Part 20: Beruntung
Hari sudah menjelang sore saat Pak Harso dan Nabila memutuskan untuk kembali beristirahat di sela-sela perjalanan mereka. Keduanya jelas tidak tahu berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk sampai di daerah milik Indonesia, karena peta buatan anak-anak yang mereka dapatkan sebelumnya tidak mempunyai skala yang jelas. Perjalanan tersebut bisa saja membutuhkan waktu dua jam atau dua puluh jam, tidak ada yang tahu.
Mereka berdua bahkan tidak tahu apakah peta tersebut benar-benar akurat. Bisa jadi peta tersebut justru membuat mereka berjalan jauh lebih dalam ke arah wilayah Tukatu. Namun karena tidak ada pilihan lain, keduanya pun memilih untuk mengikuti saja peta tersebut dan bersiap untuk menghadapi setiap risiko yang mungkin terjadi.
Seperti biasa, Pak Harso langsung mengeluarkan beberapa bungkus makanan untuk mereka santap dari dalam tas. Sedangkan Nabila akan meneguk air di botol yang ia bawa, lalu memberikannya kepada sang atasan untuk turut meminumnya.
Melihat anak buahnya yang kelelahan, Pak Harso memberikan porsi makanan yang cukup banyak untuk perempuan tersebut. Sebagai kompensasi agar perbekalan mereka tidak cepat habis, sang pria tua itu justru hanya mengambil sedikit untuk dirinya. Pak Harso bahkan tidak meminum terlalu banyak air, dan membiarkan Nabila menikmati sebagian besar air bersih di botol yang mereka bawa dari rumah tempat mereka menginap tadi malam.
"Kalau terpaksa, saya bisa minum air sungai saja," pikirnya.
Suasana tempat mereka beristirahat sebenarnya cukup romantis. Di hadapan mereka ada sebuah sungai dengan arus yang mengalir tidak terlalu deras. Apabila menghadap ke langit, mereka bisa melihat matahari yang mulai turun dari puncak. Terdengar jelas suara binatang-binatang hutan yang seperti bersahut-sahutan, menambah segar suasana di tempat tersebut.
"Tempatnya bagus ya, Pak," ujar Nabila tiba-tiba.
"Betul, Nabila. Kalau kita tidak sedang dalam kondisi seperti sekarang, berwisata ke tempat ini bersama keluarga dan teman sebenarnya merupakan pengalaman yang menyenangkan," jawab Pak Harso.
"Saya jadi ingat suami saya, sedang apa ya dia sekarang?" Ingatan Nabila tiba-tiba tertuju pada sosok pria yang ia cintai tersebut. "Istri Pak Harso juga pasti sedang sibuk mencari Bapak saat ini."
Pak Harso pun menghela nafas panjang. "Jadikan mereka sebagai penyemangat kita untuk bisa selamat dari tempat ini, Nabila. Namun, jangan jadikan mereka sebagai pemupus semangat. Karena tidak ada gunanya apabila kita sibuk mengingat mereka, tetapi justru tidak bisa selamat dari tempat ini," ujarnya.
Nabila pun mengangguk. Suasana hatinya kini memang sudah mulai tenang setelah peristiwa semalam. Hal ini berkat harapan tinggi di hatinya untuk bisa selamat kembali ke Indonesia, fakta bahwa mereka berdua belum bertemu dengan satu pun tentara Tukatu sampai saat ini, serta dorongan semangat dari Pak Harso yang tidak henti-hentinya ia rasakan. Atasannya tersebut seperti punya segudang cara untuk menjaga semangatnya untuk bertahan hidup agar tetap tinggi.
"Jadi, sampai kapan kita harus berjalan kaki menyusuri sungai ini, Pak?"
Pak Harso pun berpikir sejenak. "Sepertinya, hari sudah akan malam. Mungkin lebih baik kalau kita beristirahat saja dulu di daerah sini, sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi. Bagaimana menurutmu, Nabila?"
Perempuan cantik tersebut pun mengiyakan saran dari atasannya tersebut. "Boleh, Pak. Kebetulan kaki saya juga sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan, sepertinya lebih baik kita istirahat dulu."
Pak Harso sebenarnya juga sudah merasa lelah karena perjalanan sejak pagi tadi. Kakinya seperti akan terlepas apabila ia memaksakan diri untuk meneruskan berjalan. Namun, ia tentu gengsi mengakui hal tersebut di hadapan Nabila, khawatir menurunkan semangat sang Manajer Pemasaran di kantornya tersebut.
"Tapi di mana baiknya kita beristirahat malam ini, Pak? Saya masih takut akan bertemu dengan tentara Tukatu seperti tadi malam kalau kita bermalam di sembarang tempat," ujar Nabila.
Pak Harso berdiri dan mencoba melihat sekeliling tempat tersebut. Pandangannya pun terfokus pada sebuah pohon besar seperti beringin yang berada sekitar 50 meter dari sungai.
"Kalau di sana bagaimana Nabila?" Tanya Pak Harso sambil menunjuk ke arah pohon tersebut.
"Sepertinya tempat tersebut oke. Pohonnya cukup rindang, jadi semoga bisa melindungi kita apabila turun hujan nanti malam. Tapi semoga saja tetap cerah seperti ini ya Pak sampai pagi," jawab perempuan cantik berhijab itu.
"Iya, semoga saja ... Yuk, kita segera ke sana."
Setelah membereskan tas perbekalan mereka, Pak Harso pun langsung bergerak ke arah tempat yang ia tuju, diikuti oleh Nabila di belakangnya.
***
Di saat yang sama, terdengar desahan sepasang pria dan wanita yang saling bersahutan di dalam sebuah kamar di Resort Hostina. Terlihat seorang perempuan setengah baya yang masih mengenakan jilbab, tampak berdiri dengan posisi menungging menghadap ke jendela besar yang menghadap ke arah pantai. Ia tampak sudah tidak mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi payudaranya yang menggantung dan selangkangannya yang terbuka.
Di belakangnya, ada seorang pria berkulit hitam yang juga sudah telanjang tanpa busana. Pria tersebut tampak tengah menggesek-gesekkan kemaluannya yang besar dan belum disunat ke belahan vagina milik sang perempuan. Keduanya tampak telah sama-sama berkeringat, tanda bahwa ini bukan awal dari aktivitas seksual mereka hari ini.
"Aku masukin lagi ya Bu Suyati yang cantik, boleh?" Tanya sang pria tua berkulit hitam itu seperti menggoda lawan mainnya yang berkulit putih dan halus.
Bu Suyati yang sepertinya sudah begitu dimabuk birahi, hanya bisa menganggukkan kepala.
"Apa Bu, saya tidak dengar jawaban Ibu?"
"Boleh, Pak Jeremy."
"Boleh apa Bu?" Ujar pria bernama Jeremy tersebut sambil menggesekkan kemaluannya di selangkangan sang perempuan, sebelum menariknya kembali hingga menjauh, membuat Bu Suyati menjadi tidak tahan.
"Masukkan lagi penis Bapak ke vagina saya ... Ahhhhhh. Cepet, Paaaakkk."
"Ulang lagi Bu, karena ini namanya kontol, dan yang Ibu punya namanya memek. Ayo, Bu."
"Pleasseeeeee ... Masukin lagi kontol Pak Jeremy yang besar dan belum disunat ke memek saya, Ahhhhh."
Pak Jeremy pun tersenyum. Ia merasa telah berhasil menaklukkan seorang perempuan cantik yang sudah mempunyai suami tersebut hingga ketagihan kemaluannya yang berukuran jumbo. Entah sudah berapa kali pria asal daerah timur tersebut memuntahkan spermanya di kemaluan Bu Suyati.
"Baik, Bu. Nikmati neh kontol saya ... Nggghhhh."
Begitu penisnya masuk ke dalam vagina Bu Suyati, pria yang berprofesi sebagai hakim tersebut langsung menggenjotnya maju mundur dari belakang. Vagina hangat dan sempit yang menjadi sarang bagi penisnya sejak tadi malam tersebut kini kembali memberikannya kenikmatan. Posisi tubuh Bu Suyati yang sedang menungging, membuatnya bisa melihat dengan jelas pantatnya yang montok dan punggungnya yang mulus. Ia tampak begitu bangga bisa melihat perempuan yang selalu mengenakan jilbab saat keluar rumah tersebut kini takluk bagai anjing betina yang haus akan genjotan penis perkasa miliknya.
***
Di tempat lain, tepatnya di sebuah pantai yang berada sekitar lima kilometer dari Resort Hostina, tampak sebuah mobil Avanza berwarna hitam sedang terparkir. Mobil itu terlihat sendirian, tanpa adanya mobil atau motor lain yang juga terparkir di sana, karena pantai tersebut memang bukan objek wisata yang biasa dikunjungi oleh para turis. Yang lebih aneh, tidak tampak sedikut pun pergerakan berarti dari mobil tersebut.
Namun bila ada seseorang yang mendekati mobil itu, maka ia akan mendengar suara desahan seorang pria yang makin lama makin santer terdengar.
"Ngghh, terus Karina ... enak banget sepongan kamu," ujar seorang pria yang tengah duduk di kursi pengemudi. Sambil mengelus-elus kepala perempuan yang sedang melakukan blow job di pangkuannya, ia tampak memejamkan mata tanda tengah menikmati betul apa yang sedang ia rasakan.
"Sluuurrrppp ... Hmmmpphhh ... Slluuuuurrpphh ..."
Hanya terdengar bunyi kecipak liur yang beradu dengan batang kemaluan sang pria yang tidak terlalu panjang itu. Perempuan yang mengenakan baju terusan tersebut tampak begitu fokus mengisap-isap batang tersebut, lengkap dengan biji pelir di pangkalnya. Terkadang, suara pun muncul saat ia menghisap penis tersebut terlalu kuat.
"Enak Karina, ahhh ... sedot yang kencang sayang," ujar sang pria sambil menekan-nekan kepala perempuan tersebut ke selangkangannya.
"Udah mau keluar, Pak Rama?" Tanya perempuan cantik asal Indonesia timur bernama Karina itu di sela-sela aktivitasnya memberikan blow job kepada penis sang pria.
"Dikit lagi, Karina. Ayo emut yang kuat, nggghhhh .... Kamu pintar sekali bikin aku gak tahan."
Beberapa menit kemudian, tampak Rama sudah tidak bisa menahan gairahnya lagi. Pinggulnya sudah begitu tegang, dan dia pun mulai menjambak rambut hitam sang perempuan agar terus memperkuat isapannya.
Dan tak lama kemudian ... "Crooott ... crooottt ..."
Mulut Karina langsung dipenuhi cairan putih kental yang menyembur dari penis yang sedari tadi dia isap. Cairan yang keluar dalam beberapa gelombang tersebut langsung memenuhi rongga mulutnya, membuat sensasi yang khas baik dari sisi tekstur maupun aroma. Karina pun mencoba mengumpulkan seluruh cairan sperma tersebut agar tidak ada yang tertelan ke kerongkongannya. Begitu merasa gelombang birahi yang baru saja melanda Rama telah usai, Karina pun langsung melepaskan penis tersebut dari mulutnya.
Dengan segera, ia mengambil tisu dan membuka pintu mobil di sisi penumpang, untuk menumpahkan sperma yang tertampung di mulutnya aga semuanya keluar. Ia kemudian membersihkan mulutnya dengan tisu, agar tidak ada lagi bekas sperma yang tersisa.
Setelah itu, ia pun menutup pintu mobil dan langsung merebahkan diri di pundak Rama yang tampak masih ngos-ngosan setelah mengalami orgasme yang kesekian kali selama dirinya berada di daerah timur Indonesia tersebut.
"Terima kasih ya, Karina. Sepongan kamu emang tipe aku banget."
Karina hanya tersenyum mendengar apresiasi tersebut, dan membalasnya dengan mengelus-elus dada Rama yang masih tertutup kaos lengan pendek. Baginya, selama Rama mampu untuk menghidupi dirinya secara finansial, apa pun yang diminta oleh sang pria akan ia penuhi. Termasuk ketika hari ini, di mana Rama ingin mewujudkan fantasinya disepong oleh perempuan cantik itu saat berkendara di mobil. Sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan sang istri, Nabila, sampai kapan pun.
"Ada manfaatnya juga para turis-turis itu terjebak di Amanika," gumam Karina dalam hati.
***
Matahari telah hilang dari pandangan, dan semburat senja mulai menyeruak memenuhi cakrawala. Pak Harso melihat itu dari balik dedaunan milik pohon besar yang menaungi tempat dirinya dan Nabila akan beristirahat malam ini. Pria tersebut telah menggelar tikar berbahan kain yang ia ambil dari sebuah rumah di bukit Amanika tempat ia menginap semalam. Ukurannya yang tidak terlalu besar membuat tikar itu bisa dilipat sedemikian rupa dan dibawa dengan tas ransel tempat Pak Harso membawa perbekalan. Namun ketika digelar, tikar itu mungkin hanya cukup untuk menampung tiga orang dewasa yang berbaring terlentang.
"Sudah buang air kecilnya, Nabila?" Tanya Pak Harso saat melihat anak buahnya yang berparas manis itu berjalan mendekat dari arah sungai.
"Sudah, Pak," jawab Nabila sambil mengambil posisi untuk duduk di atas tikar. Pak Harso telah duduk di ujung tikar, dan perempuan tersebut pun sengaja duduk di ujung lain, menyisakan jarak sekitar satu meter antara keduanya.
"Sekarang sudah terbiasa ya kita untuk menunaikan hajat di alam terbuka? Hee."
"Iya, betul Pak. Awalnya memang sulit karena tidak nyaman. Tapi mau tidak mau harus dipaksakan, bukan?" Jawab Nabila sambil tersenyum manis ke arah Pak Harso.
Karena hari telah mulai gelap, suhu udara pun terasa menurun di tempat tersebut. Nabila mulai merasakannya, dan berusaha untuk menghangatkan diri dengan melipat tangan di depan buah dadanya yang montok, seperti memeluk dirinya sendiri. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Pak Harso.
"Oh, saya punya sesuatu untuk kamu, Nabila," ujar sang pria tua sambil mencari sesuatu dari tas perbekalan miliknya.
"Apa itu, Pak?" Tanya Nabila penasaran.
Pak Harso mengeluarkan secarik selimut dari dalam tas, lalu langsung menutupi tubuh indah Nabila dengannya. "Wah terima kasih banyak, Pak. Bapak tidak bawa satu lagi untuk Bapak? Atau kita mau bergantian pakai?"
"Tidak usah, Nabila. Kamu pakai saja sendiri. Pakaian saya masih cukup hangat kok," jawab Pak Harso, meski ia sebenarnya hanya mengenakan kaos tipis dan celana panjang berbahan jeans yang tidak hangat sama sekali. Dan Nabila pun tahu itu.
Selimut yang diberikan Pak Harso sebenarnya berbahan tidak terlalu tebal, sehingga bisa masuk di tas perbekalan apabila dilipat sedemikian rupa. Namun, setidaknya itu cukup untuk menahan terpaan udara dingin yang mungkin akan berhembus melewati tubuh Nabila di tengah hutan itu.
Dalam hati, ingin rasanya Pak Harso langsung bergabung dengan sang anak buah dan menghabiskan malam ini dengan memeluk tubuhnya yang hangat di balik selimut. Namun ia tahu bahwa perempuan cantik yang sudah mempunyai suami itu pasti akan menolak apabila ia melakukan hal tersebut.
"Makannya sudah cukup, Nabila?" Tanya Pak Harso lagi.
"Sudah, Pak. Terima kasih," ujar Nabila.
Pak Harso pun membereskan beberapa sisa makanan yang tergeletak di tikar tersebut, agar tidak mengganggu tempat istirahat mereka. Di saat yang sama, Nabila tampak sedang memasukkan sebuah pisang yang sudah dikupas ke dalam mulutnya, yang merupakan makanan terakhirnya malam itu. Buah tersebut berukuran cukup besar, sehingga perempuan berjilbab itu sempat kesulitan untuk memasukkannya ke dalam mulutnya yang mungil.
Meski pemandangan itu adalah sesuatu yang sederhana, tetapi Pak Harso tetap saja sampai harus menelan ludah karenanya. Ia jadi membayangkan hal yang tidak-tidak saat melihat pemandangan tersebut. Ia berimajinasi bahwa yang sedang dimasukkan ke dalam mulut oleh Nabila adalah kemaluannya yang kembali membesar menjelang malam hari ini.
"Enak banget pasti kalau kamu mau memasukkan penisku ke dalam mulut indahmu itu, Nabila, lalu memainkan ujungnya dengan lidahmu, dan mengisapnya kuat-kuat," pikir Pak Harso dalam hati. Namun, ia tentu tidak berani untuk mengucapkannya secara langsung di hadapan sang anak buah yang manis itu.
"Bawwpawwkk kewwnawwpaww liwwhawwt sawwyaww bewwgiwwtuww?" Tanya Nabila dengan nada bicara yang tidak jelas, karena ia memang masih mengunyah pisang yang baru ia telan.
"Apa Nabila? Saya kurang jelas."
Nabila pun berusaha menelan seluruh buah yang ada di rongga mulutnya terlebih dahulu, sebelum kembali bicara. "Bapak kenapa lihat saya begitu? Ada yang salah kah?" Tanya Nabila sambil memeriksa pakaian yang ia kenakan dan menyentuh kedua pipinya, khawatir ada noda makanan atau debu-debu yang menempel.
"Oh, tidak ada apa-apa, Nabila," ujar Pak Harso sambil tersenyum. "Saya hanya ..."
"Hanya apa, Pak Harso?" Ujar Nabila yang kini berbaring menghadap ke arahnya dengan tubuh yang tertutupi selimut. Pak Harso pun turut berbaring sambil menghadap sang perempuan, meski masih menyisakan jarak di antara tubuh mereka berdua.
"Saya hanya berpikir bagaimana kehidupan kita di rumah dan kantor, setelah kita selamat dari tempat ini. Pasti semuanya akan berbeda," Pak Harso akhirnya memutuskan untuk memberikan jawaban yang aman, dan menyimpan gairah birahi yang ia rasakan untuk dirinya sendiri saja. Setidaknya untuk saat ini.
Mendengar kata-kata Pak Harso, Nabila pun jadi berpikir tentang hal itu. Mereka berdua memang harus mempersiapkan diri akan apa pun yang mungkin terjadi begitu mereka sampai di Indonesia, mulai dari kemungkinan rekan kerja mereka ada yang tidak selamat, hingga fakta bahwa Nabila dan para perempuan lain yang ikut menginap di bukit Amanika telah mengalami pelecehan seksual dari tentara Tukatu yang membuat mereka trauma. Itu pun masih dengan catatan bahwa mereka berdua berhasil selamat, dan tidak kembali bertemu dengan tentara Tukatu yang ingin mencelakai mereka seperti kemarin.
Namun tiba-tiba Nabila malah tersenyum, yang membuat Pak Harso keheranan. "Mengapa kamu tersenyum, Nabila? Memangnya ada yang lucu?"
"Saya hanya bersyukur ketika kita terpisah satu sama lain, saya ditemani oleh dirimu Pak Harso, seseorang yang bisa saya percaya. Saya tidak tahu apa bisa memberikan kepercayaan yang sama apabila bersama dengan Tomi, Pak Doni, atau Pak Karjo," ujar Nabila sambil tersenyum.
"Memangnya mereka kenapa?"
"Ya, selama ini mereka kan terkenal tengil dan suka bercanda. Saya khawatir mereka akan bersikap kekanak-kanakan juga menghadapi masalah ini. Beda dengan pak Harso yang saya percaya bisa menghadapi ini dengan dewasa. Dan itu terbukti benar."
Kata-kata tersebut membuat Pak Harso terdiam. Di matanya, senyum Nabila saat itu merupakan senyum terindah yang pernah ia lihat seumur hidupnya.
"Dan juga ..."
"Dan juga apa, Nabila?" Tanya Pak Harso yang penasaran dengan kata-katanya yang terpotong.
"Dan juga saya tidak yakin mereka tidak akan memanfaatkan situasi untuk menyentuh tubuh saya," jawab Nabila malu-malu.
"Maksudnya bagaimana?"
"Sejak kemarin, sebenarnya banyak kesempatan bagi Bapak untuk menyentuh tubuh saya, kan? Termasuk saat tubuh saya digerayangi oleh tentara Tukatu bajingan itu. Namun Bapak tetap menghormati saya, dan tidak melakukan yang aneh-aneh. Bapak baru menyentuh tubuh saya begitu saya sendiri yang memintanya karena takut tidur sendirian. Saya tidak percaya hal yang sama akan terjadi apabila saya bersama pria lain," ujar Nabila. "Terima kasih ya, Pak."
Pipi Pak Harso pun menjadi bersemu mendengar kata-kata tersebut. Dalam hati, ia bersyukur Nabila tidak bisa membaca niat buruk yang sebenarnya sudah hinggap di kepalanya sejak mereka sampai di daerah timur Indonesia ini. Pria tersebut memang telah membayangkan bisa menyetubuhi Nabila sejak pesawat yang mereka tumpangi dari Jakarta mendarat.
Namun di sisi lain, Pak Harso juga kecewa mendengar kata-kata itu, karena artinya Nabila mungkin tidak ada keinginan sedikit pun untuk melakukan hal-hal berbau seksual dengan dirinya. Mungkin perempuan tersebut memang hanya ingin melakukannya dengan pria yang seusia dengannya, seperti sang suami.
"Saya masih ingat bagaimana perasaan saya sewaktu Pak Harso dipindahkan ke cabang multifinance kita saat ini. Jujur, waktu itu saya yang masih merupakan staf pemasaran biasa merasa khawatir Bapak akan melakukan perubahan drastis yang membuat saya tidak nyaman. Saya bahkan sempat berpikir untuk resign."
"Lho, kenapa begitu?" Tanya Pak Harso. "Memangnya muka saya nyeremin?"
"Hahaa ..." Nabila tampak tertawa renyah. Di bawah sinar bulan yang kebetulan sedang purnama, Pak Harso bisa melihat betapa indahnya kedua bibir sang perempuan berjilbab yang masih bisa menunjukkan wajah bahagia di tengah tragedi yang menimpa dirinya tersebut. "Bukan begitu. Namun saya adalah sosok yang kurang suka dengan perubahan, serta cenderung kurang percaya diri. Untungnya Bapak memanggil saya waktu itu ke ruangan dan menjelaskan visi misi Bapak untuk cabang kita, dan meyakinkan saya untuk mengejar tantangan, hingga saya akhirnya bisa menjadi Manajer Pemasaran seperti sekarang. Saya berutang itu semua pada Bapak."
Pak Harso tidak menyangka bahwa hal sederhana yang ia lakukan bertahun-tahun lalu, yang sebenarnya merupakan kewajiban dia sebagai seorang pimpinan untuk memberi semangat kepada bawahan, bisa menjadi momen penting untuk karyawati seperti Nabila yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama kali datang ke kantor cabang perusahaan multifinance itu.
"Saya selalu kagum bagaimana Bapak semasa menjabat sebagai pimpinan cabang tak hanya bisa menjadi sosok ayah, tetapi juga bisa sebagai teman yang selalu mendukung kami," ujar Nabila. "Bapak bahkan merupakan sosok pendamping yang sempurna."
Kalimat terakhir yang diucapkan Nabila menarik perhatian Pak Harso. "Hmm, apa maksud kamu kalau saya merupakan sosok pendamping yang sempurna?"
"Bagaimana ya menggambarkannya?" ujar Nabila yang seperti kebingungan untuk menjawab pertanyaan itu. "Mungkin contohnya adalah saya sering iri dengan Bu Suyati yang mendapatkan Bapak sebagai suami, ia pasti sangat beruntung mempunyai suami yang bisa memberikan nafkah lahir dan batin, mencurahkan perhatian, sekaligus memberikan pertolongan dengan penuh tanggung jawab."
"Memangnya suami kamu tidak begitu?"
"Suami saya mirip dengan lelaki lain di luar sana sepertinya, yang tidak sesempurna Bapak. Ia sering lupa hari-hari penting dalam perjalanan asmara kami berdua, serta cenderung lebih memilih untuk pergi bersama temannya dibanding dengan saya. Dan yang paling saya tidak suka, ia sering mengabaikan tanggung jawab dan berpikir semua masalah bisa selesai dengan kami berdua melakukan hubungan seks."
Nabila akhirnya mengeluarkan semua uneg-uneg tentang sang suami yang selama ini ia tahan dalam hati. Suasana malam yang sunyi dan kebersamaan dengan Pak Harso membuat dia menjadi nyaman untuk menceritakan kisah hidupnya yang tidak terlalu sempurna di hadapan sang atasan.
"Terima kasih ya Pak Harso sudah berkali-kali menyelamatkan hidup saya," ujar Nabila dengan mata yang berkaca-kaca. Apabila diteruskan, air mata yang deras pasti langsung akan membanjiri pipinya yang kemerahan.