Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY SEXFLU 2030

Dari semua episode yang sudah dipublikasikan, episode mana yang jadi favoritmu?


  • Total voters
    143
Protokol nyaKlo di blowjob malah ga ketularan Hu? Trus apa mungkin ada yg odp tanpa menunjukkan ada gejala? Klo tanpa gejala bisa pura2 trus ngentot gratis dong wkwk

Jangan bikin ane pusing suhu. Kalo pusing ga bisa ngaceng. 😤

Sexflu hanya menular lewat cairan dari mulut atau hidung. Tidak menular dari cairan kelamin. Yang dilarang itu berciuman, blowjob mah gapapa.

Iya betul, memang penelitian terbaru mengindikasikan adanya penderita tanpa gejala. Bagaimana membedakan antara penderita dan yang pura-pura? Sementara ini belum ada alat untuk membuktikan secara instan. Tapi orang-orang di tahun 2030 ini sudah baik-baik semua hu, bermoral, setia, jujur, dan rajin menabung. Jadi husnudzon aja. 😛
 
Story 3.3: TPGD



"Kamu pasti pengen tau kan, apa aja yang aku lakuin sama Mas Arif kemarin?"

"Enggak, kok."

"Terus, kok cemberut gitu?"

Pagi ini Galih kembali melakukan video call dengan Kartika, istrinya. Dalam hati, tentu saja ia ingin tahu apa yang telah dilakukan istrinya dengan Arif sesaat setelah ia mematikan teleponnya.

Galih telah menyaksikan sendiri bagaimana Arif menyetubuhi istrinya demi meredakan gejala Sexflu. Saat menyaksikan semua adegan itu, Galih memang merasa cemburu, malu, dan sedih. Namun semua itu terobati ketika melihat Kartika kembali sadar dan bisa berbincang-bincang dengannya. Apalagi ia tahu bahwa semua yang mereka lakukan di video call itu hanyalah sebuah prosedur medis sesuai anjuran pemerintah. Itu bukan perselingkuhan, bukan pula pencabulan.

Namun, apa yang mereka lakukan setelah telepon dimatikan adalah hal yang berbeda. Kartika sudah sepenuhnya sadar saat itu. Ia, tanpa keterpaksaan, meminta izin Galih untuk "memuaskan" Arif, supirnya sendiri. Jiwa cuckold dalam diri Galih mau tak mau jadi bergetar.

"Sayaaang, apa pun yang aku lakukan dengan Mas Arif kemarin, kamu harus tahu bahwa rasa cintaku masih tetap untuk kamu seorang," ucap Kartika sambil tersenyum genit. Ia baru saja selesai berdandan setelah mandi. Galih dapat membayangkan wangi tubuhnya yang sudah lama tak ia hirup.

"Iya, percaya. Udah ga punya utang kan sama dia?" tanya Galih menyelidik.

"Nggak kok. Kemarin kan aku udah berhasil bikin dia keluar," ucap Kartika pelan.

"Banyak?"

"Hah?"

"Banyak keluarnya?"

"Iya… lumayan. Sampe kena muka sama rambut aku. Lengket banget. Makanya tadi aku shampoan lagi nih." Kartika tertawa sambil memainkan rambut panjangnya.

"Oh…."

"Oh?"

"Emangnya kamu blowjob dia? Kok bisa sampe kena rambut?" tanya Galih. Jantungnya berdetak kencang.

"Iya. Abisnya kasian, tegang banget. Sampe keliatan urat-uratnya gitu. Tadinya udah aku kocokin, tapi lama banget nggak keluar-keluar, pegel tanganku," jawab Kartika sambil mencontohkan gerakan tangannya. "Ya udah, aku masukin ke mulut aku ajah."

"Terus?"

"Terus aku emut. Agak takut sih, kan sejak kamu pergi aku udah lama nggak pernah ngisep kontol. Takutnya kena gigi, kan kasihan. Jadinya aku isepnya pelan-pelan aja," ujar Kartika sambil memainkan lidahnya.

"Tapi nggak kena gigi, kan?"

"Nggak. Kayaknya sih enggak. Soalnya dia nggak protes sih."

"Mas Arif sih nggak akan protes. Mana berani? Kamu gigit juga dia diem aja."

Galih tertawa, Kartika tertawa. Suasana absurd yang tak pernah terjadi sepanjang pernikahan mereka maupun ketika dulu berpacaran. Mereka baru sadar bahwa dua orang yang sudah menikah pun tak pernah sepenuhnya saling mengenal. Selalu ada sisi-sisi tersembunyi dalam diri pasangannya yang tak disangka-sangka.

"Udah? Gitu aja? Abis kamu emut kontolnya, terus dia muncrat, terus kena rambut sama muka kamu?" tanya Arif lagi.

"Yaaa, gitu deh," jawab Kartika sambil mengangkat bahunya.

Galih terdiam. Ia menatap istrinya dalam-dalam lewat layar ponsel itu. Tidak, itu tidak semuanya. Ada yang disembunyikan Kartika darinya.

"Yakin cuma gitu? Nggak ada yang di-skip?" tanya Galih sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Hehehe, ada sih," jawab Kartika sambil menjulurkan lidah.

"Apa?"

"Sempat dimasukin juga," jawabnya pelan.

Galih menarik napas, berusaha tidak kaget. Toh ia sudah melihat Kartika dan Arif melakukan hubungan seksual melalui video call, jadi bukan hal yang mengejutkan lagi.

"Lagi?"

"Iya. Tapi dari belakang," lanjut Kartika, "kayanya Arif suka doggy style, pantatku seksi katanya. Tapi dia juga suka wajahku, jadi doggy style-nya di depan cermin rias."

Galih mengepalkan tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya terbenam di dalam telapak tangan. Ia tidak melihat adegan itu.

"Pantat kamu emang seksi, kok. Aku setuju sama Arif," kata Galih sambil berusaha tersenyum.

"Toket aku juga bagus katanya. Dia pegangin terus nih waktu aku lagi WOT di atas dia," tambah Kartika sambil memegang sepasang payudaranya sendiri.

"Hah? Jadi WOT juga?" Galih nyaris menjerit.

"Eh… tadi aku belum bilang, ya?" ucap Kartika, kemudian menggaruk-garuk kepalanya sendiri. "Sori, sori, aku lupa. Kirain aku udah bilang. Iya, iya, abis doggy, aku WOT-in dia. Abis gitu aku klimaks sekali lagi. Terus, nggak lama, dia mau keluar, langsung aku lepas dan aku suruh diarahin ke muka aku. Gituuu."

Galih bersandar di kursi, menarik napas dalam, kemudian memijat-mijat kepalanya sendiri. Ia tidak tahu apakah ini pengaruh virus Sexflu yang ada dalam tubuhnya, ataukah istrinya memang binal sejak awal. Yang ia tahu, dibalik kecemburuan dan kegelisahannya, penisnya kini tegang setegang-tegangnya.

---

Hari-hari berikutnya dihabiskan Galih untuk menimbang-nimbang apakah akan memanggil tenaga medis untuk merawat Kartika. Ia tahu benar bahwa Kartika belum sembuh, virus itu masih bersemayam di dalam dirinya. Pertolongan pertama hanya dapat meringankan gejala, tapi belum tentu tubuhnya sudah cukup kuat untuk melawan dan membuat antibodi. Dalam waktu dekat, gejala itu bisa muncul kembali, mungkin lebih ringan, mungkin lebih berat.

Akhirnya, Galih memutuskan untuk meminta bantuan Arif lagi. Ia menugaskan Arif untuk menyetubuhi istrinya secara rutin demi menjaga libido istrinya tetap stabil. Ia percaya bahwa hal ini bisa meredam kemungkinan timbulnya gejala Sexflu berikutnya. Entah sampai kapan, mungkin sampai tubuh Kartika cukup kuat untuk melawan virus atau sampai para ilmuwan berhasil menemukan vaksin.

Sejak saat itu, Galih memiliki rutinitas baru. Ia duduk di depan meja, di hadapan laptopnya, kemudian melakukan video call dengan Kartika dan Arif. Ia akan membiarkan Arif menyetubuhi istrinya dari belakang, sementara wajah istrinya itu menatap ke arah kamera, melihat ke arahnya. Sambil memandangi wajah istrinya yang mendesah-desah disetubuhi supirnya, Galih akan bermasturbasi. Sering kali di antara mereka berdua terjadi interaksi seolah mereka sedang bercinta secara virtual. Bisa dibilang, bagi Kartika, penis Arif di sana berperan sebagai proxy--sebagai wakil dari kehadiran suaminya yang ia rindukan.

"Yaaaang…. Ah… ah… Aku kangen kamu… Mmh…," desah Kartika.

"Aku juga, Sayang…. ssh…"

Kebiasaan itu berlangsung selama dua minggu. Kadang dua hari sekali, kadang setiap hari. Namun pada hari ini, sesuatu membuat Galih menjadi panik.

Laptop sudah terpasang, sambungan video sudah siap, dan Kartika sudah tiduran di atas kasur sambil menahan gejolak-gejolak birahi di dalam dirinya. Satu-satunya yang kurang adalah Arif. Ia menelepon Arif berkali-kali, tapi supirnya itu tak juga mengangkat. Kartika mencoba ikut mencari, tapi birahinya sudah terlalu tinggi, kakinya terlalu lemas untuk menuruni anak tangga ke lantai dasar.

Galih kemudian menelepon Mbak Iyem, memintanya untuk mencari Arif di seluruh sudut rumah, termasuk di garasi, di kamar tidurnya, di dapur, bahkan di warung sebelah yang tutup. Namun laporan dari Mbak Iyem membuatnya terkejut. Arif menghilang, begitu juga dengan mobilnya.

Sementara itu, Kartika sudah mendesah-desah di atas tempat tidur. Vaginanya banjir, keringatnya mengucur, napasnya sesak. Galih menyaksikan semua itu dari layar laptopnya.

Galih mencoba memanggil-manggil istrinya itu, tapi Kartika tak merespons. Kesadarannya sedang tak berada di tubuhnya. Ia berada dalam kondisi ekstatik yang beririsan dengan sakaratul maut. Menyaksikan itu, tubuh Galih bermandikan keringat dingin.

Dalam kondisi itu, tak ada pilihan lain. Ia segera menelepon hotline 6969, kemudian menjelaskan kondisi istrinya serta alamat tempat tinggalnya. Petugas mendengarkan penjelasan itu dengan seksama, kemudian mengatakan akan mengirim satu tim khusus untuk kondisi gawat darurat.

Benar saja, tak lama kemudian, sebuah tim khusus yang terdiri dari lima orang pria berpakaian APD lengkap tiba di rumah Kartika. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, mereka memastikan bahwa Kartika benar terjangkit Sexflu dan saat ini kondisinya sangat fatal.

Galih dapat menyaksikan semua itu lewat kamera ponsel yang dibiarkan menyala. Pada bagian belakang pakaian tim medis itu, terdapat tulisan cetak berwarna merah: TPGD (Tim Penetrasi Gawat Darurat) 6969. APD yang mereka kenakan memiliki desain yang unik, yaitu adanya lubang pada bagian selangkangan yang dapat dibuka dengan mudah dan cepat.



Seorang anggota tim segera mengeluarkan penisnya. Ia mengoleskan sebuah cairan pada penis itu dan membuatnya tegang seketika. Kemudian, tanpa membuang waktu, ia segera memasukkan penisnya ke vagina Kartika. Tetap dalam balutan APD dan masker, anggota tim itu menggenjot Kartika dengan gerakan yang cepat dan terlatih. Tak lama kemudian, ia melepaskan penisnya dan turun dari kasur. Seorang anggota tim lainnya pun melakukan hal yang sama.

Kartika disetubuhi secara bergilir oleh empat orang anggota TPGD, sementara satu anggota lainnya sibuk mengukur denyut jantung dan nadi Kartika. Kartika tampak mendesah dan menjerit, tapi tak juga berhasil mencapai klimaksnya. Hal itu terjadi terus menerus selama kurang lebih satu jam.

Pada satu titik, seorang anggota tim mendekat ke arah kamera, kemudian mematikan handphone itu. Seketika itu juga, layar laptop Galih menjadi gelap. Galih bersandar di kursi, berusaha menahan tangisnya.

---

"Maaf, Bapak Galih. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri Bapak, tapi kondisi beliau sudah terlalu parah untuk diberi pertolongan. Kami sebagai manusia hanya bisa berusaha, Pak, Tuhan-lah yang menentukan. Mari kita doakan agar arwah istri Bapak mendapat tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Ketua Tim Penetrasi Gawat Darurat kepadanya lewat sambungan telepon. Galih tak bisa berkata apa-apa. Ia segera menutup telepon dan menyendiri di kamar wismanya. Istrinya akan segera dimakamkan dengan prosedur khusus di pemakaman umum dan ia sama sekali tak dapat melihat wajahnya untuk terakhir kali.

Esoknya, Galih mendapat kabar bahwa Mas Arif, supirnya, ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di pinggir jalan di dekat kompleks perumahan. Menurut pemeriksaan medis, Arif positif terkena Sexflu sebelum ia meninggal. Tampaknya, Arif telah mengalami gejala Sexflu yang cukup fatal, tapi ia merasa sungkan untuk meminta pertolongan lebih dulu kepada Kartika. Ketakutan, ia mengendarai mobil ke tempat yang sepi dan berusaha bermasturbasi di sana. Sayangnya, nyawanya tak tertolong.

Kasus kematian Arif ini sempat ramai diberitakan media massa. LSM dan politisi mengkritik pemerintah atas kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai penanganan darurat Sexflu. Andai saja sosialisasi dan edukasi berjalan baik, tentu orang yang merasakan gejala Sexflu seperti Arif akan langsung menghubungi hotline 6969 dan mendapat pertolongan dari TPGD, bukannya menyendiri dan meninggal begitu saja.

Galih tidak mau terlibat perdebatan itu. Yang ia tahu, ia sudah tak ada keinginan untuk pulang sekarang. Rupanya, wabah Sexflu ini telah menjadi lebih buruk dari yang ia bayangkan.

===
 
Terakhir diubah:
Story 4: Laporan Warga (Desi)



Wabah Sexflu telah mengguncang sendi-sendi kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Penulis pun mendapatkan beberapa laporan dari warga yang masuk ke inbox penulis. Mereka menceritakan pengalaman mereka terkait wabah Sexflu.

Laporan pertama ini datang dari Ibu Desi, seorang ASN berusia 43 tahun. Berikut kisahnya.

Sejak diberlakukannya PSBB Sexflu, perekonomian rakyat mulai terkena dampaknya. Orang-orang tak dapat dengan bebas melakukan perniagaan, daya beli menurun, PHK massal terjadi di mana-mana, kriminalitas merajalela. Untuk mengatasi permasalahan perekonomian ini, pemerintah dituntut untuk berperan aktif, salah satunya adalah dengan memberikan bantuan langsung berupa sembako ataupun uang tunai. Namun dengan sumber daya yang terbatas, siapa sajakah yang berhak mendapat bantuan?

Untuk menjawab permasalahan ini, pemerintah menugaskan para PNS dari berbagai instansi dan satuan kerja untuk mendistribusikan bantuan secara tepat sasaran.

Desi menerima Surat Tugas dari atasannya untuk membantu mendata warga yang membutuhkan bantuan, mulai dari tingkat Kelurahan, RW, dan RT. Perempuan berusia 43 tahun ini awalnya merasa berat, sebab ia sudah berencana untuk melakukan WFH secara penuh sambil menghabiskan waktu bersama dua orang anaknya. Namun pada akhirnya ia tak bisa menolak. Sebagai PNS, ia harus siap ditugaskan kapan saja dan di mana saja. Ia tak mau dicap sebagai pegawai pemalas hanya karena ia sudah senior.

Sore ini, Bu Desi sedang mendata warga di RT 10 RW 03 yang kebanyakan merupakan pendatang dan penghuni kontrakan. Didampingi Ketua RT setempat, ia harus mewawancarai warga satu per satu untuk meyakinkan dirinya bahwa warga tersebut memang perlu mendapat bantuan.

"Jadi Bapak sudah tinggal di sini selama sepuluh tahun? Anak Bapak ada tiga, semua masih kecil-kecil ya?" tanya Bu Desi pada salah satu warga.

"Betul, Bu. Sejak diberlakukan PSBB, saya tidak bisa lagi berjualan bakso dan ngojek. Kami cuma bergantung dari usaha istri saya sebagai tukang cuci," ucap lelaki tersebut.

"Baik, Pak. Kalau begitu data Bapak akan saya masukkan ke dalam database dan akan dikaji lebih lanjut," ucap Desi sambil menulis di form-nya.

"Terima kasih, Bu. Mudah-mudahan saya bisa mendapat bantuan."

Sejujurnya Desi merasa iba setiap kali harus melakukan tugas ini. Ia tidak yakin bahwa anggaran yang dimiliki pemerintah sanggup membantu semua orang yang terhimpit ini. Namun, ia harus tetap memberi harapan kepada mereka.

Desi keluar dari rumah itu, kemudian menuju rumah sebelahnya. Ia bertanya kepada Pak RT mengenai identitas penghuni rumah tersebut.

"Rumah yang ini sebenarnya kos-kosan, Bu. Pemilik kosnya tinggal di RW 01. Penghuninya sekarang mahasiswa tingkat akhir, tapi orangnya jarang keluar rumah," kata Pak RT sambil menyerahkan fotokopi KTP penghuni kost tersebut.

"Namanya Zainal? Usia 20 tahun. Pekerjaan mahasiswa. Warga dari provinsi lain. Kalau mahasiswa biasanya kan dapat kiriman dari orangtuanya ya, Pak?" tanya Bu Desi sambil memperhatikan KTP tersebut.

"Betul, Bu."

"Pak RT tahu, apa dia punya penghasilan di luar itu?" tanya Desi.

"Saya kurang tau, Bu. Tapi dulu saya pernah ngobrol dengan dia sebentar, katanya dia itu penulis di forum internet."

"Internet? Semacam jurnalis begitu?" tanya Desi sambil membetulkan maskernya.

"Bukan. Nama forumnya Semprul .... atau Semprot atau apa ya?" Pak RT garuk-garuk kepala.

"Penulis di Forum Semprul? Sepertinya nggak menghasilkan, Pak. Mungkin dia bisa masuk kriteria juga meskipun warga pendatang. Kalau begitu, ayo kita interview langsung aja," ucap Bu Desi sambil mengajak Pak RT memasuki halaman rumah itu.

Tok tok tok! Pak RT mengetuk pintu kamar.

"Samlekum! Mas Zainal, ini Pak RT! Ada pendataan dari Kelurahan! Mau dapet sembako nggak?" ujar Pak RT.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka sebagian. Dari balik pintu, melongok seorang pria muda berkacamata, bermasker, dan berambut gondrong acak-acakan. "Ya, Pak?"

"Ini Bu Desi, mau interview," kata Pak RT.

"Sore, Mas. Saya Desi, ditugaskan untuk mewawancarai warga terkait pendataan bantuan pemerintah untuk yang terdampak wabah Sexflu," ujar Desi sambil menunjukkan surat tugasnya, lalu tersenyum seramah mungkin.

Zainal menatap Desi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ditatap oleh mahasiswa brondong seperti itu, Desi tak mau kalah, ia balik menatap wajah pemuda itu. Di balik masker dan rambut gondrongnya, Desi merasa bahwa pemuda itu lumayan tampan. Meski umur Zainal tak beda jauh dengan anak bungsunya, Desi tetap memanggilnya "Mas" sebagai penghormatan.

Tanpa bicara apa-apa, Zainal membukakan pintu lebih lebar. Pak RT dan Desi segera masuk dan duduk lesehan di atas tikar. Layaknya kamar kost laki-laki, ruangan itu lumayan berantakan. Kasur lipat tergeletak di pojok, beberapa pakaian dibiarkan terhampar di atasnya. Di sudut lain, ada sebuah meja belajar yang diisi action figure dan poster perempuan seksi.

"Mas, boleh tahu sumber penghasilannya selama ini?" tanya Desi.

"Saya ... dikirimi uang oleh orang tua saya di luar kota. Tapi udah sebulan ini mereka nggak transfer. Ayah saya dirumahkan," jawab Zainal. Wajahnya tampak lesu dan suara napasnya agak berat.

"Sabar, ya Mas," ucap Desi. "Selain dari situ apa ada penghasilan lain, misalnya kerja sampingan?"

"Kadang-kadang saya jadi penulis lepas, tapi hasilnya nggak nentu. Udah sebulan ini nggak ada pemasukan," jawabnya sambil memijat keningnya sendiri.

Desi mencatat jawaban tersebut, kemudian melirik ke pojok ruangan. Satu dus mi instan yang sudah nyaris kosong. Sepertinya pemuda ini sudah lama tidak makan nasi.

Ia pun melanjutkan beberapa pertanyaan lain seperti kondisi perkuliahan dan jumlah pengeluaran rutinnya.

Setelah dirasa cukup, Desi dan Pak RT pun pamit. Namun belum sempat Desi keluar dari pintu kost itu, tiba-tiba saja Zainal menahan tangannya.

"Bu ..., tunggu," ujar Zainal dengan suara napas yang tersengal-sengal.

"Kenapa, Mas?" tanya Desi sambil membalikkan badan. Pak RT sudah keluar lebih dulu.

"Bu, sebenarnya, saya.... saya sakit, Bu," ujar Zainal.

Mendengar perkataan itu, Desi sedikit panik. Mungkinkah sakit yang ia maksud adalah sakit akibat virus Sexflu?

Napas Zainal semakin berat, tangannya tampak gemetaran. Ia memegangi selangkangannya dan tampak sedang menahan sesuatu.

"Tolong, Bu.... Tolong," ucap Zainal.

Sebagai abdi negara, Desi berusaha bersikap serasional mungkin dalam situasi ini. Ia pun menawarkan opsi paling masuk akal yang ia ketahui.

"Mas, tenang, ya. Biar saya panggilkan tim medis darurat. Hotline 6969 selalu siaga 24 jam, mereka pasti bisa menolong Mas meredam semua itu," ujar Desi sambil mengelus-elus kepala Zainal, mencoba menenangkannya. Dalam situasi ini, naluri keibuannya terasa tergerak.

"Nggak, Bu. Ibu aja yang tolong saya. Saya udah nggak tahan," ucap Zainal, nyaris menangis.

Pipi Desi terasa agak hangat mendengar permintaan tersebut. Memang, sebagai aparat negara, ia juga punya kewajiban melakukan protokol B3 apabila tidak ada tim medis yang siap siaga. Namun, selama masih ada opsi lain, ia lebih memilih untuk tidak melakukannya. Ia akan mencoba memberi pengertian.

"Mas Zainal, mohon maaf. Kalau saya, saya nggak yakin bisa membantu Mas. Saya cuma ibu-ibu umur empat puluhan. Anak saya sudah dua. Mana mungkin saya bisa memuaskan Mas Zainal dan meredam efek virus itu? Lebih baik dibantu tim medis saja," ujar Desi merendah.

Namun Zainal tidak mau tahu, ia menurunkan celananya, kemudian mengeluarkan penisnya yang sudah tegak berdiri. Desi agak terkesiap melihat penis milik pemuda tampan yang berumur setengah dari umurnya itu. Bentuknya bagus. Tidak terlalu besar, tapi panjang dan bersih--mungkin karena sering disabuni.

Merasa tak punya pilihan lain, Desi pun berlutut di depan Zainal. Ia memegang penis itu, kemudian mengocoknya perlahan-lahan.

"Saya coba ya, Mas," ucap Desi sambil melirik ke atas, ke arah Zainal.

"Mmmmh... Bu.... Aaahhh."

Ketika sedang bertugas mengocok penis Zainal, tiba-tiba saja Pak RT masuk ke ruangan tersebut.

"Bu, ayo kita ke rumah berikutnya," ucap Pak RT, kemudian agak kaget. "Oh, maaf, saya kira lagi ngobrol."

"Tunggu sebentar ya, Pak. Saya bantuin Mas-nya dulu nih, kondisi darurat," ujar Desi sambil tak berhenti mengocok dan memijat penis pemuda berondong di depannya.

"Iya, Bu. Apa yang bisa saya bantu? Ibu bawa kondom?" tanya Pak RT.

"Bawa Pak, ada di tas."

"Siap. Saya tunggu di luar, ya."

Pak RT kemudian pergi ke luar. Desi pun melanjutkan tugasnya. Kini ia memasukkan penis itu ke dalam mulutnya dan menghisapnya dengan perlahan.

"Bu, mmmh.... boleh saya masukin .... ke memek Ibu?" tanya Zainal sambil memegangi kepala Desi.

Desi melepas penis itu dulu dari mulutnya, kemudian menjawab, "Tapi Mas, memek saya udah nggak rapat kaya gadis muda. Apa nggak sebaiknya pakai mulut aja?"

"Saya mau, Bu... Tolong..." rintih Zainal.

Desi menarik napas dalam, kemudian bangkit berdiri dan melepaskan rok seragamnya yang berwarna khaki. Dengan lihai, Zainal segera membantu Desi melepaskan celana dalamnya, kemudian mendorongnya hingga terbaring di atas lantai.

"Tapi pakai kondom, ya," kata Desi sambil menyerahkan satu saset kondom dari saku seragam PNS-nya.

Zainal mengangguk.

Desi agak grogi mendapati posisinya sudah tidur mengangkang, sementara di antara kedua kakinya ada seorang lelaki muda yang tengah dikuasai birahi.

Perlahan-lahan ia dapat merasakan sebuah batang keras dan panjang mendorong masuk ke dalam bibir vaginanya. Ia menjerit pelan, tapi tetap berusaha bersikap profesional. Ia melakukan ini demi tugas, bukan demi hasrat pribadinya.

Lama-kelamaan, batang panjang itu masuk semakin dalam hingga ke relung terdalam vaginanya, menggesek dan menggaruk dindin-dindingnya yang semakin basah. Desi mulai mengerang dan mendesah. Memang, sejak menjalani hubungan jarak jauh dengan suaminya, Desi sudah lama tak melakukan hubungan seksual.

Tidak, gumamnya dalam hati. Ini adalah tugas, bukan bersenang-senang. Namun gelombang kenikmatan itu tak bisa ditolak. Saat Zainal menghentak vagina Desi dan menggenjotnya dengan kuat, Desi terpaksa mendesah dan melenguh. Sudah lama ia tak merasakan energi yang besar dan penuh gelora seperti ini. Sambil kukunya menggaruk permukaan tikar, Desi akhirnya mencapai orgasme pertamanya. Ia menjerit dan tubuhnya menggeliat-geliat. Seragam dinasnya tampak berantakan, tapi ia tak peduli.

Namun rupanya Zainal masih belum juga dapat menenangkan birahinya. Ia terus menggenjot Desi, kemudian memintanya berbalik bada dan menghantamnya dari belakang. Stamina pemuda itu ternyata lebih besar dari yang Desi bayangkan. Setelah mengalami orgasme tiga kali, akhirnya Zainal melepaskan ejakulasinya juga di dalam kondom. Penis panjang itu berkedut-kedut di dalam vagina Desi, menimbulkan sensasi yang lama ia rindukan.

Beberapa menit kemudian, keduanya masih terengah-engah. Desi berusaha bangkit untuk memeriksa kondisi Zainal. Pemuda itu terbaring di atas tikar, tertidur seperti bayi. Wajahnya sudah tak lesu lagi dan mulai terlihat cerah.

Desi segera mengenakan celana dan roknya kembali, kemudian merapikan seragamnya di depan cermin. Setelah itu, ia pun menelepon tim medis agar segera menjemput Zainal dan membawanya ke pusat karantina.

Sebelum membiarkan Zainal dibawa menggunakan ambulans, Desi sempat mengusap rambut pemuda itu dan mengecup keningnya. Nafsu birahi yang sempat ia rasakan tadi sudah kembali reda dan berganti dengan rasa empati terhadap pemuda di hadapannya.

"Bu...," ucap Zainal yang setengah sadar. "Terima kasih."

"Sama-sama. Cepat sembuh ya," ucap Desi sambil melambaikan tangan.

===
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd