tidak mengucapkan salam melihat kehadirannya.

"Seharusnya kalimat itu, aku yang ucapkan ." Jawabku ketus, terang-terangan melakukan konfrontasi dengannya. Anak ini tidak boleh dibiarkan berbuat seenaknya, mentang mentang mentang anak Kyai bukan berarti aku harus terus mengalah dan diinjak injak olehnya.

"Hei, kamu seharusnya berkaca. Sudah jelas kamu yang sombong. Buktinya surat yang aku kirim tidak pernah kamu balas." Jawab Ning Sarah membuatku marah, dia memutar balikkan fakta. Sudah jelas aku berkali kali mengiriminya surat dan tidak ada satupun balasan darinya.

"Bohong kamu, aku tidak pernah menerima suratmu. Padahal aku sudah berkali kali mengirimimu surat sampai tidak terhitung jumlahnya dan tidak sekalipun kamu membalasnya seakan akan aku terlalu rendah untukmu.

Tiba tiba aku terdiam, bukankah tadi Ning Sarah mengatakan sudah mengirimi aku surat, kapan? Kami saling berpandangan, heran.

"Kamu, mengirimiku surat? Kapan?" Tanya kami berbarengan. Kembali kami terdiam, saling bertatapan.

"Kamu, dulu..!" Kami kembali berkata berbarengan, tanpa janji atau latihan sebelumnya. Tanpa sadar kami tersenyum geli.

"Kamu dulu..!" Kataku selagi Ning berusaha menyembunyikan senyumnya dengan telapak tangan.

"Kapan kamu mengirimi aku surat, sepertinya aku tidak pernah menerima surat darimu?" Tanya Ning Sarah setelah senyumnya berhenti.

"Sering, sudah tidak terhitung jumlahnya." Jawabku dengan nada suara yang lebih lunak.

"Aku tidak pernah menerima surat darimu, aku berani bersumpah." Jawab Ning Sarah, ternyata dia tidak pernah menerima surat dariku. Lalu, ke mana larinya surat dariku?

"Lalu, kapan kamu kirimi aku surat?" Tanyaku setelah tidak berhasil menebak, ke mana surat surat yang aku tujukan ke Ning Sarah.

"Saat kita menerima ijazah, aku menunggumu di belakang aula namun kamu tak kunjung datang." Jawab Ning Sarah.

"Saat kita menerima ijazah, tapi aku menerima surat itu dua hari setelah kita menerima ijazah." Jawabku heran, dan teejawablah sudah teka teki si pengirim surat, kenapa aku tidak menemukannya di belakang aula karena surat yang kuterima telat dua hari.

Bersambung.....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd