Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 7​



Ning Sarah memacu motornya meninggalkan Nyai Aisyah dan Burhanuddin yang sedang asyik berduaan di atas becak dengan kemarahan yang nyaris tidak mampu ditahannya, keinginannya untuk mencaci Ibunya dan Burhanuddin berusaha ditahannya. Tidak mungkin dia mempermalukan ibunya di muka umum, sama saja dia membuka aib ayahnya dan juga dirinya sendiri. Meninggalkan ke dua mahluk bejad itu, mungkin adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Ning Sarah menghentikan motornya di tepi setelah jauh meninggalkan Nyai Aisyah dan Burhanuddin, kemarahannya mulai reda dan membuatnya bisa berpikir lebih jernih. Tolol, kenapa dia justru lari meninggalkan kedua insan yang sedang dimabuk syahwat, seharusnya dia mengikutinya dari kejauhan untuk memastikan tujuan mereka dan menangkap basah yang akan mereka lakukan. Tanpa berpikir panjang, Ning Sarah kembali menuju tempat di mana dia sudah meninggalkan mereka, kepadatan kendaraan membuatnya tertahan beberapa kali hingga akhirnya dia sampai tempat pertama meninggalkan Nyai Aisyah dan Burhanuddin. Hatinya mengeluh kecewa, Nyai Aisyah sudah tidak terlihat lagi.

----XXX----​

Nyai Aisyah hanya menatap kepergian Ning Sarah dari kejauhan dengan pikiran kosong, jiwanya terguncang dengan kehadiran anaknya yang tiba-tiba. Nyai Aisyah tidak sadar saat Burhanuddin mengelus punggung tangannya, sementara becak kembali berjalan perlahan menuju penginapan Arjuna. Pikiran

"Ais...!" Bisik Burhanuddin berhasil mengembalikan kesadaran Nyai Aisyah, mereka saling bertatapan mengutarakan perasaan tanpa sepatah katapun.

"Iya, ada apa Habibi?" Tanya Nyai Aisyah setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Ning Sarah tidak akan mengenalinya jadi dia tidak perlu ketakutan seperti ini.

"Sebaiknya kita pulang, berbahaya kalau kita melanjutkan tujuan kita." Bisik Burhanuddin, dia takut suaranya akan terdengar oleh tukang becak yang sedang mengayuh.

"Tidak, Ning Sarah tidak akan mengenaliku." Jawab Nyai Aisyah, dia ingin menikmati gairah pubertasnya.

"Bagaimana dengan, saya?" Tanya Burhanuddin gelisah, urusannya dengan Ning Sarah belumlah selesai. Sepertinya Ning Sarah akan terus berusaha mengintai ke manapun dia pergi, mencari tahu wanita yang saat ini berada di sisinya dan itu akan sangat berbahaya kalau dia tahu wanita ini adalah Nyai Aisyah. Entah kegilaan apa lagi yang akan diperbuat Ning Sarah, dia sendiri ngeri membayangkannya.

"Mungkin dia akan menyangka aku adalah Ning Ishma, kamu tidak perlu khawatir." Jawab Nyai Aisyah yakin, dia memeluk tangan Burhanuddin manja.

"Mungkin..!" Jawab Burhanuddin putus asa, dia tidak berdaya menolak keinginan Nyai Aisyah.

Becak yang mereka tumpangi masuk ke pekarangan sebuah rumah penginapan sederhana, berhenti tepat di lobi penginapan. Nyai Aisyah turun lebih dulu dengan perasaan tidak sabar, dia ingin segera menuntaskan hasratnya yang menggebu gebu, merenggut sari madu asmara yang selama ini terasa hambar saat berduaan dengan Mbah Yai Nafi'.

"Ayo, kenapa kamu bengong?" Tanya Nyai Aisyah heran, dengan rasa tidak sabar dia menarik tangan Burhanuddin agar segera turun atau orang lain akan menatap mereka curiga.

Terpaksa Burhanuddin turun dari becak, matanya berkeliling memperhatikan ke luar pekarangan penginapan dan dia bisa menarik nafas lega tidak melihat Ning Sarah mengikutinya.

"Ayok..!" Nyai Aisyah menggandeng tangan Burhanuddin masuk ke dalam penginapan, ini pengalaman pertama yang membuatnya sangat bergairah.

"Becaknya?" Tanya Burhanuddin tersadar, dia menatap mata Nyai Aisyah yang berbinar indah.

"Sudah kubayar, jangan khawatir." Jawab Nyai Aisyah mengerti arah pertanyaan Burhanuddin, dia menggandeng tangan Burhanuddin layaknya sepasang kekasih memasuki penginapan menuju resepsionis yang menyambut kedatangan mereka dengan senyum dibuat seramah mungkin. Resepsionis itu sudah terbiasa menghadapi sepasang tamu yang jelas tidak terikat pernikahan resmi, kedatangan mereka hanya sekedar mengumbar syahwat lalu pergi setelah hasrat mereka tersalurkan.

Tanpa proses berbelit-belit apa lagi sampai menanyakan buku nikah, resepsionis itu hanya meminta KTP Burhanuddin sebagai jaminan dan lalu menyerahkan kunci kamar yang gantungannya terbuat dari kayu yang tertulis nomer kamar yang akan mereka tempati. Nyai Aisyah menarik tangan Burhanuddin setelah menerima kunci dengan tangan gemetar, dia ingin secepatnya masuk kamar dan membuka cadar yang membuat wajahnya berkeringat. Langkah kakinya seperti melayang saat berjalan melewati lorong panjang penginapan yang kiri kanannya terdapat pintu pintu kamar yang tertutup, matanya menatap setiap pintu dengan perasaan ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam.

"Nyai, yang ini kan kamarnya?" Tanya Burhanuddin lembut, langkahnya berhenti di depan pintu kamar yang tertutup. Dia tidak bisa langsung membukanya, kunci masih dipegang Nyai Aisyah.

"Iya..!" Jawab Nyai Aisyah dengan suara bergetar, jantungnya semakin cepat berdetak membuat nafasnya tersengal sengal. Nyai Aisyah memasukkan anak kunci ke dalam lobang kunci, tangannya yang gemetar membuatnya kesulitan bahkan beberapa kali anak kunci itu meleset dari lubangnya.

"Kok susah amat, Bi..!" Gumam Nyai Aisyah menggigit bibirnya yang basah alami, dia menatap malu ke arah Burhanuddin yang tersenyum geli melihat tingkahnya yang seperti seorang gadis remaja.

"Tangan kamu gemetar, jadi susah masuk." Bisik Burhanuddin mengambil anak kunci dari tangan Nyai Aisyah, dengan mudah Burhanuddin membuka pintu.

"Iya..!" Gumam Nyai Aisyah tertawa kecil, kenapa dia seperti remaja belasan tahun yang merasa serba canggung berduaan dengan pujaan hatinya. Nyai Aisyah mendahului Burhanuddin masuk ke dalam kamar dengan spring bed lebar di tengahnya, ada dua kursi mengapit meja di pojok kiri menempel pada tembok dingin. Nyai Aisyah mengambil remote control AC yang tergeletak di meja dan mengatur suhu ruangan agar menjadi lebih sejuk.

Burhanuddin menyusul masuk, memeluk Nyai Aisyah dari belakang dengan bergairah. Gairah yang berusaha ditahannya sejak pertama kali mereka bertemu, atau bisa dikatakan gairah itu sudah membakar jiwanya sejak dia diperkosa dua wanita petani dengan tangan terikat. Burhanuddin ingin membalas perbuatan para wanita petani itu pada Nyai Aisyah, mengembalikan harga dirinya karena perkosaan itu.

"Nakal..!" Nyai Aisyah mendesis lirih saat Burhanuddin menciumi lehernya yang tersembunyi di balik lebar yang dikenakannya, tangannya mencubit tangan Burhanuddin yang melingkar di pinggangnya yang ramping. Tubuhnya semakin menggelinjang tanpa bisa dicegah, matanya terpejam menikmati sensasi yang membuat bulu kuduknya merinding. Ya Allah senikmat inikah buah khuldi yang sudah melemparkan Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari Surga, senikmat inikah syahwat yang sudah menelanjangi kehormatannya yang selama ini dijaga dengan bersusah payah.

Nyai Aisyah hanya bisa menggigit bibirnya saat tangan Burhanuddin merambah payudaranya yang membusung indah, meremas gundukan lunak yang pernah menjadi sumber kehidupan Ning Sarah hingga berusia dua tahun.

"Nikmat, Ais..?" Bisik Burhanuddin semakin nakal meremas payudara yang masih bersembunyi di balik gamis lebarnya, namun kehangatannya mampu menyentuh relung syahwat purba yang selama ini bersembunyi di dasar terdalam jiwa Nyai Aisyah.

"Lakukan Habibi, akulah kekasihmu..!" Nyai Aisyah mendesah lirih, tangannya menanggalkan cadar yang menyembunyikan wajahnya dari orang yang bisa saja mengenalnya. Cadar sudah berhasil menyembunyikan identitas dirinya namun tidak berhasil menyembunyikan syahwat yang bergejolak membakar jiwanya.

Nyai Aisyah membalikkan tubuhnya sehingga mereka saling berhadapan, beberapa saat dua pasang mata yang terbakar birahi saling bertatapan. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan di tempat ini, hanya ada mereka berdua dan syetan yang sedang menabuh genderang mengiringi tarian birahi dua insan berlainan jenis dan dari dua generasi yang berbeda. Entah siapa yang memulai, bibir mereka mulai bertautan, saling pagut dengan bernafsu. Lidah mereka bertemu di rongga mulut Nyai Aisyah yang tanpa merasa jijik menelan air liur Burhanuddin yang masuk.

Nyai Aisyah terus mempertahankan bibir Burhanuddin, menghisap lidahnya yang bergerak liar menggelitik lidahnya. Tangannya memeluk erat leher pemuda yang membuatnya jatuh hati, dia berusaha bertahan merapatkan tubuh sintalnya dengan cuma cuma. Gairahnya semakin bergejolak, melupakan semua urusannya yang selama beberapa hari membebani pikirannya. Bayang bayang Ning Sarah lenyap dalam sekejap, ada ataupun tiada anak terkasih sudah bukan lagi urusan yang perlu dipikirkan. Saat ini dia hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Burhanuddin, menikmati kejantanan pemuda tampan itu yang membuatnya menggapai surga dunia.

"Nyai..!" Burhanuddin menyerah, dia tidak bisa mengimbangi ciuman ganas Nyai Aisyah.

"Kenapa, Habibi?" Nyai Aisyah tersenyum lembut, matanya berbinar menatap wajah Burhanuddin.

Burhanuddin tidak menjawab, dia mengangkat tubuh Nyai Aisyah yang refleksi semakin erat memeluk lehernya agar tidak terjatuh. Perlahan Burhanuddin meletakkan tubuh Nyai Aisyah ke atas spring bed empuk yang sudah sejak tadi menanti kehadiran tubuh sintalnya. Burhanuddin menatap penuh nafsu wajah Nyai Aisyah yang tidak mau melepaskan pelukannya.

"Kenapa kamu memandangku seperti itu, Habibi?" Tanya Nyai Aisyah, wajahnya bersemu merah seperti remaja yang sedang dimabuk cinta. Peribahasa itu memang cocok menggambarkan perasaannya saat ini, seumur hidup dia belum pernah merasakan hal ini.

"Kamu cantik sekali, Ais..!" Jawab Burhanuddin pelan, dia ingin segera menelanjangi tubuh Nyai Aisyah namun keberaniannya tidak sebanding dengan hasratnya. Dia masih menunggu, Nyai Aisyah yang akan menelanjangi dirinya dengan sukarela.

"Gombal, kenapa kamu masih membiarkanku tetap berpakaian lengkap?" Tanya Nyai Aisyah, dia menggigit bibirnya menahan malu. Serendah itukah harga dirinya saat ini di hadapan pemuda seumuran anak gadisnya, dia tidak punya cukup keberanian menelanjangi dirinya sendiri.

"Boleh, Nyai?" Tanya Burhanuddin untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya, hatinya bersorak kegirangan mendengar ijin yang diberikan.

"Panggil aku, Ais..!" Nyai Aisyah mengingatkan, kenapa pemuda ini masih saja ragu untuk segera menelanjangi tubuhnya. Kenapa harus bertanya dan membuatnya meminta untuk ditelanjangi

"Ma, maaf Nyai eh Ais..!" Seru Burhanuddin, dia berusaha menarik ujung gamis panjang ke atas. Namun dia mengalami kesulitan saat bagian leher gamis tidak bisa melewati kepala Nyai Aisyah, dia menyerah mendengar Nyai Aisyah tertawa geli dari balik gamis yang menutupi kepalanya.

"Susah, Is..!" Seru Burhanuddin putus asa, dia tidak pernah belajar dari pengalaman saat melepaskan gamis Ning Ishma yang selalu mempunyai resleting di bagian punggung.

"Buka dulu resletingnya, Habibi..!" Jawab Nyai Aisyah duduk membelakangi Burhanuddin dan membuka jilbab lebar yang dikenakannya sehingga pemuda itu bisa melihat resleting yang memanjang dari tengkuk hingga punggung. Dengan perasaan tidak sabar Burhanuddin menarik resleting hingga mencapai ujungnya, dia berdecak kagum melihat kulit punggung Nyai Aisyah yang halus.

"Habibi, kamu sedang apa?" Tanya Nyai Aisyah heran, resleting bajunya sudah terbuka namun Burhanuddin tidak segera menanggalkan bajunya.

Burhanuddin tertawa kecil, dia terpesona oleh keindahan kulit punggung Nyai Aisyah sehingga lupa untuk menanggalkan baju gamisnya. Padahal di balik baju gamis itu, ada pemandangan lebih indah lagi yang akan membuatnya melupakan semua urusannya di dunia ini. Burhanuddin mengangkat baju gamis Nyai Aisyah dan mengeluarkannya lewat kepala dengan mudah, sehingga keindahan tubuh Nyai Aisyah terpampang jelas dan satu satunya yang masih menempel hanyalah pakaian dalamnya yang berwarna senada.

"Ais, indah sekali..!" Puji Burhanuddin jujur, jemarinya menyentuh kulit punggung Nyai Aisyah yang masih membelakanginya.

"Kamu nakal Habibi, indah mana punggungku dengan payudara ku?" Tanya Nyai Aisyah membalikkan tubuhnya sehingga mereka saling bertatapan, wajahnya yang cantik bersemu merah terbakar birahi. Nyai Aisyah merasa dirinya mulai nakal saat membusungkan dadanya sehingga terlihat semakin membesar dari ukuran sebenarnya, ukuran payudaranya memang cukup besar sehingga dia harus mengenakan bra ber cup C.

Mendapatkan tantangan di depan mata, Burhanuddin kehilangan kendali atas dirinya, diraihnya payudara yang masih terbungkus bra berwarna krem. Hangat dan lunak, kulit tangannya yang kasar bergesekan dengan kulit halus seperti kulit bayi.

Nyai Aisyah hanya pasrah, matanya terpejam saat Burhanuddin meremas lembut payudaranya. Rasa nikmat membuat bulu kuduknya merinding, Nyai Aisyah mendesah lirih tanpa disadarinya. Tubuhnya terhempas ke atas spring bed yang bergerak saat tubuhnya terlentang menunggu aksi Burhanuddin selanjutnya, dia ingin Burhanuddin segera menanggalkan bra dengan pengait di bagian depan, sengaja dia membeli bra seperti ini sebelum bertemu dengan Burhanuddin tadi...

"Ais, buka ya..!" Burhanuddin masih saja meminta ijin padahal Nyai Aisyah sudah mempersilahkan Burhanuddin untuk melakukan apapun yang diinginkannya, tidak perlu ijin yang hanya akan membuang waktu.

"Kenapa harus meminta ijin Habibi, tubuhku milikmu." Jawab Nyai Aisyah pasrah, dia sudah kehilangan kendali atas tubuhnya. Semuanya sudah menjadi milik syahwatnya, sehingga dia tidak lagi merasa dipermalukan saat harus bugil di hadapan seorang pemuda yang belum lama dikenalnya.

Mata Nyai Aisyah menatap Burhanuddin syahdu Burhanuddin yang sedang berusaha membuka pengait Bra nya dengan tangan gemetar, Nyai Aisyah hanya tertawa geli melihat keluguan Burhanuddin padahal dia sudah terbiasa membuka bra Ning Ishma. Tapi hal inilah yang membuat Nyai Aisyah jatuh hati pada Burhanuddin, di balik kepiawaiannya menaklukkan hasrat birahi wanita, dia tetap lugu dan penuh sopan santun

"Ahhhh... Remas pelan pelan, Habibi..!" Desah Nyai Aisyah saat tangan kasar Burhanuddin menyentuh gundukan payudaranya yang berkulit halus, telapak tangan Burhanuddin terasa panas dan hawa panas itu seperti merasuk masuk ke sel sel payudara dan memberinya perasaan indah yang hanya bisa dirasakan tanpa bisa dipahami artinya. Yang dia tahu saat ini dia merasa terbebas dari belenggu selama puluhan tahun hidupnya, terbang bebas mengarungi samudera syahwat yang liar.

Saat bibir Burhanuddin menghisap puting payudaranya dengan keras, Nyai Aisyah merasakan jiwanya seperti terbetot oleh sebuah kekuatan kasat mata, jiwanya terhisap pusaran indah mengarungi dunia asing yang penuh warna.

"Habibi, terussss bawa aku dalam balutan birahimu, hempaskan jiwaku dalam badai kenikmatan kontolmu...!" Nyai Aisyah mengeram, menjambak rambut Burhanuddin hingga wajah pemuda itu semakin terbenam dalam kehangatan payudaranya yang harum.

Seperti musafir yang mencari oase pelepasan dahaga, Burhanuddin semakin rakus menghisap puting payudara Nyai Aisyah mengharapkan setetes air yang akan menuntaskan dahaganya. Semakin dia menghisap, semakin penasaran karena payudara Nyai Aisyah sudah kering tidak menyisakan satu tetespun ASI.

Burhanuddin mulai bosan dengan payudara Nyai Aisyah, tangannya menjamah selangkangan Nyai Aisyah dan menemukan lembah sempit yang halus tanpa bulu, lembah yang mulai basah oleh cairan birahi. Jari telunjuknya menemukan tonjolan mungil di antara belahan itu, Burhanuddin tahu itu salah satu titik sensitif yang bisa membuat Nyai Aisyah orgasme berkali kali seperti yang sudah dipraktekkan pada Ning Ishma.

"Ahhhh, sssssss memekku kamu apain, Habibi...!" Jeritan kecil disertai tubuhnya yang menggelinjang seperti cacing kepanasan, mengiringi kenikmatan yang dirasakan oleh Nyai Aisyah.

Jari telunjuk Burhanuddin semakin liar mengocok memek Nyai Aisyah yang masih tersembunyi di balik celana dalamnya, tapi tidak mampu bersembunyi dari jamahan kurang ajar jemari Burhanuddin. Pemuda itu sudah semakin piawai mempermainkan birahi lawan jenisnya, terbukti dari kocokan jarinya pada lobang memeknya dan hisapan pada payudaranya yang tidak berhenti semakin menunjukkan kualitas pemuda itu sebagai pejantan tangguh.

Tubuh Nyai Aisyah terus menggeliat seperti cacing kepanasan, rasa nikmat semakin menguasai jiwa dan tubuhnya. Tapi sepertinya Burhanuddin tidak mau berhenti memberikan rasa nikmat itu, jemari Burhanuddin semakin gencar memompa memeknya sehingga cairannya berhamburan keluar membasahi sprei berwarna krem.

"Habibi, jilat memekku...!" Seru Nyai Aisyah, dia teringat dengan mimpinya saat Burhanuddin menjilati memeknya dengan rakus, kejadian itu seperti nyata bahkan masih bisa dirasakannya hingga kini. Dia ingin merasakannya di dunia nyata, saat lidah kasar Burhanuddin menyapu dinding memeknya, mempermainkan itilnya. Membayangkannya saja sudah bisa membuatnya orgasme, apa lagi merasakannya langsung.

Burhanuddin tersenyum bangga, dia berhasil menaklukkan wanita yang begitu terjaga kehormatannya tapi kini kehormatannya itu dicampakkan bagai barang tidak berarti. Burhanuddin menggeser tubuhnya di antara selangkangan Nyai Aisyah yang sudah terlebih dahulu melepaskan CD-NYA dan mencampakkannya ke atas lantai penginapan, benda itu sudah tidak lagi dibutuhkannya.

Burhanuddin terpana, keindahan memek Nyai Aisyah begitu memukau sehingga dia lupa dengan tugasnya menjilati memek yang hanya seperti garis sempit yang memanjang. Di antara lembah sempit itulah kenikmatan tersembunyi saat kontolnya masuk ke dalamnya, bergesekan dengan dinding memek yang licin dan lunak.

Nyai Aisyah melihat ke arah Burhanuddin setelah menunggu dengan perasaan tegang namun lidah Burhanuddin belum juga menyentuh memeknya. Nyai Aisyah merasa malu dan jengkel melihat Burhanuddin terpana melihat keindahan memeknya, namun juga merasa bangga dengan keindahan yang menjadi miliknya.

"Jangan dilihatin terus, jilatin Habibi...!" Seru Nyai Aisyah merasa aneh, kejadian ini seperti mengulangi mimpi yang pernah dialaminya. Tentu saja hal itu justru semakin menambah sensasi yang sedang dirasakannya, naik berkali kali lipat dari biasanya.

"Aaaaa, gitu Habibi, nikmati memekku sepuasmu..!" Seru Nyai Aisyah berteriak lega saat lidah kasar Burhanuddin menyentuh itilnya, matanya seperti melihat ribuan cahaya yang berpendar indah. Nyai Aisyah memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan kasar lidah Burhanuddin. Tubuhnya menggeliat tanpa disadari, pinggulnya terangkat menyambut lidah Burhanuddin sehingga semakin menusuk lubang sempit memeknya ditambah Burhanuddin sengaja membuka belahan memeknya dengan jarinya.

"Awwww, ini nikmat...!" Nyai Aisyah menjerit tidak mampu mengendalikan diri selain menjambak rambut Burhanuddin, orgasmenya datang seperti gelombang besar yang menyeret jiwanya dalam gelombang kenikmatan yang datang bertubi tubi sehingga dia tidak berdaya, seluruh kekuatannya seperti hilang saat gelombang orgasme itu lenyap. Hanya tersisa deru nafasnya yang tersengal sengal, tangannya masih menjambak rambut Burhanuddin.

"Nikmat, Ais?" Tanya Burhanuddin bangkit dari selangkangan Nyai Aisyah setelah rambutnya terbebas dari jambakan yang harus membuatnya berjuang menahan sakit.

"Luar biasa, Habibi." Jawab Nyai Aisyah lirih, nafasnya mulai teratur. Matanya menatap Burhanuddin sayu yang sedang merangkak di atas tubuhnya, entah sejak kapan pemuda itu sudah dalam keadaan bugil seperti dirinya. Nyai Aisyah kembali merasa tegang saat kontol Burhanuddin menyentuh lubang memeknya, otot otot memeknya ikut menegang menantikan kontol Burhanuddin menerobos masuk ke dalamnya. Tapi dugaannya salah, Burhanuddin hanya menggesek gesek memek dan itilnya berkali kali membuat Nyai Aisyah menjerit nikmat, ketegangannya sirna dalam sekejap.

"Awwww, Habibi jangan siksa aku seperti ini...!" Seru Nyai Aisyah, tanpa bisa dicegah, orgasme dahsyat kembali menghantam jiwanya yang tidak berdaya. Pinggulnya terangkat tinggi sambil memeluk pinggang Burhanuddin, hal itu membuat kontol Burhanuddin menerobos masuk mengiringi orgasme dahsyat Nyai Aisyah.

"Akkku kelllllluaarrrrr...!" Nyai Aisyah menjerit, bersamaan dengan kontol Burhanuddin menerobos masuk memek sempitnya hingga menyentuh dinding rahim. Kalau saja dia sedang tidak mengalami orgasme, Nyai Aisyah pasti akan mengeluh sakit karena ukuran kontol Burhanuddin yang cenderung tidak normal.

Burhanuddin menatap wajah Nyai Aisyah yang terlihat semakin cantik, sekilas dia melihat bayangan Mbah Yai Nafi'di wajah Nyai Aisyah membuat Burhanuddin merasa bersalah.

Brakkkkk, suara pintu terbuka kencang membuat Nyai Aisyah yang sedang larut dalam kenikmatan terkejut, begitu juga dengan Burhanuddin yang memaki kebodohannya karena lupa mengunci pintu dan membiarkan anak kunci tergantung di lobang kunci bagian luar. Mereka berdua menoleh dan menatap sosok yang berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat seperti melihat hantu. Saking terkesima dengan kedatangan orang yang membuka pintu, mereka masih tetap dalam posisi yang sama, Burhanuddin tetap menindih tubuh Nyai Aisyah dengan kontol terbenam dalam memek Nyai Aisyah

"Ning...!" Seru Nyai Aisyah dengan wajah pucat, dia terpana menatap Ning Sarah sehingga tidak menyadari tubuh Burhanuddin, dia bahkan semakin erat memeluk Burhanuddin.

"Begini kelakuan Ummi di belakang kami, mengumbar birahi dengan pemuda yang lebih pantas menjadi anaknya?" Tanya Ning Sarah pelan sambil menutup pintu sebelum orang lain melihat adegan di dalam kamar, ibu yang begitu dihormatinya dalam keadaan bugil dan di atas tubuhnya seorang pemuda yang juga dalam keadaan bugil menindihnya.

Ning Sarah memejamkan mata berusaha mengendalikan diri dari rasa sakit melihat kelakuan ibunya seperti mencabik cabik jiwanya yang suci. Kalaupun dia tidak menangis atau berteriak marah karena dia sudah menduga akan melihat kejadian ini sebelumnya, dan salah satu sebab kenapa dia sengaja menangkap basah perbuatan mesum ibunya dengan pemuda yang sudah menjatuhkan hatinya adalah ingin membalas perbuatan ibunya dengan cara yang paling menyakitkan. Cara yang hanya terpikirkan olehnya, cara paling gila yang akan membuat ibunya menyesal seumur hidup.

Ning Sarah berjalan pelan menghampiri spring bed, Nyai Aisyah yang tersadar dengan keadaanya segera mendorong Burhanuddin yang masih menindihnya, Burhanuddin tersadar dengan keadaannya dia segera bangkit dari atas tubuh Nyai Aisyah sehingga kontolnya tercabut dari lobang memek Nyai Aisyah. Nyai Aisyah segera menarik bed cover untuk menutupi tubuhnya sementara Burhanuddin beranjak ketakutan turun dari spring bed, tubuhnya mepet ke tembok. Matanya menatap ngeri melihat Ning Sarah berjalan mendekatinya dengan perlahan, sementara kedua tangannya tersembunyi di balik jilbab lebar yang dikenakannya.

Sejak kejadian di gubuk, Burhanuddin tahu Ning Sarah bisa melakukan apa saja untuk mencelakai dirinya. Kelembutan yang terlihat, hanyalah kamuflase yang sewaktu waktu menampakkan wujud aslinya. Burhanuddin berusaha mundur melihat Ning Sarah semakin mendekatinya, namun tembok membuat langkahnya. Burhanuddin menatap waspada pada tangan Ning Sarah yang tersembunyi di balik jilbab, kalau keadaan memaksa terpaksa dia melawan demi mempertahankan nyawa satu satunya.

"Jangan, Ning!" Seru Nyai Aisyah, dia sangat kenal dengan tabiat Ning Sarah kalau sudah marah. Kejadian lima tahun yang lalu masih terbayang jelas menjadi mimpi buruk buat Nyai Aisyah, Ning Sarah menebas leher seekor ayam jago yang melintas di hadapannya hanya karena persoalan sepele, dan Nyai Aisyah tahu Ning Sarah tidak akan pernah ragu melakukannya.

Bersambung​


Maaf hanya bisa apdet pendek di tengah kesibukan kerja, semakin mendekati akhir tahun pekerjaan semakin numpuk.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd