Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TETANGGA PERKASA

"mas..beneran mau pulang?"
"iya, kasihan kalo tambak udangnya lama ditinggal"
"oh, gitu.."
"kalo udangnya mas kan masih ada kamu yg rawat.." Goda Amin
"iih..apaan sih..haha.." Asty tertawa dgn candaan Amin ditambah ia kini menggelitiki tubuhnya.

Di kamar, sepasang pejantan & betina itu saling berpelukan. Mengusir dinginnya suhu lereng semeru. Badannya terasa hangat, apalagi sore tadi bu Ratih kembali memberinya ramuan spesial teruntuk Asty menantunya.

"Mash...mm..."
"Ya, Asty..."

😂😂😂
 
Pertemuan
___________




Sementara dirumah Kyai Thoriq.

"Latifah bagaimana Pak...? ". Istri Kyai Thoriq jelas sekali kelihatan cemas. Hujan turun sangat deras seperti air ditumpahkan begitu saja dari langit, sedangkan Anak Perawan kesayangan belum juga pulang sedari mengantarkan makanan kerumah Zaid.

"Ya bagaimana lagi bu... Pasti sekarang Latifah berteduh menunggu hujan reda,... ". Kyai sepuh penuh kharisma itu menjawab tenang.

"Tapi.... ".

"Tapi apa Bu....?. Takut anak kita kenapa napa....? ".

"Ya jelas to... Berdua dengan laki laki didalam rumah, malam hari pula, hujan deras pula... ". Bu Hamidah istri Kyai Thoriq tak henti mengomel.

"La.. Emangnya Ibu gak suka sama Zaid...? ". Kyai Thoriq menjawab sambil tertawa kecil.

"Maksud Bapak....? ".

"Kalau terjadi apa apa.. Ya tinggal nikahkan aja... ". Ringan sekali ucapan Sang Kyai.

" Zaid anak baik, Latifah pun sudah cukup dewasa.". Sambung nya melihat Sang istri terdiam sambil mata menatap Kyai Thoriq tajam.

Bu Hamidah mwnghela nafas..

"Iya sih.. Semua ibu ibu yang punya anak gadis didesa ini sering membicarakan Zaid, memimpikan bisa menjadikan dia sebagai menantu. Tapi Ibu berharap, kalaupun Latifah datang jodoh, datanglah jodoh itu dengan cara baik baik Pak.. Bukan didahului maksiat... ". Bu Hamidah berkata panjang.

Kyai Thoriq tersenyum.

"Kita pasrah kan semuanya kepada yang Kuasa bu. Do'akan saja yang baik baik untuk anak kita Latifah dan juga Zaid.. ".

"Iya Pak... Cukup orang tua nya saja yang pernah tersesat... ". Bu Hamidah berucap sambil tersenyum kearah Kyai Thoriq suaminya.

Melihat itu Sang Kyai kemudian tertawa bergelak. Dia ingat semasa muda. Kyai Thoriq bukanlah seorang Kyai yang sudah Alim sejak kecil. Masa remaja Sang Kyai sempat abu abu kalau tak mau dsebut hitam.

Di usia belasan tahun sampai pertengahan dua puluhan, Thoriq muda sangat akrab dengan yang namanya alkohol, mabuk-mabukan dan tak pernah beribadah. Maklum, dari sejak tamat SD Kyai Thoriq sudah ditinggal kedua orang tuanya yang meninggal karena bencana alam Gunung meletus di tanah Jawa. Hingga Thoriq kecil dirawat oleh neneknya yang hidup sebatang kara. Tanpa pendidikan agama yang cukup karena kehidupan mereka yang sangat prihatin.

Sampai akhirnya Thoriq remaja bertemu dengan Kyai Maksum ketika Sang nenek meninggal,kemudian ikut Kyai Maksum ke sebuah kota besar di Lampung. Sang Kyai adalah sahabat nenek Zaid ketika dulu semasa muda. Dan Zaid akhirnya Bekerja sebagai pelayan di toko bangunan milik Sang Kyai.

Dasar Thoriq muda memang lemah dalam hal agama, dia malah kebablasan dan menghamili Hamidah putri Kyai Maksum. Beruntung Kyai Maksum adalah sosok yang sabar dan bijaksana. Setelah memutuskan menikahkan anaknya dengan Thoriq muda, Sang Kyai kemudian mengirim Thoriq ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Tepat setelah ijab qabul.

Sepuluh tahun Thoriq digembleng dipesantren itu, sampai akhirnya ketika keluar,Thoriq muda telah berubah menjadi seorang Kyai muda yang handal dan penuh ke ilmuan.

Kemudian oleh Kyai Maksum, Kyai Thoriq beserta Hamidah dan anaknya yang sudah berusia 9 tahun dikirim Ke Desa Rahayu untuk mengabdi, mencurahkan segala ilmu agama yang didapat selama sepuluh tahun di pesantren. Hingga sampai sekarang ini.

"Bapak sudah tau latar belakang Zaid...? ". Pertanyaan Bu Hamidah membuyarkan lamunan Kyai Thoriq dan kemudian Kyai tua itu menatap lembut ke wajah Sang istri.

"Bu.. Semua orang memiliki masa lalu, dan sebuah pernikahan adalah tentang masa depan, bukan masa lalu... ". Jawab Kyai Thoriq kemudian..

Sang Istri yang masih terlihat kecantikan nya di usia 50an itu kemudian tersenyum mendengar jawaban Sang suami.

"Terserah sampeyan lah... Ibu percaya sama Bapak.. ". Bu Hamidah tersenyum. Manis sekali.

Pembicaraan tentang pernikahan membuat Bu Hamidah sedikit berkeringat badannya. Wanita ini pun melangkah masuk kekamar utama tempat dia dan suaminya beristirahat dari segala kepenatan hidup, sambil berharap Sang Suami segera menyusul masuk.

Kyai Thoriq sangat paham tentang itu. Seulas senyum pun terukir diwajah tua yang teduh dan ramah itu,.. Sejenak Sang Kyai menatap jam dinding, dia tak mendengar suara Adzan Isya. Mungkin karena hujan yang sangat deras disertai petir yang menggelegar bersahutan membuat para warga memutuskan beribadah di rumah saja.

"Gak shalat Isya dulu, Bu... ". Kyai Thoriq melangkah ke belakang, mengambil Wudhu.

Dikamar, Bu Hamidah Tersentak, kemudian buru buru menyusul Sang Suami kebelakang..




_______________


Dirumah Zaid..

Hujan masih sama derasnya, belum ada harapan untuk reda. Jam kecil di meja menunjukan pukul setengah delapan malam.

Latifah duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di ruang depan rumah kecil itu. Dia hanya memakai sarung saja, tidak ada lagi pakaian lain yang melapisi tubuhnya. Sementara Zaid duduk di belakang meja, pura pura sibuk entah menulis apa, yang pasti Zaid sedang berusaha mati matian menahan gejolak nafsu birahi yang bangkit sedari tadi dan minta pelampiasan.

Sesekali mata Sang pria melirik Latifah. Dan setiap lirikan membuat sesuatu yang sudah tegang menjadi berkedut kencang.

Keadaan Sang Perawan yang hanya terbalut sarung dari bawah leher sampai lutut benar benar membuat Zaid mabuk. Sedangkan Latifah sendiri bukan tak menyadari kegelisahan Zaid. Suasana dalam rumah berlahan lahan berubah hangat, Latifah merasakan tengkuknya sedikit berkeringat.

Tadi Latifah berniat memakai jilbabnya, tapi jilbab lebar itu basah kuyup dan tak mungkin bisa dipakai. Sehingga rambut hitam lurus tebal sepinggang itu sekarang tergerai bebas tanpa penutup, juga leher putih jenjang yang dihiasi seuntai kalung emas membuat leher itu semakin menggairahkan. Liontin berbentuk bintang kecil jatuh tepat diantara gundukan dada. Warna sarung yang merah Maroon menambah kesan sensual, posisi duduk Latifah tanpa disengaja malah seperti gaya model kelas atas. Membuat Zaid berulang kali meneguk ludah.

Sungguh godaan maha berat melanda jiwa dan menguji kekuatan hati Sang pria muda. Ujian yang sebenarnya tidak perlu karena belum saatnya, mengingat Zaid hanyalah manusia biasa, tanpa bekal iman yang kokoh karena selama hidup tak pernah Zaid sekali saja masuk pesantren dan menekuni ilmu agama. Apa yang dia paham hanyalah pemahaman tentang agama pada umumnya.

"Dek... Kamu gak takut...? ". Bosan berdiam diri, Zaid akhirnya iseng bertanya tanpa menatap wajah Latifah.

Latifah tahu arah pertanyaan Sang pria, dan gadis ini tersenyum malu dengan dada bergemuruh.

"Gak lah Kang.. Kan ada kang Zaid.. ". Mendengar jawaban itu, Zaid tertawa kecil. Ingin sekali dia bangkit dan duduk disebelah Latifah tapi masih segan. Andai saja Latifah bukan anak seorang Kyai... Pikir Zaid dalam diam.

" Maksudnya,, kamu gak takut sama saya...? ".

" Kang Zaid orang baik.. Kenapa mesti takut... ". Jawab Latifah pelan.

Iya juga yah... Zaid tersenyum. Matanya kini menatap Latifah tajam. Sang Perawan yang tak sempat menyadari tatapan itu malah seperti sengaja memancing dengan mengibaskan rambut panjangnya kebelakang membuat leher putih itu semakin terlihat jelas.

"Latifah bikinin kopi ya Kang... ". Sang gadis buru buru melangkah kebelakang ketika menyadari Zaid seperti akan bangkit dari duduknya, membuat Sang pria muda kembali duduk dengan nafas dihembuskan pelan.

"Iya... ". Jawabnya...

Latifah sedang mencampur bubuk kopi dan gula ketika dia mendengar langkah kaki berlahan mendekat. Debar jantung Sang Perawan semakin bergemuruh kencang. Dan Latifah seperti akan pingsan ketika kedua bahunya yang tanpa lapisan apa apa disentuh lembut dari belakang.

Sang gadis ingin berteriak mencegah, tapi lidahnya kelu. Matanya terpejam ketika sentuhan itu turun ke lengan.

"Kang..... ". Hanya itu kalimat yang terucap.

Sebagai gadis beranjak mekar yang belum pernah sekalipun tersentuh tangan tangan nakal, sentuhan lembut dibahu dan lengan sudah membuat Sang Perawan panas dingin.

Apalagi semenjak melepas pakaian basahnya dan hanya mengenakan sarung saja, jiwa penasaran Latifah sudah tergelitik dari sejak tadi. Pikirannya melayang layang liar ketika tadi duduk di kursi, melihat Zaid yang gelisah dan seperti salah tingkah, bukan Latifah tak tau apa yang ada di fikiran lelaki muda itu.

Sebagai gadis menjelang dewasa, Latifah menyukai Zaid, itu juga yang membuat Sang gadis bersedia menggantikan adiknya Nurul mengantar makanan tadi, sekalian ingin melihat wajah Sang pria lebih dekat. Tapi kenyataan yang dia dapat malah lebih Dahsyat dari harapan.

Dalam diamnya, gairah Latifah sebenarnya telah terpancing. Hanya rasa malu dan pengalaman yang sama sekali tidak ada membuat Latifah memilih bungkam dalam dinginnya malam.


"Jangan Kang... ". Latifah mencoba mencegah ketika merasakan kedua telapak tangan menyentuh dadanya yang terbalut sarung. Tapi kecupan tipis dilehernya membungkam teriakan kecil nya.

"Aku suka kamu dek... ". Bisikan itu sangat membuai.. Latifah semakin dalam terlena. Tapi sebagai putri seorang Kyai terhormat, tak semudah itu Latifah hilang kesadaran.

" Kang.. Dosa... !! " Sentak Sang gadis ketika jari tangan itu hendak membuka simpul lilitan sarung didadanya.

Sang pria yang sedang dirasuki nafsu birahi sedikit tertegun dan menghentikan niatnya. Beberapa detik berlalu tanpa gerakan. Latifah mematung, Zaid tercenung.

"Dek... Maaf ya.. Tapi aku gak tahan... ". Zaid berbisik lagi dan tangan itu bergerak lagi.

" Sadar Kang... Sadar... ". Lirih Latifah tapi tubuhnya tanpa penolakan.

" Sedikit saja dek, sebentar saja. Aku janji gak akan ambil Perawan kamu.. Aku cuma.... ". Zaid tak meneruskan ucapan.

Latifah berbalik dan menatap mata Zaid dalam dalam.

"Kang Zaid janji.... ? ". Latifah yang menyukai Sang pria begitu mendengar perawannya tidak akan direnggut menjadi sedikit lega dan membiarkan dirinya berlahan semakin dalam ditenggelamkan gairah bercampur rasa penasaran.

Zaid mengangguk, kemudian tangan kokohnya meraih tubuh Latifah dan membopong Sang gadis menuju kamar. Kopi tak jadi dibuat, tapi kehangatan lain akan segera menjelang. Entah sanggup apa tidak Zaid bertahan dengan janjinya.

Menggeluti tubuh seksi putih mulus telanjang, apa bisa Sang batang kejantanan berdiam diri dan tidak ikut campur....?

Sarung yang dipakai Latifah dengan mudah disingkirkan. Sang Gadis melenguh ketika puting payudaranya dilumat untuk yang pertama kali. Bandan langsing itu melenting keatas, tak kuat rasanya Sang Perawan menahan kenikmatan birahi yang memabukkan.

"Kang.... Ohhh... ". Hanya suara itu yang terdengar. Lampu kamar sengaja dimatikan, sehingga Latifah tak merasa malu mengekspresikan kebangkitan nafsu mudanya. Wajah cantik itu seperti menahan sesuatu yang akan segera meledak. Sementara Zaid tak melewatkan sedikit pun bagian tubuh Sang Dara dari kecupan dan remasan belaian tangannya. Tanpa suara Sang pria terus menyelusuri kemulusan dan kehangatan tubuh Latifah. Menuntun Sang Perawan menikmati pengalaman pertama menikmati hangatnya cinta. Membuat Dara yang sedang tumbuh mekar itu semakin blingsatan, merintih dan menggeliat seperti seekor ular.

"Tubuhmu harum dek.. Aku semakin suka padamu... ". Bisik Zaid lembut sekali membuat Latifah semakin merinding dan melambung tinggi ke awang awang.

"Ingat janji mu Kang.... ". Latifah mengingatkan setengah hati karena bagian bawah tubuhnya justru menginginkan lebih.

"Latifah, ingat. Kau anak Kyai... ". Hati kecil Sang Dara mengingatkan membuat Latifah sedikit tertegun. Timbul niatnya untuk menghentikan semua ini sebelum terlanjur.

Tapi sentuhan jari dibibir kewanitaan nya membuat Latifah terlonjak seperti tersengat listrik. Tubuh seksinya menegang kaku dengan kepala terdongak dan mulut menganga.

"Uhhhhhhhhh... " . Sang gadis seperti orang kesurupan. Sepasang matanya membeliak besar, melotot menahan rangsangan di bagian bawah tubuhnya itu.

Tak cukup hanya jari, kini bibir Zaid yang bermain di lobang Perawan yang harum semerbak beraroma mawar itu. Dilumat, dijilat, dan digigit gigit kecil sesuatu yang menonjol kecil diatas lobang, sedikit tersembunyi dibalik lipatan. Membuat Latifah semakin jauh terbenam di kedalaman lumpur nafsu. Lupa segalanya, lupa tentang siapa dia, apalagi tentang segala macam norma.

Bahkan Latifah lupa tentang janji Sang pria yang katanya tak akan mengambil Perawan nya. Pinggulnya kini terangkat angkat, seperti mengundang untuk di masuki oleh batang kejantanan Zaid yang masih terbungkus celana kolor hitam bermerek Adid*s...

Sementara berjarak sekitar 350 meter dari rumah Zaid yang panas membara, di sebuah kamar terlihat juga sepasang manusia yang sudah cukup berumur sedang berpacu menapaki jalur kenikmatan. Kyai Thoriq dan istrinya Bu Hamidah masih punya tenaga yang cukup untuk menikmati kehangatan cinta dibawah Derasnya hujan yang mengguyur tanpa ada tanda tanda untuk berhenti. Mereka berpacu santai, tidak grasa grusu. Seperti sama sama menghemat tenaga supaya bisa sampai di puncak. Senyum Bu Hamidah yang manis tak berhenti terkembang diwajah nya yang masih cantik. Seiring ayunan mantap tapi berlahan pinggul Sang Suami.

Mereka seperti sedang bertamasya dilereng lereng birahi yang tentu saja memang syah untuk mereka nikmati. Tak ada campur tangan setan sama sekali. Berbeda dengan apa yang sedang terjadi dirumah Zaid yang kecil.

Puluhan Setan hitam bertanduk merah menyala merubungi kedua tubuh yang semakin lama semakin basah berkeringat. Kaki jenjang Latifah berulang kali seperti mencoba mendorong pinggang celana kolor Zaid yang masih terikat dipinggang.

Seandainya setan bisa menyentuh tubuh manusia, tentunya sudah dari tadi puluhan setan itu meloloskan celana Zaid dan mendorong pinggul Sang Pria supaya perzinahan itu lekas terjadi dan mereka bisa tertawa puas kemudian melaporkan kesuksesan mereka kepada Sang Raja Iblis.

Puluhan setan itu benar benar gregetan dan gemas melihat Zaid masih berusaha bertahan untuk tidak menjebol Perawan Latifah meski nafsu nya sendiri sudah sampai bahkan melewati ubun ubun.

Kedua payudara Latifah sudah memerah. Sayang lampu dipadamkan, jadi Zaid tidak bisa melihat perubahan warna itu. Kedua puting sudah mengeras dari tadi, Latifah benar benar telah siap disetubuhi. Tapi Zaid masih bertele tele dibawah sana. Menjilati dan melumat tanpa henti, membuat Sang Gadis semakin tak sabaran untuk merasakan apa yang bisa dirasakan selanjutnya.

Kedua kaki Latifah mengangkang selebar yang bisa dia kangkangkan, bibirnya tak henti mendesis, dengan sesekali menyebut nama Zaid, pria yang sedang sibuk di sela sela pahanya, pria yang diam diam dicintai nya, cinta yang pertama kali membuncah didada Sang Gadis Perawan.

Latifah tak tahu, dibawah sana, sembari menjilat dan melumat kesana kemari, Zaid sebenarnya sedang berperang dengan akal sehatnya sendiri. Perang yang berkecamuk dahsyat didalam bathin. Antara pasukan kebaikan dengan pasukan kejahatan. Sangat Dahsyat Perang itu, sampai Zaid sama sekali tak sanggup membuka mata. Dia takut jika mata nya terbuka dan menatap tubuh telanjang Latifah dalam gelap yang remang remang, pasukan kejahatan akan mendapat kekuatan tambahan dan menghancurkan pasukan baik baik yang mengusung bendera akal sehat dan kesadaran nya.

Sesaat pertahanan Zaid seperti akan jebol, ditandai dengan gerakan tangan Sang pria yang membuka kolor dan celana dalamnya dengan cepat, kemudian memposisikan tubuhnya diantara kedua paha yang mengangkang lebar.

Kepala kejantanan Zaid sudah menyentuh bibir kewanitaan Latifah yang seperti belum berlubang saking rapatnya. Sentuhan itu membuat Sang Perawan bergetar tubuhnya, ada setitik air mata yang merembes membasahi bulu mata yang lentik, tapi Latifah tahu, air mata itu tak akan mampu meredam gejolak nafsu. Dan gadis cantik itu mengangkat pinggulnya menyambut kehadiran batang perkasa yang sebentar lagi akan membuat dia merasakan betapa nikmatnya surga dunia.

Detik demi detik berlalu sangat lambat sekali. Latifah menahan nafas dalam ketegangan, dadanya bergemuruh mengalahkan gemuruh suara air hujan yang jatuh menghantam atap rumah . Bahkan para setan pun ikut menahan nafas..

Tapi sebelum ajal berpantang mati, rejeki Ayam tak akan dimakan Musang. Ketika kepala bulat macam jamur itu mulai masuk menyeruak dan bau bau segel Perawan telah tercium semakin dekat, tiba tiba kilat besar menyambar disertai petir maha dahsyat menghantam pohon besar di samping rumah.

Kumpulan setan yang mengerubungi hilang lenyap entah kemana, Zaid terpaku dengan batang yang seketika menciut kecil, Latifah bangun dari kasur sembari mulutnya mengucap istighfar..

"Kang...? ". Latifah memanggil Zaid yang masih mematung diposisi semula.

" Dek... Ma... Maafkan aku ya... ". Sang pria terbata
bata.

Latifah kemudian bangkit menekan saklar lampu dan memakai kembali sarung yang tadi dilempar Zaid dipojok kamar.

"Tak apa Kang.. ". Sang gadis tersenyum lembut memandang wajah Zaid yang pucat.

" Latifah sempat juga terpancing, tapi untung Yang Maha Kuasa mencegah.. ".

Zaid lantas tersenyum malu mendengar kata kata Latifah barusan.

"Jangan diulangi ya Kang... ". Latifah melanjutkan lagi dengan senyum manis yang masih terkembang.

" Sekarang kita ngopi dulu, biar otak fresh lagi... ".
Sang gadis yang hampir saja jebol perawannya itu kemudian menuju dapur dan melanjutkan membuat dua gelas kopi.

Zaid masih tertegun dengan apa yang baru saja terjadi. Lidahnya masih kelu, kepala berdenyut sakit karena nafsu yang sedang tinggi tingginya tiba tiba musnah mendadak.




_______________



Seminggu kemudian..

Asty dengan dada berdegup kencang melangkah berlahan memasuki halaman rumah yang telah cukup lama ditinggal merantau. Suasana rumah yang sepi sore itu membuat hatinya bertanya tanya. Kemana para penghuni rumah....?.

Setibanya mobil bus yang ditumpangi Asty dan Amin kembali ke tanah Sumatera, Asty memutuskan naik ojek dari pangkalan Bus pulang ke Desa nya. Jarak sekitar 10 kilometer hanya ditempuh selama 15 menit. Sementara Amin langsung pulang ke tambak tanpa mampir terlebih dahulu. Dia menumpang speed boat yang kebetulan masih ada satu yang belum berangkat sore itu. Jika saja ketinggalan, maka mau tidak mau Amin harus menunggu besok pagi.

Rumah itu lengang. Mungkin kedua orang tuanya berada dirumah tetangga, pikir Asty. Anak anaknya...?

Bergegas Asty menuju kerumah Paman Peno yang tak jauh dari rumahnya. Rumah Narti yang dia pasrahkan untuk mengasuh kedua anaknya pun bersebelahan dengan rumah pamannya itu.

"Eh... Sudah pulang kamu...? ". Narti yang melihat kemunculan Asty berteriak dan berlari kecil menyongsong. Sejenak mereka berpelukan melepas kangen.

"Anakku mana Ti....? ". Asty bertanya tak sabaran melihat dirumah inipun tidak terlihat kedua anaknya.

"Lagi ngaji di Masjid... ". Jawab Narti singkat.

"Ngaji....? ".

"Iya... Ada guru ngaji baru didesa kita. Hampir semua anak anak sekitar Masjid belajar ngaji disitu". Jelas Narti. Asty cuma melongo mendengar nya.

"Orangnya ganteng... ". Narti terkikik geli ketika jari tangan Asty mencubit pinggangnya pelan.

"Ngajinya habis maghrib, tapi sebelum manghrib anak anak sudah pada ke Masjid, sekalian shalat maghrib.. " . Lanjutnya lagi.

"Ooh... Ya udah, Ti. Aku pulang dulu... ".

"Iya. Nanti malam aku kerumahmu, bawa oleh oleh kan....? ".

"Ada dong..... ". Sahut Asty tertawa yang langsung saja membuat Narti ikut tertawa.

Tas koper besar yang tadi dibawa masih tersandar didinding karena tadi Asty belum sempat masuk ke rumah...


" Assalamu'alaikum.... ". Asty sengaja mengucap salam karena dia mendengar ada suara bercakap cakap dari dalam rumah. Berarti kedua orang tuanya tidaklah kemana mana. Mungkin tadi mereka berdua berada teras belakang. Tempat yang memang menjadi favorit untuk bersantai.

"Waalaikum salam... ".. Pintu yang tertutup berlahan membuka. Seraut wajah tua yang terlihat damai muncul dari balik pintu kayu itu.

"Kamu pulang, Nak...? ". Bu Utari tak mampu menyembunyikan kegembiraan nya. Senyum lebar terkembang dibibir yang keriput, tangan tua itu menggapai kedepan, ingin merangkul putri bungsunya yang sangat di sayangi.

Melihat itu, ada desir di dada Sang Putri Bungsu. Matanya mulai berkaca kaca.

Dengan segera Asty maju kedepan dan memeluk Sang Ibunda tercinta.

"Maafkan Asty, Bu.. Asty pulang tak memberi kabar... ". Asty berucap sembari terisak.

"Tak apa Nak, yang penting kamu baik baik saja.. ". Balas Bu Utari dengan kedua tangan merangkul erat tubuh Sang Anak.

Pak Dahlan dengan wajah sedikit bingung kemudian duduk di kursi plastik hijau diruang tamu. Orang tua ini jelas bingung. Anaknya pergi berkerja, tapi baru sebulan kok sudah pulang. Menangis pula....

Tapi sebagai orang tua dia coba bersikap bijak dan menunggu penjelasan Asty tanpa harus banyak bertanya.

"Masuk dulu Nduk.. Mandi.. Kamu pasti lelah... ". Pak Dahlan kemudian berkata berlahan melihat Ibu dan Anak masih saja bertangisan didepan pintu sembari berangkulan erat.

"Iya Pak.. ". Asty menyahut takzim dan melangkah mendekati Sang Bapak kemudian mencium tangan yang sudah kurus keriput itu.

"Kamu pulang sendiri..? ".

"Sama teman Pak, tapi dia langsung pulang kerumahnya... ".

"Oh.... Siapa..? ". Pak Dahlan tak bisa untuk tidak bertanya. Asty sejenak diam tak menjawab.

"Sudah Pak.. Biar Asty mandi dulu. Nanti saja bertanya nya... ". Bu Utari dengan cepat bisa menangkap kecanggungan Sang Anak.

"Ya sudah... Mandi dulu sana... ".

Asty cuma mengangguk berlahan dan meraih koper kemudian melangkah masuk kedalam rumah. Bu Utari melirik suaminya yang kebetulan sedang memandangnya kemudian kepalanya menggeleng pelan memberi isyarat pada Pak Dahlan untuk menahan diri.

Pak Dahlan, lelaki tua berusia hampir delapan puluh tahun itu menghembuskan nafas seperti ingin melepas rasa sesak didalam dada. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan Sang Anak. Entah apa.....?.

Apakah berkaitan dengan Pria muda bernama Amin yang beberapa kali bermalam dirumah ini..?. Pak Dahlan hanya bisa menebak nebak. Tapi naluri tua nya bisa mencium gelagat yang aneh antara puterinya Asty dengan pria bernama Amin itu.

Sekilas Pak Dahlan teringat sosok anak kedua nya yang bernama Ambar. Orang tua itu berfikir seandainya saja Ambar ada disini, pasti putrinya yang satu itu bisa menjaga dan membimbing adiknya Asty supaya tidak melenceng jalan hidup nya.

Mutiara Ambarwati, Anak kedua Pak Dahlan adalah sosok wanita yang pemberani, tegas dan berwibawa. Dirumah ini tidak ada yang berani membantah apapun keputusan yang diambil oleh Ambar, semuanya menurut. Tak terkecuali Ardi putra pertama Pak Dahlan.

Sayangnya setelah menikah, Ambar memutuskan untuk ikut suaminya ke Jambi dan menetap disana, hingga Saat ini.

Kemudian Anin,anaknya nomor tiga malah terlibat konflik yang cukup rumit dengan Asty terkait pernikahan Sang Adik dengan Deni. Sehingga Anindita Prameswari, nama lengkapnya, memutuskan untuk mengalah dan pergi dari rumah. Semua demi kebahagiaan Sang adik, Asty Pramudita.




_________________



Selepas Isya, ada sedikit kegaduhan didepan rumah Pak Dahlan. Terdengar suara tangis anak kecil yang tersedu sedu menyayat hati. Mendengar itu Bu Utari langsung saja berjalan cepat kedepan membuka pintu.

"Nak Zaid... Ada apa dengan cucuku..? ". Bu Utari kemudian mendekati Zaid yang sedang menggendong Sang cucu yang masih saja terisak.

"Biasa Bu.. Berantem sama temannya.. ". Zaid menjawab sambil tertawa kecil.

" Wildan yang nakal kok mbah... ". Jihan yang berdiri dibelakang Zaid menyela. Membuat bocah 4 tahun dalam gendongan Zaid berhenti menangis dan menbalas kata kata Sang Kakak.

" Enggak kok... Idan gak salah... Ya Om...? ". Sang bocah menatap wajah guru ngajinya seperti minta pembelaan. Tatapan mata yang sangat memelas coba dia keluarkan untuk merayu Sang Guru ngaji. Melihat itu Zaid tertawa tergelak gelak..

Tapi sejenak kemudian tawa itu terhenti tiba tiba ketika sepasang mata Zaid melihat sesosok wanita muda keluar dari rumah. Wajah Sang pria seperti tercekat, tapi ekspresi yang kaku menutupi perubahan air muka itu.

"Eh... Ibu pulang... Horeeee...!! ". Jihan berteriak kencang dan berlari menyongsong langkah Sang Ibu. Asty menyambut Jihan dengan pelukan erat, berulang kali dia mencium wajah Sang Putri tercinta. Kedua tangan nya mengelus elus kepala anaknya yang terbungkus jilbab merah jambu. Manis sekali wajah Jihan dalam balutan jilbab itu.

Sementara Wildan terpaku dalam gendongan. Mata polosnya menatap Ibunya dengan tatapan penuh rindu, tapi seperti enggan untuk turun dari gendongan Zaid Sang Guru.

"Ayo masuk dulu... ". Asty tersenyum pada pria yang menggendong anaknya kemudian meraih Wildan dari gendongan Zaid. Lantas mengulurkan tangan pada pria itu sembari menyebutkan namanya..

" Maaf, saya Asty, Ibu nya anak anak ini... ".

" Oh.. Eh... Iya.. Iya.. Saya Zaid.. ". Sedikit tergagap Zaid kemudian menyambut uluran tangan Asty.

Sang Pria seperti canggung dan salah tingkah membuat Asty tersenyum lebar.

"Ayo.. Ngopi ngopi dulu... ". Tawarnya pada Zaid sambil mendahului melangkah masuk kerumah.

Zaid terlihat ragu, tapi melihat Pak Dahlan memberi isyarat dengan lambaian tangan membuat dia kemudian mengikuti masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu.

Tak ada seorangpun di rumah itu yang tau, dada Sang Guru ngaji berdebar kencang, berkecamuk hebat dalam diam. Matanya berkaca kaca seperti menahan beban yang teramat Sangat berat.



Bersambung....
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd