boss_kapak
Suka Semprot
Dengan bangga Bopak mempersembahkan
Secangkir Kopi dan Hujan
Biarlah hujan ini menjadi saksi bahwa sampai sekarang aku tetap menunggumu
bersama
Sheryl Sheinafia (18 thn)
Orang bilang dengan kita minum kopi akan muncul sifat jujur dalam diri kita. Orang bilang juga dengan kita kumpul-kumpul sambil minum kopi maka akan ada kesan hangat bersahabat. Setidaknya itulah yang aku percayai sampai sekarang. Namaku Djaelani, tapi temen-temenku memanggilku DJ (dije). Kadang juga memanggilku Je atau Jay.
Aku seorang seniman, mungkin bisa dibilang begitu. Tapi aku tak bisa disejajarkan dengan Picaso, Michael Angelo ataupun Basuki Abdullah dalam masalah melukis, karena aku bukanlah pelukis. Aku bukan penyanyi, suaraku fals abis. Aku seorang penulis. Paling tidak nantinya aku akan jadi penulis. Itulah cita-citaku. Aku sudah menulis banyak cerita, tapi tak satupun aku terbitkan. Karena kurasa masih kurang, atau mungkin itu hanya alasanku saja bahwa aku memang tidak mampu untuk menerbitkannya. Tapi hidup ini adalah tempat kita untuk bermimpi. Bukankah kalau sudah mati kita tidak bisa lagi bermimpi melainkan melihat kenyataan? Ya, itulah kehidupan. Banyak orang tidak memelihara kehidupan, tidak menjadikan hidupnya lebih hidup, menyia-nyiakan hidup yang cuma sekali hanya untuk gengsi, hanya untuk merusak jati diri. Hingga akhirnya ketika semuanya sudah terlanjur rusak, musnahlah segala hal yang telah mereka bangun dari awal.
Aku nggak suka merokok. Benda itu sudah aku tinggalkan dua tahun yang lalu gara-gara aku terkena radang paru-paru. Pengobatannya membuatku benar-benar tersiksa sampai paru-paruku disedot airnya karena aku kena paru-paru basah. Akhirnya, kemana-mana aku selalu menghindar kalau ada asap rokok. Paling tidak mengingatkan orang agar tidak seperti aku.
Mencari kerja? Kerja apa? Aku hanya lulusan SMA, kuliahku putus. Dan aku, kerja serabutan. Setidaknya aku bisa makan tiap hari. Mulai jadi tukang ojek sampai jadi kuli bangunan aku lakuin, itu semua hanya agar aku bisa menikmati secangkir kopi di sebuah kafe langgananku di salah satu sudut kota ini.
Kedua orang tuaku sebenarnya cukup berada. Tapi aku minder di usiaku yang sudah 22 tahun ini koq masih belum punya pekerjaan. Tiap hari aku pulang, makan dan tidur. Kalau ada rejeki aku berikan uang itu semuanya ke orang tuaku, sisanya buatku. Pernah aku diterima di salah satu pabrik. Tapi karena kondisiku yang lemah akibat penyakit paru-paruku, aku pun tak bisa melanjutkannya. Sayang sekali. Dan kali ini aku hanya melakukan pekerjaan yang membuatku senang, menulis. Setiap saat aku mengupdate blog-ku. Aku juga menulis novel, beberapa sudah kukirim ke penerbit. Entah aku nulis novel yang ke berapa kali ini.
Kafe tempat aku minum kopi ini bernama Chocholate. Seperti namanya, maka di sini juga ada menu-menu coklat. Tapi aku lebih suka kopi, kalau punya uang berlebih saja aku kemudian memesan coklat panas atau mungkin chocholate magma cake kesukaanku.
Seorang cewek berambut panjang memakai kaos warna-warni dengan topi berwarna orange masuk ke kafe sambil membawa gitar. Wajahnya menarik, manis, dengan rambutnya yang panjang. Aku terus melihatnya karena dia memang enak untuk dilihat. Wajahnya bersahabat. Mungkin sifatnya juga bersahabat. Duduknya ada di seberangku. Dia sekilas menatapku yang memperhatikannya. Aku tersenyum kepadanya, dia membalas senyumanku. Baiklah, kutaksir dia masih berusia belasan. Baru kali ini aku melihat cewek seperti dia. Ah, dasar lo Je. Lihat cewek cakep pasti akan bilang baru kali ini. Ingat tuh, mantan-mantan lo banyak juga.
Aku hanya menghela nafas. Oke dia cakep, tapi aku tak punya keberanian untuk bisa menyapanya. Dia seperti pengunjung kafe yang lain dari mulai anak sekolah sampai anak perkuliahan yang singgah di kafe ini. Mungkin setelah ia selesai urusannya ia akan pergi.
Aku ingin kau tahu perasanku
Melewati semua tanpamu di sini
Kadang ku menyesal, ku merasa hampa
Membiarkanmu pergi meninggalkanku sendiri
Wah, dia mulai memainkan gitarnya. Dia menyanyi! Untuk sesaat aku membiarkan laptopku dan mendengarkan suaranya yang indah. Aku sepertinya pernah mengenal lagu ini.
Meski ku merasa sepi
Tapi ku tahu kamu sedang bahagia ooh
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Ingin rasanya aku dengar suaramu
Hanya tuk sekedar redakan rinduku
Meski ku merasa sepi
Tapi ku tahu kamu sedang bahagia ooh
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali (jangan kembali)
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Setelah ia berhenti tepuk tangan pun membahana di ruangan kafe ini. Termasuk aku. Sebenarnya pengunjung kafe ini hanya ada aku dan dia saja. Yang lainnya adalah para pelayan. Memang suasana hari ini sepi. Mungkin cuaca yang mendung di luar sana.
Terima kasih, katanya.
Dek Sheryl, mau pesan apa? tanya pelayan kafe. Bukan deh, dia ini Pak Wawan pemilik kafe ini. Aku kenal baik dengan si bapak.
Coklat panas boleh, jawabnya.
Segera datang, kata Pak Wawan.
Melihatku yang terus melihatnya ia pun berdiri, pindah ke mejaku. Aku tentu saja terkejut. Seperti orang bego aku semakin bengong melihat dia tersenyum kepadaku.
Kenapa mas? tanyanya.
Eh, nggak apa-apa, jawabku.
Sendirian saja masnya? tanyanya lagi.
Begitulah, jawabku.
Lagi ngapain mas? tanyanya.
Lagi nulis.
Nulis apa?
Mau tahu aja.
Boleh lihat?
Nggak. Apaan sih?
Mas tahu siapa saya?
Nggak. Tapi lagunya nggak asing deh.
Beneran nggak kenal?
Emang kamu artis?
Ehmm... entahlah, menurut mas?
Kalau toh artis gue juga nggak bakal kenal. Gue bukan orang yang selalu melihat infotainment seperti orang kebanyakan. Di otak gue cuma ada kopi dan naskah.
Oh, masnya penulis ya? Sudah nerbitin buku?
Belom.
Dia tersenyum kepadaku sambil menopang dagu.
Ada apa? tanyaku penasaran.
Gue penasaran aja, kenapa ada cowok ganteng di sini sendirian. Lagipula gue nggak suka kalau satu meja nggak ditemeni. Masih jomblo? tanyanya balik.
Masih, kenapa? Naksir?
Sembarangan. Nggak level yah.
Aku mencibirnya. Kembali aku mengetik. Eh, sebentar mengetik apa? Aku kan ke kafe ini untuk cari ide. Hilang deh ideku. Aku menutup wajahku dan mengusapnya.
Kenapa mas?
Kamu ini dari tadi tanya melulu, kataku.
Hahahahaha, maaf, katanya.
Ini dia coklat panas, kata Pak Wawan sambil menaruh secangkir coklat panas pesenan Sheryl di mejaku.
Kenal ama DJ? tanya Pak Wawan ke Sheryl.
Kami barusan kenal, jawab Sheryl.
Oh, baiklah. Selamat menikmati, kata Pak Wawan meninggalkan kami.
Sheryl mengulurkan tangannya kepadaku. Sheryl Sheinafia.
Aku menjabat tangannya, DJ
DJ? Kepanjangannya apa? tanyanya.
Tangannya halus. Tapi aku buru-buru melepaskannya, DJ bukan singkatan, tapi nama gue Djaelani, pakai ejaan lama. Dan teman-teman gue memanggilku DJ.
Oh hahahahaha, ketawa lagi ni anak. Lama-lama senewen aku deket-deket ama dia. Ampun Dijeeee
Ya gurauan itu selalu aku dengar. Ampun Dije seolah-olah orang yang bernama DJ pasti salah, punya kuasa, powerful yang bahkan aku sendiri tak punya kekuatan seperti itu. Tapi cara Sheryl menyampaikannya membuatku sadar, terkadang namaku jadi bahan olokan secara tak langsung. Ayahku memang orang yang nyentrik, tapi usaha kenyentrikannya sudah tidak bisa aku lihat lagi. Bisnis menjual makanan ringan ditekuninya sekarang dengan ibuku yang membantu. Sebuah toko kecil menjadi satu-satunya sumber penghasilan kami. Aku, adikku dan kedua orang tuaku tentu saja.
Hujan pun datang dengan jutaan tetesan air tawar yang membasahi bumi. Beberapa talang air menampung air pemberian ilahi ini dan menyalurkannya ke tanah. Jalanan basah, rembesan-rembesan air pun bagai laksana sebuah rejeki yang tak pernah ditolak oleh bumi. Aku suka hujan, terlebih aroma tanah yang secara lugu menggelitik hidungku. Bayang-bayang tetesan air yang meninggalkan jejaknya di kaca kafe membuatku tertegun, karena membentuk sebuah jejak yang berangsur menghilang seiring hembusan udara yang mengeringkannya. Kopiku mulai dingin saat aku sudah menikmati masa-masa aku menulis lagi. Sementara itu Sheryl lebih konsentrasi memainkan gitarnya, mencatat chord, membuat sya'ir. Lagu baru mungkin. Aku tak pernah tahu lagu-lagunya, aku juga tak pernah tahu kalau dia ini artis. Artis yang humble mungkin mau dekat-dekat orang dekil seperti aku.
Mau buat lagu baru? kuberanikan diri untuk menyeletuk.
Dia menatapku. Mau tahu aja.
Boleh nebak? tanyaku.
Apaan?
Elo ini orang yang esktrovert.
Sok tahu
Buktinya dari sya'ir lagu lo, lo nggak suka dengan sesuatu yang sunyi. Sedangkan orang introvert adalah orang yang suka dengan kesunyian.
Sheryl tersenyum kepadaku.
Gue juga bisa tahu kamu seorang ekstrovert ketika lo tidak mau duduk sendirian dan lebih memilih bersama gue. Biar kutebak lagi, lo tidak suka film horror, karena....
Orang ekstrovert tidak suka film horror, selanya. Kami pun tertawa. Sok tahu, tapi bener sih.
Ngomong-ngomong, gue tertarik dengan lagu lo itu. Mau gue tuliskan sebuah kisah?
Kisah? Kisah apa?
Entahlah, coba lo yang pilihkan untukku, kisah apa yang paling menarik?
Ehmm... apa ya? Gue tak pernah mengetahui kisah baik dan buruk. Gue hanya tahu kunci nada, gue hanya tahu nada mayor dan minor. Kalau engkau tanya tentang romansa dan kisah-kisah picisan, gue nggak tahu.
Aku termenung sejenak, Baiklah, bagaimana kalau kisah tentang secangkir kopi dan hujan?
Hmm? Ada apa dengan secangkir kopi dan hujan? tanyanya penasaran.
Secangkir kopi dan hujan itu adalah dua hal yang mempertemukan kita. Lo dan gue. Kalau tanpa dua macam hal ini kita nggak bakal ketemu, jawabku.
Dia ngakak, Ini ngerayu ceritanya?
Tergantung sudut pandang masing-masing dong. Menurutmu aku merayumu? tanyaku.
Sepertinya iya.
Wajar kan? Namanya juga usaha, tukasku.
Baiklah, tenang aja. Gue single koq, dirayu siapapun sih nggak masalah, katanya. Tapi bukan berarti gue juga suka ama elo.
Suka atau nggak biarlah waktu yang menentukan. Bisa jadi nanti malam elo akan memimpikan gue dalam tidur lo, ujarku sambil nyengir kuda.
Hahahahaha, kami tertawa.
Hujan semakin deras rasanya kami tak akan bisa pulang kalau begini caranya.
Lo udah punya pacar? tanya Sheryl sambil menyeruput coklat panasnya yang mungkin sekarang sudah hangat.
Punya, kemana-mana gue bawa. Nih! aku mengetuk laptopku.
Wah, langsing banget pacarmu, katanya.
Iya dong. Dari lahir do'i udah langsing, nggak perlu olahraga. Tiap hari padahal isinya nambah, gurauku. Sheryl ketawa lagi. Dia makin manis kalau tertawa seperti itu.
Sejujurnya, gue suka ama pembicaraan kita. Tapi gue kayaknya harus pergi, ujarnya.
Loh? Mau kemana? tanyaku.
Pulang, ntar dicariin bonyok, jawabnya.
Oh, masih anak mama rupanya, ejekku.
Gile, nggak kali. Yah, maklum gue anak cewek, harus laporan. Ini aja barusan bolos dari latihan vokal, katanya.
Kita bisa ketemu lagi? tanyaku.
Entahlah, jawabnya. Menurutmu kita bisa ketemu lagi?
Kalau ada secangkir kopi dan hujan, mungkin, jawabku sambil tersenyum.
Bye, DJ! katanya sambil meletakkan selembar uang berwarna biru di atas meja.
Tak usah, aku mentraktirmu hari ini, kataku sok. Padahal duitku juga menipis.
Wah, thanks, katanya. Dia kemudian menenteng gitarnya keluar kafe.
Dari kejauhan kulihat dia dijemput oleh seorang cowok. Cowok itu membawa mobil. Ah, mungkin pacarnya. Tapi dia bilang tadi jomblo. Tampak perasaan tidak suka terpancar dari raut wajah Sheryl. Aku hanya menghela nafas. Aku tak mungkin ikut-ikutan urusan mereka. Aku buka kembali laptopku dan melanjutkan menulis cerita.
* * *
Wajah Sheryl menghiasi layar kaca. Aku melihatnya membawakan acara di salah satu stasiun tv. Aku sempat berkata, Ah. Ingin aku berkata itu dia cewek kemarin yang aku temui. Tapi, itu terlalu norak. Aku menikmati acara yang membawakan lagu-lagu lokal dan mancanegara. Sheryl pandai memainkan gitarnya, jujur aku nggak tahu tentang musik tapi ketika dia membawakan lagu Torn yang pernah dinyanyikan oleh Natalie Imbrugila itu benar-benar pas dan keren. Ibaratnya kopi takarannya pas, tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit.
Sheryl memang mempesona. Dia memakai jaket warna coklat, selaras dengan warna topinya yang lucu, dan celana jeans yang lututnya robek. Kalau dia ada di acara tv ini agak lain dari apa yang aku lihat ketika bertemu terakhir kali dengannya. Di acara ini dia lebih plong pembawaannya. Atau memang itu sifatnya?
Tak terasa acara itu telah selesai, kemudian ponselku berbunyi. Di layar muncul sebuah nama. Markas.
Halo? sapaku.
Kamu nggak narik? tanya suara itu.
Aku bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan delivery service semacam Go-Jek, namanya Premium Jack. Dan orang yang menelponku ini bernama Mamat sang pemilik. Dia tahu kesibukanku yang sebenarnya nggak sibuk-sibuk amat sih. Kalau ada job biasanya dia order ke aku.
Kenapa? tanyaku.
Ada yang ingin dijemput tuh, jawabnya.
Di mana?
Di Kuningan.
Kapan?
Ya sekaranglah, jawabnya.
OK, kataku. Namanya?
Ada di apps milikmu, katanya. Dia lalu menutup teleponnya.
Kuperiksa apps Premium Jack dan kulihat sebuah nama yang tidak asing. Sheryl. Sheryl yang itukah? Di dunia ini ada banyak nama Sheryl. Apakah ini kebetulan Atau mungkin memang takdir?
Segera aku memakai jaketku yang bertuliskan Premium Jack berwarna biru. Kupakai helm-ku yang warnanya selaras dengan warna jaketku. Setelah itu kuambil sepeda motorku yang ada di teras rumah. Ibuku yang melihatku langsung mengerti kalau aku ada panggilan.
Nganter kemana? tanyanya.
Di stasiun tv, jawabku. Pergi dulu bu.
Hati-hati jangan ngebut, katanya. Yang pasti aku tak pernah mengikuti nasehat beliau yang satu ini. Oh, ya nanti jaga rumah ya, ayah sama ibu mau tidur di toko. Adikmu nggak tahu nanti pergi kemana.
Sepeda motor kunyalakan dan dalam sekejap aku sudah kembali bermesraan dengan jalan raya. Jakarta, kota yang selalu penuh dengan kendaraan dan juga kota yang parah sekali kemacetannya. Dan sebagai seorang tukang ojek, tentunya aku harus bisa melenggak-lenggok cantik di antara celah-celah mobil. Ibaratnya aku ini seperti bermain game packman yang mana harus melewati maze yang berkelak-kelok. Sepeda motor ini baru beli setahun lalu dan cicilannya belum lunas. Bermesin injeksi, 4 tak, termasuk sepeda motor bebek yang cukup membantuku untuk ke mana-mana.
Tibalah aku di sebuah titik spot yang dituju. Di sana aku melihat seorang cewek yang mana di punggungnya ada sebuah gitar. Kalau dia memakai baju warna gelap dan cadar maka ia pasti sangat pas sekali menjadi seorang ninja. Ah, tidak. Dia adalah Sheryl Sheinafia dengan baju warna biru, jaket warna putih dengan celana jeans robek di lututnya. Dia beberapa kali menghentak-hentakkan sepatu kets warna putihnya sambil sesekali melihat arloji berwarna orange yang melingkar di tangan kirinya. Dia kaget ketika melihatku langsung mendekat ke arahnya.
Terakhir diubah: