Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Part 10: Kejutan

Dari dalam sepatunya, Pak Karjo ternyata mengeluarkan sebilah pisau kecil. Ia kemudian mengangkat pisau tersebut dengan kaki, dan menggapai dengan mulutnya. Tak lama kemudian, pisau itu pun bisa ia genggam dengan tangannya yang masih terikat.

"Wah, dapat pisau dari mana itu Pak Karjo?" Tanya Johan.

"Saat kita mengikuti para tentara tadi dengan mobil, saya sudah merasakan ada yang tidak beres. Karena itu untuk berjaga-jaga, saya mengambil pisau kecil dari tas, dan menyelipkannya di sepatu yang saya gunakan. Hal ini saya pelajari dari guru bela diri saya di masa lalu," jelas Pak Karjo.

Seluruh lelaki di ruangan tersebut pun langsung sumringah. Mereka memang belum tahu apakah pisau itu cukup untuk melakukan serangan balik kepada para tentara Tukatu. Namun setidaknya kini mereka mempunyai sebuah kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Pak Karjo pun langsung menggunakan pisau tersebut untuk memotong tali yang mengikat tangannya. Beruntung ia mempunyai pengalaman berlatih bela diri, yang membuatnya tetap bugar meski sudah berusia lanjut. Setelah itu, ia pun langsung melepaskan ikatan kelima orang lainnya satu per satu.

"Oke, selanjutnya bagaimana ini?" Tanya Pak Doni dengan suara yang pelan seperti sedang berbisik.

"Johan, coba kamu periksa di luar apakah ada tentara yang berjaga di depan pintu," perintah Raymond.

Johan pun menurut dan mencoba mengintip dari sebuah jendela yang menghadap ke sisi sebaliknya dari pintu yang menutup ruangan tempat mereka berada. Setelah yakin akan situasi di luar, ia pun kembali berkumpul dengan rombongan yang lain.

"Hanya ada dua orang tentara yang berjaga di depan ruangan ini," ujarnya.

"Kamu yakin?" Tanya Pak Harso.

"Yakin, Pak. Tidak ada tentara lain di sekitar sini. Mungkin kebanyakan dari mereka masih berada di tempat kita dicegat tadi. Tapi ..."

"Tapi apa Johan?" Tanya Raymond.

"Tapi dua tentara tersebut memegang senjata laras panjang seperti yang digunakan para tentara yang tadi berada di sini."

"Aku bisa melumpuhkan salah satu dari mereka," ujar Pak Karjo tiba-tiba.

"Bapak yakin?" Tanya Tomi yang meski masih muda dan bertubuh bugar, justru tidak yakin bisa melumpuhkan tentara bersenjata tersebut bila bertarung satu lawan satu.

"Saya ini biasa latihan bela diri, jadi serahkan saja pada saya. Tapi saya mungkin hanya bisa melumpuhkan satu orang," jawab Pak Karjo.

"Seorang yang lain serahkan pada saya, Pak," Raymond menawarkan diri. "Berikan saja pisau Bapak pada saya, lumayan sebagai senjata."

Pak Karjo pun setuju. Mereka semua pun langsung mengendap-ngendap ke arah pintu masuk ke ruangan tersebut dan bersembunyi di baliknya. Johan diminta untuk kembali memata-matai situasi di luar, dan ia pun memberikan kode aman. Kedua tentara di depan masih berada di tempatnya semula, dan membelakangi pintu.

"Oke, Pak Karjo. Dalam hitungan ketiga ya," ujar Raymond menyiapkan aba-aba. "Satu ... Dua ... Tiga ..."

Tanpa mengeluarkan suara, Raymond dan Pak Karjo langsung membuka pintu dan menyerang dua tentara yang sedang berjaga dari arah belakang.

Pak Karjo langsung menendang bagian belakang lutut salah satu tentara hingga ia terjatuh dengan posisi berlutut. Dengan cepat, ia memutar kepala sang tentara hingga terpelintir dan jatuh terkapar di tanah. Tentara tersebut langsung tidak bergerak.

Di saat yang sama, Raymond yang memang punya hobi berkelahi sejak usia muda ikut memukul kepala tentara yang lain dari belakang. Saat tentara tersebut baru sadar akan serangan tiba-tiba yang dilancarkan tawanannya, Raymond langsung menghujamkan pisau ke dada sang tentara. Ia pun menutup mulut tentara tersebut agar tidak berteriak dan membuat keributan. Tak lama kemudian, tentara tersebut pun ikut meregang nyawa.

Pak Harso, Pak Doni, dan Tomi bergidik melihat adegan tersebut. Mereka yakin tak akan mampu, dan mungkin tak akan tega, melakukan hal yang sama. Beruntung kelompok tersebut mempunyai orang seperti Pak Karjo dan Raymond di situasi genting itu. Mereka berdua juga sebenarnya baru pertama kali mencabut nyawa orang lain, tapi karena ini adalah situasi darurat, mereka pun memberanikan diri untuk melakukannya.

"Johan, ambil senjata tentara tersebut," perintah Raymond. Ia sendiri sudah mengambil senjata dari tentara yang baru saja ia lumpuhkan.

"Siap, Mon."

Mereka kemudian melihat mobil van yang mereka tumpangi masih terparkir di lapangan, yang ada di depan bangunan sekolah tersebut. Tidak terlihat satu pun tentara yang menjaga mobil itu.

"Kita bisa kabur dengan mobil tersebut," ujar Raymond.

"Kamu yakin? Memangnya sudah pasti mereka tidak mengambil kuncinya?" Tanya Pak Doni.

"Saya menyimpan kunci cadangan di kompartemen yang ada di bangku depan. Semoga saja mereka belum menemukannya."

"Oke, mari kita gunakan mobil tersebut untuk pergi dari sini," Lanjut Pak Doni.

"Tapi, kita tidak bisa pergi begitu saja," ujar Pak Harso tiba-tiba. "Kita tidak bisa meninggalkan Nabila, Gendis, dan yang lainnya."

Kelompok tersebut pun terdiam. Tomi akhirnya menjadi yang pertama membuka suara. "Aku setuju, bagaimana kalau kita selamatkan dulu mereka, baru kita semua lari?"

Pak Harso pun mengangguk, yang kemudian diikuti oleh Pak Karjo, dan Pak Doni. Raymond dan Johan akhirnya setuju. Dalam hati, mereka masih merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rombongan tersebut, meski mereka tentu tidak tahu akan ada tragedi seperti ini.

"Oke, sekarang kita coba mencari ke mana para tentara tersebut membawa Bu Nabila, Bu Gendis, Widi, dan Rini. Setelah berhasil menyelamatkan mereka, kita langsung lari menuju mobil dan pergi," ujar Raymond. "Kamu tahu cara menggunakan senjata ini, Johan?"

Johan hanya menggeleng.

"Pokoknya kamu arahkan saja kepada musuh, lalu tarik pelatuknya. Masalah kena atau tidak itu urusan lain," ujar Raymond.

"Memangnya kamu tahu cara menggunakan senjata ini, Raymond?" Tanya Pak Doni.

"Tidak, hee. Berdoa saja Pak, semoga kita semua selamat," jawab Raymond.

Enam orang pria tersebut berjalan dengan perlahan menyusuri lorong sekolah, hingga mereka mendengar suara aneh dari sebuah ruangan. Suara tersebut seperti desahan dan erangan pria dan wanita yang saling bersahutan. Begitu sampai di depan ruangan itu, Raymond kembali meminta Johan untuk mengintip ke dalam.

Pria muda tersebut tampak terkejut melihat apa yang tengah terjadi di dalam. Untungnya, ia bisa segera menenangkan diri dan kembali ke rombongan.

"Sepertinya kita harus cepat. Para tentara itu sudah mulai menggerayangi tubuh para perempuan," ujar Johan.

"Apakah mereka masih menggenggam senjata mereka?" Tanya Raymond.

"Tidak, mereka meletakkannya di dekat tempat mereka berdiri."

"Oke, bagus kalau begitu. Pak Karjo, sepertinya kita harus melakukan serangan cepat seperti tadi. Saya dan Johan akan mengancam mereka dengan senjata, lalu Pak Karjo langsung mengambil senjata mereka, dan memberikannya pada yang lain. Mengerti?" Ujar Raymond menyusun strategi.

Pria tua tersebut pun mengangguk.

"Oke, dalam hitungan ketiga. Satu ... dua ... tiga," Raymond dan Johan pun langsung maju dan mengacungkan senjata mereka. "Jangan bergerak, atau kalian saya tembak."

Dengan gerakan cepat, Pak Karjo langsung masuk ke dalam ruangan dan mengambil senjata para tentara tersebut. Mereka pun menghentikan gerakan mereka menggerayangi tubuh indah Gendis, Widi, dan Rini. Pak Karjo kemudian memberikan tiga senjata yang ia dapatkan dan memberikannya pada Tomi dan Pak Doni, serta menyimpan satu untuk dirinya sendiri. Sedangkan Pak Harso malah tidak kelihatan batang hidungnya.

Gendis-1.jpg

"Bagaimana kalian bisa bebas?" Ujar Sersan Robert yang baru saja melepaskan tangan dari bokong Gendis dan mengangkatnya ke atas.

"Itu bukan urusan kamu. Cepat ke sini Bu Gendis, Widi, dan Rini," teriak Raymond.

Gendis dan Rini langsung menurut, dan bergerak menjauh dari para tentara yang baru saja menjamah bagian-bagian sensitif dari tubuh mereka tersebut. Sedangkan Widi masih butuh waktu untuk mengenakan bra dan pakaiannya kembali, sebelum ikut bergabung dengan rombongan yang lain.

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

"Gendis, Widi, dan Rini, cepat ikuti Tomi menuju mobil," perintah Raymond sambil terus mengacungkan senjata ke arah para tentara tersebut.

Ketiga perempuan tersebut pun langsung berlari ke arah lapangan mengikuti Tomi. Sedangkan para pria yang lain yang masih berada di ruangan tempat ketiga Sersan Tukatu berada, mulai mundur perlahan.

"Tembaaaaakkkk ..." perintah Raymond.

Ia dan tiga pria lain pun langsung memuntahkan peluru dari senjata mereka ke arah ketiga tentara tersebut, lalu langsung lari tunggang langgang ke arah lapangan, tanpa memeriksa apakah peluru tersebut mengenai sasaran atau tidak.

Di saat yang sama, Tomi dan ketiga perempuan yang mengikutinya telah masuk ke dalam van. Mobil tersebut tampak kosong karena semua barang pribadi dan perbekalan mereka telah dikeluarkan. Tomi langsung mencari kunci cadangan mobil di kompartemen yang disebutkan Raymond tadi, dan berhasil menemukannya. Ia pun langsung menyalakan mesin mobil.

Dari dalam mobil, ia bisa melihat Raymond, Johan, Pak Karjo, dan Pak Doni tengah berlari menyusuri lorong sekolah, dan siap menyeberangi lapangan untuk masuk ke dalam mobil. Namun begitu keempat pria tersebut akan berlari, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah lorong tempat mereka berlari sebelumnya. Ketiga tentara tersebut ternyata berhasil selamat, dan entah bagaimana bisa mempunyai senjata lain untuk menembaki mereka semua.

"Sialan ... dari mana mereka mendapat senjata itu," ujar Raymond sambil berlindung di balik dinding sekolah yang sebenarnya tidak cukup lebar sebagai tameng yang melindungi seluruh tubuhnya. Ketiga pria yang lain juga berlindung di tempat yang sama.

"Mungkin di ruangan tadi ada beberapa senjata lain yang tersimpan. Bajingan, harusnya kita bunuh dulu mereka," ujar Johan.

"Ya mana tahu, ini saja pertama kali saya memegang senjata," ujar Pak Doni. Terlihat tangannya gemetaran menggenggam senjata laras panjang tersebut.

"Persetan, ayo kita semua langsung lari ke mobil, sambil berdoa agar mereka tidak berhasil menembak kita," ujar Raymond yang frustasi. Ia pun langsung berlari sekuat tenaga menuju mobil, yang langsung diikuti oleh Johan.

Namun baru setengah jalan, kedua pria tersebut langsung tersungkur jatuh ke tanah. Darah tampak mengalir keluar dari tubuh keduanya. Peluru para tentara tersebut sepertinya langsung menghujam ke dalam tubuh Raymond dan Johan.

"Siaaaaaaallll ... Bagaimana ini Pak Karjo?" Ujar Pak Doni kebingungan melihat kedua pria tersebut mati seketika.

"Saya juga tidak tahu Pak. Apabila kita lari ke sana, kita pasti akan jadi santapan peluru para tentara tersebut. Menyuruh Tomi menyetir ke sini untuk menjemput kita juga bukan cara yang baik."

Pak Doni akhirnya segera mengambil keputusan agar tidak membuang waktu di masa-masa genting tersebut. "Tomi, cepat pergi. Tinggalkan kami!"

Tomi sempat bertatapan dengan mata Pak Doni meski dari jarak yang cukup jauh. Ia sempat ragu, tapi akhinya memutuskan bahwa itu adalah cara yang terbaik. Ia langsung menancap gas ke arah jalan keluar yang mengarah ke selatan. Ia sempat dicegat oleh beberapa tentara di dekat jalan utama tempat mereka diberhentikan tadi, tetapi ia kemudian melepaskan beberapa tembakan yang langsung membuat mereka kocar-kacir.

Seingat Tomi, jalan utama yang mengarah ke barat akan membawa mereka kembali ke wilayah Indonesia. Namun begitu akan berbelok, ia melihat pagar duri besar yang sempat mereka lihat sebelumnya masih berada di sana. Ia pun mengambil keputusan cepat untuk berbelok ke arah timur, kembali ke arah tempat mereka menginap beberapa hari sebelumnya.

Sedangkan Pak Doni dan Pak Karjo akhirnya memilih lari ke arah timur dari bangunan sekolah, menuju hutan yang dipenuhi dengan pepohonan. Mereka berdua terus berlari, berharap para tentara tersebut tidak bisa mengejar mereka.

***​

Saat para pria menyerbu masuk ke ruangan yang berisi tiga orang tentara untuk menyelamatkan Gendis, Widi, dan Rini, Pak Harso justru mendengar suara aneh dari ruangan lain. Ia hendak mengajak Pak Doni atau Tomi untuk menemaninya, tetapi mereka sudah langsung masuk ke ruangan tersebut, dan fokus menyelamatkan para perempuan di dalamnya. Pak Harso pun memutuskan untuk mencari tahu sumber suara aneh itu sendiri.

Dari ruangan tempat tiga perempuan itu disekap, pria tua itu berbelok ke arah kiri. Ia akhirnya sampai di sebuah ruangan yang begitu kecil, dan hanya mempunyai satu jendela yang tertutup tirai. Namun, ia yakin betul bahwa suara aneh yang ia dengar berasal dari ruangan tersebut, dan sepertinya itu adalah suara perempuan yang ia kenal.

Dengan berani, ia pun langsung mendobrak pintu ruangan tersebut, dan menemukan seorang pria berkulit hitam tanpa busana yang sedang menindih perempuan muda berjilbab yang pakaiannya sudah mulai berantakan karena terus menerus dijamah oleh sang pria.

Nabila-1.jpg

Pak Harso tidak membawa senjata apa-apa, dan ia pasti akan kalah apabila bertarung satu lawan satu dengan sang pria. Karena itu, ketika ia melihat sebuah pistol tergeletak di atas meja yang berada dekat dengannya, ia pun langsung mengambil dan mengacungkannya ke arah sang pria.

"Hentikan, Letnan Frans. Atau saya tembak," ujar Pak Harso, yang sebenarnya masih belum yakin apakah ia benar-benar berani untuk menambakkan senjata tersebut. Namun demi menyelamatkan nyawa sang perempuan, ia pun berpura-pura berani di hadapan perwira tersebut.

Letnan Frans kemudian bangkit dan berdiri. Perlahan ia mengangkat tangannya ke atas tanda menyerah. Namun karena ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun, Pak Harso pun bisa melihat tubuh perwira tersebut yang kekar, dan penisnya yang besar dan belum disunat. Nyalinya sedikit menciut melihat hal itu.

"Jangan main-main dengan senjata itu, Pak Harso," ujar Letnan Frans sambil mengambil satu langkah mendekati pria tua itu. Ia memang sudah mengetahui nama Pak Harso dari kartu identitas yang telah ia sita sebelumnya. "Apabila salah tembak, Bapak justru akan membunuh perempuan ini, Nabila."

Nabila tampak tengah duduk di kasur sambil menutupi dadanya yang telah berulang kali dijamah Letnan Frans. Ia tampak ketakutan akan situasi ini, membuat Pak Harso jadi merasa iba. Meski begitu, ia terus berusaha berkonsentrasi agar tetap bisa menyelamatkan perempuan cantik itu dari cengkeraman Letnan Frans.

"Lebih baik kita selesaikan saja masalah ini dengan cara baik-baik," ujar Letnan Frans sambil mengambil satu langkah lagi mendekati Pak Harso.

"Hentikan Letnan, jangan mendekat. Atau saya tembak. Nabila, cepat mendekat ke sini," Pak Harso masih mengacungkan pistol ke arah sang perwira. Mendengar itu, Nabila pun langsung membenahi pakaiannya dan mendekat ke arah atasannya tersebut.

"Doooorrr ... Doooorrr ... Doooorrrr ..."

Tiba-tiba terdengar suara letusan senjata yang cukup keras. Letnan Frans pun langsung lari ke bagian belakang ruangan untuk berlindung. Mungkin ia menyangka bahwa bunyi tembakan itu berasal dari pistol yang digenggam Pak Harso.

"Ayo lari, Nabila," ujar Pak Harso yang langsung pergi meninggalkan ruangan Letnan Frans bersama bawahannya yang cantik itu. Ia ingat rencana awal rombongan mereka untuk kabur dengan mobil. Karena itu, ia pun langsung menuju ke arah lapangan, tempat mobil tersebut berada.

Namun alangkah terkejutnya Pak Harso karena di hadapannya tiba-tiba ada beberapa tentara yang sedang menembak ke arah mobil yang berada di lapangan. Mereka memang dalam posisi membelakangi Pak Harso dan Nabila, tetapi sepertinya hanya tinggal masalah waktu sebelum mereka membalikkan badan dan melihat sepasang atasan tua dan anak buah yang cantik itu.

Ia dan Nabila pun jadi tidak bisa menuju mobil, karena harus melewati para tentara tersebut lebih dahulu. Pak Harso memang masih menggenggam pistol milik Letnan Frans, tetapi ia tidak yakin bisa mengarahkannya dengan tepat ke sasaran.

"Berhenti dulu, Nabila," ujar Pak Harso.

"Kenapa, Pak. Bukankah kita harus lari?" Nabila pun bingung mengapa mereka tiba-tiba berhenti.

"Coba kamu lihat di depan."

Nabila pun melihat beberapa tentara yang berada di hadapannya. Mereka bahkan baru saja menembak dua orang pria hingga tersungkur di lapangan. Dalam hati, perempuan berjilbab itu berdoa semoga mereka bukan rekan-rekan kantornya. Tak lama kemudian, mobil van yang mereka tumpangi menuju tempat ini sudah pergi menuju arah selatan.

"Ikuti aku, Nabila," ujar Pak Harso. "Kamu kuat berlari kan?"

Nabila hanya mengangguk. Mereka berdua pun langsung lari ke hutan di belakang sekolah, yang mengarah ke utara.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Makasih suhu. Makin seru ni. Adakah mereka akan berjaya lolos, ataupun bakal ditangkap menjadi tawanan kembali.
 
lucu bener liat teman sendiri dijadiin mulustrasi, memudahkan fantasi HAHAHAHA

Nice hu, terbaik!

Kalau misalnya ada masalah, kasih tahu aja ya lewat PM

Mulustrasi cuma pemanis, gampang kalau perlu diganti, hee
Aku pun cuma asal aja waktu pilih-pilih
 
Makasih suhu @fathimah. Yang di mobil berhasil loloskah? Waduhhh... lolos lah ya. Kalau lolos, 4 on 4. Seru
 
Bimabet
Ikutan gabung di mare, suhu @fathimah ...!! ✌
Baca2 dl ampe part 9... Msh nungguin lanjutannya.

Berarti nti Narasi ww-nya mantep ini, ya?? 🤭

Gak mau janji dulu narasi WW-nya bakal seperti apa
Karena ini pengalaman pertama, mau menjaga agar alurnya lancar saja dulu, kualitas narasi urusan belakangan dulu

Tapi semoga bisa dapat dua-duanya, hee

Wah..bu Nabilanya baru ulang tahun yaa brati.. 👏😀

Asal aja nentuin tanggal
Bingung mau pake tanggal apa, ya udah pake tanggal pas cerita ini dibuat

Bikin tegang nih ceritanya

Apanya yang tegang, Mas?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd