Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.13

KEBENARAN SEMU




Membersihkan gudang ternyata butuh waktu jauh lebih lama dari yang kami perkirakan. Saat kami sudah mengeluarkan barang-barang dan kardus di gudang ternyata sebagian besar sudah bolong disana-sini. Ibu memilah-milah barang-barang yang masih bagus dan kami pindahkan ke dalam kontainer plastik tebal yang pasti lebih tahan pada tikus, rayap ataupun air.

Selagi Ibu memilah, aku sendiri memutuskan untuk mengecat dinding gudang, memasang lampu dan menambal genteng yang bocor agar gudang kami lebih aman.

Saat siang hari kami bekerja, malam hari kami gunakan untuk nonton tivi ataupun main game bareng bertiga. Kesibukan dan kelelahan membuat kami tidur lebih awal tiap malam.

Tiga puluh Desember kami bertiga hampir tertidur di depan tivi saat telepon rumah berdering, Ibu mengangkatnya dan berbicara beberapa menit di telepon.

“Sayang,” Nadia menoleh

“Itu tadi ibunya Tika, dia bilang besok malam tahun baru mau bikin pesta kembang api di rumahnya. Kamu diundang nginep disana. Merry sama Dian juga ikut. Kamu mau kesana?”

“Boleh, Bu?” Nadia terdengar tertarik.

“Ya, boleh kalau kamu mau, tapi ga boleh bandel ya.”

“Mas gapapa aku nginep di rumah Tika?”

“Gapapa, Mas masih bisa datang lagi lain kali.”

Nadia melompat ke pelukanku, lalu ke Ibuku.

“Besok sore Mas antar kesana.” kataku

Besoknya jam 4 sore aku sudah kembali dari mengantar Nadia. Ibu duduk di sofa nonton tivi. Sepertinya dia sudah mandi sore tadi, dan sekarang sudah berganti baju memakai rok pendek berbahan ringan, dan tanktop krem berbelahan dada rendah dengan tali tipis dibahu. Dia kelihatan seksi, empat tali tipis dari bra biru dan tali tanktopnya bersilangan di bahunya.

Dia menoleh menatapku. "Kamu lapar, Yo?"

Aku menggelengkan kepala. "Belum."

"Aku juga. Kalau gitu kita nonton VCD yang tadi dulu aja"

“Oke.”

Ibu bangkit memasang VCD ke player di rak bawah tivi. Aku duduk di lantai bersandar ke sofa. Kaki telanjang Ibu menempel di lenganku, dan dia menekan tombol play.

Film dimulai dengan tersendat-sendat, lalu muncul judul yang bergaris-garis tanda VCD lama yang hampir rusak. Musik mulai terdengar, dan di layar muncul kilasan adegan singkat film porno yang kami temukan beberapa hari lalu.

Ibu tertawa. "Aku ingat yang ini, Yo. Agak biasa. Mau ganti yang lain?"

"Biasa?"

"Ya. Kalau ga salah, cuma sekedar payudara dan pantat besar gitu, pemainnya bahkan ga cantik." Dia menekan stop dan aku merangkak lagi menganti dengan keping berikutnya. Tanpa janjian atau ada yang bilang apapun, sepertinya kami sepakat menyimpan VCD misteri yang kami temukan tadi untuk dipasang terakhir.

Aku bergeser ke belakang, dan Ibu menekan play lagi.

Semenit berlalu layar tidak menunjukkan gambar apapun, sepertinya yang ini sudah rusak tapi saat aku bergerak untuk menggantinya, gambar mulai muncul dan menunjukkan urutan yang mirip seperti sebelumnya.

"Yang ini sepertinya lebih oke," kata Ibu, "Ga ada gunanya nonton film porno kalau ga bikin terangsang, kan?"

"Sepertinya gitu," kataku.

"Kamu ga masalah kan, Yo? Ga malu nonton film porno sama ibumu?"

"Ga, kalau Ibu juga ga."

Dia terkikik. "Sudah lama aku ga nonton film macam ini."

"Oke.”

Film dimulai, dengan beberapa alur cerita. Seorang wanita sampai di rumahnya sore hari, kelihatan capek dan berkeringat. Lalu dia berjalan ke kamarnya sambil melepaskan satu-persatu bajunya, menyisakan bra, celana dalam, garterbelt dan stocking. Dia masuk ke kamar mandi besar dikamarnya dan melepas pakaian yang tersisa, lalu masuk ke bilik shower dan mulai mandi.

Akhirnya, jari-jarinya hinggap di kemaluannya dan lima menit kemudian dia mencapai klimaks. Dia baru saja selesai mandi saat seorang pria masuk ke kamar tidur. Wanita itu tampak kaget, lalu sadar kalau itu suaminya. Dia menelanjangi suaminya dan menariknya ke ranjang, adegan berikutnya lumayan standart, oral, penetrasi dalam beberapa posisi. Wanita itu orgasme atau pura-pura orgasme tiga kali sebelum suaminya menghadapkan penisnya ke wajah sang wanita lalu ejakulasi di sana.

"Bu, boleh nanya ga?"

"Kenapa, Yo. Tanya aja."

"Apapun?"

"Iya." Suaranya agak serak, mungkin karena dia ga yakin mau jawab, atau sedang terangsang karena adegan tadi.

"Kenapa kalau di film, cowok selalu ejakulasi di wajah wanita? Apa seharusnya gitu? Apa wanita suka itu?"

Dia tertawa. "Benar juga - selalu gitu, kan?"

"Seringnya gitu, setahuku. Buat wanita sebenarnya gimana sih, Bu?"

"Suka apa ga gitu?"

"Ya."

"Kamu pernah ngelakuin itu, Yo?" Ibu bertanya.

Aku berpikir sebentar, lalu memutuskan untuk berbohong dan bilang, “Ga pernah."

"Pernah kepingin seperti itu?"

"Lumayan," aku mengakui.

"Ibu dan ayahmu belum pernah seperti itu, sampai kami nonton video ini berdua,”kata Ibu. "Suatu kali aku terbawa suasana dan bilang ke ayahmu, keluarin di wajahku, mas, lalu dia melakukannya, bahkan ke seluruh tubuhku."

"Dan?" Aku bilang. "Gimana menurut Ibu?"

"Aku yang minta dia melakukannya. Dan jujur itu bikin Ibu terangsang. Dari erangan dan raut wajahnya, sepertinya Ayahmu juga menikmatinya. Ini... rasa pasrah, atau rela Ayahmu melakukan apapun yang dia mau.. Ibu ngerasa itu benar-benar mengairahkan. Aku ga tahu kalau wanita lain, ga mungkin kan ngobrol soal itu sama orang lain? "

"Sepertinya gitu."

Di layar adegan sudah berubah. Wanita itu ngobrol dengan teman wanitanya. Dan, seperti yang sering terjadi dalam film porno, mereka lalu berciuman, dan ga lama setelah itu melepas pakaian dan saling menjilat kemaluan rekannya.

Suaminya pulang dan menangkap basah mereka di sofa. Adegan wanita kaget, panik, lalu tersenyum licik dan berakhir dengan adegan threesome.

"Kamu pernah ngelakuin dengan dua cewek sekaligus, Yo?"

Aku teringat pada Mira dan Febi, tapi lalu menggeleng. "Sepertinya ga pernah."

"Ibu dengar ini fantasi semua pria, apa itu benar? Apa kamu juga mau ngelakuin itu?"

"Sepertinya," kataku.

Ibu mendorongku dengan kakinya. "Cuma sepertinya?"

Aku tertawa. "Oke. Pasti aku mau."

Ibu ikut tertawa, lalu turun merangkak menuju ke VCD player.

"Aku ganti ya," katanya. Bertumpu pada lutut dan tangannya, rok pendeknya naik, memajang pahanya yang ramping, hampir sampai ke pantatnya yang bergoyang saat dia menganti VCD, seolah sengaja memamerkannya. Lalu dia berbalik dan merangkak lagi ke sofa, leher tanktopnya jatuh menunjukkan payudaranya yang terkurung dalam bra biru muda. Dia duduk lagi di sofa, tapi kali ini bergeser tepat dibelakangku, kedua kakinya diletakkan di bahuku menjepit kepalaku di tengah pahanya.

Ibu menekan play.

Film ketiga lebih eksplisit dibanding sebelumnya. Lebih banyak posisi, lebih banyak ejakulasi di wajah. Kaki ibu menegang di bahuku saat film diputar, dan aku yakin aku bisa mencium aroma seksnya, dekat dari belakang kepalaku. Jari-jarinya bermain dengan rambutku, memutar dan membelainya.

Saat gambar menunjukkan dua wanita, satu berkulit putih, satu berkulit hitam, secara bergantian menghisap penis pria, aku bilang pada Ibu, "Kalian pernah threesome?"

Dia tertawa. "Ga mungkin!"

"Tapi Ibu dan Ayah nonton film-film ini. Apa ga pernah pingin nyobain?"

"Fantasi berbeda dengan kenyataan, Yohan. Ayahmu tahu itu."

"Kalau Ibu?" Aku menyandarkan pipiku di pahanya, tanganku memeluk betisnya.

"Aku selalu nurut Ayahmu."

"Tapi apa yang Ibu mau, Bu? Apa pernah kepikir ngelakuin sama wanita lain?"

Dia diam untuk beberapa waktu. Aku menoleh untuk melihatnya, tapi yang kulihat malah celana dalamnya, dan noda lembab di tengahnya.

"Apa Ibu pernah punya fantasi seperti itu, Bu?" Aku bertanya, mengalihkan perhatianku dari selangkangannya.

"Mungkin ... sekali atau dua kali."

"Tapi ga pernah kesampaian."

"Ga pernah ada kesempatan. Dan sekarang sudah ga mungkin." Dia terdengar sedih.

"Aku sudah bilang sebelumnya, Ibu masih muda, cantik, dan masih... masih seksi."

Dia tertawa terbahak-bahak. "Ya, ya, seksi konsumsi."

Ibu turun lagi dan merangkak ke player, memasukkan VCD terakhir.

"Oke," katanya, merangkak kembali dan duduk di sampingku, "Kita lihat kenapa Ayahmu ga nunjukin yang ini ke Ibu."

Kualitas gambar di VCD yang ini lebih bagus dari yang lain. Jalan ceritanya tentang orang-orang kaya, istri-istrinya dan pelayan di istana besar, seperti setting jaman eropa kuno.

Ibu merosot sampai hampir berbaring di lantai, lalu menarik bantal dan dijejalkan di belakang kepalanya. Dia mengangkat lututnya, dan bahan roknya yang ringan meluncur di pahanya, menyatu di area selangkangannya, hampir menunjukkan celana dalamnya.

"Yohan, apa ini bikin kamu terangsang?" dia bertanya.

"Uhm," kataku.

Lalu dia tiba-tiba mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas tonjolan di celanaku.

"Sepertinya begitu," katanya.

"Maaf, Bu," kataku.

"Buat apa? Aku akan lebih khawatir kalau kamu ga terangsang."

Kami menonton selama lima menit, lalu Ibu bilang, "Oh," dengan sangat lembut. "Mungkin ayahmu pikir aku ga suka yang kayak gini."

Seorang pria memasukkan penisnya ke anus salah satu pelayan.

"Apa dia benar?" Aku bilang.

"Benar?"

"Ibu ga suka yang kayak ini?"

"Ini juga seks kan," kata Ibu, lalu, "Kamu pernah, Yo? Kamu pernah anal seks?"

Aku menggelengkan kepala. "Tidak." Kali ini tidak bohong.

"Aku pasti mau kalau Ayahmu minta," kata Ibu. "Aku selalu penasaran. Tapi sepertinya dia ga pernah tertarik. Pasti dia kira aku ga akan mau."

"Ibu pasti mau?" Aku bertanya. Penisku mulai terasa sakit.

"Pasti. Oh, aku tahu sebagian besar wanita ga mau anal seks. Aku bisa paham alasannya. Mungkin sakit atau kotor. Tapi Ibu sendiri ga masalah. Cuma ga punya kesempatan."

"Ibu masih muda," kataku, "Dan masih ..."

Ibu memukulku lenganku dengan keras. "Dan masih seksi dan cantik, ya, ya, ya."

"Ya, betul!" Kataku, memukul balik tangannya.

Lalu candaan berubah jadi kompetisi. Ibu berusaha memegang tanganku, aku berusaha melawan dan di saat yang sama mendorongnya ke bawah dan menjauh. Roknya semakin tersingkap, menunjukkan celana dalamnya, biru muda sewarna dengan bra-nya.

Kami bergulat selama beberapa menit, beberapa kali aku ga sengaja memegang payudara atau pantatnya, dia juga ga sengaja menyentuh penisku, lalu Ibu bilang, "Nyerah-nyerah," menjatuhkan diri ke bantalnya, terengah-engah.

Aku berbaring di sebelahnya, menarik-narik celanaku memberi ruang untuk penisku.

Di layar pria itu mulai mendengus. Dia menarik penisnya keluar dari pantat pelayannya, yang segera berbalik dan menghisap kemaluan sang pria ke mulutnya saat spermanya tersembur.

Ibu mengangkat lututnya lagi, kali ini tangannya meluncur ke pahanya dan berhenti di atas celana dalamnya. Wajahnya merah dan nafasnya masih terengah-engah.

"Ini mulai benar-benar bikin Ibu terangsang, Yo," katanya.

"Apa Ibu mau aku.. minggir sebentar?"

"Ya ampun!" dia bilang. "Ga usah. Tetap di sini. Tapi apa kamu keberatan kalau aku... aku benar-benar butuh pelepasan."

Jari-jarinya sudah mulai bergerak di atas celana dalamnya, menggosok vaginanya dari luar.

"Silakan, Bu."

"Kamu ga keberatan?"

Aku tertawa pelan. "Keberatan apa? Seorang wanita muda yang cantik dan seksi masturbasi di sebelahku...?"

Ibu menamparku dengan lembut dengan tangannya yang bebas. "Ya, ya. Terus, kamu sendiri, Yo?"

"Maksudnya?"

"Kamu juga terangsang?"

"Rasanya gitu."

"Kamu mau gabung?"

"Apa, masturbasi?"

"Mm-hm."

"Ibu ga keberatan?"

Gilirannya untuk tertawa. "Keberatan apa, seorang pria muda yang tampan dan gagah masturbasi di sebelahku.? Hmm... Rasanya Ibu bisa terima"

"Itu ga.. tahu kan? jadi aneh?"

"Ibu dan kamu?" dia bertanya, tahu persis apa yang kumaksud.

"Aku dan Ibu," kataku.

"Mungkin. Tapi aku masih tetap harus tuntasin. Dan kamu juga. Lebih aneh kalau kita masuk kamar masing-masing terus diselesaiin disana, tapi tahu apa yang kamu atau aku lakuin di kamar sebelah."

Aku mengangguk, "Mungkin."

"Kalau gitu, lepas celanamu dan lakukan disini, Yo."

Aku ragu-ragu, tapi Ibu sudah menarik celana dalamnya sampai ke paha lalu berbaring. Dia menarik roknya ke atas, menggulungnya di pinggang. Aku bisa lihat bulu kemaluannya, melihat jari-jarinya yang terbenam lebih kebawah, dan mulai bergerak keluar masuk.

Penisku terasa seperti terbakar, dan aku menarik celana dan celana dalamku ke bawah, membiarkan kemaluanku berdiri bebas.

Ibu menatap penisku. "Wow, Yo, itu gede banget, ya kan? Aku pingin tahu seperti apa rasanya."

"Apa?"

Dia mengangguk, menggigit bibir bawahnya. "Serius. Apa kamu ga pernah mikir tentang aku seperti itu?"

"Uhm," kataku.

"Kocok, Yo, aku mau lihat?"

Aku menurut, jemariku melingkari kemaluanku, perlahan-lahan telapak tanganku bergeser naik turun.

Di layar sekarang menampilkan lima orang. Dua pria menancapkan kemaluannya ke anus dua orang wanita, wanita ketiga. Wanita ketiga sedang dicium oleh salah satu wanita yang sedang dianal, sedangkan yang lain menjilat vaginanya.

Ibu menurunkan tali tanktop dari bahunya dan menariknya kebawah, lalu tangannya bergerak dan terselip ke dalam bra-nya.

"Sial, Yo, ini enak. Aku ga peduli kalau ini ga normal, tapi rasanya enak banget mainin vaginaku seperti ini di sebelahmu."

"Duduk, Bu," kataku, lalu tanganku melepas penisku dan meraih bajunya. Ibu mencondongkan tubuh ke depan dan aku menarik lepas tanktopnya. Ibu membuka kait bra-nya, mengoyangkan bahu dan membebaskan payudaranya, lalu berbaring lagi. Payudaranya besar, dan masih kencang, hampir ga kendur sama sekali. Putingnya keras, dan dia memilinnya di antara jari-jarinya.

Lalu Ibu menarik tangan dari vaginanya dan meraih ke sebelah, menarik tangganku dengan jari-jarinya yang basah dan licin, dan mengarahkannya ke antara kedua kakinya.

"Kamu mau bantu Ibu kan, Yo. Tolong...?"

"Aku mau," kataku.

Tangannya kembali terulur dan memegang penisku.

"Dan Ibu boleh ngelakuin ini?" dia bertanya.

"Lebih dari boleh," kataku.

"Mm ..." Jari-jarinya yang ramping membungkus penisku dan membelaiku dengan lembut. Saat mencapai kepala penisku jarinya meratakan pelumas yang keluar dari lubang kencingku ke sepanjang batang ku yang mengeras.

Jari-jariku sendiri menemukan lipatan dalam vaginanya yang licin dan basah dan dua jariku menekan disana. Telapak tanganku tergesek klitorisnya yang menonjol dan memijatnya lembut saat jari-jariku mencelup keluar masuk.

Ibu terengah-engah sekarang, rona merah menyebar di payudara dan lehernya. Matanya terbuka melihat tangannya yang menggosok penisku. Bibirnya terbuka dan sesekali lidahnya keluar membasahi. Kulihat payudaranya yang besar berguncang saat tersentuh lenganku, yang terdorong oleh gerakan pinggulnya yang terangkat.

Vagina Ibu makin basah dan menimbulkan suara becek yang jelas di telinggaku. Kepalanya menggeleng kanan kiri, mulutnya terbuka melepaskan desahan.

"Aku mau sampai, Yo, cepetin.. Sshh!" dia mendesis.

Aku mempercepat gerakan tanganku dan dia mengerang, merosot sampai telentang di atas karpet. Aku setengah miring ke arahnya sehingga tangannya tetap bisa memegang penisku dengan baik. Aku sendiri sudah hampir sampai, tapi bertahan sekuat tenaga agar bisa orgasme bersamaan. Dan titik itu datang tiba-tiba. Ibu tersentak dan berteriak, menggigit bibirnya agar suaranya teredam, kurasakan dinding vaginanya meremas jari-jariku dan dia berkelojotan dan gemetar. Semburan cairan hangat membasahi tanganku dan dia mengangkat pinggulnya dari lantai, tangannya melepas penisku lalu menahan tanganku tetap di vaginanya, tak ingin membiarkan gelombang klimaks yang hebat berlalu terlalu cepat.

Dia membuka matanya dan menatapku, tersenyum.

"Terima kasih," katanya.

Tangan kirinya terulur lagi, kembali mengenggam penisku yang kaku.

"Kamu belum keluar, Yo."

"Hampir," kataku.

Dia menyeringai. "Mau keluar di payudaraku?" Dia mengangkat payudara kirinya dengan tangan satunya, mengoyangnya sedikit.

"Ya Tuhan, Ibu yakin?" Aku bilang.

"Rasanya kamu pasti mau." Dia menyeringai. "Ayo, sini."

Dia menarik, mengarahkan aku untuk mengangkangi pinggangnya. Penisku terbujur di antara gundukan besar dan dia mendorong keduanya dari samping, menjepit penisku.

"Gerakin, Yo," katanya.

Aku mengayun pinggulku, melihat kepala penisku muncul dan tenggelam di antara bulatan payudaranya. Tubuhku condong ke depan bertumpu di sofa di dekat bahunya.

"Cepet, Yo, keluarin di dada Ibumu!"

"Keluar," desisku mengejang. Aku melihat ke bawah saat kepala penisku meludahkan sperma ke dagunya yang menetes ke dadanya. Saat semburan kedua keluar, Ibu berusaha duduk dan melepaskan penisku dari payudaranya, diganti dengan tangannya yang mengarahkan penisku ke wajahnya, mengocok dengan cepat. Semburan berikutnya keluar langsung di wajahnya dan cairan maniku menutupi pipinya, hidungnya, bibirnya. Dia menyeringai, semburan terakhir mendarat di giginya.

Aku bergidik, mundur dan berbaring di karpet. Memandang Ibu yang membersihan wajahnya dengan jari lalu menghisapnya, menelan dalam sekali tegukan.

“Sekarang aku lapar.” kataku

Ibu menoleh padaku, "Apa aku ibu yang jahat, Yo?"

Aku menggeleng. "Seorang ibu yang luar biasa."

"Yang barusan terjadi - itu salah, Yo."

"Apa Ibu menginginkan itu?"

Dia menatapku dan mengangguk. "Sudah lama Ibu pingin itu."

"Oh ya?"

Dia mengangguk lagi.

"Aku juga sudah lama pingin ngelakuin itu sama Ibu."

"Beneran?"

Aku mengangguk dan menciumnya bibirnya.

Dia melihat ke jam di dinding, jam sembilan malam.

"Ibu harus mandi lagi, kamu bikin lengket."

"Oke, Kalau gitu aku siapin makan malam dulu."

Dia menciumku lagi, "Mau mandi bareng."

Aku memandangnya. "Aku mau...”, detik berikutnya perutku yang bersuara.

“Lain kali kalau gitu.” Katanya tersenyum lalu bangkit dan pergi ke kamar mandi.


----------0----------​


Jam sepuluh kami selesai makan, aku mandi untuk membersihkan diri, lalu berjalan balik ke ruang tengah, bermaksud menonton acara malam tahun baru di tivi hari ini.

Ibu berbaring di sofa, dia ga merasa perlu berpakaian setelah mandi tadi, dan hanya memakai jubah sutra yang baru kubawakan dari Jakarta, hadiah dari Mira.

"Bisa ambilin anggur lagi?” katanya saat melihatku

Aku pergi ke dapur, membuka botol baru dan mengisi dua gelas, membawanya kedepan.

Ruangan itu remang, hanya satu lampu meja kecil yang memancarkan cahaya kuning di samping sofa.

Aku duduk di kursi di seberang Ibu dan dia menoleh dan cemberut. "Apa kamu ga mau duduk di sini peluk Ibu?"

"Apa itu bijak?" Aku bilang.

Dia terus cemberut, lalu menggelengkan kepalanya. "Mungkin ga. Tapi jujur, aku ga peduli soal itu bijaksana atau ga." Dia menatapku dengan tajam.

Dia duduk dan menepuk bantal lagi. "Sini Yo," katanya, dan aku tahu persis apa yang dia maksud.

Aku menyelinap di belakangnya, membuka kakiku kesamping. Lalu seperti biasa dia bersandar di dadaku dan bergeser sehingga pantatnya menempel erat di selangkanganku. Dia meraih kedua tanganku dan menarik mereka memeluknya, dengan sengaja menempatkan satu di perutnya, satu langsung di payudaranya. Sutra tipis jubah itu ga membantu menghalangi apapun, dan rasanya tanganku langsung menyentuh kulitnya. Kurasakan putingnya menegang di bawah telapak tanganku.

"Peluk aku erat-erat, Yo, seperti yang kamu lakukan sebelumnya..."

Aku menariknya mundur, mencium bagian atas kepalanya, rambutnya masih basah segar di bibirku.

Ibu menghela nafas dan tubuhnya rileks. Sekarang posisinya seperti sedang kupangku, bagian belakang kepalanya sejajar dengan bibirku, pantatnya yang padat menempel di perut bagian bawahku.

Aku memilin putingnya yang keras dengan jempol dan telunjukku, tapi dia seperti tercekik dan aku berhenti.

Dia menggeleng dan bergumam, "Gapapa, Yo, aku suka itu."

Aku mencium belakang telinganya dan merasakan dia menggigil.

Tanganku yang lain menarik ikatan jubahnya sampai lepas. Kutarik kain lembut jubahnya ke samping untuk membuka tubuh telanjangnya. Jari-jariku dengan ringan meraba perut rampingnya tanpa penghalang.

Ibu menghela nafas lagi dan bilang, "Kamu bisa lepas bajumu juga kalau mau, Yo."

Aku mendorongnya duduk dan membuka kaosku. Ibu pindah ke ujung sofa dan memperhatikanku. Dia melirik celanaku dan mengangguk kecil. Lalu aku berdiri dan menariknya ke bawah. Dia menatapku dan mengangguk lagi, aku menarik lepas celana dalamku nya dan duduk telanjang di sofa.

Ibu melepaskan jubahnya, lalu kembali duduk di antara kedua kakiku, kami berdua telanjang.

Penisku keras membatu dan terhimpit di punggungnya. Aku menangkup payudaranya yang kenyal dan meremasnya, mengangkat dan menekannya, menjepit putingnya yang keras.

Kucium lehernya dan lidahku bergerak ke rahangnya dan naik ke daun telinganya dan dia menghela nafas dan menggigil. Aku sudah ga bisa berhenti sekarang, meskipun tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku mengerakkan satu tangan yang lain ke pahanya dan naik perlahan-lahan membelai lekuk lembut kakinya. Aku mengintip dari balik bahunya, menatap payudaranya yang besar dan telanjang.

Aroma seksnya yang khas memenuhi nafas kami yang memburu. Penisku terasa sakit dan aku mundur untuk meringankan tekanan tapi Ibu mengejar dengan pinggulnya kebelakang.

Aku menangkup vaginanya, merasakan panas dan basah keluar dari sana. Jari tengahku menekan dan membelah vaginanya. Dengan lembut kumasukkan jariku lebih dalam dan Ibu merespons dengan mendorong pinggulnya ke atas ke tanganku, memaksaku untuk melanjutkan.

"Enak, Yo," gumamnya.

Tangan kananku terulur ke vaginanya mengantikan tangan kiri dan mulai bekerja lebih serius. Ibu terengah-engah sekarang, pinggul nya ditekan dan diayun sehingga dia bisa merasakan jari-jariku di vaginanya dan penisku di punggungnya. Tanganku menekan payudaranya dan menarik putingnya, berpindah dari satu ke yang lain, bibirku menciumi lehernya.

Desahannya berubah jadi erangan dan ayunan pinggulnya jadi lebih cepat.

Sesekali jempolku menyentuh klitorisnya, membuatnya tersentak, dan lalu dia menjerit pelan, menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bangkit menjauh dariku, jatuh lagi dan bangkit lagi. Pahanya menjepit tanganku, dan cairan hangat menyembur ke telapak tanganku saat dia orgasme, menggigil dan kejang.

Gairahku sendiri mencapai puncak tergesek kulitnya yang licin karena keringat dan kurasakan penisku menyemburkan cairan hangat ke punggungnya, meledak keluar dariku.

Perlahan dia rileks, bersandar padaku, gairah bagai terkuras darinya.

"Oh, Yohan," katanya lembut, "Aku tahu kita seharusnya ga melakukan itu, tapi aku ga bisa ..." dia berhenti, aku merasakan bahunya gemetar dan sadar dia menangis.

"Bu..." Aku marah pada diriku sendiri. Aku sudah membuat ibuku yang cantik menangis, hanya karena aku ga bisa mengendalikan diri.

Dia berbalik menghadapku, air mata mengalir dari pipinya. Lehernya terulur lalu dia menciumku di bibir.

"Gapapa, Yohan, gapapa. Aku... aku ga bisa menahan diri... Aku ga mau kamu berhenti... sudah lama Ibu ga ngerasain yang seperti itu... terima kasih , Yohan ... terima kasih. " Dia menciumku lagi, lebih dalam.

"Aku sangat mencintaimu, Bu," kataku.

Dia tertawa lembut dan mengusap air matanya. "Aku juga mencintaimu, Yohan. Kamu tahu itu. Tapi ini bukan cinta yang seperti itu, ya kan, anakku sayang?"

"Kalau ini cinta yang seperti itu, aku ga keberatan, Bu."

"Apa itu benar, Yohan? Atau kamu cuma..."

Aku menciumnya, memotong kata-katanya. "Itu benar, Bu. Kamu luar biasa cantik. Kalau ini salah maka aku ingin selalu salah."

"Yohan," katanya, "Kalau gitu cium aku, Yo, cium aku, lalu setubuhi aku."

Aku tahu itu salah, tapi aku menundukkan kepalaku dan menekankan bibirku ke bibirnya.

Kurasakan mulutnya terbuka, dan lidahnya menyelinap menjelajahi mulutku. Dia menekankan payudaranya yang lembut dan kenyal ke arahku, lalu mundur dan duduk mengangkangiku, menarik kepalaku dengan kedua tangan saat dia menciumku lagi.

Aku mengangguk, merasakan penisku semakin menegang.

Ibu mendorongku kembali dengan tangan di perutku. "Kau sudah siap, Yo," katanya.

"Aku ingin bersetubuh denganmu, Bu. Aku sangat ingin bersetubuh denganmu." Aku gemetaran, ga yakin apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Ibu mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Aku juga ingin kamu meniduriku,"

Aku mengangguk.

Ga mungkin aku bisa berhenti, aku ga ingin berhenti. Aku menginginkan Ibuku dengan segala cara yang mungkin.

Tanganku bergerak turun dari lehernya, ke bulatan payudaranya dan ke perutnya. Tubuhnya ramping dan kencang dari payudara ke selangkangan. Kubiarkan tanganku turun, lalu mencolek pinggulnya, meraba rambut-rambut halus vaginanya lalu berhenti di pahanya. Dia mendesah setiap kali jariku menyentuhnya.

"Buat aku orgasme lagi, Yo," bisiknya.

Aku mengangkat tubuhnya dan membalikkannya, sedikit kasar. Pantatnya menunging ke arahku, begitu indah hingga aku harus menciumnya. Aku membungkuk dan mencium bagian belakang pahanya, bibirku bergerak perlahan ke atas, kadang di bagian dalam pahanya, kadang di belakang, ke pantatnya dan mencium sepanjang belahannya lalu lidahku keluar menyentuh lubang anusnya, membuatnya melompat lalu mengerang, persis seperti Mira.

"Ya ampun, ga ada yang pernah ngelakuin itu ke Ibu."

"Mau aku berhenti?" Aku bilang.

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga, jangan berhenti. Itu sangat kotor, sangat sensitif... tapi aku suka."

Aku tersenyum dan menjilatnya lagi dan dia mengerang keras.

"Urgghh," serunya. "Cukup, Yo. Cepat setubuhi aku."

Dia berguling dan berbaring di depanku, aku menatap vaginanya yang dibuka untukku.

"Kamu suka?" katanya.

"Suka banget," jawabku.

"Aku cukur khusus buatmu, Yo. Aku ingin kelihatan bersih didepanmu."

Aku menurunkan wajahku ke vaginanya dan menghirup aroma khasnya. Lidahku menyentuh bagian luar bibirnya dan dia menggigil. Aku melanjutkan, menjilati bibir vaginanya dan menghisap cairan yang keluar darinya.

"Kamu bisa bikin Ibu cepet sampai kalau gitu," serunya.

Aku mengangkat wajahku darinya. "Kalau gitu," kataku, dan turun lagi, kali ini menyelipkan jari ke vaginanya yang banjir.

Dia mengayunkan pinggulnya kearahku, liar dan ga terkendali, sehingga aku hampir ga perlu bergerak, cukup memastikan jari dan lidahku ada di tempat yang pas.

"Aku samm..pai!"

Dia gemetar, tersentak, dan aku menghisap semua cairan yang keluar. Dia menabrakkan kemaluannya ke mulutku, mengerang tertahan, tubuhnya kaku, lalu perlahan rileks.

Dia membuka matanya dan menatap langsung ke mataku. "Apa kamu belajar itu di Jakarta?"

Aku tertawa. "Otodidak, kayaknya."

Dia duduk dengan cepat dan menciumku. "Oh, aku mencintaimu, cinta, cinta, cinta," katanya, menarik kepalaku ke payudaranya. Aku membuka mulutku untuk mengisap putingnya yang menonjol.

Dia mendorongku menjauh, "Go boleh. Sekarang giliranmu, Yo."

Dia bergeser mundur dan menarikku duduk di ujung sofa.

“Kesini,”

Aku setengah berbaring, dan Ibu menunduk di antara pahaku, kedua tangannya memegang penisku.

"Yohan," katanya dengan suara kecil, "Penismu indah."

"Kita ga harus lanjut, Bu," kataku.

Dia menggeleng, "Oh, harus, Yo. Tapi kita juga harus hati-hati, Aku ga minum pil atau apa pun. "

"Aku punya, eh, pengaman," kataku.

Dia menggeleng lagi. "Ga mau ada pembatas antara aku dan penismu yang indah ini. Asal jangan keluarin di dalam aja."

Dia meraih ke bawah dan melingkarkan tangannya di penisku. Dia membimbingku ke pintu masuk vaginanya dan aku merasakan bibirnya terbelah karena kelapa penisku, panas dan lembab. Aku mendorong dan dia bergerak menjauh, lalu tersenyum nakal dan menurunkan pinggulnya, menenggelamkan kepala penisku ke dalam lalu berhenti.

"Ya Tuhan, gede banget. Rasanya sesak di dalam."

"Oke?" Aku ga tahu harus bilang apa lagi.

"Brengsek, enak, Yo" racaunya dan melenjutkan gerakan yang tadi terhenti, menenggelamkanku jauh ke dalam dirinya sampai pangkal penisku menempel di bibir vaginanya.

Dia terengah-engah dan tangannya menekan perutnya dan menyeringai. "Sumpah, kerasa sampai disini," katanya.

Aku mulai mengerakkan pinggulku, menarik setengah jalan keluar lalu mendorong seluruh penisku masuk ke dalam. Dia melemparkan kepalanya ke belakang dan meremas payudaranya sendiri, memutarnya, menarik putingnya sendiri.

Aku mengulurkan tanganku dan menggesek klitorisnya yang keras dengan jempolku.

"Yohan," dia megap-megap, "Jangan lupa - aku ga - aku ga pakai - apa pun - jadi kamu - kamu ga bisa keluar - di dalam..."

Aku menatapnya, berhenti bergerak dan menunggu sampai matanya terbuka menatapku, lalu mengangguk. "Aku janji ga keluar didalem," kataku.

Dia tersenyum dan menutup matanya lagi. "Anak pintar." Lalu menunggangi penisku yang terkubur dalam, jauh di dalam dirinya, bernapas makin cepat dan makin cepat. Aku mengangkat tangan dan memegang payudaranya, menarik putingnya, mengangkat kepalaku ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya, mengisap dan menjilatinya, membasahinya dengan air liurku.

"Nnnh," katanya, "aku dapet lagi, Yohan, sampaii.., yess, oh anakku sayang, setubuhi aku sekarang, aku dapat lagi sekarang!"

Dia mengerang dan mulai gemetar, payudaranya berguncang dan berayun. Kurasakan otot-otot di dalam dinding vaginanya mencengkeramku dan meremas-remas. Dia mendesis dan menutupi mulutnya dengan tangan, menahan teriakan. Mungkin dia lupa kalau kami sendirian dan dia bisa teriak semaunya di antara suara kembang api dan mercon tahun baru diluar. Ibu memegangi tangannya erat-erat di mulutnya dan seluruh tubuhnya bergetar, gemetar dan udara mendesis pendek dan cepat keluar dari hidungnya lalu dia jatuh ke dadaku.

"Sialan..," erangnya, "Kamu binatang, Yohan... dan aku juga. Kamu juga dapat?"

Aku menggelengkan kepala dan mencium dahinya yang berkeringat.

"Kok bisa kamu belum keluar!"

"Aku sudah janji," kataku.

Dia menciumku, dengan lembut, "Antar aku ke kamar, aku mau kita tidur bareng malam ini, Yo."

Tangannya memeluk leherku, kakinya mengunci pinggangku saat aku bangkit dan menggendongnya. Penisku masih terjepit di vaginanya, tergesek saat aku berjalan ke kamarnya. Kami baru melewati pintu kamarnya saat gairahnya terpancing lagi. Dia merosot turun dan penisku terlepas, lalu dia menjatuhkan dirinya berlutut di depanku.

Bibirnya terbuka dan perlahan melahap setengah batangku masuk kemulutnya. Bibirnya membungkus ketat, lidahnya membelai bagian bawah penisku, maratakan liurnya membasahi kemaluanku.

Aku mengangkat ketiaknya dan memutar tubuhnya menghadap meja rias, dia tahu apa yang harus dilakukan dan membungkuk lalu menyodorkan pantatnya kebelakang.

Dalam satu gerakan kuposisikan tubuhku di belakangnya dan menyelipkan penisku memasuki vaginanya. Perlahan aku bergerak maju mundur, memegang pinggangnya sebagai tumpuan.

Kulihat ekspresi wajahnya dari cermin didepannya. Alisnya berkerut saat matanya terpejam, mulutnya terbuka tanpa suara, satu tangannya meremas payudaranya, jadi kuulurkan tanganku meremas payudara satunya lagi.

“Terus, Yo.” Desahnya

“Aku ga berencana berhenti, Bu.”

“Mungkin sekarang, kamu bisa panggil namaku kalau kamu mau.. Oh..”

Aku menatapnya melalui cermin, “Apa Ibu keberatan kalau aku tetap panggil Ibu?”

Dia mengeleng, “Ga. Kamu masih mau memanggilku Ibu, setelah kita melakukan ini?”

Aku menarik bahunya, lalu wajahnya menoleh dan aku menciumnya. “Ya, aku akan tetap memanggilmu Ibu.”

Dia membalikkan badan dan balas menciumku. “Sejujurnya lebih mengairahkan jika bersetubuh dengan orang yang memanggilku Ibu.”

“Dengan senang hati, Bu.” Aku mendorong tubuhnya bersandar ke tembok dan mengangkat kaki kanannya lalu menyelipkan penisku kembali kedalam vaginanya. Aku bisa melihat langsung wajahnya kali ini.

Dia mengulurkan kedua tangannya ke pantatku dan menarikku mendekat, memaksaku masuk lebih dalam. Payudaranya terhimpit di dadaku, putingnya mengesek kulitku, saat kurasakan remasan yang familiar di penisku.

Tubuhnya mulai bergetar dan mengejang, saat kupercepat gerakanku.

Penisku terguyur cairan hangat lalu kuhimpit tubuhnya ke dinding, kubungkam mulutnya dengan bibirku saat gelombang orgasme kembali melandanya.

Setelah kejangnya mereda, kutarik penisku keluar dari vaginanya, tubuhnya merosot bersandar ke tembok. Mulutnya setengah terbuka, saat air maniku memancar keluar, jatuh di bibirnya, ke dagu dan dadanya.

“Ampun, Yo. Kamu harus mengendongku sekarang. Kakiku seperti tak bertulang.”

Aku mengangguk, kubersihkan wajah dan tubuhnya dengan tissue basah lalu menggendongnya ketempat tidur.

Pagi hari aku bangun, penisku hangat, keras, terbenam di antara bibirnya. Kulemparkan selimut sehingga aku bisa melihat dengan jelas dan dia tersenyum padaku, bergumam "Pagi," tanpa mengeluarkan penisku dari mulutnya, lalu kembali ke kegiatannya.

Aku berbaring di bantal dan memperhatikan saat lidahnya menyentuh dan menghisapku, dan tanpa menahan, aku membanjiri mulutnya dengan air mani. Dia menelan semuanya dan merangkak naik lalu menciumku, aroma sperma masih tercium di bibirnya.

Aku memeluknya erat-erat di sampingku, kaki kanannya bersilang di pinggangku, payudaranya menekan tulang rusukku, dan aku membelai kulit lembut punggungnya.

"Apa aku ini ibu yang buruk, Yo?" dia bertanya setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Aku praktis merayumu tadi malam. Apa itu namanya?"

"Luar biasa," kataku.

"Tapi aku sangat terangsang. Aku egois, ga mikir apa yang kamu mau."

Aku menutup mulutnya dengan jari aku. "Apa yang aku mau, yang selalu aku mau, selama bertahun-tahun, adalah bersetubuh denganmu," kataku.

Dia menatapku, mengangkat tangannya dan menarik jariku. "Kamu serius?"

Aku mengangguk.

"Kamu bisa menyetubuhiku kapan saja kamu mau, Yo. Kamu tahu itu?"

"Sekarang aku tahu," kataku.

"Kapan saja,"

Siang hari Ibu mengantarku ke Jogja, aku naik pesawat sore ke Jakarta.

Di bandara, Ibu mengandeng tanganku, tidak peduli siapa yang mungkin melihat kami.

Kami berjalan menuju terminal keberangkatan saat dia bilang, "Yo... Bisa Ibu tanya sesuatu?"

Aku tersenyum. "Kita ga punya rahasia kan sekarang?"

Dia balas tersenyum. "Apa kamu dan Miranda, kamu tahu, ngelakuin sesuatu?"

Aku memandangnya, mengira-ngira jawaban apa yang dia cari. Aku menggeleng. "Aku sudah bilang, dia ga suka cowok."

"Termasuk kamu?"

"Aku kan cowok, Bu. Bahkan lumayan jantan kalau Ibu ingat semalam." Aku bilang.

Ibu memukul pelan dadaku.

Lalu dia bilang, "Tapi, kamu harus tahu, Yo, tentang Miranda. Aku ga bermaksud melarang, kalau kamu mau, kalau dia mau, mungkin juga ga ada yang akan terjadi, seperti yang kamu bilang dia ga suka cowok, tapi... "

"Bu, ada apa sebenarnya?"

"Saat aku umur delapan belas tahun - seumuranmu, sedikit lebih muda - aku..." dia menatap tangannya, menarik nafas dalam-dalam dan menatapku lagi, "Aku dan Om Bambang pamanmu, kami ngelakuin apa yang kamu dan aku lakuin. Dia meniduriku." Dia mengangkat tangannya saat aku mulai bicara. "Ga - aku ingin dia ngelakuin itu. Kami melakukan itu selama selama sekitar setahun, lalu aku hamil dan dia pergi, tapi dia ga tahu, aku bilang itu pacarku, tapi bukan. Kamu anaknya. Miranda itu saudara tirimu. "

Aku menatapnya dengan mulut terbuka. Apa semua keluargaku ngelakuin incest?

"Tapi... Miranda ga tahu. Paling ga aku cukup yakin dia ga tahu. Mungkin ga ada orang lain yang tahu selain aku. Dan sekarang kamu juga tahu. Om Bambangmu ga tahu, aku ga mungkin ngasih tahu dia."

"Aku ga akan bilang apa-apa, Bu."

"Kalau sampai, kalau terjadi sesuatu di antara kalian berdua - aku ga bilang itu akan terjadi, tapi kalau itu terjadi - aku mau kamu tahu aku ga akan melarang. Aku tahu, sepupu masih terhitung incest, tapi bahkan kalau dia saudara tirimu, aku tetap ga akan melarang." Dia tertawa. "Gimana mungkin, Yo, setelah apa yang sudah kita lakukan?"

Aku memeluknya erat, mencium bagian atas kepalanya tetapi dia mendongak dan menarikku ke bawah untuk menciumnya mulutku.

"Aku sangat mencintaimu, Yo, kamu tahu itu. Dan apa yang kita lakukan sangat spesial buatku, dan aku akan mengingatnya selamanya, tapi kamu harus nemu seseorang seumuranmu, mungkin bukan Miranda, tetapi seseorang. Aku ga akan jadi Ibu yang posesif dan ketergantungan yang memintamu pulang dan bersetubuh denganku sewaktu-waktu." Dia terkikik dan aku ikut tertawa.

"Tapi gimana kalau aku yang mau pulang dan menidurimu?" Aku bilang.

"Yah, kalau kamu benar-benar kepingin..” Dia tertawa lagi.



Bersambung...
 
Bimabet
Anjayyyy keren sangat suhu updatenya.... Cerita incest yg soft... Saya suka suhu... Ditunggu update selanjutnya suhu... Gak perlu terburu2 asal kualitas updatenya seperti ini suhu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd