Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Selingkuh? [LKTCP2020]

n00bietol

Semprot Baru
Daftar
27 Jan 2015
Post
48
Like diterima
234
Bimabet
Setelah sekian lama bercita-cita mengikuti LKTCP tapi selalu gagal dengan berbagai alasan, maka ijinkan nubie menuliskan sebuah cerita fanfiction tentang seorang artis yang pernah berjaya di masanya, Inggrid K*an*sil.

0e1d001353395056.jpg


Disclaimer :


Semua kejadian, nama tokoh, waktu dan kejadian dalam novel ini adalah fiktif belaka. Segala kesamaan yang terjadi adalah murni kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan

All rights reserved n00bietol 2020​
 
Semoga berhasil posting kali ini
___________________________________________

I. PERJUMPAAN

Maret Tahun 2012 ...

Aku memandang sinis kepadanya.

Wanita itu jauh lebih muda daripada Papa. Kurang lebih dia seumuranku, mungkin cuma selisih dua atau tiga tahun. Seorang yang katanya artis, sering mengisi beberapa sinetron sampah di tivi lokal. Aku yang jarang sekali melihat sinetron tidak terlalu banyak tahu tentangnya. Karena cinta? Aku lebih yakin wanita itu menikahi Papa karena uangnya. Tak mengherankan tentunya, dengan posisi Papa sebagai komisaris di beberapa perusahaan besar, dan dekat dengan petinggi salah satu parpol besar di tanah air. Tapi aku tak terlalu peduli dengan itu.

Perhelatan besar itu dilakukan di sebuah kebun yang sangat luas di pinggiran kota, di suatu senja yang sungguh cerah, hanya berjarak setengah tahun dari kematian Ibu. Rasanya mereka berdua sengaja memilih tempat mewah ini dan mengundang ribuan tamu kenalan Papa. Tentu saja, tamu-tamu VVIP dengan kawalan polisi pun berdatangan. Tamu-tamu yang datang melewati sebuah lorong indah dihiasi foto-foto pre-wed, buket-buket kembang warna-warni, pagar kayu warna putih, dan lampu-lampu kerlap-kerlip yang indah, untuk bersalaman dengan Papa dan wanita itu. Suvenir yang disediakan Papa pun tak main-main, sebuah music player yang sedang in pada masanya.

Harus kuakui, Wanita itu memang sungguh cantik. Kulitnya putih bak pualam, mulus, apalagi mengenakan kebaya model Jawabarat warna kuning keemasan. Senyumnya mengembang tak kenal lelah, menyapa setiap tamu undangan. Wajahnya sedikit tirus, dengan mata yang lebar, alis tebal dan bulu mata yang lentik menjadi daya tariknya Sedikit belahan dadanya mengintip dari kebayanya. Hanya sedikit.
Aku memandang adik-adikku dari kejauhan. Mereka tampaknya tak terlalu masalah punya Ibu baru ini. Aku? Aku tak peduli. aku toh bukan anak favorit Papa. Bisa dibilang, akulah anak nakal, anak terbuang dalam keluarga ini. Anak yang paling tak diperhitungkan dalam keluarga, walaupun umurnya paling tua.

Paginya, beberapa koran harian ibukota telah memberitakan pernikahan papaku dan selebritis ini. Tak hanya itu, acara tivi selebritis pun ramai-ramai menayangkan Soputan pernikahan mereka berdua, lengkap dengan wawancara Papa dan istri barunya itu. Terlihat betapa bangganya mereka berdua di dalam tayangan itu, dan betapa memuakkannya hal itu bagiku.

Namaku Riefan, dan ini adalah kisahku.

***

Dan benarlah sebuah peribahasa lama yang berkata bahwa Ibukota tak sekejam ibu tiri. Kehadiran mama baru dalam keluarga kami yang tak harmonis-harmonis amat dari awal, buktinya malah membuat keluarga kami semakin kacau. Semua hanya demi pemuasan Papa belaka.

Masa-masa bulan madu pengantin baru dan keluarga barunya rasanya hanya beberapa bulan saja. Rasa sayang yang ditunjukkan oleh istri baru Papa, ternyata hanya permukaan yang tampak licin, tapi sebenarnya terasa sangat kasar. Sehari-hari rumah tangga ini mulai dihiasi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang sebenarnya tak perlu terjadi. Iya, aku lupa bilang bahwa nama istri baru Papaku adalah Inggrid. Inggrid Kansil nama lengkapnya.

Semua ini gara-gara perempuan itu yang sok mengatur semua hal, mulai dari penataan sepatu, penggunaan mobil, uang saku kuliah, sampai ke jatah bulanan masing-masing anak Papa. Dan ya, Papaku mendukung sepenuhnya ide-ide istrinya yang baru, dan ya, itulah sumber pertengkaran-pertengkaran kecil hari ke hari.

Contohnya sore itu.

Sore itu rumah sepi. Jelas, itu hari Jumat dan adik-adikku sudah kabur semua. Aku? aku masih pusing setelah berbotol-botol alkohol tadi malam. Seharusnya bisa saja aku menginap di rumah Pinkan, tapi aku malas dengan segala keramaian yang ditimbulkan oleh teman-temannya yang biang pesta. Untungnya masih ada taksi yang bersedia mengantarku sampai depan pintu gerbang rumah. Dan seperti biasa, mas Lukman, supir setia Papa yang membuka pintu. Jam 3 pagi.

Dan akhirnya aku tidur panjang sampai sore. Seperti biasa.

Ketika bangun, lapar luar biasa melanda. Aku jelas-jelas mendengar perutku berkicau begitu kerasnya. Dengan kepala masih agak pusing, hangover, aku turun ke lantai satu, dan segera bergerak ke dapur untuk mencari apa saja yang dimakan. Lumayan, ada telur dan kornet. Segera saja aku memanaskan wajan dan membuka kornet. Aku jarang merepotkan bibi Marsi dan bi Tinah memang.

"Kamu ngapain lagi di sini?" teriak seseorang dari belakang pintu. Suara perempuan. Setengah menjerit. Tampaknya aku tahu siapa itu.

Aku menoleh, dan melihat ibu tiriku sedang berdiri di pintu belakang. Rumah kami mempunyai bukaan belakang yang lebar, sebuah pintu lipat yang menghubungkan ruang keluarga dengan kolam renang. Karena kelaparan, rupanya aku tak menyadari bahwa ada orang di rumah selain aku.

Dan makhluk satu itu sedang berenang.

Sore itu dia memakai piyama handuk sedikit di atas lutut yang menampakkan sedikit betis putih mulusnya. Harus aku akui, Papa memang pintar memilih istri. Ditambah lagi rambutnya yang basah, yang sibuk ia keringkan dengan handuk kecil, komplit sudah kecantikannya.

Aku cuman tersenyum sinis.

"Memangnya ini rumah siapa?" tanyaku. Dia berhenti mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Lo tuh ya ... Ngapain pulang-pulang segala?"

"Nyusahin papamu, ngerepotin adik-adikmu, bikin malu keluarga ..." Semburnya tiba-tiba, sambil berdiri menatap aku.

"Kerja yang bener, tuh liat proyek banyak dikomplen. Kalo ga disuapin Papamu mau jadi apa lo?"

"Liat tuh adik-adikmu, toh nyatanya mereka bisa jadi orang,"

"Ga cuman minta mulu dari papamu, tapi abis buang duit buat ini itu ga penting,"

dan masih panjang lagi rentetan katanya.
Aku mendengarkan saja omongan nyelekitnya sambil menggoreng telur campur kornet itu.

"Mending lo ngaca deh ...," aku berkata tenang sambil mengambil piring sebagai wadah telur goreng.

"Siapa sih perempuan muda yang mau kawin sama orang tua seperti papa kalo ga liat duitnya? Paling engga gue bukan lonte yang nawarin diri ke om-om, minta dinikahin sambil morotin duitnya!"

Wuuut, tangan kecil itu melayang, dan Tapp! aku berhasil menangkapnya, tepat di samping wajahku.

"Ati-ati lo ...," kataku dengan tetap memegang tangan putih itu. Mataku tajam menatap matanya yang sekarang ada persis di depan mukaku, berjarak sejengkal. Memang cantik dia. Matanya bening, pipinya merah merona, bibirnya merah basah, dan sungguh, licin mulus sekali pipinya. Belum lagi segaris lentik bulu matanya.

"Lo bukan siapa-siapa gue. Lo ga punya hak momong apapun di depan gue, " tandasku, merenggangkan pegangan tanganku pelan-pelan. Wajahnya memerah karena marah dan itu terlihat jelas.

"Lepaskan gue sekarang atau ..."

Aku segera melepasnya.

"Gue mau makan. Jangan ganggu gue, lo pergi dari depan gue sekarang," kataku sambil menyuapkan makanan ke mulutku.

Dia masih di depanku.

"Inget, gue ga akan lupa dengan ini ..."

"Lo denger ga? PERGI DARI DEPAN GUE!" kataku tandas.

***

Ibuku, orang yang paling aku sayangi dan hormati, meninggal, dan hidupku berantakan setelah itu. Mungkin kami memang benar-benar tidak siap ketika Ibu meninggal. Mungkin kami terlalu bergantung pada dia, satu-satunya sosok orang tua yang yang selalu dekat dengan kami, dan terutama aku. Dia selalu ada ketika kami butuh orang tua, teman yang baik, pendengar yang setia. Tidak ada anak-anak Ibu yang dekat dengan Papa. Papa selalu menjadi bagian keluarga yang terasa paling jauh dijangkau, bahkan sejak kami kecil. Hidupnya seperti dihabiskan di bisnis dan relasinya.

Aku ingat betul suatu hari itu di bulan November. Mendung tebal berarak, dan gerimis mulai menetes. Sore begitu kelam, dan lampu-lampu pun terpaksa dinyalakan. Sesekali guntur terdengar.

"Fan, Ryan, Ze, Ibu pengen ngomong serius sama kalian," katanya lirih. Itu adalah hari keempat dimana Ibu terlihat tidak sehat. Sangat pucat, susah sekali makan.

"Mungkin Ibu ga akan lama lagi bersama kalian ....," tangannya mengelus rambut Ze yang kepalanya menggelendot manja di pangkuan ibu. Aku baru sadar bahwa ibu tampak mengurus. Tulang jemarinya tampak jelas ketika mengelus rambut Ze.

"Ibu ngomong apa sih?"

"Iya, apaan sih?"

"Jangan becanda dong bu," Ze berkata terakhir sambil kemudian bangun dari pangkuan Ibu.

"Mas inget ketika kemarin Mas anterin Ibu ke dokter?"

Ibu selalu memanggilku, anak tertua, dengan sebutan Mas. Aku hanya terdiam.

"Terus Ibu minta Mas tunggu di luar?"

Aku masih terdiam.

"Itu karena Ibu pengen mendapatkan penjelasan panjang lebar dari dokter mengenai penyakit Ibu ..."
Ibu terdiam sesaat. Kami menunggu kata-katanya.

"Dan Ibu kira penyakit itu bisa sembuh ..."

"Ibu didiagnosis kanker. Limpoma hodgkin namanya. Pada waktu itu ..."

"Tapi kan kanker bisa disembuhkan bu?"

"Ze, bisa diam ga sih, dengarkan dulu Ibu bicara!"

Ze terdiam sambil matanya menatap tajam ke arahku.

"Ibu sebenarnya heran, kenapa Ibu jadi sering sekali merasa lelah, sakit punggung terutama. Inget ga waktu itu Ibu pengen pijet? itu karena punggung Ibu sakit banget. Terus Ibu juga ga tau kenapa tiba-tiba saja berat Ibu berkurang, walaupun sebenarnya seneng-seneng saja, sih, ga perlu diet ...."

Ibu mencoba bercanda, tapi kami tahu bahwa hatinya getir. Aku baru tersadar, Ibu memang bertambah kurus. Ahh, hampir setiap hari kami ngobrol, tapi aku tak melihat fakta di depan mataku.

"Dan ketika ke dokter, cuman dibilang terlalu lelah. Kemudian setelah itu, didiagnosis kurang darah. Berbagai obat udah dicoba, tapi entah kenapa Ibu tak kunjung sembuh ...."

"Ibu bilang ga sama Papa kalo Ibu sakit?"

"Papa tau kok kalo ..."

"Ibu BOHONG!"

"Fan, jaga sikapmu!"

"Ibu ga pernah cerita kan sama Papa?"

"Papa ga pernah sekalipun tau kan kalo Ibu sering ke rumah sakit kan?"

"Papamu itu sibuk juga buat kita, ga kebayang kalo seandainya Papamu ga bekerja keras, mungkin kita ..."

"Jawab Bu!"

"Ah, Ibu selalu membela dia!"

"RIEFAN, JAGA SIKAPMU!"

Ibu berteriak, dan kemudian menangis.
Kami terdiam. Terdengar sesenggukan dari Ze. Itu adalah percakapan panjang terakhir kami. Tiga bulan kemudian Ibu meninggal. Paling tidak dia tenang setelah sakit berkepanjangan. Sejak saat itu aku begitu membenci Papaku. Benar-benar benci, mungkin dendam kesumat. Suami macam apa yang membiarkan istrinya mati perlahan tanpa tahu penyakitnya?

Apa cara yang paling mudah untuk membalas dendam? Yep, kuhancurkan saja hidupku. Biarkan Papa melihat bahwa selama ini dia membesarkan anak yang salah. Biarkan uang yang dia cari susah payah selama ini hangus, terbakar, untuk sesuatu yang sia-sia. Dan aku rasa, aku hebat dalam hal itu.

***

"Mulai saat ini, mama kalianlah yang akan mengatur semua pengeluaran di keluarga ini," Papa berkata di suatu malam, ketika kami pada akhirnya bisa makan malam bersama. Bukan makan malam bersama seperti keluarga lain dalam satu meja, tepatnya hanya makan malam dalam waktu yang sama di dalam rumah, karena aku dan adikku makan di depan tivi. Hanya Ze yang semeja dengan Papa dan Inggrid. Jelas, aku tak akan pernah memanggil namanya Mama. Umur dia juga tak terpaut jauh dari aku.

Inggrid yang mengatur keuangan? itu berarti bahwa aliran dana yang setiap bulan masuk ke rekeningku dan bisa aku pergunakan dengan bebas, mungkin bakalan tak ada lagi. Brengsek!

“Ibu kami satu-satunya sudah meninggal. Kami sudah tak punya Mama,” tandasku.

“Ini mamamu Fan!” seru Papa sambil menunjuk Inggrid.

"Emang apa haknya dia sampai dia bisa ngatur duit kami?"

"Bukan duit kalian! Duit PAPA! Dia mama kalian yang baru, istri Papa!" sahut Papa dengan suara meninggi. Aku masih duduk di depan tivi.

"Dia bukan siapa-siapa! dia hanya kebetulan saja istri Papa, tapi dia bukan bagian dari keluarga kita!"

"Jaga omonganmu Fan!"

"Kenapa aku yang harus jaga omonganku? Papa datang dan bawa wanita ini ke dalam rumah, dan tiba-tiba saja dia menggantikan peran Ibu? Aku ga rela!!"

"DIAM!!!"

"Papa yang diam!"

"Kalau kamu sekali lagi ngomong, kamu tau mana pintu keluar!"

"Papa ngusir Kakak? Hanya karena wanita ini, Papa berani ngusir anak kandung Papa? Inget Pa, ..." Itu suara Zenitha, menjerit. Anak itu biasanya jarang ngomong. Dan kemudian ia menangis. Aku sangat dekat dengan Zey sejak Mama meninggal.
Ryan, adikku, beranjak dan kemudian naik ke lantai 2, tanpa sepatah katapun.

"RYAN!" Dia hanya menoleh sebentar ke arah Papa, dan kemudian meneruskan langkahnya.
Aku mendekati Inggrid, ibu tiriku itu, dan berkata,

"Selamat, cuman lo yang bisa memecah keluarga ini, hancur berantakan." Aku mengangsurkan tanganku ke Inggrid.

"Fan, JANGAN KURANGAJAR KAMU!" Papa berdiri dan melayangkan tamparan pertamanya ke aku.

Plaaaakkk!

Aku bergeming. Nyalang mataku memandang Papaku. Kurasakan panas meraja di pipi, dan kupastikan telapak tangan itu membekas.

"Sudah, Pak, sudah," kata Inggrid. Tangannya menahan tangan Papa.

"Anak kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran!"

"Iya Pak, tapi sudaaaah, sudah cukup,...."

"Inget Fan, Keputusan Papa final, Kalau kamu masih pengen duit papa, dan masih pengen tinggal di rumah ini!"

Keputusan Papa itu pasti karena bisikan wanita brengsek itu.

Aku yakin itu.


II. SEBUAH RENCANA

"Ini beneran Ben?"

"Masa gue bohong sih Fan ...."

Asap rokok yang dihembuskan Benny memenuhi seluruh ruangan sempit itu. Kos-kosan Benny, daerah Kasablanka Kuningan, memang cuma ukuran 2 x 2,5m. Bernafaspun terasa susah di sini. Aku tak terlalu paham kenapa dia memilih kos-kosan sempit ini, padahal dia sebenarnya mampu bayar yang lebih bagus.

"Lo dapat darimana foto ini?"

Aku melihat belasan foto itu beserta negatifnya di sebuah amplop warna kuning pudar yang diberikan Benny. Foto-foto itu tampak seperti berasal dari awal tahun 90an, dilihat dari usia orang-orang yang ada di foto itu. Aku mengenal dengan jelas salah satu orang di dalam foto itu.

"Begini deh, sebelum gue cerita lebih jauh, foto-foto ini ada harganya lho, bukannya gratisan, hehehe...”

"Gue paham. Berapa yang lo minta?"

Dia menyebutkan sebuah angka. Tanpa malu-malu. Cukup mahal, tapi dia tahu bahwa aku akan bayar berapapun harganya, karena tahu bahwa aku begitu benci pada orang di foto itu. Iya, kisah tentang Inggrid sering terlontar secara tak sengaja ke Benny, yang bisa dibilang teman dekatku.

Benny itu, walaupun kadang telmi karena kebanyakan kobam, dulunya adalah seorang finalis olimpiade matematika. Beneran. Dibesarkan di dalam sebuah keluarga beretnis Cina yang sangat keras dalam mendidik anaknya, Benny akhirnya berontak dan lari dari rumah di umur sekitar limabelas tahunan. Belasan tahun dia lontang-lantung di jalan, sampai akhirnya dia bertemu dengan aku.

Kami menjadi sahabat pada saat tak sengaja kami lari dari penggrebekan polisi narkoba dengan bersembunyi di sebuah kamar hotel yang aku bayar. Kebetulan, Benny yang dicari karena mengedarkan beberapa linting *****. Tentu saja kami selamat dari penggrebekan berkat koneksiku.

Setelahnya, ternyata kami cukup cocok bekerja bersama, dan aku dan Benny sering bareng mengerjakan proyek. Sering kali aku mendapatkan proyek karena nama besar papa, dan Benny sering jadi kontraktor untuk bagian ITnya.

Setelah kami sepakat dengan angka yang dia sebutkan, berceritalah Benny tentang perjalanannya mendapatkan foto-foto itu. Sambil mendengar cerita Benny, tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri sambil menyusun rencana. Angka yang disebutkan Benny itu jauh lebih murah dibandingkan apa yang akan aku lakukan.

***

Air kolam itu berkecipak, seiring tubuh putih itu berenang membelah kolam. Baju renang one piece yang tertutup dari leher sampai paha warna biru. Konvensional. Bahkan pantatnya pun tak nampak.

Aku duduk di kursi sambil pura-pura membaca majalah, walaupun sebenarnya mataku liar menatap tubuh basah di kolam renang itu. Aku pasti tersenyum-senyum sendiri, memikirkan rencanaku yang sudah matang dan tak mungkin gagal.

"Hei, Lo ngapain di sini sore-sore? Bikin sepet aja!"

Dia benar-benar kaget melihat aku duduk di pinggir kolam renang.

"Loh, ga salah lo ngomong begitu sama gue? Gue yang punya rumah ini dari lahir."

Aku santai menjawab. Amplop coklat sengaja kutaruh di kursi kolam renang dekat dengan handuknya.
Inggrid tidak melanjutkan acara berenangnya.

"Gue minta lo pergi sekarang dari kolam renang. Gue mau naik!"

"No problem. Gue juga males liat pemandangan membosankan macam lo. Gue cuman mau nganterin surat tuh, katanya khusus buat lo."

Aku beranjak dari sambil tersenyum senyum, dan naik ke lantai dua rumah yang tak lama lagi jadi nyaman kembali. Rumah kebetulan lagi sepi. Sore jam empat hari Jumat, aku selalu ingat jadwal ini, karena Ryan dan Ze pasti pergi. Mas Lukman pasti masih setia nunggu Papa di kantor. Bi Marsi dan Bi Tinah, kedua pembantu kami, sudah pasti bergosip ria di ujung jalan kompleks.

Tak sampai 15 menit kemudian, ada ketukan kencang di pintu kamarku.

BRAK BRAK BRAK!

"Fan, BUKAA!!!!"

"Kenapa Nggrid?"

Aku membuka pintu itu sambil tersenyum lebar.

"Gue mau ngomong sama lo!"

Masih memakai piyama handuk warna putih dan rambut basah kuyup, dia berkacak pinggang di depanku.

"Duduk dulu, Nggrid, ga enak liat lo berdiri depan gue sambil ngomong," kataku sambil menepuk bantalan kursi di depanku.

"Darimana lo dapet foto-foto ini?"

"Lho, mana gue tahu? Gue kan cuman sampein, bahwa lo dapet surat ..," santai jawabku.

"Gue tanya sekali lagi, darimana lo dapet foto-foto ini?" sambarnya.

Kemudian dia duduk di depanku, dan nada suaranya tak sekeras tadi. Bibirnya yang merah sekarang tampak gemetar. Mungkin karena marah, mungkin juga karena takut.

"Maksud lo apa kasih foto-foto ini ke gue?"

"Gue tahu lo yang cetak ini ..."

"Dan gue ga bakal ragu-ragu laporin lo ke POLISI!"

Entah kenapa mendengar suaranya membentak, selangkanganku mulai merinding, dan kurasakan tongkat kecilku mulai terisi darah. Mengeras. Segala ketegangan yang ditimbulkan oleh Inggrid sekarang membuatku terangsang. Birahi.

"Oya?"

"Kalo Lo mau meres gue dengan ini, lo salah besar!"

"Kenapa lo begitu yakin, bahwa gue yang melakukan ini, mencetak semua foto ini?" Aku berkata ini sambil tetap tersenyum. Aku pura-pura menengok foto-foto yang dia pegang.

"Karena ga mungkin ada orang lain yang begitu benci sama gue kecuali ELO!"

Aku terbahak.

“Gue benci lo? Itu benar …”

"Lo laporin aja gue ke polisi. Gue ga masalah. tapi yang harus lo pikirin, bagaimana perasaan Papa, keluarga ini, dan keluarga besarmu. Dan entah jangan-jangan setelah ini lo jatuh miskin karena Papa ga bisa nanggung malu karena istrinya, istrinya yang cuantik dan dia banggakan, ternyata pernah foto bugil! DENGAN BERMACAM-MACAM POSE PULA!"

Aku berdiri di depan dia sambil bersedekap.

Dia terdiam sontak. Mulutnya yang sedari tadi ingin menyela akhirnya kuncup. Kulihat matanya berkaca-kaca, dan pertahanan air matanya hampir bobol.

"Ok ..."

Suaranya melemah.

"Apa yang lo mau? Uang? lo tinggal bilang berapa, gue kasih ..."

"Enak aja lo ngomong tinggal gue kasih? Itu duit bokap gue, dan lo sebenarnya dari awal tak berhak atas duit itu!"

"Fan, please!"

"Begini ..."

Aku berpura-pura berpikir agak lama supaya dia lebih tegang. Wajahnya yang menunggu itu tampak cantik. Tapi entah kenapa aku benar-benar benci melihat rupanya, apalagi sekarang.

"Lo kasih dulu gue limapuluh juta, dan mulai sekarang, aku dan adik-adikku bebas menggunakan duit seperti sebelum lo datang!"

Tentu saja uang limapuluh juta itu akan kuberikan ke Benny sebagai upahnya dia, sesuai yang dia minta.

"OK! setelah itu, lo kasih semua foto-foto itu dan negatifnya kan Fan?"

"Hmmmm, kalo itu gue pikir-pikir dulu ...," jawabku masih sambil jumawa. Jelas sekarang posisiku ada di atas angin, atau tepatnya dalam hal ini, di atas Inggrid.

Dia mulai terisak.

"Lo ga adil Fan ... Apa yang udah gue perbuat sampai lo tega ...Gue tau kita ga bisa akrab, tapi lo bener-bener keterlaluan ..."

"Lo diem sekarang, keluar dari kamar gue. Gue mau mikir dulu."

Tangisan dia semakin terdengar, dan dia beranjak dari tempat duduk, yang mungkin bagi dia sudah terasa panas dan keras.

"Tunggu Nggrid!"

Dia berdiri dan terdiam, menunggu kata-kataku.

"Sekarang kita bikin perjanjian ...."

Dia masih menunggu kelanjutan kalimatku.

"Lo harus siap memenuhi segala permintaan gue, sampai gue bilang itu cukup. Setiap kali gue minta sesuatu, gue bakal kirim pesan ke hapemu, dan bukan, bukan dengan nomer yang yang gue punya sekarang. Gue ga segoblog itu.”

“Segala ... permintaan ...?”

Aku mengangguk. Dia terperangah mendengar ide gilaku ini. Bibirnya yang mungil melongo, seakan tak percaya bahwa dia harus bertemu dengan masalah ini. Masalah yang disebabkan oleh anak tirinya, yang begitu dia benci.

"DEAL?" Aku berkata gitu sambil menyorongkan tanganku. Pasti dia bisa melihat senyum kemenangan di wajahku.

Dia menggeleng keras, dan berbalik hendak keluar kamar.

“Nggrid, begitu lo keluar dari kamar, lo inget kata-kata gue. Gue ga punya masalah sebar foto-foto itu ke internet, koran atau ke ibu-ibu arisan. Gue tinggal pergi dari rumah ini selamanya, dan masalah selesai buat gue. Tapi buat lo? Masalah baru dimulai ....“

Dia kembali terdiam. Begitu lama, tapi aku sabar menunggu.

“Ok. gue terima, tapi gue ga mau aneh-aneh,” katanya lirih sambil berjalan gontai.

“ingat Inggrid, bukan elo yang menentukan keputusan, tapi gue,” tandasku.

Aku terbahak sesudah pintu itu tertutup. Pembalasan memang selalu lebih kejam, dan manis di dada.

***
Seperti janji lo kemarin, transfer duit ke rekening BCA gue hari ini juga!

Paling tidak janjiku pada Benny bisa kutepati. Hari ini tepat satu minggu janjiku pada Benny untuk mentransfer uangnya. Aku sengaja mengirimkan pesan itu tengah malam.

Pagi itu, aku bangun pagi-pagi sekali, ketika hari belum terlalu terang. Suara bi Marsi sudah terdengar memasak sesuatu di dapur. Dari balkon lantai dua, aku dapat dengan mudah melihat seluruh lantai satu, termasuk jendela kamar tidur utama yang menghadap ke arah kolam renang. Kulihat tirainya sudah terbuka, dan sekonyong-konyong, muncullah pemandangan yang entah kenapa membangkitkan naluri dasar binatangku. Pagi itu Inggrid hanya memakai daster tipis warna merah muda, dengan tali kecil di bahunya, entah sedang melakukan apa di depan kaca besar samping lemari. Jelas aku pernah melihat foto-foto bugilnya, tapi ternyata efeknya lain ketika melihat langsung. Aku tak pernah melihat dia tampil seseksi itu di depan siapapun. Tampak jelas dari kamarku ketika dia membungkuk dalam-dalam, sepasang bukit kembar-tak terlalu besar volumenya-akan tetapi padat-putih mulus mengintip dari sela bajunya. Aku yang dari awal tak pernah berpikir macam-macam, karena aku benar-benar benci wanita itu, jadi berpikir lain.

Otak kecilku di bawah sana langsung bereaksi melihat pemandangan yang cukup spektakuler itu. Selama ini yang aku tahu dia hanya menggunakan pakaian-pakaian yang tertutup, sangat sopan, mungkin diharuskan oleh Papa juga, seperti ibu dahulu. Sorenya, Benny menelponku.

"Fan, makasih ya, duit udah gue terima ..."

"Enjoy Ben,”

"Jelas lah,”

"Eh, ngomong-ngomong, bakal lo apain tuh foto-foto? "

"Lo ga perlu tahu lah, hehehehe ..."

"Jangan-jangan lo pake buat ngisengin istri baru bokap lo?"

“Diem lo ah.”

Kututup pembicaraan telepon itu.
Malam itu, aku ngeloco sambil membayangkan rencana yang akan kubuat dengan Inggrid!

***

Seminggu berlalu tanpa pesan. Aku sengaja memberikan waktu yang cukup untuk dia menenangkan diri dan menganggap semuanya aman terkendali. Saatnya untuk pesan kedua.

Makan pagi gue lebih enak dibawain ke kamar. Oya, jangan lupa waktu bawa makanan ke kamar, pake daster merah muda yang lo pake seminggu yang lalu. TANPA BEHA!

Aku meneguk ludah ketika menuliskan pesan itu. Dan begitu kurang ajarnya aku, karena yang aku kerjain sekarang adalah istri Papa. Peduli amat! Tidak ada kata maaf buat Papa, apalagi istri barunya ini!
Aku harap-harap cemas menanti esok pagi.

****

III. YANG DISEMBUNYIKAN

Tahun 1995,
beberapa minggu sebelum ujian akhir semester.

“Nggrid, gue mau ngomong sama lo.”
Myrna menarik tangan Inggrid, suatu sore itu di rindangnya pohon flamboyan di tengah kampus. Tempat yang biasanya rame itu tumben sepi, dan tak biasa-biasanya Myrna mengajak Inggrid ke situ, apalagi sehabis kuliah Statistik pak Arifin yang sangat melelahkan.
Inggrid jelas curiga, Myrna jelas ada maunya. Selalu saja ada maunya ketika dia ngajak ngomong (sok) serius seperti ini. Terakhir kali dia mengajak ngobrol di bawah pohon flamboyan ini, Myrna minta tolong Inggrid supaya jadi pacar boongannya. Pacar? Tanya Inggrid benar-benar kesal waktu itu. Ayolah Nggrid, kata Myrna, gue ga suka Marno ngintilin gue terus, biarin aja dia pikir gue lesbi.
Jadilah 3 hari kemudian, mereka berdua beraksi seperti orang pacaran di depan Marno, dan Inggrid malu minta ampun waktu itu. Apalagi ketika Myrna memeluk pinggangnya dengan mesra, sambil berkali-kali pura-pura berbisik begitu dekat dengan pipi Inggrid.

“Ok, sekarang mau ngrepotin gue lagi, ye? Mau ngerjain gue lagi ye?” Inggrid tersenyum.

Tapi Myrna tampak begitu serius. Wajahnya entah tampak kusam sekali sore itu.

“Nggrid, sori ya kalo gue suka ngerepotin ....,” dan wajahnya pun tampak semakin kelam. Mendung jelas menggelantung dan sebentar lagi hujan air mata akan tumpah.
Myrna jelas sahabat Inggrid, atau bisa dikatakan, satu-satunya sahabat yang dimiliki Inggrid. Keduanya sudah bersama sejak kelas 5 SD. Masih ingat betul Inggrid waktu itu, ketika Myrna baru saja datang dari Pontianak dan tak punya teman seorang pun di Cianjur. Dialah yang pertama kali menyapanya, dan akhirnya bersedia duduk sebangku dengan Myrna.

Mungkin karena Myrna setengah Cina. Kelihatan sekali mata sipitnya, berpadu dengan kulitnya yang putih langsat cenderung pucat(iya, bukan kuning). Anak-anak di sekolah sepertinya enggan bergaul dengan seorang Myrna.

“Kenapa sih?” tanya Inggrid pelan, tangannya memegang bahu Myrna.

“Gue ga tau mau ngomong sama siapa Nggrid ...”

Suara serak itu kemudian diiringi dengan isak tangis. Inggrid memeluknya, dengan sungguh-sungguh. Myrna tak pernah tidak menceritakan semua problem yang dialaminya, tapi melihat dia sore itu, pasti ada sesuatu yang besar dan sangat mengganggunya.

“Gue ga tau ...”

Inggrid kembali mengusap punggungnya pelahan.

“Masalah sama nyokap lagi Myr? Atau mantan pacarmu yang posesif itu?”

Lagi-lagi dia terguguk. Inggrid sungguh iba melihatnya.

“Myr ...”

“Nggrid, gue butuh bantuan elo ...,” katanya sambil menghela nafas panjang.
Inggrid terdiam. Dan hatinya mulai berdebar. Apa kira-kira yang akan diminta Myrna?

“Lo mau ga jadi model gue?”

“Model? Maksud lo model foto?”

“Iiiiiyyaa ...,” sejenak Myrna ragu menjawab.

“Tapi ...”

“Tapi apa?”

“Sumpah dulu lo ga bakalan marah ya Nggrid?”

“Apaan sih?”

“Sumpah dulu, please ...”

Inggrid mengangguk.
Dengan tergagap, Myrna pun akhirnya menceritakan segalanya pada Inggrid, disela isak tangis, dan setengah memohon.

“LO GILA YA?”

Inggrid terkaget sendiri ketika dia berteriak seperti itu pada Myrna. Tapi apa yang diminta Myrna memang sungguh keterlaluan.

“Sorry Myr, gue ga bisa. Lo cari saja teman yang lain ...”

“Nggrid, Lo tau sendiri nyokap gue sejak cerai ga punya kerjaan tetap. Seminggu lalu Om Hasan, kenalan nyokap nagih utang yang cukup gede ke nyokap. Kalo nyokap ga bisa bayar di akhir bulan ini, rumah gue satu-satunya di Cianjur bakal disita. Cicilan nyokap nunggak, dan gue kudu bayar cicilan itu Nggrid. Inilah pekerjaan satu-satunya harapan gue, Nggrid, dan gue berharap lo bisa bantuin gue ...”

Isaknya tambah kencang, dan beberapa orang melihat ke arah Myrna dan Inggrid.

“Anggaplah ini pertolongan terakhirmu sebelum kita putus jadi sahabat Nggrid. Dosa gue semuanya, tapi gue ga bisa liat nyokap gue mati bayarin utang ...”

Inggrid kembali duduk di samping Myrna. Keduanya terdiam dalam sepi. Hembusan angin sore menjelang malam itu membuatnya menggigil, ditambah lagi dengan permintaan Myrna barusan. Ratusan atau bahkan ribuan helai daun flamboyan itu mulai berserak di tanah karena angin, terkena juga kepala Inggrid dan Myrna. Orang-orang mulai merasa tak nyaman dengan dinginnya angin sore menjelang sore dan pergi dari tempat itu. Mereka berdua masih tetap duduk di tempat.

“Kenapa gue Myr? Kenapa lo ga minta bantuan orang lain yang aku yakin bisa memberikan bantuan lebih sama lo?”

“Gue mau minta bantuan ke siapa Nggrid? Gue ga punya siapa-siapa di sini. Bokap gue entah pergi kemana, nyokap gue jualan juga untungnya ga seberapa. Gue dah kerja kaya gini sejak setahun yang lalu ..., dan toh, kehormatanku masih terjaga sampai hari ini. Gue ga menjual tubuh gue, gue cuman membiarkan ...”

Dia tak melanjutkan kata-katanya.
Nyokap minjam duit buat gue kuliah. Awalnya ga banyak, tapi waktu itu adik gue sempet sakit lumayan parah, dan nyokap abis banyak duit buat perawatan di rumah sakit dan obat jalannya.”

Dan sunyi pun melanda sore yang kelam itu.


***

Setelah naik angkot disambung dengan ojek, Inggrid dan Myrna memasuki gerbang yang setengah tertutup dengan hati-hati.

Gedung dua lantai itu sebenarnya cukup luas. Tak terurus, terlihat dari berbagai puing bangunan, bekas kaleng cat galon, dan kaca pecah yang mendominasi tiap sudutnya. Gerbangnya yang sangat tinggi membuatnya tak terlihat dari jalan raya. Dinding putih yang kusam sudah penuh dengan coret-coretan, lumut dan tumbuhan entah apa. Rekahan-rekahan tembok ada di sana-sini, menampilkan lapisan-lapisan bata merah dan semen yang ditumbuhi lumut. Atapnya pun terlihat bocor di sana-sini, ada yang lubangnya kecil sekecil bola pingpong, namun ada pula yang lubangnya besar sekali, hasil dari plafon yang hancur dihajar air hujan. Bau lembab jamur menyeruak.

“Nggrid, di sini aman, ga usah khawatir, gue udah beberapa kali foto di sini ...”

Inggrid hanya diam saja. Tak dinyana keputusannya beberapa hari yang lalu mengantarkannya ke tempat ini.

Myrna adalah seorang model telanjang. Itulah yang menghantui pikiran Inggrid selama beberapa malam ini. Bagaimana seorang Myrna harus berjuang untuk menghidupi keluarganya yang pas pasan dengan cara nista seperti ini?
Adalah Om Leo, sanak jauh dari ibu Myrna yang tinggal di Bandung yang menawarkan pertama kali pekerjaan itu kepada Myrna. Mereka bertemu secara tak sengaja, ketika Myrna mengirim lamaran ke sebuah studio foto untuk menjadi model. Ketika interview, ketahuan bahwa ibu Myrna adalah anak dari sepupu istri Om Leo yang sudah meninggal. Setelah beberapa sesi pemotretan, Om Leo menawarkan fee yang cukup fantastis untuk ukuran mahasiswa, dan bahkan untuk ukuran orang kantoran. Myrna berpikir cukup lama sebelum akhirnya bersedia menerima tawaran itu, dengan syarat, tidak ada sentuhan antara dia dengan Om Leo, hanya Om Leo yang boleh memotret dia, dan tidak ada orang lain di ruang foto kecuali dia dan Om Leo.

Pagi itu sekitar jam delapan dan mereka sudah berada di dalam gedung. Gedung itu sepi sekali, tampaknya tidak ada satu orang pun di gedung itu kecuali mereka berdua. Myrna langsung menuju suatu ruangan di lantai dua. Debu dan sarang laba-laba menghiasi koridor sempit, yang lebih mirip lorong itu. Beberapa pemandangan plafon yang bocor, bahkan hampir ambrol, menghiasi koridor itu. Sambil berjalan dengan penuh kehati-hatian, Myrna menjelaskan bahwa gedung kosong itu milik saudara Om Leo yang dibiarkan mangkrak karena dia bangkrut dan sampai sekarang masih belum laku dijual. Om Leo menyewa gedung itu dengan harga yang sangat murah, khusus untuk proyek fotografinya.

Tapi ruangan yang dituju Myrna benar-benar dari dunia lain. Begitu masuk, Inggrid terkaget-kaget dengan kondisi ruangan itu.
Satu set perlengkapan fotografi yang tampaknya canggih ada di ruangan yang anehnya sangat bersih dibanding dengan kondisi keseluruhan gedung itu. Ada kamera yang cukup besar, bukan seperti kamera saku yang pernah diberikan Abah kepada Inggrid. Ada lampu-lampu dengna penutup semacam kain payung yang melingkupi sebuah panggung kecil berwarna putih.

“Kita nanti berfoto di situ …,” jelas Myrna sambil menunjuk semacam panggung dengan kumpulan sofa dan kursi-kursi bergaya klasik yang berukir cantik.

“Siapa yang bakal foto kita Myr?”

Myrna terdiam sejenak.

“Om Leo minta aku foto lo, karena pasti lo ga nyaman untuk pertama kali. Nanti dia datang setelah kamu selesai difoto untuk memfoto aku ...”
Sekarang giliran Inggrid yang terdiam.

“Myr, lo yakin foto-foto kita ga akan kemana-mana kan?”

Myrna kemudian menyodorkan secarik kertas kepada Inggrid.

“Ini kontrak fotomodel. Di situ disebutkan bahwa semua foto tidak untuk disebarluaskan, dan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi Om Leo ... “

“Tapi, bagaimana kita yakin bahwa foto itu ga disalahgunakan?”

“Aku percaya Om Leo Nggrid. Selama ini pun, tak pernah sekalipun dia menyentuhku, atau berbuat macem-macem denganku. Dia pernah bilang, kalo dia hanya suka melihat keindahan tubuh wanita. Loe masih bisa balik pulang Nggrid jika lo ragu ...,” kata Myrna pasrah.

Inggrid terduduk di sebuah kursi.

“OK, satu kali ini saja Myr. Semua demi lo, jadi jangan pernah lupakan hal ini, OK?”

“Ok, Nggrid. Gue ngerti …”

“Jadi, apa yang harus gue lakukan pertama?”

“Itu ada deretan kostum yang bisa lo pilih. Biasanya urutannya seperti ini, lo pake pakaian seksi, pake kutang, pake CD, terus pelan-pelan lo copot, sampai akhirnya nude, telanjang total,” jelas Myrna tanpa jeda sedikitpun. Tampak sekali bahwa dia sudah terbiasa dengan aktivitas ini.
Setengah gemetar, Inggrid beranjak, setengah ragu memandang Myrna.

“Lo mau gue pilihin kostum?”

Inggrid mengangguk. Myrna segera mencari di tumpukan baju.

“Nggrid, Om Leo paling suka pakaian-pakaian yang sederhana, macam ibu rumah tangga, orang desa, pembantu gitu deh ...,” kata Myrna sambil menyerahkan sebuah baju. Itu daster warna coklat muda, dengan motif bunga-bunga. Tak ada yang aneh dengan baju itu. daster yang bahkan Inggrid punya di rumah. Tali kecil di bahu, dan sedikit di atas lutut. Benar-benar biasa.

“Lo yakin?”

“Percayalah, gue sering ...,” kata Myrna sambil menyiapkan lampu dan kamera. Dia memang sudah terbiasa.
Ada semacam partisi untuk ganti baju di situ, dan dengan enggan Inggrid berganti baju di sana.

“Setelah berganti duduklah di panggung itu, dan belajarlah berpose seperti foto-foto yang gue liatin kemarin.” kata Myrna sekarang di depan kamera dengan tulisan Canon EOS 100 itu.
Dan Inggrid baru tahu alasan kenapa baju itu yang disodorkan oleh Myrna. Begitu dipakai, terlihat bahwa bagian dadanya dan lengannya menjadi sangat terbuka. Inggrid menyadari, dadanya memang kecil dibandingkan milik Myrna, dan dengan memakai daster itu, sama saja dengan dia memperlihatkan tigaperempat bagian buah dadanya, bahkan half cup bra warna putih yang dia pakai dengan tali bahu yang kecil pun terlihat jelas.
Inggrid merasakan dirinya merinding. Rasa malu yang luar biasa jelas, tapi di satu sisi, hanya ada dirinya, Myrna dan kamera, dan ada rasa lain yang datang. Dia merasa sangat seksi. Dan entah kenapa, dia merasakan ketegangan menyeruak di puting susunya.

“Wow, gue sering liat lo pake daster, tapi yang ini benar-benar ... seksi,” Myrna terpana memandangnya. Pipi Inggrid memerah seketika. Bangga atau malu?

Inggrid dan Myrna menyiapkan make-up terlebih dahulu. Seperti kata Myrna, Om Leo berpesan supaya mereka menggunakan make-up tipis-tipis saja, selayaknya kalau kuliah. Dia lebih suka seperti itu, katanya.

“Kita mulai? Siap?”

Inggrid mengangguk, dan Inggrid pun menempatkan dirinya di panggung yang telah disediakan itu, berpose seksi untuk pertama kalinya. Myrna terbahak seketika.

“Posemu kaku banget kayak wayang, relaks aja, kan cuman ada gue di sini. Gue pake polaroid dulu deh, biar lo nyaman,” kata Myrna kemudian sambil mengambil sebuah kamera tenteng yang bisa langsung mencetak foto. Dia mengambil beberapa foto dari pose Inggrid.

“Nih, liat sendiri hasilnya, mana yang menurutmu keren?” kata Myrna menyorongkan kertas foto keluaran kamera tenteng itu. Inggrid, yang baru sekali itu melihat kamera Polaroid, terpana. Dan langsung malu. Dia memang terlihat sangat kaku, tegang bahkan.
Myrna kembali memotret, dan Inggrid kembali berpose.

“Bungkukkan badanmu Nggrid, tangan bertelekan, yaa, begitu, senyum nakal sedikit ...,” dan instruksi itu pun dilontarkan Myrna sambil tak henti memotret. Kali ini dengan kamera Canon itu.

“Perlihatkan belahan dadamu, yaa, begitu..., angkat tanganmu, yaa …”

“Ok, itu seksi, yaaa …”

Dan instruksi-instruksi itu membuat efek yang aneh, seakan-akan Inggrid mabuk. Kepalanya berputar, tubuhnya melayang begitu ringan seiring jepretan demi jepretan itu.

“Nggrid, sekarang mulai agak berani ya. Turunkan sedikit tali bahunya, bayangkan ada tangan yang merabanya pelan, ok gitu sip, gigit bibirmu, sip, ...”

Inggrid mulai merasa nyaman. Tak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Dan yang lebih aneh lagi, dia menikmati sesi itu. Sungguh. Peluh mulai meleleh di dahi, padahal dasternya sudah terbuka di bagian atas, dan ruangan itu cukup luas. Tapi dia merasakan ada sensasi nikmat dari sesi pemotretan ini. Terangsang. Merasakan ada kegelian yang amat sangat di bawah sana, diantara kedua selangkangannya, dan hampir yakin, putingnya pasti keras tegang.

“Nggrid, Ok untuk mulai lepas BH ya?”
Inggrid mengangguk, terlalu cepat.

“OK, lepas be ...,” kalimat Myrna kalah cepat dengan terlepasnya bra dengan bukaan depan itu. Myrna kembali terpana.

“Gue buta kalo gue ga liat ada yang mengacung itu, hehehe,” tawanya lepas. Inggrid tertawa malu.

“Hayo, Lo terangsang ye nek?”

Inggrid tak menjawab, tapi Myrna pasti bisa melihat wajahnya yang bersemu merah.

“Gue juga dulu. Entah, begitu kamera sudah jepret, dan Om Leo terus ngomong, gue entah kenapa terangsang banget. “

“Mau lanjut?”

Inggrid mengangguk.

“Tutup tangan dulu itu tetekmu, yaa ...”

Dan ya, Inggrid semakin terangsang. Sesi ini benar-benar memabukkan. Jepretan itu terus terdengar, seiring tangannya sendiri meraba, meremas, menowel payudaranya sendiri, semakin tinggi rangsangan itu. Tak sadar ia mendesah. Atau mendesis?

“Inggrid, mau berhenti dulu?” serak suara Myrna. Matanya menatap tajam ke arah Inggrid.


***

Pagi itu, aku sengaja bangun lebih pagi untuk melihat apakah Inggrid bakal melaksanakan instruksiku atau tidak. Kudengar percakapan samar-samar di bawah antara Inggrid dan asisten-asisten rumah tangga kami.

"Marsi, Tinah, Ibu minta tolong belikan beberapa sayur di pasar dong, sama tolong belikan obat. Ibu ga enak badan. Nasi gorengnya udah dimasak? Tadi anak-anak udah pada makan atau belum? "

"Mas Riefan belum bu, mbak Ze dan Mas Ryan sudah barengan. Mereka udah berangkat ke kampus. "

"Ya udah, ntar aku bangunin aja Riefan. Ni duit buat belanja sama buat bajaj. Ga usah buru-buru, yang penting semua dapet ya, jangan sampai engga!"

"Iya bu, Marsi sama Tinah pergi dulu. Tapi beneran Ibu ga papa ditinggal sendirian? Soalnya Bapak wanti-wanti kalo kita ga boleh ninggal Ibu! "

"Gapapa, ada Riefan ini ... "

Aku mendengar percakapan itu dari lantai dua rumah ini. Jantungku berdebar ekstra keras. Instruksiku ternyata efektif dijalankan oleh Inggrid. Limabelas menit kemudian yang terasa lama sekali bagiku, kudengar ketukan pelan di pintuku. Kubuka pintu itu, dan hampir saja aku tersenyum penuh kemenangan melihat Inggrid di depan pintu. Dia memang membawa sarapan, tapi sayangnya dia memakai sweater sebagai atasan. Aku benar-benar marah.

"Lo ga sesuai instruksi Nggrid!"

"Lo kurang ajar Fan. Gue ga masalah bawain sarapan lo ke kamar, tapi tolong hormati gue sebagai istri ... "

"Gue ga mau tahu Nggrid. Bakal ada konsekuensi dari setiap pelanggaran. Lo inget-inget aja, bahwa konsekuensi itu bakal lebih berat daripada permintaan gue di hapemu itu. Mungkin seminggu lagi, gue jamin ibu-ibu Arisan di tempat Papa kerja bakalan denger semua tentang ceritamu, atau mungkin bahkan sedikit foto-fotomu itu. Ga bisa membayangkan hebohnya, hehehe."

Dia terdiam.

"OK, " katanya lemah, lirih sekali.

“Lo bilang apa barusan? GUE GA DENGER?”

“Ok!”

“Jawaban yang bagus. “

"Fan, tapi lo janji, jangan pernah bilang ini ke siapa-siapa? "

"Daripada lo nanya itu ke gue sekarang, lebih baik lakukan instruksi-instruksi gue dengan baik dulu. Gue yang bakalan ngasih tau kapan kita berhenti dengan permainan ini ... "

"Permainan katamu Fan? Jadi lo anggap ini sesuatu yang membuat lo seneng, buat lo main-main? Lo bakal ngerendahin gue, dan lo suka liat semua ini?"

"Nggrid, lebih baik lo diam sekarang ...Lo keluar, ganti baju seperti instruksi, dan bawa sarapan buat gue. Dengan cara yang benar, Nggrid!"
Dia gontai ketika melangkah, dan membawa sepiring nasi goreng itu.

7 menit 32 detik berlalu, aku benar-benar menghitung setiap menit dengan penuh ketegangan, terdengar lagi sebuah ketukan sangat pelan.

“Masuk Nggrid!”

Dia membuka pintu dengan ragu. Aku tersenyum.

“Wah, Ada sarapan nih. Sarapan apa pagi ini ya?”

“Nasi goreng, Fan.”

“Lo yang masak?”

“Bukan, Marsi.”

Aku berkata-kata selayaknya aku belum bertemu dia sama sekali pagi itu. Ini bakalan jadi drama yang penuh “ketegangan”.

Ya, “ketegangan” penisku. Ketika membuka pintu, suguhan indah itu sudah terlihat. Leher jenjangnya putihnya tak tertutup kerah, dan bahu licinnya yang telanjang, hanya bersalut tali bahu daster warna merah muda yang tipis. Dan satu lagi pemandangan yang benar-benar kutunggu, gundukan bukit kembar tak berbeha. Putingnya nampak menonjol di belakang kain daster tipis itu. Sangat menonjol. Mungkin karena dinginnya pagi, entahlah. Tak sadar aku kembali mengelus penisku yang memberontak dari dalam boxer.

“Makasih ya Inggrid.”

“Ok, silakan makan Fan …”

Dan dia bersiap berlalu dari kamarku.

“Tunggu Nggrid, tidak secepat itu!”

“Fan …”

“Gue kasih tau cara menyajikan nasi goreng itu. Lo sekarang berlutut, taruh piringnya di lantai, dan lo harus merangkak pelan-pelan dari depan pintu sambil mendorong piring nasi itu, sampai gue bilang stop. NGERTI?”
Dan Inggrid bukannya bodoh. Dengan cara itu, aku dengan mudah bakalan melihat pemandangan indah salah satu asset berharganya. Dadanya.

“Fan, tolonglah. Sudah cukup lo mempermalukan gue, sekarang gue harus ...”

Dia tak melanjutkan kata-katanya.

“Nggrid, sekarang!”

Aku melihat matanya kembali berkaca-kaca. Wajahnya yang putih memerah seperti kepiting rebus. Sebulir air mata mengalir di pipinya. Dia berlutut di depan pintu kamarku.

“Tutup pintunya Nggrid. Gue ga mau tiba-tiba Marsi lewat dan melihat semua kesenangan ini. “

Berlututlah dia kembali, dan mulai merangkak. Dan sekarang penisku benar-benar tegang sakit, dan sewaktu-waktu bisa meledak. Meledak dengan mengeluarkan sperma maksudnya. Boxer itu menjadi terasa sangat sempit, dan gesekan dengan kainnya dengan-dengan bisa membuat ejakulasi. SIAL!

Gundukan dadanya menggantung. Dadanya memang tak besar, tapi kekencangannya benar-benar luar biasa. Dari atas aku bisa memastikan itu.

Dan putingnya.
Luar biasa.

Aku tak tahu apa alasan putingnya begitu tajam mancung. Mungkin karena dinginnya AC kamarku. Berwarna coklat muda, aku hanya melihatnya di foto, tapi sekarang, melihatnya langsung benar-benar menimbulkan sensasi lain. Dan itu hanya berjarak 1 meter dariku, dan semakin dekat.
Dia terisak, sesenggukan semakin keras. Piring itu sekarang sudah ada pas di kakiku, dan jarak tubuhnya dariku sekarang begitu dekat.

“Stop Nggrid. Sekarang ambil piring itu, dan berdirilah.”

Dia berdiri, begitu dekat dengan aku, dan dengan mudah aku bisa menariknya ke tempat tidur dan menyetubuhinya. Begitu mudah.

“Makasih ya Nggrid. Lo boleh pergi. ”

Dia kaget. Dia tak menduga bahwa aku akan menyuruhnya pergi.
Aku tak berusaha menyembunyikan ketegangan penisku di depan dia. Dengan hanya memakai boxer, pasti dia dengan jelas melihat kontur penisku itu. Dan jelas kulihat lirikannya ke arah penisku. Sekarang bukan saat yang tepat. Masih banyak waktu dan aku pengen menikmati momen-momen ini.
Dia tak berkata apa-apa dan segera berlalu dari depanku.
Aku tak jadi sarapan dan menghabiskan pagi dengan onani. Secepat kilat.

***

Inggrid menggeleng.

“Ehhhh, ga Myr, yuk kita lanjut ...” kata Inggrid lirih. Menahan sesuatu? Myrna tak yakin. Tapi desahan lirih ketika Inggrid berpose …

“Nggrid, Sudah saatnya kamera ini melihat keindahan dadamu ...,” kata Myrna, kali ini sambil menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, melihat “kepolosan” Inggrid, sahabatnya yang selalu cukup tertutup dalam berpakaian, Myrna merasa terangsang sendiri.

Inggrid melongo. Dia tahu cepat atau lambat, Myrna pasti memintanya untuk melepas tangannya dari sepasang asset berharganya yang dia tutupi.

“OK, Myr, tapi gue minta satu syarat, boleh?”

“Apa itu?”

“Gue terus terang benar-benar malu dengan pose-pose ini. Gue punya satu permintaan, dan gue harap lo mau melakukannya. Boleh ga lo melakukan hal yang sama dengan gue sambil memotret?”

“Maksud lo?”

“Emmmm, Myr. Aku bakal lebih nyaman kalo ketika gue lepas baju, lo juga lepas baju. Ketika gue lepas CD ntar, lo juga ...”

“Nggrid, jangan aneh-aneh gitu lah. Baru kali ini gue denger ada permintaan seperti itu ...”

Inggrid terdiam sejenak.

“Myrn, inget bahwa gue berkorban banyak buat lo Myr. Saat ini gue bener-bener ga nyaman dengan kondisi ini, dan gue butuh lo untuk membuat gue merasa nyaman,” kata Inggrid. Myrna merasa bahwa ada kebohongan dalam kata-kata ini, tapi bagaimanapun, dialah yang menyeret Inggrid untuk sampai di tempat ini dan bersedia difoto sampai bugil, dan memang benar bahwa Inggrid berkorban benar-benar untuk dia.

Tanpa berpikir panjang,”OK, rasanya tidak ada salahnya gue melakukan itu,“ kata Myrna. Tapi kenapa Myrna menjadi grogi sendiri setelah menjawab permintaan Inggrid itu?

Inggrid melepas tangannya di depan dada, daster masih tetap dipakainya sampai batas perut karena dia dalam keadaan duduk. kembali Myrna merasakan dadanya berdetak kencang, hampir seperti perasaan ketika Robby, mantan pacarnya dulu, menciumi dan meraba-raba dadanya untuk pertama kali. Nafsu.
Payudara Inggrid itu mengacung indah. Kini tampak sempurna karena tiada tangan yang menutupinya. Sepasang buah dada putih yang, tidak terlalu besar sebenarnya, tapi tegak tak kendor menantang gravitasi. Kedua ujungnya pun sudah meruncing, jelas karena nafsu yang entah berapa lama sudah timbul di dalam Inggrid. Tampak bidang areolanya yang sempit dan berwarna coklat, kontras sekali dengan warna kulitnya. Myrna benar-benar merinding. Dia jelas bukan lesbian, tapi melihat wanita setengah telanjang di depannya benar-benar memberi pengalaman birahi yang baru.

“Giliran lo Myr ...”
Myrna tertegun.

“Myr?”

Tangan Myrna mulai bergerak melepas kaos berkerah warna kuning itu. dan Inggrid tak berkedip ketika tangan Myrna menarik kaos itu ke atas, dan kemudian pada akhirnya menampilkan tubuh sedikit gempal berwarna putih langsat itu.
Keduanya mendesah. Inggrid yang baru kali ini melihat tubuh Myrna secara langsung benar-benar kagum. Dada Myrna sungguh besar! Inggrid kemudian melihat payudaranya sendiri dan membandingkannya dengan kepunyaan Myrna, Kalah JAUH!
Dada Myrna terbungkus BH warna kuning, senada dengan kaos, dan jelas BH itu tak muat menampung si daging kembar, karena terlihat meluap ke atas dan ke samping. Tak sengaja Inggrid menelan ludah. Dan dengan sekejap, kaitan BH yang menahan beban berat itu terlepas, dan “jatuh” pula beban berat yang dari tadi tersangga. Inggrid melotot.

“Myr, gila! Itu bola apa susu?”

Myrna tertawa tertahan, agak malu.

“Sial, lo, lanjut foto Nggrid?”

“Iyaaaa, tapi ...”

“Apalagi sih Nggrid?”

“Gue boleh ...”

Inggrid berdiri, dan sontak dasternya melorot kebawah, memperlihatkan betapa jenjang kaki putih mulusnya, dan bagian bawah perutnya yang tertutup celana berenda warna putih. Dia berjalan ke arah Myrna.

“Lo mau ngapain Nggrid?”

“Pegang sebentar?Penasaran gue ...”

Inggrid sekarang ada persis di depan Myrna. Tangan kanannya terulur ragu meraih gumpalan daging Myrna itu. Myrna merinding sejadi-jadinya, bahkan sebelum tangan itu menyentuh dadanya. Tak kuasa dia menolak permintaan Inggrid, karena dirinya pun seakan mengharap jemari lentik itu melakukan sesuatu pada dadanya. Putingnya yang mungil, berbanding terbalik dengan ukuran dadanya yang massif, dengan tak sadar telah berontak, terisi dengan darah, dan akibatnya, tegang mengacung menanti godaan. Jari lentik Inggrid mendarat, setengah mengambang di puting Myrna, dan tubuh Myrna sontak menegang. Birahi?
Tangan itu mulai mengelus kulit dada Myrna yang sudah meremang, menimbang-nimbang beratnya dengan meremas bagian bawah dadanya.

“hmmm, besaaaar,” kata Inggrid, sambil meneruskan rabaannya, kali ini lebih tepat disebut remasan.

“Nggrid? lo lagi doyan cewek ya?” Myrna berkata seraya tertawa tertahan.

Tapi Inggrid seakan tak mendengar. Kini kedua tangannya beraksi mengelus, meremas-remas dada padat itu. tak tahan, Myrna pun mendesah, dan tangannya mengelus tangan Inggrid yang nakal di dadanya. Menyusuri mulus tangan itu, merabanya, dan menemukan begitu banyak bulu halus. Bulu-bulu itu meremang tersentuh tangan Myrna. Harum Inggrid mulai menusuk hidung Myrna.
Remasan itu terhenti. Puting susu itu terlanjur tegang.

“Nggrid ...”

“Yuk, aku siap difoto lagi,” kata Inggrid kemudian kembali duduk di panggung, tampak sangat nyaman dengan ketelanjangan dadanya. Myrna tertegun, dengan kepala yang bertanya-tanya kembali memegang kamera.

Kembali Inggrid berpose dan Myrna menjepret, dan Myrna melihat bahwa Inggrid sangat menikmati pose-pose itu, persis seperti dia dulu. Bahkan tangannya pun ikut aktif, kadang di depan, kadang terlihat meremas, membuat Myrna geregetan. Entah kenapa, tapi mungkin karena nafsunya yang tadi sempat naik, walaupun dia yakin betul dia hanya suka laki-laki.

“Segitu udah cukup Myr?”

“OK, Nggrid.”

Sekarang saat terakhir …..

“Nggrid, celana dalam?”

“Ya, sudah saatnya ya. Lo?”

“Gue rasa lo aja kali ini Nggrid. mana ada sih fotografer yang ikut bugil sama …”

“Kan elo bukan fotografer biasa, dan lo kan berutang banyak sama gue?”

Myrna tertegun kembali. Benar bahwa Inggrid ikhlas membantunya, dan benar bahwa Inggrid pun layak dapat pengakuan, penghargaan darinya.


****

IV. PESURUH NAFSU

Tiga hari berlalu sejak kejadian pertama itu. Dan aku sudah siap dengan pesan selanjutnya.

Adakan acara makan malam bersama sekeluarga hari Kamis. Lo harus berusaha untuk menjadi teman Ze dan Ryan. Lo harus akrab dengan mereka. Dan satu hal lagi, Lo harus pake rok selutut, dan ingat, TANPA CELANA DALAM!

Sesungguhnya, setelah aku pikir-pikir lagi, aku mulai kasihan kepadanya. Dia mestinya tak perlu menanggung “kenakalan”ku. Tapi entah kenapa, Iblis di dalam otakku masih menyarankan aku untuk melakukan itu. Menghukum Papaku lewat Inggrid, dan menghukum Inggrid karena menguasai rumah ini!

Dan menunggu hari Kamis itu amatlah lama. Aku merasakan penisku tegang tak henti, tak sabar menunggu saat-saat mendebarkan itu.

Ze mendatangiku tiba-tiba suatu malam.

“Mas, lo tau kalo mama mau ngadain makan malam bareng hari Kamis?”

“Mama? Ooo, maksudmu Inggrid. Ga tuh, ga bilang apa-apa dia ...”

“Iya, jadi tadi dia ngomong sama gue sama mas Ryan, kalo Papa pengen makan malam bareng semua di meja makan.”

“Jadi itu idenya Papa kan? Bukan ide Inggrid?”

“Mungkin ya. Lagian, bagus juga kali, buat keluarga kita. Mama Inggrid berusaha banget kayanya deketin kita, tingkahnya juga berbeda sekali minggu-minggu ini,” kata Ze sambil menggelendot manja di bahuku.

“Inget Ze, dia tuh bukan siapa-siapa kita ...”

“Tapi dia kayanya berubah lho mas, ...”

“Sudahlah, ga usah ngomongin itu. Kalo memang Papa mau makan malem bareng, ya sudah. Kita makan malem bareng. Gue lagi males ngomongin Inggrid, dan lebih males lagi kalo lo dateng ke kamar gue cuman mau ngomongin dia!”

“Iya deh. Ngomongin yang lain deh.”

Dan mulailah Ze bercerita tentang pacarnya dan kuliah di kampus.Tak hanya Ze, sehari sesudahnya, Ryan pun bertanya kepadaku, dan kembali jawaban yang sama aku berikan. Makan malam bersama memang menjadi sesuatu yang mengherankan, terutama sejak Ibu meninggal. Dulu Ibu sering sekali mengajak kami makan malam bersama di rumah, tentunya dengan ibu yang masak. Setelah Ibu meninggal, praktis tak pernah lagi ada acara macam itu di keluarga ini, paling tidak yang melibatkan Papa.

Kamis malam akhirnya tiba, dan dengan anehnya, kami semua duduk di meja makan. Tertib. Suasana itu sangat canggung. Tak ada satupun yang berani mengawali pembicaraan. Di meja dengan enam kursi itu, aku duduk sengaja di samping Inggrid. Papa duduk di ujung yang lain dengan Ze dan Ryan. Satu kursi di samping Inggrid kosong.

“Ma, bisa tolong ambilin lauk di depanmu?”

Aku tiba-tiba saja memecah kekakuan itu. Semua orang terpana memandangku, karena aku menyebut Mama untuk Inggrid. Sesuatu yang mengherankan semua orang di meja itu, termasuk Inggrid. Inggrid tergopoh bangkit untuk mengambil ayam.
Dan akhirnya orang-orang pun mulai mengambil lauk dan nasi, mengikuti Inggrid.

Inggrid, harus kuakui, tampil elegan sekali malam itu. Dengan baju terusan sutra warna biru yang seakan menempel erat di tubuh, aku bisa dengan jelas melihat kontur tubuhnya, dan terlebih lagi, ketika dia bangkit tadi, aku punya alasan untuk mengecek apakah ada tanda celana dalam yang nyeplak di pantatnya. Sayangnya tak terlalu jelas terlihat.

Pembicaraan kemudian mengalir, agak aneh, canggung, dengan Papa menanyakan sesuatu yang sebenarnya remeh temeh kepada Ze dan Ryan. Tak jelas jawaban mereka kepada Papa, tapi aku yakin mereka cukup senang, pada akhirnya bisa ngobrol bersama Papa. Ya, rasanya memang begitu. Tampaknya memang mereka masih benar-benar butuh perhatian Papa dan Papapun aku lihat berusaha untuk mendengarkan mereka.

Kurasakan juga Inggrid berkali-kali menyeletuk, menimpali pembicaraan mereka. Hanya aku yang tampak terlalu diam, walaupun Ze berkali-kali mengajak bicara aku, dan jawabanku selalu pendek-pendek. Entah, tapi rasanya aku tetap harus berperan sebagai seorang laki-laki yang keras kepala, susah ditebak, dan susah didekati.

Dalam pembicaraan selama makan itu, keisenganku, atau lebih tepatnya niat jahatku, mulai muncul. Jarak tempat dudukku dengan Inggrid memang cukup dekat, kira-kira hanya sekitar selenganku. Aku pengen melakukan sesuatu untuk mengetes apakah Inggrid benar-benar mengikuti instruksiku atau tidak. Dengan tetap menjaga ketenangan dan meminimalkan gerakan tubuh, tanganku mulai melata, bergerak perlahan menuju bagian paha Inggrid. Yup, tanganku sudah mendarat dengan sempurna di atas pahanya yang tertutup rok satin itu. Uuuh, betapa menegangkannya!

Seketika mata Inggrid melotot ke arahku, tentu sekejap saja karena dia harus menjawab pertanyaan dari Papa, entah tentang apa. Aku rasa dia kehilangan konsentrasi seketika ketika tanganku ada di pahanya. Aku benar-benar merasa di atas angin, dan betapa jahatnya aku ketika aku menggerakkan tanganku pelan-pelan meraba pahanya di balik kain satin itu. Satin yang begitu lembut itu seakan mewakili kemulusan kulit Inggrid. Tidak. Satin belum mewakili kemulusan kulit Inggrid. Aku harus merasakan, menyentuh langsung kulit mulusnya. Kuturunkan belaianku menuju lututnya, dan kemudian mendorong pelan-pelan roknya menuju ke pangkal pahanya, dan sambil menikmati rabaan langsung pada kulitnya. Seketika kurasakan kulit Inggrid merinding.

Kuperhatikan sekeliling, takut aku terlalu menikmati sesi nakal ini, tapi tak ada reaksi aneh dari Zey, Ryan atau Papa. Aku melihat mata Inggrid yang melotot diam-diam ke arahku. Aku tersenyum jumawa ke arahnya. Tanganku terus mengelus pelan kulit pahanya, dan sekarang sudah berada tepat dekat pangkal pahanya. Moment of truth, saat yang menentukan. Apa yang akan aku dapatkan di selangkangannya? Debar jantungku semakin kencang, dan aku memberanikan diri untuk merangsek tepat di jantung kewanitaannya. Dan tepat saat itu juga, tangan Inggrid menahan tanganku.

“Udah selesai makannya? Ada yang mau nambah?” tiba-tiba Inggrid berseru, mengagetkan aku. Kami semua menggeleng, dan melanjutkan percakapan yang diawali dengan dingin tadi.

Tanganku masih berada di genggaman dia, tepat di atas pangkal paha Inggrid. Dan apa yang dia lakukan selanjutnya benar-benar mengagetkan aku! Dengan santainya, tanganku dia arahkan, tepatnya dia bimbing, menuju bagian paling sakral yang semestinya hanya boleh diakses Papa. Vaginanya! Ternyata benar dia melaksanakan instruksiku. Tanganku dia letakkan sepintas di mons pubisnya yang botak licin tak berambut, dan tentu saja aku dapat merasakan belahan vaginanya. Tak lama.

Tiba-tiba saja tanganku dibuang olehnya, dan dia segera bergerak menjauhkan pahanya dari aku. Satu lagi kemenangan kecilku!

Malam itu berakhir dengan cukup manis sebenarnya. Kami semua dapat berbicara selayaknya orang-orang dewasa dalam sebuah keluarga. Ada satu saat dimana ketika aku hanya berjalan ke arah kamar dan bertemu dengannya yang baru keluar dari kamar mandi.

“Lo udah puas? Tolong segera hentikan permainan konyol ini, Fan,” bisiknya memelas.

“Tenang aja Nggrid,” aku menjawabnya sambil lalu, dan tepat ketika dia berlalu, aku menepuk pelan pantat yang kutahu pasti tak tertutup celana dalam. YES!

****

Mata Inggrid membelalak, terkagum-kagum tepatnya, ketika Myrna pada akhirnya meloloskan seluruh celananya, dimulai dari celana curdorouy panjangnya, dan disusul dengan celana dalam putihnya. Bentuk pinggul Myrna yang melebar, ditambah dengan pantatnya yang bulat besar, benar-benar material yang sempurna untuk foto-foto seksi. Pantes sekali jika Om Leo spontan mengajak Myrna menjadi model seksi. Tubuhnya benar-benar luar biasa seksi.

Tak hanya itu, ketika celana dalam Myrna terlepas, tampak pula kesempurnaan kewanitaan Myrna. Belahan vagina segaris dengan bulu-bulu yang terawat rapi, benar-benar membuat birahi siapapun yang memandangnya.

“OK, sekarang saatnya foto sesimu ya, Nggrid, bukan gue,” kata Myrna mencoba berseloroh. Inggrid tertawa tertahan. Dengan kondisi keduanya telanjang bulat, situasi pemotretan itu menjadi seperti komedi. Tapi Myrna tampaknya tak mau berlama-lama dengan ini, dan segera mengarahkan Inggrid untuk berpose, sampai dia benar-benar puas. Inggrid sadar bahwa Myrna sendiri cukup jago sebagai seorang fotografer. Om Leo tampaknya mendidiknya, selain sebagai seorang foto model, juga sebagai fotografer. Paling tidak amatir.
Sesi foto itu berakhir siang hari, dan mereka berdua terasa sangat lelah.

Beberapa hari kemudian, Myrna menyampaikan terimakasihnya kepada Inggrid, sembari menyerahkan sebuah amplop kepadanya.

“Eh, ini apa?”

“Om Leo sangat puas dengan hasil fotomu, dan memberikan honor ekstra untuk lo,” kata Myrna.

“buat lo aja. Lo lebih butuh daripada gue,” kata Inggrid.

Myrna menggeleng, dan tetap berkeras menyerahkan amplop berisi uang itu kepada Inggrid.

“gue udah ambil bagian gue Nggrid. Om Leo sebenarnya menawarkan satu kali sesi lagi ke kita, kalo lo mau ...,” kata Myrna sedikit ragu. Inggrid diam saja, menunggu Myrna melanjutkan kata-katanya.

“Tapi dia mau dia sendiri yang foto, dan modelnya kita berdua, foto barengan ...,” lanjutnya pelan, masih tampak ragu.

Inggrid membuka amplop yang dibeRikan Myrna, dan cukup kaget melihat jumlahnya. Wow, dua juta rupiah. Banyak sekali.

“Mau ga lo Nggrid? Sekali lagi aja. Feenya tiga kali lipat yang kita dapat sekarang ...”

“Sekali lagi aja?”

Myrna mengangguk.
Entah kenapa Inggrid mengangguk saja terhadap pertanyaan Myrna. Ada secercah senyum yang timbul di wajah Myrna, tapi Inggrid tak tahu arti senyum itu.

“Makasih ya Nggrid. Duit tambahan ini bakal berguna banget buat nyokap dan adik gue.”

“Masalah utang nyokapmu gimana?”

“Emmmm, Udah udah,” kata Myrna, mengangguk cepat.

Sekitar satu Minggu berlalu sejak percakapan mereka berdua. Inggrid tak terlalu memikirkan hal itu lebih jauh karena sibuk memikirkan ujian tengah semester yang sudah dekat. Hari-hari dia dipenuhi dengan pulang pergi ke perpustakaan kampus dan belajar bersama. Sejenak saja dia melupakan Myrna dan proposalnya.
Telepon kos-kosan berdering hari Sabtu pagi itu.

“Nggrid, telepon nih dari Myrna,” seru Lala dari ruang tengah. Inggrid segera menyambut telepon itu

“Hei Myr.”
...
“Sekarang?”
...
“Dijemput Om Leo?Di kos?”
...
“OK”
Dua jam kemudian, sebuah mobil hardtop warna biru tua berhenti di depan kos Inggrid. Myrna keluar dari mobil itu dan menyambut Inggrid.

“Sini, gue kenalin dengan Om Leo,” katanya sambil menarik tangan Inggrid.

Cukup mengagetkan ketika Inggrid mendapati bayangan dia tentang Om Leo sebagai om-om tua yang gendut jauh sekali menyimpang. Om Leo bisa dikatakan masih cukup muda, sekitar 40an tahun umurnya. Tingginya sekitar 180an cm, jauh lebih tinggi dari Inggrid dan Myrna. Badannya tegap besar, rambut gondrong sebahu, dengan jambang dan berewok yang amat lebat.

“Hallo Inggrid. Aku Leo. Semoga Myrna ga cerita macem-macem tentang aku ya,” katanya sambil menyorongkan tangan, tersenyum. Dan Inggrid baru sadar, dari tadi dia melongo tanpa menyapa Om Leo. Myrna menyenggol lengan Inggrid.

“Hai Om. Aku Inggrid,”

“Yuk, jalan sekarang,” seru Om Leo sambil menaiki jok mobil yang cukup tinggi itu. Inggrid duduk di belakang,dan melihat beberapa peralatan fotografi yang dibawa oleh Om Leo.

“Nggrid, Myrna udah cerita belum tentang sesi hari ini?”

“belum terlalu jelas Om.”

“Ok, jadi aku ada permintaan klien yang cukup spesifik untuk majalah luar negeri. Temanya cukup unik, tapi kurasa kalian bisa ngelakuinnya. Mereka minta tema cinta sesama jenis, Nggrid. Sesama perempuan.”

Inggrid pun menelan ludah saking kagetnya.


****

Rumah besar itu lagi-lagi terasa sepi. Permainan-permainan kecil yang aku lakukan bersama Inggrid ternyata membuat aku kembali betah berada di rumah. Aneh sebenarnya karena sudah sekian lama, bahkan sejak ibu masih hidup, aku jarang sekali ngendon di rumah terlalu lama. Keinginan yang sangat besar untuk mengendalikan perempuan sombong ini benar-benar membuatku hidup kembali.

Aku menjaga diri untuk tidak mengirimkan pesan-pesan rahasia terlalu sering. Sudah sekitar dua minggu berlalu tanpa pesan dariku. Tampaknya Inggrid pun masih bersikap biasa saja ketika kami sama-sama ada di rumah. Hanya saja, dia selalu memanfaatkan momen ketika hanya ada kami berdua untuk mempertanyakan kapan aku hendak mengakhiri permainan ini.

Seperti pagi ini contohnya. Aku, entah kerasukan setan darimana, bangun pagi-pagi sekali untuk nge-gym. Iya, kegiatan yang jarang sekali aku lakukan. Zey dan Ryan pun aku lihat jarang sekali memanfaatkan fasilitas gym di rumah. Kami memang mempunyai semacam ruang olahraga dengan peralatan yang bisa dibilang cukup lengkap. Dulu Ibu yang punya ide untuk membuat ruangan khusus itu. Biar Papa olahraga, katanya. Biar Riefan punya kegiatan di rumah, katanya lagi.

Aku menghela nafas panjang sebelum memulai pemanasan pagi itu. Bagi yang sudah lama sekali tak bergerak, aku menyarankan untuk melakukan stretching yang cukup supaya otot cukup siap berolahraga dalam jangka waktu yang cukup panjang.

“Heh, tumben banget lo di sini?”

Suara ketus itu tak mengagetkanku, karena aku tahu betul siapa pemilik suaranya. Tak lain dan tak bukan, yang mulia Inggrid.

“Lah lo? Ngapain di sini?” balasku santai sambil tetap berlari di atas treadmill.

“Gue rajin olahraga, ga kaya semua orang di rumah ini,” tukasnya sambil memulai pemanasan.

“Bener juga. Tapi bagus juga ada lo di sini. Paling engga gue ada motivasi untuk segera menyingkir dari sini.”

Inggrid hanya tertawa kecil.

“Bodo!”

Dia melanjutkan aktivitasnya, dan aku melanjutkan aktivitasku. Yang aku heran, dia seperti tak punya rasa takut berada di dekatku. Sebagai seorang perempuan normal, ketika kamu sudah dua kali dilecehkan oleh orang yang sama, bukannya seharusnya kamu menghindari orang tersebut? Atau jangan-jangan dia menantang aku untuk bertindak lebih jauh, terlalu jauh? Seperti ... menggagahinya? Oh, tidak. Tidak semudah itu.

“Jadi, sampai kapan lo mau bermain-main seperti anak kecil kaya gini?”

Dia mengambil posisi tepat di depanku, melakukan bench-press.

Aku memandangnya, sekarang dengan lebih cermat. Harus aku akui, dengan balutan baju senam lycra yang ketat, tubuhnya benar-benar terlihat sangat seksi. Gumpalan kedua bokongnya terbungkus sempurna, dan di atasnya, ada kaus tank top sport yang menampakkan seluruh bahu dan ketiaknya yang licin serta belahan dada yang melimpah.

“Sampai gue puas,” tukasku.

Aku harus mencoba untuk tetap acuh terhadap pesonanya, yang ternyata akhir-akhir ini mulai merasuk di benakku. Aku berdiri, mendekati dia yang masih telentang di bangku, mendekatkan mulutku dekat ke telinganya, membaui keringatnya yang mengalir deras dan debar jantung yang terdengar jelas, dan berbisik,

“Sampai gue benar-benar puas, dan lo memohon-mohon untuk berhenti!”

“MUSTAHIL!” suaranya serak bergetar, seperti tertahan.
 
Terakhir diubah:
Luar biasa suhu. one of the best story di lomba ini menurut gue. Bintang 4,5 dari skala 5, keren keren keren. Bahasa dan penyampaianya efektif efesien, ceritanya asik, ssnya tak kalah asik. Thanks suhu.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd