Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

JILID 3 : HUJAN DARAH DI TANAH BAMBU

“Akhirnya datang juga.”
Itulah kata pertama yang keluar dari mulut seorang pemuda yang duduk santai uncang-uncang kaki di atas sebuah balok kayu di sisi kiri dermaga yang cukup ramai di pagi hari kala saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru di kejauhan. Meski hanya setitik kecil di kejauhan, namun mata putih si pemuda bisa melihat dengan jelas.
“Satu pekan ditunggu-tunggu ... akhirnya nongol juga.”
Kembali terdengar suara keluar dari bibir si pemuda baju biru dengan kucir rambut ekor kuda sambil bangkit berdiri. Tangan kanan meraih tongkat hitam berlekuk di ke dua ujungnya. Ciri-ciri dengan mata putih berbaju biru laut hanya dimiliki seorang pendekar saja yang akhir-akhir ini menyandang gelar nyentrik ...
Si Pemanah Gadis!
“Lebih baik ... aku sarapan dulu. Dari kemarin cuma makan ikan laut pancingan saja. Hari ini aku mau makan besar. Pesta pora!”
 
Maaf hu... Apakah jilid 3 ne sampe tamat?.
Alx saya baca di detik dot com lom tamat.... Hanya smpe episode 43 saja..
Padahal ceritax sangat bagus sekali.. Semoga suhu bisa menamatkan ne cerita.
 
Maaf hu... Apakah jilid 3 ne sampe tamat?.
Alx saya baca di detik dot com lom tamat.... Hanya smpe episode 43 saja..
Padahal ceritax sangat bagus sekali.. Semoga suhu bisa menamatkan ne cerita.
 
Akhirnya jalu dapat perawan
Mantap
Di tunggu lanjutannya hu
 
BAGIAN 26


Di waktu yang bersamaan ...
Di Perguruan Tanah Bambu terjadi kegemparan!
Kegemparan apakah?
“Wah, suara apa tuh, kayak bayi nangis aja dech … “ gerutu kesal seorang pedagang buah. Maklum, dari tadi cuma laku lima dua buah semangka, dua biji nanas dan satu renteng salak hutan.
“Suara bayi, mbahmu!” cetus pedagang sayur, “ … itu kan suara orang berteriak-teriak.”
“Lho, suara teriak kok mirip suara bayi nangis,” tukas pedagang buah tak mau kalah. “Ga mungkin-laaahhh ... “
“Lha emang jatah suara dari sononya dah cempreng macam kaleng rombeng, mau diapakan lagi?”
“Wuuuh ... mbok dulu itu milih suara yang bagusan dikit ... “ gerutu pedagang buah sambil celingak-celinguk. Entah apa yang dicarinya.
Saat melintas di depannya seorang laki-laki baju hitam, ia bertanya, “Kang, memangnya ada apa, to? Pagi-pagi kok dah pada ribut!?”
Laki-laki baju hitam tanpa berhenti langsung saja menjawab, “Ada yang mati.”
“Di mana?”
“Di pintu selatan agak ke utara sedikit.”
“Memangnya yang mati siapa?”
“Orang,” jawab pendek laki-laki baju hitam sambil terus berjalan tergesa.
“Lho ... memangnya orang mati bisa teriak, to?” kejar pedagang buah dengan muka kebodoh-bodohan. “Aneh juga!?”
Si laki-laki baju hitam yang dikuntit terus, sontak menghentikan langkahnya.
Brugh!
Si pedagang buah langsung menabrak punggung orang di depannya.
“Hei, tolol!” bentak si laki-laki baju hitam sambil tangan kanan mencengkeram kerah baju si pedagang buah. “Denger, ya! Dimana-mana orang mati tidak bisa teriak, yang bisa teriak itu cuma yang hidup! Otakmu itu dimana, hah!?”
“E-e-e-e ... kang! Damai, kang ... damai ... “ ucap si pedagang buah ketakutan. “Jangan melotot begitu, lah!”
Tanpa menggubris sama sekali kata-kata pedagang buah, tangan kiri laki-laki baju hitam njulekin jidat makhluk bodoh yang masih dicengkeramnya dengan seenaknya hingga kepala si pedagang buah berulang kali terdorong ke belakang.
Ga’ sakit sih, tapi malunya ... minta amplop, eh ... ampun!
“Makanya punya otak dipake!” bentak si baju hitam, “Jika tidak, kepalamu yang soak ini bakal aku ganti dengan buah semangka tanpa biji! Jelas!?”
“Jelas, Kang! Jelas! Pokoknya jelas, dech! Suwer!” sahutnya dengan dua jari kanan membentuk huruf ’V’.
“Bagus!” sahut si laki-laki baju hitam sambil melepas kerah baju pedagang buah, lalu ngeloyor pergi begitu saja.
Namun, baru saja lima langkah ...
“Kang, emangnya yang mati … “
Belum lagi suaranya lenyap, laki-laki baju hitam langsung menyambar buah semangka di dekatnya.
Wutt!
Lalu dengan ’gaya manis’ seperti orang memasukkan bola ke dalam keranjang (inget gaya Michael Jordan waktu mau dunk!), ia mengayunkan semangka besar di tangan ke bawah.
Bluss!
Buah semangka yang ternyata benar-benar tanpa biji langsung melesak masuk ke kepala pedagang buah dengan sukses.
Tentu saja pedagang buah langsung kaget karena tiba-tiba kepalanya berubah bentuk!
“Emmm ... emmhhh ... “ (maksudnya : tolong ... tolong ... )
Beberapa pedagang --terutama pedagang sayur-- tertawa geli melihat kejadian sebabak tadi. Bukannya kasihan, tapi malah ngetawain temannya yang sedang sial!
“Makanya, kalau tanya-tanya lihat-liat orang dong!” serunya sambil tetap ketawa keras.
“Tapi, lama-lama kasihan juga si Karjo,” ujar pedagang kain. “Cepat, bantuin. Ntar kehabisan napas, tuh.”
Si pedagang sayur berjalan mendekat, lalu dengan seenaknya ia kemplang si Kepala Semangka dengan keras.
Prakk!
Tentu saja buah semangka yang lunak itu, langsung pecah berantakan.
Terlihat roman muka Karjo yang pucat pasi belepotan daging semangka.
“Apa yang terjadi?” katanya heran.
“Ga terjadi apa-apa, cuma tadi ada semangka jatuh dari langit dan tepat menimpa kepalamu,” jawab pedagang sayur sambil senyum-senyum geli campur kasihan. “Tapi ... besok lagi hati-hati, ya.”
“Hati-hati kenapa?” tanya Karjo, heran sambil mulutnya pulang-balik masukin buah semangka ke dalam mulut. Mungkin saking kagetnya sampai ia lupa dengan kejadian yang barusan terjadi menimpa dirinya.
“Ya ... hati-hati aja!” sahut si pedagang sayur sambil membalikkan badan.
“Lha, iya ... hati-hati kenapa?” kejar Karjo.
“Ya ... hati-hati supaya tidak kejatuhan semangka lagi. Untung semangkanya cuma kecil,” sahut pedagang sayur sambil membenahi barang dagangannya, sambung. “ ... coba kalau sebesar rumah, tubuhmu langsung hilang di telan bumi.”
“Wah, kalau begitu aku jadi orang sakti, dong!” celoteh Karjo makin ngelantur.
Mungkin otaknya terbuat dari kuaci ’kali ya!?
Masa’ kejatuhan semangka segedhe rumah dianggap sakti?
“Maksudku, kau langsung ... modar!” ucap pedagang sayur, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Bahkan beberapa orang yang ada di tempat itu, sontak tersenyum melihat roman muka pucat bin bego si pedagang buah.
Huh ... dasar kepala semangka!
Sementara itu ...
Seorang perempuan usia sekitar enam puluhan tahun berjalan mendekat. Meski terlihat ringkih dengan usia yang terus menanjak, tapi roman mukanya terlihat muda belia seperti gadis usia dua puluh tahun. Jarang-jarang ditemui nenek muka segar kayak gitu.
Terhitung barang langka, tuh!?
Meski tidak terlalu cantik, tapi raut mukanya cukup sedap di pandang, apalagi dengan roman terlihat santun. Orang-orang Kepulauan Tanah Bambu mengenalnya dengan nama Nyai Gugur Gunung. Julukannya Dewi Kecapi Hitam.
Dewi Kecapi Hitam bertanya dengan lembut, “Ada apa?”
Beberapa orang berseragam hitam yang mengerumuni sesuatu, terkuak membuka jalan saat mengenali sosok perempuan ini.
“Oh, Nyai Gugur Gunung!” kata salah seorang baju hitam mengenali siapa sosok perempuan baju hitam garis-garis putih yang menyandang kecapi di punggungnya. Ternyata laki-laki yang tadi mengerjai Karjo di pasar. “Ada yang tewas. Tepatnya ... terbunuh.”
Nyai Gugur Gunung sekilas memandang sosok mayat tanpa kepala yang tergeletak di pinggir jalan. Belum lagi ia mengatakan sesuatu, terdengar lagi teriakan.
“Ada mayat! Ada mayat!”
Namun belum lagi suara pertama hilang, kembali terdengar teriakan dimana-mana.
“Ada lagi ... !”
“Di sini juga ada ... !”
Kadar teriakan bukannya surut, justru sekarang malah tambah banyak.
Orang-orang saling berlarian ke arah suara yang saling sahut menyahut.
Namun, intinya cuma satu. Ditemukan sesosok mayat!
“Wah, disini juga ada. Tapi lumayan kecil,” seru orang yang berada di paling timur. “Cuma ... “
Orang-orang kembali berlarian mendekat sambil berteriak keras, “Mana? Mana!?”
Dengan muka tak bersalah, orang tadi menunjuk sesosok mahkluk kecil di depannya dengan sebatang ranting.
“Ini.”
Saat melihat sosok yang ditunjuk, sontak orang langsung jengkel bukan main!
Ternyata cuma ... bangkai kucing!
“Brengsek kau!” sentak salah seorang temannya. “Bangkai kucing aja pakai acara teriak-teriak segala!”
“Dasar kurang kerjaan!” seru beberapa orang dengan kesal.
Nyai Gugur Gunung dengan sigap memberikan perintah.
“Kau! Cepat lapor ke Penguasa Tapal Batas Selatan!” katanya dengan nada cepat namun masih menunjukkan kesantunan seorang perempuan lanjut usia.
“Dan kau! Panggil Bandar Mayat kemari,” kembali Nyai Gugur Gunung memberi perintah. “Dan lainnya, cari mayat-mayat yang kemungkinan masih ada di sekitar tempat ini dan kumpulkan mayat-mayat menjadi satu.”
“Siap, Nyi!”
Tanpa diperintah dua kali, satu orang langsung melesat pergi ke tempat kediaman Dewa Periang karena dialah penguasa wilayah Tapal Batas Selatan. Satunya lagi segera menghubungi si Bandar Mayat. Sedang sisanya mengumpulkan mayat-mayat yang bertebaran dimana-mana.
“Hemm ... “ gumam Nyai Gugur Gunung dengan mata mengedar ke sekitar. Terlihat beberapa orang menggotong sosok-sosok tanpa nyawa dari tempat yang berbeda.
“Lumayan banyak ... “ gumamnya lagi setelah melihat sejumlah mayat yang terjajar rapi di depannya.
Sesaat Nyai Gugur Gunung memeriksa mayat satu per satu. Tidak ada luka dalam atau pun luka luar selain sebuah luka lebar pada leher yang menyebabkan kepala bisa terlepas dari tempatnya bertugas sehari-hari.
Kesamaan semua mayat cuma satu : selain kehilangan nyawa, semuanya tanpa batok kepala!
“Penggalan yang rapi ... “ gumam Dewi Kecapi Hitam. “ ... atau jurus serangannya yang terlalu cepat?”
Total mayat yang berhasil dikumpulkan oleh orang-orang baju hitam ternyata cukup banyak. Jumlahnya mencapai puluhan, tepatnya dua puluh sembilan mayat telah terkumpul menjadi satu. Jadi tiga puluh jika di tambah dengan bangkai kucing.
Beberapa saat kemudian, orang yang diminta memanggil Bandar Mayat telah kembali. Mukanya pucat pasi plus napas terengah-engah.
Dewi Kecapi Hitam mengkerutkan keningnya.
“Mana si Bandar Mayat?”
Sambil mengatur napas yang masih memburu, ia menjawab, “Maaf ... Nyi ... si Ban ... dar Mayat ... telah jadi ... mayat ... “
“Apa?” terdengar suara Nyai Gugur Gunung agak meninggi.
“Kepalanya hi ... lang ... “
Untuk kedua kalinya, Nyai Gugur Gunung terkaget-kaget.
“Kepalanya juga hilang,” desisnya sambil memandangi mayat-mayat tanpa kepala yang berjajar rapi. Gumamnya lagi. “Bandar Mayat juga telah pensiun jadi orang.”
Sekelebat bayangan datang mendekat dari arah selatan. Kecepatannya laksana angin puyuh, karena setiap ia tempat yang dilewatinya pasti dibelakangnya terlihat debu mengepul tebal. Jelas tenaga peringan tubuhnya tidak bisa dianggap enteng.
Wutt! Jleegg ... !
Roman muka yang kemerah-merahan seperti bayi baru lahir sedikit terkejut, namun cuma sesaat saja sudah berganti dengan roman riang tanpa beban. Sosok kakek rambut putih yang baru datang adalah Dewa Periang adanya.
“Dewi Kecapi Hitam! Siapa yang punya pekerjaan seperti ini!?” Dewa Periang bertanya. “Weleeh-weleeh-weleeh! Ni kepala pada kemana?”
Mata-matanya berputar-putar lucu memelototi sosok-sosok terbujur kaku dekat kakinya.
“Mana aku tahu?” jawab Dewi Kecapi Hitam.
“Kepalanya dimana?” tanya kembali Dewa Periang.
“Aku juga tidak tahu, masih di cari orang-orang disana,” kata Dewi Kecapi Hitam.
“Kenapa kau tidak memanggil si Bandar Mayat?” kejar Dewa Periang. “Dia ’kan paling ahli dalam urusan kayak gini.”
“Heh, si Bandar Mayat tidak bisa datang.”
“Lho, kok bisa?” sentak Dewa Periang kaget. “ ... ini ’kan sudah jadi bagian dari tugasnya.”
“Karena si Bandar Mayat sudah malas jadi orang.”
“Malas?”
“Dia juga ikut-ikutan mati tanpa kepala,” jawab Dewi Kecapi Hitam, enteng.
Dewa Periang tersenyum manyun.
Lalu ia memanggil salah seorang yang ada di dekatnya.
“Kau! Ke sini sebentar,” katanya.
“Saya, Tuan?”
“Iya, kau kesini.”
Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.
“Ada apa, Tuan.”
“Aku mau minta tolong. Bisa?”
“Bisa, Tuan. Bisa!”
“Tolong kau hubungi Galah Mayat dan Ratu Kuburan. Suruh mereka kemari. Ada pekerjaan buat mereka. Jelas!?”
“Jelas sekali, Tuan.”
“Sip, kalau gitu,” ucap Dewa Periang sambil menepuk-nepuk pundak tebal si gemuk.
Si gemuk langsung putar badan.
“Eh, tunggu dulu! Siapa namamu?”
Si gemuk membalik badan.
“Jenggrik. Tapi orang-orang disini sering memanggil saya ... Mata Maling, Tuan.” terang orang berbadan bongsor bermata bundar kecil yang bernama Jenggrik ini.
Selebar muka Dewa Periang sontak langsung menahan tawa. Pikirnya, “Pantes aja di panggil Mata Maling. Matanya bundar kecil kayak gitu, mirip mata maling jemuran.”
“Baiklah, Ki Jenggrik. Kami tunggu disini,” kali ini yang bersuara Dewi Kecapi Hitam karena melihat dari tadi Dewa Periang mukanya merah-padam menahan tawa.
Mata Maling langsung bergegas pergi. Jangan dilihat postur tubuhnya yang besar macam gajah beranak lima, tapi ilmu lari cepatnya bisa dibilang luar biasa.
Blasssh ... !
Dalam empat helaan napas, sosok bundarnya sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kenapa kau ini? Telat buang hajat?” ucap Dewi Kecapi Hitam.
Akhirnya ...
“Huahahahahaha ... hahahahaha ... !”
Meledaklah tawa keras Dewa Periang yang membuat semua orang yang berkumpul di tempat ini jadi terlonjak kaget. Bahkan laki-laki bermuka kemerahan ini sampai terbatuk-batuk saking keras dan panjangnya ia tertawa.
“Huahahah ... uhukk ... uuhukkk ... “
“Kau ini kenapa? Kesambet!?”
“Huahha ... dia .... huhuh ... matanya ... hahah ... lucu ... sekali ... “
Dewa Periang tertawa terus, hingga akhirnya ia jatuh kelelahan.
Saat itulah, dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh beda tinggi beda jenis.
Yang sebelah kiri terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki pada umumnya. Mengenakan rompi buntung hitam kusam yang dikancingkan sehingga kulit pucatnya terlihat jelas. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak ganteng-ganteng amat juga tidak jelek-jelek amat. Sedang-sedang sajalah. Kalau urusan tua, jelas. Karena warna rambut sudah dua warna pastilah berusia lima puluh tahun ke atas.
Di pinggangnya terdapat galah bambu sepanjang dua tombak sebesar jari kelingking. Fungsi galah bambu ini selain sebagai alat ukur panjang mayat juga sebagai senjata yang memiliki daya bunuh hebat. Konon kabarnya benda antik ini di dapat dari mendiang kakaknya yang tewas terbunuh oleh lawan.
Selain tinggi tubuh menjulai laksana bambu kering tanpa daun, ada yang lebih luar biasa di bagian wajah.
Tepatnya ... di hidung!
Hidungnya terlalu besar untuk ukuran hidung manusia, mirip-mirip paruh burung betet gitulah, warnanya kuning kecoklatan.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAK BERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
BAGIAN 27


Sedang yang sebelah kanan, justru tinggi tubuhnya tidak lebih dari bocah usia tiga tahun. Wajahnya terlihat tua dan keriput macam siput minta diurut agar tidak kisut. Mulutnya tidak pernah berhenti bergerak-gerak. Entah apa yang ada dalam mulut nenek berbadan sekelumit ini.
Mereka berdua adalah pasangan tidak serasi yang biasa dipanggil Galah Mayat dan Ratu Kuburan.
“Ketua, dimana Bandar Mayat?” tanya Ratu Kuburan. “Kenapa tidak kelihatan!?”
Dewa Periang hanya menggerakkan tangan kanan sejajar leher dengan pelan.
Ratu Kuburan terlihat menundukkan muka sedih.
Sementara itu, tanpa banyak cakap, Galah Mayat langsung mendekati sosok yang paling kiri. Hidungnya mengendus-endus sesaat, lalu tangan kanan menjulur menekan ke arah urat nadi.
“Ni orang ****** apa tolol, sih! Sudah jadi mayat begitu mana ada denyut nadinya?” pikir Dewi Kecapi Hitam.
“Ratu Kuburan! Sudah jangan sedih!” kata Galah Mayat dengan suara yang tidak sedap di dengar. “Mayat-mayat ini terbunuh menjelang fajar menyingsing. Denyut nadinya masih terasa bergetar. Gunakan Ilmu ’Membalik Sukma’!”
Dengan sigap, Ratu Kuburan mengikuti perintah Galah Mayat. Dia terlihat jingkrak-jingkrak macam nenek sinting kesurupan dengan suara meracau tak karuan (mungkin merapal mantra ’kali, ya!?). Belum lagi semua heran dengan tingkah lakunya, si nenek berbadan secuil ini melompati semua mayat dalam satu sentakan.
Wutt! Jleg!
Begitu kaki Ratu Kuburan menyentuh tanah, tiba-tiba saja mayat yang paling kanan menggeliat cepat berdiri.
Tentu saja semua orang yang ada di tempat itu terlonjak kaget!
Bagaimana mungkin orang yang sudah tidak punya nyawa dan tidak punya kepala masih bisa bangun dan sekarang berdiri tegak?
Tentu saja ini adalah ulah dari Ratu Kuburan yang mengerahkan ilmu gaib andalannya yang bernama Ilmu ’Membalik Sukma’ dimana ilmu ini sanggup mengembalikan sukma orang meski untuk beberapa saat. Yang menguasai ilmu ini selain Bandar Mayat adalah dirinya. Namun orang-orang tahunya hanya mendiang Bandar Mayat saja yang menguasainya.
Orang-orang baju hitam kontan lari serabutan sambil berteriak-teriak ketakutan.
“Ada mayat hidup ... !!
“Ada setan kesiangan ... !”
Benar-benar kacau-balau.
Sedang Dewi Kecapi Hitam sendiri yang notabene memiliki ketabahan tinggi merasa ngeri juga, bahkan tanpa sadar kakinya mundur dua langkah.
“Ilmu setan,” desisnya tanpa sadar.
Si mayat terlihat membungkuk hormat pada Ratu Kuburan, orang yang membangkitkannya.
Tanpa peduli dengan sekitarnya, Ratu Kuburan bertanya, “Kau tahu yang membunuhmu?”
Karena tidak punya kepala, si mayat hanya menggoyang-goyangkan dua tangan yang artinya tidak tahu.
“Kau bisa jelaskan bagaimana kau kehilangan kepala?” tanya kembali Ratu Kuburan.
Si mayat tiba-tiba menggenggam tangan kiri seperti orang memegang senjata, lalu digerakkan dalam posisi menebas lurus dari kiri kanan.
“Ada yang lain?” kembali si nenek bertanya.
Kembali si mayat menggoyang-goyangkan tangan pertanda tidak tahu.
“Satu lagi pertanyaanku. Ada berapa orang yang melakukan pembunuhan, terutama yang membunuhmu?”
Si mayat hanya menunjukkan jari telunjuk yang artinya cuma satu orang.
“Terima kasih. Kau boleh kembali.”
Begitu kata ’kembali’ terucap, si mayat langsung menggelosoh begitu saja di tanah.
Ratu Kuburan tiba-tiba menghentakkan tanah tiga kali berturut-turut.
Dugh! Dugh! Dugh!
Aneh bin ajaib, si mayat yang tadi nglumpruk begitu saja di tanah, seperti di angkat oleh tangan-tangan gaib, berpindah ke posisi semula.
Dewa Periang dan Dewi Kecapi Hitam dibuat kagum oleh demonstrasi ilmu gaib milik Ratu Kuburan.
“Galah Mayat!” kata Ratu Kuburan dengan muka sedikit mendongak. “Sekarang bagianmu!”
Galah Mayat yang sedari awal hanya terdiam, segera merangkap tangan di dada sambil bertanya, “Ketua, semua mayat ini mau dikuburkan dimana?”
“Ke pemakaman umum saja,” sahut Dewa Periang.
“Baik.”
Mulutnya berkomat-kamit sebentar, lalu tangan kanan menarik galah bambu sepanjang dua tombak dari pinggang.
Sett!
Bersamaan dengan itu, keluar larikan-larikan benang abu-abu kusam berjumlah hingga ratusan dan yang langsung membelit mayat-mayat yang berjajar.
Sratt! Sratt!
Cepat sekali cara kerja benang-benang abu-abu kusam itu, sebab sebentar saja seluruh mayat sudah terbungkus rapi seperti ulat dalam kepompong. Begitu melihat hasil kerjanya selesai, Galah Mayat menghentakkan kakinya ke tanah.
Dugh! Dugh!
Pada hentakan yang kedua, tanah di sekitar mayat terlihat bergelombang seperti riak air tersapu angin. Dan tiba-tiba saja ...
Bless ... !
Dalam waktu bersamaan, mayat-mayat itu langsung tenggelam begitu saja ke dalam tanah.
Sontak, keterkejutan semakin melanda semua orang yang ada di tempat itu. Bahkan orang-orang baju hitam ada yang terkencing-kencing kala para mayat amblas ke dalam tanah.
“Edan! Ilmu macam apa itu?” desis Dewi Kecapi Hitam.
Namun belum lagi keterkejutan semua orang yang ada di tempat itu lenyap, Galah Mayat melanjutkan hentakan kaki ke tanah untuk ketiga kalinya.
Dugh!
Belum lagi lenyap suara hentakan, justru kini Galah Mayat yang amblas masuk ke dalam tanah.
“Dewi Kecapi Hitam! Kau tidak perlu khawatir tentang Galah Mayat. Dia sendiri yang mengirim mayat-mayat itu ke pemakaman,” suara Ratu Kuburan terdengar. “Galah Mayat menggunakan jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’ untuk masuk ke dalam tanah.”
Dewa Periang tidak begitu terkejut melihat jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’ yang digunakan Galah Mayat, karena mendiang Bandar Mayat sendiri pernah menggunakan jurus itu, hanya waktu itu Bandar Mayat tidak sempat mengatakan apa nama dari jurusnya.
“Sudahlah!” tukas Dewa Periang. “Lebih baik kita temui Empat Tua Raja Tanah Bambu yang masih di Balairung Ranting Bambu untuk membicarakan masalah ini.”
Dewi Kecapi Hitam mengangguk.
“Ratu kuburan! Kau ikut kami atau menyusul Galah Mayat!?” tanya Dewa Periang.
“Saya ikut Ketua saja.”
“Baiklah.”
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera melesat pergi.
Sepenanakan nasi kemudian, ketiganya sampai di Balairung Ranting Bambu. Dan benar dugaan saja, di tempat itu masih terdapat Tua Raja Pedang Bintang dan Tua Raja Tabir Mentari yang sedang bercakap-cakap santai dengan Nini Cemara Putih.
Melihat kedatangan Dewa Periang, Dewi Kecapi Hitam dan Ratu Kuburan, ketiga petinggi Perguruan Tanah Bambu saling berkerut kening.
“Ada apa, Dewa Periang!?” tanya Tua Raja Tabir Mentari.
“Mohon maaf jika kedatangan kami bertiga mengganggu,” jawab sopan Dewa Periang.
“Katakan.”
“Telah terjadi pembunuhan massal di wilayah selatan,” ujar Dewa Periang kembali.
Nini Cemara Putih, Bramageni dan Barka Satya saling pandang satu sama lain.
“Tepat sekali dugaanmu, Nini Cemara Putih,” desis Tua Raja Pedang Bintang. “Rupanya wilayah kita ingin dibuat banjir darah.”
Belum lagi suara desis hilang dari pendengaran, dari arah timur dua sosok bayangan hitam dan kuning bergerak cepat mendatangi. Dan tujuannya adalah dimana orang-orang itu berkumpul. Ternyata mereka berdua adalah guru-murid Kakek Kocak dari Gunung Tugel yang bernama asli Gayam Dompo dan murid cantiknya Kaswari.
“Celaka, celaka, celaka!” begitu datang, suara keluh-kesah Gayam Dompo langsung terdengar. “Lima puluh anak buahku mati tanpa kepala.”
“Apa!?” bentak Barka Satya dengan keras.
Tua Raja Pedang Bintang kaget.
Dewa Periang dan Dewi Kecapi Hitam juga kaget.
Semua kaget!
Bahkan Gayam Dompo sampai terlonjak kaget sambil mengelus-elus dadanya.
“Buju buneng! Bikin kaget saja,” kata Gayam Dompo sambil mengatur napas.
Cuma Barka Satya yang tidak kaget, karena memang dia yang bikin kaget.
“Dewa Periang ... “
Belum lagi kata-kata Barka Satya berlanjut, Dewa Periang langsung memotong, “Tiga puluh orangku juga kehilangan kepala.”
Kembali keterkejutan melanda.
Keadaan mendadak terpenggal karena di sebelah timur terlihat luncuran panah api dan meledak di angkasa.
Duaaarr!!
“Celaka! Tapal Batas Timur diserang,” desis Tua Raja Pedang Bintang.
Tanpa banyak kata, semua orang yang ada di tempat itu langsung melesat pergi kecuali Nini Cemara Putih.
“Kalian bantu Contreng Nyawa! Aku mau melihat daerah terlarang perguruan kita,” seru Nini Cemara Putih dengan mengirimkan suara jarak jauh. “Perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu disana.”
Sementara itu, di wilayah Tapal Batas Timur, terlihat puluhan orang tergeletak tanpa kepala. Sedang di sudut tenggara terlihat empat laki-laki berbaju hitam-hitam dengan penutup kepala hitam pula sedang berdiri menonton pertarungan yang terjadi. Yang luar biasa, di punggung masing-masing terlihat menggelantung potongan-potongan kepala manusia yang diikat dengan benang putih.
Rupanya mereka berlimalah para penjagal kepala!
Terlihat salah seorang manusia baju hitam berpedang lebar sedang adu nyawa dengan seorang laki-laki baju kuning bersenjata aneh. Sulit sekali mengatakan kalau benda ditangannya adalah senjata tajam karena meski lurus sepanjang setengah tombak, namun bentuknya bulat memanjang bersegi enam dengan ujung runcing hitam mengkilat. Mirip dengan pensil yang telah diraut tajam. Benda itulah yang dikenal dengan nama Pedang Pensil.
Siapa lagi pemilik benda langka itu jika bukan Contreng Nyawa adanya?
Werr! Werr!
Srattt!
Ujung pedang tajam si baju hitam menggores lengan kiri Contreng Nyawa.
“Hahaha! Lebih baik kau serahkan saja kepalamu sebagai tumbal, Orang Tua!” bentak si baju hitam, “Kami ... Lima Penjagal Kepala akan dengan senang hati melakukannya!”
“Heh, cuma luka kecil mana bisa membunuhku dengan semudah itu!” dengus Contreng Nyawa sambil menudingkan pedang di tangan kanan. “Justru kalian semua yang harus menyerahkan kepala busuk kalian!”
Tiba-tiba, salah seorang dari Lima Penjagal Kepala berteriak, “Jagal Empat! Cepat selesaikan pekerjaanmu! Waktu kita tidak banyak lagi.”
“Tenang, Kakang! Dalam dua jurus dimuka, kepala orang tua usil ini akan menjadi kepala ke seratus!” seru orang yang dipanggil Jagal Empat, lalu sambil mendengus bengis, ia berkata pada Contreng Nyawa, “Orang Tua! Bersiaplah kau menjumpai raja neraka!”
“Justru kau yang harus menjumpai raja neraka!” balas bentak Contreng Nyawa sambil mengayunkan pedang dari bawah ke atas.
Werr!
Sebentuk hamparan angin tajam yang sanggup membelah batu menerjang ke arah Jagal Empat yang sambil mengumpat panjang-pendek bergegas menghindar dengan melenting ke atas.
Wutt!
Dari arah ketinggian, pedang lebar di tangan jagal empat bergerak cepat. Dalam satu tarikan napas saja, bayangan pedang telah memenuhi angkasa dan semaunya meluruk tajam ke arah Contreng Nyawa.
“Kurang ajar! Membunuh satu bangsat saja harus mengerahkan jurus ’Pedang Memenuhi Delapan Penjuru’!” desis yang paling pojok.
Akan tetapi Contreng Nyawa bukanlah tokoh kemarin sore. Hampir dari tiga puluh tahun malang melintang di rimba persilatan dengan mengukir nama besar si Pedang Pensil. Tentu saja tidak bakalan mudah mempecundangi apalagi membunuhnya. Begitu melihat bayangan pedang tajam yang mengincar nyawanya, Pedang Pensil di tangannya kembali bergerak cepat memutar membentuk kubah.
Wutt! Wutt!
Sebentuk hawa padat kekuningan melingkupi tubuh Contreng Nyawa..
Cring! Criing ... criing ... !
Suara dentingan nyaring terdengar.
“Kurang ajar! Luka beracun di lengan kiriku seperti ulat menggerogoti tulang,” kata hati Contreng Nyawa. “Jika begini terus, jurus ’Kubah Pedang Pelindung Jiwa’-ku rasa-rasanya tidak akan mampu bertahan lebih dari dua helaan napas ... atau memang inilah saaat-saat terakhirku di tempat ini!?”
Cring! Criing ... criing ... !
Kembali terjadi benturan nyaring dan terlihat kubah yang melindungi Contreng Nyawa retak-retak di beberapa bagian. Dan akhirnya ...
Blarrr ... !
Kubah pelindung hancur berkeping-keping.
Terlihat disana, Contreng Nyawa tergeletak dengan napas kembang-kempis. Sedang lawan terlihat berdiri angkuh dengan pedang menempel di leher kanan Contreng Nyawa.
“Bagaimana? Ada permintaan terakhir!?” ejek Jagal Empat.
Jika bukan karena luka sayat beracun di lengan kiri, tak bakalan Contreng Nyawa bisa takluk secepat itu. Apalagi ketika ia menggunakan jurus ’Kubah Pedang Pelindung Jiwa’ yang justru membuat racun cepat sekali menjalari aliran darah.
“Bunuh ... saja ... aku ... tapi aku tidak ... rela ... “ kata Contreng Nyawa terbata-bata, “Rohku ... akan mengejar-ngejarmu ... seumur hidupmu ... “
Jagal Empat sedikit terhenyak mendengarnya. Ada rasa aneh menggelayuti di dalam dirinya, namun dalam dua kedipan mata ia menepiskan rasa aneh itu.
“Jika itu permintaanmu ... berangkatlah sekarang ... Orang Tua!” desis Jagal Empat.
Pedang lebar direnggangkan sejarak satu jengkal, lalu dalam satu tarikan saja, kepala Contreng Nyawa menggelinding di tanah.
Sett! Crass!
Blugh!
Sebentuk kepala menggelinding di tanah.
Contreng Nyawa sendiri yang sudah pasrah memang berniat tidak menutup mata saat pedang tajam lawan menebas lehernya. Di saat terakhirnya ia memang berniat menantang kematian dengan mata terbuka. Benar-benar laki-laki yang tabah.
Namun bagaimana pun juga, penentu hidup mati seseorang adalah hak Yang Maha Kuasa, bukan hak manusia mencabut nyawa seseorang.
Yang menggelinding di tanah bukan kepala Contreng Nyawa tapi justru kepala Jagal Empat!
Lho, kok bisa!?

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAK BERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
Bimabet
BAGIAN 28


Satu sosok tubuh gemuk dengan seluruh kulit kuning emas berdiri gagah. Tangan kirinya yang mengencang rapat terlihat diselimuti bara api berpijar. Tangan itulah yang tadi memenggal kepala Jagal Empat dalam satu kali tebas. Jagal Empat tidak menyangka kalau justru kepalanya sendiri tertebas dan jatuh menggelinding di tanah sejauh empat langkah.
Sosok ini menatap tajam ke arah empat orang baju hitam yang berdiri sejarak dua belas langkah dari hadapannya.
“Rupanya kalian yang membuat wilayah Tanah Bambu menjadi tidak tenang akhir-akhir ini,” desisnya geram.
Kakinya melangkah dengan berdebam.
Bummm .... bummm ... !
Jelas sekali hawa kemarahan telah menyungkup dalam jiwa si laki-laki gemuk kuning emas yang tidak lain Tua Raja Tabir Mentari. Seluruh tubuhnya memancarkan api berkobar-kobar sehingga hawa di sekitar tempat itu bagaikan matahari diturunkan di atas kepala.
Kepala Jagal Empat diinjak begitu saja.
Kress! Blub!
Langsung hancur lumat di sertai bau daging terbakar.
“Kalian mau kepala?” desis kembali Tua Raja Tabir Mentari. “ Ini ... ambil kepalaku.”
Empat orang itu terpana tidak bisa bergerak untuk beberapa saat. Mereka semua melihat bagaimana kepala Jagal Empat di tebas tangan gemuk seperti orang menebas rumput.
“Kita harus lari,” gumam laki-laki yang tengah. “Bersiaplah kalian.”
“Memangnya kalian mau lari kemana?”
Terdengar teguran halus di belakang mereka berempat.
Ke empatnya dengan gerak refleks segera berloncatan kesana-kemari.
Wutt!
Terlihat satu sosok tubuh seperti baru saja keluar dari alam gaib. Jelas sekali, ilmu ringan tubuh yang dimiliki sosok tinggi kurus berjenggot putih dan berpakaian serba putih tidak bisa dianggap sebelah mata. Buktinya, empat dari Lima Penjagal Kepala tidak menyadari kalau di belakang mereka telah berdiri sosok agung ini.
Terlihat tangan kiri disembunyikan di belakang punggung namun tidak bisa menutupi gagang pedang yang tergenggam. Sosok tua penuh wibawa memakai topi tinggi keperakan seperti pejabat istana ini sulit sekali diterka berapa usianya, karena meski bersosok tua namun paras wajah tampannya seperti pemuda usia puluhan tahun.
Dialah ... Tua Raja Pedang Bintang!
Belum lagi ke empatnya berpikir bagaimana cara meloloskan diri dari tempat itu, dalam waktu yang hampir bersamaan telah mengepung rapat Dewa Periang, Dewi Kecapi Hitam, Ratu Kuburan dan Galah Mayat. Menyusul kemudian Kakek Kocak dari Gunung Tugel dan Kaswari.
“Jadi ini keparat-keparatnya!?” sentak Kakek Kocak dari Gunung Tugel. “Bagus! Kalau begitu aku bisa berpesta pora sekarang.”
“Guru, lebih baik kita tolong Paman Contreng Nyawa dulu,” bisik Kaswari. “Kelihatannya dia terluka parah.”
“Tapi ... “
“Aaahh ... tidak ada tapi-tapian!” tukas Kaswari sambil menyeret tangan gurunya. “Ayo ... !”
“Iya deh ... iya ... “ kata si kakek sambil bersungut-sungut. “Huh ... tidak bisa unjuk gigi di hadapan Nyai Gugur Gunung, nih.”
Lagi-lagi Kakek Kocak dari Gunung Tugel memang paling tidak bisa menolak kemauan dari si murid tunggal yang sudah dianggapnya seperti cucunya sendiri ini.
“Tua Raja Tabir Mentari! Aku ambil bagian lebih dulu!” seru Dewa Periang sambil mengebutkan selendang kuning panjang yang semula tersampir di lehernya.
Wutt!
Dalam waktu sepersekian detik, sebentuk tongkat tercipta kala tenaga dalam mengalir lepas. Begitu terbentuk sempurna, senjata aneh yang disebut dengan Tongkat Gulungan Kain di tangan Dewa Periang segera menerjang orang paling kiri.
Srazz!
“Tongkat Gulungan Kain!? Kau pasti ... Dewa Periang!” seru orang yang diserang sambil memapaki serangan dengan ayunan pedang. “Jagal Lima siap melayanimu!”
Trang! Crang!
Orang yang menyebut dirinya Jagal Lima segera mengerahkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi.
“Bagus kalau kau sudah tahu siapa diriku!” bentak Dewa Periang sambil memutar tubuh setengah lingkaran dan bersamaan dengan itu tongkat di tangannya bergerak cepat ke arah punggung lawan.
Werr!
Sebentar saja, Dewa Periang dengan jurus dan senjata Tongkat Gulungan Kainnya saling terjang dengan lawan. Bisa dikatakan Dewa Periang menemui lawan yang seimbang, baik tenaga sakti mau pun jurus-jurus silat bisa dikatakan setara.
Akan halnya Dewi Kecapi Hitam sendiri langsung menyergap salah seorang dari Lima Penjagal Kepala. Namun baru bentrok beberapa jurus, terlihat kalau Dewi Kecapi Hitam berada di bawah angin. Barulah ketika Ratu Kuburan dan Galah Mayat datang membantu, keadaan terlihat seimbang. Perpaduan jurus ketiga penyerangnya membuat Jagal Tiga lintang-pukang menyelamatkan diri.
Tua Raja Tabir Mentari sendiri yang sejak tadi siap mengumbar amarah, justru menatap lawannya dengan tajam.
“Aku menginginkanmu ... menginginkan nyawa busukmu, keparat!” desis Tua Raja Tabir Mentari.
“Tidak segampang itu kau mengambil nyawa milik Jagal Satu, Tua Raja Tabir Mentari!” dengus orang baju hitam yang menyebut diri: Jagal Satu. “Tidak segampang itu!”
“Kita buktikan, siapa yang benar!”
Tubuh Tua Raja Tabir Mentari mendadak berkobar-kobar diselimuti api.
Swoshhh ... !
Jurus ‘Sinar Matahari Menembus Bumi’ adalah jurus ke tiga dari Ilmu ‘Iblis Matahari’ dimana jurus ini sanggup membumihanguskan area sejarak empat tombak bahkan lebih. Semua area yang dirambati hawa sepanas matahari akan langsung terbakar hangus. Kali ini, jurus pembawa maut langsung dikerahkan.
Tua Raja Tabir Mentari paling tidak sudak bertele-tele, mengumbar segala macam jurus yang tidak berguna adalah hal paling tidak disukainya. Barka Satya yakin kalau tokoh berselubung hitam di hadapannya berbeda dengan para Penjagal Kepala yang lain. Entah mengapa, dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa bahwa laki-laki yang menjuluki diri Jagal Satu merupakan lawan tangguh.
Dua tangan yang dikobari menyala segera mendorong ke depan.
Wuttt!
Sebongkah bola api menerabas udara.
Jagal Satu mendengus pelan, lalu di saat berikutnya dua tangan di tarik dari atas ke bawah seperti orang meninju bumi. Berikutnya dengan gerakan seperti mencongkel tanah, kedua tangannya yang telah diselimuti butiran-butiran hitam bernuansa dingin segera di dorong ke depan.
Wesss ... !
Jegerrr ... !
Terdengar benturan keras memekakkan telinga.
Barka Satya terkejut bukan alang kepalang melihat lawan sangguh memapaki jurus pukulan ‘Sinar Matahari Menembus Bumi’. Bahkan yang membuatnya lebih terkejut lagi, tangannya yang masih memendarkan hawa panas api justru terasa dingin membeku.
“Kau ... kau ... !?” bentaknya keras. “Kau memiliki Ilmu ‘Baju Es Hitam’! Apa hubunganmu Penghuni Gerbang Surga!?”
“Huh! Memangnya yang bisa jurus seperti itu hanya orang-orang sok suci itu!?” ejek Jagal Satu. “Jurus picisan seperti itu apa hebatnya!? Anak kecil saja juga bisa!”
Tua Raja Tabir Mentari yakin sekali bahwa hawa dingin yang menyengat tangannya adalah salah satu rangkaian dari Ilmu ‘Baju Es Hitam’ yang hanya dimiliki orang-orang dari Gerbang Surga.
“Dia berbohong,” pikir Tua Raja Tabir Mentari, “Jika begitu, aku harus membuktikan kalau dugaanku benar.”
Seiring dengan naiknya porsi kemarahan, hawa panas yang melingkupi Tua Raja Tabir Mentari semakin meningkat tajam. Bahkan dua orang terdekat dari Tua Raja Tabir Mentari harus menjauh beberapa tombak.
Swoshhh ... !
Sekilas, tubuh Tua Raja Tabir Mentari bagai di bakar api menyala-nyala yang kadang menjilat-jilat udara di sekitarnya. Meski begitu, tak satu pun bagian dari bulu rambut Barka Satya terbakar. Itulah hawa sakti tingkat dua dari Ilmu Sakti ’Iblis Matahari’ yang bernama jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’. Untuk menguasai jurus ini, Barka Satya harus berlatih keras di dalam perut kawah gunung berapi selama satu tahun penuh.
Salah sedikit dalam berlatih ... nyawa taruhannya!
Namun hasilnya memang tidak mengecewakan.
Setelah setahun penuh menyabung nyawa demi meningkatkan ilmu kesaktian, Tua Raja Tabir Mentari berhasil menguasai ilmu ini.
Lima tahun kemudian, barulah Barka Satya mencoba masuk ke tahap akhir dari Ilmu Sakti ’Iblis Matahari’ yang bernama ’Kekuasaan Sang Matahari’. Jurus ini cara melatihnya justru bertolak belakang dengan jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’. Jika jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’ harus berada dalam perut kawah api maka jurus ’Kekuasaan Sang Matahari’ semakin dalam lagi.
Tepatnya ... di inti kawah gunung berapi!
Benar-benar ilmu sakti yang mempertaruhkan nyawa untuk menguasainya.
Meski waktunya tidak selama mempelajari jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’, toh tetap saja berbahaya. Tiga kali sudah Barka Satya hampir gagal. Pada kali ke empat, barulah jurus ’Kekuasaan Sang Matahari’ bisa dikuasai sepenuhnya.
“Selama ini, belum satu kali pun jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’ kugunakan selain untuk latihan. Hemm .. ada baiknya manusia busuk ini sebagai tikus percobaan,” pikir Tua Raja Tabir Mentari sambil terus mengempos kekuatan terpendam dari jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’-nya.
Begitu mencapai hampir delapan bagian, Tua Raja Tabir Mentari melesat cepat laksana peluru meriam lepas dari sarang.
Wuuung ... !
Suara mengaung laksana lebah menggebah.
Jagal Satu sedikit terhenyak.
“Bangsat! Jurus apa yang digunakan manusia buntal ini!? Panasnya bagaikan matahari di atas kepala!” desis Jagal Satu sambil melangkah mundur dua tindak ke belakang tanpa disadarinya. “Brengsek! Satu-satunya ilmu tandingan yang kumiliki cuma Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan. Andai saja tingkat sepuluh sudah berhasil kutembus, tak bakalan aku gentar seperti ini.”
Kegentaran melanda hati Jagal Satu, namun sebagai salah seorang tokoh persilatan yang disegani tak membuatnya patah arang. Meski ia tahu kemampuannya tidak sebanding dengan lawan, tapi harga dirinya sebagai seorang tokoh silat yang mengharuskannya menghadapi setiap kenyataan yang ada. Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan dikerahkan hingga melebihi batas kemampuannya.
Sraaakk! Srakk!
Dalam waktu satu kedip saja, seluruh tubuh Jagal Satu terbungkus lapisan-lapisan es hitam pekat. Inilah Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan yang disebut dengan nama jurus ’Bongkahan Es Abadi’.
Sepasang telapak tangan terpentang lebar digerakkan beruntun dalam gerakan mendorong.
Wutt! Wutt! Wuss!
Tujuh-delapan bayangan tapak es hitam melesat cepat, menyongsong arah kedatangan Tua Raja Tabir Mentari!
Duarrr ... duarr ... jduarrr ... !
Tiga letusan beruntun terdengar saling susul-menyusul di sertai sengatan panas-dingin silih berganti. Benar-benar sebentuk pertarungan tingkat tinggi yang jarang sekali terjadi.
Sosok bola api terpental sejauh enam tombak lebih, menggelinding bagai bola sepak dan akhirnya berhenti setelah melindas hancur sebongkah batu sebesar gajah. Begitu kobaran api padam, terlihat sosok Tua Raja Tabir Mentari dalam posisi berjongkok. Terlihat jelas kalau dirinya baik-baik saja.
Akan halnya nasib Jagal Satu, sudah bisa di tebak.
Begitu benturan pertama terjadi, tubuh yang diselimuti oleh lapisan es hitam seketika hancur menyerpih lembut. Bahkan saking lembutnya, menjadi debu-debu kuning-hitam yang menyebar ke mana-mana. Jelas sudah, jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’ lebih unggul dari jurus ’Bongkahan Es Abadi’!
Pertarungan yang singkat memang, tapi sudah menunjukkan kelasnya sendiri!
Sementara itu, sisa dari Penjagal Kepala masih tarik-ulur dengan masing-masing lawannya. Namun, mengetahui Jagal Satu tewas, bukannya membuat nyali mereka kendor, justru Tiga Jagal yang tersisa semakin gencar membangun serangan. Sebab mereka yakin, kesempatan untuk lolos dari tempat itu sangat kecil. Apalagi yang menjadi lawan mereka bisa dikatakan tokoh silat kelas atas Perguruan Tanah Bambu.
Jagal Dua yang adu tanding dengan Tua Raja Pedang Bintang pun tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana pun juga tingkat ilmu kesaktiannya masih dua tingkat di bawah Jagal Satu, sedangkan Jagal Satu saja tewas di tangan Tua Raja Tabir Mentari.
Bisa dipastikan nyawanya juga di ujung tanduk!
Cara bertarung Tua Raja Pedang Bintang pun cukup aneh. Tidak ada gerakan sama sekali dari tubuhnya yang berdiri tenang dengan pedang tetap berada di belakang punggung. Namun setiap kali Jagal Dua menerjang dengan ayunan kapak kembarnya, sebentuk hawa pedang tanpa ujud menghadang.
Crang! Crang!
“Gila! Orang macam apa yang ada didepanku ini!?” desis Jagal Dua sambil matanya mengamati lawan. “Dia tidak bergerak sedikit pun, tapi sanggup menyerang balik.”
“Kenapa kau bengong, Jagal Dua!?” kata lembut Bramageni. “Bukankah kau menginginkan kepala manusia. Ini kepalaku, silahkan kau ambil.”
“Tua Raja Pedang Bintang! Jangan dikira dengan ilmu picisanmu membuatku gentar!” bentak Jagal Dua. “Yang tadi aku lakukan barulah pemanasan!”
“Ooo ... baru pemanasan?” ejek Tua Raja Pedang Bintang. “Lalu kenapa kau lintang-pukang macam monyet buduk menari?”
“Bangsat!”
Jagal Dua segera melemparkan dua kapaknya ke arah Tua Raja Pedang Bintang.
Wutt!
Craaang! Traang!
Lagi-lagi sebentuk hawa pedang melesat dan saling tabrak dengan dua kapak hingga terdengar suara nyaring.
Tentu saja Jagal Dua tahu kalau lemparan kapaknya tidak akan sanggup menembus benteng pertahanan lawan. Namun bukan itu tujuannya. Begitu tidak ada senjata di tangan, Jagal Dua memasang kuda-kuda kokoh. Sepasang tangannya di tangkupkan di depan dada dengan mulut berkomat-kamit seperti membaca sesuatu.
Apa yang dilakukan oleh Jagal Dua hanya dipandang saja oleh Tua Raja Pedang Bintang.
“Ilmu apalagi yang digunakan manusia satu ini,” kata hati Bramageni.
Belum lagi kecamuk dalam hati bramageni terjawab, dari bawah kaki Jagal Dua tiba-tiba menyembur asap tebal bergulung-gulung dan membungkus sosok lagi-lagi berpakaian hitam-hitam ini.
Blubb ... bluubb ... !
“Duh ... pake main asap pula ... “ gumam Tua Raja Pedang Bintang tanpa sadar. “Kayak anak kecil aja.”
Tiga-empat helaan napas, asap pun buyar. Dan satu sosok yang diluar perkiraan siapa pun --termasuk Bramageni tentunya-- telah berdiri kokoh menggantikan sosok Jagal Dua.
Bramageni secara tidak sadar mundur dua langkah.
Sosok yang sekarang berdiri kokoh dihadapannya bukanlah sosok yang bisa disebut dengan istilah : MANUSIA, tapi lebih tepat disebut dengan istilah : BINATANG LANGKA!

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd