Senja Jingga Menjelang Malam Guram
oleh: McD (McDodol)
https://www.semprot.com/t/1120487
NB: No SARA. Cerita ini fiktif belaka.
Pelaku peran:
Subarman (Barman/35) = ayah kandung Ayu, teman lama Dharma.
Sudharma (Dharma/35) = ayah-tirinya Pryo, seorang duda.
Darto (28) = adik bungsunya Dharma.
Sribunga (Sri/35) = ex-isterinya Dharma, ibu kandungnya Pryo.
Supriyo (Pryo/20) = Anak-tirinya Dharma, anak kandung Sri.
Ayu Dianita (Ayu/19) = Isterinya Pryo, mantu(tiri)-nya Dharma.
Nurita (Rita/29) = sepupu perempuan Dharma yang akrab.
Susi = rekan sekerja Pryo yang dikawininya.
Sarto (38) = suami Ani, ayah dari Asih dan Doni.
Ani (35) = isteri Sarto, ibu dari Asih dan Doni.
Zulkifli (34) = suaminya Asih.
Murniasih (Asih)/19) = teman sebangku SMA Ayu.
Doni (14) = adik kandung Asih.
***
Kronologi:
Isterinya Dharma, Sri minggat dengan selingkuhannya yang kaya-raya (saat Dharma masih aktif bekerja sebagai PNS di ibukota). Anak kandung Sri, Pryo (anak tirinya Dharma) kerja di ibukota, sukses, kawin lagi dengan Susi, rekan sekerjanya.
Ayu, isteri Pryo yang statusnya jadi tidak jelas, puteri kandung-nya Barman. Barman, kepala desa sekarang (dimana Dharma berdomisili) yang doyan kawin, isterinya banyak, temannya Dharma dari sejak kecil. Ayu sementara ini masih tinggal dengan mertua (tiri)-nya, Dharma yang saat pernikahaan Sri dan Pryo berlangsung hampir 2 tahun yang silam adalah sebagai ayah tiri Pryo. Pada saat itu Sri belum kecantol dengan seseorang yang bakalan jadi selingkuhannya dan teman minggatnya dari rumah milik Dharma sekarang ini.
***
Bagian 1 - Penyesalan Yang Tak Berujung
Malam mulai menggelap, cahaya matahari mulai meredup, sinarnya yang berwarna jingga mulai menipis... sang 'bapak siang' ini rupanya mulai 'mengantuk'... ingin segera masuk kedalam peraduannya... Nun jauh diatas sana, dekat segugusan bintang, 'sang ibu malam' mulai kelihatan muncul dengan cahaya yang lembut menyapu alam kelam dalam naungannya. Insan-insan di bumi yang bisa melihatnya, karena belum tidur... menyebutnya 'bulan purnama', sinarnya menerangi lembut alam sekitarnya...
Disana... dikejauhan dekat daerah jauh sekitar... dibawah kaki gunung... didekat hamparan sawah yang hijau pekat oleh gelapnya malam muda, yang berselimutkan cahaya lembut sang dewi malam... berdiri sebuah rumah, penghuninya belum juga tidur.
Ada 2 orang didalam rumah itu, seorang wanita muda, belum lagi genap 19 tahun umurnya, duduk termenung dekat jendela yang masih terbuka... sambil menatap keatas pada bulan purnama diatas langit... nun jauh disana tapi masih terlihat dengan mata telanjang.
Sedangkan penghuni satunya, seorang bapak-bapak tidak terlalu tua usianya 35 tahun berwajah gagah tapi berwibawa, Sudharma namanya. Dia adalah seorang PNS, yang dipaksa mengajukan pensiun dini... karena 'melawan arus' kebijakan atasannya. Atasannya ini karena jabatan yang diembannya, beliau berpikir dengan sekuat tenaga, bagaimana caranya... dapat menggerogoti uang dana proyek kemanusiaan yang dipercayakan negara padanya... dengan segala cara untuk kepentingan diri pribadi sendiri dan... koloni-nya.
Di alam maya... aku lah si pelaku peran...
Kalau di dunia nyata aku cuma angan-angan...
Beri aku peran super body yang... superman...
Akan kuberantas semua korupsi tinggal... kenangan...
Sudharma bukanlah seorang bodoh yang tak berpendidikan, sebaliknya dia adalah seorang sarjana dalam bidang Mesin Elektro dan lulus dengan predikat 'summa cum laude', dibenaknya penuh ide-ide cemerlang yang sejalan dengan keilmuan yang dimilikinya. Sayang... atasan yang korup tidak cukup 'jeli' untuk memanfaatkan keahlian dari seorang yang menjadi duda, karena ditinggal minggat oleh isterinya yang materialistik itu.
Rumah itu sendiri tidaklah terlalu terisolir benar dari penduduk desa yang lumayan besar dan banyak rumah-rumah telah berbatu bata merah permanen maupun semi-permanen milik para warganya, yang hanya berjarak 150 meter saja, desa yang berpenduduk kurang lebih 2000 jiwa. Desa yang mempunyai tempat belajar siswa bagi SD, SMP serta SMA yang berada dalam naungan satu atap gedung yang cukup besar dan memadai. Tanah dan keseluruhan bangunannya itu adalah milik pribadi Sudharma sebagai warisan dari orangtuanya yang dulu pernah menjabat sebagai kepala desa sewaktu ayahandanya masih hidup. Sudharma 'meminjamkan' areal tanah itu dengan syarat tunggal bahwa bila dia membutuhkannya lagi setelah 6 bulan sejak Sudharma memberitahukannya terlebih dahulu pada yayasan pengurus sekolah itu... lahan dan gedung milik pribadinya itu... dapat langsung dikuasainya kembali tanpa sesuatu ganti rugi apapun, kesepakatan ini dituangkan dalam surat akte perjanjian yang ber-meterai dan diketahui serta disahkan oleh pejabat notaris dari kota terdekat. Maklumlah Sudharma harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang bakal terjadi, yang sering terjadi di negeri ini dan tidak mau mengambil resiko kehilangan properti akibat asset hak milik pribadi berubah menjadi fasum (fasilitas umum) karena kurangnya data-data yang melengkapi properti pribadinya itu. Tapi untuk masa sekarang Sudharma tidak ada niatan samasekali untuk menguasai areal sekolah itu kembali.
Desa yang didekat rumah kediaman Sudharma telah tersambung dengan instalasi jaringan listrik negara, meskipun kondisinya masih 'byar-pet' (banyak padamnya daripada nyalanya). Tetapi keadaan yang begitu pun masih sangat berjasa mempercepat laju perekonomian dan taraf hidup para warga desa itu. Bagaimana ya kalau listriknya 'byar' terus-menerus tanpa 'pet', sulit dibayangkan seberapa cepat lagi laju perekonomian desa yang masih asri ini jadinya.
Sedangkan rumah Sudharma sendiri belum disambungkan listrik negara, pihak bersangkutan yang mengurus, memberi alasan bahwa jarak 150 m dari gardu listrik yang letaknya ditengah desa itu, dianggap terlalu jauh untuk hanya kepentingan satu rumah saja yang meskipun ybs masih warga penghuni desa itu. Bagi Sudharma hal itu tidaklah menjadi masalah baginya, dalam hal ini Sudharma tahu diri.
Herannya, dikala malam hari dimana cuaca semakin menggelap, justru rumah kediaman Sudharma satu-satunya yang terlihat lebih terang dan... tanpa 'pet' lagi. Sudharma mendirikan sebuah bangunan kecil dipinggir lahan sawahnya, untuk memasang 2 buah 'horizontal axis wind turbine' ukuran kecil yang bisa menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas 50 KWh dengan memanfaatkan banyaknya angin yang bertiup kencang hampir terus-menerus disekitar lahan dekat rumah Sudharma yang terbuka. Buka main... suatu energi yang berlebihan dan tumpah-ruah! Energi berlebih itu disimpan dalam accumulator untuk cadangan dan pen-stabil tegangan listrik. Dengan satu unit Inverter AC/DC, maka listrik yang mengalir kedalam rumah adalah sama dengan tegangan dan cycle dari jaringan listrik negara yaitu 220V 50Hz.
Wanita muda ayu berwajah lembut dan lumayan cantik yang sedang duduk didepan jendela itu adalah mantu (tiri) perempuannya Sudharma, bernama Ayu Dianita dan biasa dipanggil dengan nama Ayu saja. Sesuai dengan permintaan Dharma, maka Ayu memanggil mertua (tiri)-nya dengan panggilan 'papa', sedang Ayu tetap memanggil ayah kandungnya sendiri, Barman dengan panggilan dari semenjak kecilnya, yaitu 'bapak'.
Ayu tahu dan menyadari posisi-nya sekarang ini, dia sebenarnya sudah tidak pantas lagi tinggal dirumah ini, apalagi suaminya, Pryo yang anak tirinya Dharma ini telah menikah lagi, bahkan meninggalkannya 'terkatung-katung' lebih 2 tahun lamanya tanpa dikunjungi... atau kalau dia dianggap oleh Pryo sebagai 'isteri-tua'-nya... tidak pernah digilir 'nafkah batin' meskipun Ayu tidak mengharapkannya lagi dari Pryo yang gampang sekali mengalihkan kewajibannya sebagai suaminya yang sah... berganti haluan cinta dengan menikah lagi dengan rekan sekerjanya di ibukota sana. Untuk kembali lagi kerumah ayahnya... oh Gusti! Sebisanya... janganlah! Mungkin bisa saja, justru sang ayah kandungnyalah yang mempunyai andil besar yang menyebabkan Pryo menikah lagi, karena... pada malam pengantin-nya dengan Pryo... diketahui bahwa Ayu sudah... tidak perawan lagi. Tapi Ayu tetap dengan berseteguh hatinya tidak akan mengungkapkan siapa yang memerawaninya untuk pertama kalinya itu. Baginya, Pryo boleh kawin lagi dengan wanita lain, daripada dia membuka aib keluarganya, yang akan mempermalukan nama baik ayah kandungnya ini... yang sekarang menjabat sebagai seorang kepala desa.
Kejadian yang sangat disesalinya, mungkin... untuk seumur hidupnya... pada malam ulang tahunnya yang keesokan harinya Ayu bertepatan berumur 15 tahun. Seakan perkosaan yang menyebabkan dia kehilangan selaput daranya oleh ayah kandungnya sendiri bagaikan sebuah hadiah untuk ulang tahunnya ke-15 itu. Sambil duduk di kursi dekat jendela pada malam terang purnama penuh ini, menatap keatas pada rembulan yang terang tapi lembut cahayanya... 2 tetes airmatanya yang bening keluar dari matanya yang berbulu lentik indah... menyusuri pipinya yang putih halus dan berhenti di cuping hidungnya yang mancung... sungguh... Ayu sangat menyesali peristiwa tragis yang pernah dialaminya itu.
***
Dari jauh Dharma melihat Ayu yang sedang menatap bulan, diam tak bergerak... kepalanya menengadah, wajahnya cantik ayu-nya menatap tanpa berkedip pada 'Dewi Malam' yang seakan menatap kembali padanya dengan penuh iba dengan pandangan kasih-sayang seorang ibu lewat cahayanya yang lembut. Ibu kandung Ayu sendiri sudah lama meninggal dunia tatkala dia berumur 12 tahun. Dan semenjak itu pulalah ayah kandungnya, Subarman menjadi seseorang yang seakan lain dimata Ayu yang masih gadis kecil yang manis dan ayu berusia 12 tahun itu. Subarman kala itu seakan menggila... mabuk-mabukan dan... tentu saja juga main perempuan perek... yang dikasih pulsa HP, atau ngikut minum miras gratis kalau si perek memang doyan atau mengajak makan di warung-warung tenda yang dadakan muncul di sore hari menjelang malam. Banyak 'trik-trik' mudah, murah meriah yang berakhir selalu diatas tempat tidur untuk ML... lama apa cepat durasi-nya tergantung teknik, stamina dan energi masing-masing pelakunya... dari cewek atau cowoknya sendiri.
Pada masa sulit itu bagi si Ayu kecil... dia sering main kerumah bu bidan Nurita, yang rumahnya tidak jauh dari rumah orangtuanya. Nurita menerimanya dengan sukacita, maklum saja dia hidup sendirian dirumahnya yang besar dan lumayan bagus... yang dibangunnya... sedikit demi sedikit... tetapi teratur dari hasil kerjanya sebagai bidan resmi di desa ini, dengan mengikuti gambar arsitektur sederhana yang dibuat oleh kakak sepupunya, Dharma. Meskipun arsitektur bukan bidang keahliannya... tetapi sedikit banyaknya... kalau cuma membuat gambar pedoman untuk pembangunan satu rumah saja secara bertahap dan tidak tumpang tindih... Dharma biar dikit-dikit... pasti mengertilah...
Dari semenjak itu... sampai pada malam naas yang tragis, Ayu kecil selalu datang mengobrol bahkan juga curhat dalam segala hal dengan yang dipanggilnya tante Rita ini, dan semakin bertambah usianya... Ayu semakin akrab saja dengan Nurita yang mengasihinya bagai anak kandungnya sendiri (Nurita belum pernah menikah, kalau ditanya oleh orangtua atau saudaranya, dia hanya menjawab sambil lalu, "Belum ketemu cowok yang cocok...!").
***
<Drzzz...> <drzzz...> <drzzz...> RBT getar BB Dharma berbunyi, buru-buru dia membuka sambungan telekomunikasi cellular-nya itu, diujung 'sana' terdengar suara wanita menyapa...
<"Heii... 'Jelek'! belum tidur... ya...?">, sapa wanita diujung 'sana', yang tak lain tak bukan adalah Nurita, sepupu perempuan Dharma, berusia 29 tahun, yang sekarang menjadi bidan resmi untuk desa yang maju dan masih asri ini. Semua orang yang kenal dengannya selalu memanggilnya Rita atau bu bidan Rita. Cuma sepupu lelakinya ini saja yang memanggilnya selalu dengan sebutan 'Nuri'. Mereka hidup lama serumah... lima tahun lebih didalam sebuah rumah kontrakan di ibukota, yang sewa kontraknya dibayar secara bersama oleh mereka berdua, ketika Nurita menyelesaikan sekolah tinggi kejuruannya, Sekolah Tinggi Ilmu Kebidanan di ibukota, sedangkan Dharma saat itu telah bekerja sebagai PNS di salah satu instansi pemerintah.
<"Ha-ha-ha... halo 'Bau'...! Sayangku... yang sangat Nuri-Nuri sekali... ha-ha-ha...">, jawab Dharma membalas ejekan sambil tertawa senang mendengar suara sepupu perempuannya yang cantik ini... sayang sekali mereka bersepupu, kalau tidak... mana ada waktu bercanda ria, nakal seperti ini... karena masing-masing disibukkan mengurus anak-anak mereka... (ini kalau terjadi pernikahan didalam angan-angan mereka masing-masing).
<"Halo juga Dhar... jangan salah menduga... maksudku apa Ayu belum tidur...? Aku kangen sama dia, biasanya dia suka curhat padaku, apa kamu mengurungnya... didalam rumahmu ya... Dharma yang gagah dan sangat baik hati... tolong dong... antarkan Ayu kerumahku sekarang... kan mumpung belum terlalu malam... baru juga mau jam 8 malam... ya... Dhar... halo...! Jawab kenapa...?!">, ada permintaan yang mendesak dari ujung 'sana', yang diawali dengan bujuk-rayu.
<"Kalau ada maunya... pasti deh aku tahu...">, yang langsung dipotong saja oleh Nurita dengan perkataannya.
<"Hei...! Jangan bilang Ayu sudah tidur ya!? Kan kamu bisa mengendongnya kemari... hi-hi-hi... apa gunanya punya tubuh kekar, mana gagah lagi... hi-hi-hi...! Seandainya kita tidak sepupuan... habis deh kamu... aku bikin sibuk 'membuahi'-ku terus-terusan... hi-hi-hi... halo...! Jawab kenapa...! Kak Dharma yang selalu... kudambakan... hi-hi-hi...">, kata Nurita ngomong terus-terusan... mana bisa Dharma menjawab adik sepupunya yang cantik... rada manja pada kakak sepupunya, yaitu... dia sendiri... Dharma.
<"Sudah? Sudah selesai ngomongnya Nuri-ku sayang...">, jawab Dharma pada Nurita yang sangat dekat dengan dirinya. Berbicara dengan Nurita... seakan berbicara dengan adik perempuan saja layaknya yang tidak akan pernah bisa dimilikinya. Dharma adalah anak sulung dari 2 anak lelaki dari orangtuanya.
<"Sudah...! Ngomong denganmu ternyata... bikin capek juga ya... hi-hi-hi...!">, kali ini Nurita cukup cepat, dan singkat saja...
"Baiklah akan kupikir-pikir dahulu ya... ha-ha-ha...!", Dharma masih saja menggoda adik sepupunya yang sangat dekat dengannya ini,
"Ee-eh-eh... kakakku sayang... jangan gitu dong... serius kek sekali-sekali... aku sedang sendirian nih... aku tunggu ya... daagghhh... ganteng!", Nurita yang bidan ini memutus hubungan cellular ini.
Segera Dharma mendekati Ayu yang yang masih duduk diam, sambil... melamun. Khawatir nanti mengejutkan Ayu yang lagi 'asyik' melamun, Dharma berdehem kecil dulu sebelum membuka perbincangannya.
"Hhmm-heemmm...! Sayang... tante Rita mengundang kita... untuk datang kerumahnya sekarang... malahan kalau Ayu males berjalan... papa disuruh mengendongmu sampai kerumah tante-mu itu... ha-ha-ha...!", kata Dharma membujuk Ayu sambil tertawa.
"Iihhh... papa... bisa aja...! Hi-hi-hi... papa ternyata suka bercanda juga rupanya... hi-hi-hi...", jawab Ayu yang mulai terdengar tawanya lagi... yang terdengar sangat merdu di telinga Dharma.
"Ha-ha-ha... nggak percaya lagi...? Coba aja telepon tante-mu itu... tuh pake BB-nya papa... sekarang juga kalau perlu... kapan papa berbohong padamu... apalagi kalau yang bohong-bohong kan... papa suka cepat melupakannya... ha-ha-ha...!", Dharma menanggapi kata Ayu, yang Dharma selalu iba saja melihat Ayu selalu diam bersedih hati.
***
Tidak sampai 10 menit kemudian, mereka (Dharma dan Ayu) sudah sampai didepan rumah bu bidan Nurita yang besar, lumayan indah karena banyak pepohonan penghias rumah yang rindang dan asri.
Nurita bergegas menyambut mereka dengan hangat, mendekap mesra kakak sepupunya ini, serta... tangan kirinya dengan gemas mencekal mantap tonjolan ditengah pangkal paha Dharma, sambil berbisik pelan, "Itu... untuk candaan kakak dalam BB tadi... hi-hi-hi...!".
Terlonjak kaget Dharma jadinya menerima perlakuan yang tak disangka-sangkanya ini. 'Waaduuhh... gawat! Si Nuri lagi sange berat rupanya...!", Dharma cepat mengambil kesimpulannya.
Tanpa diketahui mereka berdua... kakak-adik sepupuan ini... aksi nakal Nurita tadi... tak luput dari lirikan mata jeli Ayu. 'Bukan main deh... mesra amat... papa dengan adik sepupunya ini, yang masih saja terlihat cantik dan awet muda dengan perawakan tubuh semampai yang dirawat dengan ketat oleh pemiliknya sendiri'.
Lalu Nurita mengalihkan perhatiannya pada Ayu yang berdiri agak canggung... dekat-dekat dengan 2 orang sepupuan yang sangat mesra ini. Sambil memeluk mesra tubuh sintal Ayu, Nurita mengecup mesra di pipi mulus Ayu yang sebelah kiri, sambil berbisik. "Tante yakin 100%... pasti papa-mu ini tidak akan berani berbuat genit padamu... Asal kamu tahu saja... Ayu... papa-mu paling jeri dengan cewek muda yang cantiknya seperti dirimu ini... percayalah pada tante... hi-hi-hi...! Ayo masuk... nanti keburu dingin lagi... hi-hi-hi...!".
"Aaahhh... tante bisa aja...!", jawab singkat Ayu dengan nada malu-malu.
Sembari mereka melangkah masuk kedalam rumah, Dharma segera mendekat disamping Nurita, sambil bertanya pelan dekat telinga kiri Nurita. "Emangnya apaan sih yang bakalan keburu dingin itu... Nuri?".
"Itu... yang aku cekal tadi...! Hi-hi-hi...!", jawab singkat Nurita singkat sambil tetap melangkahkan kaki-kakinya... masuk kedalam melewati pintu depan rumah...
(bersambung...)
oleh: McD (McDodol)
https://www.semprot.com/t/1120487
NB: No SARA. Cerita ini fiktif belaka.
Pelaku peran:
Subarman (Barman/35) = ayah kandung Ayu, teman lama Dharma.
Sudharma (Dharma/35) = ayah-tirinya Pryo, seorang duda.
Darto (28) = adik bungsunya Dharma.
Sribunga (Sri/35) = ex-isterinya Dharma, ibu kandungnya Pryo.
Supriyo (Pryo/20) = Anak-tirinya Dharma, anak kandung Sri.
Ayu Dianita (Ayu/19) = Isterinya Pryo, mantu(tiri)-nya Dharma.
Nurita (Rita/29) = sepupu perempuan Dharma yang akrab.
Susi = rekan sekerja Pryo yang dikawininya.
Sarto (38) = suami Ani, ayah dari Asih dan Doni.
Ani (35) = isteri Sarto, ibu dari Asih dan Doni.
Zulkifli (34) = suaminya Asih.
Murniasih (Asih)/19) = teman sebangku SMA Ayu.
Doni (14) = adik kandung Asih.
***
Kronologi:
Isterinya Dharma, Sri minggat dengan selingkuhannya yang kaya-raya (saat Dharma masih aktif bekerja sebagai PNS di ibukota). Anak kandung Sri, Pryo (anak tirinya Dharma) kerja di ibukota, sukses, kawin lagi dengan Susi, rekan sekerjanya.
Ayu, isteri Pryo yang statusnya jadi tidak jelas, puteri kandung-nya Barman. Barman, kepala desa sekarang (dimana Dharma berdomisili) yang doyan kawin, isterinya banyak, temannya Dharma dari sejak kecil. Ayu sementara ini masih tinggal dengan mertua (tiri)-nya, Dharma yang saat pernikahaan Sri dan Pryo berlangsung hampir 2 tahun yang silam adalah sebagai ayah tiri Pryo. Pada saat itu Sri belum kecantol dengan seseorang yang bakalan jadi selingkuhannya dan teman minggatnya dari rumah milik Dharma sekarang ini.
***
Bagian 1 - Penyesalan Yang Tak Berujung
Malam mulai menggelap, cahaya matahari mulai meredup, sinarnya yang berwarna jingga mulai menipis... sang 'bapak siang' ini rupanya mulai 'mengantuk'... ingin segera masuk kedalam peraduannya... Nun jauh diatas sana, dekat segugusan bintang, 'sang ibu malam' mulai kelihatan muncul dengan cahaya yang lembut menyapu alam kelam dalam naungannya. Insan-insan di bumi yang bisa melihatnya, karena belum tidur... menyebutnya 'bulan purnama', sinarnya menerangi lembut alam sekitarnya...
Disana... dikejauhan dekat daerah jauh sekitar... dibawah kaki gunung... didekat hamparan sawah yang hijau pekat oleh gelapnya malam muda, yang berselimutkan cahaya lembut sang dewi malam... berdiri sebuah rumah, penghuninya belum juga tidur.
Ada 2 orang didalam rumah itu, seorang wanita muda, belum lagi genap 19 tahun umurnya, duduk termenung dekat jendela yang masih terbuka... sambil menatap keatas pada bulan purnama diatas langit... nun jauh disana tapi masih terlihat dengan mata telanjang.
Sedangkan penghuni satunya, seorang bapak-bapak tidak terlalu tua usianya 35 tahun berwajah gagah tapi berwibawa, Sudharma namanya. Dia adalah seorang PNS, yang dipaksa mengajukan pensiun dini... karena 'melawan arus' kebijakan atasannya. Atasannya ini karena jabatan yang diembannya, beliau berpikir dengan sekuat tenaga, bagaimana caranya... dapat menggerogoti uang dana proyek kemanusiaan yang dipercayakan negara padanya... dengan segala cara untuk kepentingan diri pribadi sendiri dan... koloni-nya.
Di alam maya... aku lah si pelaku peran...
Kalau di dunia nyata aku cuma angan-angan...
Beri aku peran super body yang... superman...
Akan kuberantas semua korupsi tinggal... kenangan...
Sudharma bukanlah seorang bodoh yang tak berpendidikan, sebaliknya dia adalah seorang sarjana dalam bidang Mesin Elektro dan lulus dengan predikat 'summa cum laude', dibenaknya penuh ide-ide cemerlang yang sejalan dengan keilmuan yang dimilikinya. Sayang... atasan yang korup tidak cukup 'jeli' untuk memanfaatkan keahlian dari seorang yang menjadi duda, karena ditinggal minggat oleh isterinya yang materialistik itu.
Rumah itu sendiri tidaklah terlalu terisolir benar dari penduduk desa yang lumayan besar dan banyak rumah-rumah telah berbatu bata merah permanen maupun semi-permanen milik para warganya, yang hanya berjarak 150 meter saja, desa yang berpenduduk kurang lebih 2000 jiwa. Desa yang mempunyai tempat belajar siswa bagi SD, SMP serta SMA yang berada dalam naungan satu atap gedung yang cukup besar dan memadai. Tanah dan keseluruhan bangunannya itu adalah milik pribadi Sudharma sebagai warisan dari orangtuanya yang dulu pernah menjabat sebagai kepala desa sewaktu ayahandanya masih hidup. Sudharma 'meminjamkan' areal tanah itu dengan syarat tunggal bahwa bila dia membutuhkannya lagi setelah 6 bulan sejak Sudharma memberitahukannya terlebih dahulu pada yayasan pengurus sekolah itu... lahan dan gedung milik pribadinya itu... dapat langsung dikuasainya kembali tanpa sesuatu ganti rugi apapun, kesepakatan ini dituangkan dalam surat akte perjanjian yang ber-meterai dan diketahui serta disahkan oleh pejabat notaris dari kota terdekat. Maklumlah Sudharma harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang bakal terjadi, yang sering terjadi di negeri ini dan tidak mau mengambil resiko kehilangan properti akibat asset hak milik pribadi berubah menjadi fasum (fasilitas umum) karena kurangnya data-data yang melengkapi properti pribadinya itu. Tapi untuk masa sekarang Sudharma tidak ada niatan samasekali untuk menguasai areal sekolah itu kembali.
Desa yang didekat rumah kediaman Sudharma telah tersambung dengan instalasi jaringan listrik negara, meskipun kondisinya masih 'byar-pet' (banyak padamnya daripada nyalanya). Tetapi keadaan yang begitu pun masih sangat berjasa mempercepat laju perekonomian dan taraf hidup para warga desa itu. Bagaimana ya kalau listriknya 'byar' terus-menerus tanpa 'pet', sulit dibayangkan seberapa cepat lagi laju perekonomian desa yang masih asri ini jadinya.
Sedangkan rumah Sudharma sendiri belum disambungkan listrik negara, pihak bersangkutan yang mengurus, memberi alasan bahwa jarak 150 m dari gardu listrik yang letaknya ditengah desa itu, dianggap terlalu jauh untuk hanya kepentingan satu rumah saja yang meskipun ybs masih warga penghuni desa itu. Bagi Sudharma hal itu tidaklah menjadi masalah baginya, dalam hal ini Sudharma tahu diri.
Herannya, dikala malam hari dimana cuaca semakin menggelap, justru rumah kediaman Sudharma satu-satunya yang terlihat lebih terang dan... tanpa 'pet' lagi. Sudharma mendirikan sebuah bangunan kecil dipinggir lahan sawahnya, untuk memasang 2 buah 'horizontal axis wind turbine' ukuran kecil yang bisa menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas 50 KWh dengan memanfaatkan banyaknya angin yang bertiup kencang hampir terus-menerus disekitar lahan dekat rumah Sudharma yang terbuka. Buka main... suatu energi yang berlebihan dan tumpah-ruah! Energi berlebih itu disimpan dalam accumulator untuk cadangan dan pen-stabil tegangan listrik. Dengan satu unit Inverter AC/DC, maka listrik yang mengalir kedalam rumah adalah sama dengan tegangan dan cycle dari jaringan listrik negara yaitu 220V 50Hz.
Wanita muda ayu berwajah lembut dan lumayan cantik yang sedang duduk didepan jendela itu adalah mantu (tiri) perempuannya Sudharma, bernama Ayu Dianita dan biasa dipanggil dengan nama Ayu saja. Sesuai dengan permintaan Dharma, maka Ayu memanggil mertua (tiri)-nya dengan panggilan 'papa', sedang Ayu tetap memanggil ayah kandungnya sendiri, Barman dengan panggilan dari semenjak kecilnya, yaitu 'bapak'.
Ayu tahu dan menyadari posisi-nya sekarang ini, dia sebenarnya sudah tidak pantas lagi tinggal dirumah ini, apalagi suaminya, Pryo yang anak tirinya Dharma ini telah menikah lagi, bahkan meninggalkannya 'terkatung-katung' lebih 2 tahun lamanya tanpa dikunjungi... atau kalau dia dianggap oleh Pryo sebagai 'isteri-tua'-nya... tidak pernah digilir 'nafkah batin' meskipun Ayu tidak mengharapkannya lagi dari Pryo yang gampang sekali mengalihkan kewajibannya sebagai suaminya yang sah... berganti haluan cinta dengan menikah lagi dengan rekan sekerjanya di ibukota sana. Untuk kembali lagi kerumah ayahnya... oh Gusti! Sebisanya... janganlah! Mungkin bisa saja, justru sang ayah kandungnyalah yang mempunyai andil besar yang menyebabkan Pryo menikah lagi, karena... pada malam pengantin-nya dengan Pryo... diketahui bahwa Ayu sudah... tidak perawan lagi. Tapi Ayu tetap dengan berseteguh hatinya tidak akan mengungkapkan siapa yang memerawaninya untuk pertama kalinya itu. Baginya, Pryo boleh kawin lagi dengan wanita lain, daripada dia membuka aib keluarganya, yang akan mempermalukan nama baik ayah kandungnya ini... yang sekarang menjabat sebagai seorang kepala desa.
Kejadian yang sangat disesalinya, mungkin... untuk seumur hidupnya... pada malam ulang tahunnya yang keesokan harinya Ayu bertepatan berumur 15 tahun. Seakan perkosaan yang menyebabkan dia kehilangan selaput daranya oleh ayah kandungnya sendiri bagaikan sebuah hadiah untuk ulang tahunnya ke-15 itu. Sambil duduk di kursi dekat jendela pada malam terang purnama penuh ini, menatap keatas pada rembulan yang terang tapi lembut cahayanya... 2 tetes airmatanya yang bening keluar dari matanya yang berbulu lentik indah... menyusuri pipinya yang putih halus dan berhenti di cuping hidungnya yang mancung... sungguh... Ayu sangat menyesali peristiwa tragis yang pernah dialaminya itu.
***
Dari jauh Dharma melihat Ayu yang sedang menatap bulan, diam tak bergerak... kepalanya menengadah, wajahnya cantik ayu-nya menatap tanpa berkedip pada 'Dewi Malam' yang seakan menatap kembali padanya dengan penuh iba dengan pandangan kasih-sayang seorang ibu lewat cahayanya yang lembut. Ibu kandung Ayu sendiri sudah lama meninggal dunia tatkala dia berumur 12 tahun. Dan semenjak itu pulalah ayah kandungnya, Subarman menjadi seseorang yang seakan lain dimata Ayu yang masih gadis kecil yang manis dan ayu berusia 12 tahun itu. Subarman kala itu seakan menggila... mabuk-mabukan dan... tentu saja juga main perempuan perek... yang dikasih pulsa HP, atau ngikut minum miras gratis kalau si perek memang doyan atau mengajak makan di warung-warung tenda yang dadakan muncul di sore hari menjelang malam. Banyak 'trik-trik' mudah, murah meriah yang berakhir selalu diatas tempat tidur untuk ML... lama apa cepat durasi-nya tergantung teknik, stamina dan energi masing-masing pelakunya... dari cewek atau cowoknya sendiri.
Pada masa sulit itu bagi si Ayu kecil... dia sering main kerumah bu bidan Nurita, yang rumahnya tidak jauh dari rumah orangtuanya. Nurita menerimanya dengan sukacita, maklum saja dia hidup sendirian dirumahnya yang besar dan lumayan bagus... yang dibangunnya... sedikit demi sedikit... tetapi teratur dari hasil kerjanya sebagai bidan resmi di desa ini, dengan mengikuti gambar arsitektur sederhana yang dibuat oleh kakak sepupunya, Dharma. Meskipun arsitektur bukan bidang keahliannya... tetapi sedikit banyaknya... kalau cuma membuat gambar pedoman untuk pembangunan satu rumah saja secara bertahap dan tidak tumpang tindih... Dharma biar dikit-dikit... pasti mengertilah...
Dari semenjak itu... sampai pada malam naas yang tragis, Ayu kecil selalu datang mengobrol bahkan juga curhat dalam segala hal dengan yang dipanggilnya tante Rita ini, dan semakin bertambah usianya... Ayu semakin akrab saja dengan Nurita yang mengasihinya bagai anak kandungnya sendiri (Nurita belum pernah menikah, kalau ditanya oleh orangtua atau saudaranya, dia hanya menjawab sambil lalu, "Belum ketemu cowok yang cocok...!").
***
<Drzzz...> <drzzz...> <drzzz...> RBT getar BB Dharma berbunyi, buru-buru dia membuka sambungan telekomunikasi cellular-nya itu, diujung 'sana' terdengar suara wanita menyapa...
<"Heii... 'Jelek'! belum tidur... ya...?">, sapa wanita diujung 'sana', yang tak lain tak bukan adalah Nurita, sepupu perempuan Dharma, berusia 29 tahun, yang sekarang menjadi bidan resmi untuk desa yang maju dan masih asri ini. Semua orang yang kenal dengannya selalu memanggilnya Rita atau bu bidan Rita. Cuma sepupu lelakinya ini saja yang memanggilnya selalu dengan sebutan 'Nuri'. Mereka hidup lama serumah... lima tahun lebih didalam sebuah rumah kontrakan di ibukota, yang sewa kontraknya dibayar secara bersama oleh mereka berdua, ketika Nurita menyelesaikan sekolah tinggi kejuruannya, Sekolah Tinggi Ilmu Kebidanan di ibukota, sedangkan Dharma saat itu telah bekerja sebagai PNS di salah satu instansi pemerintah.
<"Ha-ha-ha... halo 'Bau'...! Sayangku... yang sangat Nuri-Nuri sekali... ha-ha-ha...">, jawab Dharma membalas ejekan sambil tertawa senang mendengar suara sepupu perempuannya yang cantik ini... sayang sekali mereka bersepupu, kalau tidak... mana ada waktu bercanda ria, nakal seperti ini... karena masing-masing disibukkan mengurus anak-anak mereka... (ini kalau terjadi pernikahan didalam angan-angan mereka masing-masing).
<"Halo juga Dhar... jangan salah menduga... maksudku apa Ayu belum tidur...? Aku kangen sama dia, biasanya dia suka curhat padaku, apa kamu mengurungnya... didalam rumahmu ya... Dharma yang gagah dan sangat baik hati... tolong dong... antarkan Ayu kerumahku sekarang... kan mumpung belum terlalu malam... baru juga mau jam 8 malam... ya... Dhar... halo...! Jawab kenapa...?!">, ada permintaan yang mendesak dari ujung 'sana', yang diawali dengan bujuk-rayu.
<"Kalau ada maunya... pasti deh aku tahu...">, yang langsung dipotong saja oleh Nurita dengan perkataannya.
<"Hei...! Jangan bilang Ayu sudah tidur ya!? Kan kamu bisa mengendongnya kemari... hi-hi-hi... apa gunanya punya tubuh kekar, mana gagah lagi... hi-hi-hi...! Seandainya kita tidak sepupuan... habis deh kamu... aku bikin sibuk 'membuahi'-ku terus-terusan... hi-hi-hi... halo...! Jawab kenapa...! Kak Dharma yang selalu... kudambakan... hi-hi-hi...">, kata Nurita ngomong terus-terusan... mana bisa Dharma menjawab adik sepupunya yang cantik... rada manja pada kakak sepupunya, yaitu... dia sendiri... Dharma.
<"Sudah? Sudah selesai ngomongnya Nuri-ku sayang...">, jawab Dharma pada Nurita yang sangat dekat dengan dirinya. Berbicara dengan Nurita... seakan berbicara dengan adik perempuan saja layaknya yang tidak akan pernah bisa dimilikinya. Dharma adalah anak sulung dari 2 anak lelaki dari orangtuanya.
<"Sudah...! Ngomong denganmu ternyata... bikin capek juga ya... hi-hi-hi...!">, kali ini Nurita cukup cepat, dan singkat saja...
"Baiklah akan kupikir-pikir dahulu ya... ha-ha-ha...!", Dharma masih saja menggoda adik sepupunya yang sangat dekat dengannya ini,
"Ee-eh-eh... kakakku sayang... jangan gitu dong... serius kek sekali-sekali... aku sedang sendirian nih... aku tunggu ya... daagghhh... ganteng!", Nurita yang bidan ini memutus hubungan cellular ini.
Segera Dharma mendekati Ayu yang yang masih duduk diam, sambil... melamun. Khawatir nanti mengejutkan Ayu yang lagi 'asyik' melamun, Dharma berdehem kecil dulu sebelum membuka perbincangannya.
"Hhmm-heemmm...! Sayang... tante Rita mengundang kita... untuk datang kerumahnya sekarang... malahan kalau Ayu males berjalan... papa disuruh mengendongmu sampai kerumah tante-mu itu... ha-ha-ha...!", kata Dharma membujuk Ayu sambil tertawa.
"Iihhh... papa... bisa aja...! Hi-hi-hi... papa ternyata suka bercanda juga rupanya... hi-hi-hi...", jawab Ayu yang mulai terdengar tawanya lagi... yang terdengar sangat merdu di telinga Dharma.
"Ha-ha-ha... nggak percaya lagi...? Coba aja telepon tante-mu itu... tuh pake BB-nya papa... sekarang juga kalau perlu... kapan papa berbohong padamu... apalagi kalau yang bohong-bohong kan... papa suka cepat melupakannya... ha-ha-ha...!", Dharma menanggapi kata Ayu, yang Dharma selalu iba saja melihat Ayu selalu diam bersedih hati.
***
Tidak sampai 10 menit kemudian, mereka (Dharma dan Ayu) sudah sampai didepan rumah bu bidan Nurita yang besar, lumayan indah karena banyak pepohonan penghias rumah yang rindang dan asri.
Nurita bergegas menyambut mereka dengan hangat, mendekap mesra kakak sepupunya ini, serta... tangan kirinya dengan gemas mencekal mantap tonjolan ditengah pangkal paha Dharma, sambil berbisik pelan, "Itu... untuk candaan kakak dalam BB tadi... hi-hi-hi...!".
Terlonjak kaget Dharma jadinya menerima perlakuan yang tak disangka-sangkanya ini. 'Waaduuhh... gawat! Si Nuri lagi sange berat rupanya...!", Dharma cepat mengambil kesimpulannya.
Tanpa diketahui mereka berdua... kakak-adik sepupuan ini... aksi nakal Nurita tadi... tak luput dari lirikan mata jeli Ayu. 'Bukan main deh... mesra amat... papa dengan adik sepupunya ini, yang masih saja terlihat cantik dan awet muda dengan perawakan tubuh semampai yang dirawat dengan ketat oleh pemiliknya sendiri'.
Lalu Nurita mengalihkan perhatiannya pada Ayu yang berdiri agak canggung... dekat-dekat dengan 2 orang sepupuan yang sangat mesra ini. Sambil memeluk mesra tubuh sintal Ayu, Nurita mengecup mesra di pipi mulus Ayu yang sebelah kiri, sambil berbisik. "Tante yakin 100%... pasti papa-mu ini tidak akan berani berbuat genit padamu... Asal kamu tahu saja... Ayu... papa-mu paling jeri dengan cewek muda yang cantiknya seperti dirimu ini... percayalah pada tante... hi-hi-hi...! Ayo masuk... nanti keburu dingin lagi... hi-hi-hi...!".
"Aaahhh... tante bisa aja...!", jawab singkat Ayu dengan nada malu-malu.
Sembari mereka melangkah masuk kedalam rumah, Dharma segera mendekat disamping Nurita, sambil bertanya pelan dekat telinga kiri Nurita. "Emangnya apaan sih yang bakalan keburu dingin itu... Nuri?".
"Itu... yang aku cekal tadi...! Hi-hi-hi...!", jawab singkat Nurita singkat sambil tetap melangkahkan kaki-kakinya... masuk kedalam melewati pintu depan rumah...
(bersambung...)
Terakhir diubah: