BAGIAN 18
Belasan gadis murid-murid Perguruan Sastra Kumala bersenjata lengkap mendatangi Aliran Danau Utara sambil menyeret seorang laki-laki yang seluruhnya babak-belur bersimbah darah.
Tentu saja kedatangan para gadis cantik yang notabene sedang bersengketa akibat kehilangan kitab pusaka masing-masing dimana dua pihak saling menuduh, bahwa pihak lawanlah yang mencuri kitab perguruan mereka, dimana kejadian sudah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Meski tidak secara sungguh-sungguh bermusuhan, namun tetap saja ada rasa tidak nyaman saat saling berdiri berhadapan dengan senjata siap tercabut.
Seorang pemuda berbaju rompi putih celana putih berikat pinggang ungu berdiri menghadang di depan pintu gerbang. Di dada bagian kiri terdapat lambang Aliran Danau Utara berupa bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang sama.
“Ada keperluan apa kalian kemari?” tanyanya dalam nada sinis.
Seorang gadis baju hijau dengan pedang di punggung maju satu langkah ke depan. Sari Kumala, orang tertua dari Perguruan Sastra Kumala, berkata, “Watu Humalang, apa betul kau yang bertanggung jawab di tempat ini?”
“Benar! Karena aku yang tertua, maka akulah yang bertanggung jawab selama Ki Gegap Gempita, guru kami tidak berada di tempat!” kata tegas si baju rompi yang bernama Watu Humalang. “Ada perlu apa kau membawa seluruh saudara seperguruanmu ke tempat kami, Sari!?”
Baru saja Watu Humalang selesai berkata, dari arah belakang si pemuda berlari mendatangi seorang pemuda tinggi besar sambil menyeret seseorang. Dari caranya berlari, jelas sekali bahwa ilmu ringan tubuhnya sudah mencapai cukup tinggi.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki tinggi besar dengan kulit coklat kehitaman sama seragamnya dengan Watu Humalang, hanya bedanya ia mengenakan baju lengan panjang sedang Watu Humalang menggunakan rompi tanpa lengan.
Tangan kanannya melemparkan orang yang diseretnya ke tanah begitu saja.
Brughh!
Tak ada keluhan sama sekali. Jelas bahwa seluruh tubuh dan urat suaranya dalam keadaan tertotok.
“Brengsek!” maki orang yang dibanting dalam hati. “Dalam satu kali totok, aku langsung keok! Gabus Mahesa ini cepat juga gerakannya, cepat laksana hembusan angin.” Saat ia melirik ke samping, ia sedikit terkejut, “Gelang Bintang juga sudah tertangkap rupanya. Kalau sudah begini, aku harus berusaha meloloskan diri dari sini dan memberi laporan pada Ki Wira atau pada Ketua.”
“Ada apa, Mahesa?” tanya Watu Humalang dengan mata menyipit saat melihat sesosok tubuh tinggi besar. Ia kenal dengan orang ini, karena bekerja sebagai penjual kayu bakar dan sering menjual kayu bakar ke perguruan mereka. “Kenapa dengan dia?”
“Kakang, rupanya dia ini orangnya yang memata-matai kita selama ini dengan berkedok sebagai penjual kayu bakar,” kata pemuda yang dipanggil Mahesa, lengkapnya Gabus Mahesa. “Untung saja berhasil kulumpuhkan saat ia sedang menuangkan sesuatu ke dalam sumur.”
“Apa!?” seru beberapa murid Aliran Danau Utara hampir bersamaan.
Mata kiri Sari Kumala sedikit melebar melihat muka jelek orang yang baru saja dibanting oleh Gabus Mahesa. Ia langsung menoleh ke belakang, tangan kiri terulur ke arah Wulan Kumala, mencekuk leher pemuda tanpa telinga dan di lempar begitu saja dekat si tukang kayu bakar.
Bruggh ... !
“Aku ingin bertanya satu hal padamu. Apa dia orangmu!?” tanya Sari Kumala.
“Apa dia juga orangmu!?” balik tanya Gabus Mahesa, meski suaranya tidak keras, tapi cukup membuat telinga berdenging.
“Di tempat kami pantang menerima tamu laki-laki yang tidak kami kenal,” sahut Wulan Kumala sambil maju selangkah.
“Kalau begitu ... kami juga sama,” jawab Watu Humalang, sambil memandang dua sosok tubuh yang terkapar di tanah.
Jika hasil tangkapan Gabus Mahesa masih utuh, sehingga bisa dilihat raut mukanya. Namun orang satunya yang tanpa telinga, sulit sekali dikenali siapa adanya. Semuanya babak belue belepotan darah kering. Hanya yang pasti, dia masih bernapas!
“Karena kita sama-sama tidak kenal dengan mereka berdua, berarti dua orang ini sengaja disusupkan oleh pihak ketiga untuk membuat suasana semakin kacau antara perguruan kita,” tutur Tiara Kumala sambil berjalan mendekat, “Apa kalian setuju dengan pendapatku?”
Matanya menatap tajam pada murid-murid Aliran Danau Utara satu persatu, dan pada akhirnya berhenti pada Gabus Mahesa.
Orang dipandangi hanya menatap sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Bagaimana dengan kalian?” tanya Tiara Kumala kembali, mencari ketegasan.
Suasana semakin tegang!
“Baik! Untuk sementara ... kita lupakan dulu permusuhan kita,” jawab Watu Humalang pada akhirnya.
Suasana yang semula tegang, mencair seketika.
“Bukan untuk sementara ... tapi untuk selamanya,” kata tegas Sari Kumala.
Meski agak sedikit heran, tapi Watu Humalang memandang dengan mata penuh tanya.
Tanpa ditanya dengan sebuah pertanyaan, Sari Kumala pun berkata, “Orang tanpa telinga ini hampir enam bulan lamanya berkeliaran di tempat kami, entah sejak kapan ia tidak punya telinga, aku tidak tahu. Pada mulanya kami diam saja, membiarkan saja ia mengintai kami dari segala arah, namun lama-lama dibiarkan, dia jadi semakin keterlaluan. Beberapa kali ia mencuri masuk ke dalam perguruan, namun berhasil kami gagalkan.”
“Teruskan.”
“Akhirnya, kami membuat jebakan. Kami semua keluar dari perguruan lewat pintu gerbang dan pergi ke jurusan yang berbeda-beda, padahal kami hanya berlari memutar saja setelah sepuluh tombak jauhnya. Sengaja kami tinggal Cantika menunggu perguruan seorang diri. Dan benar dugaan kami. Saat Cantika sedang bersalin baju dalam kamar, tiba-tiba saja si brengsek ini masuk ... ” kata Sari Kumala sambil berjalan mengitari si tanpa telinga, “ ... dan begitu mendengar teriakan dari dalam kamar, kami semua segera mengurung jalan keluar dan berhasil meringkus monyet tanpa telinga ini!”
“Terus ... apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?” tanya Gabus Mahesa.
“Pertanyaan bagus!” seru Tiara, sambungnya, “Hubungannya sangat erat. Saat kami korek keterangan dari mulutnya, mulanya ia tidak mengaku. Namun setelah kami beri sedikit ‘usapan mesra’ di beberapa bagian tubuhnya, keluar juga pengakuan dari mulutnya.”
Tentu saja orang-orang yang ada disitu paham dengan apa yang namanya ‘usapan mesra’. Apalagi jika bukan ketupat bangkahulu alias bogem mentah plus dengan bumbu-bumbu penyedapnya!?
“Sebelumnya, teman kami Beda Kumala mengalami celaka, hampir mati keracunan jika tidak ditolong oleh seorang pemuda buta bernama Jalu Samudra. Dari Jalu inilah, akhirnya mata kami terbuka bahwa selama ini Aliran Danau Utara dan Perguruan Sastra Kumala telah diadu domba oleh pihak ketiga ... ”
“Pemuda buta bernama Jalu Samudra!?” gumam Watu Humalang dalam hati. “Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu!?”
Kemudian Sari Kumala, bergantian dengan Wulan Kumala, menceritakan apa yang dibicarakan dengan Si Pemanah Gadis tempo hari. Tentang segala kemungkinan yang terjadi, tentang adanya pihak-pihak yang berusaha mengail di air keruh.
“ ... dan puncaknya, akhirnya kami tahu tentang kebenaran kemungkinan yang diberikan Jalu Samudra, lewat si tanpa telinga ini,” kata Wulan Kumala mengakhiri ceritanya. “Orang ini mengaku mata-mata dari Istana Jagat Abadi. Dan satu temannya berkeliaran di aliran kalian,” sambil jari telunjuknya menuding ke bawah, “Kukira si tinggi besar yang menggelosoh di tanah ini adalah kambratnya.”
Watu Humalang, Gabus Mahesa dan rekan-rekan seperguruan mereka saling pandang satu sama lain.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Watu Humalang.
“Kakang Watu, kemungkinan apa yang diucapkan Sari dan Wulan ada benarnya. Dan aku yakin sepuluh bagian, bahwa memang kita sedang dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan mereka,” kata salah seorang yang bertubuh jangkung yang dibagian punggungnya tergantung sebuah benda aneh terbuat dari potongan-potongan bambu bulat yang di tata sedemikian rupa hingga membentuk deretan bambu nan unik. Benda itulah yang disebut sebagai angklung, sedang pemiliknya dijuluki dengan Angklung Penebar Maut.
“Benar sekali apa perkataanmu, Adi Angklung. Kita telah membahas masalah ini jauh-jauh hari, tapi tidak ada bukti nyata di depan mata kita. Namun, dengan adanya tambahan keterangan dari pihak Perguruan Sastra Kumala, kurasa kita harus menyelidiki ini lebih jauh ke Istana Jagat Abadi,” tutur Gabus Mahesa. “Namun sebelumnya, aku ingin mengorek keterangan dulu dari keparat ini!”
Gabus Mahesa berjongkok, lalu tangannya berkelebat. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri si tinggi besar, sedang satunya mendarat di pipi kanan si tanpa telinga.
Plakk! Plaakk!
“Hebat! Dalam satu gerakan tangan, dua tamparan melayang sekaligus membebaskan totokan,” kata Gaharu dalam hati.
“Katakan! Apa benar yang dikatakan oleh teman-temanku yang cantik-cantik tadi?” tanya Gabus Mahesa.
Trisula Kembar merasakan nyeri di pipi, namun karena seluruh tubuhnya tertotok kaku, ia tidak bisa menggerakkan tangan, hanya pita suaranya saja yang bebas.
Diluarnya ia berkata lain dengan nada memelas, “Semuanya bohong, Tuan! Saya ini cuma tukang kayu bakar ... Tuan Mahesa telah salah tangkap! Dan dengan dia, saya tidak kenal dengan si bodong jelek penuh kutil ini. Tolong ... lepaskan saya!”
“Lalu ... apa yang kau lakukan tadi di sumur? Mau meracuni kami, hah!?” bentak Gabus Mahesa dengan mata melotot.
“Meracuni apa? Tadi saya sedang meracik jamu untuk obat sakit perut. Sudah dua hari ini perut saya mules tidak karuan,” elak si tukang kayu bakar alias Trisula Kembar dengan mimik muka meringis-ringis seperti orang mau buang hajat.
“Ooo ... begitu?”
“Ya begitu, Tuan Mahesa! Sumpah! Di samber perawan satu desa saya mau kalau saya bohong,” kata si tukang kayu bakar pakai sumpah-sumpah segala.
“Sumpah kok enak betul!?” bentak Angklung Penebar Maut.
“Aku yakin dia bohong, Mahesa. Dia pasti kenal dengan si tanpa telinga ini,” tutur Wulan Kumala. “Mungkin kenal akrab, malah.”
“Darimana kau tahu?”
“Gampang sekali,” sahut Wulan Kumala. “Darimana ia tahu kalau orang yang kami tangkap ini pusarnya bodong penuh kutil? Padahal dari tadi kita tidak membuka pakaiannya sedikit pun.”
Si tanpa telinga atau tepatnya Gelang Bintang tampak memelototi orang di sampingnya, sambil memaki panjang pendek dalam hati, “Dasar mulut ember! Borok orang lain di buka di depan umum! Kalau kita berdua bisa lolos dari sini, mulutmu bakal aku sumpal dengan kotoran sapi!”
Sedang si tukang kayu bakar gadungan tercekat, pikirnya, “Celaka! Aku kelepasan omong!”
“Benar ... benar ... tadi aku juga mendengar dia bicara seperti itu,” ucap Angklung Penebar Maut. “Kakang Mahesa, biar aku saja yang urus. Kali ini aku yakin dia bakal ngaku.”
Tanpa menunggu jawaban dari Gabus Mahesa, Angklung Penebar Maut segera meraih angklung di punggungnya. Tanpa menunggu lama, terdengar suara merdu dari goyangan-goyangan angklung yang dimainkan oleh Angklung Penebar Maut.
Kluung! Klukk! Klukk! Klekk ... !
Semua orang yang ada disitu menikmati alunan bunyi angklung yang terasa merdu di telinga, namun tidak bagi si tukang kayu bakar gadungan. Laki-laki ini berulangkali mengernyitkan dahi dengan muka pucat pias seperti tanpa darah. Keringat sebesar biji nangka langsung keluar.
“Uuuhhh ... aaaghhh ... aghhh ... ammm ... puun ... sakiittt ... ”
“Bagaimana? Masih tidak mau mengaku?” tanya Angklung Penebar Maut sambil terus menggoyang-goyangkan senjata unik di tangannya.
Sepenanakan nasi telah berlaku, dan selama itu pula Trisula Kembar menahan derita yang mendera pada panca indranya hingga meneteskan darah kental secara perlahan-lahan.
“Baik ... ba ... iikk ... aku mengaku ... ” akhirnya menyerah juga Trisula Kembar. “Tapi ... hentikan dulu alunan angklungmu ... aku sudah ... tidak tahan ... ”
Angklung Penebar Maut segera menghentikan ayunan angklung di tangannya.
“Silahkan, Kakang Watu.”
“Terima kasih, Adi Angklung,” kata Watu Humalang, lalu tanyanya pada si tukang kayu bakar gadungan. “Siapa namamu?”
“Aku biasa disebut Trisula Kembar, sedang dia itu Gelang Bintang.”
“Tunggu ... tunggu ... ! Namamu Trisula Kembar!? Jadi kau ini salah seorang dari anggota Komplotan Pondok Setan yang beberapa waktu yang lalu diburu oleh Paman Panglima Bratasena dari Kerajaan Danaraja?” tutur salah seorang dari murid Aliran Danau Utara.
“Jadi kau kenal dengan dia, Raden Wiratama?” tanya Watu Humalang.
“Jika benar dia adalah Trisula Kembar yang merupakan salah satu pucuk pimpinan dari komplotan sesat Pondok Setan, berarti dialah orang yang selama ini dicari Paman Bratasena dan Pemanah Dewa Dua Nyawa selama beberapa bulan terakhir ini, Kakang Watu,” ujar Raden Wiratama. “Kebetulan sekali kalau pada akhirnya penjahat busuk ini bisa tertangkap. Dia sudah berbuat makar pada Kerajaan Danaraja. Bahkan Sang Prabu sendiri memerintahkan hukum penggal padanya.”
Trisula Kembar langsung tercekat!
Tidak disangkanya bahwa salah seorang murid Aliran Danau Utara masih ada hubungan dengan keluarga Kerajaan Danaraja.
“Celaka dua belas!” pikir Trisula Kembar, “Aku harus benar-benar bisa lolos dari tempat ini. Perduli setan dengan Gelang Bintang!”
“Itu kita urus nanti saja,” kata Watu Humalang dengan cepat.
Pada akhirnya, dari mulut Trisula Kembar berhasil diperoleh keterangan tentang sepak terjang Istana Jagat Abadi, bahkan tentang siapa Ketua dan orang-orang yang berada di balik semua kejadian yang menimpa dua aliran perguruan ini serta beberapa pendekar persilatan, semua berhasil didapatnya dari mulut Trisula Kembar.
Sementara itu, sambil terus berbicara panjang lebar, diam-diam Trisula Kembar berusaha keras untuk bisa mengalirkan hawa murni dan memulihkan diri dari totokan. Namun totokan yang dilakukan oleh Gabus Mahesa cukup kuat. Beberapa kali ia gagal menjebol pembatas jalan darah yang tersumbat. Dalam hati, Trisula Kembar berharap bahwa semua orang tertuju pada keterangan yang keluar dari mulutnya, sehingga tidak mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha membebaskan diri.
Tapi ... benarkah seperti itu yang diharapkan oleh salah seorang anggota Istana Jagat Abadi ini?
Jawabnya ... tidak!