Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY SEXFLU 2030

Dari semua episode yang sudah dipublikasikan, episode mana yang jadi favoritmu?


  • Total voters
    143
Story 6: Pemula (Part 2)

Setelah kejadian itu aku sudah pasrah. Mungkin bukan salah Rika. Dia hanya seorang perawat biasa dari desa. Pengalaman seksualnya minim. Ia bercerita kepadaku bahwa ia tidak pernah berhubungan seksual dengan pria lain selain suaminya. Ia besar dari keluarga konservatif yang menjunjung tinggi keperawanan dan kesetiaan. Saat menerima tugas ini, ia pun sempat berdebat dengan suaminya--meski pada akhirnya diizinkan.

Tak mengapa. Kurasa, aku tak punya gejala yang sangat parah. Kalaupun ada virus Sexflu, mungkin ia sudah melemah oleh sistem imun tubuhku. Bagaimanapun, terapi yang kudapatkan di sini hanyalah bentuk jaga-jaga.

Namun malam ini, semuanya berubah.

Aku bermimpi yang membuat dadaku sesak. Aku teringat putriku yang masih kecil dan kini tinggal bersama neneknya. Saat aku dibawa ke fasilitas ini, aku terpaksa berpisah dengannya. Aku bahkan tak sempat mengucapkan kata perpisahan, apalagi memeluknya, ketika petugas medis datang menjemputku.

Lalu aku terbangun dengan napas sesak dan tersengal-sengal. Kepalaku terasa berputar, dan ketika aku sadar aku menyadari bahwa penisku dalam kondisi tegak berdiri, sangat keras.

Tanganku meraba-raba meja di sebelah tempat tidurku, kemudian menekan bel emergensi.

Semenit kemudian, Rika membuka tirai kamarku. Melihatku yang sedang megap-megap dengan penis menonjol di balik selimut, ia tampak panik. Ia segera mendekat ke arahku, memeriksa suhu keningku, kemudian menyingkap selimutku.

"Pak, tenang Pak. Tarik napas yang dalam," ujarnya sambil mengambil suntikan penenang. Ironisnya, ia sendiri tampak kebingungan

Aku tak tahu apa zat yang terkandung dalam suntikan itu, tapi yang jelas setelah menerimanya di lenganku, sesak napasku berangsur-angsur membaik.

Namun tidak dengan ereksiku.

Ia bilang kondisiku masih kritis. Suntikan penenang tadi hanya pertolongan sementara. Selanjutnya, mau tak mau aku harus diberikan terapi hubungan badan.

Rika menatap penisku yang berdiri tegak. Ia menarik napas dalam, kemudian mengepalkan tangannya, sepertinya sedang mengumpulkan keberanian.

"Pak, maaf kalau saya gugup. Saya...saya nggak pernah berhubungan intim...selain dengan suami saya," ucapnya.

"Jangan dipaksa Mbak... Mungkin ada jalan lain.. atau ada yang bisa menggantikan," ucapku.

"Tidak Pak. Saya harus profesional. Saya sudah bersumpah, Pak." Ujarnya.

Mendengar itu, aku hanya bisa mengangguk. Aku menghormati tekadnya.

Dengan satu tarikan napas panjang, Rika melepaskan celana dalam dari balik rok putihnya. Dengan cekatan, ia memasang kondom di batang penisku. Kemudian, ia naik ke atas ranjang dan memposisikan dirinya di atas tubuhku.

Aku dapat merasakan ujung penisku menyentuh bibir vaginanya yang terasa lembut dan hangat. Ia mencoba menggesek-gesekkan kepala penisku ke lubang vaginanya berkali-kali, tapi aku merasakan lubang itu masih kering. Ia tidak siap menerima diriku.

Rika menggeser tubuhnya, kemudian mengambil sebuah botol pelumas dari samping tempat tidur. Tanpa turun dari tempat tidur, ia mengoleskan pelumas berbahan gel itu ke seluruh batang penisku.

"Semangat, semangat, aku pasti bisa!" bisiknya kepada diri sendiri.

Melihat penis tegangku sudah licin oleh gel pelumas, ia kembali menduduki penisku itu. Dengan susah payah, ia berhasil memasukkan ujung kepala penisku ke lubang vaginanya. Hanya beberapa milimeter saja, tapi aku sangat mengapresiasi tekadnya.

"Jangan dipaksa, Mbak," ucapku.

"Nggak apa-apa, Pak," ucapnya.

Aku tahu ia melakukan ini demi tugasnya, tapi aku juga tidak mau bercinta dengan perempuan yang tidak menikmatinya. Tiba-tiba aku mendapat ide. Kenapa aku tidak mencoba merangsangnya? Betapa egoisnya aku.

"Mbak Rika, apa boleh ... buka kancing bajunya?" tanyaku.

"Ah! Iya... iya, Pak!" jawabnya gugup.

Dengan gesit, ia segera membuka kancing baju seragam putihnya. Terlihatlah belahan dadanya yang sempit dan mulus. Saat ia membuka bajunya lebih lebar lagi, aku dapat melihat sepasang payudara yang cukup bulat dan besar yang dibalut bra warna putih susu.

"Bra-nya juga mbak," ujarku.

"Oh iya." Ia segera menaikkan kedua cup bra-nya ke atas, membiarkan sepasang payudara bulat dan kencang itu melompat keluar. Plop! Kira-kira begitu bunyinya kalau dalam bahasa komik.

"Saya boleh remas, ya Mbak? Mungkin bisa bantu merangsang," ucapku.

Kali ini Rika hanya mengangguk. Aku pun mengarahkan kedua tanganku ke buah dadanya, kemudian menyentuhnya perlahan, mengusap permukaan kulit mulus itu. Dengan lembut, kujalankan ujung jari telunjukku di sekeliling areola putingnya. Aku dapat merasakan tubuhnya sedikit bergetar karena geli.

Sambil mencoba membuatnya senyaman mungkin, aku menangkup sepasang bukit kenyal itu, kemudian meremasnya perlahan. Kenyal dan lembut. Jauh lebih indah dan lebih lembut daripada payudara milik santi, perawat yang sebelumnya merawatku.

"Ahh..." aku mendengar Rika mendesah pelan. Bagus, sepertinya aku berhasil membuat dia terangsang.

Kuremas payudara itu dengan sedikit lebih kuat, kumainkan kedua putingnya dengan dua jari, dan aku bisa merasakan napasnya semakin cepat memburu. Tinggal sedikit lagi, aku mungkin bisa membuat vaginanya basah dan membuat ia siap menerimaku, bahkan menikmati terapi ini.

Semakin lama aku meremas payudaranya, semakin keras ia mendesah. Dari bibir berwarna merah muda yang terbuka itu, terdengar suara pelan nan merdu yang membuat jantungku berdebar. Baru kusadari bahwa Rika memiliki bibir yang sangat indah. Aku dapat membayangkan betapa lembut dan manisnya bibir itu.

Refleks, tangan kananku bergerak ke atas. Dari payudara, tanganku bergerak ke leher, melewati jilbabnya, dagunya, kemudian menyentuh bibirnya yang sedang setengah terbuka. Kuraba bibir bawahnya, dan aku semakin tak tahan untuk melumatnya.

Tanganku menarik kepalanya ke bawah, dan ia tak melakukan perlawanan. Tak lama kemudian, bibirnya yang lembut itu sudah menempel di bibirku. Kulumat bibir itu, kuhisap pelan-pelan. Namun tiba-tiba saja, Rika melonjak bangkit. Tubuhnya terlempar ke sampingku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya melihat Rika di sisi tempat tidur sedang menutupi bibirnya yang tadi kucium. Pelan-pelan, aku dapat mendengar suara isak tangis. Rupanya ada air mata yang mengalir dari kedua matanya.

"Mbak, kenapa Mbak?" tanyaku.

Sambil sesenggukan, ia mencoba menjawab pertanyaanku. "Maaf, Pak. Cara Bapak mencium saya tadi, bikin saya ingat dengan suami saya."

Tiba-tiba aku memaki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku. Seharusnya aku tidak melakukan hal semacam itu. Seharusnya aku fokus merangsang diriku sendiri agar cepat mengalami ejakulasi.

"Saya yang minta maaf, Mbak. Harusnya saya minta izin dulu," ujarku.

Meski suasana di ruangan itu berubah 180 derajat, tapi tidak dengan ereksi penisku. Inilah bedanya gejala Sexflu dengan ereksi biasa. Meski emosiku berubah, penisku tetap akan ereksi, bahkan akan semakin keras hingga terasa nyeri.

"Kalau gitu, kita coba lagi ya Pak?" ujar Rika.

"Jangan, Mbak. Mbak nggak akan bisa. Saya nggak mau menyakiti Mbak Rika. Sebaiknya saya minta pengganti aja. Pasti ada perawat lain yang bisa menggantikan, kan?" tanyaku tanpa bermaksud merendahkan usahanya.

Rika menggeleng sambil menyeka air matanya. "Nggak bisa, Pak. Kita sedang kekurangan tenaga medis. Semakin hari, banyak tenaga medis yang kelelahan dan sakit. Sekarang, nggak ada tenaga medis cadangan yang bisa menggantikan saya, apalagi kalau mendadak begini. Lagipula, saya nggak mau gagal menjalankan tugas. Saya udah jauh-jauh ke sini, Pak."

Hatiku terasa sedih mendengarnya. Aku mempertimbangkan opsi lain. Mungkin ia bisa mencoba memberiku blowjob lagi? Tapi membayangkan gigi-giginya menggaruk penisku lagi, aku langsung merinding.

"Lalu bagaimana, Mbak?" tanyaku.

Rika mengambil sebuah kain panjang dari dalam laci, kemudian mengulung kain itu hingga memanjang seperti tali. Ia menyerahkan tali kain itu kepadaku dan memintaku untuk mengikat kedua pergelangan tangannya.

"Ikat saya, Pak, supaya saya nggak bisa berontak," ucapnya.

"Nggak, Mbak. Saya nggak mau memperkosa ...."

"Ini bukan pemerkosaan kalau saya bersedia," ucapnya. "Bapak ikat tangan saya supaya saya nggak bisa berontak. Terus, nanti kita posisi doggy aja supaya saya nggak lihat wajah Bapak."

Aku mencoba mengikuti sarannya. Kuikat kedua pergelangan tangannya, kemudian kubantu ia naik kembali ke atas kasur. Kubiarkan ia menungging di atas kasur dengan kedua tangan terikat yang diangkat hingga ke atas kepalanya.

Pada posisi itu, aku dapat melihat bongkahan pantat yang bulat di balik rok putih itu sedang mengarah ke wajahku. Selain memiliki payudara yang bulat, Rika juga memiliki bokong yang bulat dan kencang.

"Ayo, Pak," ucapnya.

Meski begitu, aku masih merasa ragu. "Tapi... kalau Mbak sakit nanti bagaimana?"

"Terusin aja Pak. Ini demi keselamatan Bapak sendiri. Kalau Bapak nggak sembuh dari Sexflu, Bapak nggak akan bisa pulang. Apa Bapak mau di sini terus?" ujarnya.

Tiba-tiba saja aku kembali teringat dengan putriku. Sejak aku dan istriku bercerai, ia sangat bergantung kepadaku. Meski tinggal bersama neneknya, ia sekarang pasti sangat kehilangan. Apakah ia menangis setiap malam merindukanku? Apakah ia sehat-sehat saja? Aku ingin sekali pulang dan kembali memeluknya. Aku tak ingin mati di sini karena Sexflu.

Sekali lagi, inilah anehnya Sexflu. Ereksiku tetap tak tertahankan. Akhirnya tekadku sudah bulat. Aku harus menghargai Rika dan pengorbanannya.

Aku segera naik ke atas kasur, kemudian membuka rok putih Rika dan melemparnya ke lantai. Kini di hadapanku tersaji pantat mulus Rika dan celana dalamnya yang bermotif bunga. Aku meremas pantat itu. Sangat kenyal dan kencang. Tak tahan lagi, tanpa meminta izin aku pun melepaskan celana dalam itu.

Jari tengahku mencoba meraba vagina Rika dari sela-sela belahan pantatnya. Sedikit basah, tapi masih tidak cukup basah. Kuambil gel pelumas di atas kasur, kemudian kulumuri pada batang penisku yang masih terbungkus kondom dan juga pada lubang vagina Rika. Kulumuri semuanya hingga botol itu kosong.

"Saya masukin sekarang ya Mbak?" tanyaku.

"Iya, Pak. Langsung masukin semua aja, Pak. Jangan ragu-ragu," katanya.

Kemudian, dengan sekali hentakan, aku memasukkan batang penisku ke dalam vagina Rika. Ternyata lebih lancar dari yang kubayangkan. Aku mendengar sebuah jeritan kecil dari mulut Rika, tapi aku berusaha untuk tak peduli. Kugenjot vagina itu perlahan-lahan, mencoba menikmati betapa sempitnya jepitan vagina perawat ini.

Sambil berpegangan pada pinggang Rika, aku menggoyang tubuhnya. Beruntung sekali pria yang menjadi suaminya. Meski ia tak pandai bercinta, tapi tubuh yang indah dan vagina yang rapat ini sudah cukup menggantikannya.

Rika mulai menjerit. Entah karena sakit atau mulai menikmati, tapi perintahnya jelas: jangan berhenti dan jangan ragu-ragu. Aku harus menuntaskan gejala Sexflu ini agar Rika dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Lama kelamaan, Rika mulai mendesah. Rupanya ia mulai menikmati, dan aku menjadi semakin tanpa beban. Kutarik jilbabnya, mencoba membuka kain penutup rambut itu. Tapi ia sedikit berontak. Aku menjadi ragu.

"Jangan Pak, yang itu jangan dilepas. Mmhh. Ahh," ucapnya di tengah desah.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku.

"Cuma suami saya yang boleh liat rambut saya, Pak. Silakan Bapak pakai memek saya, itu untuk keperluan medis, tapi jangan buka hijab saya," ucapnya pelan.

Aku mencoba memahami prinsip itu meski terdengar sangat paradoks. Namun di dunia di mana orang-orang terkena virus Sexflu dan bercinta di mana saja bagai binatang, apa yang tidak paradoks?

Akhirnya, aku menggunakan kain jilbab itu untuk menjambak kepalanya, membuat vaginanya lebih erat menjepit penisku dan pantatnya semakin lekat menempel di selangkanganku.

Kuhantam pantat itu hingga terdengar bunyi yang nyaring. Jilbabnya memang menjadi berantakan, tapi tak sedikit pun helai rambutnya yang terbuka. Kunikmati lubang vagina perawat cantik itu, kuresapi suara desahan yang keluar dari mulutnya dan bibirnya yang indah.

Akhirnya, menjelang dini hari, ejakulasi itu terjadi juga. Pelepasan itu sungguh membuatku nyaris terbang melayang. Kurasakan spermaku menembak keluar di dalam vagina Rika. Kupeluk tubuhnya dari belakang, kemudian kubisikkan ucapan terima kasih.

--------

Sambil mencoba mengatur napas masing-masing, aku dan Rika rebahan berdua di atas kasur selama beberapa menit. Keringat bercucuran dari tubuh kami, sementara rasa lega masih terus menjalar di tubuhku.

"Keluar semua, Pak?" tanya Rika.

"Iya, Mbak. Keluar semua," jawabku sambil tersenyum.

"Kalau begitu, saya boleh periksa suhu tubuh Bapak dan denyut nadinya ya?" ucapnya.

"Boleh, Mbak. Emangnya udah nggak capek?"

"Nggak, kok, Pak."

"Yaudah,"

"Tapi...."

"Tapi apa Mbak?"

"Tangan saya kan masih diikat, Pak," ujarnya sambil menunjukkan kedua tangannya yang masih terikat kain.

Aku tertawa, menertawai diriku sendiri. Kulepaskan ikatan itu, kemudian membantunya merapikan pakaian seragamnya. Setelah penampilannya kembali tampak profesional, ia pun mengambil termometer gun dan menembak keningku.

"Bagaimana?"

"Mulai kembali normal," jawabnya. "Mudah-mudahan nggak kambuh lagi."

"Iya, Mbak. Saya pengen cepat pulang. Kira-kira kapan saya bisa pulang?" tanyaku.

Rika tersenyum mendengar pertanyaanku. Aku dapat menyaksikan senyum tulus yang penuh pengabdian dan empati dari wajah cantik itu.

"Secepatnya, Pak. Insya Allah secepatnya."
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd