Story 4: Laporan Warga (Desi)
Wabah Sexflu telah mengguncang sendi-sendi kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Penulis pun mendapatkan beberapa laporan dari warga yang masuk ke inbox penulis. Mereka menceritakan pengalaman mereka terkait wabah Sexflu.
Laporan pertama ini datang dari Ibu Desi, seorang ASN berusia 43 tahun. Berikut kisahnya.
Sejak diberlakukannya PSBB Sexflu, perekonomian rakyat mulai terkena dampaknya. Orang-orang tak dapat dengan bebas melakukan perniagaan, daya beli menurun, PHK massal terjadi di mana-mana, kriminalitas merajalela. Untuk mengatasi permasalahan perekonomian ini, pemerintah dituntut untuk berperan aktif, salah satunya adalah dengan memberikan bantuan langsung berupa sembako ataupun uang tunai. Namun dengan sumber daya yang terbatas, siapa sajakah yang berhak mendapat bantuan?
Untuk menjawab permasalahan ini, pemerintah menugaskan para PNS dari berbagai instansi dan satuan kerja untuk mendistribusikan bantuan secara tepat sasaran.
Desi menerima Surat Tugas dari atasannya untuk membantu mendata warga yang membutuhkan bantuan, mulai dari tingkat Kelurahan, RW, dan RT. Perempuan berusia 43 tahun ini awalnya merasa berat, sebab ia sudah berencana untuk melakukan WFH secara penuh sambil menghabiskan waktu bersama dua orang anaknya. Namun pada akhirnya ia tak bisa menolak. Sebagai PNS, ia harus siap ditugaskan kapan saja dan di mana saja. Ia tak mau dicap sebagai pegawai pemalas hanya karena ia sudah senior.
Sore ini, Bu Desi sedang mendata warga di RT 10 RW 03 yang kebanyakan merupakan pendatang dan penghuni kontrakan. Didampingi Ketua RT setempat, ia harus mewawancarai warga satu per satu untuk meyakinkan dirinya bahwa warga tersebut memang perlu mendapat bantuan.
"Jadi Bapak sudah tinggal di sini selama sepuluh tahun? Anak Bapak ada tiga, semua masih kecil-kecil ya?" tanya Bu Desi pada salah satu warga.
"Betul, Bu. Sejak diberlakukan PSBB, saya tidak bisa lagi berjualan bakso dan ngojek. Kami cuma bergantung dari usaha istri saya sebagai tukang cuci," ucap lelaki tersebut.
"Baik, Pak. Kalau begitu data Bapak akan saya masukkan ke dalam database dan akan dikaji lebih lanjut," ucap Desi sambil menulis di form-nya.
"Terima kasih, Bu. Mudah-mudahan saya bisa mendapat bantuan."
Sejujurnya Desi merasa iba setiap kali harus melakukan tugas ini. Ia tidak yakin bahwa anggaran yang dimiliki pemerintah sanggup membantu semua orang yang terhimpit ini. Namun, ia harus tetap memberi harapan kepada mereka.
Desi keluar dari rumah itu, kemudian menuju rumah sebelahnya. Ia bertanya kepada Pak RT mengenai identitas penghuni rumah tersebut.
"Rumah yang ini sebenarnya kos-kosan, Bu. Pemilik kosnya tinggal di RW 01. Penghuninya sekarang mahasiswa tingkat akhir, tapi orangnya jarang keluar rumah," kata Pak RT sambil menyerahkan fotokopi KTP penghuni kost tersebut.
"Namanya Zainal? Usia 20 tahun. Pekerjaan mahasiswa. Warga dari provinsi lain. Kalau mahasiswa biasanya kan dapat kiriman dari orangtuanya ya, Pak?" tanya Bu Desi sambil memperhatikan KTP tersebut.
"Betul, Bu."
"Pak RT tahu, apa dia punya penghasilan di luar itu?" tanya Desi.
"Saya kurang tau, Bu. Tapi dulu saya pernah ngobrol dengan dia sebentar, katanya dia itu penulis di forum internet."
"Internet? Semacam jurnalis begitu?" tanya Desi sambil membetulkan maskernya.
"Bukan. Nama forumnya Semprul .... atau Semprot atau apa ya?" Pak RT garuk-garuk kepala.
"Penulis di Forum Semprul? Sepertinya nggak menghasilkan, Pak. Mungkin dia bisa masuk kriteria juga meskipun warga pendatang. Kalau begitu, ayo kita interview langsung aja," ucap Bu Desi sambil mengajak Pak RT memasuki halaman rumah itu.
Tok tok tok! Pak RT mengetuk pintu kamar.
"Samlekum! Mas Zainal, ini Pak RT! Ada pendataan dari Kelurahan! Mau dapet sembako nggak?" ujar Pak RT.
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka sebagian. Dari balik pintu, melongok seorang pria muda berkacamata, bermasker, dan berambut gondrong acak-acakan. "Ya, Pak?"
"Ini Bu Desi, mau interview," kata Pak RT.
"Sore, Mas. Saya Desi, ditugaskan untuk mewawancarai warga terkait pendataan bantuan pemerintah untuk yang terdampak wabah Sexflu," ujar Desi sambil menunjukkan surat tugasnya, lalu tersenyum seramah mungkin.
Zainal menatap Desi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ditatap oleh mahasiswa brondong seperti itu, Desi tak mau kalah, ia balik menatap wajah pemuda itu. Di balik masker dan rambut gondrongnya, Desi merasa bahwa pemuda itu lumayan tampan. Meski umur Zainal tak beda jauh dengan anak bungsunya, Desi tetap memanggilnya "Mas" sebagai penghormatan.
Tanpa bicara apa-apa, Zainal membukakan pintu lebih lebar. Pak RT dan Desi segera masuk dan duduk lesehan di atas tikar. Layaknya kamar kost laki-laki, ruangan itu lumayan berantakan. Kasur lipat tergeletak di pojok, beberapa pakaian dibiarkan terhampar di atasnya. Di sudut lain, ada sebuah meja belajar yang diisi action figure dan poster perempuan seksi.
"Mas, boleh tahu sumber penghasilannya selama ini?" tanya Desi.
"Saya ... dikirimi uang oleh orang tua saya di luar kota. Tapi udah sebulan ini mereka nggak transfer. Ayah saya dirumahkan," jawab Zainal. Wajahnya tampak lesu dan suara napasnya agak berat.
"Sabar, ya Mas," ucap Desi. "Selain dari situ apa ada penghasilan lain, misalnya kerja sampingan?"
"Kadang-kadang saya jadi penulis lepas, tapi hasilnya nggak nentu. Udah sebulan ini nggak ada pemasukan," jawabnya sambil memijat keningnya sendiri.
Desi mencatat jawaban tersebut, kemudian melirik ke pojok ruangan. Satu dus mi instan yang sudah nyaris kosong. Sepertinya pemuda ini sudah lama tidak makan nasi.
Ia pun melanjutkan beberapa pertanyaan lain seperti kondisi perkuliahan dan jumlah pengeluaran rutinnya.
Setelah dirasa cukup, Desi dan Pak RT pun pamit. Namun belum sempat Desi keluar dari pintu kost itu, tiba-tiba saja Zainal menahan tangannya.
"Bu ..., tunggu," ujar Zainal dengan suara napas yang tersengal-sengal.
"Kenapa, Mas?" tanya Desi sambil membalikkan badan. Pak RT sudah keluar lebih dulu.
"Bu, sebenarnya, saya.... saya sakit, Bu," ujar Zainal.
Mendengar perkataan itu, Desi sedikit panik. Mungkinkah sakit yang ia maksud adalah sakit akibat virus Sexflu?
Napas Zainal semakin berat, tangannya tampak gemetaran. Ia memegangi selangkangannya dan tampak sedang menahan sesuatu.
"Tolong, Bu.... Tolong," ucap Zainal.
Sebagai abdi negara, Desi berusaha bersikap serasional mungkin dalam situasi ini. Ia pun menawarkan opsi paling masuk akal yang ia ketahui.
"Mas, tenang, ya. Biar saya panggilkan tim medis darurat. Hotline 6969 selalu siaga 24 jam, mereka pasti bisa menolong Mas meredam semua itu," ujar Desi sambil mengelus-elus kepala Zainal, mencoba menenangkannya. Dalam situasi ini, naluri keibuannya terasa tergerak.
"Nggak, Bu. Ibu aja yang tolong saya. Saya udah nggak tahan," ucap Zainal, nyaris menangis.
Pipi Desi terasa agak hangat mendengar permintaan tersebut. Memang, sebagai aparat negara, ia juga punya kewajiban melakukan protokol B3 apabila tidak ada tim medis yang siap siaga. Namun, selama masih ada opsi lain, ia lebih memilih untuk tidak melakukannya. Ia akan mencoba memberi pengertian.
"Mas Zainal, mohon maaf. Kalau saya, saya nggak yakin bisa membantu Mas. Saya cuma ibu-ibu umur empat puluhan. Anak saya sudah dua. Mana mungkin saya bisa memuaskan Mas Zainal dan meredam efek virus itu? Lebih baik dibantu tim medis saja," ujar Desi merendah.
Namun Zainal tidak mau tahu, ia menurunkan celananya, kemudian mengeluarkan penisnya yang sudah tegak berdiri. Desi agak terkesiap melihat penis milik pemuda tampan yang berumur setengah dari umurnya itu. Bentuknya bagus. Tidak terlalu besar, tapi panjang dan bersih--mungkin karena sering disabuni.
Merasa tak punya pilihan lain, Desi pun berlutut di depan Zainal. Ia memegang penis itu, kemudian mengocoknya perlahan-lahan.
"Saya coba ya, Mas," ucap Desi sambil melirik ke atas, ke arah Zainal.
"Mmmmh... Bu.... Aaahhh."
Ketika sedang bertugas mengocok penis Zainal, tiba-tiba saja Pak RT masuk ke ruangan tersebut.
"Bu, ayo kita ke rumah berikutnya," ucap Pak RT, kemudian agak kaget. "Oh, maaf, saya kira lagi ngobrol."
"Tunggu sebentar ya, Pak. Saya bantuin Mas-nya dulu nih, kondisi darurat," ujar Desi sambil tak berhenti mengocok dan memijat penis pemuda berondong di depannya.
"Iya, Bu. Apa yang bisa saya bantu? Ibu bawa kondom?" tanya Pak RT.
"Bawa Pak, ada di tas."
"Siap. Saya tunggu di luar, ya."
Pak RT kemudian pergi ke luar. Desi pun melanjutkan tugasnya. Kini ia memasukkan penis itu ke dalam mulutnya dan menghisapnya dengan perlahan.
"Bu, mmmh.... boleh saya masukin .... ke memek Ibu?" tanya Zainal sambil memegangi kepala Desi.
Desi melepas penis itu dulu dari mulutnya, kemudian menjawab, "Tapi Mas, memek saya udah nggak rapat kaya gadis muda. Apa nggak sebaiknya pakai mulut aja?"
"Saya mau, Bu... Tolong..." rintih Zainal.
Desi menarik napas dalam, kemudian bangkit berdiri dan melepaskan rok seragamnya yang berwarna khaki. Dengan lihai, Zainal segera membantu Desi melepaskan celana dalamnya, kemudian mendorongnya hingga terbaring di atas lantai.
"Tapi pakai kondom, ya," kata Desi sambil menyerahkan satu saset kondom dari saku seragam PNS-nya.
Zainal mengangguk.
Desi agak grogi mendapati posisinya sudah tidur mengangkang, sementara di antara kedua kakinya ada seorang lelaki muda yang tengah dikuasai birahi.
Perlahan-lahan ia dapat merasakan sebuah batang keras dan panjang mendorong masuk ke dalam bibir vaginanya. Ia menjerit pelan, tapi tetap berusaha bersikap profesional. Ia melakukan ini demi tugas, bukan demi hasrat pribadinya.
Lama-kelamaan, batang panjang itu masuk semakin dalam hingga ke relung terdalam vaginanya, menggesek dan menggaruk dindin-dindingnya yang semakin basah. Desi mulai mengerang dan mendesah. Memang, sejak menjalani hubungan jarak jauh dengan suaminya, Desi sudah lama tak melakukan hubungan seksual.
Tidak, gumamnya dalam hati. Ini adalah tugas, bukan bersenang-senang. Namun gelombang kenikmatan itu tak bisa ditolak. Saat Zainal menghentak vagina Desi dan menggenjotnya dengan kuat, Desi terpaksa mendesah dan melenguh. Sudah lama ia tak merasakan energi yang besar dan penuh gelora seperti ini. Sambil kukunya menggaruk permukaan tikar, Desi akhirnya mencapai orgasme pertamanya. Ia menjerit dan tubuhnya menggeliat-geliat. Seragam dinasnya tampak berantakan, tapi ia tak peduli.
Namun rupanya Zainal masih belum juga dapat menenangkan birahinya. Ia terus menggenjot Desi, kemudian memintanya berbalik bada dan menghantamnya dari belakang. Stamina pemuda itu ternyata lebih besar dari yang Desi bayangkan. Setelah mengalami orgasme tiga kali, akhirnya Zainal melepaskan ejakulasinya juga di dalam kondom. Penis panjang itu berkedut-kedut di dalam vagina Desi, menimbulkan sensasi yang lama ia rindukan.
Beberapa menit kemudian, keduanya masih terengah-engah. Desi berusaha bangkit untuk memeriksa kondisi Zainal. Pemuda itu terbaring di atas tikar, tertidur seperti bayi. Wajahnya sudah tak lesu lagi dan mulai terlihat cerah.
Desi segera mengenakan celana dan roknya kembali, kemudian merapikan seragamnya di depan cermin. Setelah itu, ia pun menelepon tim medis agar segera menjemput Zainal dan membawanya ke pusat karantina.
Sebelum membiarkan Zainal dibawa menggunakan ambulans, Desi sempat mengusap rambut pemuda itu dan mengecup keningnya. Nafsu birahi yang sempat ia rasakan tadi sudah kembali reda dan berganti dengan rasa empati terhadap pemuda di hadapannya.
"Bu...," ucap Zainal yang setengah sadar. "Terima kasih."
"Sama-sama. Cepat sembuh ya," ucap Desi sambil melambaikan tangan.
===