Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

up lagi suhu... bakalan ane jabanin dah ngasih comen ama like sampai pagi...


biar ada bacaan pas lagi jaga orang orangan @sawah515

:Peace:


:haha:
begadang nih ceritanya
oh iya picmu ituloh hu....
sereeeeemmm
 
Si Pemanah Gadis – Bab 8


Kumala Rani berjalan dengan cepat menuju danau yang telaknya di tepi hutan. Sejak ditemukannya bangkai ular raksasa dan mayat sejumlah sembilan orang pada sepuluh tahun silam, sampai sekarang tidak ada lagi penduduk yang berani lagi mencuci apa lagi sampai mandi di danau itu. Jangan kata cuma cuci muka, mau cuci kaki saja penduduk desa tidak ada yang berani, andai lewat sekitar danau saja mereka langsung lari sipat kuping.
Hingga sekarang hanya Kumala Rani yang berani mandi dan mencuci di danau, bahkan sang kakak sendiri, Nila Sawitri pilih mandi di rumah dari pada harus berjalan lima belasan tombak untuk mencapai danau bening. Habis mandi bersih kok sudah berkeringat, itulah kata yang selalu dilontarkan oleh Nila Sawitri pada Rani.
Sebentar saja, Kumala Rani sudah berada di tempat kesukaannya, sebuah cerukan batu yang cukup dalam dengan lebar tiga kali tiga tombak serta kedalaman dua tombak lebih sedikit. Cukup besar dan dalam untuk mandi dua belas orang sekaligus. Tempat itu menjadi rindang di bawah naungan pohon trembesi raksasa. Di kiri kanan terdapat pohon-pohon perdu dan batu-batu besar yang memang sengaja di susun gadis itu untuk meletakkan pakaian atau tempat cucian. Sebenarnya tempat itu adalah tempat dimana sepuluh tahun yang lalu ia mandi pertama kali di danau itu dan disana pula ia hampir mati jika tidak ditolong seorang bocah buta bernama Jalu Samudra.
Akan tetapi kali ini, tempat favorit Kumala Rani sudah ada orang yang senang asyik duduk di atas batu sambil uncang-uncang kaki yang dimasukkan ke dalam air.
Seorang pemuda!
Tentu saja Kumala Rani terkejut saat melihat seorang pemuda berbaju biru laut duduk membelakangi dirinya, bahkan sampai berani menduduki ‘wilayah kekuasaannya’. Andaikan ia masih seperti sepuluh tahun yang lalu, pasti pemuda kurang ajar itu sudah babak belur dihajarnya.
“Siapa pemuda itu?” pikir Rani sambil berjalan sedikit memutar ke kiri untuk melihat wajah si pemuda.
“Aneh ... kenapa ia tidak bereaksi ya?” pikirnya lagi setelah bisa melihat sebagian wajah pemuda yang tertutup rambut gondrong, “Hemm ... tampan juga. Kulitnya lumayan bersih, dan dari sini ... Terlihat macho dan jantan, tapi ... kenapa memejamkan mata? Apa ia sakit mata atau ... sedang menikmati sejuknya udara sore?”
Kumala Rani menggeser langkah sedikit ke kiri. Kini jarak mereka berdua hanya satu tombak lebih sedikit.
“Kenapa aku jadi deg-degan? Seperti maling ketangkep basah saja,” pikirnya.
Bersamaan dengan angin lewat, pemuda itu membuka sepasang bola mata, Kumala Rani langsung terkaget-kaget.
“Matanya putih!” pekik Rani, tapi cuma dalam hati. “Ia ... buta!”
Rani berjalan mendekat. Kini jaraknya tinggal setengah tombak dari si pemuda buta yang sedari tadi hanya diam membisu.
Kembali Kumala Rani tersentak kaget untuk kesekian kalinya saat pandangan matanya menatap sebentuk tongkat hitam dengan bentuk aneh tergeletak begitu saja di samping kiri si pemuda, tongkat itu mirip dengan tongkat yang pernah menolongnya sepuluh tahun yang lalu, di tempat ini pula.
Tongkat hitam milik Jalu Samudra!
“Kenapa cuma diam saja? Kayak maling saja kau ini,” kata si pemuda lembut.
Saat si pemuda menoleh, seulas cengiran kuda terukir di kedua sudut bibir si pemuda.
“Ohh .. cengiran itu? Dia ... mirip sekali Si Jalu!” pekik Kumala Rani, yang berkali-kali hanya diteriakkan dalam hati.
“Kau ... Si Jalu?” tanya Kumala Rani sambil berjalan mendekat.
“Sepertinya aku pernah mendengar suaramu.” kata si pemuda sambil tetap memasang cengiran khasnya.
“Ya ... suaramu ... suaramu! Kau memang si Jalu!” seru Rani dengan senang.
Si pemuda gantian yang kaget.
“Bagaimana kau tahu namaku?” tanya si pemuda yang disebut si Jalu.
“Masih ingatkah kau dengan seorang gadis kecil yang mandi di danau lalu ... “
“Lalu ada seekor ular besar yang hampir mencaplokmu, kemudian tongkat hitam ini yang mengemplang mampus ular itu.”
“Tepat sekali!”
“Jadi ... kau ini Kumala Rani?” tanya si pemuda yang tak lain adalah Jalu Samudra.
“Itu juga tepat!” kata Kumala Rani yang entah kenapa ia senang sekali berjumpa dengan pemuda buta itu setelah sepuluh tahun tidak ketemu.
Akhirnya ... dua orang yang dulu bagai anjing dan kucing saling bertukar cerita sambil duduk bersebelahan. Jika Kumala Rani bercerita blak-blakan, justru Jalu Samudra menyembunyikan semua kenyataan yang terjadi pada dirinya. Bahkan saat ia keluar dari dalam perut bumi setelah sepuluh lamanya ia jadi manusia ular di dalam sana dan akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh isi Kitab Dewa Dewi milik Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga yang secara tidak langsung menjadi gurunya, ia lalu menceburkan diri ke dalam kolam, berenang melawan arus ke atas dan pada akhirnya ia sampai di ujung selatan danau itu tepat malam hari.
Jadi ... ia sudah berada di danau itu sehari semalam, bahkan sempat bermalam di atas pohon trembesi yang masih berdiri kokoh di tempat itu.
“Pantas ... waktu aku cari-cari yang kutemukan cuma sobekan bajumu di atas liang ular, kukira kau sudah menjadi santapan ular di bawah sana,” kata Kumala Rani sambil menatap tajam wajah pemuda tampan di hadapannya.
Selama ini Kumala Rani tetap beranggapan bahwa Jalu Samudra yang tampan itu masih buta seperti sebelumnya, dan lucunya lagi si Jalu sendiri malah lupa mengatakan pada gadis cantik bertubuh aduhai dengan bongkahan daging kenyal putih mulus di dadanya bahwa ia bisa melihat dengan jelas segala macam benda di dunia ini. Tentu saja wajah cantik dan tubuh mulus gadis itu juga tidak terlewatkan.
Buta melek, itulah istilah yang pas untuk kondisi Jalu Samudra saat ini!
Kumala Rani perlahan-lahan ia melepas baju atasnya di depan Jalu.
Tentu saja pemuda itu terlongong bengong melihat perbuatan si gadis cantik.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku melepas baju.”
“Untuk apa melepas baju? Kau kepanasan?”
“Aku mau mandi. Bodoh benar kau ini!”
“Mau mandi? Nggak salah, nih? Tapi aku kan ada di depanmu.” kata Jalu dengan sambil menatap ke arah Rani. “Ntar kau marahin seperti dulu lagi?”
“Biarin aja.” kata Rani sambil menggulung baju putihnya.
Saat ini gadis cantik itu masih mengenakan kutang putih tipis, hingga tidak bisa menutupi gumpalan daging segar montok putih mulus yang penuh seakan hendak meloncat keluar dengan ujung-ujung coklat kemerahan terbayang. Terlihat sekali kalau kutang putih tipis itu tidak sanggup memuat isi dada Kumala Rani.
“Aku kan bisa melihatmu mandi!?” ucap Jalu dengan jakun turun naik.
Bagaimana tidak turun naik, benda bulat padat menantang itu hanya sejarak satu jangkauan tangan saja.
“Hih-hi-hi, kamu khan buta ... jadi aku telanjang bulat di hadapanmu pun kau tidak akan bisa melihatku,” kata Kumala Rani sambil melepas jarik yang melingkar di pinggang. “Silahkan saja kau bayangkan diriku yang sedang mandi telanjang bulat! Aku tak bakalan marah!”
Srett!
Kini terpampanglah paha indah milik Kumala Rani lengkap dengan segala macam perabot yang sebelumnya tertutup rapat, termasuk pula pantat besar dan membulat. Kejutan sering dialami oleh Jalu Samudra, tapi kejutan kali inilah yang paling mengejutkan seumur hidupnya.
Melihat gadis cantik dengan sukarela telanjang bulat di hadapannya!
“Benar-benar sinting, ni anak,” pikir Jalu Samudra dengan mata jelalatan memandangi tubuh mulus dan dada padat Kumala Rani.
“Kau benar-benar mau mandi?” tanya Jalu Samudra saat melihat gadis itu melepaskan kutang putih tipis yang menutupi sepasang dada montok putih mulus itu.
Tuiing!
Sontak, buah dada montok putih mulus tergelar bebas di depan mata pemuda bermata putih.
Benar-benar bulat-bundar sempurna!
Sosok Kumala Rani yang tinggi langsing dengan kulit putih bersih dihiasi sepasang bukit kembar bulat montok, kencang dan padat menantang dengan ujung-ujung warna coklat kemerahan di tengah-tengah, tidak menggelantung seperti payudara gadis umumnya, tapi benar-benar berada pada posisi yang pas dan sempurna dilengkapi rambut kepala hitam legam panjang tergerai sampai punggung dibiarkan lepas bebas. Belum lagi dengan muka bulat telur serta bibir tipis kemerahan plus dada membusung kencang menambah pesona kecantikan Kumala Rani.
Tentu saja setan-setan burik di belakang Jalu mulai ngoceh seakan memberi aba-aba, 'sikat saja meen! Dah di depan mata tuh’!
Saat si gadis melepas perlahan-lahan benda kecil yang menutupi gerbang istana kenikmatan lengkap dengan hutan belantaranya, sudah membuat si Jalu menelan ludah saking terkejutnya.
Rani hanya tersenyum kecil melihat si buta tampan di depan turun naik buah jakunnya saat ia merapatkan pangkal paha putih mulus tanpa cacat itu.
“Pendengaranmu tajam juga! Pasti dalam otak kotormu sedang membayangkan tubuhku, bukan?” goda Kumala Rani.
“Tak perlu membayangkan ... aku sudah bisa melihatnya dengan jelas.”
“Hihihi, dasar pemuda buta! Tak mau melihat kelemahan diri sendiri!” kata Rani sambil mengangkat ke dua tangan, bermaksud mengikat rambut panjangnya. Tentu saja sepasang buah dada montok gadis itu sedikit bergoyang dan terangkat naik, menimbulkan sebuah gerakan indah mempesona.
“Rambutmu tidak perlu kau ikat. Kau lebih cantik apa adanya begitu!” saran Jalu Samudra pelan.
“Benarkah?” ucap Rani sambil menurunkan tangan, tidak jadi mengikat rambut panjangnya.
Kumala Rani bangkit berdiri dengan bebas. Tentu saja gerakan tubuh gadis cantik padat berisi semakin membuat bara di dada Jalu Samudra semakin terbakar. Pelan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit miliknya mulai bereaksi. Kencang dan keras mengencang.
“Duh, kenapa pilar tunggal penyangga langitku pakai ikutan bangun segala? Dalam posisi yang salah lagi,” keluh Jalu Samudra sambil mengubah posisi duduknya.
Byurr!
Tubuh telanjang Kumala Rani langsung terbenam ke dalam air. Bagai ikan, ia berenang kesana kemari di dalam sana begitu sampai di dasar danau buatannya, lalu dengan sedikit mengempos tenaga, ia meloncat ke atas.
Brashh ... !!
Air bermuncratan kesana kemari. Tubuh mulus penuh tetesan air keluar setengah badan ke atas. Dengan menggerakkan sepasang kaki putihnya, gadis itu terlihat mengambang di air. Pemandangan indah itu tidak luput dari mata putih Jalu yang semakin nanar memelototi tubuh mulus si gadis. Sebersit sinar mentari sore lolos dari kepungan dedaunan, dan biasnya jatuh tepat di tubuh telanjang menggairahkan itu. Jalu kembali menelan ludah. Payudara Kumala Rani yang tegak membusung tampak semakin indah dalam cahaya alami yang agak remang.
Namun yang pasti, Jalu Samudra yang jaraknya hanya setengah tombak dari tempat mandinya Kumala Rani bajunya langsung basah kuyup semua terkena cipratan air.
“Hi-hih-hik! Jalu, kau masih membayangkan tubuh mulusku, ya? Lihat aja ... lehermu naik turun begitu!”
“Enggak perlu dibayangin.”
“Alaaa ... nggak perlu mungkir deh ... “ seru Rani sambil mengibaskan tangan kiri.
Pratt!
Air kembali muncrat, dan semakin membasahi baju si pemuda. kali ini si gadis berenang mendekat ke tepi cerukan yang agak dangkal, lalu ia tersenyum sambil berdiri di dasar batu hitam, membiarkan permukaan air hanya menyentuh bagian bawah kedua payudaranya. Mata gadis itu bersinar nakal, karena ia tahu Jalu Samudra sedang terperangkap oleh daya khayal tentang tubuh telanjang miliknya. Kedua puting payudaranya mengkilat oleh air dan kedua bukit putih mulus di dadanya menggelembung seperti mengajukan tantangan.
“Oii ... kau mau membuatku jadi seperti ikan, ya,” seru Jalu sambil mengusap air yang mengenai wajah tampannya.
“Sekalian saja kau mandi disini. Airnya sejuk!”
“Mandi ... bersamamu?”
“Kenapa? Tidak mau?”
“Beneran nih?”
 
Si Pemanah Gadis – Bab 9


Si gadis hanya mengangguk pelan. Nun jauh di dasar hatinya, ia merasakan sesuatu yang unik saat bercakap-cakap dengan Jalu.
“Aneh! Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya. Sepertinya Jalu begitu memikat di hadapanku meski ia buta. Menginginkan seorang pemuda mandi bersama? Ini hal aneh yang pernah kulakukan.” pikirnya saat ia melihat si Jalu melepas pakaian biru dan celana hitamnya. “Sudahlah! Mungkin sudah saatnya aku membuka diri untuk pemuda lain.” Lalu sambungnya dalam hati, “Meski ia buta, tapi tampan juga. Dada bidang dengan postur tubuh yang tidak begitu kekar, dengan kulit bersih terawat rapi. Dia bukan pemuda malas yang biasa aku temui. Dan yang jelas ... dia pernah menyelamatkan nyawaku. Kalau cuma membiarkannya mandi disini, kukira tidak ada jeleknya. Lagian ia buta sejak kecil, sampai matanya copot pun juga tidak bakalan bisa melihat tubuh indahku. Anggap saja ini sebagai balas budiku padanya.”
Saat itu si Jalu sudah dalam keadaan setengah bugil, baju dan celana panjang sudah terlepas dan telah dilipat rapi, kini bersiap melepas celana dalamnya, tapi ia ragu-ragu.
Tentu saja keraguan itu dilihat oleh Kumala Rani.
“Lepas saja, kenapa sih? Apa perlu kubantu?” kata Kumala Rani sedikit nakal. Lagi-lagi ia merasa aneh sendiri, “Kok aku berani ngomong begitu sih?” pikirnya.
“Aku bisa sendiri, kok!” kata Jalu Samudra, “Beneran nih, mau ngajak mandi bersama? Ntar kalau kenapa-kenapa gimana?”
“Kenapa-kenapa gimana, maksudmu?”
Si Jalu hanya nyengir kuda sambil melepas celana satu-satunya yang masih menempel ditubuhnya, dalam hati ia tertawa senang, “Rupanya mau liat punyaku? Boleh!”
Sementara itu, setan-setan burik di belakang si Jalu berteriak-teriak kesenangan.
Begitu terlepas, mata Rani sedikit membelalak melihat benda yang tegak menantang di bawah perut si Jalu.
Pilar tunggal penyangga langit super jumbo!
“Wah ... gedhe banget!” pekik Kumala Rani sambil menutup mulut, agar tidak terlalu terdengar oleh si pemuda, dalam hati ia berkata, “Pilar tunggal penyangga langit Kakang Raganata kalah dengan milik si Jalu. Apa setiap orang buta memiliki pilar tunggal penyangga langit berukuran segitu?”
Si Jalu langsung terjun bebas.
Byurr!
Menimbulkan suara ramai yang mengagetkan beberapa burung di atas pohon sambil ribut mencicit seperti segerombolan gadis marah-marah.
Air muncrat kemana-mana, bahkan Rani sampai terpekik kecil.
Gadis itu berenang menjauh sambil tertawa kecil, sedang Jalu bagai ikan menyusul dengan cepat di belakangnya. Bagaimana pun juga ia sejak kecil tinggal dekat laut, berenang dan menangkap ikan adalah keahliannya, apalagi jika menangkap ikan cantik, tentu ia lebih ahli lagi!
Dua insan beda jenis pun mandi bersama, saling canda dengan kecipakan air. Ada kalanya tanpa sengaja tangan Jalu menyentuh buah dada sekal Rani, yang tentu saja gadis itu maklum karena beranggapan bahwa si pemuda benar-benar buta. Padahal yang sesungguhnya memang disengaja (mumpung ada kesempatan) dan ada kalanya pula tangan Rani membalas menyenggol pilar tunggal penyangga langit si pemuda dari bawah air.
“Bagaimana kalau kita bertanding?” kata Jalu sambil mengapung di air, dengan gaya tidur terlentang.
Gadis itu kaget juga melihat gaya renang terapung begitu.
“Bertanding apa?” tanya Kumala Rani dengan sedikit berdebar-debar, sebab memang baru kali ini ia mandi bersama seorang pemuda, meski pemuda itu buta sekalipun (itu anggapan Rani lho ... !)
“Asal tidak bertanding mengapung saja,” kata gadis itu kemudian.
“Bagaimana jika bertanding ... menyelam! Berani?”
“Siapa takut!”
“Lalu apa hukuman bagi yang kalah?” tanya Jalu.
“Tentu saja yang kalah harus tunduk pada yang menang!”
“Dalam hal apa?”
“Dalam segala hal!” timpal Rani cepat, tiba-tiba Rani menyadari bahwa ia salah kata. “Tung ... “
Namun terlambat!
Blubb!
Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu bagai kura-kura laut sudah menyelam lebih dulu ke dasar danau, lalu duduk manis di bawah sana dengan kepala mendongak ke atas.
Apalagi jika tidak memandang tubuh mulus si gadis dari bawah air!
“Brengsek benar dia! Mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” gerutu Kumala Rani, lalu mengambil napas dalam-dalam, terus menyelam ke dalam air. “Kau sudah menyelam duluan, sedang aku belakangan. Kau pasti kalah!” pikir Kumala Rani.
Blubb!
Kumala Rani bergegas menyelam ke dasar danau. Meski hanya sedalam tiga tombak, tapi tekanan air di tempat itu lumayan besar. Dan itu dirasakan oleh Kumala Rani. Gadis itu yakin dengan kemampuannya bertahan di dalam air, tentu saja dalam hal ini hawa tenaga dalam yang dimiliki si gadis sangat berperan serta.
Sepeminuman teh lamanya mereka berdua hanya duduk-duduk saja tanpa melakukan gerakan apa pun!
Kumala Rani memandang tajam seraut wajah tampan si Jalu, lalu dengan curi-curi pandang menatap pilar tunggal penyangga langit milik pemuda yang duduk di depannya. Selebar mukanya panas dan beberapa segelembung udara keluar tanpa sengaja saat ia membuka mulut.
Blubb!
“Kurang ajar! Jalu benar-benar berhasil memikat hatiku! Perasaanku jadi tidak karuan,” pikirnya sambil mengatur hawa dalam tubuhnya.
Sementara itu si Jalu tenang-tenang saja, sebab saat ini dirinya menggunakan salah satu jurus dari ‘18 Tapak Naga Penakluk’ yang bernama ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’ (Yu Yue Yu Yuan) yang selain bisa digunakan sebagai jurus tapak, juga berfungsi kuat berlama-lama di dalam air, karena ia menggunakan napas pori-pori kulit.
Curang juga dia!
Dua peminuman teh telah berlalu. Pertandingan menyelam antara Jalu Samudra dengan Kumala Rani sudah mendekati detik-detik akhir. Seluruh rongga dada Kumala Rani sudah panas terbakar karena terlalu lama menahan napas di dalam air. Beberapa gelembung air sudah berhamburan keluar, melayang sebentar ke atas dan akhirnya ...
Pyuss ... !
Pecah, membebaskan udara yang ada di dalamnya.
Payudara putih mulus dengan ujung coklat kemerahan semakin menggelembung padat. Hingga pada titik kemampuan yang dimilikinya, gadis itu akhirnya menyerah kalah, dengan sigap ia meluncur ke atas.
Byar!!
“Huah-hah-hah!”
Kumala Rani megap-megap sambil berusaha mengatur napas. Rongga dada segera terisi udara segar. Napas gadis cantik itu sudah pulih sebagian sambil melihat ke bawah.
“Kuat benar dia!”
Kumala Rani dengan napas yang masih sedikit tersengal-sengal berenang menepi, dan duduk di atas batu besar yang menonjol, hanya kepalanya saja yang diatas air, sedang dari leher ke bawah masih terendam. Sepasang kaki indahnya sedikit terbuka dalam posisi ditekuk sedikit, sebab batu tempat duduknya hanya sedalam setengah tombak saja. Sambil memejamkan mata ia beristirahat akibat pertandingan menyelam yang melelahkan itu.
Justru yang kelabakan sekarang adalah Jalu Samudra yang masih berada dibawah dan yang paling senang tentu saja setan-setan burik di belakang sana yang langsung bersorak gembira.
“Brengsek! Dia malah duduk menggodaku, sepertinya gerbang istana kenikmatan itu sengaja disediakan untukku,” pikir Jalu sambil terus memandangi tubuh telanjang Kumala Rani terutama pada segundukan gerbang istana kenikmatan yang ada di atas sana.
Pelan-pelan ia bangkit dari duduknya, lalu berenang pelan ke atas seperti kura-kura. Setelah dekat dengan sepasang betis indah Rani yang saat itu sedikit terpentang lebar, memperlihatkan sebentuk keindahan alami yang dimiliki para gadis. Kedua tangannya memeluk pelan paha mulus dan bibirnya bergerak mendekati gerbang istana kenikmatan.
Pemuda bermata putih melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tidak pernah di atas air, apalagi di bawah permukaan air!
Tentu saja Kumala Rani kaget bukan alang kepalang, tapi hanya sebentar kemudian ia sudah mengerang lirih sambil memegang erat di kepala pemuda itu di bawah air. Kedua pahanya terkuak melebar ketika lidah pemuda itu melakukan apa yang biasa ia lakukan di mulut. Lidah panas terus menjelajah nakal, semakin dalam dan semakin dalam.
Kenakalan yang disukai Kumala Rani!
“Uuhh ... ssst ... ahh ... nikmat sekali!” keluh si gadis, dalam hati ia berkata, “Tidak kukira dengan cara seperti itu aku bisa merasakan getaran nikmat yang menjalari seluruh tubuhku.”
Jalu Samudra sanggup menahan napas di dalam air cukup lama karena menggunakan ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’ (Yu Yue Yu Yuan). Tetapi dengan kegiatan baru ini, ia butuh udara lebih banyak. Cepat-cepat ia mengatur hawa di pori-pori kulitnya agar bisa mengambil udara yang ada di dalam air, lalu kembali ia melakukannya jurus bersilat lidah di dalam air. Kali ini pemuda itu mempraktekkan Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ untuk pertama kalinya terhadap seorang gadis. Seluk beluk dan lekuk tubuh gadis yang tertera jelas di dalam Kitab Dewa Dewi dihapalnya dengan cepat, terutama pada bagian titik-titik kenikmatan yang bisa memanjakan seorang gadis, salah satunya adalah setitik benda bulat kecil sebesar kacang yang berwarna merah muda.
Salah satu jurus 'Asmara Pemanah Gadis' adalah jurus ‘Tikus Menggali Lubang’, dimana jurus ini merupakan jurus rangsangan-pemanasan, tangan meraba-raba payudara sambil menjilat dengan lidah berlanjut hingga ke gerbang istana kenikmatan, namun jari tidak diperbolehkan masuk ke puncak gerbang kenikmatan, hanya menggesek-gesek lembut di sekitar atas pintu gerbang.
Sesaat Jalu melakukan sesuatu dengan kedua bibirnya di bawah sana, sontak Kumala Rani mengerang lirih dan merenggangkan lagi kedua belah pahanya. Ia ingin membuka diri selebar mungkin, karena rasanya ada sesuatu di dalam sana yang memerlukan sentuhan lembut tetapi cepat. Kumala Rani menggeliat sambil bertahan agar tidak merosot turun dari batu yang kini diduduki pantatnya!
Suatu saat Jalu mengambil napas segar ke permukaan air. Mengambil nafas dalam-dalam sebelum tenggelam lagi didorong lembut tetapi setengah memaksa oleh bidadari cantik yang sedang bertahta di atas batu dalam air. Gerakannya semakin cepat dan semakin tangkas. Dan Kumala Rani merasakan titik puncak asmara datang secepat kilat. Tubuhnya menegang-meregang, lalu bergeletar kecil dan berkali-kali.
“Oooh!” jeritnya sambil memejamkan mata erat-erat.
Ia tidak mau terbangun dari mimpi indah ini!
Sentakan-sentakan nikmat memenuhi sekujur tubuh gadis ini berputar dalam hitungan delapan, sembilan atau mungkin belasan kali.
 
Si Pemanah Gadis – Bab 10


Kumala Rani terus menggeliat untuk yang kesekian kalinya dalam puncak asmara yang berhasil didakinya dengan sempurna, sebelum membiarkan tubuhnya luruh, masuk ke air lagi sebatas leher.
“Gila!” pikir pemuda ini dalam hati, “Gadis ini cepat sekali mencapai puncak asmara.”
Tapi justru apa yang barusan dia lakukan benar-benar lebih gila.
Tanpa permisi dulu meminta persetujuan si gadis, langsung serobot begitu saja!
Dua jenis manusia itu melanjutkan kegiatan saling menyalurkan kenikmatan ragawinya. Ada saat-saat di mana Rani seperti sedang meluncur cepat di pusaran air yang bergelora, terbawa arus entah ke mana, cepat sekali menggelandang di antara lika-liku kenikmatan yang diberikan secara jelas dan nyata oleh Jalu. Ada saat di mana sang gadis bagai melambung di atas bola-bola air, ada kalanya bagai melayang di atas awan yang bergumpal-gumpal.
Seluruh pori-pori tubuhnya dijalari rasa nikmat yang muncul bertubi-tubi ketika kulit mulusnya tersentuh, tertelusur, terjilat, tergigit, tersedot ...
“Oh ... !”
Rani sungguh tak pernah menyangka bahwa kendali dirinya bisa begitu cepat lepas. Ia membiarkan saja Jalu Samudra menciumi lembah dangkal di antara dua bukit sekal di dada, membiarkan tangannya meremas dan memilin bergantian di ujung-ujung bukit kembarnya. Dalam Kitab Dewa Dewi disebutkan salah satu kiat melakukan rangkaian jurus asmara tertinggi adalah ‘rayulah, rabahlah, biarkan dia merintihlah saat bersetubuh. Menjilat dan biarkan dia menjerit mencurahkan isi hatinya'.
Kali ini si Jalu sudah mulai mengawali langkah pertama!
Jalu mendorong tubuh mereka berdua semakin ke pinggir, ke sebuah lokasi yang agak lapang beralaskan batu hitam datar. Di situ Jalu mencoba melanjutkan dan menyempurnakan kegiatan mereka. Kali ini pemuda murid tokoh sakti masa silam itu bersiap-siap melancarkan jurus ‘Naga Bersalto Di Udara‘ dimana si gadis berbaring terlentang, sementara si laki-laki menindih dan menyerang dari atas dengan pilar tunggal penyangga langit yang kokoh bagai batu karang.
Kumala Rani terus mendesah, menggeliat, terlentang pasrah, dibiarkan pemuda tampan yang juga telanjang bulat itu mengangkat kedua lututnya, menguak sebentuk gerbang istana kenikmatan di antara kedua belah paha.
Dengan lembut, ujung keras pilar tunggal penyangga langit itu mendekat, berusaha menyelusup masuk dengan pelan namun pasti. Tentu saja Jalu sedikit kesulitan. Sebab selain baru pertama kali, senjata pusaka miliknya terlalu besar untuk ukuran gerbang istana kenikmatan Kumala Rani yang sempit.
Baru masuk ujungnya saja, Rani sudah meringis.
“Ughh ... “
“Sakit ... ?”
“Lanjut ... “ bisiknya parau ketika terasa Jalu berhenti sejenak di tengah jalan.
Jalu mendorong masuk lebih dalam.
“Oh ... !”
Kembali Kumala Rani hanya bisa merasakan dirinya terbelah dua dari ujung ke ujung.
Dan kembali pula Jalu mendorong masuk lebih dalam lagi. Kumala Rani menjerit kecil dan menggigit pundak pemuda yang menindihnya. Terasalah sudah seluruh batang kenyal itu di dalam gerbang istana miliknya, begitu besar dan panjang hingga bergetar menimbulkan rentetan nikmat di sepanjang dinding-dinding lembut bagian dalam istana.
Sambil terus mendorong memaju-mundurkan pilar tunggal penyangga langit, bibir si Jalu memagut lembut bibir merah merekah Rani yang langsung menerima. Lidah saling bertaut di dalam sana, menimbulkan getaran-getaran halus.
Plukk!
Ciuman si Jalu terlepas, bergerak turun menyusuri leher, terus turun ke pundak, bermain sebentar di gundukan daging kenyal yang tegak menantang, kemudian menyambar cepat pada ujung-ujung bukit yang coklat kemerahan.
“Oooh ... “ keluh Rani. “Aku tidak menyangka Jalu begitu pandai memanjakan diriku. Tidak seperti Kakang Raganata yang langsung tancap.” keluhnya dalam hati sambil membuat perbandingan jurus-jurus asmara milik Jalu dengan mantan kekasihnya. “Dia benar-benar hebat! Benar-benar perkasa!”
Setelah selesai dengan yang kiri, si Jalu berpindah posisi ke yang kanan, sedang tangan kiri yang bebas segera meluncur dan meremas, memilin bagian satunya, dada bulat menggairahkan!
“Sebentar lagi ... “ bisik hatinya tidak karuan “ ... sebentar lagi sempurna sudah ... “
“Lebih cepat lagi ... “ desah Kumala Rani. “Ahhhhh ... !”
Rupanya gadis itu mendambakan gerakan-gerakan cepat mengagetkan. Hunjaman dalam hingga mampu membentur-bentur apa saja yang ada di dalam sana, kalau perlu tikaman tak kenal ampun.
“Ja ... lu ... “ nama itu terlompat dari mulutnya yang terbuka terengah-engah.
Kumala Rani sampailah sudah pada awal untaian kematian kecil yang nikmat itu. Ia pejamkan mata erat-erat, berkonsentrasi pada luar-dalam yang terpancar kuat dari dalam gerbang istana kenikmatan miliknya yang menghadirkan kembali puncak-puncak asmara.
Jalu semakin mempercepat gerakannya. Menambah daya serang. Meningkatkan kemampuan tertinggi dari jurus-jurus asmara, semuanya demi gadis yang sedang menggelepar-gelepar mencari pelepasan birahi. Demi menunduk Rani. Jalu semakin menggenjot sekuat tenaga.
Srett! Srett!
Dan juga ... karena sebuah kekalahan yang ditanggung gadis itu!
Rani menjerit, mengeluh dan akhirnya ... menggeliat!
“Aaaghh ...”
Begitu Kumala Rani menyelesaikan puncak asmaranya, pemuda itu mengubah posisi, dengan pilar tunggal penyangga langit masih terselip rapat di dalam gerbang istana kenikmatan Kumala Rani, si Jalu menggunakan jurus ‘Monyet Bersilat’, dimana posisi si gadis telentang dengan pinggang disanggah oleh si pemuda, lututnya didorong sedemikian rupa hingga menempel ke dada dan bagian punggungnya terangkat ke atas, sepasang betis diletakkan pada pundak si pemuda. Jika pada gerakan awal seperti jurus 'Monyet Bersilat' tapi pada posisi kaki ia menggunakan jurus 'Burung Meraung’ yaitu jurus dimana si gadis berbaring dengan kaki diangkat, pria berlutut dan memasukkan pilar tunggal penyangga langit sampai ke daerah gerbang dalam istana yang gelap dan lembab.
Jurus ini membutuhkan pengendalian diri yang sangat tinggi dan dalam hal ini, pemuda bermata putih itu justru sangat menguasai!
“Ooh ... apalagi yang ingin dilakukannya?” pikir Kumala Rani.
Ia tersenyum saja sambil mengikuti kemauan si Jalu.
Pada serangan pertama, Kumala Rani tersedak nikmat karena ujung pilar tunggal penyangga langit tanpa permisi langsung menghantam ujung dinding yang paling dalam.
“Hegh ... heghh ... mmmh ... !!”
Suara itu cukup keras terdengar.
“Gila! Ini lebih nikmat dari yang tadi!” pikirnya.
Begitulah, sampai petang menjelang, entah sudah berapa kali Kumala Rani mendaki dan mencapai puncak asmara. Namun anehnya, hingga sekarang ini si Jalu belum juga memuntahkan lahar panas miliknya sebagai titian puncak asmara seorang pemuda.
Keluhan dan lenguhan datang silih berganti baik dari mulut Jalu dan Rani. Saling pagut, saling lilit dan saling raba dilakukan oleh dua insan yang sedang berlayar di tengah samudra.
“Luar biasa! Sudah begini lama, ia masih bisa bertahan! Benar-benar pejantan tangguh!” pikir Rani. “Kakang Raganata pasti sudah jatuh tertidur sedari tadi.”
“Jalu ... “ kata Rani di sela-sela lenguhan kecilnya.
“Apa?”
“Kau belum lelah?”
“Belum.” jawab Jalu sambil tetap melakukan kegiatannya. Tangan kiri kanan meremas-remas benda kenyal Kumala Rani sedang pinggangnya bergerak maju mundur dengan cepat.
“Aku ada satu permintaan,” kata Kumala Rani sambil memejamkan mata menikmati serangan-serangan yang diterima bawah perutnya.
“Apa yang kau minta?”
“Keluar ... kan ... “ suara Kumala Rani terhenti karena Jalu melakukan serangan cepat membahana pada liang miliknya. “ .. ooohh .. “
“Apa ... “
“Keluarkan ... cairan ... keperkasaanmu di dalam sana ... aku sudah hampir sam ... pai ... sstt ... “ Rani berkata sambil menggoyang-goyangkan pantatnya yang besar untuk menambah rasa geli-geli nikmat yang serasa mengaduk-aduk gerbang dalam istana.
“Kau yakin?”
“Cerewet! Cepat lakukan perintahku!” bentak Rani, karena saat ini ia sudah merasakan bahwa gelombang asmara akan datang lebih besar lagi dari sebelumnya dan ia ingin sekali bisa pada saat yang bersamaan si Jalu memuntahkan lahar panasnya.
Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai.
Srepp!
Begitu tenaga ditarik, ia mengganti dengan sebuah tarikan napas lembut, mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga langit.
“Terima ini, sayang!” kata Jalu sambil mempercepat gerakan.
Kumala Rani sampai terguncang-guncang, tapi justru inilah yang diharapkannya. Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih cepat!
“Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... “
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dinding-dinding gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... !
Sebentuk cairan panas menggelegak tersembur keluar diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan. Dan bersamaan dengan itu pula, Kumala Rani mengalami hal yang sama.
Serr ... !
Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam.
Saling sembur dan saling semprot!
Jika tubuh si Jalu menegang sambil mendekat erat punggung si gadis hingga dada padat Rani menempel erat dada bidang si Jalu yang membuat pilar tunggal penyangga langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung, lain halnya dengan Kumala Rani. Tubuhnya melengkung indah ke depan dengan kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pinggang si Jalu, seakan dengan begitu, ia bisa memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin membusung.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas.
“Kau benar-benar pejantan tangguh, Jalu.” kata Kumala Rani sambil berpindah posisi setelah gelombang asmaranya mereda. Mereka berdua beristirahat sambil berpelukan erat dimana kali ini posisi Jalu di bawah, sedang posisi Rani berada di atas Jalu, dan tentu saja pilar tunggal penyangga langit masih tercengkeram erat di dalam gerbang istana kenikmatan.
“Mengapa kau katakan begitu?”
Rani pun mulai bercerita tentang masa lalunya pada si pemuda yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan ragawi.
“Dulu ... sekitar dua tahun yang lalu, ditempat ini pula aku serahkan milikku yang paling berharga pada Kakang Raganata, tunanganku. Kami begitu bernafsu melakukannya, dan setelah itu hanya kekecewaan yang aku dapat. Belum pernah aku merasakan seperti apa yang aku rasakan saat bersamamu. Rasanya beda jauh dan jauh beda.”
“Benarkah?”
Rani hanya mengangguk pelan, lalu ia merengkuh bahu si pemuda dan melumat bibir dengan lembut serta kaki sedikit di tekuk ke belakang.
Wah ... rujak bibir nih!
“Tapi ... aku hanya merasakan satu keanehan di dalam sana.” kata Rani setelah melepas pagutan panasnya. “Cairan keperkasaanmu terasa lain.”
“Sebenarnya ... itu bukan cairan keperkasaanku, tapi hawa keperkasaanku.”
“Hawa keperkasaan?”
Jalu Samudra mengangguk.
“Hawa ini hanya sebuah saluran tenaga lembut, memang hasil akhir agak sedikit mirip dengan cairan keperkasaan tapi berbeda,” kata Jalu, lalu sambungnya, “ ... hawa ini berasal dari tekanan udara yang diolah di perut, seperti mengolah tenaga dalam. Untuk memancarkan hawa keperkasaan membutuhkan pengaturan tenaga yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Ilmu ini dinamakan jurus 'Perjaka Murni'!”
“Apa akibat dari hawa keperkasaan itu?”
“Tidak ada ... hanya rasa nyaman yang menjalari seluruh tubuh. Dan yang pasti ... kau tidak bakalan hamil gara-gara hawa keperkasaanku!” seru Jalu sambil meraih punggung si gadis, bibir ranum di depannya langsung dilumat dengan penuh perasaan. Tentu saja badan segar dengan buah dada sekal dan menantang langsung beradu keras dengan dada bidang si pemuda.
Sementara mulut masih bertautan, Kumala Rani yang mengambil inisiatif terlebih dahulu, segera ia menaik turunkan pantatnya dengan dengan dada terayun-ayun ke depan.
“Hemm ... jurus ini dalam Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ dinamakan 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang'!” pikir Jalu sambil membalas lumatan bibir si gadis.
Jurus 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang' adalah jurus dimana posisi pasangan duduk bersama dengan kedudukan gadis di atas kaki pria. Kaki sedikit direntangkan hingga kaki sang pria berada di bawah kaki sang gadis. Kemudian kaki gadis ditekankan ke perut pria agar pilar tunggal penyangga langit dapat digerakan maju mundur serta dapat keluar masuk gerbang istana kenikmatan dengan bebas.
“Uhh ... “
Lenguhan dan desahan napas kembali terdengar di tepi danau. Suasana yang menjelang petang justru menambah keromantisan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu.
Melihat bongkahan daging kenyal putih mulus bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung coklat kemerahan terayun-ayun bebas di depan mata, membuat Jalu semakin bersemangat.
Happ!
Dengan sebuah tangkapan mulut yang manis, ujung bongkahan daging sebelah kiri tertangkap mulut, sedang tangan kiri merengkuh pinggang ke depan dan tangan kanan dengan lembut meremas dan memilin benda menggairahkan itu lewat jurus 'Mematuk Keras Dan Berputar Ringan Persis Elang Memecahkan Kulit Gabah'.
Sebentar kemudian, Kumala Rani kembali merasakan gelombang tinggi mendera gerbang istana kenikmatan dengan cepat.
“Ssst ... shhh ... “ desisan terdengar saat gadis itu sudah berada di ambang puncak asmara.
Dan ...
“Aahhh ... “
Diikuti dengan sentakan-sentakan keras, gadis itu menekankan keras gerbang istana kenikmatannya dalam-dalam!
... tujuh ... delapan helaan napas berlalu. Kembali gadis itu terkulai untuk kesekian kalinya. Kali ini dahaga ragawinya benar-benar terpuaskan. Setelah beristirhat sejenak, Jalu Samudra dan Kumala Rani membersihkan badan masing-masing, tentu saja diselingi dengan remasan dan pagutan-pagutan kecil.
 
up lagi suhu... bakalan ane jabanin dah ngasih comen ama like sampai pagi...


biar ada bacaan pas lagi jaga orang orangan @sawah515

:Peace:


:haha:

Ane kudu siap2 nich bakar menyan bakar dupa bakar beha buat nangkal serangan si tytyt nich, :pantat:
Lanjoooooooottttttt

Itu jgn lupa cong si ratu dangdut jangan diangurin mau ngeluarin jurus apa lg nich critanya pak bodong nanti wkwkw
 
Ane kudu siap2 nich bakar menyan bakar dupa bakar beha buat nangkal serangan si tytyt nich, :pantat:
Lanjoooooooottttttt

Itu jgn lupa cong si ratu dangdut jangan diangurin mau ngeluarin jurus apa lg nich critanya pak bodong nanti wkwkw
wkwkwkwkwk bakar beha hu ga sekalian cdnya jg
 
anjir mah di jalu untung bnyk.





apa ini saatny pilar tunggal penyannga langit beraksi ??
 
Si Pemanah Gadis – Bab 11


Sebentar kemudian, mereka berdua telah berjalan berendeng menuju ke desa.
Tanpa ketinggalan tongkat hitam Jalu kembali memerankan diri sebagai penunjuk jalan bagi si buta. Lucu juga, sudah bisa melihat dengan sempurna masih menggunakan tongkat penunjuk jalan. dalam hal ini si Jalu mempunyai pendapat sendiri. Waktu di danau, ia pernah sekali bercermin pada air. Terlihat dengan jelas bahwa matanya meski bisa melihat dengan sempurna, tapi tetap berwarna putih seperti orang buta, jadi tidak ada salahnya ia menggunakan tongkat itu.
Yang kedua, tongkat hitam itu adalah warisan satu-satunya dari nenek baik hati yang mengasuhnya sejak bayi. dan yang terakhir, tongkat itu bisa digunakan sebagai senjata, dimana antara ujung ke ujung dikaitkan seutas benang tipis dari kulit ular yang banyak ditemuinya di gua bawah tanah. Jika ditarik dan direntangkan dari tengah, akan membentuk sebuah busur yang kuat.
Busur tongkat hitam digunakan untuk melengkapi '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang telah dikuasainya dengan sempurna, meski dengan kemampuannya sekarang, tanpa busur pun ia bisa menggunakan Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' untuk membentuk hawa panah dahsyat.
Saat malam sudah merembang dan dewi malam sudah bertahta di atas langit, dua muda-mudi berjalan bergandengan tangan sambil bersenda gurau menuju ke sebuah pondok kecil namun terawat rapi. Di kiri kanan tumbuh dengan subur tanaman pisang dan pepaya yang saat itu sedang ranum-ranum.
Tentu saja kedatangan dua orang yang adalah Kumala Rani dan Jalu Samudra diketahui oleh dua laki-laki parobaya yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok klobot. Yang satu selalu terlihat bergerak lamban sambil membolak-balik sesuatu di tangan, sedang satunya terlihat terkantuk-kantuk menikmati sedapnya klobot yang kini tinggal beberapa hisapan lagi. Siapa lagi jika bukan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang keheranan melihat kedatangan gadis cantik anak asuh mereka. Kalau pulang sedikit malam sudah bukan hal baru lagi bagi dua orang itu, tapi kini justru terlihat sesuatu yang ganjil.
Kumala Rani pulang dengan menggandeng mesra seorang pemuda!
Tapi itu masih belum seberapa. Yang luar biasa adalah sinar mata gadis itu yang sekarang begitu hidup, begitu riang, begitu cemerlang laksana bintang dan teramat sangat bahagia, hal yang sudah dua tahun tidak dijumpai oleh pasangan Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur.
“Paman Suro! Paman Bledek!” teriaknya nyaring. “Lihat siapa yang datang bersamaku!?”
“Gadis bandel! Kenapa baru malam kau pulang? Kelayapan kemana saja kau?” bentak Si Mulut Guntur.
Kalau perkara bentak membentak, dia nih jagonya!
Rani yang biasanya mengkeret saat dibentak Suro Bledek, kini justru tertawa terkikik-kikik sambil tangan kiri menuding-nuding hidung sang paman.
“hi-hi-hik! Baru kali ini aku tahu ... jika Paman Bledek marah seperti itu, wajahnya benar-benar lucu, hi-hi-hik!”
“Dasar gadis sinting!” umpat Suro Bledek, tapi kali ini tidak begitu keras seperti sebelumnya, “Dengan siapa kau datang?”
“Pacar barumu ya?” tanya selidik Suro Keong.
“Masa' paman berdua sudah lupa? Coba perhatikan baik-baik!” kata Kumala Rani sambil meletakkan bakul cucian di dipan bambu panjang. “Coba tebak deh!”
Suro Keong dan Suro Bledek bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari pemuda tampan yang berdiri di depan mereka.
Persis dua orang sedang menaksir harga ayam aduan!
Tentu saja si Jalu merasa risih dipelototi dua orang laki-laki seperti mereka.
“Brengsek! Dikiranya aku ayam aduan apa?” makinya dalam hati.
Kalau ngomong keras, ntar dikira ngga sopan dan pasti dapat bonus tempelengan!
“Hemm ... siapa ya?” gumam Suro Keong sambil mengusap-usap dagunya yang klimis.
“Seperti aku pernah melihatmu, bocah ganteng,” tutur Suro Bledek, “Aku tahu! ... kau pasti ... “
Tiga orang yang mendengarnya menahan napas saat suara Suro Bledek menggantung.
“Pasti siapa?” tanya Suro Keong tidak tahan.
“Pasti ... pacar barunya gadis bengal itu!” sahut Suro Bledek kemudian.
Plakk!
Suro Bledek langsung celeng di tempeleng Suro Keong.
“Setan alas! Kenapa kau memukul kepalaku?” bentak Suro Bledek sambil mengelus-elus kepalanya.
Pening juga dia!
“****** benar kau ini! Tanpa kau kasih tahu pun aku juga tahu!” timpal Suro Keong, “Lihat saja wajah keponakanmu itu! Cerah ceria! Mendung saja tidak ada! Itu artinya pemuda buta ini memang pacarnya. Eh ... tunggu ... tunggu dulu!” seru Suro Keong sambil mengamat-amati wajah dan sepasang mata putih pemuda bertongkat hitam itu. “Aaaahh .... aku tahu ... aku tahu ... “
“Apa yang kau ketahui?”
“Kau masih ingat dengan bocah buta yang sepuluh tahun lalu kita temui di ladang?”
“Ingat! Ingat! Lalu kenapa?” tanya Suro Bledek dengan muka ketolol-tololan.
“Siapa?”
“Huuh,” dengusnya pelan, “Siapa lagi jika bukan Jalu? Bocah yang dulu ditangisi keras-keras sama gadis bandel itu.”
“Siapa yang menangis?” kata Kumala Rani yang sedari awal hanya diam, saling beradu pandang dengan si pemuda bermata putih.
“Lho ... jadi air mata yang mengalir itu bukan air mata, tho?” tanya Suro Bledek dengan wajah ketolol-tololan.
“Paman brengsek!” seru Rani sambil mengayunkan tangan untuk mencubit.
“Ha-ha-ha!”
Suro Keong dan Jalu Samudra tertawa keras melihat gaya bercanda Suro Bledek yang kocak, namun kadang menjengkelkan.
Kini ... pondok kecil itu terlihat ramai.
Tentu saja yang bikin ramai Jalu Samudra yang ketularan penyakit sintingnya Suro Bledek. Gelak tawa bercampur dengan jeritan khas terdengar santer. Hingga saat santap malam tiba, masih saja mereka berempat bersenda gurau seperti keluarga besar.
“Rani ... ada yang ingin Paman katakan padamu.” kata Suro Keong.
“Silahkan paman,” kata Rani sambil melirik sekilas pada Jalu.
Suro Keong menyodorkan secarik kertas pada gadis itu.
“Bacalah!”
Kumala Rani menerima kertas, dan langsung membacanya dengan seksama. Sebentar kemudian, seluruh mukanya merah padam dengan napas berat tersengal-sengal.
“Gagak Cemani keparat! Tidak ada habis-habisnya kalian mengganggu ketenteraman keluargaku!”
Rupanya surat itu berisi permintaan bantuan dari Nila Sawitri kepada Suro Keong dan Suro Bledek, dimana disebutkan dalam surat bahwa Perkumpulan Gagak Cemani dalam tiga hari mendatang akan membumihanguskan seluruh Partai Naga Langit jika tidak mau memberitahukan tentang adanya Mata Malaikat. Sebab orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, terutama sekali ketuanya, si Gagak Setan Tangan Seribu sangat berkeyakinan bahwa dua orang terakhir murid Perguruan Gunung Putri mengetahui dengan jelas letak keberadaan Mata Malaikat.
Bahkan dari kabar terakhir yang terdengar, Perserikatan Mata Emas telah hancur lebur di tangan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
“Kita harus membantu Kangmbok Nila dan Kakang Rangga, Paman!” kata Kumala Rani dengan berapi-api. “Bagaimana menurutmu, Kakang Jalu?”
“Betul katamu, Rani! Orang-orang Gagak Cemani kelihatannya harus diberantas dari muka bumi. Hanya karena kabar burung yang tidak jelas sudah menyusahkan orang banyak,” timpal Jalu, lalu tersenyum kecil saat mendengar sebutan ‘Kakang’ untuknya.
Duuuh ... manisnya!
“Kalau begitu ... kita berangkat saja bersama-sama membantu Partai Naga Langit.” kata Kumala Rani seraya bangkit dari duduknya.
“Tidak!”
“Kenapa, Paman!?”
“Malam ini biar kami duluan yang berangkat. Besok pagi kalian pergi menyusul ke sana.”
“Kenapa kita tidak berangkat bersama-sama saja?” usul Jalu Samudra. “Bukankah itu lebih ... “
“Justru itulah sebabnya kami ingin mendahului kalian.” potong Suro Keong, lalu lanjutnya, “Aku dan Bledek akan mengintai seberapa besar kekuatan lawan. Sebab menurut pendapatku, tidak mungkin orang-orang Gagak Cemani hantam kromo begitu saja terhadap Partai Naga Langit.” tutur Suro Keong kemudian, lalu lanjutnya, “ ... jika berangkat bersama kalian ... aku takut tidak bisa melindungi kalian dengan sebaik-baiknya.”
“Bukannya kami meremehkan kepandaian kalian, tapi ini jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh.” kata Suro Bledek, “kita bantu Partai Naga Langit dari belakang!”
“Benar juga apa kata Paman Suro Keong, Rani!” sahut Jalu sambil menyentuh lembut lengan kiri gadis itu dengan maksud menenangkan, “Cara ini bisa digunakan untuk mengurangi jumlah lawan. Kukira hanya itu cara yang terbaik saat ini!”
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, akhirnya Kumala Rani menyerah juga, “Baiklah! Jika itu memang cara yang terbaik. Kapan Paman berangkat?”
“Sekarang juga!” kata Suro Keong bangkit berdiri diikuti dengan Suro Bledek, lalu melangkah keluar.
“Kutunggu kalian di Gunung Naga,” kata Suro Keong, lalu berkelebat cepat menembus kegelapan malam.
wuuss!!
Suro Bledek juga melakukan hal yang sama, tapi ia kembali lagi menghampiri dua muda-mudi yang berdiri berjajar itu.
“Apa apa lagi, Paman?” tanya Kumala Rani, heran.
“Kalian berdua kutinggal disini. Ingat jangan macam-macam, ya?” kata Suro Bledek sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu berkelebat cepat menyusul Suro Keong.
“Jangan khawatir, Paman! Kami tidak akan macam-macam kok,” seru Rani.
“Tenang saja, Paman! Kami tidak akan macam-macam, cuma ... satu macam saja kok,” ucap Jalu dengan diikuti cengiran konyol, setelah mengetahui dengan pasti bahwa dua orang itu benar-benar telah pergi jauh.
“Kau berani?” kata Rani sambil berkacak pinggang.
“Siapa bilang aku tidak berani?” kata Jalu sambil memegang dagu si gadis.
Kumala Rani hanya mendengus lirih saat bibir pemuda tampan yang membuat jantung berdebar-debar keras melumat bibirnya.
“Aku ingin tanya satu hal padamu?” tanya Jalu sambil melepas pagutan mautnya.
Rani hanya mendesah saja, “Apa yang kau tanyakan, Kang?”
“Sejak kapan kau memanggilku Kakang?”
“Aaaah ... brengsek!” seru Rani sambil memukul-mukul pelan dada Jalu.
Apalagi jika bukan pukulan mesra?
“Memangnya kau tidak suka?”
“Tentu saja suka dan ingin sekali.” sahut Jalu sambil menangkap dua tangan mulus yang kini menempel di dada bidangnya. “Apakah kau mencintaiku?” tanya Jalu tiba-tiba.
Pertanyaan yang mendadak itu langsung membuat selebar pipi Rani merah merona. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
“Sejak kapan?” tanya Jalu sambil memandang lekat mata bening didepannya.
Dengan muka semakin menunduk karena malu, ia berkata, “Sejak kita bertemu. Dan yang pasti sejak Kakang menyelamatkan diriku dari sergapan ular di danau. Mulai saat itu aku sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku akan mengabdikan diriku seluruh jiwa raga.”
“Lalu ... kenapa kau berhubungan dengan Raganata?” tanya Jalu Samudra.
Suaranya tetap lembut dan tidak ada nada cemburu disana.
Kumala Rani memberanikan diri memandang wajah tampan pemuda yang kini sedang meremas-remas dua tangannya.
“Waktu itu ... aku menduga bahwa kau dicelakai oleh Sembilan Gagak Sakti dan telah tewas. Aku begitu mendendam pada mereka karena mengakibatkan penolongku tewas dan yang lebih menyedihkan, jasadmu lenyap, yang tersisa hanyalah sobekan bajumu saja.” Rani berkata sambil melepaskan ikatan pita biru laut di kepalanya. “Inilah sobekan bajumu itu, Kakang Jalu! Sampai sekarang aku masih menyimpannya.”
Jalu Samudra begitu terharu melihat ketulusan cinta gadis itu padanya.
“Tapi Rani ... aku khan buta. Tidak bisa melihat ... “
“Sttt!” gadis itu menempelkan jari telunjuk di bibir si pemuda, “Kakang, cintaku tidak mengenal batas! Yang aku cintai adalah hati tulusmu, jiwa budimanmu! Cacat fisikmu tidak menyurutkan langkahku untuk terus mencintaimu. Meski aku pernah menjalin asmara dengan pemuda lain, namun di dasar hatiku yang paling dalam, namamu terukir indah disini.” kata Kumala Rani sambil menyentuh dada kiri.
Jalu Samudra semakin terharu mendengar ungkapan rasa cinta gadis itu. Dengan serta merta ia memeluk erat tubuh montok Kumala Rani dan di balas pula dengan pelukan hangat dari si gadis.
Dua muda-mudi yang dulu dipisahkan oleh waktu, kini bisa bersatu kembali meski dalam suasana haru. Disertai ciuman panas membara, bibir dan lidah saling bertaut seperti bertautnya cinta mereka.
“Kakang, kapan kita berangkat?” tanya Rani diantara desahan menggelora, saat pemuda itu menyusuri leher jenjangnya.
“Apa kau begitu tergesa-gesa hingga melewatkan mau malam pengantin kita?”
“Ahhh ... Kakang,” gumam Kumala Rani sambil merangkul mesra sebuah gigitan kecil mampir di telinga.
Dengan sigap Jalu membopong tubuh montok Kumala Rani yang segera memeluk erat pundak dan leher Jalu, bahkan disertai desahan manja, entah apa yang diperbuat Jalu pada Rani, sehingga dia bisa berdesah seperti itu.
“Kakang ... “
“Hmmh ... “
“Malam ini aku hanya ingin tidur dalam pelukanmu.”
“Tidak mau 'yang lain'?”
“Hi-hi-hik ... Kakang genit ... “
“Baiklah ... Kakang juga lelah gara-gara mandi di danau tadi sore,” kata Jalu sambil merebahkan tubuh Kumala Rani diatas kasur empuk, lalu ia menyusul merebahkan diri di samping si gadis yang segera memeluk erat sambil memejamkan mata.
Kali ini ... mereka benar-benar tidur!

-o0o-
 
Jooossss...
Pendekar nya lumayan mesum...
Hahahaha...
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd