Si Pemanah Gadis – Bab 11
Sebentar kemudian, mereka berdua telah berjalan berendeng menuju ke desa.
Tanpa ketinggalan tongkat hitam Jalu kembali memerankan diri sebagai penunjuk jalan bagi si buta. Lucu juga, sudah bisa melihat dengan sempurna masih menggunakan tongkat penunjuk jalan. dalam hal ini si Jalu mempunyai pendapat sendiri. Waktu di danau, ia pernah sekali bercermin pada air. Terlihat dengan jelas bahwa matanya meski bisa melihat dengan sempurna, tapi tetap berwarna putih seperti orang buta, jadi tidak ada salahnya ia menggunakan tongkat itu.
Yang kedua, tongkat hitam itu adalah warisan satu-satunya dari nenek baik hati yang mengasuhnya sejak bayi. dan yang terakhir, tongkat itu bisa digunakan sebagai senjata, dimana antara ujung ke ujung dikaitkan seutas benang tipis dari kulit ular yang banyak ditemuinya di gua bawah tanah. Jika ditarik dan direntangkan dari tengah, akan membentuk sebuah busur yang kuat.
Busur tongkat hitam digunakan untuk melengkapi '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang telah dikuasainya dengan sempurna, meski dengan kemampuannya sekarang, tanpa busur pun ia bisa menggunakan Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' untuk membentuk hawa panah dahsyat.
Saat malam sudah merembang dan dewi malam sudah bertahta di atas langit, dua muda-mudi berjalan bergandengan tangan sambil bersenda gurau menuju ke sebuah pondok kecil namun terawat rapi. Di kiri kanan tumbuh dengan subur tanaman pisang dan pepaya yang saat itu sedang ranum-ranum.
Tentu saja kedatangan dua orang yang adalah Kumala Rani dan Jalu Samudra diketahui oleh dua laki-laki parobaya yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok klobot. Yang satu selalu terlihat bergerak lamban sambil membolak-balik sesuatu di tangan, sedang satunya terlihat terkantuk-kantuk menikmati sedapnya klobot yang kini tinggal beberapa hisapan lagi. Siapa lagi jika bukan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang keheranan melihat kedatangan gadis cantik anak asuh mereka. Kalau pulang sedikit malam sudah bukan hal baru lagi bagi dua orang itu, tapi kini justru terlihat sesuatu yang ganjil.
Kumala Rani pulang dengan menggandeng mesra seorang pemuda!
Tapi itu masih belum seberapa. Yang luar biasa adalah sinar mata gadis itu yang sekarang begitu hidup, begitu riang, begitu cemerlang laksana bintang dan teramat sangat bahagia, hal yang sudah dua tahun tidak dijumpai oleh pasangan Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur.
“Paman Suro! Paman Bledek!” teriaknya nyaring. “Lihat siapa yang datang bersamaku!?”
“Gadis bandel! Kenapa baru malam kau pulang? Kelayapan kemana saja kau?” bentak Si Mulut Guntur.
Kalau perkara bentak membentak, dia nih jagonya!
Rani yang biasanya mengkeret saat dibentak Suro Bledek, kini justru tertawa terkikik-kikik sambil tangan kiri menuding-nuding hidung sang paman.
“hi-hi-hik! Baru kali ini aku tahu ... jika Paman Bledek marah seperti itu, wajahnya benar-benar lucu, hi-hi-hik!”
“Dasar gadis sinting!” umpat Suro Bledek, tapi kali ini tidak begitu keras seperti sebelumnya, “Dengan siapa kau datang?”
“Pacar barumu ya?” tanya selidik Suro Keong.
“Masa' paman berdua sudah lupa? Coba perhatikan baik-baik!” kata Kumala Rani sambil meletakkan bakul cucian di dipan bambu panjang. “Coba tebak deh!”
Suro Keong dan Suro Bledek bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari pemuda tampan yang berdiri di depan mereka.
Persis dua orang sedang menaksir harga ayam aduan!
Tentu saja si Jalu merasa risih dipelototi dua orang laki-laki seperti mereka.
“Brengsek! Dikiranya aku ayam aduan apa?” makinya dalam hati.
Kalau ngomong keras, ntar dikira ngga sopan dan pasti dapat bonus tempelengan!
“Hemm ... siapa ya?” gumam Suro Keong sambil mengusap-usap dagunya yang klimis.
“Seperti aku pernah melihatmu, bocah ganteng,” tutur Suro Bledek, “Aku tahu! ... kau pasti ... “
Tiga orang yang mendengarnya menahan napas saat suara Suro Bledek menggantung.
“Pasti siapa?” tanya Suro Keong tidak tahan.
“Pasti ... pacar barunya gadis bengal itu!” sahut Suro Bledek kemudian.
Plakk!
Suro Bledek langsung celeng di tempeleng Suro Keong.
“Setan alas! Kenapa kau memukul kepalaku?” bentak Suro Bledek sambil mengelus-elus kepalanya.
Pening juga dia!
“****** benar kau ini! Tanpa kau kasih tahu pun aku juga tahu!” timpal Suro Keong, “Lihat saja wajah keponakanmu itu! Cerah ceria! Mendung saja tidak ada! Itu artinya pemuda buta ini memang pacarnya. Eh ... tunggu ... tunggu dulu!” seru Suro Keong sambil mengamat-amati wajah dan sepasang mata putih pemuda bertongkat hitam itu. “Aaaahh .... aku tahu ... aku tahu ... “
“Apa yang kau ketahui?”
“Kau masih ingat dengan bocah buta yang sepuluh tahun lalu kita temui di ladang?”
“Ingat! Ingat! Lalu kenapa?” tanya Suro Bledek dengan muka ketolol-tololan.
“Siapa?”
“Huuh,” dengusnya pelan, “Siapa lagi jika bukan Jalu? Bocah yang dulu ditangisi keras-keras sama gadis bandel itu.”
“Siapa yang menangis?” kata Kumala Rani yang sedari awal hanya diam, saling beradu pandang dengan si pemuda bermata putih.
“Lho ... jadi air mata yang mengalir itu bukan air mata, tho?” tanya Suro Bledek dengan wajah ketolol-tololan.
“Paman brengsek!” seru Rani sambil mengayunkan tangan untuk mencubit.
“Ha-ha-ha!”
Suro Keong dan Jalu Samudra tertawa keras melihat gaya bercanda Suro Bledek yang kocak, namun kadang menjengkelkan.
Kini ... pondok kecil itu terlihat ramai.
Tentu saja yang bikin ramai Jalu Samudra yang ketularan penyakit sintingnya Suro Bledek. Gelak tawa bercampur dengan jeritan khas terdengar santer. Hingga saat santap malam tiba, masih saja mereka berempat bersenda gurau seperti keluarga besar.
“Rani ... ada yang ingin Paman katakan padamu.” kata Suro Keong.
“Silahkan paman,” kata Rani sambil melirik sekilas pada Jalu.
Suro Keong menyodorkan secarik kertas pada gadis itu.
“Bacalah!”
Kumala Rani menerima kertas, dan langsung membacanya dengan seksama. Sebentar kemudian, seluruh mukanya merah padam dengan napas berat tersengal-sengal.
“Gagak Cemani keparat! Tidak ada habis-habisnya kalian mengganggu ketenteraman keluargaku!”
Rupanya surat itu berisi permintaan bantuan dari Nila Sawitri kepada Suro Keong dan Suro Bledek, dimana disebutkan dalam surat bahwa Perkumpulan Gagak Cemani dalam tiga hari mendatang akan membumihanguskan seluruh Partai Naga Langit jika tidak mau memberitahukan tentang adanya Mata Malaikat. Sebab orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, terutama sekali ketuanya, si Gagak Setan Tangan Seribu sangat berkeyakinan bahwa dua orang terakhir murid Perguruan Gunung Putri mengetahui dengan jelas letak keberadaan Mata Malaikat.
Bahkan dari kabar terakhir yang terdengar, Perserikatan Mata Emas telah hancur lebur di tangan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
“Kita harus membantu Kangmbok Nila dan Kakang Rangga, Paman!” kata Kumala Rani dengan berapi-api. “Bagaimana menurutmu, Kakang Jalu?”
“Betul katamu, Rani! Orang-orang Gagak Cemani kelihatannya harus diberantas dari muka bumi. Hanya karena kabar burung yang tidak jelas sudah menyusahkan orang banyak,” timpal Jalu, lalu tersenyum kecil saat mendengar sebutan ‘Kakang’ untuknya.
Duuuh ... manisnya!
“Kalau begitu ... kita berangkat saja bersama-sama membantu Partai Naga Langit.” kata Kumala Rani seraya bangkit dari duduknya.
“Tidak!”
“Kenapa, Paman!?”
“Malam ini biar kami duluan yang berangkat. Besok pagi kalian pergi menyusul ke sana.”
“Kenapa kita tidak berangkat bersama-sama saja?” usul Jalu Samudra. “Bukankah itu lebih ... “
“Justru itulah sebabnya kami ingin mendahului kalian.” potong Suro Keong, lalu lanjutnya, “Aku dan Bledek akan mengintai seberapa besar kekuatan lawan. Sebab menurut pendapatku, tidak mungkin orang-orang Gagak Cemani hantam kromo begitu saja terhadap Partai Naga Langit.” tutur Suro Keong kemudian, lalu lanjutnya, “ ... jika berangkat bersama kalian ... aku takut tidak bisa melindungi kalian dengan sebaik-baiknya.”
“Bukannya kami meremehkan kepandaian kalian, tapi ini jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh.” kata Suro Bledek, “kita bantu Partai Naga Langit dari belakang!”
“Benar juga apa kata Paman Suro Keong, Rani!” sahut Jalu sambil menyentuh lembut lengan kiri gadis itu dengan maksud menenangkan, “Cara ini bisa digunakan untuk mengurangi jumlah lawan. Kukira hanya itu cara yang terbaik saat ini!”
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, akhirnya Kumala Rani menyerah juga, “Baiklah! Jika itu memang cara yang terbaik. Kapan Paman berangkat?”
“Sekarang juga!” kata Suro Keong bangkit berdiri diikuti dengan Suro Bledek, lalu melangkah keluar.
“Kutunggu kalian di Gunung Naga,” kata Suro Keong, lalu berkelebat cepat menembus kegelapan malam.
wuuss!!
Suro Bledek juga melakukan hal yang sama, tapi ia kembali lagi menghampiri dua muda-mudi yang berdiri berjajar itu.
“Apa apa lagi, Paman?” tanya Kumala Rani, heran.
“Kalian berdua kutinggal disini. Ingat jangan macam-macam, ya?” kata Suro Bledek sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu berkelebat cepat menyusul Suro Keong.
“Jangan khawatir, Paman! Kami tidak akan macam-macam kok,” seru Rani.
“Tenang saja, Paman! Kami tidak akan macam-macam, cuma ... satu macam saja kok,” ucap Jalu dengan diikuti cengiran konyol, setelah mengetahui dengan pasti bahwa dua orang itu benar-benar telah pergi jauh.
“Kau berani?” kata Rani sambil berkacak pinggang.
“Siapa bilang aku tidak berani?” kata Jalu sambil memegang dagu si gadis.
Kumala Rani hanya mendengus lirih saat bibir pemuda tampan yang membuat jantung berdebar-debar keras melumat bibirnya.
“Aku ingin tanya satu hal padamu?” tanya Jalu sambil melepas pagutan mautnya.
Rani hanya mendesah saja, “Apa yang kau tanyakan, Kang?”
“Sejak kapan kau memanggilku Kakang?”
“Aaaah ... brengsek!” seru Rani sambil memukul-mukul pelan dada Jalu.
Apalagi jika bukan pukulan mesra?
“Memangnya kau tidak suka?”
“Tentu saja suka dan ingin sekali.” sahut Jalu sambil menangkap dua tangan mulus yang kini menempel di dada bidangnya. “Apakah kau mencintaiku?” tanya Jalu tiba-tiba.
Pertanyaan yang mendadak itu langsung membuat selebar pipi Rani merah merona. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
“Sejak kapan?” tanya Jalu sambil memandang lekat mata bening didepannya.
Dengan muka semakin menunduk karena malu, ia berkata, “Sejak kita bertemu. Dan yang pasti sejak Kakang menyelamatkan diriku dari sergapan ular di danau. Mulai saat itu aku sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku akan mengabdikan diriku seluruh jiwa raga.”
“Lalu ... kenapa kau berhubungan dengan Raganata?” tanya Jalu Samudra.
Suaranya tetap lembut dan tidak ada nada cemburu disana.
Kumala Rani memberanikan diri memandang wajah tampan pemuda yang kini sedang meremas-remas dua tangannya.
“Waktu itu ... aku menduga bahwa kau dicelakai oleh Sembilan Gagak Sakti dan telah tewas. Aku begitu mendendam pada mereka karena mengakibatkan penolongku tewas dan yang lebih menyedihkan, jasadmu lenyap, yang tersisa hanyalah sobekan bajumu saja.” Rani berkata sambil melepaskan ikatan pita biru laut di kepalanya. “Inilah sobekan bajumu itu, Kakang Jalu! Sampai sekarang aku masih menyimpannya.”
Jalu Samudra begitu terharu melihat ketulusan cinta gadis itu padanya.
“Tapi Rani ... aku khan buta. Tidak bisa melihat ... “
“Sttt!” gadis itu menempelkan jari telunjuk di bibir si pemuda, “Kakang, cintaku tidak mengenal batas! Yang aku cintai adalah hati tulusmu, jiwa budimanmu! Cacat fisikmu tidak menyurutkan langkahku untuk terus mencintaimu. Meski aku pernah menjalin asmara dengan pemuda lain, namun di dasar hatiku yang paling dalam, namamu terukir indah disini.” kata Kumala Rani sambil menyentuh dada kiri.
Jalu Samudra semakin terharu mendengar ungkapan rasa cinta gadis itu. Dengan serta merta ia memeluk erat tubuh montok Kumala Rani dan di balas pula dengan pelukan hangat dari si gadis.
Dua muda-mudi yang dulu dipisahkan oleh waktu, kini bisa bersatu kembali meski dalam suasana haru. Disertai ciuman panas membara, bibir dan lidah saling bertaut seperti bertautnya cinta mereka.
“Kakang, kapan kita berangkat?” tanya Rani diantara desahan menggelora, saat pemuda itu menyusuri leher jenjangnya.
“Apa kau begitu tergesa-gesa hingga melewatkan mau malam pengantin kita?”
“Ahhh ... Kakang,” gumam Kumala Rani sambil merangkul mesra sebuah gigitan kecil mampir di telinga.
Dengan sigap Jalu membopong tubuh montok Kumala Rani yang segera memeluk erat pundak dan leher Jalu, bahkan disertai desahan manja, entah apa yang diperbuat Jalu pada Rani, sehingga dia bisa berdesah seperti itu.
“Kakang ... “
“Hmmh ... “
“Malam ini aku hanya ingin tidur dalam pelukanmu.”
“Tidak mau 'yang lain'?”
“Hi-hi-hik ... Kakang genit ... “
“Baiklah ... Kakang juga lelah gara-gara mandi di danau tadi sore,” kata Jalu sambil merebahkan tubuh Kumala Rani diatas kasur empuk, lalu ia menyusul merebahkan diri di samping si gadis yang segera memeluk erat sambil memejamkan mata.
Kali ini ... mereka benar-benar tidur!
-o0o-