Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY SEXFLU 2030

Dari semua episode yang sudah dipublikasikan, episode mana yang jadi favoritmu?


  • Total voters
    143
Hu story 5 di lanjukan dong hu, ceritanya di kantornya
 
Komedi sudah fix ini. Petualangan dua laki, menjadi Tim penyelamat.
 
update lg dong suhu
 
STORY 8: VAKSINASI


Satu tahun sudah berlalu sejak Sexflu pertama kali mengguncang dunia. Pemerintah, berkat dukungan dari para ilmuwan di seluruh dunia, akhirnya berhasil mendatangkan vaksin Sexflu. Presiden menargetkan agar 2 juta orang dapat divaksin per hari. Hal ini harus segera dilakukan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat terhadap virus Sexflu sehingga perekonomian kembali pulih.

Oleh sebab itu, pemerintah dan berbagai entitas swasta bekerja sama membuka sentra-sentra vaksin di seluruh penjuru negeri. Seluruh tenaga kesehatan dikerahkan, termasuk tenaga bantuan dari berbagai profesi non-medis.

Belajar dari penanganan Covid-19 dahulu kala yang lambat dan berbelit-belit, dalam penanganan Sexflu ini pemerintah bergerak secara masif dan efisien. Masyarakat dapat diwajibkan mendatangi berbagai sentra vaksin yang tersebar mulai dari sektor perkantoran hingga tingkat kelurahan, menunjukkan KTP, dan langsung divaksin. Tidak ada lagi persyaratan berbelit-belit atau dosis yang tak mencukupi.



Ismi, seorang ibu muda, berencana untuk divaksin hari ini. Diantar oleh suami dan anaknya yang masih TK, ia datang ke gedung aula di sebuah pusat perbelanjaan. Sebuah spanduk besar menyapa mereka ketika tiba di area parkir: VAKSIN SEXFLU MASSAL GRATIS. PEDULI SESAMA PULIHKAN NEGERI.

Ismi mengenakan jilbab krem, celana jeans, dan kaos lengan panjang yang longgar sehingga mudah digulung lengannya. Ia sengaja memilih pakaian yang senyaman mungkin untuk mempermudah proses penyuntikan.

“Mama mau disuntik ya, Pa?” tanya Kayla, gadis kecil berkepang dua sambil menatap lugu kepada ayahnya.

“Iya, Mama mau divaksin, Sayang,” jawab sang ayah sambil menepikan mobilnya di area parkiran.

“Emangnya Mama sakit?” tanya Kayla lagi, kali ini menoleh ke arah sang ibu.

“Mama nggak sakit, kok. Justru supaya Mama nggak sakit, mama harus divaksin. Vaksin itu membuat tubuh Mama kebal dari virus penyakit,” jawab Ismi sambil mengusap kepala putrinya.

“Papa kok nggak divaksin?” tanya Kayla lagi.

Sang ayah menghela napas, mencoba bersabar menjelaskan kepada anak yang penuh rasa ingin tahu itu.

“Papa nanti akan dapat giliran vaksin di tempat kerja Papa. Karena Mama udah nggak kerja dan tinggal di rumah sama Kayla, jadi Mama nggak bareng Papa vaksinnya. Kebetulan Mama bisa duluan,” jawab sang ayah.

Kayla mengangguk-angguk, seolah mengerti.

“Kalau Kay? Kay juga mau divaksin!”

“Kayla masih kecil, jadi belum boleh divaksin,” jawab Ismi.

Kayla akhirnya mengangguk, seolah-olah sudah puas dengan semua jawaban itu.

Melihat putrinya sudah tak menunjukkan tanda-tanda keberatan, Ismi bersiap untuk turun dari mobil. Ia memeriksa KTP di dompetnya, kemudian mengenakan masker dua lapis.

“Mi, kamu yakin nggak mau ditemenin?” tanya suaminya.

“Nggak usah, Pi. Aku takut banyak kerumunan, nanti malah jadi bahaya buat kamu dan Kayla. Lagian aku kan masih mahmud, bukan lansia yang mesti kamu tuntun kemana-mana,” Ismi tertawa. “Kamu temenin Kayla aja di rumah, nanti kalau udah selesai pasti aku telepon untuk minta jemput.”

“Oke deh.”

“Oh ya, jangan lupa cucian dijemur, halaman depan disapu, terus sama cuci piring juga. Pokoknya, aku pulang nanti rumah udah beres, ya?” ucap Ismi sambil tertawa meledek suaminya.

“Iya, iya, sayangku. Tenang aja, pokoknya selama aku WFH, kerjaan rumah pasti aku bantuin.”

“Nggak salah emang aku pilih suami,” ucap Ismi sambil mencium tangan suaminya.

“Nanti aku boleh nonton kartun kan, Ma?” tanya Kayla.

“Boleh. Tapi kalau Mama udah pulang, kamu juga selesai ya nontonnya,” jawab Ismi sambil mengecup kening putrinya.

Ismi pun turun dari mobil dengan membawa tas kecil kesayangannya. Ia melambaikan tangan ke arah suami dan putrinya yang langsung pulang meninggalkan tempat itu.

Ketika mobil sedan mungil itu sudah tak terlihat dari area parkir, Ismi menghela napas. Ada rasa kesepian yang muncul, tapi ada pula perasaan lega atas kebebasan kecil yang sudah lama tak ia dapati sejak menjadi ibu rumah tangga. Dalam hati, ia berharap agar proses vaksin ini dapat berjalan lancar.

====

“Bapak dan Ibu silakan berbaris, jaga jarak, dan ambil nomor antrian,” ujar seorang pria berseragam tentara dengan menggunakan pengeras suara.

Mendengar itu, para peserta vaksinasi segera berbaris rapi. Seperti yang sudah diduga, antrian itu segera mengular sangat panjang. Hal ini membuat si petugas kembali memberikan instruksi.

“Hanya peserta vaksinasi yang boleh masuk ke ruangan utama. Bapak Ibu, suami atau istri peserta dimohon menunggu di depan pintu keluar. Nanti akan dipanggil apabila dibutuhkan,” ucap petugas itu lagi.

Ismi melirik ke para peserta lain di sekelilingnya. Hampir seluruh peserta didampingi oleh pasangan masing-masing. Mau tak mau, para pendamping itu pun harus memisahkan diri demi mencegah kerumunan.

Dalam hati, Ismi terkekeh: “Masa cuma vaksin saja harus ditemani suami atau istri? Untung suamiku sudah kusuruh pulang, jadi nggak ribet seperti mereka.”

Setelah para suami dan istri memisahkan diri, panjang antrian menjadi berkurang setengahnya. Ismi menghela napas lega. Ia melihat beberapa ibu-ibu kebingungan saat ditinggal suaminya, seperti orang yang kehilangan arah. Ia tersenyum melihatnya.

Untunglah antrian itu berjalan dengan tertib. Para petugas dari kalangan tentara memang tegas, tapi tetap sopan dan simpatik. Sekitar lima belas menit kemudian, Ismi akhirnya bisa masuk ke dalam aula.

Aula itu sangat besar. Dalam kondisi normal, mungkin aula ini sering digunakan untuk konser musik, pameran, atau bazaar. Ismi duduk di salah satu kursi yang kosong. Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat meja-meja yang diisi oleh para petugas kesehatan. Meja pertama adalah meja registrasi dan screening, meja kedua untuk pengukuran tekanan darah, meja ketiga adalah bilik penyuntikan, sementara meja keempat adalah observasi.

Di belakang meja keempat, ada banyak sekali bilik-bilik yang berjajar dengan dibatasi papan partisi serta ditutupi tirai. Ia tidak tahu untuk apa bilik-bilik itu. Mungkin untuk peserta yang malu harus membuka bajunya? Untunglah lengan baju yang ia kenakan sangat mudah digulung hingga atas.

Sekitar setengah jam kemudian, Ismi sudah melewati proses screening dan pengukuran tekanan darah. Semua berjalan lancar, tekanan darahnya pun normal. Para petugas kesehatan sudah menyimpulkan bahwa Ismi memenuhi syarat untuk disuntik vaksin.

“Bisa digulung Bu lengan bajunya?” tanya seorang dokter pria.

Meski tertutup masker dan mengenakan APD, Ismi dapat menebak bahwa dokter itu masih sangat muda. Mungkin baru lulus kuliah. Di masa darurat seperti sekarang, semua tenaga kesehatan memang harus diberdayakan tanpa memandang senioritas.

Ismi mengangguk dan segera menggulung lengan bajunya. Di balik bajunya, ia memang tidak mengenakan dalaman lagi selain bra, sehingga ketika lengan kaosnya digulung, terlihatlah kulit lengannya yang putih dan mulus.

“Tarik napas yang dalam ya Bu, ini cuma sakit sedikit, kaya digigit semut,” ujar sang dokter seramah mungkin.

Ismi tertawa kecil mendengar perintah itu, kemudian ia menarik napas. Ujung jarum itu akhirnya menembus kulit lengan Ismi yang halus. Ia dapat merasakan benda keras dan tajam itu masuk ke dalam tubuhnya, kemudian mengalirkan sebuah cairan ke dalam darahnya. Tak lama kemudian, jarum itu kembali ditarik keluar. Dokter mengusap bekas tusukan itu dengan cairan alkohol.

“Sudah, Dok?” tanya Ismi.

“Sudah, Bu. Silakan dirapikan lagi pakaiannya. Setelah ini, Ibu tunggu di kursi sebelah sana, kurang lebih tiga puluh menit untuk observasi. Nanti akan ada petugas yang memantau apakah muncul efek samping atau tidak,” ujar dokter itu sambil merapikan peralatannya.

“Memang ada efek sampingnya, Dok?” tanya Ismi sambil menurunkan kembali lengan bajunya.

“Nggak semua, Bu. Memang biasanya sekitar 40% peserta vaksin ada yang mengalami gejala efek samping. Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirkan, kok. Ibu sudah menikah?”

“Sudah, Dok. Kenapa?”

“Ya sudah, tidak ada masalah. Silakan, Bu. Antrian masih panjang.”

Ismi menoleh ke belakang. Benar saja, masih banyak peserta lain yang menunggunya berpindah dari tempat itu. Ia segera bangkit dan pindah duduk ke kursi observasi.

Area observasi terdiri dari sebaris kursi yang diposisikan sedemikian rupa menghadap meja observasi. Di meja observasi terdapat tiga orang petugas yang mengamati para peserta vaksinasi. Jika ada yang merasakan gejala, mereka diminta segera melapor kepada petugas.

Di sebelah kanan dan kiri Ismi, duduk dua orang perempuan yang umurnya sedikit lebih tua darinya. Ibu di sebelah kirinya sudah melewati masa observasi tanpa menunjukkan gejala apa pun. Ia dipanggil ke meja observasi, kemudian diberikan sebuah surat oleh petugas. Setelah itu, ia pun langsung pulang. Beruntung sekali dia.

Ibu di sebelah kanan Ismi agak berbeda. Setelah sepuluh menit, tubuhnya tampak gemetar. Ia memeluk tubunya sendiri, seperti orang yang menggigil kedinginan. Dari mulutnya mulai keluar erangan-erangan.

Menyaksikan itu, petugas observasi segera menghampiri Si Ibu.

“Suami Ibu menunggu di luar?” tanya petugas itu.

Si Ibu yang masih menggigil hanya bisa mengangguk. Petugasi itu kemudian mengambil mikrofon dan memanggil suami ibu itu untuk segera masuk ke ruangan aula.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki masuk dari pintu samping. Sepertinya itu adalah suami dari perempuan tadi. Petugas dengan sigap mengarahkan pasangan suami-istri itu untuk masuk ke salah satu bilik yang ada di belakang meja observasi. Entah untuk apa.

Ismi menunggu sambil membaca postingan di media sosialnya. Sesekali ia juga mengirimkan chat kepada sang suami.

- Aku udah disuntik. Sekarang lagi nunggu observasi. Gimana kondisi rumah? -

- Aman, Bos! Cucian udah dijemur, lantai udah disapu, tinggal cuci piring -

- Kayla? -

Tak lama kemudian, sang suami mengirimkan foto Kayla sedang menonton acara kartun kesukaannya di televisi. Ismi tersenyum melihat putrinya itu. Padahal baru sebentar, tapi ia sudah mulai merindukan Kayla.

- Kalau udah bilangin ya, biar aku jemput -

- Iya, Pi. Nanti aku chat lagi -

Ismi meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas. Sudah dua puluh menit. Tinggal sepuluh menit lagi. Ia mulai membayangkan makanan apa yang ingin ia masak untuk nanti siang.

Saat sedang membayangkan menu makan siang, tiba-tiba gejolak yang aneh muncul dalam tubuhnya. Sekujur tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas, dadanya mulai terasa sesak, dan selangkangannya seperti berdenyut-denyut. Ismi mencoba menahan reaksi aneh itu, tapi semakin ia menahannya, semakin sering ia melepaskan desahan dari mulutnya.

Melihat itu, soerang petugas observator menghampiri Ismi.

“Ibu merasakan gejala?” tanyanya sambil memperhatikan Ismi.

“Saya nggak tau, Pak. Rasanya ... kok ... aneh beginii....” ujar Ismi.

“Baik, kalau begitu saya panggilkan suami ibu dulu,” ucap dokter itu.

Ismi menggeleng sambil menahan getaran di tubuhnya. “Mmm.... suami saya .... nggak ikut, Pak.”

Sang petugas tampak agak kebingungan. Ia menoleh ke belakang, ke arah rekan-rekannya. Mereka semua menggeleng.

“Baik, Bu. Ibu sudah tahu kan efek samping dari vaksin ini?” tanya dokter itu sambil menunjuk sebuah kalimat di form registrasi.

Ada sebuah teks kecil dalam kotak di bagian paling bawah formulir. Tulisan itu rupanya juga tercantum pada spanduk dan poster pengumuman, hanya saja Ismi tak teliti membacanya.

>> Perhatian! Dalam beberapa kasus, vaksinasi Sexflu dapat menimbulkan efek samping peningkatan libido drastis secara temporer yang cukup fatal. Peserta dimohon membawa pasangan/suami/istri masing-masing untuk membantu menanggulangi kondisi darurat <<

“Terus bagaimana? Aahhh.....” tanya Ismi. “Rumah ... rumah saya jauhhh.”

“Ibu tetap tenang. Jangan khawatir,” ucap sang petugas.

Petugas itu pun mengarahkan Ismi untuk masuk ke salah satu bilik yang masih kosong. Namun karena tubuh Ismi sudah terlalu lemas untuk melangkah, dua orang petugas lain segera merangkulnya dan membantunya berjalan.

Saat tubuhnya dirangkul, Ismi semakin tak dapat mengendalikan diri. Gesekan-gesekan kecil antara tubuhnya dengan tubuh kedua petugas itu malah semakin membangkitkan hasrat seksual di dalam tubuhnya. Ia melirik ke arah kedua petugas itu: dua orang pria muda bertubuh tegap dan bermata tegas. Ia tiba-tiba saja membayangkan tubuh kedua pria itu, dan itu membuatnya merasa sangat bersalah.

Di dalam bilik yang ditutupi tirai itu, terdapat sebuah matras berwarna putih dan sekotak tisu. Ismi ditidurkan di atas matras itu. Matras itu lumayan tebal dan terasa empuk, tapi tetap tak berhasil membuat tubuh Ismi berhenti menggeliat.

===

Ismi tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Desahan demi desahan, erangan demi erangan keluar dari mulutnya yang masih tertutup masker tanpa bisa ia tahan. Denyutan-denyutan geli semakin ia rasakan di area kemaluannya, lalu menjalar ke perut, dada, dan seluruh tubuhnya. Ia dapat merasakan kedua putingnya mengeras sementara punggungnya meliuk-liuk di atas matras.

Salah seorang petugas menghampiri Ismi dan bersimpuh di sampingnya.

“Bu Ismi, mohon maaf sebelumnya,” ucap petugas itu dengan suara yang berat. “Berhubung suami Ibu tidak ada di sini, dan kondisi Ibu sepertinya cukup fatal, ngg... dengan berat hati saya sampaikan bahwa kami harus menjalankan sesuai protokol.”

Mendengar kata-kata itu, Ismi mulai membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Bayangan itu membuat hasrat di dalam dirinya bergejolak semakin kuat, seperti gunung vulkanik yang menanti erupsi. Namun bayangan itu juga menimbulkan penyesalan besar di dalam hatinya.

Di dalam hati, Ismi terus mengutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya ia membaca tulisan peringatan itu. Seharusnya ia meminta suaminya menemaninya di sini. Seharusnya ia tidak boleh berada dalam situasi absurd ini.

“Jangan, Pak! Mmmhh... saya nggak mau .... jangan....!” Ismi berusaha melawan letupan hasrat di dalam dirinya sendiri. Air mata mulai mengambang di kelopak matanya.

Sang petugas memberi kode kepada kedua orang rekannya. Mereka berdua mengangguk, kemudian berjalan ke sebelah kanan dan kiri Ismi, memegangi pergelangan tangan Ismi agar tak bergerak.

Bagaimanapun, mereka punya target yang harus dipenuhi. Kalau sampai salah satu peserta vaksin mengalami efek samping yang membahayakan jiwa, mereka pasti akan ikut dimintai pertanggungjawaban.

“Mohon izin ya, Bu,” ucap petugas itu dengan lembut.

Petugas itu melepaskan sarung tangannya, kemudian meletakkan kedua telapak tanggannya di atas sepasang payudara Ismi. Meski sudah pernah menyusui, tapi payudara Ismi masih cukup kencang dan bulat sempurna. Meski hanya disentuh dari luar baju, tapi sentuhan itu sudah cukup mengirimkan sinyal listrik ke pucuk-pucuk putingnya. Apalagi ketika petugas itu meremasnya perlahan.

“Aaaaah! Ja... jangan ... Aaah!” Meski berusaha menolak, Ismi tak kuasa menyanggah kenikmatan yang ia rasakan.

Dengan sabar dan telaten, petugas itu meremas dan memijat payudara Ismi. Gerakan tangannya sangat teratur, tapi juga lembut dan lentur. Setelah beberapa kali meremas payudaranya, petugas itu kemudian menarik baju Ismi ke atas. Tampaklah bra warna krem tanpa renda dan belahan dada Ismi yang sempit terjepit.

Tangan petugas itu berpidah. Ia mencari celah ke belakang punggung Ismi, kemudian dengan sangat lihai, ia melepaskan pengait bra Ismi dengan satu tangan saja. Klik! Bungkusan bra itu melonggar, sepasang buah dada itu kini dapat bernapas lega.

Sang petugas melepaskan bra Ismi dan meletakkannya di sebelah matras. Setelah itu, ia pun melepaskan maskernya sendiri. Benar dugaan Ismi, petugas itu ternyata seorang pria muda dengan wajah yang lumayan tampan. Alisnya tegas, hidungnya agak mancung, dan ada kumis tipis di atas bibirnya.

“Bu Ismi, maaf, payudaranya saya hisap ya,” ucapnya.

“Aaah! Tunggu! Se... sebentar! Mmmh! Maas! Ahhh!”

Tanpa mengindahkan kata-kata Ismi, bibir petugas itu perlahan mendarat di puting kiri Ismi. Ismi mendesah keras ketika merasakan kumis tipis pemuda itu mengelus permukaan payudaranya, apalagi ketika bibir sang pemuda mengulum dan menghisap putingnya. Sementara itu, tangan kirinya mulai meremas dan mengusap puting payudara kanan Ismi.

Sambil menikmati rangsangan di sepasang puncak dadanya, kedua paha Ismi pun berhimpit erat, berusaha mengendalikan denyutan-denyutan liar di vaginanya yang semakin menuntut untuk dipuaskan.

Setelah puas menghisap dan menjilati payudara Ismi, sang petugas akhirnya turun ke bawah. Ia memerosotkan celana Ismi hingga memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus dan celana dalamnya yang berwarna krem.

“Saya cek dulu ya, Bu,” bisiknya.

Petugas itu kemudian meraba bagian selangkanan Ismi yang masih tertutup celana dalam. Ia mengangguk-angguk ketika menyadari betapa basahnya celana itu. Sambil memerosotkan celana dalam Ismi, ia memberi kode kepada kedua rekannya yang sejak tadi masih memegangi lengan Ismi.

Kedua rekan petugas itu melepaskan masker, kemudian masing-masing mulai menjilati puting payudara Ismi yang kiri maupun kanan. Mereka menjilati, mengulum, dan menghisapnya tanpa memberi jeda.

Pada tahap ini, Ismi sudah pasrah. Ia mencoba mencari pembenaran atas apa yang ia rasakan. Ya, semua ini memang bermula dari kecerobohannya, tapi ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Ia tidak selingkuh, ia tidak bermain curang. Ia hanya menerima prosedur medis demi menyelamatkan nyawanya sendiri. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Dan tak ada salahnya juga jika ia ikut menikmatinya. Bukankah memang itu tujuannya?

Ibu muda itu memejamkan mata, menikmati jilatan dua orang pria yang bergerak liar menyerbu puting dan bukit payudaranya. Rasanya seperti ada sengatan-sengatan listrik kecil yang terus-menerus menyerang syaraf kenikmatan di otaknya. Saat sedang meresapi semua sensasi itu, tiba-tiba saja ia merasakan sebuah benda tumpul dan keras yang mendesak masuk ke lubang vaginanya.

Ia melirik ke bawah, melewati celah dua kepala pria yang sedang melahap payudaranya, dan ia melihat seorang petugas sedang memasukkan penisnya. Ia sadar, sesaat lagi, ia akan disetubuhi, oleh lelaki selain suaminya yang tak ia kenal sama sekali.

Benar saja, sedetik kemudian, batang penis itu menerobos masuk ke dalam lubang vaginanya. Suaminya pernah bilang, bahwa meski sudah menjadi seorang ibu, vagina Ismi sama sempitnya dengan seorang perawan. Ismi berkali-kali menjelaskan kepada suaminya bahwa vagina wanita adalah organ yang sangat kuat dan elastis sehingga selalu dapat kembali ke bentuk semula. Selain itu, toh ia juga melahirkan Kayla secara caesar.

“Aaah! Aah! Pelan-pelan, Mas! Mmmh! Oooh!” desah Ismi sambil merasakan batang penis petugas itu keluar masuk di lubang vaginanya.

Ia terkejut dengan ucapannya sendiri. Ia sudah tak lagi menyuarakan penolakan, hanya permintaan.

“Baik, Bu!” ucap petugas itu dengan napas terengah-engah dan pinggul yang maju-mundur.

Meski sudah berjanji akan menggenjot dengan perlahan, tetapi tetap saja tempo genjotannya terus meningkat menjadi semakin cepat dan kasar. Ismi berusaha memaklumi hal itu. Mungkin si petugas juga kesulitan mengendalikan nafsunya. Wajar saja, kan? Pria mana yang bisa tetap tenang ketika menyetubuhi seorang wanita manis, berjilbab, bertubuh ramping dan berkulit mulus seperti dirinya? Membayangkan itu membuat Ismi semakin semangat mendesah dan melenguh.

Kira-kira setengah jam kemudian, petugas itu pun menyerah. Ia memuncratkan spermanya ke wajah Ismi, membiarkan cairan putih kental itu mengalir di jilbab, hidung, dan pipinya. Petugas itu terduduk lemas, kemudian segera mengambil selembar tisu dan mengelap wajah Ismi.

“Maaf ya, Bu. Jadi kena jilbabnya,” ucapnya.

“Nggak apa-apa.... Mmmh....”

Ismi pun melepaskan jilbabnya dan membiarkan rambutnya yang hitam panjang terurai begitu saja. Napasnya masih tersengal-sengal, dadanya naik turun, tetapi prosedur belum selesai.

Kedua petugas lain yang tadi sibuk menjilati payudara Ismi kini bergantian memasukkan penis mereka ke vagina Ismi.Genjotan demi genjotan diterima Ismi dengan pasrah dan penuh kenikmatan. Sesekali ia pun berganti posisi antara missionary dan doggy style, sambil terkadang melakukan oral kepada penis para petugas agar tetap tegak sempurna.

Satu jam sudah berlalu. Bilik Ismi adalah bilik paling sibuk dan berisik. Setelah semua itu selesai, yang tersisa hanyalah Ismi dan tiga orang petugas yang terkapar lemas.

Dengan tubuh yang terasa seperti jelly, Ismi menatap langit-langit gedung aula. Ia teringat pada keluarganya.

===


“Mama! Itu Mama! Pa, itu Mama!” jerit Kayla sambil wajahnya menempel ke kaca mobil.

“Iya, iya. Papa juga tau, kok. Kamu tenang aja,” ujar ayahnya sambil membuka kaca jendela mobil.

Di ujung sana, Ismi sedang berjalan ke arah tempat parkir. Melihat wajah anaknya yang mengintip dari jendela mobil, Ismi melambaikan tangan. Kayla ikut membalas melambaikan tangan.

“Papa! Kita susul Mama ke sana yuk!” jerit Kayla.

“Nggak usah. Panas. Kita tunggu di sini aja, nanti juga Mama ke sini,” jawab sang ayah.

Tak lama kemudian, Ismi tiba di mobil. Ia duduk di kursi belakang dan langsung memeluk Kayla. Anak itu menjerit gembira melihat ibunya kembali.

“Kalian kaya udah nggak ketemu sebulan aja,” ledek sang suami.

“Namanya juga anak-anak,” balas Ismi.

“Gimana? Lancar tadi? Kok lama banget sih keluarnya?” tanya suaminya.

Ismi termenung mendengar pertanyaan itu. Dadanya terasa sesak. Ia merasa telah melakukan pengkhianatan yang menyakitkan, tapi ia tak punya pilihan lain.

“Alhamdulillah lancar. Cuma agak lama nunggu sertifikatnya dicetak,” jawab Ismi perlahan.

“Oh, gitu.”

“Maafin aku, ya ...,” ucap Ismi berbisik.

“Hah?”

“Iya, maafin aku. Gara-ara aku kan kamu jadi nunggu lama.”

“Oooh.... No problem! Aku juga jadi punya banyak waktu buatberes-beres rumah,” ujar sang suami. “Yuk kita pulang!”

“Yuk!” balas Ismi.

“Ayooo! Pulang!” teriak Kayla sambil duduk di pangkuan ibunya.

STORY 8: END
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd