Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

jejak chapter 14
konti 23cm
 
Mungkin cerita seperti ini lah yg mulai hilang di semprot. Cerita yang alurnya ngalir, jadi ketika dibagian SS tidak terkesan di paksakan. Detail juga di perhatikan. Hingga dengan 1 kali bacapun udah bisa nangkep situasi dan kondisi dalam cerita. Thank gan. Dengan cerita ini bisa bikin nostalgia ketika baca cerita" Pelopor di bikinnya SF Cerbung.
 
CHAPTER.15
BUSINESS PLAN



Aku terus merekam. John terus membelai tubuh Cindy, menggerakkan jari di atas putingnya dengan ringan, dan pelan-lahan gairahnya bangkit lagi.

"Giliranku?" Kata John.

Cindy mengangguk. "Giliranmu. Setubuhi aku."

John menyeringai dan memegang kemaluannya, menempelkan kepala penisnya di vagina Cindy. Aku bergerak mundur, memfilmkan tubuh Cindy, berfokus pada proses kepala penis John yang membesar membuka bibir vagina Cindy. Dia menekan lebih keras dan perlahan masuk lebih dalam perlahan-lahan. Cindy membuka kakinya lebih lebar, tangannya di pinggang Johnnya dan menariknya ke depan.

"Ingat," kata Mira dari tempat duduknya. "Jangan ejakulasi di dalam. Kita perlu merekam itu."

John mengangguk, menggerakkan kemaluannya lebih jauh ke Cindy. Kukira paling hanya setengah yang bisa masuk, mungkin dua pertiga, tapi John terus mendorong, dan Cindy terus memintanya untuk menusuk lebih dalam sampai seluruh batangnya terbenam dalam vaginanya. Bisa kulihat bibir vaginanya terdorong lebar ke samping karena ketebalan penis John, tapi siapa yang tahu sampai di mana kepala penisnya terkubur. Mereka mulai bergerak bersamaan, mendorong dan menggeliat satu dengan yang lain, berciuman dan saling meraba titik sensitif di tubuh pasangannya.

Mereka melanjutkan selama sekitar sepuluh menit lebih lalu Cindy mendengus, "Maaf, aku hampir dapat lagi. Maaf."

Aku tertawa lembut. "Ga perlu minta maaf, terusin saja."

"Terima.. kasih," katanya , menggigit bibir bawahnya saat gelombang orgasme kedua menggulung kesadarannya.

John mendiamkan kemaluannya terkubur di dalam sampai Cindy pulih, lalu menariknya keluar dan menggulingkan tubuh kekasihnya.

Dia mendekatkan bibirnya ke samping telinga Cindy dan bilang, "Aku akan menyetubuhi anusmu, sayang."

Cindy tahu apa yang harus dia lakukan, dia menyangga tubuhnya dengan siku, dan mengangkat pantatnya yang indah ke atas. "Ya, lakukan," katanya.

John berlutut di antara pahanya, memegang kemaluannya dan menempatkannya di lubang anusnya. Aku mendekat mencoba merekamnya tapi sudut yang kupunya kurang pas. Aku bilang, "Apa kalian keberatan kalau aku..?"

John menggelengkan kepalanya. "Silahkan, bro."

Aku memindahkan kakiku sampai aku berdiri mengangkangi Cindy, dan sekarang aku bisa menyorotkan kamera langsung ke tempat dimana kepala penis John menempel di lubang anus pink yang sempurna.

Sepintas aku melihat ada gerakan saat Mira datang mendekat, sepertinya dia ingin melihat ini dari dekat. Dia berdiri di samping tempat tidur, berpegangan pada sandaran kepala ranjang sambil mencondongkan badan kedepan. Matanya berbinar dan dia beberapa kali menjilat bibirnya.

Aroma seks di ruangan itu sekarang luar biasa jelas. Penisku membentuk tonjolan besar di celanaku dan aku yakin John bisa melihatnya, tapi dia terus menekan lubang anus Cindy dengan penisnya.

Dia menundukkan kepalanya dan meludahi kepala penisnya, meratakan dengan jarinya lalu coba mendorong lagi. Pantat Cindy sedikit terbuka, tapi John tetap terlalu besar.

John menatapku. "Maaf, bro. Kupikir kami bisa melakukan ini buat kalian."

"Gapapa," kataku. "Aku ga mau kalian memaksakan diri. Kalian sudah pernah ngelakuin ini sebelumnya?"

John menggelengkan kepalanya. "Sering nyoba, tapi aku kebesaran. Cindy benar-benar ingin anal seks, tapi kami harus puas cuma pakai jari dan lidah."

"He-eh," kataku, ga tahu harus menjawab apa.

"Apa yang kamu ingin kami lakukan? Aku mungkin ga bisa menahan lebih lama lagi orgasmeku."

Aku menoleh ke Mira. "Gimana, Mir?"

Dia melihat, lalu bilang, "Lanjutkan, John. Vaginal seks seperti tadi, lalu tarik dan keluarin di perut dan payudaranya. Cindy ga masalah kan?"

Cindy mengangguk. "Aku malah suka kalau John melakukan itu."

"Oke. Ayo kita lanjutkan. Kamu masih bisa kontrol kamera, Yo?"

Aku mengangguk.

"Kasih tahu kalau mau aku gantiin." Mira kembali ke kursinya, tersembunyi di sudut ruangan yang gelap, tangannya diletakkan di pangkuannya saat dia duduk.

John mendorong kemaluannya ke dalam vagina Cindy lagi. Dia berbaring menyamping, dan John memegang satu kakinya untuk mempermudah penetrasi.

Aku mendekat, zoom pada momen bibir vagina Cindy tertarik dan terdorong oleh gerakan penis besar John meluncur keluar masuk. Punggungnya melengkung ke belakang, mulutnya terbuka sepertinya dia sudah akan mencapai titik orgasme lagi.

Aku berlutut di samping mereka saat John membalik tubuh Cindy sampai tengkurap dan mendorong lebih dalam lagi. Cindy mengigit bibir bawahnya dan alisnya terangkat seperti menahan sakit.

"Kalian ga harus sampai sejauh itu dan ada yang ga menikmati," kataku. "Cindy bisa minta John berhenti kalau mau."

"Ga mau," katanya. "Aku suka kalau dia menusuk sampai mentok."

Wajahnya penuh dengan gairah, matanya sayu. Aku fokus mengarahkan kamera, mengambil gambar sepanjang tubuh Cindy. Payudara besarnya menempel pada selimut di bawahnya, kaki kirinya ditekuk ke samping, kaki kanannya lurus kebelakang setengah terangkat. John berada di antara pahanya, seluruh kemaluannya terbenam di dalam.

Aku kaget saat Cindy menyentuh pahaku dan hampir menjatuhkan kamera. Aku segera mundur, mengira aku berada terlalu dekat dan membuat dia ga sengaja menyentuhku saat tubuhnya maju mundur karena gerakan John, tapi tangannya bergerak mengikutiku, meluncur ke atas sampai menyentuh penisku yang mengeras di dalam celanaku dan dia meremasnya lembut.

"Cindy?," kataku.

"Buka," katanya.

"Ga ah," kataku, melirik John dan aku menelan ludah saat kulihat dia memandang di mana tangan Cindy berada. Aku mundur lagi, sampai satu kakiku turun dari tempat tidur, berjaga-jaga John akan marah dan melakukan sesuatu.

Tapi dia bilang, "Ayo, bro, keluarin aja, ga masalah kok."

Jari-jari Cindy menemukan resletingku dan menariknya turun. Kurasakan jari-jarinya yang hangat masuk ke dalam dan menyelinap melalui pinggang celana dalamku, mencari kemaluanku.

"Aku.. Ga tahu.." kataku.

"Gapapa, Bro," kata John. "Cindy suka kamu, dan kalau Cindy suka kamu, aku juga ga masalah. Coba mulutnya, dia suka ngelakuin itu."

"Eh," kataku, dan meminta bantuan Mira.

Dia masih di kursi, masih mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya memerah, matanya berbinar.

Dia menatapku dan bilang, "Lakuin, Yo."

Mira bangkit dan mendekat, mengulurkan tangannya untuk mengambil alih kamera dan aku menyerahkannya. Jari-jari Cindy di dalam celana dalamku sudah menemukan penisku dan dengan lembut menggosoknya.

Aku menatapnya dan bilang, "Kamu yakin soal ini?"

Dia tersenyum dan bilang, "Setubuhi mulutku, Yo. Tapi kamu jangan ejakulasi sampai John juga. Kalian bisa muncratin barengan di badanku..."

Aku mundur dan menarik celanaku, melepas celana dalamku sekaligus dan penisku yang sudah ereksi melompat keluar. Aku mendekat dan Cindy menggenggamnya lagi menarikku ke arahnya. Aku pasrah mengikuti tarikannya dan naik ke tempat tidur sambil melepas kausku. Aku berlutut di dekat kepalanya, Cindy mengarahkan penisku ke mulutnya, membuka bibir dan mendorong penisku masuk. Aku berpegangan di kepala ranjang dengan tangan kananku agar ga jatuh. Cindy memutar lidahnya di sepanjang kepala penisku lalu tangannya meraih pantatku dan menarikku lebih dekat.

Lututku sekarang menyentuh samping payudaranya, dan aku ga bisa menahan untuk mengulurkan tangan kiriku menyentuh payudaranya, menangkupnya dengan telapak tanganku dari bawah, menarik putingnya yang keras dan kurasakan getaran saat dia mengerang pelan, teredam oleh kemaluanku yang mengisi mulutnya.

Aku mulai menggoyang pinggulku, mendorong kemaluanku keluar masuk di bibirnya, kepalaku menunduk melihat jelas saat batang penisku berkilauan karena air liurnya.

"Bagus," kata John, "Setubuhi mulutnya seperti itu, Bro, dia suka. Aku terlalu besar untuk bergerak secepat itu, tapi kamu punya ukuran yang pas untuknya."

John sudah berhasil memasukkan seluruh panjang batangnya ke dalam Cindy, yang hanya bisa mengerutkan kening tapi mengerang nikmat saat kami berdua bekerja masing-masing melalui kedua lubang di tubuhnya. Aku nyaris ga sadar Mira bergerak, mencari posisi, menangkap setiap momen.

Pinggul Cindy berdenyut-denyut mengelinjang saat John memompanya dari bawah. Aku bisa merasakan mulutnya terbuka dan tertutup untuk mencari udara saat mengulum penisku, wajahnya beberapa kali membentur perutku saat dia bergerak maju mundur terdorong gerakan John. Lalu dia mengeluarkan penisku dari mulutnya dan menoleh ke John.

"Cepetin, aku mau sampai," gerutunya. Dia meraih tanganku dan menariknya ke payudaranya.

"Yes," dia mendengus, "Terus, lebih cepat... masukkiinnn... ahhh!" Kepalanya telempar kebelakang dan seluruh tubuhnya bergetar hebat saat dia orgasme untuk ketiga kalinya.

Tubuhnya terus bergetar selama hampir satu menit sebelum rileks lagi, berbaring menyamping diatas bantal, wajahnya masih memerah, rambut pendeknya menempel di pipinya karena keringatnya.

Setelah beberapa saat, dia meraih penisku dan menariknya lagi ke mulutnya dan aku langsung memompanya dengan cepat, mendorong sejauh yang aku bisa masuk, menggedor bagian atas tenggorokannya. Cindy mendorong John dan kemaluannya yang panjang tertarik keluar dari vaginanya. John bergerak naik untuk mengangkangi perutnya. Cindy meraih penis John dan mulai menggosoknya dengan tangannya.

John menoleh ke arah Mira dan bilang, "Silahkan kalau kamu mau gabung dengan kami."

Mira menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku gay," katanya.

"Ya ampun, kenapa kamu ga bilang sebelumnya? Lain kali kamu bisa lakuin dengan Cindy, kami suka semua jenis seks. Kami ga keberatan dengan kalian berdua."

John merasa makin sulit untuk bicara saat Cindy memberi perhatian lebih ke penisnya, melirik kesamping tanpa melepas penisku dari mulutnya.

"Sudah hampir sampai, sayang," kata John. "Kamu gimana, Yo?"

Dia tampaknya merasa wajar untuk ngobrol denganku saat aku menyumpal mulut pacarnya dengan penis, aku sendiri merasa sudah terlalu jauh untuk merasa bersalah atau malu sekarang.

"Hampir," gerutuku.

"Bisa kita keluarin bareng?" dia bilang.

"Coba," kataku, mencoba menahan orgasmeku.

"Sebentar lagi," katanya, "Bagus, Cindy, gosok seperti itu terus, terasa enak sayang..."

Cindy mengumamkan jawaban yang membuat getaran di penisku, aku ga bisa tahan lebih lama saat John bilang, "Aku sampai, sayang, terima ini.. Kamu juga Yo, kita keluarin bareng..."

Aku menarik keluar penisku dan Cindy berlutut dengan cepat, mengenggam lagi penisku dan John di masing-masing tangan, menggosok dengan cepat.

Aku sampai lebih dulu, semburan besar sperma yang keluar dari penisku jatuh di wajah Cindy, menutupi hidung, pipi dan mulutnya. Lalu John menyusul tak lama kemudian dan bahkan menyembur lebih banyak, cairan putih dari kemaluannya jatuh ke payudara Cindy. Aku menyembur lagi dan lagi, aliran maniku bercampur dengan John saat kami berdua menyirami Cindy dari wajah sampai perut.

Saat semburanku berhenti, Cindy dengan ahli memperlambat tangannya dan melepasnya dari penisku. John melepaskan semburan terakhir dan membasahi leher Cindy, lalu tangannya juga diperlambat. Lututku goyah dan aku terhuyung lalu ambruk ke samping, berhati-hati agar ga jatuh keatas Cindy.

Cindy memandangi kami berdua, menunduk memandang dirinya sendiri, kaget saat melihat jumlah cairan mani yang menyelimutinya, lalu dia tersenyum dan mulai meratakannya ke seluruh payudaranya, menggosok cairan yang licin itu ke bulatan besarnya, menyebarkan sampai di lehernya.

Aku mendengar suara bip saat kamera berhenti merekam.

Aku menoleh melihat Mira menaruh kamera di kursi tempat dia duduk tadi. Dia melirikku, matanya berbinar, dan tersenyum aneh. Aku bisa melihat dia gemetar, tangannya gemetar, dan dadanya naik-turun saat dia menarik napas dengan cepat.

"Aku pinjam kamarmu sebentar," katanya.

Aku mengangguk.

John berbalik dan menatapnya saat dia pergi ke pintu. "Cindy bisa bantu kalau kamu mau, Miranda."

Dia mengangkat tangan, menunjukkan gestur ga perlu dan pergi melewati pintu.

"Dia gapapa?" Cindy bertanya.

"Gapapa kok," kataku. "Kalian berdua gimana? Maaf justru aku yang terbawa suasana."

"Ga perlu minta maaf, Bung," kata John.

"Apa kalian berdua sudah terbiasa melakukan ini?" Aku bilang.

"Apa, ngajak orang lain untuk bergabung?" John tertawa. "Ga juga, tapi seperti yang aku bilang, Cindy suka kamu, tapi aku ga cemburu."

Cindy bangkit, bergerak mendekat dan memeluk John dan menciumnya sampai keduanya jatuh dengan Cindy menindih John. "Dia ga pernah cemburu, karena itu aku sangat mencintainya. Kami ga sering ngelakuin hal seperti ini, tapi aku juga terbawa suasana saat melihat kamu menonton dan merekam, dan aku merasa harus melakukan lebih, kamu ga keberatan kan? "

Aku tertawa. "Kenapa aku harus keberatan?"

"Itu ga terasa aneh?"

"Rasanya luar biasa," kataku. "Besok mungkin terasa aneh, tapi saat ini ga."

"Bagus," kata Cindy, dan dia bangkit dan menciumku juga.

John menggeliat dan menyeringai. "Ya ampun, tapi aku juga menikmati persetubuhan tadi!"

Cindy tertawa. "Memang tadi luar biasa."

Aku ikut tertawa, berguling dari tempat tidur mulai mencari dan memakai pakaianku lagi.

"Telanjang aja kalau kamu mau," kata Cindy.

"Lebih baik jangan," jawabku, "Kalau ga nanti aku bakal terbawa suasana lagi."

"Aku ga keberatan," dia tersenyum.

Aku merasakan penisku merespon lemah dan menggelengkan kepala. "Terima kasih, tapi sebaiknya jangan."

"Kupikir kamu mungkin mau kita lakuin ini lagi?" Kata Cindy. Dia berbaring menyamping, benar-benar nyaman dengan ceceran sperma di tubuhnya yang telanjang.

"Asal kamu ijinin aku rekam. Aku ga mau kamu pikir kamu harus bersetubuh denganku lagi."

"Aku yang mau, Yo. John ga akan keberatan."

"Aku ga tahu," kataku sambil memakai bajuku.

"Ga maksa," kata Cindy, "Asal kamu tahu tawaran itu selalu ada, dan itu serius."

"Aku mau minum," kataku. "Kalian mau?"

"Aku mau bir," kata John dan Cindy mengangguk setuju.

Aku melewati pintu dan berjalan ke dapur mengambil tiga bir dan membawanya kembali setelah membuka tutupnya. Pintu kamarku tertutup dan aku membiarkannya, memberikan privasi pada Mira. Aku berhenti di kamar mandi membersihkan diri dan mengambil handuk, lalu membawanya ke kamar Mira dan memberikannya pada Cindy dan John untuk membersihkan diri, lalu memberi mereka bir dan mereka mulai berpakaian.

Aku pergi ke ruang tamu dan duduk di sofa, meneguk bir dingin saat pintu kamarku terbuka dan Mira keluar, merah warnanya sudah ga semerah tadi. Dia tersenyum.

"Makasih, Yo. Aku harus melakukan sesuatu setelah tadi. Sial," dia menggelengkan kepalanya.

"Pasangan unik, ya?"

"Sangat unik," katanya. Dia mengambil bir untuknya sendiri dan balik duduk di sebelahku, bersandar ke sampingku.

"Aku bisa bantu kamu tadi, Mir, kalau kamu mau."

Dia mencium pipiku. "Aku tahu kamu mau, tapi gapapa. Kita sahabat, Yo, bukan kekasih."

"Aku ga akan menidurimu, Mir, kamu tahu itu, tapi kalau kamu butuh seseorang untuk bantu, kamu bisa bilang."

Dia mencium pipiku lagi, "Mungkin lain kali," dia tersenyum.

"Omong-omong," kataku. "John dan Cindy bilang mereka ga keberatan mengulangi yang tadi, kalau kita mau."

"Kamu juga, kan," kata Mira.

"Aku bilang ke mereka aku ga boleh terlibat lagi."

"Tapi sulit untuk ga tergoda, kan?"

"Dia wanita yang sangat menarik."

Mira mengangguk. "Memang."

"Tapi kamu dengar dia tadi bilang apa kan," kataku, "Dia ga cuma mau sama aku, sama kamu juga dia ga keberatan."

Mira menampar dadaku dan tampak serius. "Kita benar-benar ga boleh terlibat, Yo."

"Aku tahu. Tapi tetap saja ..."

Dia tersenyum. "Jaga kelakuanmu."

Cindy keluar dari kamar, menarik ritsleting celana jinsnya keatas dan John mengikuti dibelakangnya.

Mira melompat bangkit dan pergi ke meja lalu kembali membawa dua amplop, memberikannya pada mereka.

John tertawa. "Brengsek. Aku lupa kita dibayar." Dia membuka amplopnya dan melihat ke dalam, melirik sekilas amplop di tangan Cindy, lalu mengulurkan amplopnya kembali ke Mira. "Kebanyakan, Miranda. Ini masing-masing lima juta."

"Ya, sesuai kesepakatan," kata Mira. "lima juta."

"Masing-masing?" Cindy bilang, matanya membelalak.

"Iya. Kirain kalian tahu."

"Oh wow, terima kasih banyak," Cindy maju dan memeluk Mira dengan erat, matanya mulai berkaca-kaca.

"Terima kasih," kata John. Dia juga memeluk Mira lalu menjabat tanganku.

Lalu aku mengantar mereka ke pintu, aku bilang, "Cindy, kamu kuliah akuntansi, kan?"

Dia berhenti dan mengangguk.

"Apa kamu mau sedikit penghasilan tambahan dengan membantu pembukuan kami?"

Dia menatapku, melirik John. "Boleh. Biasanya siapa yang ngerjain?"

Aku tertawa. "Justru itu. Ga ada yang ngerjain."

"Wow. Kalau gitu, harus ada yang meriksa, Yo, terutama terkait pajak penghasilan. Apa kamu tahu sanksi kalau ga lapor tepat waktu dan benar?"

"Lapor apa?" Aku bertanya.

Dia menatapku, lalu bilang, "Aku akan datang Senin malam. Kamu butuh bantuanku, Yo. Sangat butuh."

Besoknya aku bangun kesiangan, tapi kali ini Mira ga bangunin dengan membuat kopi atau yang lain. Aku bermalas-malasan selama sepuluh menit, lalu turun dari tempat tidur dan berjalan keluar cuma memakai celana kolor.

Mira sedang duduk di meja dengan monitor besar menyala di depannya. Dari seberang ruangan aku bisa melihat monitor menampilkan gambar diam dari video. Gambar dari arah belakangku saat Cindy sedang mengulum penisku. Lidahnya sedikit terlihat keluar. Penis John yang menancap di vagina Cindy terlihat dalam bayangan agak kabur di belakang.

Mira menyimpan gambar ke file terpisah, lalu menekan tombol play dan adegan bergerak dengan kecepatan seperempat. Mira menekan pause lagi, memundurkannya, bolak-balik sampai dia menemukan yang pas dan menyimpan gambarnya lagi.

Papan sketsa terbuka di depan Mira. Dia memakai jubahnya, tapi sepertinya ga diikat dan talinya tergantung di samping kursinya. Dia membuat sketsa dengan satu tangan, tangan satunya bergerak cepat di antara kedua kakinya. Aku diam tak bergerak dan menyaksikan, baru saja akan balik ke kamarku saat Mira menoleh dan melihatku.

"Brengsek," bisiknya, dan lengannya berhenti bergerak. "Ketahuan," katanya.

"Maaf."

Dia mengangkat bahu, menarik jubahnya menutupi tubuhnya meskipun aku ga bisa lihat apa-apa sebelumnya. "Ga perlu."

"Sudah berapa lama kamu di sini, Mir?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Beberapa jam."

Aku mendekat untuk berdiri di belakangnya, melihat ke arah sketsa yang sedang dibuatnya. Itu luar biasa. Dia menangkap sepenuhnya momen sensual yang sedang terjadi. Wajah Cindy bergairah, kepalaku terlempar ke belakang dan penisku digambar dengan detail yang menunjukkan semua urat dan lekuknya. Tubuh fantastis Cindy telah direkam dengan segala keindahannya, dan penis John kelihatan lebih besar dari aslinya.

"Aku ga bisa tahan," kata Mira lembut. "Dari tadi aku ngelakuin itu saat membuat sketsa dari rekaman ini." Dia menggelengkan kepalanya. "Sial, dia seksi kan?"

Aku mengangguk. "Memang."

"Kalau aku punya penis aku akan masukin ke mulutnya juga. Dan di mana aja dia mau."

"Cemburu?" Aku bilang.

"Jelas."

Kuperhatikan dia ga mengikat jubahnya, jadi jubahnya mulai terbuka lagi. Payudara kanannya terlihat sepenuhnya, yang kiri setengah terbuka.

"Aku mau lihat filmnya," kataku.

Mira menggeleng. "Aku bisa terangsang lagi."

"Ga masalah. Silahkan terangsang, aku ga keberatan."

"Kau suka lihat aku memuaskan diri sendiri, kan," katanya, setengah bertanya.

"Rasanya aku tahu apa yang kamu lakuin di kamarku tadi malam. Dan kamu pernah ngelakuinnya di depanku sebelumnya."

Dia mengangguk. Jubah sudah terbuka lebar dan bagian depan tubuhnya sekarang terlihat jelas.

Aku meraih ke depan memegang mouse, perutku menempel di bahunya, dan menghentikan film, lalu memutarnya dari awal. Awalnya cuma Cindy dan John, lalu setelah dua puluh menit lebih aku muncul di gambar, penis kerasku menunjuk langsung ke bibir Cindy yang terbuka.

Mira memindahkan tangannya ke pangkuannya dan menyelipkan jari-jarinya ke bibir vagina. Cairan membasahi jarinya saat dia mengeluar masukkan jari-jarinya ke dalam dirinya sendiri, dia menghela nafas dan memulai gerakan yang teratur.

Aku memegang bahunya dan memutarnya di kursi sehingga dia duduk menyamping, lalu aku memutar kursinya sehingga Mira menghadap ke monitor lagi. Lalu aku berdiri di belakangnya, kali ini tanpa terhalang sandaran kursi dan menariknya bersandar ke perutku yang telanjang. Dia ga terganggu dan terus mengerakkan jarinya memuaskan diri sendiri. Adegan berganti, dan kami menonton saat penisku meluncur keluar masuk mulut Cindy.

"Peluk aku," kata Mira.

Aku berlutut sehingga kepalaku sejajar dengan kepalanya dan melingkarkan tanganku di perutnya tepat di bawah lekuk payudaranya.

"Lebih tinggi," katanya.

Aku mengangkat tanganku dan menangkup payudaranya dan dia menghela nafas. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar saat lengannya menggerakkan jari-jarinya dengan cepat.

"Angkat aku," katanya, "Angkat aku berdiri dan pegangi."

Aku mengangkatnya bangkit dari kursi yang lalu kudorong dengan kakiku. Dia sekarang bersandar padaku, pantatnya tepat di bawah penisku yang sekarang keras di dalam celana kolorku. Tangan Mira yang bebas meraih dan menarik mereka kebawah, mencoba melepasnya. Aku membantunya dan dengan cepat menurunkannya ke lutut, penisku yang keras berada pas di antara kedua bulatan pantatnya dan memanjang ke lekuk punggungnya.

"Jangan menyetubuhiku," katanya, "Pura-pura aja. Itu sangat seksi, Yo, merasakan penismu di sana. Tapi jangan menyetubuhiku."

Aku mencium lehernya, juga bagian sensitif di bawah telinganya.

Aku mulai berusaha mengangkat diriku naik turun hingga penisku meluncur di antara pantatnya. Mira mencondongkan tubuh ke depan dan membuka kakinya, lalu mendorong ke belakang dan menjepit penisku, hampir seperti aku menyetubuhinya di pantat.

"Jangan berani-beraninya masukin," katanya. Dia terus bilang, berulang-ulang saat aku menekannya dan jari-jarinya mendorong jauh ke dalam vagina yang gatal. Dia bilang itu terus menerus sehingga lama kelamaan kehilangan makna, jadi kebalikan dari apa yang dia maksud. "Jangan setubuhi aku... jangan setubuhi aku ... jangan ... setubuhi aku ... setubuhi aku ..."

Aku memegang payudaranya di tanganku dan memutarnya, menarik putingnya, mencium leher dan bahunya. Aku ingin mendorongnya ke lantai dan menyetubuhinya, tapi aku tetap berdiri tegak, terus memompa penisku ke pantat dan punggungnya, merasakan tubuhnya mulai tegang dan semakin meningkatkan kecepatannya.

"Aku mau sampai!" dia mendesis. "Setubuhi aku, Yo, setubuhi aku, setubuhi aku... setubuhi aku..."

Aku tahu apa yang dia maksud, tahu apa yang dia mau. Aku mendorong dengan keras di antara pantatnya, bagian bawah kemaluanku yang keras menekan lubang pantatnya, kepala penisku masih terasa panas di punggungnya, dan dia mulai bergetar dan mengerang.

"... setubuhi aku .... setubuhi aku ..." bisiknya berulang-ulang saat dia mencapai klimaks, seluruh tubuhnya tersentak dan lututnya lemas. Aku memeluknya, menekan punggungnya ke arahku saat aku memompa cepat dan mencapai klimaksku sendiri, menembak cairan mani di punggungnya yang telanjang, merasakannya mengalir turun di antara pantatnya dan melumasi penisku, yang terus bergerak menyemburkan cairan hangat.

Kurasakan lututku sendiri mulai lemas dan harus berpegangan pada sandaran kursi untuk menjaga keseimbangan, lenganku yang lain masih melingkari pinggang Mira dan menahannya agar tetap berdiri.

Dia bersandar padaku selama beberapa menit, jari-jari masih di dalam vaginanya, napasnya perlahan-lahan kembali normal. Mira mengulurkan tangan ke atas bahunya dan meletakkannya di belakang leherku, menarik kepalaku ke bawah, menoleh padaku dan mencium mulutku. Mulutnya terbuka dan lidahnya keluar untuk bertemu denganku dan kami berciuman.

"Makasih, Yo," katanya saat kami berpisah.

"Untuk apa?"

"Karena ga meniduriku. Karena meniduriku."

"Sama-sama," kataku.

"Mm," katanya.

Aku membungkuk dan mengambil jubahnya, meletakkannya di pundaknya.

"Suatu saat kita bisa kelewatan," katanya.

"Tadi belum?" Aku bilang, dan dia berbalik dan menampar perutku.

"Pakai celanamu cowok mesum."

Aku melihat ke bawah. Penisku menggantung lembek di antara kakiku. lembek tapi senang.

"Apa ini sudah ga terkendali, Mir?" Kubilang.

"Ya," jawabnya. "Tapi apa kamu mau berhenti?"

Aku menggeleng.

"Aku juga," katanya. Dia menciumku lagi, dan menekankan bagian depan tubuhnya yang telanjang padaku. Kurasakan penisku mulai mengeras lagi dan mendorongnya.

"Hei, hati-hati," kataku. "Kita harus hati-hati, Mir."

Dia menatap tanda gairahku, mengangguk. "Oke ... untuk sekarang." Dia berbalik dan duduk di kursi lagi. "Sekarang, biarin aku kerja. Sketsa-sketsa ini akan sangat berharga. Kalau kamu mau bantu ambil buku sketsa dan kerjain di sana. Ayo kita selesaiin ini dan upload ke web."

Hari Minggu kupakai untuk menyelesaikan dua makalah yang harus dikumpulkan hari Senin. Walaupun situs web kami terbilang sukses dan aku butuh waktu untuk mengisi konten disitu, aku tetap masih harus belajar dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Aku beruntung Mira sudah pernah melaluinya dan bisa memberi bantuan dan saran untukku. Aku masih tetap harus bikin sendiri tugasku, tapi seringkali Mira jauh lebih berguna daripada dosenku.

Senin sore Cindy datang, sendirian, dan kami bertiga duduk di sekeliling meja dapur sementara Cindy bertanya pada kami. Dia memakai atasan dan rok yang sepertinya baru, dan memakai kacamata berbingkai hitam untuk membaca catatan dan dokumen yang dia minta. Dia benar-benar beda, ini adalah bidangnya, dan sekarang dia yang memimpin.

Dia tanya pada kami tentang bahan-bahan yang kami pakai, laptop, bahkan pensil, pena, dan krayon. Dia minta semua bon yang masih kami simpan. Setelah empat puluh menit, dia duduk tegak di kursinya.

"Oke. Intinya, kalau kalian ga lapor pajak, kalian bakal dikejar-kejar. Ga tahu tentang pajak ga bisa jadi alasan ga lapor dan bayar pajak. Kalian beruntung aku bisa bantu. Sekarang, apa kalian mau aku beresin semua ini?”

"Kamu ga keberatan?" Kata Mira.

"Aku bisa," jawab Cindy. "Aku butuh dibayar, tapi aku murah."

"Berapa pun biayanya," kata Mira.

Cindy tertawa. "Pelajaran pertama. Jangan pernah bilang seperti itu ke siapa pun lagi. Aku akan pura-pura ga dengar. Aku akan tagih seratus ribu per jam untuk semua kerjaan yang aku lakuin. Kalian juga akan bayar biaya lain yang mungkin diperluin. Jadi, gimana menurut kalian? "

"Tolong, lakuin itu" kata Mira.

Cindy menoleh padaku. "Dan kamu, Yohan?"

Aku mengangguk. "Kamu bisa lihat, kami ga tahu apa yang kami lakuin, Cindy. Kamu bisa bantu kan?"

"Pasti aku bisa," dia mengangguk. "Aku akan mulai malam ini. Dan sebelum aku pulang, aku mau ngomong soal hal lain juga."

"Bebas," kataku, dan Mira mengangguk, setuju.

Mira dan aku meninggalkannya untuk bekerja. Kami berdua turun ke studio dan mulai membuat sketsa. Aku mondar-mandir sebentar, bersandar di pilar kayu, memperhatikan Cindy saat dia melakukan pekerjaannya dengan rapi di meja dapur. Mira sudah menawarkan meja kerja untuk Cindy, tapi dia bilang butuh tempat yang lebih luas.

Dia duduk di meja dapur, buku catatan terbuka, satu tumpukan berisi kuitansi yang berhasil kami temukan, satu laptop ditempatkan disatu sisi agar dia bisa cari informasi apa pun yang dia butuh. Cindy melirik ke sekeliling, puas karena semuanya sudah teratur dan berurutan. Dia kelihatan sangat cantik, lebih dari biasanya, membuat aku cuma berdiri memandangnya dari jauh, untung dia asyik dengan kerjaannya.

Aku sedikit kaget saat Mira datang dan menyelipkan lengannya ke tanganku. Aku terlalu terpesona oleh Cindy dan ga sadar Mira datang.

"Kamu akan menidurinya," kata Mira lembut, terlalu pelan untuk didengar Cindy.

Aku mengangguk. "Benar banget."

"Mm. Aku juga."

Aku meliriknya. "Kamu juga?"

"Iyalah. Kamu tahu aku. Dan Cindy wanita yang luar biasa. Aku mau tahu apa dia suka cewek juga?"

"Bakal seru kan, Mir?"

Dia menatapku. "Seru apanya, Yo?"

Kami berdua berbicara dengan pelan, ga mau Cindy mendengar kami.

"Threesome," kataku.

Mulut Mira berkerut. "Pikiranmu kotor, Yohan Wahyudi."

Aku mengangkat pundakku.

"Tapi aku suka," kata Mira, dan aku nyengir.

Cindy mendongak dari kertasnya dan melihat kami. "Yohan, Mira, ini ada beberapa kuitansi yang aku ga yakin maksudnya. Bisa kalian bantu?"

"Oke." Mira meninggalkanku dan berjalan menghampirinya, menarik sebuah kursi dan mulai melihat-lihat potongan-potongan kertas.

Aku kembali membuat sketsa dan setelah seperempat jam Mira datang kembali untuk melanjutkan membuat sketsa. Kami berdua ga tahu sudah berapa lama waktu berlalu saat tiba-tiba Cindy bersuara.

Aku menoleh dan melihatnya duduk di tangga yang mengarah dari ruang tamu utama ke studio. Rok pendeknya terselip di antara pahanya, duduk dengan tangan terjepit di antara kedua kakinya.

"Aku sudah selesai. Aku harus pulang, dan kalau kalian mau, aku ingin ngerjain secara teratur. Akan butuh paling ga setengah hari dalam seminggu agar pembukuan dan dokumentasi ga ketinggalan."

"Ga masalah," kataku, sudah membayangkan Cindy akan sering datang.

"Tadi aku bilang aku mau ngobrol soal hal lain," katanya.

"Bebas," jawabku.

Dia menatapku dan Mira. Dia tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia melepas kacamata dan matanya yang cerah memandang kami dengan serius.

"Perusahaanmu ini," katanya. "Seberapa serius kalian dengan situs web, gambar-gambar, dan semua ini?”

"Maksudnya?" kata Mira.

"Apa yang kamu harapkan kedepannya? Kemana tujuannya?"

"Kami belum kepikir sampai situ," kata Mira. "Ini cuma sesuatu yang kami lakukan. Aku cuma suka bikin gambar-gambar erotis, dan aku sudah meracuni Yohan sekarang."

"Aku juga," kata Cindy, tertawa. "Tapi aku ga bermaksud gitu. Apa kalian mau ini tumbuh, bisa dapat lebih banyak uang?"

Mira mengangkat bahu. "Seharusnya gitu."

"Gimana kamu, umm, terikat secara emosional?"

"Ga ngerti," kata Mira.

Aku memperhatikan mereka berdua, mulai paham kemana arah pembicaraan Cindy.

Cindy mencondongkan tubuh ke depan, atasannya terbuka saat dia bergerak, memberikan pemandangan yang indah dari bagian atas payudaranya.

"Menurutku... apa yang sudah kalian buat punya potensi yang besar banget," kata Cindy. "Menurutku kalian berdua bisa pensiun dari ini dengan cukup uang untuk seumur hidupmu."

Mira menggelengkan kepalanya, ga percaya dengan apa yang didengarnya.

"Tapi itu ga akan terjadi kalau kamu terus jalanin seperti sebelumnya, ga terencana."

"Kami bukan orang bisnis," kataku. "Ini semua cuma kebetulan."

"Keliatan sih, tapi aku ga mengkritik. Kamu bisa tetap seperti sekarang dan tetap berjalan terus. Saat ini ga masalah, tapi lama kelamaan hal-hal akan mulai berubah. Dua atau tiga tahun dari sekarang usaha ini akan menghabiskan uang dan kalian akan diperbudak oleh pekerjaan ini untuk terus bertahan."

"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Aku bertanya. "Harus kami hentikan sekarang?"

Cindy menggeleng. "Apa kalian percaya aku?" dia bertanya.

Aku melihat Mira. Aku mengangguk. Mira mengangguk.

"Masa? Kalian kan ga kenal aku."

Aku tertawa. "Rasanya aku cukup kenal." Aku membayangkan malam saat kami membuat film dan Cindy mengulum penisku.

"Kamu yakin?"

Aku memandangnya. "Apa kamu akan merampok kami, Cindy?"

Dia menggelengkan kepalanya lagi. "Ga. Aku ga seperti itu. Tapi kamu ga tahu itu kan."

"Aku percaya kamu, Cindy," kataku, menatap langsung ke matanya.

Dia balas menatapku, lalu mengangguk. "Oke. Aku percaya. Dalam hal ini, aku ingin membuat proposal untukmu. Ini akan ngelibatin orang lain, tapi mereka orang-orang yang aku kenal. Salah satunya John. Yang lain adalah orang yang sudah kita kenal bertahun-tahun. Yang terakhir adalah orang yang aku kenal dan percayai. "

"Dan apa yang akan mereka lakukan?" Aku bertanya.

"Aku ingin kalian pertimbangkan apa kalian mau jual bisnis kalian - dan aku ingin kalian mulai anggap ini sebagai bisnis, bukan hobi. Apa kalian bersedia?"

"Sekarang?" Mira berkata, aku bisa melihat kesedihan di wajahnya yang cantik. Aku merasakan hal yang sama, rasa kehilangan yang akan datang.

"Bukan sekarang," kata Cindy. "Kupikir dalam beberapa tahun."

"Beberapa tahun?" Kata Mira.

Cindy mengangguk. "Sebuah bisnis ga cuma jualan. kalian bisapunya toko bapak ibu, atau toko sepupu," dia menyeringai, "Kalian bisa cari nafkah dari situ, tapi cuma itu. Kalau kalian serius, kalian perlu punya strategi agar tetap menghasilkan uang saat kalian keluar."

"Ini terlalu berat buatku," kata Mira. Dia mengangkat tangannya, lalu melanjutkan, "Aku bisa ngerti maksudmu, tapi ini terlalu cepat. Bisa kami pikirkan dulu?"

"Pasti," Cindy duduk, memutar pingangnya untuk melemaskan otot. "Aku tiba-tiba membebani kalian dengan semua ini sekaligus. Santai saja dulu. Tapi tolong pikirkan juga ini..." Dia menatap kami berdua, wajahnya yang cantik serius. "Lakuin ini dengan benar, dan dalam dua tahun, bahkan mungkin sebelum kamu lulus Yohan, kalian berdua bisa jadi milyuner."

Mira cuma menatapnya. Aku ga yakin aku percaya.

Mira menghela nafas. "Aku cuma mikir kami bisa bikin sketsa erotis dan jual. Sesederhana itu."

Cindy memandangnya dan tersenyum. "Dan kalian berdua ngelakuinnya dengan sangat baik. Gambarmu bikin aku sangat terangsang." Dia berdiri dan berjalan ke studio, berhenti dan melihat gambar yang sedang kukerjakan. Laptop di sampingku menunjukkan gambar dari film yang kami rekam sebelumnya. Tangan Cindy bersandar ringan di bahuku. Aku bisa merasakan tubuhnya hangat di dekat tubuhku.

Aku sudah mengedit gambar asli, memperbesar wajah dan payudara Cindy. Aku juga sudah menghapus John dari gambar, menyisakan aku dengan penisku di mulutnya. Lekuk dan urat menonjol tergambar jelas. Mata Cindy terbuka, meskipun di gambar aslinya itu tertutup.

Cindy diam ga bergerak. Kalaupun ada, mungkin hanya tangannya yang kurasakan sedikit meremas bahuku.

Akhirnya dia berkata, "Itu sangat seksi, Yo."

"Kamu suka?" Kataku, berbalik ke arahnya.

Dia mengangguk. "Aku suka banget."

"Kamu ga masalah, lihat dirimu kayak itu?"

"Apa, dengan penismu di mulutku?"

"Eh, ya."

"Emang kenapa? Aku suka pas ngemut penismu, kenapa harus masalah saat aku ngeliat gambarnya?"

"Gimana kalau orang lain yang ngeliat?"

Dia mengangkat bahu, lalu tersenyum. "Apa yang John bilang itu benar. Aku jadi terangsang saat merasa dilihat orang lain. Ini bikin aku terangsang sekarang, Yo. Cuma mikirin ada orang yang ngeliat ini, dan masturbasi karena gambar ini sudah bikin aku horny."

"Oh ya?"

"Iya." Dia ga malu-malu lagi sekarang, dan aku sadari dia benar-benar makhluk erotis sejati, sangat suka seks, sama sekali ga cemas tentang apa yang dipikirkan orang lain.

Dia mencium pipiku dengan ringan, berkata, "Aku mau ke Mira dulu."

Dia berjalan menyeberang ke tempat Mira bekerja. Aku melihatnya pergi, memandang pantatnya yang bergerak di dalam roknya. Aku perhatikan saat dia memegang kedua pundak Mira dan membungkuk berbicara dengan lembut padanya tentang gambar. Aku bisa melihat sekilas Mira menggambar momen saat John berusaha mendorong kemaluannya ke anus Cindy. Pasti ga muat, dan sekeras apa pun usahanya, paling hanya ujungnya yang bisa masuk. Gambar Mira berhasil menangkap usaha itu dan juga gairah seksual di kedua wajah mereka.

Aku berdiri dan pergi melihat gambar itu lebih dekat. Aku bersandar, lenganku melingkari bahu Cindy, bukan dengan maksud apa pun, tapi hanya sebagai sesuatu untuk bersandar.

Sepertinya Mira mengambar momen tersebut dengan tambahan saat itu John mulai ejakulasi. Semburan pertama muncul dan terdorong ke pantat Cindy. Gambarnya luar biasa, kekuatan seksualnya sangat besar. Aku sudah mulai kebal pada banyak gambar seks dan tubuh telanjang yang berserakan di lantai apartemen, tapi ini sesuatu yang luar biasa dan penisku mulai kaku di celanaku.

Cindy memeluk Mira dari belakang dan mencium daun telinganya yang terbuka karena rambutnya diselipkan ke belakang.

"Kamu jenius, Mira, kamu tahu itu?"

Mira tertawa. "Ya, jelas."

"Hot banget," kata Cindy.

Mira mengangguk. "Ya. Aku sendiri juga merasa gitu."

"Luar biasa," kataku, dan Mira menoleh, ga sadar aku berdiri di sana.

Dia tersenyum lembut. "Makasih, Yohan."

"Dan Cindy benar. Kamu memang jenius."

Mira tertawa. "Oke. Cukup. Ayo kita istirahat sebentar."

Aku melangkah mundur dan Cindy melepaskan diri dari Mira dan Mira berdiri dan kami pergi ke dapur. Cindy sudah beresin kertas-kertas itu, disimpan dalam amplop coklat berlabel.

"Apa kamu sudah selesai?" Mira bertanya.

"Untuk sekarang. Aku perlu ngerjain lebih lanjut, tapi kita harus bicarain soal itu. Apa kamu bener mau aku lakuin ini secara teratur?"

"Kamu bisa ga? Apa kamu ga keberatan?"

"Bisa. Tapi aku juga perlu dibayar secara teratur," Cindy terdengar malu, tapi tegas.

"Pastilah," kata Mira. "Pasti kami akan bayar kamu."

"Apa seratus ribu per jam itu ga masalah?"

"Kedengarannya oke."

"Aku harus bikinin kuitansi dan ini harus dicatat di pembukuan, tapi kayaknya tetap aku yang akan ngelakuin semua itu buat kalian," kata Cindy.

Aku membuka kulkas dan membuka sebotol anggur putih dingin.

"Minum, Cindy?" Aku mengangkat botol.

Dia melihatnya, lalu mengangguk dan duduk. Dia sepertinya ga buru-buru pulang.

"John malam ini dimana?" Aku bertanya.

"Dia ada kelas malam, terus pergi ke kantor Komp*s. Dia punya kenalan di sana yang bilang dia bisa datang dan merasakan kantor surat kabar yang asli. Dia juga punya beberapa ide untuk memasarkan situs webmu, kalau kamu berminat. "

Aku menuangkan anggur untuk kami masing-masing, duduk menghadap meja.

"Saat kamu ajak orang-orang tadi kesini," kata Mira, "Kita akan buat malam itu berkesan. Masak makanan, musik, bikin semacam pesta kecil."

Cindy tersenyum. "Kalian berdua ga tahu gimana harusnya pertemuan bisnis, kan?"

Aku dan Mira tertawa lalu berkata, "Kenapa kami harus tahu? Aku berharap kamu dan orang-orang ini yang akan ngelakuin itu buat kita. Aku dan Yohan, kami cuma bikin gambar erotis."

Cindy tertawa. "Tapi gambar erotisnya bagus." Dia minum anggurnya, berkata, "Apa aku boleh lihat film yang kita rekam Sabtu lalu? Sebagian kecil yang kulihat bikin aku terangsang. Kalian keberatan?"

"Boleh saja. Aku ambilin laptop. Apa kamu mau nonton sendirian?"

Cindy tampak bingung. "Ga. Kenapa aku mau nonton sendirian? Tapi kalian gapapa kan kalau aku terbawa suasana?"

Giliran Mira yang terlihat bingung.

"Lihat gambarmu, nonton potongan film itu, bikin aku basah. Jadi kupikir kalau aku akan nonton utuh, aku akan harus masturbasi." Dia sama sekali ga malu untuk mengakui gairahnya, dan itu membuatku semakin bergairah.




Bersambung... Chapter.16
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd