Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY SEXFLU 2030

Dari semua episode yang sudah dipublikasikan, episode mana yang jadi favoritmu?


  • Total voters
    143
Bimabet
Story 5: Zoom (part 1)



Sejak diberlakukannya PSBB Sexflu, berbagai perusahaan mulai memberlakukan cara kerja dari rumah atau WFH (work from home), meskipun banyak juga yang tetap masuk kerja secara bergantian. Tempat kerja Rian adalah salah satunya yang memberlakukan WFH. Sebagai pimpinan sebuah tim kecil yang bertugas mengelola digital marketing, seksi yang dipimpin Rian kini menjadi lebih sibuk dari biasanya. Dengan dibatasinya perjalanan dan ditutupnya berbagai ruang publik, seluruh kegiatan pemasaran dibebankan pada seksinya.

Andai saja memungkinkan, sebenarnya Rian ingin meminta seluruh stafnya untuk tetap masuk kantor agar koordinasi menjadi lebih mudah. Namun itu tak mungkin. Seluruh stafnya hanya terdiri dari lima orang, dan semuanya perempuan yang selalu menggunakan kendaraan umum dan tinggal di area yang cukup jauh. Untunglah, pekerjaan mereka dapat dilakukan secara remote, asalkan dilakukan meeting harian melalui Zoom agar tidak terjadi miskomunikasi.



Pagi ini, Rian sudah duduk di depan laptop di meja kerjanya. Sebagai duda yang hidup seorang diri, ia tidak kesulitan bila harus bekerja dari rumah. Tidak ada keluarga yang menuntut perhatiannya atau mengganggu konsentrasinya. Soal kesepian, ia sudah biasa.

Setelah lima menit menunggu, akhirnya salah satu stafnya muncul juga di waiting room aplikasi.

"Pagi, Pak. Suara saya kedengeran?" ucap Karin, gadis berkacamata, anggota timnya yang paling junior dan berstatus fresh graduate.

"Pagi, Kar. Kedengeran, kok," jawab Rian sambil melambaikan tangannya.

"Masih kosong, ya Pak?" tanya Karin sambil membetulkan kacamata. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak, rambutnya panjang terurai. Di latar belakangnya, terlihat rak buku berisi novel dan komik.

"Iya, nih. Santai aja deh. Kita tungguin, ya," jawab Rian.

Sambil menunggu, Rian menanyakan keseharian Karin. Anak kost itu mengeluh tak bisa pulang ke kampung halamannya dan hanya bisa menelepon ibunya.

Lima menit kemudian, dua orang stafnya yang lain log in. Pertama adalah Fitria, wanita berjilbab yang dianggap paling alim dan anggun di dalam timnya.

"Assalamualaikum. Maaf saya telat," ujar Fitria sambil melambaikan kedua tangannya. Setiap kali Fitria datang, suasana tiba-tiba saja menjadi tenang dan sejuk.

"Nggak apa-apa, baru lima menit," jawab Rian.

Kemudian, staf berjilbabnya yang lain juga muncul, namanya Shaly. Berbeda dengan Fitria yang terkesan tenang dan anggun, Shaly adalah wanita mungil dan humoris.

"Sori, aku ketiduran tadi! Tapi udah cuci muka, kok!" ujar Shaly sambil tersenyum.

Orang keempat yang masuk adalah Ajeng, wanita muda yang paling smart dan inovatif di timnya.

"Selamat pagi, Bapak dan rekan-rekan semua. Maaf baru hadir, tadi saya baru ada meeting lain," ucap Ajeng.

"Lho, meeting apa Jeng? Kok saya nggak tau?" tanya Rian.

"Oh, bukan meeting kantor kita, Pak. Meeting sama relawan untuk bagi-bagi masker dan dildo," jawab Ajeng.

"Oh, saya kira kamu diajak meeting sama divisi lain, kok saya nggak tau," ujar Rian. Selama ini, Ajeng memang sering disebut-sebut sebagai kader yang akan menggantikan Rian di tim itu. Meski usianya jauh lebih muda, tapi Ajeng adalah lulusan S2 luar negeri dengan sederet prestasi.

"Tinggal satu lagi, ya? Mbak Erlin telat terus, nih," ujar Karin.

"Mungkin lagi repot sama anaknya," tambah Fitria.

"Maklum, ibu mudaaaa," celoteh Shaly.

Mereka pun melakukan pembahasan ringan sambil menunggu kemunculan Erlin, staf Rian yang terakhir. Obrolan mereka tak jauh dari traffic media sosial dan analisis berita terkini.

Saat sedang asyik berbincang, tiba-tiba saja Erlin log in. Wajah ibu satu anak itu muncul di layar sambil tersenyum. Samar-samar terdengar suara anak balita yang sedang mengoceh.

"Selamat pagi. Pak Rian, maaf saya terlambat. Tadi si kecil rewel terus," ujarnya.

"Nggak apa-apa, Mbak. Kita baru ngobrol aja kok."

Pembicaraan pun mulai berlanjut kembali, sementara Erlin hanya menyimak. Saat ia memundurkan posisi duduknya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuat mata peserta lainnya teralih.

"Mbak Erlin," kata Fitria, "Maaf, itu Mbak."

"Hah? Apa?" Erlin bingung.

Ajeng mengetik di chat personal: payudaranya, Mbak.

Tiba-tiba saja Erlin tersipu malu. Ia baru menyadari bahwa sejak tadi kaos busui-nya belum ia tutup. Dari sela lipatan kaos, payudara kirinya masih menyembul keluar. Rian dapat melihat putingnya yang keras serta sebagian bukitnya yang masih kencang serta mulus milik ibu muda ini.

"Wah, maaf, maaf, saya nggak ngeh!" ucap Erlin sambil menutupi payudaranya.

Peserta rapat yang lain tertawa, sementara Rian hanya senyum-senyum saja melihat kelakuan anak-anak buahnya. Rian sadar bahwa meski mereka terbiasa menggunakan teknologi, tapi mereka belum terbiasa melakukan video conference. Soal teknologi, mereka semua tak ada yang gaptek, tapi soal etika, itu beda lagi.

Untungnya, budaya di tempat kerjanya memang casual. Oleh karena itu, saat memutuskan meeting lewat vidcon pun mereka menjadi lebih santai. Tidak ada aturan harus memakai kemeja atau baju formal. Mereka bebas memakai kaos, daster, atau bahkan tanktop.

Pada salah satu meeting, Karin malah mengenakan tanktop tipis tanpa bra yang membuat sepasang putingnya tampak menonjol. Rian sering kali gagal fokus, tapi sebagai pimpinan yang dihormati oleh para stafnya itu, ia berusaha tetap profesional dan open minded. Ia merasa tak punya hak mengatur cara berpakaian para stafnya, yang penting mereka bekerja dengan baik dan taat deadline.

Dalam meeting yang lain, Ajeng telat log in sementara anggota yang lain sudah lengkap. Rian sempat mengira bahwa Ajeng sedang sibuk dengan aktivitasnya sebagai relawan, tapi rupanya ia salah. Ajeng ternyata bangun kesiangan dan baru selesai mandi. Ia pun login Zoom dengan masih mengenakan handuk. Rian berusaha cuek, bahkan ketika saat sedang presentasi handuk Ajeng tanpa sengaja terlepas. Dalam sekian detik, payudara ajeng yang kecil tapi menggemaskan itu terlihat di layar. Stafnya yang lain tertawa sambil meledek Ajeng.

Rian hanya bisa menepuk jidatnya sendiri sembari mengeluh: "Aduuh, begini nih kalau punya staf cewek-cewek muda semua. Bikin pusing. Tapi mereka semua punya potensi yang bagus, cerdas dan loyal juga."

Suatu hari, Rian merasa pusing dan demam, tapi ia memutuskan untuk tetap mengikuti meeting. Meeting kali ini sangat penting, karena mereka harus mengevaluasi hasil pekerjaan masing-masing selama masa PSBB Sexflu ini. Hasil dari evaluasi itu harus dilaporkan ke atasannya lagi. Nasib tim mereka ada di ujung tanduk.

Ajeng, Karin, Erlin, Fitria, dan Shaly sudah hadir di Zoom ketika akhirnya Rian log in. Rian berusaha untuk duduk dengan tegap meski tubuhnya entah kenapa terasa lemas. Wajahnya di kamera terlihat lesu dan pucat, dan tampaknya para stafnya menyadari hal itu.

"Maaf, Pak Rian sedang kurang sehat, ya?"tanya Fitria. Hari ini ia mengenakan jilbab berwarna abu-abu dan baju lengan panjang senada. Tetap cantik dan anggun seperti biasa.

"Iya, mukanya kok lesu gitu?" tanya Shaly sambil mendekatkan wajahnya ke layar dan memanyunkan bibir. Jilbab pink-nya tampak cerah ceria.

"Kalau lagi nggak enak badan, bagaimana kalau kita tunda aja meeting-nya?" usul Erlin. Ia tampak santai hari ini mengenakan daster hijau longgar, sepertinya anaknya sedang tidur.

"Iya, Pak. Kasihan Pak Rian, istirahat dulu Pak. Ditunda aja, jadi aku bisa nyiapin presentasi aku lebih baik lagi. Hehe," kata Karin sambil terkekeh.

Rian menarik napas dalam. Ia merasa napasnya mulai terasa sesak.

"Saya nggak apa-apa, kok. Teman-teman jangan khawatir. Kalau ditunda, nanti saya nggak punya waktu untuk bikin laporan ke atasan."

"Yakin, Pak?" tanya Shaly.

"Iya, Pak. Gimana?" timpal Fitria.

"Yakin, kok. Sa… saya nggak a… apa-apa. Hah..," jawab Rian dengan suara yang semakin terbata-bata.

Tiba-tiba saja, Ajeng yang sejak tadi hanya diam menyimak, ikut angkat bicara. Ia memasang tangannya ke bawah dagu, memperhatikan Rian dengan tatapan menyelidik.

"Pak Rian," tanya Ajeng.

"Ya…, Jeng?"

"Saya mau tanya. Tapi tolong jawab jujur, ya," ujar Ajeng.

"Ya… silahkan…."

"Pak Rian…. Bapak … lagi pengen, ya?" tanya Ajeng.

Para staf yang lain mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan Ajeng.

"Pengen?" Rian bertanya.

"Maksud aku, horny. Bapak ngerasa horny, nggak?" tanya Ajeng lagi. "Sebagai relawan Sexflu, aku udah beberapa kali ikut sosialisasi. Tanda-tanda Bapak sepertinya mirip dengan gejala Sexflu tahap menengah."

Rian tidak menjawab. Ia hanya bersandar di kursinya dan berusaha mengatur napas.

"Astagfirullah," gumam Fitria. Wajahnya tampak khawatir.

"Pak, Bapak nggak apa-apa?" tanya Karin.

"Pak, coba dicek," kata Ajeng lagi, "coba cek penis Bapak, gimana kondisinya, coba liat, Pak."

Rian merasa agak canggung mendengar permintaan itu dari Ajeng, seorang stafnya yang cantik, cerdas, dan berpotensi. Ia perlahan-lahan membuka ritsleting celananya, kemudian mengeluarkan penisnya. Benar, memang penisnya sangat tegang dan keras, urat-uratnya menonjol hingga terasa agak nyeri. Tapi ia masih merasa malu untuk menunjukkannya ke kamera. Ia bukan orang gila, apalagi cabul, ia adalah pria yang profesional dan selalu menjaga kehormatan dirinya maupun orang-orang di sekitarnya.

"Nggak apa-apa, Pak. Jangan malu," ujar Ajeng lagi.

"Iya, Pak. Siapa tau Kak Ajeng bisa liat kalau sampai ada apa-apa," timpal Karin sambil menggigiti kuku tangannya sendiri.

Benar juga, Rian pun khawatir bila terkena Sexflu. Ia tinggal seorang diri. Tidak ada yang merawat atau melayaninya. Tidak ada yang sadar apakah selama ini memperlihatkan gejala-gejala yang mengarah ke sana. Akhirnya, dengan jantung yang berdetak kencang, Rian pun mengarahkan webcam-nya ke arah penisnya. Batang yang keras dan panjang itu tampak di layar Zoom.

Para wanita muda di layar tampak menganga, entah khawatir atau terkesima. Ini pertama kalinya mereka melihat batang penis milik bos mereka sendiri. Tampak Shaly menggigit bibir bawahnya, sementara Fitria mencoba menutupi matanya tapi tetap mengintip dari sela-sela jari.

"Ternyata gede juga punyanya Pak Rian... wow...," gumam Karin sambil memajukan posisi duduknya.

"Norak ih, dasar perawan," ujar Erlin terkekeh.

"Hush, bukan saatnya ngomentarin itu. Pak Rian sedang dalam bahaya. Kemungkinan ini gejala Sexflu!" kata Ajeng.

Para staf yang lain tampak terkejut mendengar diagnosa Ajeng. Sementara itu, Rian masih bersandar di kursi, pasrah membiarkan batang penisnya diamati, diobservasi, dan dikomentari oleh para wanita bawahannya.

Dengan sigap, Ajeng segera menelepon 6969 untuk meminta pertolongan darurat. Sayangnya, hampir semua tenaga medis saat itu sedang bertugas di tempat lain. Beberapa orang yang tersisa berada di lokasi yang cukup jauh sehingga membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di rumah Rian.

"Tim medisnya masih satu jam lagi baru sampai sana," kata Ajeng.

"Waduh, gimana nih? B3 dong?" tanya Erlin.

"Siapa yang bisa nolongin Pak Rian?" tanya Karin.

Mereka terdiam selama beberapa saat. Lokasi mereka berlima semuanya cukup jauh dari rumah Rian. Akan memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk pergi ke sana. Sama sekali tidak efektif.

"Pak, Pak Rian?" tiba-tiba saja Ajeng kembali angkat suara. "Bapak masih bisa coli sendiri nggak Pak?"

Meski lemas, Rian mencoba menggerakkan tangannya dan menyentuh penisnya sendiri. Kemudian ia mengangguk.

"Masih bisa tuh Jeng!" ujar Erlin.

"Kalau gitu berarti masih bisa A1 atau A2!" kata Ajeng. "Pak, sambil nungguin tenaga medis, Bapak tolong coli ... ngg.. onani sendiri. Bisa kan Pak?"

Rian mengangguk lagi. "Iya... akan saya coba. Kalau gitu .... saya sign out dulu... ya?"

"Eh jangan! Jangan Pak!" kata para staf, nyaris bersamaan.

"Kalau Bapak sign out nanti kami nggak bisa ngawasin keadaan Bapak!" kata Karin.

"Iya, kalau kenapa-kenapa gimana?" ucap Shaly dengan mata berkaca-kaca.

Rian terdiam. Dalam hati dia merasa terharu dan bersyukur sekali. Selama kariernya di dunia kerja, baru kali ini dia memiliki para staf yang begitu perhatian dengan dirinya. Mereka memang masih hijau dan terkadang kekanak-kanakan, tapi rasa kekeluargaan di antara mereka terasa sangat kuat.

"Terus... saya harus .... gimana ini?" tanya Rian sambil memperhatikan penisnya yang masih tegang maksimal.

"Bapak Onani aja di depan kamera. Kami akan bantu sebisa kami dari jauh. Please, Pak. Ini demi keselamatan Bapak sendiri," ujar Ajeng sambil memohon.

Bersambung....
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd