Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
Ada satu perguruan yang akan kena jalunya jalu
 
Makin seru aja nih....
Lanjut....

Btw bro @oyeckpunkerz ...
Kalo tak keberatan boleh di share dong
File master cerita ini....

;)
 
Salut buat Penulis Asli, dan thanks TS yg memviralkan di cerbung ini, karena nyari cersil dewasa kayak gini (persi indonesia-red) suusyaaaahh.wkwkwk
Baca Si Pemanah Gadis, jadi inget Wisang Geni di Jilid I dan Salah satu Episode nya Kapak Maut NAGA GENI, di Jilid II ini.
Lanjutkan suhuuu.. ane salut dan hormat pokok Nye..
 
nyesel gue bilang sampe 16....


ora opo opo lah.... istrahat dulu suhu....

Yahhh.. baiklah.. harus bersabar..

Makasih ya TS

Makasih banyak sudah upload di sini..
Semoga saja pengarang aslinya baca mau meneruskan nulisnya..
Amien...
Btw kalo dari prolog itu suhu kenalkah sama suhu Gilang??

Mantap suhu ....

Sip,,, ditunggu kelanjutannya suhu..

Paforit nih, lanjut terruus hu :mantap:
:kuat:

up up up. lanjut sampe tamat suhuu

Si pemanah gadis bisa nularin kesaktian via bercinta.
Mantab tuh....

Mantaf....sampe lupa mau ngomong apa..
pas buka langsung tancap baca..trims yah..

Abis ini update lagi kan...?

thx suhu semua yg ga bosen baca cersil ini :ampun:
 
Laanjut...baru 1 kena panah jalu..
Hayo yg lain manaaa.....hahahaha..

Sellalu di nanti hu lanjudtan y

Lancrottt kan Hu

mangstap suhu...ditunggu lanjutannya

Ada satu perguruan yang akan kena jalunya jalu

Siip ceritanya gk bosenin mlh bikin penasaran

Titip Tenda

lanjooottttt gan

Makin seru aja nih....
Lanjut....

Btw bro @oyeckpunkerz ...
Kalo tak keberatan boleh di share dong
File master cerita ini....

;)

Yaa..abisan..

Salut buat Penulis Asli, dan thanks TS yg memviralkan di cerbung ini, karena nyari cersil dewasa kayak gini (persi indonesia-red) suusyaaaahh.wkwkwk
Baca Si Pemanah Gadis, jadi inget Wisang Geni di Jilid I dan Salah satu Episode nya Kapak Maut NAGA GENI, di Jilid II ini.
Lanjutkan suhuuu.. ane salut dan hormat pokok Nye..

Hayo tebak siapa yg bakal di "jalu" in berikutnya

Ditunggu up datenya hu:ampun:

waduh, cerita lama muncul lagi. mabtab

thx suhu semua

lanjuuutt lg
 
BAGIAN 17


Tanpa terasa sebelas hari berlalu ...
Pengintaian yang dilakukan oleh Si Pemanah Gadis dan Beda Kumala, sejauh ini masih biasa-biasa saja. Tidak ada yang luar biasa, atau pun melihat sesuatu yang diluar kebiasaan orang-orang Istana Jagad Abadi. Dan sudah dua-tiga hari lamanya Beda Kumala uring-uringan tak karuan, karena sebegitu jauh mereka melakukan penyelidikan, tidak ada sesuatu yang bisa mereka gunakan sebagai tambahan informasi. Beberapa mereka menyusup masuk ke dalam, namun tidak ada yang mereka dapatkan. Dan pada akhirnya, Beda Kumala memutuskan ingin mengalihkan penyelidikan ke Aliran Danau Utara saja. Lebih mudah katanya.
Namun oleh Jalu Samudra, niatan itu di cegah karena si pemuda, karena entah mengapa mencium sesuatu yang tidak beres terjadi pada tempat yang sudah sepuluh hari lamanya mereka intai. Entah pada bagian mana dari Istana Jagat Abadi hingga sanggup membuat si buta ganteng ini curiga.
“Kalau sampai besok pagi kita tetap tidak mendapatkan apa-apa di tempat ini, aku akan pergi saja,” kata Beda Kumala lirih, sambungnya sambil menggerutu, “Kita ini seperti dua ekor monyet yang tiap hari kerjaan naik turun pohon.”
“Sudah kubilang, kau harus sabar, Beda. Aku yakin malam ini kita akan mendapatkan sesuatu,” sahut Jalu Samudra yang duduk uncang-uncang kaki di atas pohon.
“Dari kemarin Kakang Jalu juga bicara seperti itu. Tapi ... mana hasilnya? Mana? Nol besar!” tukas Beda Kumala dengan ibu jari dan jari telunjuk ditautkan membentuk bulatan.
Tiba-tiba saja, Jalu membekap mulut mungil Beda Kumala.
“Emmphh ... emmphh ... ”
“Ssst ... diam! Ada orang di bawah kita,” bisik Jalu Samudra sambil tangan kiri menunjuk ke bawah, sedang tangan kanan bergerak melepas dekapan mulut.
Beda Kumala mengikuti arah telunjuk kiri si pemuda.
Di bawah sana, sejarak tiga tombak dari tempat mereka duduk, terlihat sesosok tubuh tengah duduk mendekam di atas dahan yang cukup besar. Tidak bisa diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena gelapnya malam tanpa cahaya bulan atau sinar bintang. Hanya dengan melihat caranya mendekam di atas pohon seperti itu, gadis murid Perguruan Sastra Kumala bisa memastikan setidaknya si pengintai memiliki ilmu ringan tubuh cukup tinggi.
Namun anehnya, si pengintai entah menyadari atau tidak, justru ia membuat sesuatu perbedaan yang cukup mencolok perhatian. Bagaimana tidak, di malam gelap gulita seperti itu, justru ia memakai baju putih-putih untuk melakukan pengintaian!
“Rupanya selain kita, ada orang lain yang melakukan pengintaian, Beda,” bisik Jalu Samudra pada gadis di sebelahnya.
“Dia kawan atau lawan?”
“Aku kurang tahu,” sahut Si Pemanah Gadis. “Namun aku melihat sesuatu yang aneh dengan pengintai di bawah kita ini.”
“Apanya yang aneh? Toh sama saja seperti kita. Mendekam seperti monyet di atas pohon,” sela Beda Kumala, seakan tidak menyadari sesuatu yang aneh pada perkataan pemuda di sampingnya.
“Makanya ... punya otak jangan diletakkan di dengkul! Mikir dikit kenapa sih!?” seru lirih Jalu Samudra sambil menyentuh lembut dahi gadis cantik di sampingnya, “Coba kau perhatikan pakaiannya.”
Begitu Jalu selesai berkata, barulah Beda Kumala menyadari maksud perkataan pemuda baju biru disampingnya.
“Masa’ mengintai tempat orang lain malam-malam begini memakai baju putih begitu?” kata Beda Kumala dalam bisikan.
“Jika seperti itu pertanyaanmu, jawaban yang bisa kuberikan hanya ada dua.”
“Apa?”
“Pertama, dia adalah orang tolol merangkap sebagai orang jujur. Dan yang kedua adalah ... karena dia belum pernah mengintai sama sekali, jadi tidak tahu bagaimana cara mengintai yang baik dan benar ... ” ucap Jalu sambil tersenyum.
“Dari dua kemungkinan yang kakang berikan, aku cenderung mengatakan kalau dia jelas orang tolol tapi bukan orang jujur!” kata Beda Kumala, lalu sambungnya, “Terus apa yang sebaiknya kita lakukan pada pengintai tolol ini?”
“Kita lumpuhkan dia, terus kita bawa dia menjauh dari tempat ini,” ujar Jalu Samudra, imbuhnya, “Aku harus tahu siapa dia sebenarnya dan dengan maksud apa dia mengintai markas Istana Jagat Abadi malam-malam begini.”
Si Pemanah Gadis langsung melayang turun secepat kilat sambil menyentakkan dua jari tengah dan telunjuk ke bagian tengkuk. Sebentuk hawa padat menerjang ke sasaran.
Dubb! Takk!
Karena di serang mendadak, si pengintai berusaha menghindar, namun sudah terlambat. Baru saja ia berniat menghindar, tubuhnya sontak menjadi kaku karena totokan dan tanpa bisa dicegah lagi, langsung terjengkang ke belakang.
“Mati aku!” pikir si pengintai baju putih saat mana mengetahui tubuhnya jatuh ke bawah.
Namun tiga tombak sebelum menyentuh tanah, segulungan bayangan biru menyambar tubuhnya dan melesat cepat ke jurusan timur. Sedang dibelakangnya satu bayangan hijau terlihat membayangi.
Wutt! Wutt!
Dalam tiga helaan napas, bayangan biru telah mencapai jarak puluhan tombak dari markas Istana Jagat Abadi.
Jlegg! Jlegg!
Begitu sampai di tepi sebuah sungai, bayangan biru dan hijau hentikan larinya. Terlihat pemuda baju biru yang adalah Jalu Samudra melemparkan begitu saja sosok manusia baju putih yang semula dalam panggulannya.
Brukk!
“Kita apakan dia?” ucap Beda Kumala sambil melangkah mendekat.
Ketika sampai pada sosok yang jatuh terlentang di tanah, alis mata Beda Kumala tampak mengkernyit.
“Rasa-rasanya aku kenal sama orang ini ... ” gumam si gadis sambil memandang sosok telentang tanpa gerak itu.
Sosok yang ternyata adalah seorang laki-laki tinggi besar dengan kulit coklat kehitaman, sangat kontras dengan balutan baju putih dan celana putih. Sehelai sabuk ungu terlihat melingkari pinggang si pemuda yang diperkirakan berusia dua puluh tujuh tahunan, mungkin lebih sedikit. Di dada bagian kiri terdapat lambang bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang sama pula.
Lambang Aliran Danau Utara!
Mata Beda Kumala agak melebar saat mengamati raut muka si pemuda baju putih.
Sepasang alis hitam tebal dengan bola mata sebesar jengkol terlihat melotot seperti mata ikan kena bisul. Belum lagi dengan kumis tebal tercukur rapi yang bertengger di bawah hidung yang terhitung mancung (mancung ke dalam maksudnya alias pesek), dilengkapi dengan janggut hitam yang tercukur rapi pula. Belum lagi dengan ikat kepala putih yang melingkar di kepala, selain untuk merapikan rambut yang terhitung panjang dengan keriting kecil, juga menambah kesan wibawa pada diri si pemuda baju putih.
Jelas sekali, bahwa pemuda tinggi besar ini sangat menjaga penampilan dirinya!
Setelah beberapa saat, Beda Kumala berkata tanpa menoleh pada Jalu Samudra, “Kang, aku kenal dengan orang ini.”
Jari telunjuk dan jari tengah Beda Kumala menegang, lalu menusuk dekat belakang tengkuk si pemuda.
Taak!
Begitu bebas dari totokan, si pemuda bergegas bangun, sambil mengeprik-ngeprik bajunya yang kotor karena jatuh di tanah.
“Iga sapi! Apa kabarmu?” tanya Beda Kumala pada si pemuda.
Jalu Samudra langsung tertawa keras mendengar ucapan Beda Kumala, katanya dalam hati, “Cocok sekali! Tapi lebih cocok kalau disebut iga kera hutan.”
Akan tetapi, si pemuda baju putih justru malah terperanjat kaget!
Setahunya, yang mengetahui gelar jelek itu cuma dua orang. Yang pertama adalah Tiara dan satunya Beda Kumala, keduanya murid-murid Nyai Tirta Kumala dari Perguruan Sastra Kumala.
“Jika Tiara jelas tidak mungkin, dia masih ada di perguruan. Jadi dia pasti teman Tiara yang cerewetnya seperti burung kutilang itu,” kata hati pemuda yang disebut dengan nama iga sapi itu.
“Dasar kutilang cerewet! Baru ketemu langsung bikin masalah!” bentak si pemuda.
Dan untuk kedua kalinya, Jalu Samudra tertawa keras, “Ha-ha-ha! Sebutan kutilang cerewet sangat cocok denganmu, Beda! Pas betul! Dari kemarin dulu aku sibuk cari kata yang tepat untukmu, baru hari ini kudapatkan! Ha-ha-ha!”
Beda Kumala langsung merengut dengan bibir meruncing.
Begitu Jalu melihat bibir merah itu meruncing, dalam matanya langsung terbayang sosok patuh burung kutilang, dan itu justru semakin membuatnya tertawa terkial-kial.
“Ha-ha-ha-ha! Sudahlah! Aku mau buat api unggun. Tidak enak bicara panjang lebar dalam gelap begini.”
Iga sapi yang melihat pemuda baju biru masih tertawa-tawa sambil berjalan ke arah sebatang pohon yang tumbang karena usia, hanya terbengong seperti sapi ompong!
“Apanya yang lucu?” katanya dengan mimik muka lugu.
Melihat mata sebesar jengkol itu, mau tak mau Beda Kumala tertawa-tawa juga.
“Iga sapi! Kalau melotot seperti itu, matamu benar-benar mirip mata sapi,” ujar Beda Kumala sambil tertawa. Setelah tawanya reda, gadis itu kembali berkata, “Kita ke dekat api unggun saja, lebih terang.”
Keduanya berjalan beriringan ke api unggun.
“Apa tujuanmu datang ke tempat ini?” tanya Beda Kumala sembari duduk dekat Jalu Samudra.
“Aku sedang melakukan penyelidikan ke Istana Jagat Abadi,” sahut si pemuda, lalu sambungnya, “Sedang kau sendiri, apa yang kau lakukan disini? Dan ... terus siapa dia?”
“Dia ... Jalu,” sahut Beda Kumala memperkenalkan diri pemuda bertongkat hitam, lalu sambil menoleh pada Jalu, Beda Kumala berkata, “Kakang Jalu, dia ini Kakang Gabus Mahesa, calon suami dari Tiara sahabatku.”
Pemuda tinggi besar yang bernama Gabus Mahesa sedikit membungkuk ke arah Jalu Samudra dan dibalas dengan cara yang sama pula.
“Sopan juga si buta ini,” pikir Gabus Mahesa sambil memandangi mata putih pemuda baju biru, lalu katanya, “Apakah beberapa hari ini kau tidak berjumpa dengan Garan Arit?”
Mendengar nama Garan Arit disebut, raut muka Beda Kumala bagai disaputi awan kelabu.
Tentu saja perubahan raut muka Beda Kumala bisa dilihatnya dengan jelas.
“Ada apa, Beda?” tanya Gabus Mahesa, “Kau bertengkar lagi dengannya?”
“Benar! Tapi itu adalah pertengkaran dan juga pertemuan kami yang terakhir,” sahut Beda Kumala, lirih.
“Apa maksudmu?”
“Kakang Garan Arit telah tewas.”
“Apa!?” Gabus Mahesa berkata. “Siapa yang telah membunuhnya?” tanyanya dengan nada geram.
Beda Kumala terdiam tanpa kata. Air matanya berlinang membasahi ke dua pipinya yang halus.
“Orang-orang Istana Jagat Abadi,” Jalu Samudra yang menjawab, “Garan Arit tewas oleh serangan gelap dari lawan.”
“Serangan gelap? Maksudmu ... ”
“Ya! Dia dibokong dari belakang. Punggungnya ditembus oleh golok pendek dengan rumbai hitam di gagangnya,” terang Jalu Samudra.
“Bangsat! Aku harus bikin perhitungan dengan mereka!” seru Gabus Mahesa dengan dua tangan saling diadu sama lain. Suara beradunya tangan membuat area sekitar mereka bergetar seperti mau terjadi gempa.
“Hemm ... hebat juga tenaga dalamnya,” kata hati Jalu Samudra.
Setelah hawa amarahnya reda, barulah Gabus Mahesa berkata, “Sebenarnya kedatanganku ke tempat ini untuk menyusul kalian berdua, sekalian melakukan penyelidikan.”
“Menyusul ... kami?” tanya Beda Kumala heran.
“Benar! Tujuh hari yang lalu, aliran kami kedatangan teman-temanmu. Tepatnya di siang hari.”
“Kalian berkelahi!?” tanya Jalu Samudra, menebak.
“Hampir saja terjadi perkelahian antara kami, kalau saja Sari tidak mengemukakan tujuan mereka mendatangi Aliran Danau Utara,” tutur Gabus Mahesa, yang juga murid ke dua Aliran Danau Utara segera menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya.

--o0o--
 
BAGIAN 18


Belasan gadis murid-murid Perguruan Sastra Kumala bersenjata lengkap mendatangi Aliran Danau Utara sambil menyeret seorang laki-laki yang seluruhnya babak-belur bersimbah darah.
Tentu saja kedatangan para gadis cantik yang notabene sedang bersengketa akibat kehilangan kitab pusaka masing-masing dimana dua pihak saling menuduh, bahwa pihak lawanlah yang mencuri kitab perguruan mereka, dimana kejadian sudah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Meski tidak secara sungguh-sungguh bermusuhan, namun tetap saja ada rasa tidak nyaman saat saling berdiri berhadapan dengan senjata siap tercabut.
Seorang pemuda berbaju rompi putih celana putih berikat pinggang ungu berdiri menghadang di depan pintu gerbang. Di dada bagian kiri terdapat lambang Aliran Danau Utara berupa bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang sama.
“Ada keperluan apa kalian kemari?” tanyanya dalam nada sinis.
Seorang gadis baju hijau dengan pedang di punggung maju satu langkah ke depan. Sari Kumala, orang tertua dari Perguruan Sastra Kumala, berkata, “Watu Humalang, apa betul kau yang bertanggung jawab di tempat ini?”
“Benar! Karena aku yang tertua, maka akulah yang bertanggung jawab selama Ki Gegap Gempita, guru kami tidak berada di tempat!” kata tegas si baju rompi yang bernama Watu Humalang. “Ada perlu apa kau membawa seluruh saudara seperguruanmu ke tempat kami, Sari!?”
Baru saja Watu Humalang selesai berkata, dari arah belakang si pemuda berlari mendatangi seorang pemuda tinggi besar sambil menyeret seseorang. Dari caranya berlari, jelas sekali bahwa ilmu ringan tubuhnya sudah mencapai cukup tinggi.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki tinggi besar dengan kulit coklat kehitaman sama seragamnya dengan Watu Humalang, hanya bedanya ia mengenakan baju lengan panjang sedang Watu Humalang menggunakan rompi tanpa lengan.
Tangan kanannya melemparkan orang yang diseretnya ke tanah begitu saja.
Brughh!
Tak ada keluhan sama sekali. Jelas bahwa seluruh tubuh dan urat suaranya dalam keadaan tertotok.
“Brengsek!” maki orang yang dibanting dalam hati. “Dalam satu kali totok, aku langsung keok! Gabus Mahesa ini cepat juga gerakannya, cepat laksana hembusan angin.” Saat ia melirik ke samping, ia sedikit terkejut, “Gelang Bintang juga sudah tertangkap rupanya. Kalau sudah begini, aku harus berusaha meloloskan diri dari sini dan memberi laporan pada Ki Wira atau pada Ketua.”
“Ada apa, Mahesa?” tanya Watu Humalang dengan mata menyipit saat melihat sesosok tubuh tinggi besar. Ia kenal dengan orang ini, karena bekerja sebagai penjual kayu bakar dan sering menjual kayu bakar ke perguruan mereka. “Kenapa dengan dia?”
“Kakang, rupanya dia ini orangnya yang memata-matai kita selama ini dengan berkedok sebagai penjual kayu bakar,” kata pemuda yang dipanggil Mahesa, lengkapnya Gabus Mahesa. “Untung saja berhasil kulumpuhkan saat ia sedang menuangkan sesuatu ke dalam sumur.”
“Apa!?” seru beberapa murid Aliran Danau Utara hampir bersamaan.
Mata kiri Sari Kumala sedikit melebar melihat muka jelek orang yang baru saja dibanting oleh Gabus Mahesa. Ia langsung menoleh ke belakang, tangan kiri terulur ke arah Wulan Kumala, mencekuk leher pemuda tanpa telinga dan di lempar begitu saja dekat si tukang kayu bakar.
Bruggh ... !
“Aku ingin bertanya satu hal padamu. Apa dia orangmu!?” tanya Sari Kumala.
“Apa dia juga orangmu!?” balik tanya Gabus Mahesa, meski suaranya tidak keras, tapi cukup membuat telinga berdenging.
“Di tempat kami pantang menerima tamu laki-laki yang tidak kami kenal,” sahut Wulan Kumala sambil maju selangkah.
“Kalau begitu ... kami juga sama,” jawab Watu Humalang, sambil memandang dua sosok tubuh yang terkapar di tanah.
Jika hasil tangkapan Gabus Mahesa masih utuh, sehingga bisa dilihat raut mukanya. Namun orang satunya yang tanpa telinga, sulit sekali dikenali siapa adanya. Semuanya babak belue belepotan darah kering. Hanya yang pasti, dia masih bernapas!
“Karena kita sama-sama tidak kenal dengan mereka berdua, berarti dua orang ini sengaja disusupkan oleh pihak ketiga untuk membuat suasana semakin kacau antara perguruan kita,” tutur Tiara Kumala sambil berjalan mendekat, “Apa kalian setuju dengan pendapatku?”
Matanya menatap tajam pada murid-murid Aliran Danau Utara satu persatu, dan pada akhirnya berhenti pada Gabus Mahesa.
Orang dipandangi hanya menatap sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Bagaimana dengan kalian?” tanya Tiara Kumala kembali, mencari ketegasan.
Suasana semakin tegang!
“Baik! Untuk sementara ... kita lupakan dulu permusuhan kita,” jawab Watu Humalang pada akhirnya.
Suasana yang semula tegang, mencair seketika.
“Bukan untuk sementara ... tapi untuk selamanya,” kata tegas Sari Kumala.
Meski agak sedikit heran, tapi Watu Humalang memandang dengan mata penuh tanya.
Tanpa ditanya dengan sebuah pertanyaan, Sari Kumala pun berkata, “Orang tanpa telinga ini hampir enam bulan lamanya berkeliaran di tempat kami, entah sejak kapan ia tidak punya telinga, aku tidak tahu. Pada mulanya kami diam saja, membiarkan saja ia mengintai kami dari segala arah, namun lama-lama dibiarkan, dia jadi semakin keterlaluan. Beberapa kali ia mencuri masuk ke dalam perguruan, namun berhasil kami gagalkan.”
“Teruskan.”
“Akhirnya, kami membuat jebakan. Kami semua keluar dari perguruan lewat pintu gerbang dan pergi ke jurusan yang berbeda-beda, padahal kami hanya berlari memutar saja setelah sepuluh tombak jauhnya. Sengaja kami tinggal Cantika menunggu perguruan seorang diri. Dan benar dugaan kami. Saat Cantika sedang bersalin baju dalam kamar, tiba-tiba saja si brengsek ini masuk ... ” kata Sari Kumala sambil berjalan mengitari si tanpa telinga, “ ... dan begitu mendengar teriakan dari dalam kamar, kami semua segera mengurung jalan keluar dan berhasil meringkus monyet tanpa telinga ini!”
“Terus ... apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?” tanya Gabus Mahesa.
“Pertanyaan bagus!” seru Tiara, sambungnya, “Hubungannya sangat erat. Saat kami korek keterangan dari mulutnya, mulanya ia tidak mengaku. Namun setelah kami beri sedikit ‘usapan mesra’ di beberapa bagian tubuhnya, keluar juga pengakuan dari mulutnya.”
Tentu saja orang-orang yang ada disitu paham dengan apa yang namanya ‘usapan mesra’. Apalagi jika bukan ketupat bangkahulu alias bogem mentah plus dengan bumbu-bumbu penyedapnya!?
“Sebelumnya, teman kami Beda Kumala mengalami celaka, hampir mati keracunan jika tidak ditolong oleh seorang pemuda buta bernama Jalu Samudra. Dari Jalu inilah, akhirnya mata kami terbuka bahwa selama ini Aliran Danau Utara dan Perguruan Sastra Kumala telah diadu domba oleh pihak ketiga ... ”
“Pemuda buta bernama Jalu Samudra!?” gumam Watu Humalang dalam hati. “Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu!?”
Kemudian Sari Kumala, bergantian dengan Wulan Kumala, menceritakan apa yang dibicarakan dengan Si Pemanah Gadis tempo hari. Tentang segala kemungkinan yang terjadi, tentang adanya pihak-pihak yang berusaha mengail di air keruh.
“ ... dan puncaknya, akhirnya kami tahu tentang kebenaran kemungkinan yang diberikan Jalu Samudra, lewat si tanpa telinga ini,” kata Wulan Kumala mengakhiri ceritanya. “Orang ini mengaku mata-mata dari Istana Jagat Abadi. Dan satu temannya berkeliaran di aliran kalian,” sambil jari telunjuknya menuding ke bawah, “Kukira si tinggi besar yang menggelosoh di tanah ini adalah kambratnya.”
Watu Humalang, Gabus Mahesa dan rekan-rekan seperguruan mereka saling pandang satu sama lain.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Watu Humalang.
“Kakang Watu, kemungkinan apa yang diucapkan Sari dan Wulan ada benarnya. Dan aku yakin sepuluh bagian, bahwa memang kita sedang dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan mereka,” kata salah seorang yang bertubuh jangkung yang dibagian punggungnya tergantung sebuah benda aneh terbuat dari potongan-potongan bambu bulat yang di tata sedemikian rupa hingga membentuk deretan bambu nan unik. Benda itulah yang disebut sebagai angklung, sedang pemiliknya dijuluki dengan Angklung Penebar Maut.
“Benar sekali apa perkataanmu, Adi Angklung. Kita telah membahas masalah ini jauh-jauh hari, tapi tidak ada bukti nyata di depan mata kita. Namun, dengan adanya tambahan keterangan dari pihak Perguruan Sastra Kumala, kurasa kita harus menyelidiki ini lebih jauh ke Istana Jagat Abadi,” tutur Gabus Mahesa. “Namun sebelumnya, aku ingin mengorek keterangan dulu dari keparat ini!”
Gabus Mahesa berjongkok, lalu tangannya berkelebat. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri si tinggi besar, sedang satunya mendarat di pipi kanan si tanpa telinga.
Plakk! Plaakk!
“Hebat! Dalam satu gerakan tangan, dua tamparan melayang sekaligus membebaskan totokan,” kata Gaharu dalam hati.
“Katakan! Apa benar yang dikatakan oleh teman-temanku yang cantik-cantik tadi?” tanya Gabus Mahesa.
Trisula Kembar merasakan nyeri di pipi, namun karena seluruh tubuhnya tertotok kaku, ia tidak bisa menggerakkan tangan, hanya pita suaranya saja yang bebas.
Diluarnya ia berkata lain dengan nada memelas, “Semuanya bohong, Tuan! Saya ini cuma tukang kayu bakar ... Tuan Mahesa telah salah tangkap! Dan dengan dia, saya tidak kenal dengan si bodong jelek penuh kutil ini. Tolong ... lepaskan saya!”
“Lalu ... apa yang kau lakukan tadi di sumur? Mau meracuni kami, hah!?” bentak Gabus Mahesa dengan mata melotot.
“Meracuni apa? Tadi saya sedang meracik jamu untuk obat sakit perut. Sudah dua hari ini perut saya mules tidak karuan,” elak si tukang kayu bakar alias Trisula Kembar dengan mimik muka meringis-ringis seperti orang mau buang hajat.
“Ooo ... begitu?”
“Ya begitu, Tuan Mahesa! Sumpah! Di samber perawan satu desa saya mau kalau saya bohong,” kata si tukang kayu bakar pakai sumpah-sumpah segala.
“Sumpah kok enak betul!?” bentak Angklung Penebar Maut.
“Aku yakin dia bohong, Mahesa. Dia pasti kenal dengan si tanpa telinga ini,” tutur Wulan Kumala. “Mungkin kenal akrab, malah.”
“Darimana kau tahu?”
“Gampang sekali,” sahut Wulan Kumala. “Darimana ia tahu kalau orang yang kami tangkap ini pusarnya bodong penuh kutil? Padahal dari tadi kita tidak membuka pakaiannya sedikit pun.”
Si tanpa telinga atau tepatnya Gelang Bintang tampak memelototi orang di sampingnya, sambil memaki panjang pendek dalam hati, “Dasar mulut ember! Borok orang lain di buka di depan umum! Kalau kita berdua bisa lolos dari sini, mulutmu bakal aku sumpal dengan kotoran sapi!”
Sedang si tukang kayu bakar gadungan tercekat, pikirnya, “Celaka! Aku kelepasan omong!”
“Benar ... benar ... tadi aku juga mendengar dia bicara seperti itu,” ucap Angklung Penebar Maut. “Kakang Mahesa, biar aku saja yang urus. Kali ini aku yakin dia bakal ngaku.”
Tanpa menunggu jawaban dari Gabus Mahesa, Angklung Penebar Maut segera meraih angklung di punggungnya. Tanpa menunggu lama, terdengar suara merdu dari goyangan-goyangan angklung yang dimainkan oleh Angklung Penebar Maut.
Kluung! Klukk! Klukk! Klekk ... !
Semua orang yang ada disitu menikmati alunan bunyi angklung yang terasa merdu di telinga, namun tidak bagi si tukang kayu bakar gadungan. Laki-laki ini berulangkali mengernyitkan dahi dengan muka pucat pias seperti tanpa darah. Keringat sebesar biji nangka langsung keluar.
“Uuuhhh ... aaaghhh ... aghhh ... ammm ... puun ... sakiittt ... ”
“Bagaimana? Masih tidak mau mengaku?” tanya Angklung Penebar Maut sambil terus menggoyang-goyangkan senjata unik di tangannya.
Sepenanakan nasi telah berlaku, dan selama itu pula Trisula Kembar menahan derita yang mendera pada panca indranya hingga meneteskan darah kental secara perlahan-lahan.
“Baik ... ba ... iikk ... aku mengaku ... ” akhirnya menyerah juga Trisula Kembar. “Tapi ... hentikan dulu alunan angklungmu ... aku sudah ... tidak tahan ... ”
Angklung Penebar Maut segera menghentikan ayunan angklung di tangannya.
“Silahkan, Kakang Watu.”
“Terima kasih, Adi Angklung,” kata Watu Humalang, lalu tanyanya pada si tukang kayu bakar gadungan. “Siapa namamu?”
“Aku biasa disebut Trisula Kembar, sedang dia itu Gelang Bintang.”
“Tunggu ... tunggu ... ! Namamu Trisula Kembar!? Jadi kau ini salah seorang dari anggota Komplotan Pondok Setan yang beberapa waktu yang lalu diburu oleh Paman Panglima Bratasena dari Kerajaan Danaraja?” tutur salah seorang dari murid Aliran Danau Utara.
“Jadi kau kenal dengan dia, Raden Wiratama?” tanya Watu Humalang.
“Jika benar dia adalah Trisula Kembar yang merupakan salah satu pucuk pimpinan dari komplotan sesat Pondok Setan, berarti dialah orang yang selama ini dicari Paman Bratasena dan Pemanah Dewa Dua Nyawa selama beberapa bulan terakhir ini, Kakang Watu,” ujar Raden Wiratama. “Kebetulan sekali kalau pada akhirnya penjahat busuk ini bisa tertangkap. Dia sudah berbuat makar pada Kerajaan Danaraja. Bahkan Sang Prabu sendiri memerintahkan hukum penggal padanya.”
Trisula Kembar langsung tercekat!
Tidak disangkanya bahwa salah seorang murid Aliran Danau Utara masih ada hubungan dengan keluarga Kerajaan Danaraja.
“Celaka dua belas!” pikir Trisula Kembar, “Aku harus benar-benar bisa lolos dari tempat ini. Perduli setan dengan Gelang Bintang!”
“Itu kita urus nanti saja,” kata Watu Humalang dengan cepat.
Pada akhirnya, dari mulut Trisula Kembar berhasil diperoleh keterangan tentang sepak terjang Istana Jagat Abadi, bahkan tentang siapa Ketua dan orang-orang yang berada di balik semua kejadian yang menimpa dua aliran perguruan ini serta beberapa pendekar persilatan, semua berhasil didapatnya dari mulut Trisula Kembar.
Sementara itu, sambil terus berbicara panjang lebar, diam-diam Trisula Kembar berusaha keras untuk bisa mengalirkan hawa murni dan memulihkan diri dari totokan. Namun totokan yang dilakukan oleh Gabus Mahesa cukup kuat. Beberapa kali ia gagal menjebol pembatas jalan darah yang tersumbat. Dalam hati, Trisula Kembar berharap bahwa semua orang tertuju pada keterangan yang keluar dari mulutnya, sehingga tidak mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha membebaskan diri.
Tapi ... benarkah seperti itu yang diharapkan oleh salah seorang anggota Istana Jagat Abadi ini?
Jawabnya ... tidak!
 
BAGIAN 19


Wulan Kumala yang paling teliti diantara sesama saudara perguruannya, melihat sesuatu yang tidak wajar sedang dilakukan oleh Trisula Kembar.
“Aneh, jelas-jelas dia dalam keadaan tertotok namun kulihat ujung tangannya bisa bergetar pelan. Pasti ada apa-apanya ini,” kata hati Wulan Kumala sambil meloloskan gagang pedang pendek dari balik baju.
Ratih Kumala yang menyandang busur melihat apa yang dilakukan oleh Wulan.
“Ada apa, Wulan?” bisiknya.
“Aku melihat sesuatu yang mencurigakan,” kata Wulan Kumala. “Lebih baik kau siap-siap menanti perkembangan. Gunakan anak panahmu! Cari posisi yang tepat dan sasarannya adalah laki-laki di sana. Aku mau melakukan sesuatu sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ratih Kumala, gadis baju hijau itu segera berjalan mendekat ke arah Gelang Bintang, lalu berjongkok tepat di belakang kepala pemuda tanpa telinga.
Saat itu, Gelang Bintang sendiri sedang mengamat-amati ke arah Trisula Kembar, pikirnya, “Bagus! Trisula Kembar sudah hampir berhasil membuka totokan. Dalam keadaan terkepung seperti ini, jurus ‘Belut Hitam Melipat Bumi’ paling cocok digunakan. Aku juga harus bersiap-siap dari sekarang.”
Tentu tatapan mata Gelang Bintang yang selalu mengarah ke temannya, bisa dilihat Wulan Kumala dari samping belakang.
“Hemm ... pasti dia sedang menanti sesuatu yang berhubungan dengan tanah,” pikir Wulan Kumala sambil berjongkok tepat di belakang Gelang Bintang yang tergeletak di tanah. “Jangan-jangan ia memiliki Ilmu ‘Belut Putih’? Tapi jika benar ia memiliki ilmu itu, kenapa waktu kami tangkap ia tidak bisa meloloskan diri?”
Sambil berbisik pelan, diangkatnya kepala Gelang Bintang, “Jika kau dan temanmu berniat melarikan diri lewat jalan tanah, aku punya sedikit kenang-kenangan untukmu.” Lalu tangan kirinya meletakkan mata pedang pendek di bawah tengkuk dalam posisi tajam bersentuhan langsung dengan kulit dan daging.
Cress!
Tajamnya mata pedang pendek mengiris sedikit bagian tengkuk Gelang Bintang saat kepala pemuda itu diletakkan kembali ke tanah. Dan tentu saja darah mulai menetes keluar. Namun karena tertutup tebalnya rambut dan memang sudah adanya ceceran darah, membuat orang-orang yang ada di tempat itu tidak menaruh perhatian sama sekali.
Setelah itu Wulan Kumala langsung bangkit berdiri dan berjalan lambat-lambat ke arah Trisula Kembar.
Tentu saja hati Gelang Bintang kebat-kebit saat merasakan hawa dingin menyayat di bagian tengkuk. Dan lagi, ia juga melihat gadis yang meletakkan benda tajam di bawah lehernya juga berjalan ke arah Trisula Kembar.
“Celaka! Kalau benar Trisula Kembar ingin meloloskan diri lewat jalan tanah dengan jurus ‘Belut Hitam Melipat Bumi’, bisa mati tanpa kepala, nih!” pikir Gelang Bintang, panik. “Aku harus memperingatkannya! Harus!”
Berulangkali ia berusaha berteriak, namun hanya sebentuk seringai saja yang keluar.
“Setan keparat! Totokan ini sulit sekali dibukanya!” keluh Gelang Bintang dalam hati, dan hal ini membuat Gelang Bintang tidak bisa berbuat lebih banyak lagi selain sepasang matanya yang membeliak-beliak lebar seperti orang kesurupan.
“Jadi ... yang mengetuai Istana Jagat Abadi sekarang ini bukanlah Ki Harsa Banabatta yang dijuluki Si Tangan Golok? Dan digantikan oleh Raja Jarum Sakti Seribu Racun, begitu?” tanya Gabus Mahesa.
“Betul! Ketua Istana Jagat Abadi yang asli, kami masukkan ke dalam kamar tahanan bawah tanah bersama seluruh tiga puluh orang murid-muridnya,” ucap Trisula Kembar, pikirnya, “Bagus. Aku sudah bisa menggerakkan sepuluh jariku. Sekarang saat meloloskan diri sudah tiba.”
Saat ia melirik ke arah Gelang Bintang, ia melihat mata kawannya membeliak-beliak liar.
“Rupanya dia sudah paham dengan maksudku,” kata hati Trisula Kembar, sambil mengangguk-angguk pelan, sehingga ia mendesis tanpa sadar, “Bagus!”
“Apanya yang bagus?” tanya Watu Humalang dengan heran.
Sambil menyeringai, Trisula Kembar pun berkata, “Bagus maksudku adalah ... selamat tinggal!”
Begitu kata ‘selamat tinggal’ terlontar, terjadi hal yang luar biasa!
Tanah di sekitar Trisula Kembar melunak dengan cepat.
Cepat dan cepat sekali!
Bless!
Semua orang yang ada di tempat itu berloncatan menjauh.
Belum lagi Watu Humalang dan Gabus Mahesa bertindak dengan apa yang terjadi, sosok Trisula Kembar yang sejarak satu tombak dengan mereka mendadak raib di telan tanah. Bersamaan dengan itu pula, sebentuk anak panah melesat cepat, menembus masuk ke dalam tanah lunak.
Jlebb!
Rupanya, Ratih Kumala yang sedari awal sudah merentang busur lengkap dengan panah, segera melepaskan senjatanya dan tepat masuk ke dalam tanah bersamaan dengan raibnya Trisula Kembar.
Belum lagi keterkejutan mereka hilang, terdengar suara menjerit tertahan, “Eeekh!”
Crass!
Kepala pemuda tanpa telinga tergeletak begitu saja di atas tanah!
Rupanya, Trisula Kembar berhasil menarik tubuh Gelang Bintang dari dalam tanah seperti belut saja layaknya. Akan tetapi, mata pedang pendek yang ada di bawah tengkuk sang kawan di luar perhitungan sosok yang tenggelam dalam tanah itu, sehingga waktu saat berhasil menarik tubuh Gelang Bintang masuk ke dalam tanah, yang tertinggal hanyalah sosok tubuh tanpa kepala!
Begitu melihat tawanan mereka melarikan diri dengan cara menenggelamkan diri ke dalam tanah, Raden Wiratama segera bertindak. Telapak tangan terbuka si pemuda bangsawan langsung menghantam tanah.
Bughhh ... !
Bumi terasa berguncang kala jurus ‘Naga Air Menggebah Bumi’ digelar. Seantero dalam tanah dalam jarak lima tombak bagai diaduk tangan raksasa disertai semburan hawa dingin. Beberapa kedukan tanah semburat diselimuti butiran-butiran es yang tidak terhitung jumlahnya. Bahkan potongan kepala Gelang Bintang terpental kesana kemari seperti ditendang puluhan orang.
Namun, sosok Trisula Kembar benar-benar lenyap di telan bumi!
Beberapa murid Perguruan Sastra Kumala sampai berdecak kagum melihat peragaan jurus yang dilakukan salah satu murid Aliran Danau Utara.
“Dia berhasil melarikan diri,” desis Raden Wiratama sambil menarik jurusnya.
“Dia benar-benar telah menjauh dari sini, mungkin sudah puluhan tombak ... ” tutur Tiara Kumala, sambungnya, “ ... sebab jurus ‘Detak Jantung Penghitung Nyawa’ perguruan kami tidak bisa menembus dalam jarak jika lebih dua puluh tombak.”
Jika sebelumnya murid-murid Perguruan Sastra Kumala yang terkagum-kagum, kini giliran murid-murid Aliran Danau Utara yang ternganga kaget mengetahui kehebatan perguruan silat yang notabene berisi para gadis cantik.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Raden Wiratama sambil duduk berjongkok memandangi kepala Gelang Bintang yang tertinggal. Lalu kembali mengerahkan jurus ‘Naga Air Menggebah Bumi’.
Blubb!
Potongan kepala Gelang Bintang langsung lenyap ditelan bumi!
Hilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, kecuali ceceran darah yang mulai mongering.
“Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, lebih baik kita segera menyusul Jalu Samudra dan Beda Kumala yang lebih dahulu ke Istana Jagat Abadi,” tutur Sari Kumala.
“Jadi Beda dan pemuda buta itu telah ada disana?” tanya Watu Humalang, “Kalian terlalu berani membiarkan mereka berdua menempuh bahaya!”
“Kalau begitu ... biar aku menyusul mereka sekarang juga,” kata Gabus Mahesa. “Siapa tahu, aku bisa membantu mereka jika terjadi apa-apa.”
“Diantara kita, hanya Adi Mahesa saja yang memiliki jurus peringan tubuh paling tinggi,” ucap Watu Humalang dengan nada bangga, “Adi Mahesa, kau bisa bergerak mendahului kami. Tapi ingat ... jangan bertindak gegabah. Dari apa yang kita dengar dari Trisula Kembar, Istana Jagat Abadi dihuni oleh tokoh-tokoh hitam berilmu tinggi.”
“Apakah aku boleh ikut?” tanya Tiara Kumala, sambil memandang lekat-lekat pada lelaki tinggi besar itu.
“Sebaiknya kau menyusul saja, Tiara. Mahesa akan kesulitan jika engkau ikut dengannya,” sahut Ratih Kumala.
Gabus Mahesa yang paham dengan kekhawatiran sang kekasih, segera memegang pundak gadis itu.
“Tiara, untuk sementara ini, terpaksa aku tidak bisa mengajakmu serta. Kita harus berlomba dengan waktu. Jika Trisula Kembar kembali lebih dulu ke istana mereka, dapat dipastikan mereka membuat persiapan untuk menghadapi gempuran kita. Aku hanya bertugas menjadi telinga panjang saja. Dan lagian ... aku bukan orang tolol yang menganggap diriku paling hebat sehingga langsung menyerang lawan tanpa perhitungan. Kau paham maksudku?” kata Gabus Mahesa panjang lebar.
Tiara Kumala akhirnya mengangguk. Gadis itu sadar betul, bahwa keadaan sekarang ini dalam kondisi kritis. Salah perhitungan sedikit saja, bisa membahayakan nyawa orang banyak!
“Baik! Kau harus hati-hati, Kang.”
“Pasti!” sahut Gabus Mahesa, lalu sambungnya, “Saudara-saudara sekalian! Aku berangkat dulu. Kalian bisa menyusulku ke Istana Jagat Abadi. Aku akan meninggalkan tanda-tanda khusus aliran kita untuk kalian.”
Begitu kata-katanya selesai, si tinggi besar Gabus Mahesa segera berkelebat cepat, mengerahkan tahap tertinggi dari jurus peringan tubuh Aliran Danau Utara yang bernama jurus ‘Air Buyar Bayangan Berlalu’.
Plasshh ... !
Sebentar saja, terlihat gumpalan cahaya putih yang semakin menjauhi tempat itu, dan akhirnya hilang sama sekali.
“Jurus ringan tubuh ‘Langkah Menjangan Terbang Meloncat’ perguruanku mungkin seimbang dengan jurus ringan tubuh milik Aliran Danau Utara,” pikir Wulan Kumala. “Aneh! Aku merasakan bahwa setiap ilmu yang dimiliki aliran ini merupakan pasangan dari ilmu-ilmu perguruan kami.”
“Kakang Watu, karena diantara kita sudah tidak ada ganjalan lagi, apa kau setuju kalau kita kembali bersahabat seperti dulu lagi? Menjalin hubungan seperti sebelumnya?” tanya Sari Kumala.
“Tentu saja, Sari. Tentu saja!” jawab Watu Humalang sambil mengembangkan senyum.
“Lalu ... bagaimana dengan guru-guru kita?”
“Dari apa yang kita dengar, tampaknya berani kupastikan bahwa Ki Gegap Gempita dan Nyai Tirta Kumala juga turut tertawan pihak lawan. Kita harus membebaskan guru-guru kita,” ucap Watu Humalang. “Bagaimana saudara-saudara?”
“Setujuuuu!!” jawab semua orang yang ada di situ.
Para gadis dan pemuda yang ada di tempat itu saling bersalaman satu sama lain. Bahkan diantara mereka yang menjalin hubungan kasih menumpahkan dalam bentuk pelukan mesra dan ciuman hangat.
Tiba-tiba, Sari Kumala berkata pada Watu Humalang yang saat itu sedang menggenggam erat tangannya.
“Kakang Watu ... sebenarnya satu hal buruk yang ingin kami sampaikan pada Kakang.”
“Ada apa, Sari!?” sahut Watu Humalang, lalu dua tangannya bertepuk tangan dua kali.
Plok! Plokk!
Semua yang mendengar tepukan keras ini menghentikan ‘ritual kebersamaan’ mereka sejenak.
“Ini ada hubungannya dengan Garan Arit atau Pendekar Dari Utara,” Sari Kumala berkata.
“Katakan saja. Kami akan mendengarkan.”
“Garan Arit ... telah tewas beberapa waktu yang lalu.”
“Hah!?”
“Apa!?”
Seluruh anak murid Aliran Danau Utara terkejut mendengar keterangan salah seorang dari murid Perguruan Sastra Kumala.
“Siapa yang telah membunuhnya?” tanya Angklung Penebar Maut, meradang. Diantara sesama saudara perguruan mereka, hanya Angklung Penebar Maut dan Pendekar Dari Utara yang paling akrab satu sama lain. Jadi wajar saja jika ia langsung meradang mendengar saudara karibnya telah tewas.
“Dari penuturan Beda Kumala, orang-orang Istana Jagat Abadi-lah pelakunya. Tapi pelaku utamanya adalah orang yang tadi terpenggal kepalanya di tempat ini, yang bernama si Gelang Bintang,” tutur Sari Kumala sambil melanjutkan rangkaian kronologis selengkapnya.
“Kurang ajar! Mereka harus menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka!” desis Angklung Penebar Maut.
“Kakang, kita tidak bisa membiarkan orang-orang gadungan itu menginjak-injak harga diri kita,” kata Wonoboyo yang bertubuh pendek kekar. “Kita balas perbuatan busuk mereka!”
“Betul! Betul!” sahut beberapa orang membetulkan ucapan Wonoboyo.
“Baik! Malam ini kita harus bisa menyelesaikan latihan tahap akhir dari ilmu aliran kita! Kalian siap?”
“Siap!”

--o0o--
 
BAGIAN 20


“Apa keterangan dari Trisula Kembar bisa dipercaya, Mahesa?” tanya Jalu Samudra.
“Aku sendiri juga tidak tahu, sebab baru dua hari aku sini dan melakukan penyelidikan seperti kalian,” tutur Gabus Mahesa, lalu katanya kemudian, “ ... tapi tujuan penyelidikanku terfokus pada letak kamar tahanan bawah tanah yang kuperkirakan berada di bagian belakang bangunan. Namun sampai sekarang, belum ada hasilnya ... justru malah kepergok kalian berdua.”
“Kalau begitu, upaya pelarian Trisula Kembar kemungkinan besar berhasil sampai ke markasnya. Sebab dari beberapa hari yang lalu, kulihat banyak orang yang berjaga-jaga di sekitar wilayah Istana Jagat Abadi dengan tidak kentara,” sahut Si Pemanah Gadis, “Meski begitu, mereka berbuat seolah-olah tidak terjadi apa-apa.” Lalu ia menoleh ke Beda Kumala, “Beda, apa kau masih ingat dengan wajah beberapa orang yang membunuh Garan Arit?”
“Masih, Kang. Kuingat jelas wajah orang-orang yang membunuh Kakang Garan Arit dengan licik meski tertutup dengan kotoran sekali pun!” tandas Beda Kumala.
“Dari delapan orang yang kita ketahui raut mukanya, telah berkurang tiga orang ... ”
“Tunggu dulu! Berkurang tiga orang?” tanya Gabus Mahesa dengan heran.
“Benar! Satu orang tewas di Aliran Danau Utara, si tanpa telinga yang bergelar Gelang Bintang. Yang ke dua dan ke tiga adalah Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa,” kata Beda Kumala dengan nada bangga.
“Kalian mengatakan Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa telah tewas?” tanya Gabus Mahesa dengan tidak percaya. “Oleh kalian berdua?”
Dua orang yang ditanya mengangguk pasti.
Melihat anggukan Beda Kumala dan Jalu Samudra secara hampir bersamaan, membuat kening Gabus Mahesa berkerut.
“Setahuku, Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa adalah dua tokoh hitam berilmu tinggi bahkan beberapa kali lipat lebih tinggi dariku. Trisula Kembar berhasil kulumpuhkan itu pun hanya faktor keberuntungan saja yang kebetulan berpihak pada diriku,” kata Gabus Mahesa, lalu sambungnya sambil memandang Beda Kumala, “Sedang Gelang Bintang sendiri dengan dikeroyok tujuh delapan orang saudara seperguruanmu, baru dapat dilumpuhkan. Aku sulit mempercayai kalau dua orang pentolan hitam yang kemana-mana selalu berdua itu bisa kalian bunuh. Pasti pertempuran kalian berjalan alot dan lama.”
“Benar! Pertempuran kami berjalan lama,” kata Jalu Samudra membenarkan. “Bahkan sangat melelahkan sekali.”
Justru Beda Kumala berkerut kening, pikirnya, “Lama bagaimana? Lha wong tidak sampai tidak sampai siang hari sudah selesai!?”
“Jadi ... sekarang ini tinggal Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa, Trisula Kembar dan Gada Maut yang masih ada,” tutur Gabus Mahesa, saat ingat keterangan Trisula Kembar tempo hari.
“Di tambah sang Ketua, tentunya,” imbuh Jalu Samudra.
“Benar.”
“Namun, aku yakin masih ada pihak-pihak lain yang berada di balik semua kejadian ini,” tambah Beda Kumala. “Tidak mungkin mereka mengadu domba dua perguruan silat dengan alasan iseng saja.”
“Tepat sekali apa yang duga, Beda!” sahut Gabus Mahesa cepat, lalu sambil membetulkan duduknya, “Dalam perjalanan kemari, kujumpai beberapa tokoh silat yang sedang melakukan pencarian terhadap beberapa tokoh silat tertentu. Mulanya aku kira hanya acara balas dendam antar mereka. Namun, dari apa yang mereka bicarakan, ternyata berhubungan dengan raibnya beberapa tokoh silat belakangan ini secara misterius. Tidak peduli siapa mereka dan dari golongan mana, semuanya lenyap tanpa ketahuan rimbanya. Terakhir kali, tepatnya dua hari yang lalu, Iblis Pedang Beku dari Sungai Hitam yang hilang dari pertapaannya.”
Beda Kumala dan Jalu Samudra tidak menyela apa yang dikatakan oleh Gabus Mahesa. Mereka menyimak setiap kalimat yang keluar dari murid kedua Aliran Danau Utara ini. Tentu saja hal ini tidak pernah tertangkap telinga dua anak muda ini, karena belakangan ini kegiatan mereka hanya tertuju menyelidiki setiap jengkal dari Istana Jagat Abadi.
Dengan adanya tambahan informasi ini membuat Jalu Samudra berpikir keras, “Dari keterangan Gabus Mahesa, aku bisa menarik satu benang merah disini. Rata-rata dari tokoh silat memiliki ilmu silat tinggi dan setiap dari korban mempunyai dasar ilmu yang sama yaitu unsur air dan api. Tidak ada satu pun yang memiliki unsur logam, kayu, batu atau unsur-unsur yang lain. Ini benar-benar menarik!”
“Pihak lawan telah kita ketahui dan beberapa tokoh silat aliran hitam dan putih telah hilang, meski kita belum begitu yakin bahwa Istana Jagat Abadi adalah dalang dari semua kekacauan, namun hal ini layak diselidiki lebih jauh,” tutur Beda Kumala, “Kakang Mahesa, terus apa rencanamu selanjutnya?”
“Kemungkinan besok saat terang tanah, jika tidak ada aral melintang di jalan, rombongan dari Aliran Danau Utara dan Perguruan Sastra Kumala akan sampai di tempat ini. Biar aku menunggu mereka di tempat ini.”
“Benarkah?” tanya Beda Kumala dengan girang, karena sebentar lagi ia bakalan berjumpa dengan saudara-saudara seperguruannya.
Gabus Mahesa mengangguk pasti, “Kita harus bergerak cepat! Dan malam ini ... kita terpaksa harus berbagi tugas. Waktu kita tidak banyak!”
“Kakang Mahesa, lebih baik kau saja yang membagi tugas,” kata Beda Kumala.
“Jalu, kau menyelidiki bagian belakang dari Istana Jagat Abadi. Kukira letak penjara bawah tanah tidak jauh dari tempat itu. Meski seorang tuna netra, aku yakin kau memiliki kepandaian tinggi,” kata Gabus Mahesa.
“Ceileee ... orang tuna netra? Sopan amat bahasanya!? Bilang aja orang buta, habis perkara!?” pikir Jalu Samudra, namun diluarnya ia berkata lain, “Baiklah! Aku akan menyelidiki bagian belakang dari Istana Jagat Abadi dan malam ini ... tidak boleh tidak harus bisa mendapatkan hasil,” kata Jalu Samudra menyanggupi tugasnya, “Beda, lebih baik kau temani Mahesa di tempat ini.”
Jalu Samudra bangkit berdiri sambil menggerakkan tongkat hitamnya mengetuk-ngetuk tanah.
“Tidak! Beda Kumala harus ikut denganmu. Mungkin kau butuh bantuan nantinya,” kata Gabus Mahesa, sambungnya, “Biar aku seorang diri saja yang menunggu mereka di tempat ini.”
“Kakang Mahesa, jaga dirimu baik-baik!” kata Beda Kumala sambil berdiri, kala melihat Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis berkelebat menjauh, ia pun segera menyusul.
Blass!
Sosok Beda Kumala berubah menjadi segulungan bayangan hijau yang meluncur cepat, menyusul sosok bayangan biru yang telah berada di kejauhan sana.
“Hemm ... benar dugaanku! Jalu bukan tokoh silat sembarangan. Dari cara berjalan yang tidak menimbulkan suara saja sudah bisa kupastikan seberapa hebat tenaga dalam yang dimilikinya,” gumam Gabus Mahesa, “Mungkin beberapa tingkat di atasku.”

--o0o--

Sementara itu ...
Tiga sebelumnya, Istana Jagat Abadi kedatangan tamu tak diundang. Dan datangnya pun tidak dengan cara yang lazim. Bukan dari pintu depan, pintu belakang, melompati tembok atau pun menerobos masuk lewat genteng dan jendela, namun justru keluar dari dalam tanah!
Brull!
Tanah keras bagian dalam, sejarak sepuluh tombak dari sisi dalam pintu gerbang utama Istana Jagat Abadi tiba-tiba semburat ke atas, diikuti dengan melesatnya sesosok tubuh tinggi besar yang berjumpalitan beberapa kali di udara dan akhirnya melayang turun ke tanah.
Jlegg!
Sosok belepotan tanah kini berdiri tegak dengan dua tangan memondong sosok tanpa kepala!
Semua orang terpana sesaat, bahkan Pedang Dewa yang saat itu sedang berbincang-bincang dengan Karang Kiamat yang kini buta kedua matanya pun ternganga sesaat. Saat rasa keterkejutan lenyap, Pedang Dewa membentak sambil mencabut pedang besar yang tergeletak di depan.
Srriing!
“Setan tanah darimana yang berani lancang menerobos masuk ke dalam wilayah istana ini!”
Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula melakukan gerak tusukan tajam.
Wutt!
Ilmu Pedang ‘Mayapada Beku’ yang dimiliki oleh Pedang Dewa bukanlah sembarang ilmu pedang. Ilmu pedang yang mengutamakan kecepatan gerak dikuasai sempurna oleh laki-laki bertabiat aneh ini. Ilmu ini pada prinsip adalah mendahului serangan lawan dengan pancaran hawa pedang, barulah serangan yang sebenarnya dilancarkan. Kali ini, lewat jurus ‘Deru Angin Debur Ombak’ datang laksana gulungan angin tajam dan deburan ombak ganas yang langsung membuncah ke arah sosok tinggi besar. Hamparan hawa pedang lawan yang berjarak hanya satu tombak dari dirinya membuatnya mengambil keputusan cepat.
“Bangsat! Apa kau mau membunuhku, Pedang Dewa?” bentak sosok belepotan tanah sambil melemparkan begitu saja sosok yang ada dalam pondongannya. “Ini aku ... Trisula Kembar!”
Wutt!
Sepasang telapak tangannya yang berubah menjadi hitam kelabu, langsung disorongkan ke depan.
“Ilmu ‘Tapak Pengguncang Bukit Dan Sungai’!” seru Pedang Dewa, mengenali jenis pukulan lawan, lalu bentaknya, “Trisula Kembar, kurangi tenaga!”
Dalam waktu sepersekian detik, pancaran hawa tenaga dalam yang digunakan masing-masing pihak menurun cepat. Namun, benturan keras tetap terjadi meski tidak sudah berusaha semaksimal mungkin meminimalisir tenaga yang keluar.
Bumm ... ! Bumm ... !
Hawa pedang yang keluar dari jurus ‘Deru Angin Debur Ombak’ akhirnya baku hantam secara frontal, sehingga dalam jarak tiga tombak, tanah sekitar bagai dilanda gempa kecil. Tubuh Pedang Dewa dan Trisula Kembar terseret hingga membentuk cerukan tanah ke belakang sedalam mata kaki.
“Kau mau membunuhku, apa?” bentak Trisula Kembar dengan mata melotot liar.
“Dasar orang syaraf! Memangnya aku tahu kalau yang keluar dari dalam tanah adalah kau!? Muka belepotan tanah mirip cacing tanah mana aku kenal!?” balas bentak Pedang Dewa tidak mau disalahkan.
“Setan keparat! Kau berani sekali menghinaku dengan sebutan cacing tanah?” maki Trisula Kembar, sambil meloloskan sepasang trisula yang berada di balik punggungnya. “Kecoa tengik sepertimu memang harus dikasih pelajaran!”
Crangg!
“Memangnya aku takut denganmu, trisula busuk!” bentak Pedang Dewa sambil pasang kuda-kuda.
Keduanya berjalan mendekat dengan senjata terhunus.
Tatapan mata beringas disertai dengusan napas keras.
Hawa membunuh sontak terpancar luas.
Beberapa orang murid Istana Jagat Abadi yang melihat kedua orang bersenjata pedang dan trisula sebentar lagi akan saling labrak segera berlarian menjauh. Sudah puluhan kali mereka melihat sesama murid yang berselisih paham saling labrak dan ujung-ujungnya ... senjata pula yang bicara!
Satu-satunya jalan menghindar adalah menjauh sejauh-jauhnya dari ajang pertikaian. Dan tujuannya pasti cuma satu ... apalagi jika bukan takut kena salah sasaran!?
Mereka hanya menonton dari kejauhan saja, menunggu siapa yang terjungkal lebih dahulu. Dalam benak mereka masih terbayang lima hari yang lalu, tujuh orang teman mereka tewas hanya gara-gara masalah sepele. Tujuh orang murid sedang berlatih melempar senjata rahasia yang bernama Gundu Terbang. Namun karena tidak pernah kena sasaran satu kali pun, salah seorang dari mereka jengkel dan secara sembarangan melempar Gundu Terbang ke belakang. Dan tanpa sengaja pula, Gundu Terbang justru tepat mengenai Ki Wira Raja Jarum Sakti Seribu Racun sedang berjalan-jalan di sekitar taman. Meski tidak mengalami luka apa pun, baik luka besar atau pun luka kecil, kecuali benjol sedikit macam jerawat batu, tapi cukup membuat laki-laki tinggi kurus berbaju kuning kusam naik pitam.
Bagaimana tidak naik pitam ... lha wong kena pas di tengah dahi!
Tanpa ba-bi atau bu, apalagi permisi, puluhan Jarum Lebah Terbang langsung menembusi tubuh murid Istana Jagat Abadi hingga tubuh mereka mirip landak!
Dan tentu saja ... tewas-lah tujuh murid sial itu!
Kali ini pula, mereka bergerak menjauh menghindari medan perang antara Trisula Kembar dan Pedang Dewa.
Akan tetapi, terjadi suatu keanehan!
Tunggu punya tunggu ... tidak ada tusukan pedang atau sabetan trisula yang kena sasaran!
Jelas sekali terlihat pedang besar di tangan Pedang Dewa dan sepasang trisula di tangan Trisula Kembar terayun-ayun kesana kemari dengan gerakan-gerakan tertentu. Akan tetapi anehnya, gerakan Pedang Dewa dan Trisula Kembar seperti tertahan dinding tidak tampak.
Tentu saja Karang Kiamat yang buta dan sekarang mengandalkan ketajaman telinga, hanya mendengar suara sumpah serapah dan caki maki dari Pedang Dewa dan Trisula Kembar.
“Heran ... masa sedari tadi cuma pentang bacot saja?” desis Karang Kiamat sambil memiring-miringkan kepalanya. “Apa jangan-jangan telingaku sudah soak, ya?”
Dua jari tangan dimasukkan ke dalam lubang telinga sebentar, diputar pulang balik, lalu ditarik keluar.
“Tidak ada masalah,” gumamnya. Karena tidak tahan, akhirnya ia berteriak, “Sebenarnya kalian ini mau bunuh-bunuhan atau cuma pentang lebar mulut atau malah sedang lomba menggonggong siapa yang paling keras?”
Dua orang yang saling cakar itu tersentak kaget, seperti baru saja terbangun dari mimpi!
Belum lagi Pedang Dewa dan Trisula Kembar menjawab, sebuah suara menggema di tempat itu.
“Dua budak ******! Apa yang kalian ributkan!?”
Suara itu menggema ke seantero halaman.
Menggetarkan dinding-dinding telinga semua orang yang ada di tempat itu. Beberapa orang berilmu pas-pasan langsung jatuh terduduk karena telinga mereka seperti ditusuk ribuan jarum, bahkan ada yang langsung pingsan karena tidak tahan dengan getaran tenaga gaib yang memaksa masuk ke dalam gendang telinga.
Benar-benar hamparan kesaktian yang luar biasa!
“Raja Iblis Pulau Nirwana ... ” desis Karang Kiamat, mengenali sebentuk suara tanpa wujud yang menggema. “Pasti dia yang punya kerjaan menghalang-halangi baku hantam antara Pedang Dewa dan Trisula Kembar. Jika dia datang, pasti ada hal penting atau gawat yang akan terjadi ... ”
Tentu saja Pedang Dewa dan Trisula Kembar mengenal siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika bukan Raja Iblis Pulau Nirwana, tokoh misterius yang bisa membuat mereka bertekuk lutut tanpa sempat memberikan perlawanan yang berarti!
“Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian. Panggil semua teman-teman kalian yang lain. Kumpul di aula tengah. Cepat!” kata suara tanpa wujud bernada memerintah.
Tanpa banyak membantah, Trisula Kembar, Pedang Dewa dan Karang Kiamat langsung berpencar.
Dan tanpa tempo lama pula mereka semua telah berkumpul di tempat yang telah ditentukan.

--o0o--
 
Bimabet
BAGIAN 21


Di dalam aula tengah Istana Jagat Abadi, terlihat Ki Wira yang bergelar Raja Jarum Sakti Seribu Racun sedang duduk di atas kursi besar berukiran burung merak. Di depannya duduk berkumpul setengah lingkaran dimulai dari Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa, Trisula Kembar dan Gada Maut.
Terlihat di bagian pojok ruangan, sesosok tubuh tanpa kepala!
“Apa!? Jadi kau ketahuan?” bentak Ki Wira dengan mata melotot, “ ... dan untuk bisa lolos dari sana, lalu kau korbankan Gelang Bintang, begitu!?”
Trisula Kembar yang merasa tidak bersalah namun merasa dipojokkan, langsung membalas bentakan Ki Wira.
“Bah! Mana aku tahu kalau dibawah tengkuk Gelang Bintang tergeletak sebilah pedang telanjang!?” seru Trisula Kembar, “Kepala si kunyuk itu telah terpotong sebatas leher saat aku tarik ke dalam tanah, barulah kutahu adanya pedang itu!”
“Bangsat! Terhadap teman sendiri saja kau tidak setia kawan, bagaimana terhadap pimpinan?” bentak Raja Jarum Sakti Seribu Racun sambil mengibaskan tangan kiri.
Seleret cahaya perak menyambar ke arah tenggorokan Trisula Kembar.
Wuss!
Tentu saja yang diserang tidak mau begitu saja membiarkan lehernya menjadi sasaran empuk Jarum Lebah Terbang yang dilemparkan Ki Wira. Trisula di samping kiri keluar dari balik baju, lalu berkelebat menebas dari kiri ke kanan.
Triing!
Jarum Lebah Terbang terpental ke kanan, lalu menancap di tiang kayu yang jaraknya sekitar sepuluh tombak.
Jleebb!
“Kurang ajar!” Raja Jarum Sakti Seribu Racun membentak marah. “Berani sekali kau menangkis Jarum Lebah Terbangku?”
“Bah! Memangnya apamu yang aku takuti! Cuih!” Trisula Kembar gantian membentak sambil meludah di lantai batu. Seketika lantai batu mengeluarkan asap putih dan tak beberapa lama kemudian, lantai batu menjadi semacam bubur batu!
“Sudah cukup!” bentak suara tanpa ujud atau Raja Iblis Pulau Nirwana kembali menggema, “Dasar manusia-manusia tidak tahu diuntung! Menyesal aku membiarkan kalian hidup lebih lama lagi!”
Semua yang ada di tempat itu tercekat mendengar ancaman dari si sosok tanpa ujud.
Buru-buru Pedang Dewa angkat bicara.
“Maaf, Ketua!” kata Pedang Dewa, “Kami mohon maafmu yang sedalam-dalamnya! Kami tidak akan mengulangi kejadian seperti ini lagi! Saya meyakini dengan keluarnya dari kamar tahanan bawah tanah pasti membekal suatu berita penting. Ada apakah gerangan yang membuat Ketua yang sakti tanpa tanding bisa keluar dari tempat pendadaran ilmu?”
“Huh! Pedang Dewa! Mulutmu memang tajam, setajam pedangmu!” seru Raja Iblis Pulau Nirwana. “Kau benar! Ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan kalian semua.”
Sesaat keadaan menjadi senyap. Hanya suara desau angin yang menerobos celah-celah lobang angin yang terdengar.
“Mulai saat ini ... ” kembali terdengar suara Raja Iblis Pulau Nirwana, “ ... aku ingin kalian meningkatkan kewaspadaan. Aku merasakan adanya getaran bahaya yang mendekat ke tempat kita ini.”
“Bahaya?” tanya Ki Wira, “Siapa orangnya yang berani menyatroni tempat ini, Ketua!? Apa mereka mau menggali liang kubur di tempat ini!”
“Aku tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas, salah seorang dari mereka telah membunuh Golok Tapak Kuda dan seorang lagi kawannya, seorang perempuan baju hijau, berhasil pula mengalahkan Cambuk Pemutus Nyawa, bahkan membunuhnya pula.”
“Apa!?” enam orang itu berteriak kaget.
“Kalian tidak perlu terkejut,” kata Raja Iblis Pulau Nirwana, “Tokoh ini memiliki ilmu kesaktian yang tinggi bahkan terhitung langka untuk masa kini. Namun yang pasti, lewat Ilmu ‘Tatar Sukma Memindah Hawa’ bisa kurasakan bahwa sosok ini membekal suatu benda yang bisa membuatku merasa ketakutan, bahkan diriku bisa tewas jika tersentuh. Kalian harus bisa mengambil dan menghancurkan benda itu!”
Tentu saja semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget!
Beberapa jeda kemudian, mereka berenam saling pandang satu sama lain, dengan pikiran yang sama. Raja Iblis Pulau Nirwana yang mereka anggap memiliki kesaktian setingkat dewa ternyata memiliki rasa takut?
Takut pada seseorang yang memiliki suatu benda!
Tapi ... benda apa?
Dan siapa orang yang ditakutinya itu!?
Itu yang perlu dicari!
Dicari bukan untuk dihancurkan demi kepentingan Sang Ketua ... tapi justru untuk menghancurkan Sang Ketua, Raja Iblis Pulau Nirwana!
Tentu saja apa yang ada di kepala masing-masing orang bisa diduga oleh Raja Iblis Pulau Nirwana.
“Kalian jangan berani main golok di depanku!” bentak Raja Iblis Pulau Nirwana pada enam orang bawahannya. “Jangan dikira aku tidak tahu apa isi otak busuk kalian! Tiga hari mendatang, ilmu kesaktian yang aku peroleh dari tokoh-tokoh silat yang berhasil aku tawan akan sempurna ... dan saat itulah ... tidak ada satu pun yang sanggup mengalahkan aku, Raja Iblis Pulau Nirwana! Bahkan tokoh yang aku takuti ini hanyalah seorang pecundang! Ha-ha-ha ... !”
Suara tawa kembali terdengar menggema di dalam aula tengah.
“Ketua, orang yang kau takuti itu membekal barang apa? Apakah Ketua bisa menyebutkannya!?” tanya Pedang Dewa dengan hati-hati. “Dan ... apakah Ketua mengetahui siapa adanya tokoh ini!?”
“Aku tidak bisa mengetahui dengan jelas,” jawab Raja Iblis Pulau Nirwana, “Semua serba samar-samar. Namun yang jelas, aku melihat sosok harimau putih belang hijau, seekor ular besar bermahkota warna hitam dan seekor burung raksasa warna emas menyertainya.”
Semua orang tercenung.
“Hemm ... rupanya hanya seorang pawang binatang saja,” pikir Tombak Sakti, “Aku harus bisa mendapatkan benda yang dimiliki orang itu. Dengan adanya benda sakti itu, aku yakin sanggup membuat Raja Iblis bertekuk lutut di bawah telapak kakiku.”
“Apakah Ketua bisa memberikan gambaran tentang wujud dari benda sakti itu?” tanya Raja Jarum Sakti Seribu Racun.
“Benda sakti apa!? Lebih tepat kalau disebut benda keparat!” nada suara Raja Iblis Pulau Nirwana semakin menggema, namun terdengar jelas bahwa dalam getaran suara terdapat rasa gentar. “Bentuknya ... aku tidak tahu. Itu adalah tugas kalian semua. Kalian cari sendiri! Pertemuan hari ini, bubar! Aku ingin melanjutkan pendadaran ilmu saktiku!”
Suasana mendadak senyap.
Sepi.
Tidak ada helaan napas atau sesuatu gerakan dalam aula pertemuan.
“Apakah Ketua sudah pergi?” tanya Gada Maut, orang yang paling pendiam diantara mereka.
Senjata sakti yang diberi nama Gada Raja Langit Empat Sisi dengan empat rantai sepanjang satu setengah tombak yang bersilangan dibagian tengah, sehingga untuk menggunakan benda super antik ini harus sedikit mempunyai tenaga dalam tinggi, dimana masing-masing rantai memiliki bandulan besi berduri. Belum lagi dengan cara menggunakan Gada Raja Langit Empat Sisi terletak pada sisi silang empat yang ada ditengah, membuat gada empat sisi ini akan banyak membawa kesulitan bagi pemiliknya.
Namun bagi Gada Maut, untuk memainkan Gada Raja Langit Empat Sisi seperti halnya membawa empat karung kerupuk diatas pikulan bambu.
Enteng!
“Tampaknya begitu,” jawab Ki Wira. “Karang Kiamat, bagaimana menurutmu?”
“Dia benar-benar telah keluar dari ruangan ini,” ucap Karang Kiamat. “Lalu ... apa yang harus kita lakukan?”
“Menuruti perintah Ketua! Apa lagi!?” sahut Ki Wira sambil bangkit berdiri.

--o0o--

Dua sosok bayangan berloncatan di atas genting tanpa menimbulkan suara.
Blass ... ! Tapp! Tapp!
Tanpa tempo lama, keduanya terlihat mendekam sama rata di atas genting, tepat di sebuah bangunan paling belakang dari lingkungan wilayah Istana Jagat Abadi. Sosok sebelah kiri yang berbaju biru dengan mata putih terlihat menggerakkan tangan pulang pergi sambil menunjuk bergantian dirinya dan sosok baju hijau di depannya, lalu satunya menunjuk ke bawah. (Maksudnya, ‘kau tinggal disini dan aku yang masuk ke dalam’).
Seolah paham, si baju hijau menggeleng cepat, lalu dia jari telunjuk di jejer satu sama lain, terus digerakkan bolak-balik, lalu ke dua tangan bergerak seolah membuka sesustu, diikuti kepala dilongok-longokkan ke depan. (Maksudnya, ‘tidak bisa. Kita datang berdua masuk juga harus berdua’).
Si baju biru menggeleng-gelengkan kepala. (maksudnya, ‘tidak bisa’).
Si baju hijau justru mengangguk-anggukkan kepala. (maksudnya, ‘harus bisa’).
“Fyuhh ... capek juga ngomong seperti orang bisu,” bisik si baju biru.
“Sama,” sahut si baju hijau sambil menghela napas. “Pokoknya ... aku harus ikut masuk ke dalam. Titik!”
“Baik! Tapi kau harus ikut apa kataku,” kata si sosok bayangan biru pada akhirnya.
“Aduuhh ... kakang baik, dech.” Si sosok baju hijau berbisik sambil menepuk-nepuk pipi si baju biru.
“Sudahlah! Jangan main tepuk seenaknya. Memangnya pipiku mirip bantal apa!?”
Tiba-tiba dua sosok baju hijau dan biru semakin merundukkan kepala sambil menutup mulut. Rupanya dua orang penjaga mendengar suara bisik-bisik dan keluar dari ruang jaga.
“Apa kau mendengar sesuatu?” tanya yang sebelah kanan yang menggenggam tombak bergolok.
Satunya yang baru bangun dari tidur-tidur ayam, nampak menguap sebentar. Tidurnya agak terganggu karena sang kawan menariknya begitu saja saat ia hampir terlelap.
“Aku tidak mendengar apa-apa. Mungkin kau salah dengar, ‘kali!” katanya, lagi-lagi iamenguap, “Lebih baik kita masuk saja. Udara malam ini dingin sekali.”
Penjaga bertombak mengedarkan pandangan, lalu mendongak ke atas.
Tidak ada apa-apa disana.
“Benar juga. Mungkin aku salah dengar!” sahutnya.
“Apa kataku!?”
Keduanya segera beranjak masuk. Namun baru dua langkah, mendadak tubuh mereka ambruk ke tanah.
Brughh!
Ternyata ... keduanya jatuh tertidur!
Tidur saja bisa kompak!
Hebat!
Sebenarnya, kedua orang ini tertotok tepat di jalan tidur.
Bersamaan dengan itu pula, dua sosok tubuh melayang turun. Rupanya salah satu dari sosok ini piawai melancarkan serangan totokan jarak jauh.
“Totokan jarak jauh yang hebat,” desis si baju hijau sambil berjongkok meneliti sesaat. Matanya melihat sesuatu menempel dekat tengkuk. “Benda apa ini?”
Tangannya hendak bergerak menyentuh.
Plakk!
Namun sebatang tongkat menyingkirkan tangan si baju hijau.
“Jangan dipegang benda itu, Beda! Kalau kau pegang, kau bakalan menyesal seumur hidup.”
Dengan heran si baju hijau yang ternyata adalah Beda Kumala pun berkata, “Kenapa? Apa kalau kusentuh mereka akan bangun? Aku sanggup kok melumpuhkan mereka sekaligus.”
“Bukan itu, bukan itu! Sebab ... ” ucapan si baju biru, yang tak lain tak bukan Jalu Samudra, sambil tertawa aneh. “Sebab ... itu adalah kotoran hidungku alias upil. Hi-hi-hik!”
“Buta brengsek!” maki Beda Kumala, terus bangkit berdiri.
“Sttt ... jangan keras-keras!” bisik Jalu sambil meletakkan jari tangan ke depan mulut Beda Kumala. “Nanti kita ketahuan.”
“Biarin!”
“Ssstt!”
Jalu sekarang malah mendekap mulut Beda Kumala sambil menyeret gadis itu masuk ke dalam. Dan bersamaan dengan itu juga, kaki kanan Jalu bergerak menendang.
Bukk! Bukk!
Dua sosok tubuh penjaga terlempar ke arah semak-semak.
“Kau membunuhnya?” bisik Beda Kumala setelah berada di dalam.
“Tidak. Tapi aku tidak ingin ada orang yang tahu kedatangan kita,” kata lirih Jalu Samudra. “Kita harus segera mencari ruangan tahanan secepatnya.”
Keduanya berjalan masuk lebih dalam. Di sudut ruangan, ada sebuah lorong panjang yang diterangi dengan nyala obor, kesanalah tujuan mereka. Setelah berjalan sejauh dua tombak, mereka menemukan jalan undak-undakan (tangga batu) menurun.
Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung bergerak menuruni tangga batu yang bentuk berulin seperti sekrup. Entah berapa lama mereka berjalan, tidak ada yang tahu. Hanya yang pasti, semakin lama hawa semakin pengap dan jumlah obor semakin jarang.
“Entah sampai kapan kita berjalan seperti ini?” keluh Beda Kumala, “ ... atau jangan-jangan kita salah jalan?”
“Tidak! Kita tidak salah jalan! Aku mendengar banyak hembusan napas berat sejarak lima tombak di bawah kita,” kata Jalu sambil memiring-miringkan kepalanya. “Namun ... ”
“Apa?”
“Suara mereka seperti terhalang sesuatu,” kata Jalu Samudra kemudian.
Keduanya terus berjalan turun ke bawah. Dan benar seperti apa kata Jalu, sejarak lima tombak di depan terdengar suara hembusan napas berat dan beberapa kali suara erangan kesakitan yang semakin keras, namun suara ternyata terhalang oleh suatu benda.
Yaitu ... pintu!
Ya, benda apa lagi yang menghalangi suatu ruang dengan ruang lain jika bukan pintu!?
Akan tetapi, pintu bukan sembarang pintu. Sebentuk pintu dari besi baja pilihan setinggi tiga tombak tanpa ukiran berdiri kokoh.
Tangg!
Jalu mengetukkan tongkat hitamnya.
“Hemm ... cukup tebal,” desisnya. “tidak ada kuncinya. Terus ... masuknya lewat mana?”
Setelah meneliti sekian lama, tidak ditemukan satu pun lubang kunci, gembok atau pun rantai pengikat untuk membuka tutup pintu baja.
“Jebol saja. Gitu aja kok repot,” katanya kemudian. Pemuda yang dijuluki Si Pemanah Gadis tampak melakukan ancang-ancang untuk mengerahkan tenaga sakti untuk menjebol, namun sebuah tangan mulus memegang pundaknya.
“Biar aku saja, Kang.”
“Apa kau yakin?” tanya Jalu sambil mengembalikan posisi.
“Kalau tidak dicoba, mana tahu? Betul ngga?”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd