Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Terbukanya Wawasan Setelah 15 Tahun Menduda

Walahhh lama ga upload malah kentang..
Gregetan suhuu...
Welcomeback
 
Nih cerita yang sangat ditunggu akhirnya update juga..hehehehe
 
Akh... Pake mens segala pulak... Lewat bool boleh juga Suhu.
 
Kayaknye tania bakal jadi emaknya dena ya hu...hahahaha
 
Ah elah kentang banget lagi dapet wkwk padahal marin salah satu yg terbaik hu
 
Karena kerjaan lagi bisa disambi. Perkenankan saya update lagi ya hu. Sebelumnya terima kasih atas sambutan ramahnya padahal lama nggak update. Sengaja digelontorin semua pas lagi ada karena dari pada nganggur di folder, lebih baik dinikmati bersama. Sekali lagi terima kasih!
 
Bimabet
“Hayoo! Kamu ngikutin saya ya,” sergap saya ke seorang wanita cantik di kafe dekat kantor saya. Terlihat ia tengah sendirian memakan nasi goreng serta ditemani es coklat yang terlihat segar.

“Eh kamu mas! Ya kan besok saya meeting sama bapak,” jawabnya membantah.

“Hehe iya iya. Kaku amat sih masih pake bapak, santai ajalah,” ujar saya mencairkan sesuana yang sebenarnya sudah cair.

“Kok kamu udah di Jakarta? Biasanya meeting besok ya dateng besok,” tanya saya lagi.

“Aku sekalian mau wawancara mas tadi sore, jadi sekalian aja,” balasnya berbisik ke kuping saya.

“Ooh bandel ya, ke Jakarta harusnya kerja malah interview di kantor lain!” ujar saya memberanikan diri menggelitik pinggangnya. Ia kemudian meminta ampun. Saya pun dengan nada bercanda mengancam melaporkan tindakannya ke atasannya. Namun ia bukannya bergeming malah menantang saya balik.

“Kamu yakin mau ngelaporin aku ke bos? Kalau aku bilang aku ngelamar di sister company kamu gimana?” tanyanya sambil memberikan tatapan nakal ke saya.

Saya kemudian terdiam. Entah saya harus merasa senang atau resah. Atau saya harusnya belum perlu bereaksi karena dia belum tentu bekerja satu gedung dengan saya. Namun saya merasakan hawa-hawa positif tetapi juga harus berhati-hati.

“Kok diem aja? Mas seneng nggak Riana pindah ke Jakarta?” Ya. Suhu mungkin ingat Riana. Ia tiba-tiba datang ke hidup saya lagi hari ini. Kami akan bertemu esok hari memang, dan pertemuan hari ini benar-benar tak sengaja. Namun yang membuat geger hati saya, Riana yang pernah memberikan servis ke saya beberapa waktu lalu akan bekerja di perusahaan tetanga.

“Hmmm gimana ya, nanti kalau kamu pindah, yang nyambut dan nemenin saya di kolam renang siapa dong?” tanya saya bandel. Meski sebenarnya hati saya masih was-was. Entah mengapa perasaan mengatakan kedatangan Riana tak sepenuhnya bagus. Akan kah berpengaruh ke karir saya di masa mendatang? Saya tidak tahu. Apakah ia jawaban dari pengganti Putri? Saya tidak yakin.

Kami pun memutuskan untuk makan bersama kali itu. Setelah ngobrol cukup banyak. Sayapun mencoba mengungkit apa yang terjadi tempo waktu kepadanya. Saya penasaran kenapa dia memutuskan untuk meninggalkan kamar tanpa pamit kala itu.

“Aku, denger dari kamar sebelah, asistenmu telponan dan kayaknya emang dia butuh kamu. Tadinya aku mau mutusin untuk bangunin kamu. Tapi kamu capek banget. Kasihan ngeliatnya,” ujar Riana.

“Terus ya aku pake baju. Pamitan sama mbak Tania,” lanjut Riana.

“Eh kamu tuh udah pernah tidur sama Tania ya?” cerocos Riana membuat saya tegang.

“Ah kamu nanyanya apa sih!” elak saya sambil mengubah tempat duduk.

“Keliatan tau mas dari matanya. Sayang banget sama kamu. Beruntung deh kamu kalau sama dia. Selama ini aku kontak-kontakan ngurusin kerjaan selalu baik. Bahkan habis kita tidur, dia gak berubah sikap,” lanjutnya lagi. Saya mulai tak nyaman.

“Udah deh kamu udah mulai ngaco. Pulang yuk. Kamu nginep di mana biar di anter supirku?,” ajak saya.

“nggak usah, di belakang sini kok,” ujar saya. Saya pun memutuskan untuk untuk mengantar Riana ke hotelnya dengan berjalan kaki. Kami berdua berjalan di tengahnya kepadatan kantor di Jakarta yang untungnya masih menyisakan trotoar indah untuk dijelajahi. Kami pun terdiam sejenak, sama-sama bisu. Tak ada yang dibicarakan. Saya berjalan sedikit di belakang Riana. Ia mengenakan celana panjang bahan yang cukup ketat di bagian bokong, sekilas saya teringat bagaimana bentuk polosnya saat kami tengah bergulat di kamar hotel kala itu. Blazernya yang kecil juga memperlihatkan betapa rampingnya tubuh Riana. Naik perlahan ke atas, rambut pendeknya ia coba kuncir. kepedasan setelah memakan nasi goreng. Lalu gerah. Saya bisa melihat beberapa bulir keringat meluncur di tengkuknya. Lagi-lagi bayangan terbawa ke masa sebelumnya saat kami bertempur, dia di atas dan kemudian beberapa bulir keringat terjatuh ke wajah saya kala itu.

“Lama banget jalannya, kalau capek pulang aja,” ujar Riana menggoda tapi tangan kanannya terbuka seolah ingin memeluk sambil berjalan. Saya percepat langkah dan kemudian menyambut tangannya. Riana dipinggir saya, bergelendot manja ke tubuh saya sambil berjalan ke hotelnya. Kami masih tak memiliki topik pembicaraan. Tanpa terasa kami sudah sampai di lobby hotel, saya pun merogoh kantong celana untuk meraih ponsel. Hendak menelepon sopir agar dijemput dihotel.

“Yakin mau pulang? Nggak mau nemenin aku dulu?” Tanyanya nakal. Ia pun merapatkan tubuhnya ke saya. Kami bertatapan. Ia memberikan kecupan singkat di bibir saya. Memberi kisi-kisi apa yang akan terjadi selanjutnya ketika saya bertahan, Saya tidak peduli resepsionis dan bell boy memperhatikan kami. atau sepasang manusia sepuh yang datang ke jakarta untuk mengunjungi cucunya yang baru saja lulus, berharap bisa meneruskan usaha mereka. Saya tidak peduli. Untuk sekian detik lobby itu milik kami berdua.
“Emang muat? Katanya sakit,” tanya saya konyol memecah keheningan kami berdua.
“Emang punya kami masih segede dulu?” tanyanya menantang. Saya kemudian kembali merogoh celana saya dan mengambil telepon.

“Bapak pulang aja, besok minta mbak bawain baju saya ke kantor ya,” telpon mati.

“Maaf ya waktu itu aku banyak komplain,” Riana tengah berjongkok di depan saya yang masih berada di bawah shower yang sedang mengocor kecil. Riana dengan telaten menyabuni tubuh saya dari kepala sampai ujung jari. Namun kini dia hendak menyabuni daerah yang lebih penting. Daerah yang kala itu membuatnya kewalahan dan banyak komplain. Ia pun memencet botol sabun hotel, menuangkannya di tangan. Sedikit menggosoknya sampai keluar busa, kemudian kedua tangannya mengapit penis saya. Ia maju mundurkannya secara perlahan sampai seluruh batang kemaluan saya yang sudah tegang rata dengan sabun. Ia beberapa kali melirik ke arah muka saya, berharap menangkap reaksi muka yang tak wajar dari saya. benar saja. memang, wajah saya kali itu benar-benar kenikmatan. Bahkan untuk berdiri saja saya tidak sanggup. harus bersender ke tembok kamar mandi.

Ia kemudian memepercepat kocokannya untuk mempercepat busa yang keluar. Entah fantasi apa yang sedang ia pikirkan dengan melihat penis saya diselimuti banyak busa. Tapi saya cukup menikmati saja dengan apa yang ia lakukan. Beberapa kali ia juga mengarahkan penisnya ke arah dadanya. Menjepitnya di tengah-tengah dan menaik turunkan. Namun karena posisinya yang tidak nyaman, tak pernah berlangsung lama. Namun beberapa kali ia membuat saya gila secara maksimal. Ketika ujung putingnya ia putarkan tepat di kepala penis saya. Sungguh rasanya bikin merinding dan kepala pusing. Di tengah asiknya pelayanan Riana, ia kemudian berdiri. Mendadak ia memeluk saya yang masih sabunan dan mencium bibir saya. kami berciuman cukup lama. Terasa putingnya makin mengeras ketika tubuh kami bertemu. Putingnya menusuk tubuh saya seperti penis saya yang menekan perutnya. Kami berciuman dengan panas, sesaat Riana melepaskan tangan dan menyalakan shower sambil kami masih bermesraan. Ia kemudian melepaskan diri dari pelukan. Ia bersihkan sabun-sabun yang ada di leher saya. Namun ketika memasuki daerah dada, ia tak hanya menggunakan tangan. Ia juga menggunakan lidah. Puting saya ia sapu, melingkar-lingkar menghilangkan sabun yang sebenarnya tak pernah ada di daerah itu. Namun seolah-olah sabun sangat sulit untuk dihilangkan. puting saya pun menegang. Jilatannya kemudian turun sampai puncaknya ke penis saya. Busa-busa yang tadinya ada di sana menghilang, selain karena guyuran air tetapi juga karena kerja keras lidahnya. Ia juga berkali-kali memasukan buah zakar saya ke mulutnya. Entah apa yang ia ingin capai.

Namun saya tak ingin kejadian dengan Marin tempo hari terulang. Saya tahu Riana tak sedang datang bulan, tapi kejadian dengan Marin masih menyisakan rasa tanggung yang segera ingin saya hapus dan saya yakin Riana adalah orang yang tepat. Saya mengangkat tubuh Riana yang mungil untuk ukuran tubuh saya. Saya balikkan tubuhnya membelakangi saya. Seolah tahu apa yang saya maksud, Riana sama sekali tak menolak. Ia mengangkat sedikit paha kanannya yang kemudian saya sambut dengan tangan agar ia tak pegal.

Kami benar-benar bisu. Tangan kiri saya mencoba membimbing penis saya masuk ke vaginanya dari belakang. Riana terlihat sedikit menarik tubuhnya. Seolah apa yang ia alami masih sama yakni kesakitan. Namun saya paham. Saya kemudian terus melakukan penetrasi secara perlahan-lahan. Tak ingin terburu-buru karena saya sudah lama tidak melakukan ini. Terlebih lagi godaan Marin beberapa hari yang lalu memang kelewatan. Setelah berusaha akhirnya semua masuk. Lalu saya sedikit berbisik kepadanya.

“Sakit nggak?” tanya saya. Pertanyaan saya dibalas dengan gelengan yang ragu ragu. Saya tahu ia hanya tak enak kepada saya.

“Lanjut nggak?” bisik saya lagi. Kini ia mengangguk dengan yakin. Berbeda dengan sebelumnya. Saya pun mengecup punggung dan lehernya dengan sedikit menunduk. Secara perlahan saya mulai memaju-mundurkan pinggul saya untuk memberikan pemanasan kepada Riana. Ia beberapa kali merintih namun setelah beberapa menit saya melakukan penetrasi, rintihan perihnya sudah berganti menjadi desahan. Desahan yang menggoda seolah-olah menantang saya untuk bermain lebih kencang lagi. Itu yang akhirnya membuat saya memompa Riana dengan lebih cepat. Riana pun sudah mulai meracau, ia membiarkan mulutnya terbuka.

“Hmmm mas ehmmm terus mas aku mau keluar,” saya cukup kaget karena ini terlalu cepat.Saya pun kemudian memelankan tempo sampai Riana kehilangan momentum untuk mencapai klimaks. Saya tak mau ia secepat itu dan akhirnya berhasil. Riana ngos-ngosan. Vaginanya tadi yang sempat menegang dan meremas penis saya kemudian mengendur. Ia tidak terlihat kecewa, ia hanya butuh sedikit nafas. Beberapa saat kemudian saya kembali menggejotnya. Namun kali ini tanpa sesi pemanasan. Saya langsung tancap gas. Kulit penis saya becampur dengan cairannya menggesek liang kenikmatannya yang benar-benar gigit. Ditambah cengkraman tangannya di lengan saya yang benar-benar menandakan kami tengah dalam langit ketujuh. Saya terus memacu dengan cepat. Riana beberapa kali teriak merasakan sakit yang nikmat. Nafasnya tak bisa dihatur hanya menuruti hentakan pinggul saya. Saat saya tarik, ia menghela nafas. Saat saya dorong, ia menarik nafas sekaligus dengan erangan.

Sekitar 20 menit kemudian setelah jeda dengan gaya yang sama, akhirnya saya ingin klimaks. Tangan kiri saya mencoba merogoh puting di depan Riana. Saya berharap kami bisa keluar berbarengan. Benar saja. Riana kembali mengeluarkan kata kunci..

“Maassss aku mau keluar….please,” ujarnya seperti memohon. Saya tahu ia tak ingin ditahan lagi atau ditunda. Ia ingin mendapatkannya sekarang juga. Saya pun demikian. Saya sudah rindu. Hentakan saya semakin keras. Kedutan di vaginanya mulai mengencang, siap-siap menghisap apapun yang keluar dari penis saya. Sementara penis saya juga sudah hendak mengeluarkan lahar putih yang terakhir diambil Marin.

“Arggghh” teriak saya yang kemudian diikuti erangan Rania yang panjang. Benar saja, penis saya terasa terhisap. Sementara tubuh Rania roboh. Beruntung saya masih bisa menyelamatkannya. penis saya masih berada di dalam vaginanya dan saya memeluk Rania di belakang. Kami berdua mengatur nafas terdiam. Kelelahan.
“Makasih ya,” ujar saya. Rania menengok ke belakang. Memberikan senyuman kepada saya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd