Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Cinta Yang Pergi dan Cinta Yang Datang



Chapter 1




"Ning, dari mana kamu?" Nyai Aisyah memandang heran wajah putri kesayangannya yang datang tanpa mengucapkan salam, ini di luar kebiasaannya apa lagi sekarang sudah pukul 22:00. Sudah terlalu larut bagi seorang gadis keluyuran. Nyai Aisyah tidak langsung memarahi Ning Sarah, dia akan selalu menanyakan kenapa hal itu terjadi.

Ning Sarah hanya menggelengkan kepalanya, berusaha menahan amarah yang membakar jiwanya. Dia harus bisa mengendalikan amarahnya seperti yang dianjurkan Rasulullah, apabila kamu marah, maka diamlah. Apa bila kemarahan itu belum reda, maka duduklah dan apa bila masih juga belum reda, maka tidurlah. Ya, ajaran itu begitu melekat pada dirinya, sebuah keputusan yang diambil dalam keadaan marah tidak akan baik hasilnya. Setelah kemarahannya mulai reda, Ning Sarah mulai ragu untuk memberi tahu apa yang sudah terjadi antara Ning Ishma dan santri baru bernama Burhanuddin. Biar bagaimanapun Ning Ishma adalah saudara sepupunya, sebagai seorang santriwati yang sudah diajari ilmu adab dan akhlaq Ning Sarah tahu dilarang untuk membuka aib saudaranya, kewajibannya untuk menutupi aib. Tapi persoalannya tidak berhenti sampai di situ, ketika melihat kebatilan terjadi di depan mata, kewajiban seorang muslim melakukan tiga hal : 1. Kalau kita punya kekuatan, ingatkan dengan kekuatan. 2. Kalau kita tidak punya kekuatan, ingatkan dengan lisan dan 3. Kalau kita tidak punya keduanya, ingkari dengan hati. Dan Ning Sarah menyadari dia memiliki ketiganya, seharusnya dia melakukan ke tiganya sekaligus.

"Ning, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan Ummi?" Tanya Nyai Aisyah, dia sangat hafal perangai anaknya ini, tidak akan ada yang bisa disembunyikan darinya walaupun itu hal terkecil sekalipun. Nyai Aisyah melihat dengan jelas bayang bayang kesedihan yang berusaha keras di tahannya.

"Tidak ada apa apa, Ummi. Aku tadi dari kamar santriwati untuk memberi mereka sedikit pelajaran ilmu alat, terutama mereka yang mengalami kesulitan dalam proses hafalan." Jawab Ning Sarah pelan, dia tidak berani menatap wajah ibunya. Semua rahasianya akan terbongkar dengan mudah saat melihat kejernihan bola mata Nyai Aisyah, sorot mata sang ibu akan membuatnya bercerita menumpahkan semua keluh kesahnya tanpa disadari.

"Benar...!" Nyai Aisyah mengangkat dagu Ning Sarah, dia menatap manik manik yang berkilat berusaha menyembunyikan rasa sedih yang membuat hidupnya seakan hancur. Harapan yang sekian tahun berusaha dipupuknya, hancur dalam sekejap.

"Aku ngantuk, Ummi..!" Bisik Ning Sarah lirih, isak tangis yang sejak tadi ditahannya tetap terdengar seiring jarum jam yang berdetak samar.

"Ning, kalau kamu mau menangis, menangislah...!" Nyai Aisyah memeluk erat anak gadis semata wayangnya, dan kali ini Ning Sarah tidak mampu mempertahankan ketegaran hatinya.

"Kita bicara di kamarmu, sayang..?" Nyai Aisyah merangkul pundak Ning Sarah, mereka berjalan beriringan masuk ke dalam kamar Ning Sarah sebelum Mbah Yai Nafi'melihat, urusannya akan semakin panjang. Nyai Aisyah dan Ning Sarah sangat mengerti sifat dan tabiat Mbah Yai Nafi' yang sabar dan bijak dalam semua hal, kecuali dalam masalah hukum syariat, beliau orang yang sangat kaku memegang aturan tanpa kenal kompromi.

"Ning, ceritakan apa yang sudah terjadi?" Tanya Nyai Aisyah pelan setelah menutup pintu kamar, sehingga mereka bisa bicara dari hati ke hati antar sesama wanita.

"Ummi..!" Gumam Ning Sarah, dia sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semua yang didengarnya, percakapan Gus Nur dan pria yang sudah menawan hatinya sehingga dia berharap pria itu datang melamarnya dengan hafalan kitab Nazham Imrithi. Ning Sarah tahu, ayahnya Mbah Yai Nafi' akan lebih menerima seorang santri yang bisa menghafal ilmu Sharaf, karena setelah bisa menghafal ilmu Sharaf maka dia akan bisa membaca kitab kuning yang memuat berbagai macam ilmu yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Itu syarat mutlak, dan selalu ditekankan pada Ning Sarah anak semata wayangnya.

"Ceritakan, Ning..!" Nyai Aisyah membelai kepala Ning Sarah dengan penuh kasih sayang, sifatnya yang tidak sabaran akan berubah sangat sabar saat berhadapan dengan anaknya.

Perlahan dan sangat berhati-hati, Ning Sarah menceritakan apa yang didengarnya tanpa ada satu kalimat yang dikurangi maupun ditambah. Ning Sarah harus memuji ingatannya yang luar biasa sehingga dia bisa mengingat semuanya, daya ingatnya memang sudah terasah sejak dia berusia 5 tahun dan membuat ke dua orang tuanya takjub, juga para guru yang terus menerus memujinya sehingga mereka kehabisan kata untuk terus bisa memujinya.

Nyai Aisyah mengatur nafasnya perlahan, berusaha mengendalikan perasaannya yang berkecamuk tidak menentu. Seharusnya hanya dia yang tahu apa yang sudah dilakukan Ning Ishma, sekarang Ning Sarah ikut mengetahuinya. Nyai Aisyah menarik nafas panjang, dia secara tidak sengaja melihat perbuatan Ning Ishma dan Burhanudin saat datang untuk menemui Ning Ishma untuk membicarakan hal penting. Dengan berbagai macam pertimbangan, Nyai Aisyah sengaja menutupi perbuatan Ning Ishma.

"Ning, Ummi minta kamu tidak menceritakan hal ini ke Abah.!" Nyai Aisyah berkata pelan, dia takut suaranya terdengar oleh Mbah Yai Nafi'yang sudah tidur di kamarnya.

"Kenapa, Mi?" Tanya Ning Sarah, dia sudah menduga perkataan dari Nyai Aisyah akan seperti itu.

"Abah dan Gus Maimun Pakdemu pasti akan murka dan mengusir mereka, kalau sampai itu terjadi sama artinya akan memberi aib kepada kita semua. Kamu tahu bagaimana sifat Abah dan Gus Maimun terhadap anak anaknya, keras dan tidak kenal kompromi." Nyai Aisyah tahu, hanya dengan merahasiakan hal ini dari Mbah Yai Nafi dan Mbah Yai Maimun orang tua Ning Ishma, maka aib keluarga akan tersimpan rapat walau untuk itu mereka harus menanggung dosa yang tidak kecil.

"Iya Ummi, Insya Allah aku akan merahasiakan ini dengan cara mengambil beasiswa ke universitas Al-Azhar di Kairo." Jawan Ning Sarah memejamkan matanya, hatinya berjuang keras untuk menyingkirkan kebimbangannya.

"Apa hubungannya menutup rahasia ini dengan kamu kuliah di Al-Azhar, Ning?" Tanya Nyai Aisyah terkejut, dia sangat menentang anaknya meneruskan kuliah di Universitas Al-Azhar walaupun Ning Sarah sudah mendapatkan tawaran beasiswa. Tidak, jarak Mesir dan Indonesia sangatlah jauh. Berpisah sekian lama dengan anak semata wayangnya, membayangkan nya saja sudah membuatnya panik ketakutan.

"Ummi, aku hanya ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi." Jawab Ning Sarah, dia tidak berani mengatakan alasan yang sebenarnya. Ya, dia hanya ingin melupakan pria yang sudah mengkhianatinya.

"Kamu sengaja pergi karena menolak Shomad sebagai calon suami kamu, Ning?" Terka Nyai Aisyah, walau sebenarnya dia curiga diam diam Ning Sarah mencintai Baharuddin santri yang beberapa hari lalu ditegurnya. Itulah alasan sebenarnya Ning Sarah bersikeras menolak perjodohan dengan Shomad, dan keinginannya untuk meneruskan kuliah ke Al-Azhar adalah karena merasa dikhianati pemuda itu. Nalurinya sebagai ibu, tidak akan pernah bisa dikelabui.

"Ummi, hal itu sudah pernah kita bahas, jadi tidak perlu lagi kita bahas. Aku mau tidur Ummi, besok aku akan sibuk." Ning Sarah menatap Nyai Aisyah, tekadnya untuk pergi sudah tidak bisa dicegah.

"Baiklah, tidurlah..!" Nyai Aisyah mengecup kening Ning Sarah sebelum meninggalkan kamar, sekali lagi Nyai Aisyah menoleh ke arah Ning Sarah sebelum gadis itu menutup pintu kamarnya. Untuk beberapa saat Nyai Aisyah berdiri mematung menatap pintu kamar yang tertutup rapat, jauh dari Ning Sarah adalah pilihan yang akan membuatnya semakin kesepian.

Nyai Aisyah melangkah gontai ke dalam kamarnya, Mbah Yai Nafi'sudah tertidur lelap dan tepat jam dua Nini hari Mbah Yai akan bangun untuk melaksanakan ibadah malam yang rutin dilakukannya sejak remaja. Hal yang membuat Nyai Aisyah merasa cemburu, begitu besar kecintaan Mbah Yai kepada Allah sehingga sering mengabaikan dirinya sebagai seorang istri. Biar bagaimanapun dia masih wanita normal yang membutuhkan pelukan, cumbuan dan sex sebagai sebuah kebutuhan dan membuatnya merasa hidup lebih bermakna. Sayang, Mbah Yai lebih asyik dengan amalan ibadahnya dan juga membaca kitab kuning yang tebalnya berjilid jilid sehingga dia lupa dengan kewajibannya yang lain.

"Bah..!" Perlahan Nyai Aisyah mengguncang punggung Mbah Yai Nafi, lalu diulanginya hingga tiga kali. Namun tidak ada reaksi, pria paruh baya yang begitu sibuk menjaga hati dan pikirannya dan mencari kesempurnaan dalam ibadah itu tetap terlelap dan akan bangun pada pukul dua tepat. Nyai Aisyah menarik nafas kecewa, ajaran yang dipelajarinya melarang dia untuk membangunkan suaminya dengan cara paksa.

Nyai Aisyah memiringkan tubuhnya dengan gerakan kasar, berharap suaminya terbangun akibat ranjang yang bergerak. Tidak ada reaksi, Mbah Yai terlalu asik dengan dunianya sehingga melupakan istrinya yang masih membutuhkan cumbuannya yang panas. Usia 40 bagi seorang wanita adalah masa di mana libido sexnya meningkat drastis, butuh penyaluran yang bisa memuaskannya dan Nyai Aisyah menyadari hal itu. Kembali Nyai Aisyah berbalik ke arah Mbah Yai dengan cepat, ranjang ikut terguncang dan Nyai Aisyah menatap kecewa wajah suaminya yang terpejam dengan nafas teratur. Jengkel, Nyai Aisyah menepuk pipi suaminya dengan lembut, tepukan yang membuat mata Mbah Yai terbuka menatapnya membuat hati Nyai Aisyah berdesir senang. Dia seperti anak ABG melihat kekasih hatinya sedang menatap ke arahnya, wajahnya tiba tiba memanas.

"Belum tidur, sayang?" Tanya Mbah Yai menatap wajah istrinya lembut, tangannya membelai rambut Nyai Aisyah yang tergerai lepas.

"Belum, Bah..!" Nyai Aisyah tersenyum, debat jantungnya semakin kencang berharap suaminya bukan hanya membelai rambutnya yang halus, namun lebih dari itu.

Tidurlah Sayang, jangan biarkan pikiran mengganggu waktu istirahat mu." Jawaban Mbah Yai Nafi membuat Nyai Aisyah kecewa, mata pria paruh baya itu kembali terpejam dan dalam satu helaan nafas.

----XXX----​

Pagi pagi ba'da subuh, Nyai Aisyah segera menemui Mbah Yai, percakapan dengan Ning Sarah semalam membuatnya sulit memejamkan mata. Ditambah semalaman Nyai Aisyah harus tersiksa oleh gairah yang tiba-tiba datang membutuhkan pelampiasan namun Mbah Yai tidak bergeming dari tidur nyenyak ya.

"Bah, coba jenengan bujuk Ning Sarah untuk membatalkan rencananya pergi ke Mesir..!" Nyai Aisyah duduk di sisi Mbah Yai Nafi yang sedang khusuk membaca kitab kuning, kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak masih menjadi santri dan sampai sekarang pun Mbah Yai Nafi masih tetap merasa dirinya sebagai santri yang terus membaca kitab kuning di sela sela waktu luang.

"Ada apa lagi, Sayang..?" Mbah Yai Nafi'meletakkan kitab kuning yang sedang dibacanya, lalu menoleh ke arah Nyai Aisyah yang kemanjaannya tidak pernah hilang sejak pertama kali mereka menikah.

"Abah nggak dengar aku bicara apa, tadi?" Rajuk manja Nyai Aisyah, bibirnya cemberut yang membuatnya semakin cantik.

"Dengar, hanya saja Abah merasa heran tiba tiba Ais mengatakan hal itu!" Mbah Yai Nafi'tersenyum bahagia, wajah istrinya nyaris tidak berubah sejak mereka menikah. Ini anugerah yang selalu disyukuri olehnya, mempunyai istri yang awet muda padahal usianya sudah 40 tahun, namun belum ada kerutan di wajahnya.

"Aku nggak setuju kalau Ning Sarah harus ke Mesir meneruskan kuliah, kalau hanya sekedar belajar ilmu agama. Tidak ada yang kurang di sini, bahkan keilmuan jenengan jadi bahan rujukan." Jawab Nyai Aisyah, membanggakan keilmuan yang dimiliki suaminya.

"Ada yang kurang, Nyai..!" Mbah Yai tersenyum kecil, melihat gerakkan bibir Nyai Aisyah selalu membuatnya merasa bahagia.

"Apa?" Tanya Nyai Aisyah mengerutkan keningnya, sudah banyak mahasiswa doktoral yang datang menemui suaminya, berdiskusi tentang macam macam kitab kuning ( Arab klasik ) yang kadang kala tidak mereka ketahui artinya.

"Gelar Sarjana, mungkin itu yang diinginkan oleh Ning Sarah." Jawab Mbah Yai tanpa beban, semuanya sudah diserahkan kepada Allah. Dia yakin, keputusan Allah adalah yang terbaik.

"Susah ngomong sama jenengan, aku nggak setuju Ning Sarah pergi jauh ke luar negeri hanya untuk mencari gelar sarjana. Di sini banyak Universitas yang nggak kalah dengan luar negeri, buktinya pemimpin negeri ini mayoritas keluaran sekolah dalam negeri dan mereka punya prestasi yang diakui di luar negeri." Gerutu Nyai Aisyah, dia mulai membanding-bandingkan kualitas universitas di negeri ini dengan mengambil contoh para pemimpin Indonesia.

"Ada, almarhum Pak Habibie dan almarhum Gus Dur." Jawab Mbah Yai tertawa geli, dia sudah sangat mengenal sifat istrinya yang tidak pernah mau kalah walau kadang argumennya jelas salah.

"Gus Dur itu kuliah di luar negerinya nggak tamat, karena yang dipelajarinya di luar negeri ternyata sudah khatam dipelajarinya di pondok." Jawab Nyai Aisyah, dia mulai kehilangan kesabaran menghadapi suaminya.

"Sabar toh, sayang. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya dan semua yang sudah terjadi itulah pilihan terbaik yang sudah digariskan oleh Allah." Jawab Mbah Yai berusaha tersenyum untuk meredam kemarahan Nyai Aisyah.

"Susah ngobrol sama jenengan, aku mau ke dapur dulu." Pamit Nyai Aisyah, meninggalkan Mbah Yai Nafi yang kembali khusuk membaca kitab kuning yang sejak tadi dipegangnya. Dia tidak pernah memikirkan kemarahan Nyai Aisyah, toh semuanya akan kembali normal tanpa perlu dia melakukan apapun, semuanya sudah digariskan oleh Allah.

Di dapur, Nyai Aisyah menemui Zaenab dan Latifah yang sedang sibuk meracik berbagai sayuran di temani para santriwati lain dengan tugas yang berbeda. Dapur ini memang digunakan memasak makanan para santri dan santriwati yang berjumlah 200 orang lebih, bisa dibayangkan betapa sibuknya para santriwati dan santri dalam setiap harinya. Setiap santri dan santriwati hanya mendapatkan jatah makan sehari dua kali, pagi dan sore.

----xxx----​

"Maafkan aku sudah melukai bibirmu, Din..!" Ning Ishma dengan telaten mengobati luka di bibir Baharuddin, memang dia melakukannya sebagai cara untuk membela diri dari perlakuan kasar Baharuddin. Ini sepenuhnya bukan kesalahan Burhanuddin semata, semuanya berasal darinya yang memperlakukan Burhanuddin sebagai budak nafsunya. Ning Ishma menatap Burhanuddin dengan sepenuh perasaan, cinta yang awalnya hanyalah pelarian karena Gus Nur yang tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai suami, sekarang malah semakin menjerat jiwanya.

"Aku yang salah Ning, aku hampir memperkosa kamu." Jawab Burhanuddin, dia merasa malu perlakuannya yang kasar justru dibalas penuh cinta oleh Ning Ishma. Kebencian yang sempat timbul, perlahan memudar hingga tidak meninggalkan bekas. Sungguh bodoh, kalau sampai dia menganggap apa yang terjadi adalah kesalahan Ning Ishma padahal dia juga sangat menikmati hubungan terlarang yang sudah terjadi berkali-kali.

"Hihihi, kamu mau balas dendam karena aku sudah perkosa kamu, ya!" Goda Ning Ishma tertawa geli membayangkan betapa liarnya saat pertama kali memaksa Burhanuddin melayani nafsu seksnya dengan paksa, bisa dikatakan dia benar benar memperkosa Burhanuddin. Menjijikkan apa yang sudah dilakukannya sebagai wanita 'alim yang mengenal agama sejak kecil, tidak bisa dipungkiri justru Ning Ishma sangat menikmati momen seperti itu. Lepas dari aturan yang dianggapnya sudah membelenggunya sejak kecil, entah kenapa rasa bersalah yang sempat muncul perlahan hilang tak berbekas.

"Hahahaha, sekarang nggak berani." Jawab Burhanuddin tersipu malu, matanya tidak berkedip menatap wajah Ning Ishma yang begitu dekat dan bisa menghempaskan bayang bayang wajah Ning Sarah. Aneh, kenapa perasaan ini muncul saat dia dilanda rasa putus asa, cinta yang dikejarnya pergi menjauh dari hidupnya.

"Kenapa nggak berani, bukankah kamu tadi sudah hampir memperkosaku!" Goda Ning Ishma bahagia, dia tidak akan pernah membiarkan Burhanuddin pergi dalam hidupnya, apapun akan dilakukan untuk mempertahankannya.

"Takut kualat, Ning." Jawab Burhanuddin, ketegangan yang sempat terjadi telah mencair dengan cepat. Alasan paling utama bagi Burhanuddin adalah rahasia ini tidak akan pernah sampai ke Mbah Yai Nafi', itu yang membuatnya sedikit lebih tenang walau dia harus kehilangan cinta Ning Sarah, itu adalah hal lain karena dia sudah terbiasa menganggap Ning Sarah wanita yang tidak mungkin diraihnya. Kalaupun dia harus kehilangan Ning Sarah, dia sudah siap sejak awal mengejar cintanya.

"Kualat, aku muak dengan kata itu. Selama ini banyak pria dari kalangan santri menganggap aku wanita suci yang tidak boleh disentuh, menganggap aku mempunyai karomah karena keturunan dari seorang Ulama turun temurun, padahal aku adalah wanita biasa yang ingin membaur dan berbagi cerita dengan bebas seperti kalian." Ning Ishma menatap Burhanuddin, pria yang sudah berhasil membuatnya sebagai wanita utuh yang bebas mengekspresikan dirinya tanpa ada sekat antara santri dan dan garis keturunan yang dimilikinya.

"Biar bagaimanpun juga, kamu mempunyai garis keturunan yang tidak bisa kamu buang begitu saja." Jawab Burhanuddin meraih tangan Ning Ishma yang sedang membelai bibirnya dengan mesra, rasa bersalah yang selama ini membebani pikirannya perlahan hilang. Bersamaan dengan memudarnya mimpi untuk memiliki cinta Ning Sarah, dia mendapatkan sesuatu yang selama ini tidak disadari.

"Sekali lagi kamu bilang tentang garis keturunan, aku akan perkosa kamu..!" Bisik Ning Ishma, tangannya memegang kontol Burhanuddin yang tersembunyi di balik kain sarung.

"Ning, nggak bosan merkosa aku?" Burhanuddin melenguh kecil, Ning Ishma selalu berhasil membuatnya terangsang dengan cepat.

"Aku nggak akan bosan perkosa kamu sampai...!" Ning Ishma sengaja menggantung kalimatnya, tangannya semakin nakal membelai biji peler hingga menyentuh anus Burhanuddin yang menggelinjang nikmat.

"Sampai apa, Ning?" Burhanuddin membalas dengan meremas payudara Ning Ishma, dia sudah terbiasa melakukannya dan tidak perlu ijin khusus untuk melakukannya.

"Nakal kamu, berani meremas payudaraku..!" Ning Ishma memejamkan mata merasakan payudaranya semakin sensitif menerima remasan lembut Burhanuddin, ini yang paling disukainya dari Burhanuddin, pria ini selalu memperlakukan payudaranya dengan berhati hati. Itu sebabnya dia sempat terkejut dan ketakutan, saat Burhanuddin memperlakukannya dengan kasar.

"Kamu yang nakal, kontolku kamu pegang duluan..!" Bisik Burhanuddin tidak mau kalah, dihirupnya bau keringat leher Ning Ishma yang jenjang.

"Habis, kontol kamu enak banget. Apa lagi aku yakin, kontol kamu akan bisa menghamiliku seperti keinginanku selama ini." Jawab Ning Ishma, dia mengerakkan kepalanya menyentuh wajah Burhanuddin yang sedang menjilati lehernya. Rasa geli dan nikmat membuat bulu kuduknya berdiri, membakar gairahnya dengan cepat. Ning Ishma tersenyum bahagia, perlakuan Burhanuddin membuatnya terbang bebas sebebas bebasnya.

"Ahhh, sayang aku suka ini..!" Ning Ishma semakin gencar membelai kontol Burhanuddin, tidak perlu ada yang harus disembunyikan. Burhanuddin bebas menikmati tubuhnya setiap waktu. Dan Burhanuddin adalah murid cerdas yang bisa belajar dengan cepat, lidahnya terus menjilati leher Ning Ishma dengan berhati hati agar tidak mengenai bibirnya yang terluka.

"Perih, Ning..!" Burhanuddin mengeluh, dia tidak bisa leluasa menciumi leher jenjang Ning Ishma yang mulai basah oleh keringat, luka di bibirnya terasa perih saat bersentuhan dengan keringat Ning Ishma.

"Maaf sayang, gigitan ku terlalu keras..!" Ning Ishma tertawa geli, melihat bibir Burhanuddin semakin besar akibat lukanya. Salah sendiri, kenapa mau memperkosa dirinya. Seharusnya dia yang memperkosa Burhanuddin, bukan sebaliknya. Dia sudah terlalu muak dengan paksaan kedua orang tuanya yang menuntutnya menjadi anak seperti keinginan mereka.

"Iya, aku yang salah." Burhanuddin menunduk malu, dia merebahkan tubuhnya menyerah karena tidak bisa menciumi setiap bagian tubuh Ning Ishma padahal dia sangat menginginkannya. Burhanuddin berharap, Ning Ishma yang akan melakukan cumbuan liar di sekujur tubuh seperti yang biasa dilakukannya.

"Nakal kamu, ngapain kamu tiduran ?" Ning Ishma tersenyum, dia tahu apa yang diinginkan Burhanuddin. Pria ini menginginkan dia yang aktif mencumbu sekujur tubuhnya yang kekar, hal yang sangat disukai oleh Ning Ishma.

"Pengen..!" Gumam Burhanuddin, malu.

"Pengen apa, sayang!" Bisik Ning Ishma, dia tengkurap di samping Burhanuddin agar bisa memandang wajah pria itu dengan jelas. Tangannya yang halus mengelus dada bidang pria yang sudah membuatnya jatuh hati, dirasakannya detak jantung Burhanuddin yang lebih kencang dari biasanya.

"Pengen, begituan..!" Jawab Burhanudin dengan detak jantung semakin kencang, kontolnya bergerak semakin keras sehingga terlihat mengacung di balik sarung yang dikenakannya.

"Maksudnya?" Tanya Ning Ishma semakin geli melihat keluguan Burhanuddin, padahal tadi hampir saja memperkosanya dengan kasar. Matanya melirik ke arah selangkangan Burhanuddin dan melihat kontol pemuda ini sudah tegang maksimal membuatnya menahan nafas, memeknya berdenyut kecil dibarengi cairan birahi yang semakin banyak.

"Nggak apa apa, itu sarungku..!" Seru Burhanuddin nekad, dia ingin menunjukkan kontolnya yang sudah siap tempur.

"Kenapa kontolmu, sudah siap tempur ya?* Bisik Ning Ishma, dia sudah tidak bisa menahan diri lebih lama lagi melihat kontol Burhanuddin menjulang dari balik sarung.

Ning Ishma bergerak perlahan membuka kancing baju Koko Burhanuddin, dia ingin tidak ada benda yang menghalangi tubuh mereka saat bersatu memadu birahi. Dalam sekejap Ning Ishma berhasil membuka baju Koko dan meletakkannya di atas meja yang berada tepat di samping ranjang, lalu Ning Ishma bergerak menarik sarung Burhanuddin dengan mudahnya sehingga tersisa celana dalam dan itupun segera ditarik lepas oleh Ning Ishma.

"Aku nakal, ya?" Goda Ning Ishma, digenggamnya batang kontol yang sudah menjulang sempurna. Gairahnya semakin menguasai jiwanya, dengan tergesa-gesa Ning Ishma membuka pakaian lebar yang menyembunyikan tubuh moleknya, bahkan seluruh pakaian dalamnya pun dicampakkan seakan benda yang sudah berjasa menutupi auratnya.

"Cantik sekali kamu, Ning. Tubuhmu begitu sempurna, sungguh beruntung diriku." Jawab Burhanuddin cepat, matanya tidak mampu berkedip memandang tubuh bugil di hadapannya. Bahkan rasanya, dia tidak akan pernah bisa berhenti mengagumi keindahannya.

Ning Ishma tertawa geli melihat wajah Burhanuddin yang dipenuhi rasa kagum, belum pernah dia melihat Burhanuddin sekagum itu melihat tubuhnya. Ning Ishma sangat yakin itu, setiap apa yang terjadi pada Burhanuddin tidak pernah luput dari perhatiannya. Kembali matanya tertuju pada kontol perkasa yang selama ini selalu berhasil memuaskan birahinya, mengantarkannya ke puncak orgasme berkali-kali dalam setiap hubungan mereka.

Kembali Ning Ishma memegang batang kontol yang keras dan panjang, dia tidak mau menunda kenikmatan yang terpampang di hadapannya. Dengan rakus Ning Ishma mulai menjilati kepala kontol di hadapannya tanpa rasa jijik, dari kepala kontol inilah akan memancar sperma yang diharapkannya membuahi rahimnya. Ning Ishma sangat menginginkan hal itu terjadi secepatnya, kalaupun dia tidak bisa memiliki Burhanuddin dia akan tetap memiliki bagian dari pria itu, darah daging dari pria yang dicintainya. Dengan sepenuh hati dan bukan hanya sekedar mengumbar nafsu, Ning semakin bergairah memanjakan kontol yang sebentar lagi akan membuahi rahimnya, terus menerus hingga dia hamil.

"Ning, nikmat sayang..!" Burhanuddin mengangkat pinggulnya sehingga kontolnya semakin dalam masuk hingga menyentuh kerongkongan Ning Ishma, membuat wanita cantik itu terkejut dan mengeluarkan kontol Burhanuddin dari mulutnya.

"Din, jahattt...!" Seru Ning Ishma mendelik, matanya agak berair akibat sodokan kontol Burhanuddin menyentuh kerongkongannya.

"Maaf, Ning..!" Burhanuddin tersenyum berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya, dia tidak sengaja melakukan hal itu.

"Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan?" Nyai Aisyah yang tiba tiba masuk terbelalak melihat dua insan berlainan jenis dalam keadaan bugil, ternyata kedua orang ini memang sudah keterlaluan bergumul di kamar dengan pintu dapur yang terbuka sehingga dia bisa masuk dan melihat kejadian ini.

"Nyai...!" Seru Ning Ishma dan Burhanudin berbarengan, mereka terpaku sehingga tidak berusaha menutupi tubuh polos mereka di hadapan Nyai Aisyah yang tidak berkedip memandang mereka bergantian.

Nyai Aisyah terpaku, matanya tidak berkedip menatap kontol Burhanuddin mengacung sangar. Gairahnya bangkit tanpa bisa dicegahnya melihat benda yang sudah lama tidak menyentuh memeknya, Mbah Yai sudah hampir tiga bulan melupakan kewajibannya.

"Maaf, Nyai...!" Seru Ning Ishma yang menyadari keadaannya, dia segera memakai pakaiannya. Ning Ishma berusaha keras menahan senyumnya, rencananya mulai menampakkan hasil.


Bersambung​
 
Jeli juga ning Ishma, dengan membawa nyai Aisyah yang haus belaian laki laki, ke rumahnya untuk melihat pergumulan ning Ishma dgn Burhanuddin.
Dan nampaknya rencana itu membawa hasil, nyai Aisyah terbelalak melihat dzakar Burhanuddin.
Akankah nyai Aisyah terbuai dan merasakan nikmat dzakar Burhanuddin..? Berbagi dengan ning Ishma..?
Akankah ini menjadi satu pintu bagi Burhanuddin untuk bisa mendapat kan ning Sarah..?
Sekali menggoyang dzakar, 2-3 farji terterobos..

Harap suhu @Satria_cabul segera memberi titik terang.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd