Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.20
HARI BAHAGIA


Ibu berjalan di belakang, ngobrol dengan Mira saat aku dan Nadia berjalan menyebrangi lobby dan memutari patung besar di tengah ruangan menuju ke meja resepsionis.

Tak lama kemudian dia berlari untuk menyusul kami, wajahnya berseri-seri dan itu bagus melihat betapa bersemangatnya dia pagi ini, dan seberapa baik dia dan Mira cocok satu sama lain. Sudah lama mereka ga pernah bertemu dan awalnya aku merasa sedikit khawatir mereka akan canggung karena mereka adalah dua orang yang paling aku cintai di dunia dan aku mau mereka selalu rukun dan cocok. Aku sempat merasa Ibu mungkin akan cemburu pada Mira, karena kedekatan kami saat hidup bersama di Jakarta. Tapi pagi ini kulihat hubungan mereka ga pernah sebaik dan sedekat ini.

"Miranda akan menjaga dan mendandani Nadia, Yo. Aku mau kamu ikut Ibu. Ibu mau minta kamu ngelakuin sesuatu untukku." Ibu menyelipkan lengannya ke tanganku.

"Oke," kataku sedikit bingung. Ibu terlihat lebih berseri dari biasanya pagi ini, lebih bahagia dari yang kuduga, tapi aku senang untuknya. Pernikahan ini jelas sangat berarti baginya.

Ibu menerima dua kunci kamar, menyerahkan satu pada Mira dan memimpin jalan ke kamarnya. Kami tiba di kamar suite kecil, ringkas dan elegan, dan Ibu menggantungkan gaun pengantinnya di lemari dekat pintu dan berputar-putar sambil merentangkan tangannya.

"Lihat tempat ini, Yo. Rasanya aku belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya."

Aku tertawa, menikmati suasana hatinya yang sedang baik. "Biasakan dengan ini, Ibu. Om Jerry pria yang baik. Suatu saat dia akan membawamu ke tempat seperti ini lagi. Aku malah yakin dia sudah pesan tempat yang lebih bagus dari ini untuk bulan madu."

Ibu nyengir. "Ya, mungkin kamu benar. Yo, bisa bantu aku buka resleting bajuku?"

"Eh, ya, tentu."

Dia memunggungiku dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang di sampingnya, benar-benar pasif, dan aku mendekat di belakangnya, tapi bukannya menurunkan ritsletingnya, aku malah menyelipkan tanganku di pingangnya dan memeluknya. Aku mencium lehernya, tepat di bawah telinganya, di titik sensitif yang kutemukan saat liburan lalu. Aku setengah berharap dia risih dan menjauh, tapi yang terjadi adalah sebaliknya dan dia melunak di pelukanku dan bersandar ke dadaku.

"Apa Ibu mau bilang sesuatu padaku, Ibu?" Aku bertanya dengan lembut, tahu apa yang mau dia katakan, tahu dan ga mau dengar, tapi aku juga tahu aku harus mendengarnya langsung dari mulutnya.

Dia menganggukkan kepalanya ke dadaku. Aku menunggu.

"Yo, apa yang terjadi saat liburan ..."

Aku memeluknya lebih erat, menunggunya untuk bilang 'jangan sampai terjadi lagi.'

Dia meletakkan tangannya di atas tanganku. "Apa yang terjadi waktu itu indah... luar biasa istimewa... dan aku ga mau kamu berpikir..." Dia berhenti, suaranya mulai tersendat.

"Gapapa, Ibu," kataku. "Bilang saja. Aku tahu Ibu harus mengatakannya."

"Oh Yo," dia berbalik di dalam pelukanku, tangannya memegang wajahku dan menarikku ke bawah untuk mencium bibirku.

"Aku mencintaimu Ibu, Ibu tahu itu. Gapapa."

Dia terisak dan menyeka matanya dengan tangan. "Ini konyol. Aku cuma mau bilang apa yang mau aku bilang." Dia menarik napas dalam-dalam, gerakan itu membuat payudaranya menekan dadaku dengan nikmat. "Yo, apa yang terjadi benar-benar luar biasa, dan aku ga pernah ngerasain hal seperti itu dalam hidupku, dan Ibu cuma mau kamu tahu itu karena dalam beberapa jam aku akan jadi wanita yang sudah menikah ... yah... Tapi itu ga harus berhenti. Yo, gimana pendapatmu kalau bersetubuh dengan seorang wanita yang sudah menikah saat dia merasa terangsang? "

Aku merasakan mulutku ternganga. Bukan itu yang kuharapkan akan kudengar.

Dia menatapku, telapak tangannya menempel rata di pipiku, dan dia tertawa kecil.

"Menurutmu aku mau bilang apa, Yo? Bahwa aku ga mau ngerasain itu lagi? Apa menurutmu aku benar-benar bodoh?"

"Ibu," kataku, dan aku bisa merasakan mataku sendiri mulai berkaca-kaca sekarang.

"Ayo, Yo," katanya. "Aku ga tahu kapan kita akan punya kesempatan di masa depan, tapi kalau kesempatan itu muncul, aku mau kamu tahu aku ingin kamu menyetubuhiku setiap ada kesempatan. Ngerti?"

Aku mengangguk. "Aku ngerti, Ibu. Tapi gimana kalau Om Jerry ternyata adalah pejantan yang hebat? Ibu bisa berubah pikiran."

Dia tertawa. "Apa menurutmu kami belum pernah coba-coba satu sama lain? Aku tahu apa yang akan kudapatkan dari suamiku nanti, dan aku bisa bilang reputasimu sebagai pejantan terbaik dalam keluarga masih aman, Yo."

Aku mencium hidungnya dan dia menggeliat-geliat lepas dari pelukanku lalu berbalik dan melangkah maju satu langkah. "Seingatku aku minta bantuanmu untuk buka ritsletingku, Yo. Ayo, turuti seperti yang ibu minta."

Aku tersenyum dan menarik ritsletingnya ke bawah, lalu menyelipkan tanganku ke dalam sela bajunya yang terbuka, menjangkau ke depan dari bawah ketiaknya dan menangkup payudaranya yang penuh di telapak tanganku, jempolku mencari tonjolan keras putingnya dari balik bra. Dia mendorong pantatnya kebelakang, merasakan penisku yang mulai ereksi.

Dia mengoyangkan bahunya dan gaunnya meluncur turun dan menyatu di sekeliling pergelangan kakinya. Dia membungkuk, dengan sengaja mendorong pantatnya menekan kemaluanku, mengambil gaun itu dari lantai dan meletakkannya di kaki tempat tidur. Dia mengulurkan tangan kebelakang dan menarik-narik tali bra-nya, maknanya jelas dan aku mengulurkan tangan meraba-raba lalu pada percobaan ketiga berhasil melepaskannya. Dia menariknya lepas dan tanganku menyusup ke depan lagi, menemukan putingnya yang telanjang, makin keras dan sensitif.

"Ada lagi yang perlu dibantu?" Aku bilang di telinganya, menarik rambutnya ke belakang dan menciumnya lagi di leher di tempat di mana aku tahu dia suka.

"Buka celana dalamku juga, kan?"

Aku berlutut, menyelipkan jari-jariku ke pinggang celana dalamnya dan menariknya ke bawah, mencium pantatnya yang bulat saat mulai terlihat, mencium seluruh bagian belakang pahanya saat aku menurunkan celana dalamnya dan dia mengangkat kakinya untuk melepasnya.

Aku berdiri lagi, tanganku kembali memeluknya.

"Ada lagi, Ibu?"

Dia mengangguk. "Aku butuh bantuanmu sekali lagi, Yo. Maukah kamu bersetubuh denganku?"

"Apa Ibu yakin itu yang Ibu mau?"

Dia berbalik menghadapku, payudaranya menekan dadaku. "Oh ya, sangat yakin." Dia mulai membuka kancing kemejaku, melepas semua dari atas sampai bawah lalu mendorongnya kebelakang, membiarkannya jatuh. Lalu dia membuka sabukku, menarik ritsleting celana jeansku dan melepasnya juga, termasuk celana dalamku sehingga penisku yang sudah kaku, muncul dan mengangguk-angguk di antara kami.

Ibu berlutut, menyingkirkan jeans dan yang lain dari pergelangan kakiku, lalu memegang penisku di tangannya dan menuntunnya ke mulutnya. Aku mengerang saat bibirnya yang lembut mengatup di sekitar kepala penisku, mengerang lagi saat dia menarikku jauh ke dalam mulutnya yang hangat dan basah. Dia berusaha dengan keahliannya, memakai lidahnya, gigi, dan bibirnya, dan lalu berapa lama kemudian, dia bisa merasakan bahwa aku hampir sampai pada titik ga bisa kembali, dia mundur melepas penisku dan berdiri tegak.

Dia mengandeng tanganku dan membawaku ke tempat tidur. "Ayo setubuhi aku, Yo, untuk terakhir kalinya. Aku mau kamu di dalam diriku. Aku mau kamu keluarin di dalam saat kamu ejakulasi."

"Ibu?" Aku bertanya, ga yakin.

"Aku sebentar lagi akan jadi wanita yang bersuami, Yo. Apa menurutmu aku belum menyiapkan pencegahan kehamilan? Aku mau kamu keluarin didalam, untuk pertama kali dan mungkin yang terakhir, kali ini saja keluarin di dalam vaginaku, Yo."

"Ibu," kataku lagi, tapi kali ini bukan pertanyaan.

Dia berbaring telentang di tempat tidur, kakinya terbuka, dan aku berhenti sejenak saat aku melihat apa yang dipamerkannya.

"Kapan kamu cukur vaginamu seperti itu, Ibu?"

Dia menatap dirinya sendiri dan tersenyum. "Kamu suka?"

"Aku suka banget." Aku berlutut dan menempelkan lidahku ke kulit yang halus, menyelipkannya di antara celah vaginanya dan merasakan betapa basahnya dia.

"Miranda membantuku waxing semalam. Apa kamu tahu dia juga bercukur di bagian sana juga?"

Aku beruntung Ibu ga bisa lihat wajahku saat dia bertanya.

"Ga, serius?" Aku menjauh dari vaginanya dan menatapnya. Ekspresi wajahnya menunjukkan dia ga percaya pada jawabanku.

Ibu meletakkan tangannya di atas kepalaku dan mendorongku kembali ke kemaluannya, berharap lidahku kembali pada vaginanya.

Aku berlutut di lantai dan menarik-narik kedua kakinya sehingga posisi pantatnya lebih dekat dengan pinggiran tempat tidur sehingga membuat lebih mudah untuk mulutku menjangkau vaginanya dan merasakan lagi kemanisannya, kebasahannya, dan segera saja kudorong lidahku jauh ke dalam lipatan vaginanya yang sudah licin berpelumas cairan vaginanya. Jemarinya mencengkeram rambutku erat-erat, menekan kepalaku kebawah lalu menjambak dengan tiba-tiba dan menarik bibirku lepas dari vaginanya.

"Penismu, Yo. Masukin penismu ke dalam situ. Cepat setubuhi aku, sayang."

Aku tetap diam ragu-ragu, membuatnya ga sabaran dan menarikku ke atas tempat tidur sampai aku berbaring di atas tubuhnya, lalu tangan kanannya terulur kebawah dan membimbing kemaluanku ke tempat yang diinginkannya. Kepala penisku yang membesar menyentuh vaginanya. Lalu dia mengerang saat aku mendorong perlahan dan dia merasakan penisku membelah kemaluannya terbuka.

Tangannya mencengkeram pinggulku dan menarikku dengan keras menghujam penisku ke dalam dirinya, dia berteriak sekali dan menyorongkan pinggulnya ke arahku, menariknya lagi dan kembali mengulang gerakan sebelumnya.

"Setubuhi aku, Yo, setubuhi aku seperti ini yang terakhir kalinya."

Aku memegang pergelangan tangannya lalu mengangkat tangannya ke atas kepalanya, menahannya di sana, lalu menundukkan kepalaku untuk menempelkan mulutku ke mulutnya, menciumnya. Tubuhku menghimpit tubuhnya, penisku bergerak keluar masuk dengan cepat dan dalam, dia mengangkat kakinya dan melilitkannya di pinggangku untuk menarik tubuhku tiap kali aku bergerak mundur.

"Ga usah ditahan-tahan, Yo, lakuin ini dengan cepat," desisnya, dan aku merasakan tubuhnya mengejang di bawahku dan matanya terpejam saat klimaks bergulir di dalam dirinya.

Aku menahan tangannya yang kusilangkan di atas kepalanya dengan satu tangan, lalu tanganku yang lain meremas payudaranya dan mengulungnya dengan telapak tanganku, pinggulku memompa dengan cepat ke arahnya, penisku mulai terasa sakit karena tekanan.

"Terus, Yohan, isi rahimku dengan air manimu," teriaknya dan aku menambah kecepatan, membiarkan diriku bebas, membiarkan kenikmatanku memuncak dan melemparkan kepalaku ke belakang saat aku merasa diriku menembak ke dalam dirinya, jauh ke dalam, mengisinya dengan air maniku.

"Oh Yo, ya, ya, seperti itu." Dia menarik tangannya bebas dari cengkramanku dan sekarang mencengkram bahuku, menusuk kulitku dengan kukunya, tubuhnya gemetaran di bawahku, orgasme lagi.

Kami berbaring berdua di atas selimut saat orgasme kami mereda, Ibu memelukku dari samping, kepalanya bersandar di bahuku, tangannya di dadaku. Dia melihat TV besar di dinding seberang tempat tidur dan bilang, "Apa menurutmu hotel ini punya chanel yang menayangkan film porno?"

Aku menampar pantatnya pelan. "Ibu bentar lagi jadi istri orang," kataku. "Jangan aneh-aneh, jaga kelakuan."

Dia cemberut. "Cerewet."

"Lagian, buat apa film porno? Dengan penampilan seperti sekarang ini, Om Jerry ga akan kasih kesempatan kalian nonton sama sekali, kalian akan sibuk bermesraan seharian."

Ibu berguling sehingga dia berbaring di atasku, mencium daguku.

"Yo?"

"Mm-hm?"

Dia menggerakkan pinggulnya diatasku, melirik jam. Waktu menunjukkan jam sembilan lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi dari sekarang Ibu akan menikah.

“Kamu masih bisa lagi ga?"

"Ya ampun!" Kataku, menamparnya dengan keras di pantat.

"Oh.. ya, sayang, tampar pantat Ibu seperti itu."

Aku menamparnya lagi, tapi ga sekeras tadi.

"Oke. Cukup S&M-nya. Sekarang tukar posisi dan setubuhi aku lagi, Yo."

Aku meraih pinggangnya dan mengangkat tubuhnya dengan mudah, menurunkannya telungkup di tempat tidur, menarik pinggulnya ke atas dan lalu melebarkan pahanya. Penisku sudah setengah ereksi lagi, dan tanpa menunggu lagi aku memegangnya dan memaksakan penisku memasuki vaginanya dari belakang. Saat aku menusukkan penisku dan memulai gerakanku yang berirama, aku bisa merasakan penisku membesar dan kaku. Aku yakin Ibu juga merasakannya karena dia menundukkan wajahnya ke bantal lalu mengerang, menahan suaranya agar tidak terlalu kencang.

Aku ga berusaha untuk menahan ejakulasiku, tapi karena tadi sudah orgasme butuh waktu lebih lama untuk orgasme kedua kalinya, dan saat akhirnya aku menembakkan maniku di dalam vaginanya lagi, Ibu sudah bermandi keringat dan mencapai klimaks dua kali, menggigil gemetar di bawahku saat aku maniku menyembur jauh di dalam dirinya. Dia ambruk ke kasur setelahnya dan aku berbaring di atas punggungnya, bertumpu di sikuku, dan merasakannya mengeliat dan dengan sengaja menempelkan pantatnya ke arahku.

"Ini terlalu gawat kalau dilanjutkan, tapi terlalu bagus untuk disudahi, Yo. Pastiin kamu selalu setubuhi aku seperti ini, janji?"

"Janji," kataku sambil mencium punggungnya yang berkeringat.

Dia bergeser dari bawahku dan melirik jam, lalu mendorongku menjauh.

"Aku bakal telat, Yo, aku harus mandi lagi sekarang. Kamu juga bersih-bersih dulu sebelum ganti."

Dia berlari ke kamar mandi dan aku berguling turun dari tempat tidur. Aku juga berkeringat, tapi aku tahu kalau aku pergi ikut dengannya ke kamar mandi, dia pasti akan melewatkan acara pernikahannya sendiri. Karena itu, aku cuma menyeka badanku dengan handuk bersih lalu bergegas memakai jasku.

Setelah beberapa menit Ibu keluar dari kamar mandi dan mengeringkan tubuhnya dengan cepat. Dia buka bungkus pakaian dalamnya dan mulai memakainya, aku duduk di tempat tidur sudah memakai kemeja putih dan celana panjang, memperhatikan saat dia memakai celana dalam warna krem gelap dan menariknya dengan perlahan keatas. Aku yakin dia sengaja memamerkan diri untuk aku, jadi aku tetap berbaring santai dan menikmati pertunjukan. Dia memasang garter belt di pinggangnya lalu membungkuk dan menggulung stoking kremnya menutupi betis dan setengah pahanya. Dia berdiri setengah menghadapku, menunjukkan payudaranya yang terayun bebas saat dia membungkuk. Dia menarik stoking itu dengan kencang dan mengaitkannya ke garter belt, tangannya meraba ke bawah untuk merapikan stockingnya lalu mengangguk, puas. Baru setelah itu dia memasukkan payudaranya ke dalam bra yang berwarna serasi dengan celana dalamnya. Dia menarik tali, menyelipkan tangannya ke dalam cup branya dan memastikan sudah terasa nyaman.

"Semoga aku ga bikin Ibu kehabisan tenaga," kataku, "Karena Om Jerry pasti akan menyetubuhi Ibu semalaman."

Ibu menyeringai padaku. "Oh, semoga begitu. Kamu ga cemburu kalau gitu?"

Aku menggelengkan kepalaku.

Ibu mengeluarkan gaunnya dari bungkus plastik dan melangkah ke dalamnya, menariknya ke atas bahunya dan berputar membelakangiku.

"Tolong aku, Yo?"

"Serasa Dejavu?" Kataku, berguling dari tempat tidur.

"Kali ini kamu harus jaga sikap." Dia bilang. Aku melirik jam dan melihat kami punya lima menit sebelum acara dimulai.

Aku menarik ritsleting ke atas, mengancingkan kait kecil di belakang lehernya. Ibu melangkah menjauh lalu berbalik.

"How do i look?"

Aku memandanginya. Dia tampak menakjubkan. Gaun krem itu panjangnya sampai di lututnya. Stoking berwarna senada membungkus kakinya dengan sempurna. Dan aku tahu semua yang ada di baliknya.

"Ibu terlihat sangat luar biasa," kataku. Aku ingin memeluk dan menciumnya, tapi ga berani. Dia memakai make up, mengoleskan lipstik merah cerah ke bibirnya, dan aku ga berani mengambil risiko mengacaukannya.

Sebaliknya aku mengambil dasiku yang berwarna merah gelap dan mengikatnya di leherku, memakai jasku dan menunjukkan padanya.

"Kalau aku?" Aku bertanya.

Dia mengangguk. "Oh ya, pasti. Dia menggigit bibir bawahnya dengan gigi atasnya." Sayang sekali kita sedang buru-buru."

Aku memutar mataku, lalu menawarkan lenganku. "Ayo, kita cepat kebawah, semua pasti sudah menunggu."

Dia mengangguk lagi dan mengamit lenganku, dan aku berjalan disampinganya sepanjang lorong, ke aula besar tempat para tamu menunggu. Mira dan Nadia sudah menunggu di depan, mereka jadi pengapit untuk Ibu, keduanya memakai gaun yang sama, warnanya sedikit lebih gelap dari gaun Ibu, panjangnya sedikit diatas lutut. Om Jerry sudah menunggu, tampak gugup, dan aku berjalan mengantar Ibu padanya menyusuri lorong di antara kursi-kursi dan para tamu, menjabat tangan Om Jerry lalu membisikkan semoga beruntung dan bahagia, lalu barbalik menjauh dan mengamati jalannya prosesi dari tempatku.

Pukul sebelas lebih seperempat kami semua dan para tamu sudah berjalan keluar menuju area restoran dipimpin oleh pengantin di depan. Ibu terlihat sangat santai sepanjang acara tadi, dan aku berpikir apa mungkin karena apa yang sudah kami lakukan sebelum acara tadi. Om Jerry terlihat lebih gugup, meskipun ini juga bukan pernikahan pertamanya. Dia sepuluh tahun lebih tua dari Ibu, seorang guru sekaligus merangkap sebagai wakil kepala sekolah di sekolah tempat Ibu bekerja sebagai laboran. Istrinya sudah meninggal karena kanker enam tahun lalu. Jadi mereka sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama, tapi aku ga tahu apa yang memicu romansa yang menyebabkan pernikahan mereka. Mungkin, seperti kata Ibu, dia adalah pria yang baik, dan akan jadi ayah yang baik untuk Nadia. Aku berharap ada lebih dari itu – berharap benar-benar ada cinta yang terlibat dalam hubungan mereka.

Aku mengambil segelas softdrink yang disediakan di meja. Aku melihat di seberang meja, Mira juga sedang memegang segelas minuman, dan dia sedang berbicara dengan ayahnya. Aku kaget, karena dia selalu cerita padaku betapa dia benci pada ayahnya, tapi hari ini mereka sepertinya tampak akur dan tidak berjarak.

Aku bergerak menyebrangi ruangan, menemukan Ibu dan Om Jerry dan menjabat tangannya, berpesan padanya untuk menjaga Ibu dan Nadia, dan dalam hati tersenyum karena rasanya aku bertingkah seperti orang tua dibanding putranya. Aku mencium pipi Ibu dan melanjutkan ke sekeliling, ngobrol dengan orang-orang yang kukenal, bahkan yang ga kukenal.

Sekitar jam 2 siang acara sudah harus berakhir lebih awal, karena Ibu dan Jerry harus naik pesawat jam lima dari Jogja dan butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di sana.

Saat Ibu dan Jerry berjalan ke mobil pengantin yang menunggu, banyak tamu yang masih tinggal dan ikut mengantar mereka. Aku cukup kaget melihat berapa banyak orang yang masih tinggal setelah acara, teman-teman Ibu dan Om Jerry, dan juga keluarga yang berkumpul untuk mengantar mereka pergi. Malam ini mereka sudah akan ada di Bali, dan memulai perjalanan mereka sebagai suami istri dan tinggal bersama, dan aku membayangkan apa Ibu akan bisa menepati janjinya, apa aku bisa bersetubuh dengannya lagi.

Seiring mobil pengantin bergerak menjauh, tiba-tiba hari terasa membosankan, sepertinya semua warna memudar di sekitarku. Tapi aku masih punya tugas yang harus kulakukan, jadi aku menarik nafas panjang, menenangkan diri dan mengawal Nadia keluar, berkeliling berjabat tangan dan pamit pada tamu yang tersisa, lalu Nadia, Mira dan aku naik mobil sewaan kami kembali ke kota. Nadia sudah ganti gaun pengapitnya dengan kaus dan celana jins, tapi Mira masih memakai gaunnya. Kami berhenti di luar sekolah Nadia di mana bus yang akan mengantar empat puluh anak-anak yang sangat berisik dan bersemangat ke tempat berkemah diparkir.

Aku sempat khawatir Nadia mungkin merasa takut. Ini pertama kalinya dia akan pergi seminggu tanpa keluarganya, tapi sepertinya kekhawatiranku ga terbukti. Begitu mobil kami berhenti, dia segera keluar dari mobil dan berlari ke teman-temannya dan ga lama ikut berteriak berisik.

Mira menoleh padaku dan tersenyum dan aku balas tersenyum padanya. "Kamu pernah ikut perkemahan, Mir?"

"Sekali," katanya. "Aku umur tiga belas tahun, pengalaman yang ga akan terlupakan seumur hidup."

"Kok bisa?"

"Di sanalah aku baru saja menyadari seksualitasku, dikurung selama seminggu dengan seratus gadis seumuran, ya kamu bisa bayangkan aku naksir ke begitu banyak orang dalam waktu seminggu, dan kau sendiri heran kok bisa hatiku ga meledak saking tegangnya berada di sekitar mereka."

Aku tertawa. "Aku senang kamu masih hidup." Aku meraih dan meremas tangannya.

"Aku juga."

"Oh, dan Mir, siapa tahu aku nanti lupa kasih tahu kamu, kamu kelihatan cantik banget pakai gaun itu."

"Terima kasih, Yo. Aku juga suka jasmu."

"Aku memang selalu kelihatan keren, kan?"

Aku mengambil tas Nadia dari bagasi mobil dan mengantarnya ke bagasi besar di samping bus, lalu Mira dan aku berdiri menunggu, sesekali ngobrol dengan beberapa orangtua yang kukenal. Ada beberapa yang memandang dengan tatapan aneh, mereka yang kenal aku dengan baik ga yakin kenapa kok bisa cowok seperti aku mengandeng seorang gadis cantik di sampingnya. Salah satu yang lebih berani bahkan bertanya langsung apa kami sepasang kekasih. Aku cuma tersenyum penuh teka-teki tanpa menjawab, begitu juga dengan Mira.

Sekitar jam empat Nadia dan teman-temannya diarahkan untuk naik ke dalam bus. Kami berdiri di sana sampai mereka semua masuk, lalu melambai saat mereka pergi. Aku bisa melihat Nadia, tapi dia ga pernah nengok ke arah kami. Dia sedang ngobrol dengan dua orang temannya, tertawa bahagia.

Aku berhenti melambai saat menyadari, entah gimana awalnya, entah sejak kapan, tanpa sadar aku mengengam tangan Mira lagi. Aku memandangnya dan tersenyum. Dia membalas dengan senyum yang lebih lebar.

"Itu terasa menyenangkan, Yo."

Aku mengangguk. "Ayo pergi sebelum semua orang ini menikahkan kita juga."

Mira tertawa dan kami masuk lagi ke mobil sewaan kami. Mira membuka amplop yang tadi diberikan oleh Ibuku untuk kami dan membacanya. Rupanya, Ibu sudah memesan kamar, bukan di hotel kami sebelumnya, untuk satu malam, di sebuah penginapan kecil di pinggir pantai untuk kami. Mira membaca petunjuk arah dan aku menyetir sesuai petunjuknya, sempat nyasar tapi kami bisa menemukan jalan yang tepat dan kami sampai di sana tepat jam enam malam. Penginapan ini terdiri dari banyak cottage kecil yang terpisah satu sama lain dan satu bangunan yang paling besar bertingkat 5, dari luar terlihat cukup bersih dan eksklusif. Aku membawa dua tas ransel kecil milik kami dan membunyikan bel berbentuk lonceng kuno di depan sebuah bangunan bertuliskan resepsionis diatas pintunya.

Seorang wanita berumur sekitar enam puluh tahun keluar, rapi dan elegan, dan bilang. "Kurasa kalian yang bernama Yohan dan Miranda?"

"Benar."

"Tinggal kalian yang belum check in, jadi aku sudah bisa duga. Silahkan diisi datanya Pak Yohan, aku akan panggil suamiku untuk membawakan tasmu."

Aku mengisi identitasku dan bilang, "Ga perlu, Bu, kami hampir ga bawa apa-apa."

"Baik kalau gitu." Dia mengambil kunci besar dari deretan kait cantolan di belakangnya dan menyerahkannya pada kami. "Kalian di Kamar 47, lantai paling atas." Dia tersenyum. "Kami biasa sebutnya Honeymoon Suite, tapi aku rasa sebenarnya ga semewah itu."

"Honeymoon Suite?" Kataku, hening sesaat. Hanya satu kunci yang kami terima.

"Ibumu bilang dia mau memanjakanmu, jadi dia pesan kamar terbaik kami. Semoga kalian menikmati masa bulan madumu selama disini, Tuan dan Nyonya Yohan. Kalau kalian butuh informasi restoran yang bagus, beri tahu aku. Kami punya daftar rekomendasi tempat yang bagus untuk makan di sekitar sini."

Aku sadar bahwa aku mungkin berdiri diam dengan mulut terbuka, jadi aku mengambil tas kami dari lantai dan berbalik ke arah gedung tertinggi di sini.

"Lantai paling atas, kan?"

Dia tersenyum dan mengangguk, Mira mengikuti aku menaiki tangga.

Saat kami sampai di atas aku membuka pintu kamar nomor 47 dan aku bisa lihat kenapa kamar ini disebut honeymoon suite. Sebuah lukisan atau poster besar mengisi salah satu dinding ruangan. Di satu sisi terdapat jendela besar menghadap ke pantai yang menawarkan pemandangan laut yang tak terputus, jendela-jendelanya bisa dibuka agar penghuninya bisa mendengar suara ombak di pantai. Kujatuhkan tas-tas kami ke lantai dan Mira melompat-lompat di tempat tidur seperti anak kecil, gaunnya tersingkap naik menunjukkan bagian atas stockingnya. Dia juga memakai garter belt persis seperti punya Ibuku dan aku bisa melihat sekilas celana dalamnya sebelum gaunnya turun lagi dan menutup pemandangan menarik didalamnya.

"Wow, aku suka kamar ini!" Kata Mira.

"Apa yang dipikirkan Ibu?" Aku bilang.

Mira memiringkan kepalanya ke arahku. "Maksud kamu apa?"

"Aku pikir kita akan disewain kamar sendiri-sendiri."

Mira tertawa. "Emangnya kamu sudah ga cinta aku lagi, Yo? Ini kita baru bulan madu lho.” Katanya sambil tertawa usil, “tapi harus diakui, ini kamar yang indah."

Aku melihat sekeliling, mengangkat bahu. "Iya sih."

Aku menjelajah di dalam kamar, membuka laci dan lemari. Aku membuka pintu disamping dan menemukan ruang kamar mandi yang sangat besar. Di sisi jauh terdapat bathtub sudut yang besar dan sepertinya muat untuk dua orang sekaligus.

Aku merasa Mira menyusul di belakangku dan meletakkan tangannya di pundakku, awalnya mengintip dari sampingku, lalu mendorongku agar dia bisa berdiri disebelahku dan melihat lebih jelas.

"Wow - lihat bak mandi itu! Sepertinya aku bakal bisa renang bolak-balik beberapa kali disana nanti."

"Kita bisa balapan lagi," kataku, bercanda, tapi Mira menurunkan tangannya dan menyelipkannya memeluk pinggangku.

"Boleh aja kalau kamu mau, Yo," katanya.

Aku menarik diri dari pelukannya, untuk beberapa alasan hari ini merasa gelisah karena godaannya. Mungkin karena ingatan nyata kejadian beberapa jam yang lalu saat penisku terkubur di dalam ibuku dan aku berejakulasi didalam vaginanya.

"Apa kamu mau jalan-jalan keluar, lihat-lihat pemandangan? Sekalian kita bisa cari tempat untuk beli makan malam?" kataku mengalihkan topik pembicaraan.

"Rasanya aku ga pingin makan, Yo. Aku masih kenyang setelah pesta tadi siang. Tapi boleh sih jalan-jalan aja. Kita bisa beli beberapa botol bir di jalan sebelum balik sini."

Beberapa saat kemudian tanpa berganti pakaian, kami sudah berjalan-jalan menyusuri pantai, Mira menyelipkan lengannya ke tanganku. Aku masih memakai setelan jasku, Mira di sampingku juga masih memakai gaun pengapitnya tadi, kami kelihatan seperti pasangan muda yang kaya dan sedang menikmati udara malam di pantai.

Kami berjalan sekitar satu kilometer, lalu memutuskan berbalik dan berjalan kembali ke penginapan, berhenti di toko untuk membeli beberapa botol bir dan anggur yang bagus.

Sampai di kamar, kami langsung masuk, aku menutup dan mengunci pintu kamar lalu berbalik dan menemukan Mira sudah menghempaskan diri di tempat tidur. Gaunnya tersingkap lagi saat dia berbaring menunjukkan pahanya hampir mencapai celana dalamnya. Dia memejamkan mata, kedua tangannya terentang kesamping tampak cuek atau terlalu lelah setelah semua yang terjadi hari ini. Aku berjalan ke arah meja, meletakkan beberapa botol minuman yang kami beli, lalu melepas jas dan sepatuku, sesekali melirik pemandangan tubuh Mira yang sebenarnya sudah sering kulihat.

“Menurutmu mereka sudah sampai di Bali, Yo?”

“Mungkin, kalau tidak ada delay atau yang lain seharusnya mereka sudah sampai, mungkin bahkan sudah selesai makan dan mandi.”

“Mungkin juga mereka sedang menikmati malam pertama sebagai suami istri.” Katanya sambil tersenyum jahil.

“Mungkin, atau tidur karena terlalu capek setelah perjalanan dan semua acara hari ini.” Jawabku sambil membayangkan lagi apa yang kulakukan dengan Ibu tadi pagi.

“Masa mereka jauh-jauh kesana hanya untuk tidur. Lagipula itu Bali, ga ada yang terlalu malam disana.”

Aku duduk dan menggeser tangan kanannya lalu berbaring disampingnya.

“Ngomong-ngomong soal Bali, tadi aku lihat kamu ngobrol dengan ayahmu di pesta. Kalian sudah baikan?”

“Semoga. Ibumu memberi beberapa nasehat kemarin yang menurutku layak untuk dicoba. Aku bisa sedikit demi sedikit memaafkannya sekarang.”

“Baguslah, rasanya memang banyak kebahagiaan hari ini di keluarga kita.”

“Tapi itu ga berlaku untuk istri barunya. Aku ga tahu apa yang ayahku lihat darinya, sama sekali ga bisa dibandingkan dengan Ibuku.”

“Mungkin kamu cuma belum kenal.”

“Aku beruntung ga harus tinggal bersama mereka.”

“Memang, kamu beruntung bisa tinggal bersamaku.”

Mira tersenyum lalu berguling dan berbaring miring disebelah kiriku. “Kamu gimana? Beruntung ketemu seseorang di pesta tadi, atau mantan?”

“Menurutmu?”

“Sepertinya kamu terlalu sibuk menangis karena Ibunya menikah lagi.”

“Hei.. Sudah lupa siapa yang barusan cerita jengkel dengan ibu tirinya.”

Dia menampar perutku dengan tangan kirinya, tapi aku berhasil menangkap pergelangan tangannya sebelum dia menarik tangannya kembali. Aku mendorong tubuhnya berbaring telentang, duduk di pinggangnya lalu meraih tangan kanannya dan menahan mereka diatas kepalanya. Dia meronta sebentar karena kaget, lalu diam dan memandangiku. Aku menatap matanya, lalu bayangan saat aku berada diatas tubuh Ibuku sambil memegang tangannya diatas kepala, persis seperti sekarang, hanya bedanya saat itu penisku sudah terselip ke dalam vagina Ibuku.

Kesadaran membawaku bangkit dari atasnya lalu berdiri diam, sebelum bergerak ke depan meja besar.

“Saatnya buka botol anggurnya, Mir.” Aku ga tahu apakah alkohol adalah penyelamat yang tepat dari situasi canggung ini, tapi Mira ikut melompat bangkit dan mengambil alih botol anggur dari tanganku, mencari sesuatu di meja minibar dan berhasil menemukan pembuka botol berulir yang segera tertancap ke tutup botol. Di meja juga ada beberapa gelas dan Mira menuangkan anggur untuk kami berdua, menyerahkan satu gelas padaku lalu mengangkat gelasnya sendiri dan menempelkan ke gelasku.

"Bersulang untuk hari bahagia di keluarga kita, dan juga seminggu buat kita sebagai pasangan," katanya, matanya berbinar saat berbicara.


Bersambung... Chapter.21
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd