Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.24
TERLALU LAMA


Aku memesan bir dan es krim lagi, lalu aku melihat Mira berjalan melintasi lapangan dan duduk di tempat yang sama seperti kemarin sore, menghadap ke arah lain, ga melihatku yang duduk tanpa penghalang di dekatnya. Aku bisa memandangnya dari jarak yang lebih dekat daripada kemarin, dan dia tampak lebih cantik daripada yang pernah kulihat. Kulitnya bercahaya disinari matahari. Aku mulai terbiasa dengan rambutnya, dan sinar matahari menyorotinya, memberi bingkai berwarna seperti api di sekitar rambutnya. Gaya rambutnya membuatnya hampir berbeda sama sekali, pendek di samping menunjukkan telinganya dan tengkuknya, juga lehernya yang jenjang, garis lembut membingkai dahinya, sedikit lebih panjang di bagian atas, tapi secara keseluruhan menegaskan wajah Mira yang luar biasa cantik.

Dia mamakai atasan sutra berwarna cerah dengan tali tipis dibahunya yang menunjukkan belahan dadanya yang indah, tali bra berwarna biru gelap membentang di atas pundaknya di samping tali tipis atasannya. Roknya sangat pendek, tipis dan seperti melayang di atas legging hitam pendek menunjukkan kakinya yang panjang. Dia memakai sandal di kakinya dan kacamata hitam di atas kepalanya dan aku tahu aku sedang jatuh cinta dan kalau aku gagal mendapatkannya lagi, aku pasti akan menyesal seumur hidupku.

Aku menarik perhatian pelayan aku dan memanggilnya.

"Signore?" sapanya ramah

"Could you do something for me? Send a bottle of your best white wine to the lady on that table? The one over there?" Kataku menunjuk ke meja yang ditempati Mira.

Pelayan itu memandangku dan tersenyum, "Of Course, signore. And is there any message?"

"Eh, yes," aku bingung pesan apa yang akan kusampaikan. "Yes... could you say ‘Sorry’?"

"Sorry?" Dia sekarang kelihatan bingung.

"Yes. Sorry." Jawabku menegaskan ulang.

"And shall i let her know who send the wine?" katanya menawarkan

Aku mengangguk. "Yes."

Dia menyeringai. "La dolce vita," gumamnya dan pindah.

Aku menunggu, memperhatikan Mira membaca buku menunya. Lalu pelayan itu datang membawa sebotol anggur dalam ember berisi es batu dan membawanya ke meja Mira.

Dia menunduk dan berbicara. Mira tampak bingung.

Pelayan berbalik dan bilang sesuatu yang lain, menunjuk ke belakang ke tempatku duduk.

Aku melihat Mira mengikuti arah yang ditunjuk oleh pelayan, menemukanku dan awalnya tidak mengenaliku. Dia melihat lagi dan mulutnya terbuka. Terbuka lebar. Tangannya melayang menutupi mulutnya.

Aku balas menatap, berharap dia memaafkanku, dan menerimaku lagi ke dalam hidupnya.

Wajahnya ga menunjukkan emosi selain kaget, dan saat aku terus mengawasinya, lama kelamaan rasa kagetnya menghilang.

Mira berbicara pada pelayan dan mereka berdua melihat ke arahku.

Pelayan itu mengangguk dan bergerak, datang padaku dan bilang, "The Signora asks if you would like to join her?" Dia berusaha keras untuk ga tersenyum saat menyampaikan undangan Mira padaku.

"It would be my pleasure," kataku menerima undangannya. Aku mengumpulkan barang-barangku, amplop yang kubawa dari Jakarta, dan berdiri. "Would you please put everything on my bill?"

"Of course, signore."

Aku merasa sedikit nervous saat berjalan mendekat ke meja Mira, tapi saat aku sampai di sana, dia membuatnya lebih mudah dan berdiri menyambutku.

Dia merentangkan tangannya dan aku melangkah mendekat memeluknya, lalu menciumnya, merasakan gelombang listrik seakan muncul dari sentuhan kulit kami.

Kami saling berpandangan, langsung ke mata satu sama lain.

"Aku sudah bodoh banget," kataku.

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga. Aku yang bodoh."

Aku tersenyum. "Kita berdua yang bodoh?"

Dia menatapku, mengangguk. "Oke. Kita berdua. Kenapa kamu bisa di sini, Yohan?"

Dia duduk lagi dan aku ikut duduk di seberangnya, meraih dan mengenggam tangannya di tanganku, hangat dan lembut. Dia tidak menariknya dan membiarkanku meremas jemarinya.

"Aku datang untukmu, Mir," kataku.

"Oh ya?"

"Sungguh."

"Kenapa?" Dia menatap mataku, mencari jawaban yang mungkin muncul dari tatapanku.

"Aku perlu bilang sesuatu ke kamu. Sesuatu yang penting. Sesuatu yang seharusnya sudah aku bilang sejak dulu."

Dia mengangguk.

Jantungku berdetak kencang. Aku tahu persis apa yang mau aku katakan, tapi aku takut dia akan menolak kata-kataku.

"Mir, aku mau menyelesaikan semua ini sekaligus, jadi jangan menyela kata-kataku. Aku sudah mengenalmu sejak aku umur tiga tahun. Aku selalu menganggapmu sebagai kakak perempuanku – kakak kandung yang sebenarnya, tapi lalu semuanya kacau. Kamu pindah, dan saat aku melihatmu lagi, kamu tumbuh jadi remaja yang cantik dan aku jatuh cinta padamu dengan cara yang berbeda-"

Mira mencoba bilang sesuatu tapi aku mengangkat tangan.

"Biar aku selesaiin dulu. Aku harus sampaiin semua ini sekaligus, kalau ga aku ga akan bisa mengatakannya. Tapi rasa cintaku berkembang begitu saja, karena walaupun kita cuma ketemu setahun sekali, ga masalah, karena menurutku kamu adalah belahan jiwa rahasiaku. Aku ga pernah bilang ini padamu sebelumnya. Dan ga mungkin aku bilang padamu, kan? Aku cuma bocah dua belas tahun yang jatuh cinta pada sepupunya, pada kakaknya."

"Yohan..." kata Mira.

"Shh... Dan itu semakin parah. Setiap kali aku melihatmu, itu semakin parah. Dan lalu saat aku datang ke Jakarta, aku semakin jatuh cinta padamu. Dan kamu menggodaku, membuatku terangsang, dan membuatku frustrasi... Sial, ya aku akui kamu bikin aku frustrasi ... Dan lalu kita mulai bermain-main... Dan sebenarnya itu bagus... "Aku tertawa. "Aku suka itu semua... aku mau lebih, tapi aku ga mungkin bilang, karena kamu ga suka cowok, dan aku cuma mau ada di dekatmu, untuk berada bersamamu selama yang kubisa, dan itu sudah cukup bagiku.

"Tapi minggu lalu, saat kamu pergi, aku tahu aku ga bisa kehilanganmu. Jadi, ini dia, Mir. Apa pun yang mau kamu lakuin aku akan terima, selama aku bisa berada di dekatmu. Kamu bisa membawa siapapun ke kamarmu tiap malam, kamu bisa menggodaku, kamu bisa berjalan telanjang bulat di sekitarku dan bikin aku frustrasi. Semua boleh kamu lakuin. Semuanya. Tapi biarin aku jadi bagian dari hidupmu dan aku akan menjalaninya dengan cara apa pun yang kubisa, karena aku perlu berada di dekatmu, perlu bersamamu. Aku mencintaimu Mir. Dan bukan sekedar, oh ya, aku mencintaimu, tapi jauh lebih dalam dari itu. Aku mencintaimu! " Aku menatap matanya, jauh ke matanya. "Aku mencintaimu dan ingin bersamamu selamanya."

Dia balas menatapku.

"Oke," kataku, melepaskan tangannya. "Silahkan bilang apapun sekarang, ga masalah. Aku cuma harus bilang semua itu."

Aku menarik botol anggur dari embernya dan menuang isinya ke dua gelas disebelahnya, lalu meraih satu gelas dan meneguk setengah isinya. Anggurnya terasa luar biasa.

Mira menatapku, dan aku bisa melihat matanya berkaca-kaca.

"Kamu bisa mengusirku pergi sebentar lagi, tapi sebelum kamu ngalakuin itu ada sesuatu yang perlu kamu lakuin dan setalah itu aku akan pergi. Kalau aku ga bisa bersamamu, Mir, aku akan pergi dan kamu ga akan pernah melihatku lagi. Aku ga bisa jadi bagian kecil darimu yang cepat berlalu. Aku harus jadi bagian besar darimu."

Aku meletakkan amplop itu di atas meja dan mengeluarkan kertas-kertas dari dalamnya.

"Cindy memberiku ini. Katanya kita berdua harus menandatangani ini."

Mira melihat ke bawah, bingung dengan perubahan topik pembicaraanku yang mendadak. "Apa itu?"

"Kita sudah dapat tawaran untuk bisnis ini. Seratus lima puluh milyar."

Mata Mira melebar.

"Apa kamu mau jual?" Aku bertanya.

Aku bisa melihatnya sedang berpikir, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

"Aku harus..."

"Santai saja, Mir. Cindy bilang butuh dokumen ini hari Selasa minggu depan. Tapi aku bisa bawa pulang hari Senin atau Selasa mungkin masih sempat. Pikirin dulu baik-baik. Ini, bawa semua, bacalah. Telepon aku kalau kamu sudah buat keputusan."

Aku duduk lagi dan menghabiskan anggurku. Lalu aku mendorong kursiku mundur, bersiap untuk pergi. Ini ga berjalan seperti bayanganku. Salahku sendiri. Aku menyampaikan semua rahasiaku, membuka hatiku dan lalu dengan sengaja membelokkan topik tentang bisnis. Seharusnya aku diam dan mendengarkan apa yang akan dikatakan Mira... tapi aku terlalu takut untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya.

Saat aku mulai berdiri, Mira mengulurkan tangan ke seberang dan meraih tanganku.

"Duduk, Yohan. Jangan pergi." Dia menggelengkan kepalanya. "Beri aku waktu untuk berpikir sebentar, oke?"

"Oke. Selama apapun yang kamu butuh, Mir."

Dia melihat sekeliling, melihat pelayan yang secara sengaja menghindari meja kami, tidak ingin mengganggu. Mira memanggilnya dan memesan salad seafood, menatapku. "Kamu mau pesan sesuatu, Yohan?"

"Aku sudah makan," kataku.

Dia mengangguk.

"Di mana kamu menginap?"

"Di sana," aku berbalik, menunjuk ke arah hotelku berada.

"Gimana kamu bisa menemukanku?" Suaranya tenang, seakan menahan diri.

"Aku harus mengaku. Aku membuka laptopmu dan membaca transaksi dari rekening bankmu. Dari situ aku tahu kamu dimana."

"Kamu membuka laptopku?" dia berkata.

Aku mengangguk.

"Jadi, kamu... menebak passwordku?"

Aku mengangguk lagi.

Pipinya bersemu merah dibalik wajahnya yang kecoklatan karena matahari.

"Brengsek kamu," katanya, masih tanpa emosi dalam suaranya.

"Aku tahu. Tapi aku harus menemukanmu."

"Gimana kabar Cindy?" Dia bertanya, dan kepalaku berputar. Kami perlu bicara soal yang lebih penting dari ini.

"Dia baik-baik saja. Kamu kan kenal Cindy."

"Masih seseksi dulu?"

"Kurang lebih," kataku.

"Dan Karin...?"

Aku mengangkat bahu. "Baik, kayaknya. Aku ga ketemu dia lagi sejak hari kamu pergi."

"Ga? Kenapa ga?"

Aku mengangkat bahu lagi.”Terasa salah. Dia cantik, tapi dia ga cari komitmen. Kamu tahu itu."

Mira mengangguk.

"Apa kamu pergi karena Karin?" Aku bertanya.

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga... Ya dan tidak... aku ga tahu..." Dia menatap meja, lalu mengangkat gelasnya dan meneguk anggurnya. "Aku ga tahu," katanya lagi.

Aku meraih dan mengenggam tangannya lagi dan dia ga menarik diri.

"Gimana kabar ibumu? Apa dia enjoy saat bulan madu?"

"Rasanya begitu. Dia kelihatan sangat bahagia saat dia datang. Dan Om Jerry juga sering menyeringai."

"Pasti dia begitu. Benar-benar hebat bisa menikah dengan wanita seperti ibumu."

"Aku tahu."

Dia menatapku, kata-kata seperti tertahan di bibirnya, maju dan mundur, tak terucapkan, ga bisa dipahami.

Pelayan membawakan salad dan Mira menarik tangannya dari genggamanku lalu mulai makan. Aku duduk di kursiku dan memperhatikan, terpesona oleh setiap gerakan yang dia buat, setiap nada dalam suaranya.

"Aku membantunya... emhh... mempersiapkan diri untuk malam pernikahan," kata Mira.

"Aku tahu," kataku.

"Kamu tahu?"

"Tentu." Aku ga menjelaskan bagaimana aku tahu. Biar dia mencoba menebak-nebaknya sendiri.

Mira melirik kertas-kertas di atas meja. "Kapan aku harus beresin ini?"

"Segera," kataku. "Besok hari Kamis. Dokumen harus balik paling lambat Rabu depan. Cindy ga bilang jam berapa, tapi harusnya pagi. Aku bisa kirim semua hari Senin pagi. Paket super cepat, menghindari resiko ada delay. Jadi kamu punya waktu sampai hari Minggu, kalau kamu butuh."

Mira melanjutkan makannya lagi. Kelihatannya pertanda bagus.

"Aku menginap di vila yang bagus di tepi pantai," katanya. "Kecil, tapi bagus."

"Mm-hm," kataku.

"Aku tahu kamu sudah punya kamar hotel... tapi kamu boleh ikut tinggal di vilaku kalau kamu mau."

"Mm-hm?"

Dia mengangguk. "Kalau kamu mau. Ga ada paksaan, Yohan."

"Aku mau, aku suka itu."

Dia menatapku. "Aku juga," katanya.

Aku mengosongkan botol ke gelas kami. Wine ini mungkin adalah yang terbaik yang pernah kuminum, ga tahu apa Mira juga merasa yang sama.

"Ada beberapa hal yang perlu aku bilang ke kamu juga, Yohan. Tapi ga di sini. Kita ke tempatku. Apa kamu sudah siap pergi?"

Aku mengangguk. "Aku akan bayar tagihannya."

"Ga - aku yang akan bayar."

Aku memandangnya. "Mir, pelayan yang manis itu akan menganggap aku bajingan, kalau aku ga membayar."

Mira tertawa. Untuk pertama kalinya sejak aku duduk, dia menunjukkan emosi.

"Oke kalau gitu, kamu yang traktir aku."

Aku berbalik, memanggil pelayan itu. Aku ga melihat jumlah tagihan, cuma memberinya kartu kreditku dan saat dia kembali menambahkan selembar uang € 100 ke nampan. Dia melihatnya, lalu memandangku, dan berkata, "Grazie, signore."

"My pleasure."

Aku berdiri dan menarik kursi Mira ke belakang dan kami berjalan ke lapangan.

Tangan kami saling bersentuhan beberapa kali saat kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju tempat parkir, lalu aku meraih dan memegang tangannya, dan tidak kurasakan keberatan darinya bergandengan tangan denganku.

Dia membuka kunci mobilnya dengan remote dan kami masuk.

Sejenak dia duduk dengan tangan di atas kemudi, menatap ke depan, lalu menoleh padaku dan mengulurkan tangannya ke belakang kepalaku, lalu menarik bibirku ke bibirnya dan menciumku sepenuh hati.

Ketika dia melepas ciumannya, dia menatap mataku, lalu mengangguk. "Oke. Ke tempatku." Suaranya terdengar agak serak.

Dia mengemudi perlahan, dengan hati-hati, di sepanjang jalan pulau yang sempit, mobil bergetar dan bergoyang saat melewati jalanan yang kasar dan akhirnya berhenti di luar vila.

"Ini bagus," kataku.

"Ga murah," jawabnya.

"Orang kaya," kataku.

"Belum."

Aku mengangkat bahu. "Tergantung keputusanmu, Mir. Keputusan kita. Kalau kita mau."

Dia membuka kunci pintu dan berjalan di depanku. Aku melangkah masuk. Vila itu tidak punya banyak perabotan, lantainya berkeramik, dindingnya putih dan bersih.

Sebuah sofa besar berada di tengah ruangan utama, menghadap ke laut dan dibatasi pintu geser kaca. Pemandangan matahari terbenam terlihat dengan jelas, menyebarkan warna jingga ke awan di atasnya..

"Mau anggur lagi?" Mira bertanya.

"Ga usah repot-repot."

"Sebenarnya aku yang mau. Jadi sekalian nawarin?"

"Boleh deh," kataku.

Mira berjalan melintas ke area dapur besar, mengambil sebotol anggur putih dari lemari es dan membukanya, menuangkan di gelas besar untuk kami masing-masing. Dia memberiku satu dan duduk di sofa, bersandar di salah satu lengan sofa menghadap ke samping, kakinya terentang sepanjang sofa. Aku melihat sekeliling, lalu menepuk kakinya dan dia mengangkatnya, lalu menurunkannya lagi di pangkuanku saat aku sudah duduk. Mira mengangkat gelasnya dan aku menyentuhnya dengan gelasku.

"Giliranku, Yo," katanya.

Aku menunggu, membelai kakinya yang berada diatas pahaku. Mira sudah membuka pintu-pintu teras dan aroma serta suara ombak melayang ke dalam ruangan disertai angin hangat yang berhembus.

"Aku juga minta tolong yang sama, Yo. Jangan menyela. Aku tahu persis apa yang mau kukatakan padamu... tapi ga tahu gimana mengatakannya. Aku mau ini tersampaikan dengan benar, dan aku ga mau kamu panik setelahnya."

Aku memperhatikan garis wajahnya saat dia bicara, wajahnya yang cantik dan menawan. Memperhatikan payudaranya yang sempurna bergoncang ringan di dalam atasannya. Memperhatikan kakinya yang panjang terhampar didepanku.

Aku tersenyum, mengingat setiap kali aku membayangkan tentang payudara itu, mengamatinya selama bertahun-tahun saat mereka mulai terbentuk, tumbuh, dan sekarang jadi menakjubkan. Aku tersenyum mengingat melihat mereka untuk pertama kalinya di apartemen kecil Mira saat Febi melepaskan bra Mira dan mereka bergoyang bebas. Aku tersenyum mengingat saat-saat aku sering melihat mereka sejak itu, dan saat aku memegangnya. Aku ingin meremasnya lagi, ingin menyentuh semua tempat rahasia di tubuhnya.

Dia melirik ke arahku dan aku mengelengkan kepala mengembalikan kesadaranku ke masa sekarang dan mengangguk. "Oke."

"Apa yang kamu bilang tadi... agak menakutkan buatku. Karena..."

Dia berhenti, menarik napas dalam-dalam dan melirikku lagi.

"Apa kamu benar-benar serius dengan apa yang kamu bilang tadi, Yo? Semua yang kamu bilang?"

Aku mengangguk lagi.

"Kamu sudah merasa seperti itu sejak... sejak kapan?"

"Lama, Mir. Sejak dulu sekali."

"Shit... Oke. Aku ga tahu apa yang akan terjadi sekarang. Aku tahu apa yang aku mau terjadi. Apa yang kuharap akan terjadi. Tapi aku ga tahu. Ini merubah semuanya."

Dia berhenti lagi dan aku memperhatikannya.

"Lanjutin," kataku. "Kamu ga bisa membiarkanku tergantung seperti ini, Mir."

Dia mengangguk.

"Aku suka perempuan, Yo. Kamu tahu itu. Aku benar-benar penyuka wanita...."

Di atas laut, matahari menyentuh cakrawala dan laut membentuk jalur panjang berwarna orange ke arah kami.

"Tapi ... aku selalu menyukaimu juga. Saat kamu bilang gimana perasaanmu padaku, aku merasa sakit. Karena aku juga merasa seperti itu ke kamu, Yohan. Aku berusaha untuk merahasiakannya darimu, karena... Sial, aku ga tahu, karena aku ga mau membuatmu pergi ketakutan, tapi cuma sedikit rona kehadiranmu sudah terasa begitu menyenangkan, jadi aku mengambil apa yang aku bisa dan mencoba agar jangan sampai kamu menjauhiku karena aku terlalu berlebihan dan menuntut perhatianmu. Tapi aku selalu membutuhkan kamu... cuma aku ga tahu gimana mengatakannya. "

"Mir..."

Kali ini gilirannya untuk mengangkat tangannya. "Tunggu. Biarin aku selesai. Semua gadis itu..." dia tertawa. "Ya, semua teman wanitaku menyenangkan. Hasratku benar-benar terpenuhi saat aku bercinta dengan wanita lain. Benar-benar puas." Dia melirikku, mencoba menilai reaksiku. "Tapi saat aku memikirkanmu ... secara itu... secara seksual...”

Dia melihat kearahku lagi dan aku mengangguk.

"Aku jadi terangsang. Membayangkan tentang bersetubuh denganmu, making love... Vaginaku basah seperti meleleh di dalam sana. Aku bingung, karena aku benar-benar ga suka cowok. Aku tahu aku pernah bilang, kamu ga seperti laki-laki lain. Kamu Yohan ... Yohanku ... Yohanku," Dia mengulanginya dua kali, matanya menatap lantai.

"Aku selalu sadar," katanya. "Dan aku sudah berusaha melawan perasaan itu karena kamu sepupuku dan menginginkanmu adalah tabu. Kalau kita menuruti apa yang kita mau, kita akan melanggar hukum, melanggar norma... tapi aku ga peduli. Sepertinya dulu itu ga pernah jadi masalah. Saat aku dulu umur tiga belas, empat belas, aku sering memainkan jariku di vaginaku, membayangkanmu, dan rasanya selalu lebih baik daripada yang pernah kurasakan dengan yang lain. "

Aku membungkuk di atas kakinya dan meletakkannya gelas kosongku di lantai, mengangkat kakinya dan mulai memijat telapak kakinya, aku tahu dia selalu menyukainya. Kadang-kadang aku sengaja membiarkan jemariku bergerak naik sampai ke betisnya, tapi ga pernah lebih dari itu.

"Dan seiring bertambahnya usiaku, aku pikir itu akan hilang dengan sendirinya," kata Mira. "Kamu tahu, puber anak sekolah. Tapi perasaan itu ga pernah benar-benar hilang. Dan lalu kamu meneleponku dan tanya apa bisa kamu menginap di tempatku dan aku hampir pingsan mendengarnya. Setelah kamu menutup telepon, malam itu, aku membayangkan tentang kamu akan datang, dan aku menarik celana dalamku dan memasukkan jari aku di dalam vaginaku dan hampir pingsan lagi kali ini karena orgasme yang begitu kuat."

Dia menatapku sekarang, menatap mataku, mencari sesuatu.

"Apa aku menakutimu, Yo?"

Aku menggelengkan kepala.

"Bagus. Karena aku belum selesai."

"Lanjutkan," kataku.

"Saat kamu pindah, itu saat yang sulit buatku. Aku mau merobek pakaianmu dan menyetubuhimu. Setiap saat. Dan aku takut karena kamu adalah sepupuku dan apa yang kuinginkan melanggar hukum. Tapi itu ga bisa berhenti menginginkanmu. Aku begitu mendambakanmu. Semua godaan itu, semua yang kulakukan, aku berusaha mengukur sejauh mana aku bisa melangkah." Dia tersenyum, menatapku. "Kita hampir melangkah terlalu jauh, bukan, Yo?"

Aku tertawa. "Lebih dari sekali."

"Kamu bisa meniduriku kapan saja kamu mau. Kamu bisa menyetubuhiku bertahun-tahun lalu, bahkan sebelum kita cukup umur. Kamu bisa meniduriku di hari pertama kita tinggal bareng. Sepanjang waktu aku selalu mau kamu ngelakuin itu."

Sekarang aku mengulurkan tangan ke arahnya, tangannya bereaksi, membuka telapak tangannya menghadap keatas, menyambut tanganku yang lalu mengenggam tangannya diatas pahanya. Aku bisa merasakan kakinya gemetar di bawah tanganku.

"Dan sekarang... tentang minggu lalu... aku perlu menceritakan padamu tentang minggu lalu."

Dia menghela napas panjang dan dalam dan menghembuskan semua udara keluar dari paru-parunya dalam satu deru panjang.

"Awalnya aku pikir semua akan baik-baik saja, sampai ibumu menyewa kamar hotel itu untuk kita. Ibumu..." dia melirik padaku. "Aku ga tahu... aku ingin memberitahumu tapi aku ga tahu apakah aku bisa..."

"Bilang saja, Mir? Kamu bisa menceritakan padaku apa saja. Apa saja."

"Aku ga yakin bisa memberitahumu tentang ini, Yohan."

"Apa saja," kataku. Aku merasa gugup, setengah menebak-nebak apa yang mungkin akan dikatakannya, lalu bilang. "Aku juga mau menceritakan sesuatu, Mir."

"Apa kita mengacaukan semuanya, Yohan? Apa perasaan kita ini salah?" dia bertanya.

"Ga," kataku.

"Bilang alasannya, Yo."

"Aku sadar kamu sepupuku, Mir. Dan tadi kamu bilang kamu ga mau membuatku ngelakuin incest, dan aku bisa paham itu. Tapi sebenarnya itu sudah terlambat, Mir. Terlambat. Liburan kemarin... Aku sudah menyetubuhi ibuku."

Gemetar di kakinya bertambah kuat dan genggamannya di tanganku hampir terasa sakit.

"Malam sebelum pernikahan, Yo... Aku juga ngelakuin itu... dengan ibumu..."

Dia menatap lantai, tidak ingin menatapku.

"Bagus," kataku. "Kamu pernah bilang kamu naksir dia, berarti bagus kan."

Sekarang dia berani melirik sekilas.

"Bagus?"

"Tentu. Seperti yang kamu bilang, dia memang menawan dan seksi..."

Mira tersenyum, lalu tertawa pelan. "Wow... wah... kita memang kacau, ya?"

Aku menggelengkan kepala. "Hanya kalau kamu... terlalu khawatir tentang itu. Aku merasa baik-baik saja saat ngelakuin itu. Kamu?"

Dia mengangguk. "Ya, bahkan terasa sangat luar biasa."

"Jadi fakta bahwa kita... sepupu itu hampir ga penting, kan?"

"Oke," katanya, tiba-tiba memutuskan. "Masalah itu sudah beres. Sekarang biarin aku lanjutin... Malam itu di hotel, di kamar mandi ... Aku benar-benar berharap kamu menyetubuhiku malam itu... Aku mau kamu menyetubuhi di pantat... Kamu tahu aku mau itu kan, Yo? "

Dia menatapku lagi, mencari jawabanku.

"Ini bukan berarti aku suka penis, suka cowok... cuma kamu... aku mau penismu menusuk pantatku, Yohan." Dia menggigil. "Tapi kamu... kamu selalu begitu memperhitungkan segala sesuatu, sangat sabar, sangat terkontrol. Kenapa kamu ga bisa menyerah begitu saja pada nafsu dan meniduriku?"

"Karena aku terlalu menginginkannya." Aku bilang. "Karena itu terlalu berarti buatku untuk aku lakukan begitu saja. Dengan orang lain, ya. Tapi kamu terlalu berarti buatku."

"Dan lalu... kembali ke rumahmu, rasanya seperti kita tinggal bareng." kata Mira, "Dan aku menghabiskan berjam-jam berbaring di tempat tidur ibumu menatap langit-langit meyakinkan diriku untuk tetap di sana dan ga pergi kekamarmu dan memaksamu menyetubuhiku... aku menginginkannya... aku selalu menginginkannya... Tapi aku menahan diriku. Dan lalu Karin, melihatmu menyetubuhi Karin, dan... " Dia berhenti dan mulai terisak.

Aku menariknya ke arahku dan dia jatuh ke pangkuanku, dan aku berputar menghadapnya lalu menariknya lagi sampai dia berbaring di atasku, kaki kami terkait, dadanya menekan dadaku, air matanya menetes ke wajahku dan aku membelai punggungnya, membiarkannya menangis sampai air matanya berhenti.

"Dan... Karin tahu apa yang kita berdua inginkan... saat dia menarikku ke atasnya dan kamu menyetubuhinya... kamu menatapku saat kamu menyetubuhinya, Yohan ... kamu menatapku, bukan dia... rasanya seperti kamu menyetubuhiku... tapi kamu sebenarnya ngelakuin itu dengan Karin dan itu terlalu banyak untuk bisa kuterima. Aku ga bisa tidur sepanjang malam dan di pagi hari aku harus pergi karena kalau ga, aku akan memaksamu menyetubuhiku dan... dan kupikir ... kupikir itu akan menghancurkan segalanya... dan aku ga akan tahan ... ga akan bisa menerima tanpamu disampingku, Yohan. "

Dia sudah menuangkan kata-katanya di leherku, bibirnya menyentuh kulitku, dan saat dia selesai dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Kamu merasa begitu?" kataku. "Bahwa andaikata kita ngelakuin itu akan merusak apa yang kita punya?"

Dia mengangguk.

"Aku juga merasa begitu," kataku.

Dia mengangguk lagi.

"Kita memang sama-sama kacau, kan?" Kataku.

Dia mencium ringan bibirku, berbaring di atasku dia menyandarkan kepalanya ke lekuk leherku dan aku merasa tubuhnya rileks.

"Aku capek banget, Yo," katanya. "Sepertinya aku tidur ga lebih dari dua jam setiap malam sejak aku meninggalkanmu. Selalu terlalu banyak berpikir. Aku takut akan kehilanganmu selamanya."

"Kamu ga akan pernah kehilangan aku, Mir," kataku.

"Mmm," gumamnya, dan aku merasa dia semakin rileks, berbaring di atasku seolah-olah tubuhnya mencair. "Kalau aku ketiduran, bantuin aku lepas pakaianku, Yo, udara disini bisa terlalu panas di musim ini" bisiknya.

Aku meletakkan tanganku melingkari bahunya dan mencium bagian atas kepalanya lalu memeluknya erat, dalam beberapa saat napasnya semakin dalam dan aku tahu dia sudah tertidur. Aku diam sebentar tidak bergerak, memandang dari atas kepalanya saat matahari memancarkan warna-warna liar ke langit, lalu memudar, meredup dan hilang. Bintang-bintang muncul tapi seperti yang Mira bilang, udara yang masuk melalui jendela yang terbuka masih terasa hangat.

Akhirnya aku memutar badanku, bergeser keluar dari bawah Mira, mengangkatnya dan berusaha membawanya ke kamar. Pintu pertama yang kubuka ternyata adalah toilet, dan setelah membuka pintu kedua aku menemukan kamar tidur. Kamar itu luar biasa seperti bagian vila yang lain, terletak di samping ruang tamu utama dengan lebih banyak pintu kaca ke teras yang punya pemandangan laut. Satu pintu di dinding menghubungkan ke kamar mandi lain di dalam kamar

Aku membaringkan Mira dengan lembut di tempat tidur dan berdiri memandanginya, bertanya-tanya apa aku harus melepas pakaiannya atau ga. Rasanya aneh - aku sudah terbiasa melihat Mira telanjang, dia bahkan hampir selalu tidur telanjang, aku pernah melihatnya seperti itu ratusan kali, tapi harus melepas pakaiannya saat dia tidur terasa berbeda, seperti melanggar privasinya. Aku membungkuk dan membuka kancing rok pendeknya dan menariknya lepas. Aku mulai menarik leggingnya ke bawah sampai aku tahu dia ga pakai apa pun di baliknya. Aku menarik nya keatas lagi dan Mira menggumam sesuatu dalam tidurnya lalu berguling menyamping.

Aku duduk bersimpuh di tumitku menatapnya, melihat keringat membasahi wajah dan lehernya dan aku tahu dia akan kepanasan sepanjang malam kalau aku membiarkannya seperti itu.

Aku mendorong bahunya dengan lembut dan dia menggerutu lalu dengan enggan berguling telentang. Aku kembali ke legging dan menariknya ke bawah, menyadari vaginanya terbuka didepanku, mengendus aroma nikmat yang muncul darinya. Aku melipat legging dan meletakkannya di meja rias. Aku menarik Mira sampai dia duduk, dia bergumam tidak jelas dan hampir ambruk ke samping. Aku duduk di belakangnya, menahannya dengan lutut saat aku menarik atasan sutranya ke atas kepalanya, sedikit berjuang melepaskan dari tangannya. Aku membuka pengait bra-nya dan menariknya lepas dari atas bahunya. Akhirnya aku membaringkannya lagi dan dia membuka mulutnya dengan tarikan napas berat. Aku ga tahu kenapa dia ga terbangun saat aku melepas pakaiannya, mungkin dia memang terlalu lelah, berlari dan menjauh sendirian. Dan setelah mengeluarkan semua beban di pikirannya tadi sudah membuatnya lega dan tertidur lelap.

Saat aku masih memandanginya dari bawah, dia berguling menyamping lagi dan menarik lututnya ke atas, meringkuk menyamping di tempat tidur. Aku bisa melihat jelas lipatan dan bagian vaginanya yang terpampang di depanku, memikat pandanganku beberapa saat sebelum dengan susah payah aku berpaling. Dalam keadaan tidur pun dia masih terus mengodaku.

Aku keluar dan merapikan gelas anggur kami, menarik jendela tinggi sampai setengah tertutup dan duduk di sofa. Hanya duduk diam hampir satu jam di sana, bahkan hampir ga memikirkan apapun, lalu bangkit dan kembali ke kamar. Aku melepas pakaian dan berbaring di tempat tidur di sebelah Mira, dekat tapi tidak sampai menyentuhnya, cukup untuk merasakan kehangatan terpancar dari tubuhnya saat aku berbaring menatap langit-langit.

Aku memejamkan mata dan menunggu tidur datang, mendengarkan suara ombak di laut, mendengarkan suara napasnya di sebelahku.


JUMAT 29 JUNI

Ketika aku bangun tubuhku basah karena keringat. Cahaya terang dari matahari memenuhi ruangan putih itu, seberkas sinar matahari jatuh di kaki kananku, membuatku menariknya mundur. Kakiku menyentuh Mira saat aku bergerak dan aku memutar kepalaku ke arahnya, baru mengingat kehadirannya.

Dia berbaring telungkup, wajahnya menghadap ke arah lain dariku, satu tangan terselip di bawah bantalnya, yang lain terbujur di samping tubuhnya, telapak tangannya menghadap ke atas. Aku mengamati posisi tidurnya, mengamati bagaimana punggung dan tubuhnya bergerak saat dia bernapas, melihat butir keringat terbentuk di kulitnya. Pinggangnya yang ramping dan lekuk pinggulnya membuatku terpesona dan aku ingat saat kami menjelajahi tubuh masing-masing dengan sangat detail. Aku tahu setiap inci kulitnya, setiap celah intim dan lipatan rahasia.

Dia bergumam dalam tidurnya dan bergerak. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh punggungnya, membiarkannya di sana, merasakan kehidupan di tubuhnya.

Pada saat kusentuh, dia bergumam lagi, menggulingkan kepalanya menoleh ke arahku. Matanya terbuka saat dia menoleh padaku, dan dia tersenyum.

"Pagi, Yohan," katanya, dengan nada orang baru bangun tidur.

"Pagi, Mir," kataku, dan mencium bahunya.

"Sepertinya aku benar-benar kecapean," katanya. "Jam berapa sekarang?"

Aku menggelengkan kepala. "Ga tahu." Melihat sekeliling mencari jam dinding.

"Dapur," katanya, "Di tembok diatas kompor. Satu-satunya jam di vila ini. Dan bawain aku jus saat kamu balik dari sana."

Aku tertawa, mencium bahunya lagi dan berguling dari tempat tidur, lalu berjalan, masih telanjang ke arah dapur. Aku menuangkan jus ke dua gelas besar, dingin dari lemari es, melirik jam di atas dinding.

Saat aku berjalan kembali ke kamar, aku sadar penisku sedikit membesar dan berayun saat aku mendekat ke tempat tidur, melihat Mira melirik kearahnya dan penisku merespons, semakin membesar sedikit demi sedikit.

"Jam sebelas lewat," kataku.

Aku duduk di tempat tidur, bersandar di tumpukan bantal, lalu menempelkan gelas dingin di punggung Mira, membuatnya menjerit dan melompat ke samping.

"Brengsek Yohan, dingin tahu!"

Aku menyeringai dan dia bergerak lagi untuk duduk. Aku memegang gelas sampai dia siap. Dia mengambilnya, menghabiskan setengahnya dalam satu tegukan dan meletakkan gelas di meja di samping tempat tidur.

"Ya Tuhan, sekarang aku kebelet pipis. Jangan pergi ke mana-mana." Dia bangkit dan berlari ke kamar mandi, aku menikmati pemandangan saat tubuhnya bergerak. Aku mendengar dia buang air kecil, mendengar dia membersihkan dirinya sendiri lalu dia kembali. Dia berhenti di kaki tempat tidur dan meregangkan tubuh. Aku ga tahu apa dia sengaja atau apa dia memang harus melakukan itu, tapi dia terlihat sangat menawan, kedua tangannya terentang keatas, payudaranya terangkat dan membusung. Tapi perhatianku jatuh pada putingnya yang mengeras.

"Sudah lega?" Aku bertanya.

"Banget," katanya. Dia mengambil lagi gelasnya lalu duduk di tepi tempat tidur memunggungiku dan menghabiskan jusnya.

Aku mengulurkan tangan dan membelai punggungnya, naik ke belakang lehernya dan dia menenggok ke belakang lalu tersenyum.

"Aku butuh mandi, Yohan," katanya dan bangkit.

Aku berbaring lagi ke ranjang, mendengarkan saat air mulai mengalir dari shower di kamar mandi, mendengar perubahan suara saat Mira melangkah ke bawah shower. Dia membiarkan pintu kamar mandi terbuka, penisku semakin menegang saat aku membayangkannya berdiri telanjang di bawah pancuran air. Aku merasakan perubahan sikap setelah pembicaraan kami kemarin, mendorongku begitu rupa. Aku sudah menjaga perilakuku di dekatnya cukup lama selama ini, terlalu lama. Aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

Kamar mandinya besar, seluruh dinding dan lantai dipasang keramik mengkilap. Setengah ruangan disekat dengan kaca sebagai ruang shower. Aku melangkah masuk dari pintunya, lalu memeluk tubuh Mira yang basah kuyup dan menariknya ke arahku.

"Aku berpikir, kenapa kamu begitu lama," katanya. Dia mendorong pantatnya ke belakang, tangannya meraih kebelakang, dan menemukan penisku. Tangannya licin karena sabun dan dia mulai menggosokku perlahan.

Aku mengangkat satu tanganku ke payudaranya, payudara indah yang selalu kuimpikan, dan sekarang di sini, memenuhi gengamanku, air mengalir di atasnya, putingnya terasa keras di sela jari-jariku.

Mira bersandar ke tubuhku dan aku menurunkan tanganku yang lain ke perutnya, terus ke bawah dan dia tersentak saat jari-jariku menemukan vaginanya.

"Kamu menggodaku, Yohan?" dia berkata.

"Ga akan menggoda lagi, Mir."

"Mm." Dia menggeliat, berbalik dan menarik wajahku ke bawah untuk menciumnya, lalu melepas ciuman dan berlutut, mengarahkan penisku langsung ke mulutnya.

Ga ada lagi main-main sekarang, ga ada lagi pura-pura. Dia memasukkan penisku sejauh yang dia bisa ke mulutnya, tersedak sedikit dan menarik munduri.

"Brengsek. Aku harus latihan itu sedikit lebih sering," katanya.

"Latihan saja sepuasmu nanti," kataku. Aku meraih lengannya dan menariknya berdiri. Dia mencoba menolak dan berlutut lagi, tapi aku memegangnya, licin dan basah, lalu mendorongnya bersandar ke dinding keramik. Air mengalir turun di atas kami.

"Kamu mau memandikan aku, Yohan?" katanya, senyum di bibirnya.

"Apa kamu kotor?"

"Kamu tahu sekotor apa aku," dia terkikik.

Aku mengambil sabun dari tempatnya dan mengosokkan di punggungnya, membentuk busa busa yang licin.

Aku menyabuni bahu dan lehernya, mengangkat kedua lengan dan membasuhnya sampai ke jari-jarinya.

Mira bersandar, memberiku akses ke payudaranya dan perutnya, dan aku menyabuni semua sampai kulitnya terasa licin di tanganku.

Aku menyentuh vaginanya dan dia menggigil, mengigit bibir bawahnya.

"Kita sudah pernah sampai ke tahap ini sebelumnya," katanya. "Tapi sekarang terasa berbeda."

"Memang berbeda," kataku.

Dia tersenyum lalu berbalik membelakangiku, menunjukkan punggungnya padaku. Dia melangkah mundur, mencondongkan tubuh ke depan dan menempelkan tangannya di dinding. Air jatuh ke punggungnya yang melengkung dan mengalir di antara kedua pantatnya.

Aku menyabuni punggungnya, perlahan bergerak ke bawah. Aku menyabuni pantatnya, ke celah di antara bongkah pantatnya.

"Ya," katanya. "Aku perlu dibersihkan di sana."

"Menurutku terlihat bersih," kataku.

Dia menggelengkan kepalanya, mundur setengah langkah, tubuhnya semakin merunduk. "Kotor," katanya. "Perlu dibersihkan."

Satu tangan Mira meraih kebelakang dan menarikku ke arahnya. Tangannya memegang penisku, menggosokkannya ke lubang pantatnya, lalu menyandarkannya di celah pantatnya.

“Disitu,” Katanya

Aku bergerak maju, menepis tangannya dan mengenggam penisku dengan tanganku sendiri. Aku menekuk lututku sedikit, bergerak lebih dekat lagi dan kepala penisku menempel di celah vagina yang tertutup rapat.

Mira mendorong mundur ke belakang, "Jangan menggodaku, Yohan," katanya.

Aku tersenyum. Sepertinya semuanya sudah dipersiapkan untuk saat ini. Semua godaan, semua permainan, semua momen saat kami hampir melewati batas. Kami sudah menunggu saat ini, bukan hanya aku, kami berdua sudah menunggu terlalu lama.

Aku mencium punggungnya yang basah dan mendorong ke depan. Penisku membelah bibir vaginanya dan bukannya menarik mundur seperti biasanya, aku mendorong lagi dan memasukkan penisku sepenuhnya.

"Ya Tuhan..." bisiknya, kakinya gemetar.

"Berubah pikiran tentang laki-laki?" Aku bertanya.

Mira menggelengkan kepalanya, air memercik dari rambutnya yang pendek. "Ga. Laki-laki itu bajingan semua. Kamu bukan laki-laki, Yohan."

"Jadi, menurutmu dengan apa aku mengisi vaginamu kalau aku bukan laki-laki?" mulai mendorong penisku keluar masuk di vaginanya sedikit lebih cepat.

"Ga tahu," katanya, "Tapi kamu Yohan. Kamu boleh ngelakuin apapun yang kamu mau padaku, Yo. Kamu harus tahu itu. Kecuali... kamu ga boleh ejakulasi dalam. Ga disitu. Aku ga mau sampai hamil... belum." Dia mengerakkan pinggulnya ke arahku, napas semakin berat dan aku mengerakkan pinggulku menyambutnya, berjuang menahan ejakulasiku.

Tangan kananku meraih kebawah dan mengesek klitorisnya dengan jariku dan dia tersentak.

"Apa kamu tahu sudah berapa lama aku menunggu saat ini?" Kata Mira.

"Selama aku?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Lebih lama. Aku lebih tua darimu, lebih lama." Suaranya bergetar saat napasnya bertambah cepat.

Aku meraih payudaranya yang berayun dengna tangan kiriku dan menarik putingnya.

"Kamu akan membuatku orgasme, Yohan," katanya, menggerakkan pinggulnya lebih cepat. "Ooh.. shit!" Dia mengejang, menyentak ke depan, membuat penisku lepas darinya. Dia mendorong ke belakang dan penisku meluncur lagi ke dalam dan dia berteriak, gemetar saat mencapai klimaks. Aku memegang pinggulnya untuk menahan penisku tetap didalam, merasakan pijatan dari dinding vaginanya dan semburan hangat di kepala penisku. Aku mundur, menarik tubuhnya kebelakang juga sampai bersandar padaku. Kakinya gemetar, hampir ga bisa menahan tubuhnya dan aku harus memeluknya saat dia menggigil, menahannya agar tidak merosot ke lantai.

Dia mengangkat lengannya dan melingkarkannya ke belakang leherku, mencoba menoleh untuk menciumku, tapi gagal karena tidak bisa mengontrol tubunya yang lemas dan terus gemetar.

"Brengsek Yohan... itu orgasme terbaikku... apa kamu juga dapet?"

Aku menggelengkan kepala dan dia merasakan penisku bergerak di vaginanya.

"Gimana bisa? Gimana mungkin kamu ga cum?"

"Kamu yang melarangku untuk orgasme didalam."

Mira tertawa, melepaskan diri dari pelukanku, tertawa terbahak-bahak, penisku tercabut keluar darinya, basah kuyup. "Oh, sial, maaf, Yo..."

Punggungnya bersandar lagi padaku, masih terkikik dan aku memeluknya lagi. Penisku yang kaku menekan pantatnya dan dia menyelipkan tangannya ke bawah di antara kami dan memegang penisku.

"Kalau gitu, harus diapain ini?" dia bertanya sambil tersenyum.

"Boleh aku minta bantuanmu soal itu, Mir?" Aku bilang.

Dia tertawa lagi. "Tetap terlalu sopan... Aku harus mengurangi kebiasanmu itu... Ayo kita lanjutkan, Yo."

Aku meremas payudaranya sambil menikmati tangannya yang licin membelai penisku. Dia membungkuk kedepan, menopang tubuhnya di dinding dengan satu tangan. Dia mendorong pantatnya keatas, mencengkeram penisku dan menggosoknya ke bongkahan pantatnya, menyelipkannya ke celah di tengahnya.

Dia berhenti tertawa. Aku memegang pinggulnya dan menariknya sedikit ke belakang. Mira menempatkan kepala penisku di depan lubang anusnya, menahannya disana.

"Apa kamu ingat honeymoon suite itu?" Kata Mira.

"Mana mungkin aku bisa lupa saat itu?"

"Aku meminta sesuatu darimu saat itu dan kamu memilih menuruti akal sehatmu."

"Memang."

Mira menggosok penisku, masih menempelkan di lubang anusnya. Sabun dan air sudah membuatnya licin dan saat dia menekan kebelakang, aku merasakan penisku membuka bibir anusnya.

"Kamu ga akan menuruti akal sehatmu lagi, kan?"

"Gimana menurutmu?" Kataku sambil menekan ke depan dan pantatnya membuka lebih lebar. Setengah kepala penisku sekarang sudah terselip kedalam, dijepit oleh otot melingkar yang ketat.

Kepalanya tergantung ke bawah dan dia menggelengkannya. "Jangan," katanya. "Lakuin, Yo. Aku mau kamu turuti kata hatimu sekarang."

Aku menekan dan penisku memasuki pantatnya. Aku mendengar suaranya memekik tertahan, tapi bukan kesakitan, aku mendorong dan masuk lebih dalam. Dia membuka kakinya lebih lebar dan meletakkan tangannya yang lain di dinding. Aku menarik pinggulnya kuat-kuat ke arahku, menekuk lututku, dan penisku meluncur sepenuhnya kedalam anusnya.

Mira menahan napas dan tersentak lagi, "Yohan, kamu akan bikin aku dapat lagi..." Suaranya seperti tercekik.

"Aku akan menyetubuhi pantatmu," kataku berbisik di telinganya. "Aku akan menyetubuhi pantatmu dan memenuhinya dengan spermaku." Dan pinggulku mulai bergerak.

"Ya," dia memejamkan mata, hampir ga mampu bicara.

"Penisku ada di dalam pantatmu... seluruhnya." kataku.

"Ya," dia megap-megap lagi, tubuhnya bergetar. "Setubuhi... pantatku, Yo..."

Aku terus memompa keluar masuk, sedikit kasar, perutku menabrak pantatnya dengan kencang dan aku tahu aku ga akan bisa bertahan lebih lama lagi. Bola testisku menegang, hampir sakit, penisku berkedut dan aku merasakan klimaksku mendekat.

"Aku sampai, Mir," gerutuku.

"Fuck!" dia berteriak dan aku meledak di dalam dirinya, menyemburkan cairan panas jauh di dalamnya.

Mira merasakan cairanku menyembur dan itu membuatnya orgasme juga, dia gemetaran lagi. Kakinya lemas dan aku menariknya ke arahku, mencoba untuk menahannya tapi lututku sendiri terasa lemas dan tiba-tiba saja kami merosot ke lantai dan Mira mendarat di atasku, penisku masih menancap di anusnya dan aku memompa ke dalam lagi, menyembur lagi di dalam dirinya. Aku berbaring di lantai, air membasahi tubuh kami, aku memeluk Mira, meremas payudaranya yang tak pernah membuatku bosan, saat kami diam menikmati orgasme kami.

Penisku menyusut dan akhirnya terlepas keluar dari pantat Mira. Dia berbalik, tubuhnya licin berbaring di atasku, lalu dia menciumku.

"Terima kasih, Yohan," bisiknya. Sepertinya ada air mata mengalir di pipinya, tapi sulit untuk membedakannya dengan air dari shower yang terus menguyur.

"Untuk apa?"

"Karena sudah menyetubuhiku seperti itu." Dia menggigit bibirku dengan giginya. "Sejak dulu aku mau kamu ngelakuin itu."

"Anal seks?"

Dia mengangguk. "Itu membuatku sangat terangsang. Hei, aku lesbian yang aneh, ya?"

"Lesbian yang cantik," kataku, menciumnya.

"Lesbian milikmu," katanya.

"Bukankah kita harus membicarakan itu?" Kataku. Aku mengangkatnya dan berdiri lalu mematikan air. Aku menawarkan tanganku dan saat dia meraihnya aku menariknya keatas dan menciumnya lagi.

"Ikut aku ke tempat tidur." dia berkata.

Kami keluar dan berbaring di tempat tidur, membasahi seprai dengan tetesan air dari tubuh kami.

"Ga ada yang perlu dibicarakan," kata Mira. "Aku milikmu, Yohan. Aku selalu jadi milikmu." Dia menciumku.

"Dan cewek-cewek kekasihmu?"

"Mereka menyenangkan buat selingan. Tapi aku mencintaimu." Dia memegang pipiku dengan tangannya, menatap mataku, ekspresinya serius.

"Kamu serius?" Aku bertanya.

Dia mengangguk, mencium mataku.

"Aku juga mencintaimu, Mir," kataku. "Tapi kalau kamu masih ingin bersama cewek-cewek, aku ga masalah."

"Sialan," katanya, tapi dia tersenyum.

Aku mengangkat bahu. Aku ga akan memaksakan diriku untuk mengubahnya.

"Oke," katanya. "Tapi gimana kalau aku bagi? Gimana kalau threesome?"

Senyumnya berubah menjadi seringai jahat, dia tahu apa jawabanku saat penisku menegang lagi dan menusuk pahanya.

"Kamu siap untuk lanjut lagi?" dia bertanya.

Aku mengangguk. "Denganmu, selalu."

"Oke." Dia bergeser ke pingangku dan menarik penisku ke dalam mulutnya, tanpa ragu, tanpa pura-pura.

Aku bangkit lalu meraihnya dan memutarnya sehingga vaginanya menghadap kearahku. Aku menunduk membenamkan wajahku di antara kedua pahanya, menjelajahi lipatan di vaginanya dengan lidahku.

Mira menarik bantal dan mengigitnya, menciptakan gumaman tertahan setiap kali ujung lidahku mencapai klitorisnya.

Aku menyelipkan jariku kedalam vaginanya, lalu bibirku berpindah dari vaginanya, membiarkan jariku bekerja sendiri. Aku merayap naik ke perutnya, bibirku mencium setiap tempat yang dilewatinya, perutnya, dan naik lagi ke payudaranya, menjepit puting kirinya dengan bibirku saat jariku terus bergerak di bawah.

Saat bibirku mencapai lehernya, kedua tanganku bergerak naik dan menyingkirkan bantal dari wajahnya, memperlihatkan wajahnya yang bersemu merah karena gairah.

Aku meraih kedua pergelangan tangannya, dan menyatukannya diatas kepalanya dengan tangan kiriku. Mira menatap mataku saat tanganku yang bebas bergerak kebawah, memegang penisku dan mengeseknya di sepanjang celah vagina Mira, merasakan tubuhnya yang mengeliat dibawahku, berusaha mempercepat proses dengan caranya sendiri.

“Ya Tuhan, Yo.. cepat setubuhi aku lagi.”

Aku tersenyum lalu mendorong penisku kedalam, hangat, licin dan luar biasa basah. Aku memompa perlahan, lalu semakin cepat, menatap matanya sepanjang waktu. Kakinya melingkar di pinggangku, menarik tubuhku mendekat setiap kali aku bergerak naik.

Kedua tangannya mengepal erat dan tubuhnya mulai berguncang lebih keras. Aku menunduk dan mencium bibirnya yang terbuka, lidahku menerobos dan menjelajah, membelit lidahnya yang pasif, terfokus pada kenikmatan yang bergerak di vaginanya.

“Fuck..”

Kakinya mengejang dan terlepas dari sekeliling pinggangku, sekarang menjejak ke tempat tidur di bawah, membuat pinggangnya terangkat, mendorong ke arahku, bergerak tidak beraturan.

Penisku serasa diremas oleh vaginanya yang luar biasa rapat dan berkedut cepat, saat sekali lagi orgasme datang kepadanya.

Aku melepaskan kedua tangannya dari gengamanku, lalu mencabut keluar penisku saat orgasmeku sendiri hampir mencapai puncak. Aku meraih kebawah dan mengangkat kakinya keatas, betisnya bersandar di bahuku, lalu merapatkan pahanya mengesek penisku di antara paha dan vaginanya saat aku menyembur, terus bergerak diantara pahanya, menyembur lagi kedua kalinya, ketiga, lalu semburan keempat masih cukup kuat mendapat di payudaranya, dan semburan berikutnya membuat genangan kecil di perutnya.

Aku ambruk di sampingnya dan kami berbaring berdampingan di tempat tidur yang basah. Setelah itu kami mandi dan Mira membuat makan siang, sebelum bercinta lagi, saling memuaskan sampai cahaya matahari memudar dan malam datang.

Dalam kegelapan, Mira bergerak ke arahku dan bilang, dengan suara lelah, "Bawa aku pulang besok, Yohan?"

"Tentu," kataku.

"Ayo kita tanda tangani surat-surat itu dan jadi orang kaya. Lalu kita bisa menghabiskan sisa hidup kita making love."

"Rencana bagus," kataku.




THE END
 
Akhirnya... setelah hampir 5 bulan, selesai juga penantian Yohan & Mira, penantian para suhu semua, penantian saya juga, karena habis ini bisa nyantai sejenak tanpa dikejar-kejar update.. hehehe

Terima kasih atas dukungan dan perhatiannya selama ini buat cerita yang saya share ini.. semoga bisa memberi sedikit alternatif, variasi, inspirasi buat para pembaca di forum ini..

Mohon maaf kalau saya jarang membalas komen dan saran, serta kritik yang sudah dengan baik hati diberikan untuk thread ini.. Mohon maaf juga kalau ada kesalahan yang lain yang tidak sengaja saya lakukan..


Sekali lagi terima kasih suhu semua.. :Peace:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd