Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 4​


"Nyai, bangun..!" Sebuah guncangan lembut membangkitkan Nyai Aisyah yang tertidur di kursi panjang di ruang keluarga, Nyai Aisyah memandang Latifah yang berdiri setengah membungkuk.

Nyai Aisyah berusaha mengumpul kesadarannya, berusaha mengingat apa yang baru saja dialaminya. Nyai Aisyah menarik nafas kecewa, ternyata dia baru saja bermimpi.

"Aku tertidur di sini, Fah?" Nyai Aisyah menarik nafas, mimpi yang baru saja dialaminya seperti nyata. Bahkan dia masih bisa merasakan kehangatan tubuh Burhanudin, memeknya seperti terganjal oleh benda asing yang nikmat.

"Maaf Nyai, saya dapat perintah untuk membangunkan jenengan." Jawab Latifah tidak berani memandang wajah Nyai Aisyah, semoga dia tidak marah karena tidurnya terganggu.

"Oh, Mbah Yai yang menyuruhmu?" Tanya Nyai Aisyah jengkel, kenapa Mbah Yai Nafi'malah menyuruh Latifah yang membangunkannya, bukan melakukannya sendiri.

"Enggeh Nyai, Mbah Yai yang sudah menyuruh saya.!" Jawab Latifah penuh hormat, dia kemudian berpamitan untuk mengerjakan pekerjaannya yang tertunda di dapur. Nyai Aisyah hanya mengangguk kecil, pikirannya masih terbebani oleh mimpi yang baru saja dialaminya.

Nyai Aisyah bangun dengan perasaan enggan, Ning Sarah masih sibuk dengan urusannya mengurus administrasi untuk segera pergi ke Mesir. Entah sampai kapan anak kesayangannya ini pergi menjauh dari kehidupannya yang sepi dan akan bertambah sepi setelah Ning Sarah pergi, dadanya terasa sesak setiap kali membayangkan hal itu.

"Nyai, Mbah Yai pesan supaya jenengan bersiap siap untuk pergi takziah ke rumah Nyai Fathimah yang sedang sakit ditemani Ning Ishma." Hampir saja Latifah lupa dengan amanah dari Mbah Yai Nafi' yang harus disampaikan, untung dia belum meninggalkan ruang keluarga sehingga dia tidak perlu kembali lagi menemui Nyai Aisyah.

"Iya, aku ingat." Nyai Aisyah menjawab singkat, dia menatap kepergian Latifah ke dalam dapur. Ah kenapa hidupnya begitu menjemukan, bertahun tahun bahkan mungkin seumur hidupnya hanya menjalankan sebuah rutinitas yang sudah digariskan oleh kedua orangtuanya yang ulama dan terpaksa juga harus menikah dengan seorang ulama.

Nyai Aisyah bangkit perlahan, tubuhnya menggeliat merenggangkan otot otot tubuhnya yang terasa kaku. Matanya berkeliling melihat setiap benda yang berada di ruang keluarga lalu berhenti pada pintu kamar Ning Sarah yang tertutup rapat, sebentar lagi dia tidak akan melihat Ning Sarah keluar dari pintu itu, merajuk manja memanggil namanya.

Siapa yang akan menemaninya nanti setelah Ning Sarah pergi, berbagi cerita dan bersenda gurau mengusir hari harinya yang sepi? Siapa yang akan membuatnya tersenyum bahagia, melihat anak semata wayangnya sudah tumbuh menjadi wanita muda yang dikarunia kecantikan yang mengagumkan? Nyai Aisyah menarik nafas panjang dan tanpa bisa dicegah, sosok Burhanuddin kembali mengaduk aduk pikirannya.

----XXX----​

Sementara Latifah kembali menyibukkan diri di dapur bersama Zaenab, walau pikirannya masih terus tertuju kejadian yang baru saja dialaminya saat membangunkan Nyai Aisyah.

"iyaaaa terussss Din, yang kenceng.... Akkkkku kelllllluaarrrrr...!" jeritan dan teriakan Nyai Aisyah saat dia berusaha membangunkannya, masih terus terdengar oleh Latifah. Entah mimpi apa yang sedang dialami Nyai Aisyah, lalu kenapa dia harus memanggil Din dan Latifah sangat yakin itu kepanjangan dari Burhanuddin. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi antara Nyai Aisyah dan Burhanuddin, dia harus menyelidikinya.

"Astaghfirullah,..?" Tanpa sadar Latifah mengucapkan istighfar, dia sudah berburuk sangka kepada Nyai Aisyah. Tidak mungkin wanita semulya itu melakukan tindakan tidak terpuji, dia terlalu mengada-ada dengan pikirannya.

"Kamu kenapa, Fah?" Tanya Zaenab heran, kenapa Latifah mengucapkan istighfar dengan suara keras sehingga mereka yang sedang berada di dapur menoleh semua namun tidak ada yang bertanya hingga Zaenab menanyakannya. Mereka kembali menoleh ke arah Latifah dan menajamkan telinga untuk mendengar alasan Latifah, ternyata sifat ingin tahu antara para santri dan santriwati tidak jauh berbeda dengan orang awam lainnya.

"Apanya yang kenapa, Nab?" Latifah berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari tatapan beberapa pasang mata yang menajamkan pendengarannya, celakalah kalau sampai mereka tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Tadi kamu istighfar dengan suara keras, ada apa?" Zaenab memandang wajah sahabatnya dengan perasaan heran karena selama ini mereka tidak pernah merahasiakan apapun di antara satu sama lainnya, makanya dia merasa heran karena tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Latifah sehingga mengucapkan istighfar sekeras itu.

"Emangnya nggak boleh aku istighfar dengan suara keras, Nab?" Latifah balik bertanya untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang dipenuhi rasa curiga, kali ini dia sudah merencanakan sesuatu tanpa melibatkan Zaenab. Zaenab tidak boleh tahu hal ini, Zaenab bukan orang yang pandai menyimpan rahasia besar.

"Tak kira ada apa, ternyata begitu." Zaenab cukup puas dengan jawaban Latifah, dia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Atau hanya sekedar berusaha menyibukkan diri dengan melap gelas gelas yang sudah dua kali dilap, pikirannya terus tertuju ke Burhanuddin. Sulit sekali menemui pemuda itu untuk sekedar berbincang bincang tentang kehidupan mereka.

"Kamu kenapa, Nab?" Latifah bertanya pelan agar santriwati lain tidak mendengar, sifat dasar wanita pasti ingin tahu rahasia temannya untuk jadi bahan gunjingan yang mengasikkan. Bahkan ilmu akhlaq dan akidah yang mereka pelajari masih belum cukup untuk meredam sifat buruk tersebut, manusia memang lemah.

""Nab, ikut aku yuk..!" Ajak Latifah menepuk paha Zaenab setelah gadis itu tidak pertanyaannya, dia bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Zaenab.

"Kemana, Fah?" Zaenab tersadar dari lamunannya, dia menatap Latifah namun akhirnya dia meninggalkan pekerjaannya mengikuti Latifah yang berjalan lebih dahulu. Zaenab terpaksa menahan diri untuk tidak bicara sepatah katapun saat melihat Latifah meletakkan jari telunjuk pada bibirnya yang tipis, pasti ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan oleh Latifah di tempat yang sepi.

"Kita ngobrol di sini aja, Nab..!" Seru Latifah duduk di bawah pohon mangga yang mulai berbuah, ada sebuah bangku panjang terbuat dari bambu.

"Ada apa, Fah?" Tanya Zaenab, beberapa hari terakhir ini hatinya tidak tenang. Pikirannya terus tertuju ke Burhanuddin dan perbuatan yang sudah mereka lakukan, benih yang ditaburkan Burhanuddin tidak kunjung berbuah. Tanpa sadar Zaenab mengelus perutnya, apa karena dia mandul sehingga belum juga hamil?

"Kamu hamil, Nab?" Latifah menatap curiga, bagaimana kalau Zaenab benar-benar hamil dan Burhanuddin ternyata tidak mau bertanggung jawab? Tolol, sungguh tolol saran yang diberikannya kepada sahabatnya itu, saran yang justru menjerumuskan Zaenab.

"Belum, apa aku mandul?" Jawab Zaenab lirih, apa dia harus terus mencoba hingga berhasil? Tapi bagaimana caranya, kesempatan yang dicarinya tidak kunjung datang. Beberapa hari ini dia hanya bisa melihat Burhanuddin dari kejauhan tanpa bisa mendekatinya.

"Alhamdulillah..!" Gumam Latifah menarik nafas lega, untuk sementara masalah yang ditakutinya belum terjadi. Tapi sampai kapan, melihat dari tingkah laku Zaenab, gadis ini pasti akan terus menggoda hingga keinginannya untuk hamil berhasil. Latifah menggigit bibir, rasa sakit yang timbul menyadarkannya.

"Kok kamu malah seneng, aku belum hamil? Padahal aku ingin secepatnya hamil, agar Burhanuddin bisa menikahi aku secepatnya." Tanya Zaenab jengkel, seharusnya sebagai seorang sahabat Latifah mendoakannya agar cepat hamil. Bukankah Latifah juga yang punya ide untuk membuatnya hamil oleh Burhanuddin, kok sekarang Latifah keberatan kalau dia sampai hamil.

"Nab, gimana rasanya waktu kamu diperawanin Burhanuddin?" Tanya Latifah mengalihkan topik obrolan mereka, dia jadi ingin tahu apa yang dirasakan oleh Zaenab saat keperawanannya hilang. Keperawanan adalah harta paling berharga buat seorang gadis, apa lagi bagi mereka yang selalu mempelajari agama. Membayangkan keperawanannya hilang, sudah membuat Latifah bergidik ketakutan apa lagi kalau sampai mengalaminya, dunianya akan hancur dalam sekejap.

"Pertama kali sakit banget, memekku seperti robek. Dua hari rasa sakit itu tidak hilang dan aku sulit tidur, tapi waktu ke dua rasanya luar biasa. Enak banget waktu kontol Burhanuddin ngocok memekku, ih kamu kok malah tanya hal itu. Memekku jadi basah, sayang seminggu ini aku nggak punya kesempatan buat dekat dengan Burhanuddin." Jawab Zaenab, tubuhnya merinding membayangkan saat kontol Burhanuddin mengaduk aduk memeknya. Ah andai rencananya untuk hamil berhasil dan Burhanuddin menikahinya, setiap malam Burhanuddin pasti akan terus menerus mengaduk aduk memeknya dengan kontolnya yang perkasa itu.

"Begitu, ya..!" Gumam Latifah gelisah, cerita tentang kenikmatan seks sudah sering dia dengar dari guyonan ibu ibu sehingga dia beberapa kali mengintip kedua orang tuanya sedang melakukan hubungan intim, jujur sebagai manusia normal dia juga menginginkannya. Itu sunatullah, dan setiap insan akan mengalami cepat atau lambat. Tapi kehilangan keperawanan bukan oleh suami, ah itu sangat mengerikan dan Latifah tidak berani membayangkannya.

"Iya, sepertinya aku harus mencoba lagi biar usahaku hamil berhasil." Gumam Zaenab, dia harus memikirkan cara untuk memancing Burhanuddin melakukannya lagi. Siapa tahu pada percobaan ke tiga, dia berhasil hamil. Dia tidak akan pernah menyerah untuk terus mencobanya, sampai dia hamil.

"Nab, sini..!" Suara Ning Sarah membuyarkan percakapan mereka, dari kejauhan Ning Sarah melambaikan tangan memanggil Zaenab. Dia tidak menghampiri ke dua sahabatnya karena masih jengkel pada Latifah yang sudah berani ikut campur dengan urusannya, berusaha membujuk untuk membatalkan niatnya meneruskan kuliah ke Mesir. Walau Latifah melakukannya atas permintaan Nyai Aisyah, tetap saja Ning Sarah tidak bisa menerimanya.

Zaenab dan Latifah berlari kecil mendatangi Ning Sarah, mereka tidak berani berleha-leha memenuhi panggilan Ning Sarah. Sebagai sahabat juga sebagai santriwati dalem, mereka memang bisa diandalkan. Itu sebabnya Nyai Aisyah sangat menyayangi ke dua orang sahabat itu, bahkan Ning Sarah sudah menganggap ke dua sahabat itu seperti saudaranya sendiri.

"Aku cuma manggil Zaenab, kamu nggak perlu ikut !" Seru Ning Sarah ketus, Latifah seperti duri dalam daging yang membuatnya tidak nyaman terlebih sejak rencana kepergiannya ke Mesir. Latifah terus menerus berusaha membujuknya untuk membatalkan rencana ke Mesir, Latifah bukan lagi sahabat yang asik. Dia seperti sengaja disusupkan oleh ibunya Nyai Aisyah untuk terus menerus mengawasinya, membujuknya untuk membatalkan rencana keberangkatannya yang tinggal menghitung Minggu.

"Ya sudah, Ning." Latifah mengangguk, dia tahu Ning Sarah sedang jengkel kepadanya karena dianggap terlalu ikut campur. Tapi dia juga tidak berani menolak perintah Nyai Aisyah, seharusnya Ning Sarah mengerti hal itu.

Ning Sarah menggandeng tangan Zaenab meninggalkan Latifah yang hanya bisa memandang kepergian dua sahabatnya itu hingga hilang dari pandangan matanya, Latifah kembali ke tempatnya duduk. Mungkin dengan menyendiri pikirannya bisa lebih tenang, dari pada harus mendengar ocehan Zaenab yang kekanakan.

"Fah, mau apa Ning Sarah manggil Zaenab?" Tanya Burhanuddin mengagetkan Latifah, sejak kapan pria yang menjadi sumber masalah itu ada di belakangnya tanpa dia tahu kehadirannya.

"Dari kapan kamu di sini, kamu pasti sengaja nguping?" Tanya Latifah, curiga. Sejak kedatangannya, pemuda ini sudah menjadi sumber kekacauan di pondok tanpa disadarinya.

"Aku tadi lihat Ning Sarah manggil Zaenab, makanya aku tanya kamu." Jawab Burhanuddin, dia tidak berusaha membantah tuduhan Latifah. Biarlah Latifah menduga seperti itu, sehingga Latifah tidak akan berdusta karena dia akan menganggap Burhanuddin sudah mengetahuinya.

"Mau apa, kamu?" Tanya Latifah terkejut melihat Burhanuddin duduk di sebelahnya, refleks dia menggeser duduknya menjauh. Untung bangku panjang ini lumayan panjang dan bisa menampung empat orang, Latifah merasa gugup harus duduk bersebelahan dengan seorang pria walaupun mereka pernah melewati waktu berdua selama mencari Zaenab. Dadanya berdebar kencang, pemuda ini terlalu menarik untuk diabaikan.

"Ngobrol aja, mau apa ya Ning Sarah manggil Zaenab?" Gumam Burhanudin seakan ditujukkan untuk dirinya sendiri.

"Kamu tanyakan langsung ke Zaenab, dia kan pacar kamu." Latifah menunduk gelisah, setiap kali berdekatan dengan pemuda ini selalu membuatnya berdebar-debar aneh.

"Aku dan Zaenab nggak pacaran, kamu tahu itu." Burhanuddin memandang Latifah heran, kenapa gadis ini menganggapya berpacaran dengan Zaenab.

"Bohong, buktinya kamu begituan dengan Zaenab..!" Sangkal Latifah marah, kenapa Burhanuddin menyangkal Zaenab sebagai pacarnya padahal dia sudah berhasil mendapatkan perawan Zaenab.

"Begituan, apa?" Burhanuddin menatap Latifah, harus diakuinya kecantikan Latifah tidak kalah dengan Ning Sarah dan Ning Ishma. Dia lebih tertarik membandingkan kecantikan Latifah dari pada memikirkan perkataan Latifah tentang Zaenab, masalah Zaenab tidak terlalu mengusik pikirannya.

"Kamu yang sudah dapet perawannya Zaenab, seharusnya kamu bertanggung jawab." Jawab Latifah jengkel.

"Itukan atas kemauan Zaenab, dia nggak mau perawannya diberikan ke tua Bangka itu. Aku nggak salah, dan yang kedua juga karena saranmu yang tidak masuk akal sehingga Zaenab mengajakku ngentot." Jawab Burhanuddin tanpa merasa bersalah.

"Iya, tapi kamu berjanji akan menikahi Zaenab kalau dia hamil." Latifah merasa jengah, memang atas sarannya Zaenab mengajak Burhanuddin berhubungan sex agar hamil.

"Memangnya Zaenab sudah, hamil?" Wajah Burhanuddin langsung pucat, bagaimana kalau benar Zaenab hamil olehnya?

"Belum, tapi pasti akan hamil kalau kamu...!" Latifah tidak meneruskan perkataannya, terlalu kasar dan tidak pantas mengucapkan kalimat berbau porno.

"Oh, mudah mudahan nggak hamil." Jawab Burhanuddin lega, dia belum siap kalau harus menikah di usia 19 tahun. Usia yang masih terlalu muda, entah apa yang akan dikatakan ke dua orang tuanya kalau hal itu terjadi.

Plak, sebuah tamparan keras menghantam wajah Burhanuddin. Panas, membuat Burhanuddin terpaku bingung kenapa Latifah menampar wajahnya.

"Kurang ajar, kamu...!" Seru Latifah murka, dia tidak menyangka Burhanuddin seculas itu.

"Salahku apa, Fah?" Burhanuddin menatap Latifah yang berdiri dengan bertolak pinggang, matanya melotot mengerikan. Ternyata gadis secantik Latifah bisa marah tanpa alasan yang jelas, tangannya sama berbahayanya dengan lidahnya.

"Bahlul, jangan pura-pura tidak tahu." Jawab Latifah ketus, dia tidak terima sahabatnya Zaenab dipermainkan.

"Ada Nyai Aisyah..!" Seru Burhanuddin menahan diri, dari arah belakang Latifah dia melihat Nyai Aisyah berjalan ke arah mereka.

Refleks Latifah berbalik, benar Nyai Aisyah sedang berjalan ke arah mereka. Aneh, bukankah nyai Aisyah akan bertakziah ke rumah Nyai Fathimah yang sedang sakit'? Kenapa dia masih ada di sini, bahkan seperti sengaja menemui mereka.

"Assalam mu'alaikum..!" Nyai Aisyah mengucapkan salam, memecah ketegangan yang sedang terjadi antara Burhanuddin dan Latifah.

"Wa wa'alaikum salam, Nyai..!" Jawab Burhanuddin dan Latifah berbarengan. Hati mereka berdebar kencang, ada keperluan apa Nyai Aisyah datang.

"Kenapa kalian berduaan di tempat seperti ini, bukankah sesuatu yang mendekati zina itu dilarang?" Tanya Nyai Aisyah ketus, dia tidak bisa menahan kecemburuannya melihat Burhanuddin berduaan dengan Latifah sehingga dia harus menunda keberangkatan untuk bertakziah.

"Kami hanya ngobrol sebentar, Nyai..!" Jawab Latifah menunduk, dia tidak tahu harus berkata apa di hadapan Nyai Aisyah.

"Sudah, pergi kamu ke sana." Nyai Aisyah berkata ketus, dia harus menunjukkan wibawanya di hadapan para santri dan santriwati.

Latifah meninggalkan Nyai Aisyah dengan wajah menunduk, kecurigaannya semakin besar, ada sesuatu antara Nyai Aisyah dan Burhanuddin. Biarlah, dia akan menyelidikinya nanti.

"Saya juga pamit, Nyai .!" Burhanuddin meminta ijin, berduaan dengan Nyai Aisyah di tempat umum membuatnya gelisah.

"Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu Din, tapi nanti saja setelah aku selesai bertakziah ke rumah Nyai Fathimah." Nyai Aisyah menyentuh pergelangan tangan Burhanuddin tanpa disadarinya, begitu menyadari apa yang dilakukannya Nyai Aisyah segera melepaskan pergelangan tangan Burhanuddin. Ah,apa yang sudah dilakukannya. Wajah Nyai Aisyah bersemu merah, semakin lama berdekatan dengan Burhanuddin akan membuatnya lupa diri.

Tanpa bersuara, Nyai Aisyah meninggalkan Burhanuddin. Namun dia kembali berbalik setelah ingat tujuannya mencari Burhanuddin, dan dia kembali ragu mengutarakan tujuannya saat saling bertatapan dengan Burhanuddin.

"Ada apa lagi, Nyai?" Tanya Burhanuddin memecah kebuntuan di antara mereka.

"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan Ning Ishma, Din?" Nyai Aisyah hanya bisa memaki kebodohannya, kenapa dia justru menanyakan hal lain? Padahal, dia ingin Burhanuddin menjemputnya di suatu tempat setelah selesai bertakziah, banyak hal yang ingin diceritakannya kepada pemuda itu terutama tentang hari harinya yang akan bertambah sepi setelah kepergian Ning Sarah ke Mesir.

"Saya lupa Nyai, kenapa tidak ditanyakan langsung kepada Ning Ishma?" Burhanuddin menatap heran, wajah Nyai Aisyah yang bersemu merah terlihat semakin cantik seperti wajah ABG yang malu malu kucing.

"Ya sudah, nanti akan aku tanyakan ke Ning Ishma. Oh ya, maukah kamu menjemputku di xxx, tidak jauh dari pondok pesantren Mbah Yai Maimun.?" Nyai Aisyah menarik nafas lega, akhirnya dia berhasil menyampaikan niatnya.

"Enggeh, Nyai.!" Burhanuddin menjawab heran, kenapa dia harus menjemput Nyai Aisyah? Setahu dia, Nyai Aisyah dan Ning Ishma akan naik mobil milik Mbah Yai Nafi'. Dia sudah terlanjur berjanji, terpaksa dia akan menjemput Nyai Aisyah nanti.

----XXX----​

Burhanuddin melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah hampir 30 menit dia menunggu Nyai Aisyah namun yang ditunggu belum juga datang. Terpaksa dia harus bersabar, menunggu bidadari secantik itu berapa lama waktu yang dilaluinya akan terbayar lunas setelah mereka bertemu memadu kasih. Senyum di bibir Burhanuddin mengembang tanpa disadarinya, keindahan tubuh Nyai Aisyah tidak akan kalah dengan keindahan tubuh wanita belia.

Sebuah tepukan lembut menyentuh pundak Burhanuddin, refleks dia menoleh dan melihat wanita bercadar sudah berdiri di sampingnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Nya Nyai...!" Seru Burhanuddin ragu, namun dari aroma parfum yang dipakainya sama dengan terakhir kali mereka bertemu. Keyakinannya bertambah saat wanita bercadar itu mengangguk, mengiyakan dugaannya.

Belum sempat Burhanuddin kembali bicara, wanita itu memegang pergelangan tangannya dan mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Terpaksa Burhanuddin mengikutinya, Nyai Aisyah pasti sedang menyamar agar tidak ada yang mengenalinya berduaan dengan seorang pemuda yang bukan muhrimnya untuk menghindari fitnah.

Hati Burhanuddin berdesir aneh, membayangkan sebentar lagi dia akan kembali bisa menikmati tubuh Nyai Aisyah seperti waktu itu. Sungguh beruntung hidupnya, tanpa perlu bersusah payah bisa menikmati kehangatan tubuh wanita wanita mulia yang dikarunia kecantikan seperti bidadari.

Nyai Aisyah semakin erat menggenggam pergelangan tangannya seakan dia tidak rela kehilangan Burhanuddin, langkahnya cepat dan lincah di antara lalu lalang manusia yang berseliweran di lorong lorong sempit pasar hingga akhirnya mereka sampai di tempat parkir kendaraan beroda dua. Tanpa bicara, wanita itu segera naik ke atas motor dan menyalakannya, dia memberi isyarat agar Burhanuddin naik ke boncengan.

"Biar saya yang bawa, Nyai..!" Seru Burhanuddin merasa risih kalau harus dibonceng seorang wanita, namun Nyai Aisyah hanya menggelengkan kepala dan memberi isyarat agar Burhanuddin naik ke atas boncengannya. Terpaksa Burhanuddin naik dan belum sempat posisinya nyaman, Nyai Aisyah menarik ga membuat Burhanuddin nyaris terjengkang kalau saja tangannya tidak sigap memeluk pinggang Nyai Aisyah.

"Hati hati, Nyai..!" Seru Burhanuddin di antara bisingnya suara mesin motor, Nyai Aisyah sama sekali tidak menggubris peringatan Burhanuddin. Dia semakin kencang memacu motornya, menyelinap di antara padatnya kendaraan. Ternyata dibalik sifatnya yang anggun dan lembut, Nyai Aisyah mempunyai sisi lain yang baru diketahuinya sekarang.

Nyai Aisyah membawa motornya ke jalan kecil yang belum diaspal membelah perkebunan tebu hingga akhirnya menghentikan motornya di sebuah rumah kayu yang terletak di tengah perkebunan tebu yang luas, ada beberapa pohon rindang di sekitar pekarangan rumah sehingga membuat suasana terasa lebih sejuk namun sekaligus mengerikan saat malam hari tiba.

Tanpa bicara, Nyai Aisyah masuk ke dalam rumah yang sepertinya digunakan oleh para petani untuk beristirahat. Rumah ini hanya terdiri dari satu ruangan besar dan ada sebuah bale bale serta beberapa kursi kayu yang masih cukup bagus kondisinya, tempatnya pun terlihat bersih.

"Nyai, ada apa sebenarnya?" Tanya Burhanuddin, dia menatap punggung Nyai Aisyah yang membelakanginya. Tapi Nyai Aisyah tetap membisu membuat Burhanuddin gelisah, di tempat ini seharusnya Nyai Aisyah tidak perlu lagi terus menerus membisu.

Nyai Aisyah berbalik menghadap Burhanuddin, cadar di wajahnya masih terpakai. Burhanuddin menatapnya ragu, sepertinya dia bukan Nyai Aisyah seperti dugaannya. Kalau wanita bercadar itu Nyai Aisyah, buat apa dia menunjukkan sikap aneh? Belum ada satu katapun yang keluar dari wanita bercadar itu, seakan sengaja menyembunyikan suaranya agar tidak dikenali.

"Siapa sebenarnya kamu, apa maksudmu membawaku ke sini?" Tanya Burhanuddin mulai gelisah, dia melihat ke arah pintu yang baru saja dimasukinya.

"Kamu bertanya, aku siapa?" Tanya wanita bercadar itu dengan suara ketus membuat kedua lutut Burhanuddin menjadi lemas, dia sangat mengenal suara wanita bercadar itu.

"Ka, kamu?" Tanya Burhanuddin, suaranya tercekat, ini jauh dari perkiraannya. Rasanya tidak masuk akal wanita bercadar ini mengajaknya ke sini, untuk apa?

"Ya, aku..!" Jawab wanita bercadar itu segera menanggalkan cadarnya, dan wajah Ning Sarah yang bersemu merah menahan marah menatap wajah Burhanuddin tajam. Pria ini harus diberikan pelajaran, berani menodai ibu kandungnya.

Kembali bayang bayang paling memuakkan tergambar jelas di ingatan Ning Sarah, saat dia mendatangi rumah Ning Ishma dan tidak ada seorangpun yang menjawab ucapan salamnya membuat Ning Sarah berjalan ke dapur, mungkin Ning Ishma sedang sibuk di dapur sehingga tidak mendengar ucapan salamnya. Hal itu sudah biasa terjadi, sudah sering Ning Sarah masuk lewat pintu dapur saat salamnya tidak dijawab.

Ning Sarah terpaku saat melewati kamar Burhanuddin, suara erangan dan desisan aneh terdengar dari balik dinding kayu jati. Ning Sarah menempelkan telinganya berusaha mendengar lebih jelas, tidak salah lagi suara Ning Ishma yang menjerit kecil seperti mendapatkan kenikmatan yang tiada tara.

"Akkku nggak kuat, sayang. Akkku kelllllluaarrrrr...!" Teriak Ning Ishma histeris, dinding kayu jati tidak mampu meredam suaranya.

Ning Sarah terpaku, dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar adalah sesuatu yang sangat memuakkan. Mereka sedang berzina, Ning Sarah hanya bisa menahan kemarahannya sekuat tenaga. Setelah dia berhasil mengendalikan diri, Ning Sarah berniat meninggalkan tempat itu namun niatnya terhenti saat mendengar suara ibunya.

"Ohhh, masukkk..! Suara Nyai Aisyah membuat Ning Sarah jatuh terduduk, ternyata bukan hanya Ning Ishma yang terjerumus dalam lembah nista, bahkan ibu yang selama ini dia jadikan panutan pun ternyata terlibat di dalamnya.

Ning Sarah menahan tangisnya agar tidak mengeluarkan suara sehingga ke tiga manusia bejad itu menyadari kehadirannya. Dengan bersusah payah, Ning Sarah berusaha berdiri dengan berpegangan pada dinding kayu jati, ketiga insan yang berada di dalam kamar terlalu asyik dengan urusannya sehingga tidak mendengar suara yang timbul saat Ning Sarah hampir terjatuh menimpa dinding kayu jati.

"Ohhh, ennnak kontol kamu, Din ngaduk aduk memekku... Ohhh ahhhh..!" Seru Nyai Aisyah menghantam telinga Ning Sarah, membuat gadis itu tidak bisa menahan isyak tangisnya.

Yaa Allah, salah apa dirinya sehingga harus menjadi saksi perbuatan nista ibunya. Hatinya hancur, wanita yang selama ini begitu disayangi, dihormati dan juga ditiru tingkah lakunya ternyata lebih nista dari pada seorang pelacur yang menjajakan diri hanya demi sesuap nasi. Ning Sarah menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan semua kekauatan yang tersisa untuk bisa meninggalkan tempat laknat ini.


"Ada keperluan apa, Ning?" Tanya Burhanuddin dengan jantung berdebar kencang, baru saja dia memeluk pinggang ramping wanita yang selalu hadir dalam setiap mimpinya, kenapa dia sekarang justru mengajaknya ke tempat ini jauh dari pemukiman penduduk bahkan nyaris mustahil ada manusia lain di antara rimbunan batang tebu.

"Aku hanya ingin memberimu kejutan, sebuah hadiah yang tidak akan kamu lupakan seumur hidup." Jawab Ning Sarah berusaha mengabaikan perasaan hatinya yang tercabik-cabik, ibu yang sangat dimuliakan oleh ternyata bisa berlaku sangat rendah seperti seorang pelacur.

"Sebuah kejutan, kejutan apa?" Tanya Burhanuddin dengan jantung semakin cepat bergerak memompa aliran darahnya, sehingga dia merasa tidak menginjak bumi. Sebuah kejutan apa lagi yang akan diterimanya setelah kejutan demi kejutan nyaris membuatnya tidak percaya, dimulai dari Ning Ishma yang berhasil merobek-robek keperjakaannya, lalu Zaenab yang secara sukarela menyerahkan keperawanannya dan juga Nyai Aisyah wanita tercantik yang pernah ditemuinya walau usianya tidak bisa dikatakan muda, namun wajah dan tubuhnya tidak akan kalah dengan kemudaan yang dimiliki anaknya. Nyai Aisyah seperti terkena kutuk yang membuatnya tidak akan pernah menjadi tua, kalau saja ada orang yang tidak mengenalnya melihat Nyai Aisyah berjalan dengan Ning Sarah, mereka akan menduga Nyai Aisyah dan Ning Sarah adalah dua orang sahabat.

"Hanya sebuah kejutan kecil, seperti yang pernah kau dapatkan dari Ning Ishma dan Zaenab, " jawab Ning Sarah tidak berani menyebutkan nama Nyai Aisyah, karena itu hanya akan semakin membuatnya terluka.

"Dari tadi hanya itu yang kamu ucapkan, katakan kejutan apa yang akan aku terima?" Burhanuddin menatap Ning Sarah dengan penuh gairah, apakah kejutan kecil itu adalah menikmati tubuh Ning Sarah?

"Buka bajumu, ingat tidak boleh ada kain yang menempel di kulitmu!" Jawab Ning Sarah, dia berhasil mengendalikan dirinya, rencana yang sudah disusunnya harus segera dilaksanakan hari ini juga.

"Ma, maksudmu?" Tanya Burhanuddin terkejut, dia memang sudah menduga kejutan kecil yang dikatakan Ning Sarah seperti ini, tapi tidak secepat ini tanpa basa basi atau pemanasan.

"Kamu tidak dengar apa yang aku katakan tadi, atau kamu tuli ?" Tanya Ning Sarah ketus, dia ingin semua urusannya cepat selesai, semakin cepat akan semakin baik.

"Eh, i iyyya, Ning..!" Burhanuddin menjawab gugup, dengan tergesa gesa dia segera membuka seluruh pakaiannya. Kontolnya sudah ngaceng maksimal membayangkan sebentar lagi dia akan menikmati tubuh Ning Sarah.

"Cepat rebahan di bale bale, kita cuma punya waktu satu jam sebelum para petani datang ke tempat ini.!" Seru Ning Sarah, dia melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Iyya Ning, jangan lama lama." Jawab Burhanuddin, dia sendiri sudah tidak tahan untuk segera membenamkan kontolnya ke dalam memek Ning Sarah. Burhanuddin merebahkan tubuhnya di atas bale bale kayu yang terlihat bersih, kalaupun kotor dia tetap tidak peduli.

Melihat Burhanuddin sudah terlentang pasrah, Ning Sarah segera naik ke atas ranjang dan berjongkok di atas tubuh Burhanuddin yang terlentang dengan perasaan tidak sabar. Tangannya menepiskan tangan Burhanuddin yang akan menjamah payudaranya.

"Diam, jangan coba coba memegang tubuhku. Aku akan mengikat tanganmu, biar kamu tidak memegang tubuhku." Ning Sarah mengambil tali yang sejak tadi sudah diikatkan di setiap sudut bale bale.

"Apa yang mau kamu lakukan, Ning!" Seru Burhanuddin kaget saat Ning Sarah berusaha mengikat pergelangan tangan kirinya.

"Dia, kamu tidak mau nyobain vaginaku?" Tanya Ning Sarah dengan wajah terasa panas saat mengucapkan bagian paling intim tubuhnya.

"I iya..!" Seru Burhanuddin, mungkin Ning Sarah mempunyai kelainan sehingga mengikat tangannya.

Burhanuddin tidak pernah melepaskan pandangan matanya saat tubuh Ning Sarah yang duduk di perutnya agak membungkuk saat mengikat pergelangan tangannya. Ning Sarah akhirnya berhasil mengikat kedua pergelangan tangan Burhanuddin ke setiap sisi berlawanan bale bale kayu. Gadis cantik itu beringsut ke kaki Burhanuddin dan kembali mengikat pergelangan kaki Burhanuddin seperti yang dilakukan pada tangan.

""Kok kakinya juga, Ning?" Tanya Burhanuddin heran, dia memandang pinggul Ning Sarah yang membelakanginya dan duduk di atas pahanya.

"Sudah, jangan banyak omong." Jawab Ning Sarah ketus, dia berhasil mengikat pergelangan kaki Burhanuddin tanpa perlawanan. Ning Sarah kemudian turun, dia memandang tubuh Burhanuddin yang kedua tangan dan kakinya terikat kuat pada setiap sisi bale bale kayu dan dia tersenyum puas dengan hasil pekerjaannya.

"Ning, kamu mau ke mana?" Tanya Burhanuddin panik saat melihat Ning Sarah ke luar meninggalkannya yang terikat di atas bale bale dalam keadaan bugil, namun Ning Sarah tidak menyahut. Tidak lama kemudian, Burhanuddin mendengar suara mesin motor dihidupkan, Burhanuddin berteriak memanggil Ning Sarah.

Bersambung​

Keren huu pembalasan ning Sarah :cool::cool::cool:
 
Ning Sarah mau ngejebak Udin supaya petani ngeliat Udin telanjang, entah bakal gimana nih kelanjutnya. Apakah jangan-jangan sepak terjang Udin akan berakhir? Atau nanti Udin akan dibela oleh wanita-wanitanya saat akan di deportasi dari pesantren? :tepuktangan::tepuktangan:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd