Part 15: Kesepian
"Tookk ... Tookk ..."
Terdengar bunyi ketukan di sebuah kamar yang berada di Resort Hostina. Perempuan paruh baya yang berada di dalamnya pun langsung membuka pintu. Di baliknya, ia menemukan seorang pria yang berusia tak jauh berbeda dengannya, berkulit gelap di balik kemeja berwarna putih, tengah berdiri di hadapannya.
Perempuan tersebut tersenyum, seperti telah menunggu kedatangan sang pria. Ia pun mempersilakan pria tersebut untuk masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu.
"Naik apa tadi ke sini Pak Jeremy?"
"Naik mobil dinas. Bu Suyati sudah makan belum? Kalau belum, saya mau ajak makan dulu di restoran favorit saya."
"Sudah kok, Pak. Terima kasih."
Ini adalah kali kedua Bu Suyati bertemu dengan pria yang sedikit lebih tinggi dari dirinya tersebut. Dan mau tidak mau, ia kembali mengingat saat pertama kali bertemu dengannya.
***
Perjalanan dari ibu kota sampai ke kota tujuan yang berada di daerah timur Indonesia membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Namun, baru 30 menit pesawat bertolak dari bandara, Pak Harso langsung memejamkan mata dan tertidur di kursinya yang berada tepat di samping jendela. Pria tua itu meninggalkan istrinya yang masih merasa kurang nyaman berada di dalam pesawat karena rasa takut untuk terbang. Bu Suyati tampak gelisah, tetapi tidak berani untuk mengganggu suaminya yang telah pulas.
"Baru pertama kali terbang ya, Bu?"
Tiba-tiba ia mendengar suara penumpang yang duduk tepat di sebelahnya. Kursi pesawat yang berjejer tiga membuat Bu Suyati harus duduk di antara suaminya dan seorang pria yang baru saja menyapanya tersebut.
"Hmm, sudah beberapa kali sih, Pak. Tapi saya memang dasarnya takut terbang, jadi selalu merasa gelisah kalau naik pesawat. Apabila ada cara lain untuk bisa sampai ke tujuan tanpa harus terbang, saya pasti sudah memilih cara tersebut. Bapak sendiri sudah sering terbang ya?"
Pria tersebut memang tampak begitu santai di kursinya.
"Sudah tidak terhitung lagi, Bu. Pekerjaan saya menuntut untuk sering bolak-balik ke ibu kota, maklum tugas negara, hee. Ngomong-ngomong, ibu setelah mendarat nanti tujuan ke mana?"
"Duh, mana ya. Kalau tidak salah nama tempatnya Resort Hostina."
"Wah, itu sih dekat dengan rumah dan kantor saya. Ibu sendirian saja?"
"Tidak, ini sama suami saya," ujar Bu Suyati sambil menunjuk Pak Harso yang tengah tertidur di sebelahnya. "Dan ada rekan-rekan suami saya juga di bangku belakang. Kami sedang outing kantor."
"Oh, begitu. Enak ya kalau ramai-ramai begini. Semoga Ibu nanti bisa menikmati keindahan alam di sana. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja."
"Oh iya, kita belum kenalan. Nama saya Suyati."
"Saya Jeremy."
"Kalau boleh tahu, Pak Jeremy ini bekerja sebagai apa di sana?"
"Saya salah satu hakim di pengadilan negeri di sana. Kebetulan saya juga putra daerah di sana, sehingga setelah berputar-putar dinas di kota lain, menjelang pensiun akhirnya saya ditempatkan kembali di kota asal."
"Oh, memang risiko pegawai negeri seperti itu ya, Pak."
"Betul sekali. Ibu sendiri sudah punya anak?"
"Sudah. Saya punya anak satu, sekarang sedang kuliah di Amerika. Kalau Bapak?"
"Sama, saya juga punya anak satu, sekarang kuliah di ibu kota. Makanya kalau saya tugas ke sana, sekalian menjenguk dia."
"Istri Bapak gak diajak kalau dinas?"
"Dia malas kalau diajak perjalanan jauh, lebih suka di rumah saja."
"Owh ..."
Tanpa sadar, perbincangan tersebut berhasil membuat Bu Suyati lupa akan kekhawatirannya terbang dengan pesawat. Awalnya ia memang merasa khawatir dan berusaha menjaga jarak karena sosok pria tersebut yang berkulit hitam khas orang timur, dan posturnya yang besar. Berbagai mitos yang banyak dibicarakan orang di luar sana jelas membuatnya takut.
Namun cara bicara Pak Jeremy yang lembut ternyata membuat perempuan tersebut merasa nyaman, sampai menghabiskan waktu lama untuk mengobrol tentang berbagai hal, mulai dari pengalaman Pak Jeremy berkunjung ke berbagai kota, hingga gosip aneh di lingkungan rumah Bu Suyati. Mereka pun tak sadar bahwa pesawat akan mendarat tak lama lagi.
"Oh iya, Bu. Boleh saya minta nomor telepon Ibu? Siapa tahu nanti Ibu butuh bantuan saya saat di Hostina."
"Boleh, Pak. Ini nomor telepon saya," ujar Bu Suyati sambil menyebutkan deretan angka yang sudah ia hafal di luar kepala. Sebaliknya, Pak Jeremy pun menyebutkan nomor telepon yang langsung disimpan oleh perempuan paruh baya tersebut di smartphone miliknya.
"Hooaaahhmm ... sudah sampai mana neh kita?"
Tiba-tiba Pak Harso terbangun dari tidurnya. Hal tersebut membuat Bu Suyati dan Pak Jeremy terkejut, dan langsung menghentikan perbincangan mereka. Keduanya pun sama sekali tidak menyapa satu sama lain hingga pesawat mendarat, karena Bu Suyati langsung sibuk dengan suaminya dan rombongan yang lain.
Hanya sekali Pak Jeremy tampak memberikan isyarat telepon dengan tangannya, seperti meminta Bu Suyati untuk menghubunginya lain waktu. Perempuan tersebut pun mengangguk tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
Itulah mengapa begitu Bu Suyati sampai di kamar setelah menghadap Kapten Budiman di kantor Koramil, ia pun jadi teringat pertemuan dengan Pak Jeremy. Perempuan tersebut pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepadanya.
Karina memang mewanti-wanti untuk tidak menceritakan masalah ini kepada siapa pun. Namun menurut Bu Suyati, sepertinya Pak Jeremy adalah sosok yang bisa dipercaya. Meski pria itu nantinya tidak bisa membantu, siapa tahu dia mampu menenangkan suasana hatinya yang gundah karena kesepian ditinggal sang suami.
"Pak, ini saya Suyati yang kemarin ketemu di pesawat dari ibu kota. Semoga Bapak masih ingat. Apa Bapak sedang sibuk?"
Tanpa diduga, Pak Jeremy langsung membalas pesan tersebut.
"Tidak kok, Bu Suyati. Saya tidak sibuk, dan tentu saya masih ingat perempuan secantik Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Iya, Pak. Saya ingin bertemu dan bicara sesuatu. Boleh?"
"Boleh saja. Mau malam ini juga?"
"Kalau Bapak tidak keberatan, bisa malam ini bertemu?"
"Bisa kok. Kita ketemu di luar? Atau di kamar Ibu saja di Resort Hostina?"
Sebelum menjawab pesan tersebut, Bu Suyati tampak berpikir sejenak.
"Di kamar saya saja boleh, Pak."
***
Setelah mereka berada di dalam kamar, Bu Suyati akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada rombongan yang terbang bersama dengannya ke Hostina. Mulai dari keengganan ia untuk ikut camping di Bukit Amanika karena merasa lelah, berita di televisi yang membuatnya kaget, hingga pertemuan dengan Kapten Budiman di kantor Koramil.
"Begitu ceritanya, Pak."
"Jadi yang tersisa di Resort ini hanya Ibu, suami dari salah seorang bawahan suami Ibu, dan perempuan yang menjadi pemandu tur?"
"Betul sekali, Pak. Itulah mengapa kami bertiga kemudian mencari pertolongan ke sana ke mari, demi menyelamatkan pasangan dan teman-teman kami."
"Baik, Bu. Saya paham sekarang. Namun mohon maaf, sepertinya saya tidak bisa membantu apa-apa, karena saya pun tidak punya pengaruh untuk mengubah keputusan Kapten Budiman atau para aparat lain di sini. Saya bahkan baru tahu tentang keputusan itu saat saya kembali ke sini," ujar Pak Jeremy.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa," ujar Bu Suyati sambil menatap ke arah jendela kamar yang langsung menghadap ke pantai. "Saya hanya merasa butuh teman untuk cerita saja, semoga Bapak tidak keberatan."
Perempuan tersebut tampak sedih memikirkan nasib suaminya, sekaligus kesal karena ia tidak bisa melakukan apa-apa. Apalagi di tempat yang asing ini ia merasa benar-benar sendirian. Apabila tidak ada lelaki di hadapannya tersebut, ia tidak tahu lagi harus mengobrol dengan siapa.
"Ibu tentu boleh cerita apa pun kepada saya," ujar Pak Jeremy yang tengah duduk di sofa yang sama dengan Bu Suyati. "Dan saya akan setia mendengarkan."
"Menurut Bapak, apa suami saya masih hidup?"
"Tidak ada yang bisa memastikan hal tersebut, Bu. Apalagi suami Ibu dan rombongannya sudah hilang kontak selama beberapa hari. Kita hanya bisa berdoa demi keselamatan mereka," ujar Pak Jeremy.
"Terima kasih Pak, sudah menemani saya malam ini. Kalau Bapak mau pulang, sila ..."
"Ssstt, ssstt, sstt ..." Pria berusia sekitar 50an tahun itu memotong kata-kata Bu Suyati sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Sudah jangan dipikirkan Bu Suyati. Yang penting sekarang Ibu harus merasa tenang dulu."
"Tapi Bapak kan harus pulang, istri Bapak pasti sedang menunggu."
"Ibu tidak usah pikirkan masalah itu. Saya akan menemani Ibu sampai Ibu merasa tenang."
Bu Suyati sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Awalnya ia setuju untuk bertemu di kamar karena berpikir Pak Jeremy pasti akan segera pulang setelah mendengarkan ceritanya. Ia teringat pria tersebut pernah mengatakan bahwa rumahnya tidak jauh dari Resort Hostina ini, sehingga ia tentu tidak mempunyai alasan untuk menginap di tempat lain, kan?
"Maksud Bapak?"
Pak Jeremy tidak menjawab, dan malah mendekatkan posisi duduknya dengan Bu Suyati. Ia kemudian menyentuh tangan perempuan yang meski sudah tidak muda lagi, tetapi tetap mempunyai bentuk tubuh yang gemulai tersebut. Pria tersebut kemudian menggenggam tangan Bu Suyati dengan lembut.
"Saya akan menemani Ibu di sini, sampai Ibu merasa benar-benar nyaman, dan tidak mempunyai pikiran buruk lagi tentang suami Ibu dan rekan-rekannya. Bukankah itu tugas saya sebagai salah satu aparat di daerah ini."
"Tapi, bukankah nanti istri Bapak akan mencari?"
"Tidak usah memikirkan dia. Yang terpenting sekarang adalah saya akan melakukan apa pun agar Ibu bisa merasa tenang."
Pria berkulit gelap itu kemudian menarik tangan Bu Suyati, lalu mengecup punggungnya. Perempuan tersebut tampak membiarkan saja tangannya dikecup oleh Pak Jeremy. Ia malah merasa tersanjung karena diperlakukan seperti seorang putri raja.
Merasa mendapat izin, Pak Jeremy malah melakukan hal yang lebih intim. Tanpa disangka oleh Bu Suyati, pria tersebut tiba-tiba langsung mendaratkan kecupan tepat di bibirnya. Perempuan paruh baya itu langsung merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Seperti ada sengatan listrik yang merasuk ke tubuhnya begitu bibir mereka berdua bersentuhan.
Awalnya Bu Suyati memang merasa kaget, sehingga ia tidak bisa menghindar. Namun tak lama kemudian Pak Jeremy justru mulai mengelus-elus lengannya yang masih terbalut kemeja lengan panjang berwarna putih. Elusan tersebut terasa sangat lembut, seperti seorang suami kepada istrinya.
Bu Suyati mulai kalut, tak tahu bagaimana ia harus menanggapi perlakuan tersebut. Sebagai seorang perempuan, ia bisa merasakan gairah Pak Jeremy yang telah naik, dari nafasnya yang kian menderu.
"Hentikan, Pak ... Kita sama-sama sudah mempunyai pasangan," ujar Bu Suyati lirih. Dalam kondisi tersebut, ia masih berusaha mengelak dari godaan birahi yang dilancarkan pria bertubuh besar di hadapannya.
"Tapi suami Ibu sedang tidak ada, Kan? Dan saya juga tahu bahwa Ibu saat ini sedang merasa kesepian, karena itu Ibu menghubungi saya. Betul, kan?"
Dalam hati, Bu Suyati mengamini kata-kata tersebut. Ia memang sudah lama tidak mendapatkan kemesraan di atas ranjang dari sang suami. Apalagi setelah anak mereka tumbuh besar, intensitas hubungan intim mereka dalam setahun mungkin bisa dihitung dengan jari. Itu pun harus menunggu Pak Harso benar-benar bebas dari pekerjaannya yang begitu menyita waktu.
Kini, di hadapannya ada seorang lelaki yang baru ia kenal beberapa hari lalu, tetapi sudah langsung menghujaninya dengan kata-kata mesra, dan memberikan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Meski begitu, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati perempuan tersebut.
"Tapi bagaimana dengan istri Bapak?" Sekilas Bu Suyati memandang cincin kawin yang melekat di jari manis sang pria.
Pak Jeremy tidak menjawab, dan malah kembali mengecup bibir Bu Suyati. Tangannya pun mulai menggerayangi tubuh perempuan paruh baya tersebut dengan remasan-remasan nakal. Awalnya remasan tersebut hanya mengarah ke lengan sang perempuan, tetapi kemudian bergeser ke payudara Bu Suyati yang sebenarnya sudah tidak begitu kencang.
"Ahhh, Pak Jeremy ... Cukup, Pak. Ahhh ..."
"Saya selalu suka dengan perempuan berjilbab. Kalian terlihat sangat anggun di mata saya," bisik Pak Jeremy, yang membuat Bu Suyati terdiam. "Dulu saya punya mantan kekasih yang selalu mengenakan jilbab seperti Ibu, tetapi akhirnya kami harus berpisah karena perbedaan agama."
Tiba-tiba, Bu Suyati merasakan tubuhnya diangkat ke atas, dan kemudian direbahkan di atas ranjang yang empuk. Ranjang tersebut masih menjadi tempatnya beristirahat dengan sang suami. Namun kini ranjang itu justru menjadi saksi tubuhnya yang seksi kini tengah ditindih oleh seorang hakim berkulit hitam.
"Tidak, Pak. Saya tidak mau, Pak ... Tolong hentikan," ujar Bu Suyati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha mendorong tubuh Pak Jeremy agar menjauh dari dirinya.
Namun pria tersebut seperti sudah tidak bisa lagi menahan nafsunya. Ia justru menarik celana panjang kain yang dikenakan Bu Suyati ke bawah, hingga selangkangannya yang masih tertutup celana dalam berwarna krem terlihat jelas. Pak Jeremy kemudian mengarahkan jarinya dan mengusap liang senggama yang masih tertutup tersebut dengan lembut.
"Ooowwwwwgghh ..."
Tubuh Bu Suyati langsung gemetar saat vaginanya diusap oleh pria beristri yang tengah bersama dengannya di atas ranjang tersebut. Tanpa sadar, bokongnya justru bergerak ke atas seperti ingin mengejar kenikmatan yang baru saja ia rasakan.
"Akui saja kalau Ibu juga menginginkan ini. Dengan senang hati, saya akan memberikannya spesial untuk Ibu," ujar Pak Jeremy sambil memberikan senyuman nakal.
"Ehhhhhmmmmmm ..."
Bu Suyati tampak merintih saat Pak Jeremy memasukkan jari tengahnya ke lipatan vagina, membuat celana dalam tipis yang dikenakan sang perempuan ikut masuk ke dalam. Jari tersebut pun mengenai organ mungil berbentuk kacang milik Bu Suyati yang sangat sensitif. Setiap disentuh, tubuh perempuan tersebut langsung menggelinjang.
Melihat Bu Suyati sudah mulai menikmati permainannya, Pak Jeremy langsung melepas kancing kemeja lengan panjang yang dikenakan sang perempuan satu per satu. Ia pun melepas kaitan bra yang dikenakan perempuan berusia 50an tahun itu. Hanya jilbab yang membalut kepalanya saja yang dibiarkan oleh Pak Jeremy.
Tanpa basa-basi, pria berkulit gelap tersebut langsung menunduk dan mulai mencium gundukan payudara Bu Suyati, hingga lidahnya membasahi puting sang perempuan yang tengah mencuat.
"Oooowwwhhhh .... Eeeennnggghhh ..."
Bu Suyati melenguh dengan binal saat lidah Pak Jeremy yang hangat berlabuh di putingnya. Apalagi sang pria kemudian melanjutkan dengan isapan dan sedotan lembut, seperti seorang anak yang tengah menetek kepada ibunya. Kulit Bu Suyati yang putih pun terlihat sangat kontras dengan kulit Pak Jeremy yang gelap.
"Sejak melihat Ibu di pesawat, saya sudah yakin kalau Ibu adalah perempuan yang haus kepuasan. Kontol saya sampai berdiri saat tahu perempuan yang duduk di samping saya mempunyai tubuh seseksi Ibu. Dan kini, saya bisa menikmati keindahan tubuh tersebut secara langsung," bisik Pak Jeremy di telinga Bu Suyati.
"Tapi ini salah, Pak. Saya masih mempunyai suami, dan Bapak juga mempunyai istri."
"Istri saya bukan perempuan kota yang mempunyai kulit seputih dan semulus Ibu. Harumnya pun tidak seperti aroma tubuh Ibu," ujar pria tersebut sambil mengendus-endus ketiak Bu Suyati, membuat perempuan tersebut kegelian. "Saya selalu penasaran bagaimana rasanya ngentotin perempuan bersuami dari kota seperti kamu, Bu Suyati, ahhh."
"Eeeenngggghh .... Emmmmmpphhh ...."
Bu Suyati berusaha menahan libidonya yang sudah mulai naik dengan cara menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan, seperti ingin menghilangkan rasa nikmat yang mulai jauh merambat di sekujur tubuhnya, tetapi terus gagal. Kata-kata kotor Pak Jeremy bukannya membuat jijik, tapi malah membuatnya merasa tersanjung.
"Sepanjang penerbangan kemarin, mata saya selalu berlabuh di payudara Ibu yang indah ini. Cara Ibu bicara membuat saya begitu bergairah ingin mengulum bibir Ibu yang ranum. Ngghhh ... Saya selalu menginginkan pasangan yang berparas anggun seperti kamu, Bu Suyati."
Godaan itu membuat Bu Suyati makin bergairah. Ia pun mulai meraih kancing kemeja yang dikenakan Pak Jeremy, dan mulai melepasnya dengan terburu-buru. Tak butuh waktu lama hingga ia bisa melihat dada sang pria yang cukup kekar, dengan bulu tipis di tengahnya.
"Ssssshhhhhh .... Aaahhhh ...."
Bu Suyati kembali mendesis ketika lidah Pak Jeremy berlabuh di puting payudaranya. Perempuan tersebut kemudian menarik-narik rambut Pak Jeremy yang ikal, lalu membenamkan kepala sang pria di buah dadanya yang membusung, seperti meminta hisapan yang lebih kuat.
Pria tersebut tampak mulai tidak tahan, dan mulai menurunkan celana panjang yang ia kenakan, serta celana dalam di baliknya. Tubuhnya kini sudah polos tanpa busana, hingga Bu Suyati bisa melihat dengan jelas sebatang kemaluan yang telah mengeras, yang ukurannya jauh lebih besar dari yang dimiliki suaminya. Namun hal yang paling membuat perempuan itu kaget adalah ujung penis tersebut yang ternyata belum terbelah, dengan kulup yang belum tersingkap.
"Oohh ..." Tanpa sadar, Bu Suyati mengeluarkan lenguhan pelan.
Pak Jeremy tampak tersenyum mendengarnya. Ia malah semakin percaya diri untuk memamerkan penisnya tepat di hadapan sang perempuan yang masih belum bisa menghilangkan kekagumannya tersebut.
"Ibu suka yang ukurannya besar seperti ini?"
"Nghhh ... punya Bapak ... Belum disunat?"
"Ya, Ibu belum pernah coba yah?"
Bu Suyati pun mengangguk.
Mendengar itu, Pak Jeremy langsung menindih tubuh sang perempuan dan kembali mengecup bibirnya yang manis. Penisnya yang sudah mengacung pun mulai digesek-gesekkan ke bibir vagina Bu Suyati yang gemuk.
Sambil terus mengulum bibir Bu Suyati, Pak Jeremy mulai meremas-remas payudaranya yang terbuka. Beberapa kali ia coba menggoda perempuan tersebut dengan mengangkat pinggulnya, sehingga penisnya tak lagi bersentuhan dengan kemaluan sang perempuan. Namun secara otomatis, Bu Suyati malah mengangkat pinggulnya, seperti ingin terus disentuh di bagian paling sensitif di tubuhnya tersebut. Pak Jeremy pun tersenyum melihat hal tersebut.
"Pahanya dibuka sedikit, Bu ..."
Bu Suyati menurut, dan Pak Jeremy langsung mendorong kemaluannya menembus vagina sang perempuan yang terasa begitu sempit karena jarang sekali dimasuki oleh penis suaminya. Seketika, pria tersebut merasakan penisnya seperti dipijat-pijat oleh dinding kemaluan sang perempuan.
"Owwwwhhhh .... Pak Jeremyyyy ... Besar banget penisnya, ahhhhh ..."
Tubuh Bu Suyati tampak gemetar, saat bagian paling sensitif dari tubuhnya tersebut dimasuki dengan liar oleh batang besar milik sang pria. Pinggulnya bahkan mulai naik turun menyambut gerakan memompa yang dilakukan Pak Jeremy. Tubuh Bu Suyati mulai meliuk-liuk, seperti mencari posisi yang pas agar ia bisa merasakan kenikmatan maksimal.
"Sempit banget vagina Ibu, ahhhh ... Saya suka bangeeett ..."
Pak Jeremy kembali mengecup bibir Bu Suyati, sambil mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya ke rongga mulut sang perempuan. Pria itu langsung mengecapi lidah sang perempuan, dan menyedot ludahnya dengan rakus. Tangannya pun semakin aktif membelai dan mengusap puting payudara perempuan berkulit putih itu.
Posisi Bu Suyati yang masih mengenakan jilbab ternyata membuatnya bisa merasakan persetubuhan itu dengan lebih bergairah. Apalagi dirinya adalah seseorang yang menganut agama berbeda, serta mempunyai penis yang belum disunat.
"Paaaakkk ..... Aaahhhssss ... Nggghhhhhh ..."
Bu Suyati tampak terengah-engah, dengan gerakan pinggul yang naik turun makin cepat, seiring dengan irama genjotan Pak Jeremy.
"Bantu saya menuntaskan birahi saya, Bu Suyati ... Ahhh, memek Ibu jauh lebih enak dari pada istri saya ... Terus jepit kontol saya Bu ..."
"Oowwwhhhh ... Pak Jeremy, ohhh ...."
"Besar mana punya saya dengan suami Ibu yang tukang tidur itu?"
"Ahhhh ... Besar punya Pak Jeremy, nggghhhh ..."
Mendengar kata-kata itu, birahi Pak Jeremy semakin mendekati puncak. Ia kini bisa dengan bebas menyentuh dan meremas bulatan pantat Bu Suyati yang montok. Payudara perempuan tersebut yang selama ini tersembunyi di balik jilbab, pun bisa ia nikmati sepuas hati.
Bu Suyati memang bukanlah perempuan pertama selain istrinya yang ia setubuhi. Setiap ke ibu kota, sang hakim berusia 50an tahun itu hampir selalu bermain cinta dengan perempuan lain. Namun, kebanyakan dari mereka adalah pelacur, dengan vagina yang sudah kendur. Mereka jelas jauh berbeda dengan Bu Suyati, yang meski sudah berumur dan beranak satu, tetap mempunyai vagina yang sempit.
"Tubuhmu benar-benar indah, Bu Suyatiiiii ... Ahhhh."
Bu Suyati tidak bisa menyangkal bahwa ia juga menikmati sodokan demi sodokan yang dilancarkan Pak Jeremy. Penisnya yang besar kini telah menembus relung yang terdalam di liang senggamanya, bahkan menyentuh ujung rahimnya. Ia tidak pernah membayangkan akan digagahi oleh seorang hakim berkulit hitam yang sebenarnya sudah mempunyai istri sah tersebut. Apakah ini rasanya menjadi seorang pelakor, pikir perempuan tersebut dalam hati.
"Ini dosa paaaaak, ahhh ..."
"Tapi ini dosa yang enak, Buuuu .... "
Bu Suyati terus melenguh saat vaginanya disodok-sodok oleh penis Pak Jeremy. Ia bisa merasakan langsung tekstur batang kemaluan tersebut yang besar dan keras. Ujungnya yang tidak disunat pun memberikan sensasi yang berbeda saat menyentuh ujung kemaluannya.
Tangan Pak Jeremy kian kuat mencengkeram payudara Bu Suyati yang membusung. Ia pun menghentak selangkangan sang perempuan dengan gerakan yang makin cepat.
"Pwhhhh Paaaakk ... Saya gak kuaaaaatt ..." Rintih Bu Suyati. "Saya keluaaaaaarrrrr ..."
"Saya juga keluar Buuuu, ahhhhh ...."
Mereka berdua pun sama-sama merasakan badai orgasme yang datang dalam waktu yang hampir bersamaan. Tubuh mereka yang masih tanpa busana tampak mulai basah oleh peluh yang mengalir, seiring dengan menurunnya stamina mereka setelah bergumul dalam waktu yang cukup lama. Pasangan pria dan perempuan yang sebenarnya sudah mempunyai suami dan istri yang sah itu masih terus berpelukan sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan, yang seperti tidak ingin berhenti keluar dari tubuh mereka berdua.
(Bersambung)