Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Suami, Kekasih, dan Anak Kost

"Mas jahat begitu sih," omelku begitu esoknya Mas Narto menelepon lagi.
"Sorry Yang.. habis kangen banget sih."
"Mas memang suka ganggu isteri orang ya?"
"Ampuun.. engga lah. Sama sekali engga pernah. Mas engga ada maksud mengganggu isteri orang.
Kemarin itu Mas hanya melepaskan rindu sama kekasih."
"Huh.. dasar..!"
"Mas ke situ sekarang ya, Yang..?"
"Jangan..!"
"Pokoknya Mas mau ke situ. Tunggu ya, daag."
Telepon ditutup. Nekat benar.

Giliran aku yang cemas. Konflik antara menolak kehadiran Mas Narto karena ingin setia,
dengan keinginan mengisi kesepian sambil mengulang kenangan manis. Antara menolak dan
menginginkan. Mungkin terlambat untuk menolak. Mas Narto sekarang sudah duduk di sofa
sebelahku. Kali ini dia datang sendirian, dan pandai memilih waktu. Saatnya anak-anak kost
sedang kuliah, Ayah dan Ibu pergi dan Si Randi dibawa baby sitter main ke tetangga. Dia juga
pandai memanfaatkan waktu dengan efisien. Menolak kubuatkan minum tapi langsung mencumbuiku
di sofa. Entah setan mana yang membujukku untuk menyambut lumatan bibirnya dengan lumatan
pula.

Mas Narto makin 'ganas'. Tubuhku ditindih dengan ketat, seluruh mukaku diciuminya, lalu
leherku. Dengan agak kasar dibukanya dasterku, lalu direnggutnya bra-ku. Mulutnya dengan
rakusnya melumati kedua buah dadaku bergantian kanan kiri. Lalu turun ke perutku, pusarku
dijilatinya. Terburu-buru dia membuka celana dalamku. Eh..! Aku membantunya dengan
mengangkat pantatku. Dan.. oh..!

Mengapa aku memberikannya? Bagaimana dengan janjiku kemarin? Mengapa aku mengijinkan
lidahnya menari-nari di sekitar klit-ku? Karena membuatku terbang melayang di angkasa? Kalau
kemudian aku mendesah, melenguh, dan merintih-rintih, itu biasa. Tapi, di tengah rintihanku
aku minta Mas Narto untuk segera masuk, adalah luar biasa bagiku. Kenyataannya memang
begitu.

Hanya dalam beberapa detik Mas Narto telah bugil. Pemandangan yang telah biasa kulihat.
Waktu pacaran dulu aku sering mengelus-elus penisnya yang kini sedang menuju ke
selangkanganku. Saat-saat awal masuk inilah nikmatnya. Dari kondisi basah, 'hampa', dan
melayang tidak tentu, menuju pada kondisi 'terpenuhi' dan pinggul mendarat kembali ke bumi,
dengan 'masa transisi' berupa simulasi-simulasi nikmat pada dinding-dinding vagina.

Masa pendaratan tidak lama. Ketika pinggul Mas Narto naik-turun, aku kembali
melayang-layang. Mas Narto memang keterlaluan. Kedua tangannya menyusup di bawah punggungku
lalu mengunci tubuhku, dan dengan demikian dia bebas menyodokku dengan hentakan tanpa
kudapat 'mundur' apalagi menghindar. Tapi untuk apa mundur dan menghindar kalau hentakan
tadi malah menambah sensasi kenikmatan?

Untunglah, walaupun dalam keadaan melayang-layang begitu aku sempat ingat satu hal. Sehabis
suatu sodokan, kedua tangan dan kakiku mengunci tubuh Mas Narto sebelum dia menarik
pinggulnya kembali.
Kupeluk, kubisikkan dekat kupingnya, "Jangan keluarin di dalam."
Mas Narto mengangguk-angguk, lalu memompa lagi begitu aku mengendurkan kakiku. Omonganku
masih didengar, Mas Narto menepati janji.

Ditumpahkannya seluruh maninya ke atas perutku. Banyak. Semoga dia tidak telat mencabutnya.
Aku memang sedang 'polosan', tidak memakai proteksi apapun.

***
 
Aku mengurung di kamar sendirian, menangis terus. Aku benar-benar berdosa, merasa diriku ini
kotor. Aku telah membiarkan Mas Narto, bekas pacarku, menyetubuhiku. Bodohnya, aku
menikmatinya. Isteri macam apa aku ini? Cinta Bang Mamat yang tulus telah kukhianati, hanya
karena dia akhir-akhir ini jarang menyentuhku. Bukankah sibuknya Bang Mamat untuk
keluarganya, aku dan Randy? Oh.., aku hanya dapat menyesali dengan menangis terus-terusan.

Mengulangi suatu pengalaman yang memberikan rasa nikmat memang sifat manusia dan setan ada
di mana-mana. Beberapa kali Mas Narto menelpon mau datang, telah berhasil kutolak. Untung
aku punya alasan kuat, Ayah atau Ibu sedang ada di rumah. Tapi pembicaraan teleponnya pagi
ini membuatku tidak kuasa untuk menolak.

"Aku kangen Pah, pengin ke situ."
"Ada Ibu Mas, lagian baby siter ngasuh di rumah."
"Kita jalan-jalan ke luar aja yuk..!"
"Kemana Mas?"
"Ya.. kemana aja lah. Aku jemput ya..!"
"Engga enak Mas, ada Ibu."
"Ketemu di X aja," katanya menyebut nama restoran beberapa meter dari rumah.
"Males ah," sahutku.
Masa aku perempuan muda menunggu cowok di restoran, nanti apa kata pengunjung restoran?
Belum lagi banyak yang kenal.

"Pah, aku mohon kita bisa ketemu. Mungkin ini pertemuan untuk perpisahan."
"Kenapa gitu?"
"Minggu depan aku pindah tugas ke X," jelasnya.
Ke Kaltim? Oh, jauh amat. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Baiklah aku mengalah.
"Oke Mas, kita ketemu di X aja," kataku menyebut nama shopping center, beberapa menit dari
rumah dengan kendaraan umum.
"Makasih, sayangku."

Satu jam kemudian aku sudah di dalam mobil Mas Narto yang dipacu ke arah Jakarta.
"Aku ingin pertemuan kita ini punya kesan yang mendalam," katanya.
"Ke mana kita Mas..?"
"Ke tempat yang berkesan."
"Apa itu..?"
"Nanti kamu tahu."


Kulirik jam tangan, jam sembilan lewat sepuluh.
"Jangan jauh-jauh Mas, waktuku terbatas."
Saat makan siang aku harus sudah ada di rumah. Bang Mamat terkadang pulang untuk makan
siang.
"Engga kok, bentar lagi sampai."

Mobil masuk ke pintu gerbang yang dijaga Satpam, lalu berjalan pelan menyusuri
bangunan-bangunan semacam bungalow. Seorang lelaki setengah berlari memandu mobil sampai ke
pintu garasi. Mas Narto membawaku ke suatu motel tempat pasangan selingkuh berkencan. Ada
rasa tidak enak sebenarnya. Tapi karena menyadari bahwa hari ini adalah pertemuan terakhir
dengan mantan kekasihku ini, aku dapat menerima perlakuannya ini.

Di ujung garasi ada tangga ke atas dan berujung pada pintu. Melewati pintu ini kami masuk
pada ruang dengan sofa set, ada TV besar, mini bar, dan kulkas. Lelaki tadi yang rupanya
room-boy menyodorkan kuitansi dan langsung berlalu setelah menerima uang dari Mas Narto. Aku
duduk di sofa.

"Udah sering ya bawa cewek ke sini..?"
"Eemm.. sering sih engga, sesekali. Maklumlah.."
"Jadi saya ini Mas anggap seperti mereka itu..?"
"Eit, jangan begitu dong, Yang. Ini cuma masalah tempat."
"Ya, justru itu kenapa engga di rumah Mas aja..?"
"Adik Mas yang dari Jawa sekarang tinggal di rumah. Engga enak."
Meskipun masih ada rasa tidak enak, kenyataannya aku tidak menolak ketika Mas Narto mulai
menciumiku di sofa. Lalu menelanjangiku sebelum dia juga berbugil.

Lalu step berikutnya seperti yang sudah-sudah. Mas Narto merebahkanku di sofa, membuka
kakiku lebar-lebar untuk menempatkan tubuhnya di antaranya, mengarahkan kepala penisnya ke
selangkanganku, menekan, dan masuk. Lalu mulai bergoyang kiri-kanan dan memompa naik-turun.
Tubuhnya kadang bertumpu di badanku sambil kedua lengannya mencengkeram, kadang bertumpu
pada kedua telapak tangannya. Suatu proses tahap-tahap persetubuhan yang sama (dan biasa)
yang dia lakukan beberapa hari lalu di rumahku.

Yang tidak biasa adalah ketika stimulasi yang dia lakukan mulai membuatku 'naik', Mas Narto
telah 'selesai'. Ketika aku mulai merasa melayang-layang, tiba-tiba dihempaskan kembali ke
bumi tanpa penyelesaian yang nikmat. Ketika aku sedang merambat naik menuju puncak
kenikmatan, Mas Narto telah orgasme. Beberapa hari lalu Mas Narto mampu membawaku melayang
tuntas, kali ini berbeda. Dia membuatku 'tanggung', rasa menggantung. Dia rupanya merasakan
apa yang kurasakan.

Pada second round di kamar yang keempat dindingnya dipenuhi cermin, benar-benar berusaha
membuatku 'tinggi'. Seluruh tubuhku di eksplore dengan sabarnya, tidak buru-buru masuk.
Aktivitas Mas Narto di cermin yang sedang memompa tubuhku terlihat jelas dan mampu menambah
rangsanganku. Bahkan ketika aku mengganjal kepalaku dengan bantal, aku dapat melihat keluar
masuknya penis Mas Narto pada pintu vaginaku melalui cermin dinding di depanku. Aku memang
sempat melayang tinggi, tapi apa boleh buat. Mas Narto lagi-lagi keburu selesai. Ah!
Pertemuan perpisahan ini tak membuat kesan yang mendalam sebagaimana yang kami harapkan. Dua
ronde persetubuhan hanya membuatku makin 'geli-geli' saja. Dan tentu saja aku lalu jadi
gelisah sepanjang siang, sore sampai malam.

Malam harinya aku mencoba melampiaskan hasratku yang menggantung ini kepada Bang Mamat. Tapi
lagi-lagi dia tidak memberikan response positif atas 'sinyal' yang kuberikan. Reaksi yang
ditunjukkan Bang Mamat cukup membuatku maklum, dia sedang tidak berminat malam ini. Oh iya,
ini memang bukan malam libur, masih 4 malam lagi, di mana Bang Mamat akan melaksanakan
kewajibannya memberiku nafkah batin, yang terjadwal dan jarang berubah.

Ketika malam semakin larut, aku masih juga belum dapat tidur. Kupandangi wajah Bang Mamat
yang terlelap nyenyak di sebelahku. Betapa damai wajahnya dan begitu bersih. Tiba-tiba aku
merasa sedih dan lalu menangis. Teganya aku mengkhianati pria baik hati ini. Aku bangkit dan
duduk di depan cermin. Kubuka kancing baju tidurku. Sepasang buah bulat kembar ini masih
indah. Bang Mamat dan Mas Narto sering mengatakannya.

Apakah Bang Mamat sudah tidak tertarik akan keindahan ini? Dan Mas Narto, oh.. tadi siang
dia begitu rakusnya menciumi dan mengulumi putingnya. Bahkan dia berniat menggigiti dan
dengan tegas kularang. Aku berdiri. Kupandangi tubuh bagian bawahku lewat cermin.
Lengkungan-lengkungan itu masih menggiurkan. Begitu pula yang dikatakan dua pria terdekatku.
Perutku masih dapat dikatakan rata, setelah punya anak. Bawahnya lagi..? Oh, lagi-lagi aku
menangis. Menyesali mengapa aku mengijinkan penis lain selain milik Bang Mamat memasukinya?

Lama aku terisak pelan sendirian. Untung Bang Mamat begitu pulas. Seandainya dia tahu aku
menangis terus bertanya kenapa, bagaimana aku menjawabnya? Untunglah kini Mas Narto telah
pergi jauh, ke Kalimantan. Seandainya suatu saat dia datang lagi dan mengajak berhubungan
seks, aku akan mampu menolak tegas. Selain karena rasa bersalah pada Bang Mamat, juga karena
Mas Narto 'sama saja' dalam hal kualitas persetubuhan. Padahal aku sudah berkorban dengan
mengkhianati Bang Mamat.

***
 
Tadi malam susah tidur membuatkan pagi ini tidak fresh. Hari ini baby siter minta cuti, mau
pulang kampung, tugasnya diambil alih oleh pembantu. Aku beranjak hendak mandi ketika
kulihat si Iyem (nama samaran) kerepotan menjemur pakaian sambil momong anakku.
"Yem, kamu urus Randy aja ya, biar Ibu yang jemur pakaian."
"Baik, Nyah."

Letak jemuran ada di samping rumah, persis di belakang bangunan kamar-kamar kost.
"Pagi, Mbak."
Dari sejak menerima kost dulu aku biasa dipanggil 'Mbak' oleh anak-anak kost. Sampai
sekarang pun begitu walau aku sudah menikah dan punya anak satu.
"Pagi, baru berangkat..?"
"Iya Mbak, ada kuliah jam 10, mari Mbak."
"Yuk."

Hubunganku dengan anak-anak kost memang sekedar bertegur sapa dan berbasa-basi saja. Aku
meneruskan kerjaanku. Kurasakan anak tadi tidak langsung beranjak, tetap ditempatnya dan
menatapiku. Kupikir mungkin dia terheran, tidak biasanya aku menjemur pakaian, pekerjaan
yang biasa dilakukan Iyem. Merasa ditatap begitu dengan sendirinya aku pun melihat ke
arahnya. Mendadak anak itu mengalihkan pandangan, agak kaget, dan langsung berlalu.

Apa yang aneh pada diriku? Anak tadi seperti mencuri-curi pandang. Oh! Kancing depan
dasterku ada yang terlepas, belahan dadaku jadi lebih terbuka. Cepat-cepat kubetulkan.
Sialan anak itu. Bukan hanya belahan dadaku saja yang sempat dilihatnya. Beberapa kali tadi
aku sempat membungkuk mengambil pakaian basah dari ember. Celaka dua belas! Aku tidak
memakai bra! Aku baru sadar, tadi memang berniat mau mandi. Bahkan ternyata hanya daster ini
saja satu-satunya pakaian yang kukenakan sekarang.

Begitulah kalau aku mau mandi. Aku berniat mau masuk untuk berganti baju, tapi ah, tanggung,
tinggal beberapa potong yang harus dijemur, sudah itu baru mandi, pikirku. Aku jadi merasa
seksi, dadaku berguncang-guncang ketika bergerak membungkuk atau mengangkat ke atas. Di
beberapa bagian dasterku basah kena cipratan air cucian makin mempertegas bentuk tubuhku.
Apalagi di bagian dada.

Ups..! Dari sudut mataku aku melihat di salah satu jendela kamar kost suatu sosok bayangan
di balik viltrage. Sosok bayangan kepala sedang mengintipku. Lelaki muda memang suka iseng
tapi masih takut-takut. Aku pura-pura tidak tahu dengan meneruskan pekerjaanku, toh tidak
lama lagi. Kubiarkan Si Pengintip ini menikmati guncangan-guncangan tubuhku, pusing tanggung
sendiri. Dan rupanya aku 'menemukan' cara untuk mengisi kesepian yang makin memuncak ini
dengan 'acara jemur pakaian' tiap pagi.

Mungkin aku sudah gila. Entahlah. Aku menjemur pakaian yang sebelumnya merupakan tugas Iyem,
dan dengan pakaian seadanya. Kadang hanya berdaster seperti tempo hari, atau pakai celana
pendek dan t-shirt longgar panjang sampai menutupi celana pendek, sehingga seolah hanya kaos
itu saja yang kukenakan. Tapi kalau sedang berkaos aku tidak berani melepas bra, bulatan
kembarku terlalu kentara. Herannya, aku menikmati sensasi baru saat sosok bayangan di
jendela mulai muncul mengintipku.

Berdasarkan letak jendela, aku memperkirakan si Pengintip ini adalah Tono (sebut saja
begitu) atau Andi (samaran juga). Tono adalah yang biasa mewakili teman-temannya bicara
dengan induk semang (Ayah, Ibu, atau kadang-kadang aku) untuk urusan perkost-an. Rupanya ia
dianggap pemimpin oleh rekannya, mungkin karena dia penghuni paling lama. Andi adalah
mahasiswa paling senior.

Suatu pagi Tono masuk ke rumah utama ingin bicara dengan induk semang. Karena Ayah dan Ibu
sedang tidak ada di rumah, maka dia bicara kepadaku.
"Gini Mbak, akhir-akhir ini ruang tamu jarang dibersihkan," katanya.
Matanya menatapku, hanya sebentar, lalu pandangannya turun ke dadaku.
"Oh iya."

Aku mengenakan celana jeans dan t-shirt ketat. Tidak heran kalau matanya tertuju ke dadaku.
Walaupun aku mengenakan bra, tapi ketatnya kaosku menyebabkan kedua bukitku makin menonjol.
"Gini Dik, kebetulan saat ini Si Nah lagi pulang kampung. Tugas-tugasnya dikerjakan oleh Si
Iyem. Bahkan saya sendiri membantu tugas Iyem. Nanti kalo Nah udah balik pasti dibersihkan.
Atau nantilah saya nyuruh Si Iyem kalau kerjaannya udah beres."
"Oh maaf Mbak, saya engga tahu kalo Si Inah pulang kampung, kirain dia mulai males.."

Lagi-lagi Aku menangkap basah bola matanya sedang menatapi dadaku.
"Oo.. engga, tolong Dik Tono bisa ngerti ya.."
"Iya Mbak, saya hanya menyampaikan keluhan teman-teman. Nanti saya sampaikan sama mereka.
Ngomong-ngomong, Babe kemana Mbak..?"
Jelas sekali, jakun Tono turun-naik. 'Babe' memang cara anak kost memanggil Ayahku.
"Lagi pacaran ama Nyak tuh.." Lalu diam.

Kurasa Si Tono ini salah tingkah. Biasanya dia tak begitu. Apa karena dia tertangkap sedang
menatapi dadaku?
"Mari Mbak, terima kasih."
"Yuk."
Dari gelagatnya aku jadi yakin, yang setiap pagi mengintipku menjemur pakaian adalah Tono.
Apalagi dia jadi sering datang sewaktu aku sedang sendiri di rumah.

Alasannya macam-macam, mengisi air minum, pinjam majalah, ngajak main Randy dan lain-lain.
Setiap kedatangannya selalu saja dia mencuri-curi pandang menatapi dadaku sambil menelan
ludah. Pandangan matanya menyiratkan dia menginginkanku, seolah dia ingin menelanku
bulat-bulat, tapi aku tahu dia ragu-ragu, takut, atau tidak tahu cara memulainya.

Anak ini memang menarik. Suka menolong dan sifat kepemimpinannya menonjol. Tapi salah dia
kalau berharap mendapatkanku. Aku tidak berminat lagi untuk bermain api. Affair-ku dengan
Mas Narto yang mantan kekasih saja membuatku merasa bersalah.

Tiba-tiba aku punya ide nakal untuk mengganggu Tono. Aku punya rencana tampil lebih
'menggiurkan' ketika Tono datang dan ketika aku menjemur pakaian. Biarlah dia semakin
tersiksa. Buat 'fun' saja mengisi kesepian. Asal tidak sampai 'jatuh' ke pelukan Tono,
kenapa tidak? Dasar perempuan kurang kerjaan..!

Pagi ini aku sibuk memilih pakaian yang seksi untuk diintip Tono. Celana pendek plus kaos
longgar, ah ini sudah pernah. Bagaimana kalau kali ini no-bra? Perubahan yang terlalu
drastis. Atau baju tidur tipis yang biasa kupakai tanpa pakaian dalam untuk 'membangunkan'
Bang Mamat, tapi dengan pakaian dalam. Aku ngaca. Ah, tubuhku nampak, pakaian dalamku
terlihat jelas. Tidak pantas. Akhirnya kupilih daster pendek model tank-top yang bahannya
tidak terlalu tipis. Bahu dan bagian atas dadaku terbuka, belahannya nampak jelas, juga
separoh pahaku terbuka. Membungkuk sedikit saja kedua bulatannya tampak.

Begitu aku keluar sosok di jendela itu sudah nampak. Kadang aku sengaja berlama-lama
membungkuk dan menghadap ke arah jendela. Aku tidak tahu apa reaksi Tono melihat
penampilanku dan tingkahku pagi ini. Aku senyum-senyum sendiri. Selesai menjemur kusuruh
Iyem membersihkan ruang tamu kamar kost, aku momong Randy. Tepat seperti yang kuduga, Tono
masuk, berbasa-basi sebentar lalu ambil koran dan duduk.

Masih mengenakan pakaian yang tadi tentu saja pahaku makin terbuka karena duduk. Aku tidak
peduli beberapa kali mata Tono menatapi dadaku bergantian pahaku. Tidak hanya menelan ludah,
beberapa kali kulihat Tono menghela napas. Wajahnya yang mulai merah dan napas yang agak
tersengal menandakan 'aroma' nafsunya.
"Rasain lu.." kataku dalam hati.
Ah.. seandainya Bang Mamat bernafsu melihatku seperti Tono sekarang.

Sepi demi sepi yang berhasil kulalui ini tampaknya akan semakin meningkat. Sabtu malam
sehabis kami bertiga aku, Bang Mamat, dan Randy jalan-jalan sekalian belanja ke Mall "X",
aku telah siap tergolek di ranjang dengan pakaian tidur seksi kesukaan Bang Mamat dan tanpa
pakaian dalam. Aku berharap malam ini, seperti setiap malam libur, kami dapat menikmati
hubungan suami-isteri sehingga dahagaku yang telah sepekan kurasakan dapat terpenuhi.

Beberapa saat setelah Bang Mamat merebahkan diri di sampingku, aku seperti biasa mulai
'mengganggunya' dengan menyilangkan sebelah kakiku ke tubuhnya dan menggesek-gesek. Belum
ada reaksi. Kugosokkan paha telanjangku ke selangkangannya. Bang Mamat memelukku.
Kukeluarkan buah dadaku dari baju tidur dan menyodorkan ke mulutnya dan dia mulai
menciuminya. Bang Mamat memang suka 'netek', tidak kalah dengan anaknya. Putingku
disedot-sedotnya, nafsuku mulai merambat naik, di bawah sana mulai terasa lembab.

Tanganku mulai menyusup di balik sarung Bang Mamat dan terus merambat naik. Biasanya telapak
tanganku akan langsung 'berjumpa' dengan ketegangan di dalam sana, tapi kali ini aku harus
menarik dulu tali elastis CD-nya (tumben, Bang Mamat masih mengenakan CD-nya) sebelum
mengelusi batang zakar kesayanganku. Batang yang belum keras benar, telapak tanganku harus
bekerja keras untuk mengeraskannya, sementara kelembaban di selangkanganku telah
berdenyut-denyut minta 'dipenuhi'.

Hanya dengan melepas baju tidurku aku sudah bugil, lalu kutelanjangi Bang Mamat dan tubuhnya
kuraih jadi menindih tubuhku. Kubuka kakiku lebar-lebar menunggu dengan memejamkan mata.
Menunggu saat-saat nikmat ketika milik Bang Mamat memenuhi selangkanganku yang telah lembab
'matang' dan berdenyut. Bang Mamat dengan gagahnya memposisikan kedua lututnya di antara
bentangan kakiku, lalu tubuhnya merendah.

Saat nikmatpun dimulai, kurasakan benda itu menempel di mulut vaginaku, lalu menekan,
kemudian melesak, dan.. aahh.. Aku menikmati gesekan di dinding-dinding vaginaku sebelum
akhirnya seluruh batang penis Bang Mamat tenggelam. Nikmatnya saat 'pemenuhan' ini susah
diceritakan, pokoknya nikmat. Aku mulai menggoyang pantatku dan tubuh Bang Mamat mulai
mundur maju. Tidak hanya pinggulku yang beraksi, tangan, dada, kepalaku bergoyang. Tentu
saja termasuk mulutku. Aku pun mulai mendaki lereng bukit terjal kenikmatan hubungan seks.

Tapi apa yang terjadi tidak seperti biasanya. Puncak itu terasa masih jauh ketika tubuh Bang
Mamat mengejang. Kejangan tubuh yang khas menandakan pemiliknya telah sampai di puncak
mendahuluiku. Aku merasa 'ditinggal' di lereng bukit dan 'digantung'. Tanda-tandanya sudah
kurasakan waktu Bang Mamat memasuki tubuhku tadi. Ereksinya tidak begitu keras. Apa boleh
buat, aku harus menerima.

Tahun-tahun pertama bersama kami masih dapat mulai pendakian lagi, tapi beberapa tahun
terakhir ini Bang Mamat tidak pernah 'nambah'. Sebenarnya tidak masalah benar kalau tadi aku
juga dapat menyelesaikan pendakianku. Tapi kini.., kuhabiskan sisa malam dengan terisak di
tengah dengkuran Bang Mamat. Aku harus menunggu minggu depan. Betapa lamanya menunggu minggu
depan itu dengan selangkangan yang selalu 'membara'.

***
 
Malam-malam berikutnya kuisi dengan pergulatan bathin yang hebat. Pergulatan antara tetap
setia kepada Bang Mamat dan mengundang masuk Tono, si anak kost. Ah, seandainya Mas Narto
tidak di Kaltim. Mas Narto? Sama saja! Toh dia juga 'menggantungku' di lereng bukit! Yang
sedang kupikirkan memang Si Tono. Mengajak Tono bersetubuh adalah mudah, semudah membalikkan
telapak tangan. Perilakunya akhir-akhir ini mengisyaratkan dia sudah begitu 'siap'
menerkamku. Tapi janjiku pada diriku sendiri untuk setia kepada Bang Mamat setelah Mas Narto
pergi, menghalangi niatku.

Pada malam keempat akhirnya keputusanku sudah bulat, mengundang Tono! Resiko apa pun yang
akan terjadi, aku siap menanggungnya. Begitulah, didorong oleh keputusanku yang bulat Kamis
pagi ini kembali aku menggelar 'aksi menjemur pakaian' yang setengah gila, hanya dengan
T-shirt panjang sebagai penutup tubuhku! Tidak heran kalau ketika selesai menjemur pakaian
aku duduk di sofa, Tono mendatangiku.

Eh, ternyata aku jadi amat gugup di hadapan Tono dengan pakaian gila ini. Apalagi Tono terus
menatapi dadaku (yang tercetak bulat oleh T-shirt). Aku semakin salah tingkah. Yang jelas
aku tidak akan memulai. Menunggu apa yang akan dilakukan anak muda ini. Ingin tahu bagaimana
dia memulainya.

"Mbak, boleh saya minta tolong?" katanya. Suaranya agak serak.
"Tolongin apa?"
"Saya tahu Mbak pandai menulis."
"Tahu dari mana?"
"Saya sering baca tulisan Mbak di tabloid Anu."
Aku memang sering mengirimkan tulisan ke tabloid wanita itu.
"Ah, itu hanya iseng aja," kataku.
"Ya, tapi bahasa Mbak bagus dan enak."

Aha, dia mulai merayu.
"Trus, saya bisa nolong apa?"
"Gini, tolong periksa makalah saya ini, terutama dari bahasanya."
Taktis juga dia.
"Bahasa makalah kan beda sama bahasa tulisan populer."
"Ayolah Mbak.."

Tono beranjak sambil membawa lembaran-lembaran kertas dan duduk di sebelahku, meletakkan
kertas-kertas itu di pangkuanku. Aku berdebar. Duduknya begitu dekat. Lalu dia menunjukkan
bagian-bagian tulisannya untuk kukoreksi. Kesempatan dia untuk menekan-nekan pahaku. Aku
merinding dibuatnya. Puting dadaku mengeras. Napasnya kudengar memburu, dan eh, ternyata aku
juga begitu, tiba-tiba aku jadi sesak napas.

Aku memang membaca tulisan itu, tapi tidak satu pun menempel di otakku. Dari sudut mataku
aku melihat, Tono tidak memandangi tulisannya lagi, tapi matanya bergantian menatapku dan
dadaku. Oh, puting dadaku begitu jelas menonjol, aku yakin Tono dapat dengan jelas
melihatnya. Aku jadi malu. Risih ditatap begitu, aku menoleh. Wajah kami begitu berdekatan.
"Kenapa?" Ah, suaraku juga serak!
"Mbak.."
"Hmm..?"
"Mbak cantik." Aku tidak komentar. "Dan seksi."
Lagi-lagi rayuan. Setelah itu apa?

Tidak kusangka Tono begitu nekat. Diciumnya bibirku. Aku berontak. Kertas di pangkuanku
bertebaran ke lantai.
"Ton..!" teriakku begitu bibirku terbebas.
Tono bukannya mundur, malah tangannya merangkul bahuku dan memeluknya erat-erat, sementara
kembali bibirnya mencari-cari bibirku. Dia melumatku lagi. Berontakku berikutnya hanya
pura-pura saja. Aku menyerah, apalagi lumatan bibirnya mulai membuatku melayang.

Tangannya melepaskan pelukan dan pindah ke dadaku, meremas. Remasan kasar sebetulnya, tapi
aku mulai menikmatinya. Remasan yang masih terhalang kain kaos. Kain bukan halangan bagi
Tono, dia bahkan dapat 'menemukan' putingku dan memelintirnya. Pelintiran kasar juga, yang
tidak nyaman bagiku, bahkan cenderung sakit. Oleh karenanya aku jadi tersadar dan melepaskan
ciumannya. Dengan refleks aku menoleh ke belakang.
"Engga ada orang Mbak, Tono sendirian."
Tono menangkap maksudku. Aku bangkit.
"MBak.." Tono juga bangkit mengikutiku.
Kubiarkan. Aku hendak mengunci pintu, siapa tahu Randi dan pengasuhnya masuk.

Aku kembali ke sofa dan Tono langsung menubrukku. Eh, dadanya sudah telanjang, entah kapan
dia melepas bajunya. Aku rebah, Tono menindihku. Sesuatu yang keras menekan pahaku. Leher
T-shirtku ditariknya ke bawah lalu diciuminya dadaku. Ditariknya lagi kaosku sampai bibirnya
dapat mencapai puting dadaku, dan dikemotnya. Tangannya menelusuri pahaku dan terus menyusup
ke atas. Aku cegah tangannya. Aku malu kalau dia tahu aku tidak pakai CD. Aku juga mencegah
tangannya yang berusaha menarik ujung bawah kaosku. Aku tidak mau dia melihat milikku lebih
dulu sebelum dia telanjang bulat.

Beberapa kali usahanya melucutiku kutolak, Tono seolah mengerti maksudku. Dia bangkit dan
turun dari sofa, lalu mencopot celana jeans-nya. Kurang ajar, Tono tidak pakai CD! Kurang
ajar lagi, penisnya itu beda. Maksudku dibanding milik Bang Mamat dan Mas Narto (memang
hanya dua orang itu yang pernah kulihat miliknya). Besarnya sih tidak berbeda dengan milik
suami dan mantan kekasihku tadi, hanya panjangnya lebih dan bagian ujungnya (mulai dari
sebelum leher) sedikit melengkung ke atas. Lengkungan kecil yang justru menambah 'indah'-nya
barang itu. Satu hal lagi yang menambah nilai, warnanya muda dan mulus. Kesan keseluruhan
(dalam keadaan tegang) panjang mengacung dan 'bersih'.

"Kenapa Mbak..?" rupanya Tono melihatku lama menatap miliknya. Aku tidak komentar.
"Kecil ya Mbak..?"
Lelaki cenderung menganggap miliknya 'tidak sesuai ukuran ideal', tapi kalau ditanya berapa
ukurannya cenderung melebihkan, kata literatur.
"Panjang.." komentarku jujur.
"Ah masa..?" katanya dengan roman wajah senang.
Kedua belah tangannya lalu menelusuri pahaku sambil menyingkap ujung kaosku, aku
membiarkannya."Hah..!" serunya kaget, matanya berbinar menatapi selangkanganku yang bugil.
"Dari tadi Mbak engga pakai CD ya..? Ah..!" tubuhnya membungkuk dan sejurus kemudian
kurasakan kelembutan lidah Tono bermain di bawah sana.
Kilikannya menunjukkan bahwa Tono berpengalaman dalam hal ini. Aku memejamkan mata dan
menggigit bibir menahan sesuatu, hanya sebentar, keluar juga eranganku. Geli-geli enak.
Hanya sebentar juga, Tono bangkit dan mengarahkan senjatanya siap masuk, lagi-lagi Aku merem
menunggu.

Uh! Sialan nih anak, kasar benar.
"Aduh.. pelan-pelan dong Ton."
"Oh.. maaf Mbak.. habis engga sabaran."
Tono jadi lebih berhati-hati, pompaannya yang lebih perlahan justru memberikan sensasi lain.
Sensasi yang ditimbulkan dari gesekan pada relung-relung vaginaku oleh panjangnya penis.


'Merasakan' Tono memang agak berbeda. Ada sentuhan 'baru' di dalam sana yang selama ini
tidak terjamah oleh suamiku dan Mas Narto. Pendakian serasa lebih mudah oleh sensasi-sensasi
baru ini. Begitu tampaknya. Tapi kenyataannya tidak. Tidak berbeda dengan Bang Mamat Sabtu
lalu. Aku ditinggal di lereng, sementara Tono berlarian ngos-ngosan menuju puncak. Untung
Tono masih sempat mencabut dan menumpahkan cairannya ke perutku.

"Maafkan saya Mbak," Tono membaca kekecewaanku.
"Mbak begitu seksi membuat saya jadi bernafsu banget," tambahnya lagi.
Aku diam saja, musti komentar apa? Dalam foreplay tadi kelihatan sekali dia telah
pengalaman, tapi kenapa dia cepat selesai? Setelah beberapa malam berperang batin hingga
sampai pada keputusan berat untuk mengkhianati Bang Mamat, hasilnya ternyata hampir sama,
tidak memuaskan. Merindukan pungguk di bulan burung dara di tangan dilepaskan. Aku memang
perempuan konyol, isteri yang konyol, tepatnya. Nasib..

***

Aku masih tergolek di sofa dengan t-shirt tersingkap sampai di bawah dada. Tono mengelap
ceceran maninya di perutku dengan tissu. Aku mengamati kerjanya. Penisnya yang masih
mengacung berkilat ikut berguncang seirama gerakan tubuhnya. Selesai mengelap, dia minta
ijin menggunakan kamar mandi di dalam, kuijinkan, toh tidak ada siapa-siapa. Keluar dari
kamar mandi anak ini masih telanjang bulat melangkah mendekatiku lalu menggeser pahaku dan
duduk. Penisnya tidak lagi mengacung. Aku masih tergeletak di posisi semula.

"Jangan gitu dong Mbak.. saya jadi engga enak.." katanya melihatku mematung.
Aku tersenyum. Nafsuku sedikit mereda.
"Nah.. gitu dong..!"
"Trus Mbak harus gimana..?"
"Senyum gitu aja cukup," lalu matanya turun menatapi kewanitaanku.
Refleks aku menurunkan kaos menutupinya. Tono mencegah tanganku.
"Bentar Mbak.. Emm.. lebat," dielus-elusnya bulu-bulu kelaminku.
Lalu mulai menyentuh klit-ku. Anak ini mau mulai lagi? Sanggupkah 'menuntaskan'-ku?
Tiba-tiba Aku punya ide.

"Ciumin Ton," perintahku.
Tono menurut, padahal aku belum membasuhnya. Bulu-bulu itu diciuminya, bahkan sesekali
menggigiti 'daging'-nya. Tanpa kuminta Tono telah mengerti kelanjutannya. Lidahnya mengulik
klit-ku. Nafsuku mulai naik. Lalu pindah ke labia-ku. Aku makin gerah, bangkit duduk dan
melepas t-shirt, pakaianku satu-satunya. Aksiku ini membuat Tono melepaskan kilikannya dan
mendongak.

"Oohh.. bukan main..!" serunya menatap ketelanjangan kedua bukit kembarku.
Mulutnya langsung menyerbu dadaku.
"Gila kamu Ton," kataku mendorong kepalanya.
Buah dadaku digigitnya, kalau sampai ada bekas gigitan kan gawat.
"Sorry Mbak.. habis gemes sih..!"
"Teruskan yang ini dulu Ton.." kataku menunjuk selangkanganku.
Tono menurut, kembali dengan rakus mulutnya mengerjai vaginaku.

Demikian intens-nya mulut Tono bekerja sampai aku hampir sampai.
"Udah.. udah.." kataku terengah-engah.
Tono bangkit, penisnya sudah tegang mengacung, ujungnya melengkung ke atas dan berkilat
menarik perhatianku. Aku mendekat dan penisnya kuelus-elus. Tiba-tiba tubuhnya maju,
penisnya diangsurkan ke wajahku.

"Mbak..," katanya memandangku penuh arti.
"Kenapa..?"
Tono tidak menjawab, hanya mendorong tubuhnya lagi makin dekat sehingga kepala penisnya
beberapa senti di depan mulutku.
"Kulum..!"
"Gila.. engga mau..!" tegasku.

Dengan suamiku sendiri saja aku tidak pernah mengulum. Juga dengan Mas Narto. Kenapa begitu
sebab mereka berdua memang tidak pernah minta dikulum, entah kenapa. Seandainya Bang Mamat
minta mungkin aku akan mau. Tapi ini, bukan suami dan bukan pacar minta oral sex.
"Ayolah Mbak.. sebentar aja."
Aku mulai bimbang. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Apalagi milik Tono ini kelihatan
'cute'.
"Okay, jangan sampai keluar ya.."

Benda hangat keras-keras lunak memenuhi mulutku, terasa ganjil. Aku memang sudah gila.
Mustinya milik Bang Mamatlah yang kukulumi begini, bukan milik anak kost ini. Baiklah, aku
berjanji nanti akan kulakukan pada Bang Mamat, siapa tahu akan menambah gairahnya. Bokong
Tono bergerak maju mundur seperti layaknya pompaan penis pada vagina, hanya mulutku yang
jadi vaginanya.

Makin lama tusukannya makin dalam, sampai menyentuh kerongkonganku. Sampai suatu saat aku
hampir terbatuk, penisnya kulepaskan.
"Lagi Mbak.."
"Engga..!"
"Bentar lagi aja.."
"Tidak..!"
Kupegang penisnya dan kutuntun mendekati selangkanganku. Aku ingin Tono masuk sekarang. Di
bawah sana sudah kurasakan denyutan-denyutan minta diisi. Tono masuk. Dan langsung membenam.
Seluruh panjang batangnya telah 'lenyap'. Ini baru sedap. Dan mulai mempompa. Dan ini lebih
sedap.

Gerakan tubuh kami semakin liar. Aku heran, Tono sekarang berbeda dengan Tono sejam lalu.
Yang tadi baru belasan gerakan tusuk-tarik dia telah sampai. Kini, entah sudah berapa lama
dia masih perkasa memompa. Dari gerakan tusukannya yang amat bervariasi, aku jadi yakin Tono
memang telah banyak pengalaman sex-intercourse. Hingga aku 'berani' berharap kali ini aku
akan mampu mendapatkan orgasme. Rasanya yang sedang menyetubuhiku sekarang ini adalah Bang
Mamat.

Ya, bayangan Bang Mamat muncul ketika aku memejamkan mata menikmati tusukan Tono. Tapi
bayangan Bang Mamat beberapa tahun lalu, saat bulan-bulan pertama kami menikah. Saat Randi
belum ada. Saat Bang Mamat mampu menghadiahkanku multiple orgasm. Entah karena bayangan Bang
Mamat, atau keperkasaan pompaan Tono sekarang, atau karena milik Tono mampu mencapai
kedalamanku yang 'untouchable', tubuhku mengejang dan lalu menggelepar. Rasanya aku sedang
melayang-layang di awan kenikmatan.

Ya, Aku mendapatkan beberapa detik event yang kudamba-dambakan. Aku telah orgasme. Tono
menghentikan gerakannya, kelihatannya memberi kesempatan padaku untuk menikmati saat-saat
puncak ini. Tapi begitu kejanganku melemah, dia mulai memompa lagi.
"Ooh..!" teriakku.
Gila! Pompaannya makin cepat. Makin cepat.. Dan.. cepat pula dia mencabut. Air maninya
berhamburan di dadaku, bahkan menciprati daguku.

***
 
Apa yang telah kamu lakukan, Ipeh? Pelanggaran janji sendiri, pengkhianatan pada suami, dan
sebuah dosa besar! Itu semua hanya demi kenikmatan orgasme yang hanya beberapa saat. Isteri
macam apa aku ini? Lihatlah apa yang kau korbankan untuk kenikmatan itu. Perang bathin
berkelanjutan, kepura-puraan setiap hari, kebohongan demi kebohongan, dan tentu saja
penumpukan dosa. Kini, memandang mata Bang Mamat pun kau tidak berani. Sementara anak kost
itu dengan amannya memuaskan nafsunya, kapan pun dia mau. Teganya kau membiarkan tubuh
mulusmu menjadi alat pemuas nafsu.

Ah.. toh hanya tubuhku saja yang dinikmatinya, hati dan jiwaku tetap milik Bang Mamat. Tidak
bisa. Sekali kau mengikatkan diri dengan suatu pernikahan, jiwa dan ragamu telah dimiliki
pasanganmu. Demikian pula sebaliknya. Baiklah, hal ini tidak boleh berlanjut. Aku telah
membuat keputusan final. Aku harus menghentikan ini. Aku lelah berpura-pura terus, aku capek
mengarang kebohongan demi kebohongan, dan aku letih merasakan perang di dalam dada. Dua hari
lalu aku bahkan mendatangi kamar kost-nya untuk minta disetubuhi. Sungguh memalukan dan
menjijikan. Biarlah itu merupakan hubungan seks-ku yang terakhir dengan Tono.

Kemarin aku sengaja minta pengasuh anakku untuk tidak keluar rumah seperti biasanya dan lalu
aku mengurung di dalam kamar. Aku dengar suara Tono menanyakan aku dan pengasuh itu
melaksanakan instruksiku dengan baik.
"Ibu tak boleh diganggu," katanya.

Pagi ini aku menunggu kedatangan Tono. Bukan untuk saling mengumbar nafsu, tapi 'dalam
rangka penyampaian keputusan penting' (uh, kaya bahasa kantoran saja) yang akan menjadi
titik balik kehidupanku.

"Met pagi Mbak.. ah makin cantik aja."
Aku memang tampil beda, pakaian 'sopan', blouse rapat menutup tubuh dipadu dan celana
panjang.
"Kemana aja Mbak?"
"Duduk Ton, Mbak mau bicara."
"Eh, ada apa nih?"
"Kita harus menghentikan semua ini, Ton."
"Mbak.."
"Mbak yakin kamu bisa mengerti, kita tak boleh lagi melakukannya." kupotong perkataannya,
Aku tidak ingin ada 'diskusi' panjang tentang hal ini.

"Ada apa Mbak sebenarnya?"
"Kamu udah tahu."
"Iya mbak, tahu, tapi kenapa tiba-tiba begitu?"
"Mbak tak ingin menambah dosa lagi."
Tono mendadak diam, matanya menatapku tajam, lalu menunduk, tidak bersuara. Sungguh suasana
yang amat tidak enak, di luar dugaanku. Kukira Tono akan protes keras. Aku pun jadi diam
juga.

"Ketahuilah Mbak.." akhirnya dia buka suara setelah beberapa menit hening.
"Saya bukan sekedar memuaskan nafsu saya saja."
Aku tidak komentar. Dia diam lagi.
"Saya.. sayang.. sama Mbak."
Ah, kalimat seorang playboy yang akan kehilangan mangsa. Aku tetap diam.
"Okay Mbak, kalau itu kehendak Mbak, saya nurut," dia bangkit lalu ngeloyor pergi.
Aku tidak dapat menduga apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Roman wajahnya aneh, susah
dibaca. Tapi Aku kini lega..!

***

Aku lebih tenang sekarang. Tidak perlu berpura-pura lagi, tidak perlu mengarang kebohongan.
Aku berusaha menjadi isteri setia. Aku menerima saja apa yang diberikan Bang Mamat. Aku
melayaninya dengan ikhlas, walaupun tidak pernah mencapai puncak. Toh seks bukan
satu-satunya kenikmatan dalan perkawinan. Masih banyak kenikmatan yang lain apabila kita
ikhlas menjalankannya. Tampaknya kehidupan kami kembali normal lagi.

Bagaimana dengan Tono? Tiga minggu setelah aku memutuskan hubungan itu, Tono pindah kost.
Yang agak menggangguku adalah dia tidak pamitan kepadaku. Hanya menitipkan secarik surat
tertutup yang isinya singkat.
"Mbak, saya pergi. Saya tetap sayang sama Mbak dan berharap suatu saat kita bisa bersama
lagi. Tono."

Yah.. mungkin dia marah, tidak lagi dapat mengumbar nafsu seksualnya. Tidak masalah benar
bagiku. Bergegas aku mengarahkan mobilku menuju rumah. Aku baru saja berbelanja kebutuhan
sehari-hari di supermarket terdekat. Sabtu sore itu aku seperti biasa harus mempersiapkan
segala sesuatu untuk menyambut kedatangan Bang Mamat. Minggu lalu aku mencoba mengoral Bang
Mamat dan tampaknya dia menikmatinya. Kali ini aku akan melakukannya lagi. Aku terburu-buru
pulang karena aku masih butuh waktu lagi untuk mandi dan lain-lainnya.

Begitu masuk rumah aku langsung ke kamar bersiap-siap mandi. Randi dan pengasuhnya tadi
tidak kelihatan. Mungkin masih di luar, pikirku. Sepucuk sampul yang diletakkan di meja rias
menarik perhatianku.
"Ipeh." hanya itu yang tertulis di sampul itu. Tulisan Bang Mamat.
Tiba-tiba dadaku berdebar keras. Tidak biasanya Bang Mamat menulis surat seperti ini.
Kalaupun ingin menyampaikan pesan biasanya dia menelpon dari kantor, atau pesan ke orang
rumah bila aku sedang keluar.

Tergesa-gesa Aku membukanya.
"Ipeh sayang, Singkat saja, Abang pergi dengan membawa Randi untuk waktu yang tidak
tertentu. Abang telah tahu semuanya. Abang begitu kaget, sedih, dan marah."
Mendadak aku berkeringat dingin, deras mengucur. Jantung tambah berdegup kencang.

"Abang berusaha keras menahan diri, tapi akhirnya tidak kuat lagi. Setelah Abang
mengasingkan Narto ke Kaltim, Abang pikir Ipeh menjadi sadar, tapi ternyata tidak. Kalau
tidak mengingat dia itu bekas kekasihmu, entah jadi apa dia. Kamu memang keterlaluan, hampir
saja Abang membunuh anak kost yang tidak tahu diuntung itu. Untunglah Abang ingat Randi dan
tahu benar tidak enaknya hidup di penjara.
Selamat tinggal, jangan khawatir, Randi baik-baik saja. Abang."
Pandanganku mendadak gelap, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

TAMAT
 
Bangkeeee.... ceritanya bagus. Endingnya nyesek. Kaya cerita sex yg mengandung pesan moral. Hehehehe...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd