Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TETANGGA PERKASA

Dilema
-----------




Asty keluar dari ruang dapur dan melangkah ke ruang tamu membawa segelas kopi hitam. Zaid tampak tersenyum, sepertinya dia sudah bisa menguasai diri.

Setelah meletakkan gelas di meja dan sekali lagi menawarkan kepada Pria muda berwajah kaku dan pucat di depannya, Asty kemudian duduk di kursi seberang meja.

"Maaf kalo tadi anak saya merepotkan.. ". Ucapnya memecah keheningan.

" Tak apa apa. Saya suka anak kecil kok... ". Zaid tertawa kecil setelah berucap begitu. Ruang tamu yang tak seberapa besar itu Lantas kembali hening.

Zaid meraih gelas kopi, menghirup sedikit karena masih lumayan panas, kemudian kembali berucap.

" Maaf, suaminya kemana ya...? Kok gak kelihatan.".

"Eh,.. Anu... Hehehe... ". Asty tersipu karena kaget dengan pertanyaan Zaid. Dia sedang melamun ketika Pria itu bertanya.

"Bapaknya Wildan dipenjara... ". Lanjutnya kemudian dengan nada sedih..

"Dimana...? ".

"Tadinya di Lapas kabupaten, tapi kemarin sebelum pulang saya sempat mampir, kata petugas Lapas suami saya sudah dipindahkan ke Nusakambangan.. ". Asty seperti mengeluh ketika mengatakan itu.

" Oh... Memangnya kena berapa tahun... ? ". Zaid kelihatan sangat ingin tahu.

" Tadinya cuma dua tahun. Tapi kata petugas Lapas, Mas Deni terlibat keributan sesama napi, dan dua orang napi meninggal karenanya, jadi hukuman Mas Deni ditambah jadi lima belas tahun. ". Jelas Asty panjang lebar.

Zaid terdiam... Teryata begitu ceritanya.

Asty sebenarnya sedikit heran dengan penampilan Zaid yang baru pertama kali ini dilihatnya. Wajah Zaid terlihat seperti ada yang aneh. Tapi tidak yakin bagian mana yang aneh menurutnya.

Entah kenapa, gaya bicara dan gerak gerik Zaid seperti tidak asing buat Asty. Seperti Asty sudah mengenalnya cukup lama. Atau mungkin sikap Zaid yang kalem dan penuh sopan santun lah yang membuat Asty merasa cepat akrab dan tidak risih meski baru beberapa menit yang lalu saling mengenal.

Rambut gondrong sebahu, Alis tebal, kumis dan brewok yang panjang tapi rapih dan terawat, dan juga jenggot yang tumbuh subur sebenarnya cukup menghadirkan kesan seram diwajah Zaid. Tapi sinar matanya yang hangat dan lembut, serta bibirnya yang selalu tersenyum membuat wajah sangar itu tetap sedap dipandang dan menyenangkan.

Tapi kenapa kulit wajah itu putih pucat...?. Asty jadi bertanya tanya dalam hati sambil terus saja menatap Zaid membuat Pria Muda Guru ngaji itu sedikit malu dan salah tingkah.

"Oh ya.. Sudah berapa lama Bapaknya Wildan dipenjara...? ". Zaid mencoba mengalihkan perhatian.

"Belum ada setahun .. ". Asty menjawab sambil mengalihkan pandangan keluar rumah yang gelap. Dia sadar Pria didepannya itu tak suka diperhatikan.

Sementara Zaid merutuk dalam hati. Dipindahkan ke Nusakambangan, gara gara bunuh sesama napi... Hebat betul...

" Sialan..... ". Zaid memaki tanpa suara.



________________



Pagi menjelang siang.. Embun yang menempel di dedaunan belum sepenuhnya tersapu panas Mentari. Disebuah dermaga tua, seorang pria gondrong rapih tengah berdiri tegak menatap lebarnya sungai. Sesekali Pria itu menghisap sebatang rokok dan kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Pandang matanya di edarkan ke segala penjuru. Terkadang dia menunduk seperti sedang mengamati sesuatu.

Pria itu adalah Zaid. Latifah yang menunjukkan tempat ini pagi tadi. Semalam tanpa sengaja Zaid berjalan kaki sampai kesini, tapi dia tidak sempat memperhatikan keadaan dermaga tua ini secara lebih teliti karena semalam pukul dua dinihari dia hanya penasaran dan membuntuti sebuah motor yang keluar dari rumah Pak Wijoyo saat Zaid sedang mengendap endap dibalik pagar belakang rumah.

Berjalan kaki membuntuti sebuah motor yang dipacu kencang tentu saja membuat Zaid ketinggalan jauh. Sehingga belum sampai pertengahan jalan, motor yang dibuntuti sudah berbalik arah kembali lagi. Hampir saja Zaid ketahuan kalau saja tidak ada gerombolan pohon pisang tumbuh di pinggir jalan. Dengan bersembunyi dibalik gerombolan pohon pisang itu, Zaid hanya bisa melihat sang pengendara motor adalah seorang pemuda bertubuh kekar dengan membawa sekotak kardus kecil yang rapat di lakban.

Menuntaskan rasa penasaran, Zaid memutuskan terus saja berjalan kaki kearah yang awalnya dituju oleh sepeda motor, hingga akhirnya Zaid sampai ke sebuah dermaga tua setengah jam kemudian.

Pukul 3 dinihari, keadaan gelap pekat. Di dermaga itu Zaid tidak menemukan petunjuk apa apa, hanya bekas jejak telapak kaki di hamparan lumpur diatas dek dermaga yang selalu terendam air jika pasang besar. Dengan cahaya lampu hape, Zaid cukup bisa untuk yakin jika jejak itu belumlah lama. Jejak dua orang dan mungkin lebih, serta bekas ban motor yang juga terlihat jelas.

Hingga akhirnya pagi ini ditemani Latifah pria muda berambut gondrong tersisir rapih tidak awut awutan dan brewokan tipis itu kembali lagi ke dermaga tua dengan mengendarai sepeda motor milik Sang Gadis.

Setengah jam berlalu, Zaid hanya berdiri tegak mengawasi sekitar dermaga, sementara Latifah menunggu dibawah pohon Akasia besar dan membuat api unggun kecil sekedar untuk mengusir nyamuk.

Mata Sang pria mengamati aktifitas di dermaga kecil tempat ponton penyeberangan motor dari areal pertambakan ke desa di pesisir sungai. Jarak yang cukup jauh sekitar satu kilometer membuat apa yang diperhatikan oleh Zaid terlihat tidak begitu jelas.

"Gimana Kang...? ". Latifah bertanya ketika Zaid berjalan menghampiri kemudian duduk disebelah Sang Gadis, di sebuah batu besar dengan permukaan yang cukup datar.

"Seperti nya ada kesibukan disini tadi malam... ". Zaid berkata hampir seperti bergumam.

Latifah yang cukup cerdas dan sedikit banyak bisa menduga duga siapa sebenarnya Zaid dan apa tujuannya datang ke Desa Rahayu merasa sedikit tegang. Dadanya berdebar menunggu ucapan Zaid selanjutnya. Tapi sang Pria hanya diam seperti sedang tenggelam dalam lamunan. Dan Latifah tak akan berani mengganggu. Dia hanya menunggu..

Sesekali matanya melirik, memperhatikan wajah Pria yang diam diam disukainya, satu satunya Pria yang pernah melihat tubuh telanjangnya, setidaknya sampai hari ini.

Wajah yang aneh.. Bathin Latifah berkata. Raut wajah itu kaku, pucat seperti tak berdarah.. Ini benar wajah manusia atau bukan....?. Kadang kadang timbul tanya dihati gadis itu.

Secara umum wajah Zaid terlihat sangat menarik. Tampan, dewasa dan tenang penuh Kharisma. Tapi warna kulit wajah yang pucat dan ekspresi yang selalu datar memunculkan keanehan tersendiri bagi Latifah. Seperti robot.....?.

Tangan kanan Zaid merengkuh pundak Sang Gadis yang diam termangu. Dia tahu sedari tadi Latifah terus saja memperhatikan wajahnya.

"Jangan pandangi lama lama.. Nanti jatuh cinta.. ". Canda Si Pemuda membuat wajah Latifah merona.

"Siapa yang mandangin...?. Ge er... ". Latifah berkilah dengan senyum dikulum.

Bahagia sekali Latifah pagi ini. Duduk berdua dengan lelaki yang dicintai, sambil memandang air sungai yang mengalir deras dan bergelombang. Deretan pohon nipah jauh di seberang sana menambah kesyahduan suasana.

Ingin sekali Latifah menyandarkan tubuh didada bidang Sang Pujaan hati, tapi dia malu, malu sekali untuk memulai.

Zaid dengan segala pengalaman hidupnya sebenarnya bisa membaca isi hati Latifah, tapi dia sengaja tidak mau terlalu mengikuti hawa nafsu, karena keberadaan nya di desa ini demi mengemban tugas penting, dia tak ingin rencananya berantakan karena urusan wanita.

Tidak ada yang tahu betapa sebenarnya hati Zaid saat ini tengah dilamun resah dan gundah gulana. Fikiran di otaknya tidak bisa fokus, bayangan wajah seorang wanita selalu hadir mengikuti kemana dan apa saja aktifitas nya. Bayangan raut wajah Asty,
Ibu Wildan dan Jihan, murid mengajinya...



_________________




Tiga hari di tambak sepulangnya dari lereng Semeru, Amin sudah gelisah. Kerinduan pada sang kekasih hati detik demi detik semakin membuncah. Sepanjang malam hanya Asty dan Asty yang bermain di alam fikirannya.

Halaman depan rumah yang sudah ditumbuhi rumput rumput liar setinggi betis belum sempat dia babat. Ditinggal selama kurang lebih satu bulan membuat sekitar rumah nyaris dipenuhi rumput dimana mana. Beberapa bunga di dalam pot yang berjejer di teras depan seperti layu tak pernah tersiram air.

Tarjo tetangga tambak hanya dimintai tolong untuk memberi makan udang, bukan mengurusi rumah. Jadilah rumah yang memang disekitar nya ditumbuhi banyak pohon itu menjadi seperti rumah ditengah hutan belantara.

Tapi Amin belum perduli. Benaknya belum tenang semenjak terpisah dari Asty. Meski baru tiga hari. Setiap saat seperti tak mampu dia lewatkan tanpa membayangkan wajah Sang Wanita Pujaan.

Ingin sekali Amin menelpon, tapi rasa malu menyergap. Apa kata Asty nanti, wanita mungil cantik jelita dan harum mewangi seperti bunga melati itu pasti akan meledeknya habis habisan.

Amin ingin Wanitanya lah yang menelpon duluan. Tapi tiga hari ini jangankan menelpon, bahkan SMS pun tak ada. WA milik Asty pun tak pernah terlihat Online.

Ya... Sebelum pulang kemarin, Amin memang membelikan Asty sebuah hape. Meski bukan hape mahal, tapi sudah cukup keren dan pantas digenggam oleh Ibu Ibu muda seperti Asty.

Tentu saja Asty senang bukan kepalang bisa memiliki hape lagi setelah hape lamanya hancur akibat perkelahian suaminya Deni melawan Jarot dan Alek tempo hari. Hape berwarna biru yang belum lama dibelikan Deni, harus hancur terinjak kaki.



__________________




Dua jam lebih Zaid dan Latifah berada di dermaga. Menjelang tengah hari kedua insan berlainan jenis itu akhirnya beranjak pergi menaiki motor merah muda milik Latifah.

Ditengah perjalanan, diantara rimbunnya batang pohon pisang dipinggir jalan tanah yang mereka lalui, Zaid dikejutkan oleh munculnya lima sosok pria menghalangi laju motor yang dia kendarai. Suasana jalan setapak yang sepi karena sawah sawah disekitar wilayah itu sudah melewati masa panen dan belum dimulai aktifitas penanaman kembali, membuat Latifah yang duduk di belakang motor sedikit ketakutan.

Gadis itu turun ketika motor berhenti, sementara Zaid masih tampak berusaha tenang diatas motor.

"Maaf, ada apa ya....? ". Melihat orang orang yang menghadang jalan hanya diam dengan wajah disangar sangarkan, Zaid mendahului bertanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Zaid, kelima pria itu malah senyum senyum genit pada Latifah.

"Habis dari mana Adek cantik..?. Pacaran ya...? ". Salah satu pria pencegat bertanya pada Latifah disusul suara gelak tawa kelimanya.

" Mending pacaran sama saya Dek... Ketimbang sama cowok jelek muka pucat itu... ". Sahut yang lain setelah suara tawa mereda.

Latifah risih, dan Zaid resah. Sementara kelima Pria itu semakin rapat Mengerubungi. Bahkan salah satu dari mereka mulai berani mencolek pinggang Sang Gadis yang tentu saja langsung terpekik sambil mundur menjauh. Tapi pohon pisang yang tumbuh bergerombol di belakang menghalangi niat mundurnya.

"Jangan ganggu dia.. Katakan, apa mau kalian...!!". Zaid berdiri melindungi Latifah.

Salah satu pria kemudian melangkah pelan mendekati Zaid, jari telunjuknya menuding tepat di depan hidung Sang Pria gondrong muka pucat.

"Kamu.... !!.. Dengar baik baik. Aku tidak akan bertanya apa tujuan mu datang ke desa ini, tapi aku cuma punya satu pesan. Jangan cari gara gara, kalau tidak mau mampus.. !!. ". Ucap sang pria pencegat itu dengan lantang dan telunjuk masih menuding sangat tidak sopan.

"Maksudnya apa... ". Zaid masih coba Bertanya meskipun dihati sudah bisa menebak arah pembicaraan lawan.

"Jangan pura pura bodoh.. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau lakukan tadi malam.. ". Jari yang menuding kini berganti bertolak pinggang.

Zaid segera maklum. Pemuda inilah yang berpapasan dengannya semalam diantara pohon pisang ini. Tapi, bukankah dia sudah bersembunyi...?
Ternyata mata Sang pemuda bertampang sangar ini cukup awas dan teliti.

Melihat Zaid hanya diam tanpa berkata-kata, lelaki muda yang nampaknya adalah pemimpin rombongan pencegat itu kembali berkata dengan suara lantang.

"Sekarang lekas pergi dari sini, tapi jangan bawa Latifah... ".

"Aku yang membawa nya, aku pula yang harus mengantarnya pulang... ". Zaid tentu saja marah dan tak Terima.

Dia tahu siapa lelaki muda tinggi besar dihadapannya. Dia tahu persis. Bahkan amarahnya sejak tadi sudah mendidih, otaknya seperti menggelegak. Zaid paham betul sepak terjang lelaki muda bernama Jarot itu. Jika boleh menuruti emosi, ingin rasanya Zaid membantai habis pemuda brengsek itu. Mengirimnya ke Malaikat maut.

Tapi sekarang dia adalah Zaid, lelaki 30an tahun yang sedang mengemban tugas penting. Tentu semua yang sejauh ini sudah berjalan rapi akan berantakan jika dia sampai tersulut emosi dan bertindak konyol.

"Kalau begitu, Latifah pulang sekarang, kau yang tinggal disini. Kita punya urusan yang harus diselesaikan... ".

" Jarot.. ". Zaid menyebut nama pemuda itu pelan. Pelan sekali. Tapi terdengar jelas suara pelan itu bergetar menahan amarah.

"Aku tak tau urusan apa yang kau maksud, tapi aku tak akan lari. Kulayani kemauan mu.. ". Lanjut Zaid lagi.

"Dek, kamu pulang duluan... ". Perintah Sang Pria muda pada Latifah.

"Tapi Kang....? ". Tentu saja Latifah tak akan mau membiarkan sang Pria yang dicintainya sendirian.

"Tak apa. Ini urusan kecil.. ". Ucap Zaid lagi, mencoba meyakinkan Sang Dara yang terlihat ketakutan.

"Iya... Ini urusan kecil. Aku janji Kang Zaid mu tidak akan kenapa napa... ". Pemuda bernama Jarot tertawa kecil membuat Latifah merengut kesal. Sementara keempat rekan si pemuda cuma tersenyum senyum penuh arti.

"Jarot, aku tau siapa kamu, kalau sampai Kang Zaid kenapa napa, aku tak akan membiarkan kamu bebas berkeliaran... ". Latifah akhirnya mengalah, tapi Sang gadis tak lupa meninggalkan ancaman.

"Aku tak bodoh Latifah,.. ". Jarot cepat menukas.

" Kalau aku berniat buruk, tidak akan kau kubiarkan pergi.. ". Lanjutnya lagi.

"Sekarang pulanglah, sebelum aku berubah pikiran. Dan jangan lupa, siapkan air hangat untuk kekasihmu ini mandi. Mungkin pulang nanti badannya sedikit agak sakit sakit... ". Jarot kemudian tertawa terbahak bahak. Keempat rekannya pun ikut tertawa.

"Pulanglah... ". Zaid berkata setengah memerintah melihat Latifah masih saja bimbang. Mendengar itu Sang Gadis kemudian melangkah mendekati motor, kemudian naik dan menghidupkan mesin matic merah muda kesayangan.

"Hati hati Kang... ". Ucap Latifah kemudian berlahan motor mungil itupun bergerak menjauh.

Tinggal lah kini Zaid seorang diri berhadapan dl dengan lima pemuda tinggi besar bertumpang sangar.

Mata Zaid menatap Jarot dengan tatapan tajam. Ada satu lagi pemuda yang dia kenal selain Jarot. Yaitu pemuda berjaket hoodie abu abu, Alek. Tapi fokusnya lebih tertuju kepada sang pemimpin, yang terlihat sedikit lebih berbahaya.

"Sekarang, katakan apa mau kalian....?.. ".

"Hahahaha..... ". Jarot dan teman-temannya malah tertawa. Kemudian setelah puas tertawa, pemuda itu mendekati Zaid yang berdiri waspada.

"Zaid,.. Aku tidak tau siapa kau, tapi gerak gerikmu tidak ku suka.. ". Jarot bicara pelan tapi penuh tekanan di nada suaranya.

" Dan sebagai pelajaran untuk mu, Terima ini... ". Setelah berkata demikian, dengan cepat sang pemuda melayangkan tinju besarnya ke wajah Zaid. Sang Pria guru ngaji bergerak mundur mengelak, tapi sedikit terlambat karena pukulan Jarot sangat cepat. Tak ayal bibirnya mengucurkan darah terserempet tinju, rasanya perih dan asin. Zaid pun meludah ke tanah, ludah berwarna merah bercampur darah.

Wajah Zaid mengelam, tapi dalam pandangan Jarot terlihat biasa saja. Tetap putih pucat. Hanya sorot mata Zaid yang terlihat menyala. Terkena tinju dibibir membuat emosi Zaid terpicu.

Tapi Pria berambut gondrong itu tak sempat berbuat apa apa ketika mendapati keempat rekan Jarot juga mulai menyerang dengan pukulan dan tendangan bertubi tubi. Jika berhadapan satu lawan satu, Zaid pasti bisa mengatasi Jarot, tapi dikeroyok lima orang.....?.

Tanpa ampun tubuh dan kepala Zaid menjadi bulan bulanan. Sang Pria tukang bersih bersih Masjid itu hanya bisa mengelak dan mencoba menghindar, beberapa pukulan bisa diatasi, tapi lebih banyak lagi pukulan yang bersarang ditubuh dan kepalanya.

Dan pada suatu momen, tubuh Pria gondrong itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terguling ditanah dengan bibir semakin banyak mengucurkan darah. Juga dari lobang hidung yang tampak memerah.

Zaid tergeletak tak berdaya.

"Itu pelajaran pertama... ". Jarot berdiri berkacak pinggang dan berkata pongah.

"Jika sikapmu masih mencurigakan, kau akan mengalami yang jauh lebih mengerikan.. ". Sang pemuda penjaga keamanan di Desa Rahayu itu melanjutkan kata.

Kelima pemuda itu kemudian mengeluarkan tiga buah motor yang diparkir diantara rimbunnya pohon pisang, kemudian berlalu dari tempat itu dengan suara motor yang menderu memekakkan telinga.

Jarot yang mengendarai motor trail paling belakang, sempat mengacungkan tinju sebelum berlalu..

"INGAT KATA KATA KU..!! ". Teriaknya sebelum melesat pergi.



______________



Dari mana Jarot tahu semalam Zaid membuntuti nya...?.

Sebenarnya bukanlah Jarot yang melihat keberadaan Zaid tadi malam. Tapi Alek.

Sesaat setelah Jarot berangkat ke dermaga tua menjemput barang, Alek keluar rumah Pak Wijoyo Bermaksud buang air kecil di samping rumah. Dan secara tak sengaja dia melihat sekelebat bayangan keluar dari kebun belakang dan berjalan kaki mengikuti arah motor Jarot. Alek sepintas mengenali sosok itu adalah Zaid, Sang marbot Masjid yang baru.

Alek pun kemudian melaporkan penemuannya kepada Pak Wijoyo, Sang bos pemilik rumah.

"Kau yakin itu Zaid..? ".

"Yakin sekali Bos... ". Alek menjawab tanpa ragu.

"Kalau begitu, ikuti dia, jalan kaki saja, jangan pakai motor. Lihat sampai dimana tindakannya... ". Perintah Pak Wijoyo kemudian.

Jadilah kemudian Alek membuntuti Zaid dari kejauhan. Sampai kemudian ditengah jalan mereka berpapasan dengan motor Jarot yang sudah kembali pulang.

Setelah motor Jarot lewat, Alek terus saja mengikuti langkah Zaid. Sampai ke dermaga, Alek pun menyaksikan bagaimana Zaid seperti tengah memeriksa sesuatu dengan penerangan lampu hape.

Dan ketika hal itu dia laporkan kepada Pak Wijoyo, Sang Kades mengangguk angguk pelan.

"Anak itu cari masalah... Beri dia pelajaran, tapi jangan dibunuh. Intimidasi saja.. ". Perintah Pak Wijoyo kepada Jarot dan Alek pagi hari nya.

"Kenapa tidak disingkirkan saja Bos...?". Jarot yang bertanya.

"Kita tidak tahu siapa dibelakang nya, bisa jadi dia bertindak seperti itu karena didorong rasa penasaran saja.. ".

"Tapi, bagaimana kalau dia mata mata...? ". Alek mencoba berargumen.

"Mata mata siapa...?. Tidak ada satupun polisi se kabupaten ini yang belum pernah makan uang suap dariku.. ". Alek terdiam mendengar ucapan Pak Wijoyo.

" Beri pelajaran, tapi jangan dibunuh. Aku tak mau repot mengurusi kalian kalau sampai dia mati... ".
Perintah Pak Wijoyo yang dibalas anggukan patuh Jarot dan Alek.

"Pemuda itu pasti cuma iseng... ". Pak Wijoyo mencoba menenangkan diri.

" Kalau dia cukup tangguh, kita bisa rekrut dia menjadi anggota kita... ". Lanjutnya kemudian.



______________




Pagi itu Amin tak tahan didera kerinduan. Dengan hati penuh disesaki rindu, akhirnya dia memutuskan mengunjungi Asty di rumah nya.

Dengan mengendarai motor, Amin menyebrang ke desa Rahayu menggunakan jasa ponton penyebrangan yang selalu ramai penumpang. Ponton itu adalah akses satu satunya bagi para petambak untuk menyebrang ke desa sekitar. Dimana pasar besar pun adanya cuma di seberang wilayah pertambakan. Di areal tambak tidak ada pasar besar, cuma ada kantin kantin sembako yang jumlahnya cukup banyak. Tapi harga barang barang kebutuhan dikantin itu relatif mahal.

Amin sengaja lewat jalan terobosan di tengah persawahan untuk menyingkat waktu tempuh. Jika harus memutar lewat jalan besar, perjalanan akan lebih lama berselisih satu jam lebih.


Cuaca yang sudah cukup lama tidak turun hujan membuat akses jalan ditengah persawahan itu bisa dilalui motor tanpa hambatan. Dengan bersenandung kecil lagu tentang kerinduan Amin memacu motor dengan santai. Sebelah tangan sesekali mengisap sebatang rokok yang terjepit jari. Wajah Sang Pria terlihat ceria, sebentar lagi dia akan bertemu wanita cantik pujaan hatinya. Tak sabar rasanya Amin memeluk dan mencium wanita yang sangat dia cinta. Tapi ketidak sabaran itu di tahan sebisa mungkin, Amin tak ingin terlalu ngebut mengendarai motor nya di jalan sawah. Bisa bisa motor terpeleset dan jatuh, bukannya ketemu Asty untuk melepas rindu, malah nyasar kerumah sakit nantinya.

Dalam fokusnya mengendarai motor, Amin sudah membayangkan betapa saat ini Asty pasti sudah mandi dan berdandan cantik sekali, karena sebelum berangkat dari rumah tadi dia sudah menelpon Sang kekasih, memberi tahu bahwa hari ini dia akan datang berkunjung dan kalau memungkinkan akan menginap barang semalam dua malam. Batang kejantanan nya sudah lama berpuasa, ingin segera di tuntas kan segala hasrat yang membara.

Asty cuma membalas dengan terkikik manja ketika tadi pagi Amin iseng menggoda, menyuruh menyabuni area kewanitaan dengan bersih dan wangi karena nanti malam akan digunakan.

Dalam sikap malu malunya, Asty pun sudah rindu kebersamaan dengan Sang pecintanya. Asty menginginkan, meski tak berani mengatakan.

Sepanjang pengetahuannya, berdasarkan informasi kepala Lapas tempo hari yang mengatakan Suaminya Deni telah ditambah hukuman penjara sampai belasan tahun dan dikirim ke Nusa Kambangan,. Membuat tipis Harapan asty untuk kembali bersatu dengan sang suami. Hal itu pula yang membuat dalam bingungnya Asty semakin tenggelam dalam pengharapan kepada sosok Amin yang berulang kali menjanjikan masa depan yang lebih baik untuknya dan kedua anak-anaknya. Dan juga kejantanan yang lebih...?. Entahlah.....

Yang jelas, untuk saat ini Amin lah yang senantiasa siap sedia pada saat Asty membutuhkan apa saja. Termasuk materi. Asty telah dibuatkan rekening sendiri oleh sang Pria, sebuah rekening atas namanya yang berisi saldo cukup lumayan.

Amin yang duda dan seorang petambak yang sering sekali berhasil dalam budi daya, tentu saja tidak kekurangan uang, apalagi sekedar memenuhi kebutuhan Asty dan anaknya yang cuma dua, masih kecil kecil pula.

Rekening Asty di isi saldo 10 juta, tentu saja jumlah uang itu membuat Asty senang sekali. Wanita mana yang tak senang, disaat suami mendekam di penjara, sementara dia sendiri tidak ada pemasukan apa apa, eh, malah dibuatkan rekening dengan saldo sebanyak itu, bahkan dengan janji jika saldo habis, akan segera ditransfer lagi.. Menyenangkan bukan...?..

Seperti ketiban bulan, diberi uang banyak, diberi kepuasan batin pula. Tentu saja Asty hari ini sudah berdandan cantik demi menyambut kedatangan Sang Arjuna.

Jihan dan Wildan kedua anaknya pun kecipratan rezeki dari saldo rekening milik Asty. Beberapa lembar baju berharga lumayan, busana muslim model terkini untuk Jihan mengaji pun dibelikan.

Wildan sibungsu tak mau kalah. Selain beberapa set baju dan celana, tak lupa mainan mainan mahal yang selama ini cuma jadi impian Sang bocah pun dibelikan Sang Ibunda. Sepintas keluarga kecil tanpa kehadiran sosok ayah itu sangat bahagia.

Tak satupun yang tau sebenarnya Asty sering menangis tengah malam jika merenungi nasib hidup yang menimpanya. Bicara cinta, tak ada yang mengalahkan besarnya cinta Asty kepada Deni Sang suami. Tapi Sang suami yang harus mendekam belasan tahun, dari mana bisa menafkahi Asty dan anak anak...?.

Sebagai wanita dewasa, tak ada jalan lain bagi Asty selain memanfaatkan sebisa mungkin setiap peluang yang ada, meski itu harus menggadaikan harga diri. Setidaknya sampai saat ini dia tidak harus melacur demi menyambung hidup, meski bergantung kepada Amin dengan imbalan kehangatan tubuhnya sama saja dengan menjadi pelacur. Tapi bukankah dia hanya harus melayani satu orang saja, bukan berpuluh puluh.. Dan uang yang didapatpun lebih menjanjikan ketimbang jadi PSK.

Disetiap senyum yang dia kembangkan di hadapan Amin, ada jeritan sakit jauh didalam hati kecilnya. Tapi semakin lama tetap saja Asty semakin tenggelam. Tak ada tangan penyelamat yang terulur. Tak ada satupun. Bahkan kedua orang tuanya yang sudah sepuh tak mungkin lagi bisa diandalkan. Jika bergantung pada hasil sewa sawah, paling paling cuma cukup untuk makan saja, itupun harus dengan prihatin.

Beruntung sebenarnya Asty dengan keberadaan Amin yang menyukai nya, meski awalnya enggan, tapi kenyataannya semakin hari Asty pun semakin terlena. Dicukupi oleh Amin kebutuhan lahir dan bathinnya.

Hanya ketika dalam sunyi sepi saja terkadang Asty merasakan sedih tak terkira, menangis, meratap dalam jaga di tengah malam. Menyebutkan nama Deni dalam kerinduan. Tapi jika telah siang, Asty seperti lupa akan segala kesedihan. Kesibukan mengurus anak anak mejadi penghibur hati yang mujarab, apalagi mengurus Amin Sang pejantan yang perkasa.



_______________




Kembali ke tengah sawah...

Sepeninggal Jarot dan konco konco nya, Zaid mencoba berdiri. Dengan berpegangan pada pohon pisang, tubuhnya berhasil ditegakkan tapi limbung dan kemudian jatuh lagi. Kepala terasa pusing, bibirnya pun bengkak dan perih sekali. Mata kiri juga terlihat membengkak. Tapi wajah itu tidak terlihat lebam. Tetap saja putih pucat.

Zaid bersandar dibatang pisang dengan kepayahan. Darah yang meleleh masih terasa lengket meski tak lagi mengalir keluar. Dalam sakitnya dia masih sempat tersenyum getir, kemudian tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek api. Setelah menyeka darah dibibir dengan belakang tangan, Pria gondrong marbot Masjid itu menyalakan rokok dan mulai menghisap berlahan. Dengan tubuh tersandar lemah dan bibir bengkak berdarah, Zaid masih bisa menikmati sebatang rokok, meski meringis ringis menahan perih.

Belum habis setengah batang rokok ditangan, mata Zaid yang membengkak melihat sebuah sepeda motor mendekati dari kejauhan. Seoeda Motor jenis matic itu melaju pelan, semakin mendekat sampai akhirnya Zaid berdebar begitu mengenali si pengendara.

Amin terkejut dan menghentikan laju sepeda motornya begitu melihat seseorang duduk kepayahan diantara pohon pohon pisang dipinggir jalan. Sepertinya orang ini habis berkelahi, terlihat dari bibir dan mata yang bengkak, serta lelehan darah yang belum benar benar mengering.

"Hei... Apa yang terjadi...? ". Amin bertanya setelah mesin sepeda motor benar benar mati.

Si Pria yang ditanya membalas dengan senyum kecil.

"Biasa Bang.. Berantem... ". Jawabnya berdalih. Tak ada gunanya juga menceritakan kenyataan sebenarnya.

Amin turun dan duduk disebelah Si Pria Gondrong.

"Kamu dari desa Rahayu...? ".

"Iya Bang... ".

" Nama saya Amin.... ". Amin memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan. Kedua pria itu berjabat erat.

"Saya Zaid.. Marbot Masjid di desa Rahayu... ". Zaid balas menyebutkan nama.

" Ya sudah. Ayo saya antar kerumah... ".Amin berdiri.

"Nanti saja kita ngobrol ngobrol... ". Katanya lagi.

Zaid mencoba berdiri dan kali ini berhasil meski tetap agak sempoyongan.

"Pelan pelan.. ". Ucap Amin yang sudah menghidupkan kembali mesin maticnya.

Zaid pun naik kebelakang sepeda motor dan duduk dengan kedua tangan merangkul pinggang Amin.

"Pegangan yang erat, Jangan sampai jatuh... ". Amin berkata dengan tertawa kecil membuat Zaid ikut tertawa.

Motor pun kembali melaju, kali ini lebih berlahan lagi karena Amin membonceng seorang pria yang sedang terluka.

" Kamu kenal Pak Dahlan....?". Di antara deru suara motor Amin bertanya.

"Iya, kenal... ". Zaid menjawab pendek.

" Kenapa....? ". Zaid balik bertanya karena Amin diam saja.

"Tujuanku ke rumahnya... ". Amin menjawab sembari tetap fokus mengendalikan laju sepeda motor dijalan tanah yang bergelombang.

"Ooh.... ". Respon Zaid sedikit saja.

"Ngapelin anaknya... ". Amin tertawa terbahak setelah berkata demikian.

Amin tak tahu dibelakangnya Zaid tersentak, hatinya tercekat mendengar kata kata Sang pembonceng barusan. Dada Zaid bergemuruh. Dia tak mampu merespon ucapan Amin karena lidahnya mendadak kelu. Tapi Amin tak memperhatikan itu.

Bahkan sampai memasuki wilayah Desa Rahayu Zaid masih membisu. Bathinnya bergejolak hebat. Firasat nya mengatakan ada sesuatu yang terjadi antara Asty dan Amin, pria yang mengantarkan nya sampai ke rumah.

"Terimakasih bro... Gak mampir dulu... ? ". Zaid berbasa basi ketika turun dari belakang motor.

"Lain kali aja bro... Sudah gak sabar pengen ketemu Asty... ". Tawa Amin mengekeh.. Dan bagi Zaid tawa itu sangat menyebalkan. Ingin rasanya dia menghajar si brengsek Amin, tapi yang keluar dari bibir bengkak nya hanya segaris senyum. Dan senyum itu berubah jadi Seringai ketika Amin berbalik dan kembali melajukan sepeda motornya.

"Bangsat....!! ". Maki Zaid pelan dan tak ada satupun yang mendengar.




______________



Setelah membersihkan diri seperlunya, Zaid termenung sendirian didalam rumah. Kata kata Amin tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Benar benar menyulut emosi Si Pria. Zaid baru saja berhenti menyumpah nyumpah. Segala serapah berhamburan dari bibirnya yang masih bengkak. Bahkan terlihat sebuah kursi plastik terlihat patah akibat tendangan Zaid barusan. Tak ayal kaki yang masih sakit akibat dihajar Jarot dan kawan kawan tadi jadi bertambah sakit karena menendang kursi.

Zaid berfikir keras, bagaimana caranya menghentikan kegilaan Amin. Meski marah, Zaid sadar posisinya sekarang membuat dirinya tak bisa bebas bertindak. Tugas penting yang Diembannya lah yang menjadi penghalang. Jika dia menuruti emosi, bisa bisa semua akan berantakan.

Berfikir sampai kesitu Zaid berlahan meraih hape yang tergeletak dimeja. Layar hape dinyalakan, dan gambar seraut wajah anak kecil berusia 4 tahun yang ganteng dan lucu terlihat dipasang sebagai wallpaper.

Zaid menelpon seseorang... Tak lama telepon pun tersambung.

"Hallo.. Selamat siang Pak... ". Zaid menyapa lawan bicaranya.

"Selamat siang.. Ada hal penting kah.. Sampai menelpon segala, biasanya chat...? ". Balas orang di seberang sana.

Zaid tertawa mendengar kata kata itu. Tawa yang terdengar getir dan hambar.

"Cerita lah... Aku ada banyak waktu untuk menjadi pendengar yang baik.. ". Ucapan itu disambung tawa kecil, sepertinya orang yang ditelpon Zaid menyadari ada masalah yang melanda Zaid saat ini.

Zaid kemudian bicara panjang lebar, menjelaskan situasi yang terjadi sekarang ini. Mulai dari perkembangan penyelidikan yang dia lakukan, sampai kepulangan Asty dari Jawa, dan keakraban yang terjalin diantara Amin dan Asty yang mulai mencurigakan bagi nya. Tak lupa juga Zaid mempertanyakan tentang keputusan untuk mengatakan bahwa Deni dipindah ke nusakambangan karena hukumannya ditambah.

"Apa perlu sampai sejauh itu Pak...? ". Tanya Zaid diakhir ceritanya.

Orang ditelpon terdengar menghela nafas berat.

"Terpaksa.. Tak ada jalan lain.. ". Jawabnya kemudian.

"Kami dari kepolisian tidak menduga Asty akan pulang dan membesuk ke Lapas secepat itu. Jawaban itu diambil sepihak oleh sipir penjara karena panik dan tak tau harus menjawab apa. Para sipir itu tidak bisa disalahkan karena mereka benar benar bingung tanpa arahan sebelumnya dari kepolisian. Saya akui itu kesalahan saya, tidak mempertimbangkan kemungkinan itu.. ".

"Jadi, saya harus bersikap bagaimana, Pak...? ". Lesu sekali nada suara Zaid terdengar.

"Sekarang, kendali ada ditanganmu, berhasil atau tidak, semua tergantung keputusan mu. ". Zaid hanya diam mendengarkan.

" Sudah setengah jalan. Tapi kalau kau ingin menyerah dan membongkar identitas asli mu, ya tidak apa apa. Saya tidak bisa mencegah, karena ini berkaitan dengan masa depan mu.. Tapi sebelumnya saya mohon, pertimbangan semuanya dengan kepala dingin... ". Orang ditelpon melanjutkan kalimatnya.

" Jangan lupa, kalaupun kau membuka kedok, belum tentu akan memperbaiki semuanya, ".

"Maksud Bapak....? ". Zaid terdengar antusias.

" Saran saya, tetaplah dengan Identitas mu yang sekarang, sambil kau pantau sejauh mana hubungan antara Asty dan Amin itu, kalau bisa, kau berilah saran dan nasehat kepada Asty, agar tak terlalu jauh terjerumus, dan berilah harapan, katakan saja bahwa Deni belum tentu dihukum selama itu, karena sekarang masih proses persidangan lanjutan. Dengan begitu harapan dihati Asty kepada suaminya Deni tidak lenyap, Kau paham maksudku kan...? ".

"Paham Pak... ". Zaid menjawab dengan suara lirih kemudian menutup telepon setelah dirasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Sejenak dipandangi nya wajah bocah di wallpaper hape nya. Setetes air mata mengalir membasah di pipi pucat Zaid.

" Tunggu sebentar lagi nak, sampai semua bukti cukup, dan tugas ini selesai.. Kita akan berkumpul bersama lagi.". Zaid bergumam sambil jari tangan nya menyentuh layar hape. Seperti ingin mengelus wajah Sang Bocah.

Zaid terisak.. Dia hampir saja memutuskan menyerah. Tapi jika menyerah, maka dia harus kembali mendekam dipenjara, dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hadiah besar yang dijanjikan jika tugasnya ini berhasil.

Ya... Hadiah besar yang teramat menggiurkan bagi Zaid yang sedari kecil tak pernah hidup bergelimang harta. Bahkan sampai anak pertamanya berusia 8 tahun sekarang, Zaid belum mampu membangun sebuah rumah untuk tempat berlindung keluarganya.

Dan jika tugas berat ini berhasil diselesaikan dengan baik, maka jangankan rumah, mobil mewah pun bisa Zaid beli dengan hadiah besar yang dijanjikan itu. Dan berfikir seperti itu, Zaid memantapkan hati untuk lanjut. Perkara Asty, biarlah akan dia cari jalan keluarnya nanti. Melihat dulu bagaimana perkembangan selanjutnya.



________________



Asty Pramudhita, wanita cantik 29 tahun yang kecantikan wajahnya justru semakin terlihat jelas di usianya yang menjelang kepala tiga keluar menyambut di depan pintu rumah ketika telinganya mendengar deru suara sepeda motor yang khas dan sangat akrab di pendengaran nya. Tubuh nya yang kecil mungil tapi padat berisi meski tidak bisa dibilang gemuk disandarkan ke sisi kiri kusen pintu dengan senyum tipis yang dikulum.

Melihat itu Amin tertawa lebar dan kemudian memarkirkan kendaraan nya di bawah sebatang pohon sawo. Pria yang masih cukup muda itu melangkah menuju om rumah dengan plastik hutan tergenggam ditangan kiri. Plastik besar biasanya berisi oleh oleh.

Wildan, bocah kecil yang berdiri dibalik punggung Asty nampak malu malu ketika disodori plastik besar itu. Matanya mengerling wajah Sang Ibu, dan kemudian tangannya terulur ketika melihat Sang Ibu mengangguk. Aneka macam buah buahan ternyata ada didalam kantong plastik hitam. Wildan jelas merasakan beban berat ketika menggenggam, tapi bocah itu berusaha membawa plastik oleh oleh itu ke ruang tengah.

Asty dan Amin tertawa ketika kemudian Wildan mengeluh capek dan berat dengan ekspresi lucu khas bocah.

"Nih.. Buat jajan.... ". Amin mengulurkan selembar uang 20 ribuan kepada sang bocah, yang disambut gelengan kepala.

"Kenapa... Kurang..? ". Goda Amin melihat Wildan menolak.

"Gak usah Om.. Idan masih punya duit kok... ". Sang bocah polos memberi alasan sambil tangan mungilnya merogoh kantong celana dan menunjukan lipatan uang dua ribuan sisa jajan kemarin sore.

"Gak apa apa, ini buat besok.. ". Amin lantas memasukkan uang di tangannya kedalam kantong celana baru yang dipakai bocah 4 tahun itu.

Asty tersenyum, dan Sang anak pun menurut saja. Kemudian dia berlari kebelakang menemui Sang kakek yang sedang bersantai di teras dapur.

Sejenak hening diruang tengah, dimana Amin duduk lesehan di lantai semen, dilapisi selembar tikar.

"Aku rinnduuuuuu... ".ucap Amin menirukan lirik sebuah lagu lama yang entah judulnya apa. Asty tertawa tergelak kemudian melangkah kedapur.

Tak lama berselang Pak Dahlan muncul menemui tamu putrinya, Amin segera menyongsong dan meraih tangan pak Dahlan kemudian mencium tangan keriput itu dengan takzim. Pak Dahlan tersenyum hambar tanpa sepengetahuan Sang Tamu.

"Sudah lama....? ". Tanya Pak Dahlan berbasa basi.

" Belum kok Pak, baru saja.... ".

" Ooh... ". Lelaki tua bapaknya Asty itu menjawab pendek. Kemudian melangkah keluar ketika mendengar suara anak perempuan kecil mengucap salam..

" Assalamu'alaikum... ". Itu suara anak sulung Asty yang baru pulang dari sekolah.

"Waalaikum salam.... ". Pak Dahlan menyahut ketika tubuh ringkih nya sudah sampai diruang tamu.

"Sudah pulang cu....? " .

"Iya Mbah.... ". Lalu terdengar suara percakapan antara kakek dan cucu kesayangan nya. Terdengar lamat lamat dari ruang tengah.

Setelah melepas sepatu dan meletakkan nya dirak sepatu diteras depan dekat dinding, Jihan masuk diikuti Sang kakek yang melangkah setengah tertatih karena usia,

"Eh,, ada Om Amin... Apa kabar Om....? ". Jihan tersenyum dan kemudian salim. Amin cuma tersenyum sembari tangan kirinya mengelus lembut rambut Sang bocah perempuan.

Jihan cukup akrab dengan sosok yang duduk diruang tengah rumah embahnya ini, karena sudah beberapa kali dia mengetahui Om Om ini bertamu dan bahkan pernah bermalam disini.

Om Amin adalah teman Ibunya, sebatas itu pengetahuan dan nalar Sang bocah delapan tahun.

Setelah sedikit berbasa basi, Jihan kemudian bangkit berdiri dan melangkah setengah berlari menuju ke belakang, sambil tak lupa tangannya meraih dan mencomot sebutir buah apel didalam kantong plastik hitam yang teronggok diatas tikar.

Amin tertawa melihat tingkah Sang bocah..

Sementara Bu Utari cuma menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya berlahan lahan. Dada Sang Ibunda terasa sedikit sesak melihat betapa dalam usia dini seperti itu Jihan dan Wildan kedua cucunya harus terpisah lama dengan Sang Bapak. Entah masih sempat bertemu lagi atau tidak. Seturut apa yang diceritakan Asty, Deni menantunya berada di nusakambangan sekarang , untuk menjalani hukuman yang bertambah menjadi belasan tahun lamanya. Kenyataan yang pedih tentunya..

Kepedihan itu juga lah yang membuat Bu Utari dan juga Pak Dahlan tidak mampu berbuat banyak untuk mencegah semakin mesranya hubungan Asty dengan Amin yang sekarang berada diruang tengah rumahnya itu.

Pokok persoalan utama adalah masalah ekonomi. Bukan berarti kedua orang tua itu mengikhlaskan Asty terjerumus dalam jurang perselingkuhan, akan tetapi untuk Asty hidup dan menghidupi kedua anaknya jelas sekali butuh uang, dan Deni tak akan mampu diandalkan.

Kadang terfikir dibenak Sang Ibu untuk membujuk Asty menggugat cerai Sang suami, tapi orang tua itu tak tega, selama ini Deni adalah menantu yang baik dan suami yang bertanggung jawab, apalagi mengingat terpenjara nya Deni adalah demi mempertahankan kehormatan Sang istri. Adalah suatu perbuatan yang tidak tahu balas budi jika sampai Asty malah menggugat cerai Deni.

Disaat ini Bu Utari sangat bingung, dan semuanya memang dalam keadaan bingung. Sebingung Wildan yang sudah sangat lama tidak digendong gendong oleh Sang Ayah. Biasanya setiap sore Ayah dan anak itu jalan jalan disekitaran rumah, setelah Wildan selesai dimandikan dan tersenyum manis dalam gendongan ketika Sang Istri sibuk didapur memasak untuk makan malam.

Tiba tiba Bu Utari teringat sosok Zaid yang dua tiga minggu belakangan ini sangat akrab dengan Sang cucu. Jika cucu lelaki kesayangannya itu sudah digendong Zaid, maka susah sekali untuk bisa dilepaskan. Seperti Wildan telah menemukan sosok pengganti Sang Ayah. Ya... Zaid, bukan Amin, seandainya saja Bu Utari bisa memilih, dia lebih suka Asty didekati Zaid ketimbang jatuh kepelukan Amin.



_________________



Selepas Adzan maghrib, Asty pamit pada Sang Ibunda untuk keluar sebentar bersama Amin. Jihan dan Wildan sudah dari tadi berangkat ke Masjid untuk mengaji.

"Hati hati.. Jaga diri baik baik... ". Itu saja pesan Bu Utari pada Sang anak.


Sementara Pak Dahlan pura pura tidak tahu dan tetap tenggelam dalam irama lagu keroncong yang terdengar dari sebuah pemutar mp3 milik cucunya Jihan yang baru kemarin dibelikan Asty. Kepala orang tua itu mengangguk angguk seirama lagu, dan Asty akhirnya memutuskan untuk berangkat saja tanpa pamit kepada Sang bapak.

"Kita cari penginapan, dirumah gak bebas... ". Ucap Amin ketika motor matic nya mulai melaju.

Asty hanya diam. Lagipula, dia mau bicara apa...?.
Saat ini dia hanya bisa menurut saja kemajuan Sang Pria. Tak ada keberanian untuk membantah, karena dia sadar, kehidupannya sekarang bergantung pada lelaki yang sekarang sedang dia peluk pinggang nya.

Sepuluh Kilometer dari desa Rahayu, ada sebuah pasar besar. Meski malam, aktifitas di sekitar pasar itu selalu ramai. Bisa dibilang, daerah sekitar pasar itu adalah pusat keramaian di wilayah desa Rahayu dan beberapa desa lainya si sekitar situ.

Dua puluh lima menit kemudian sepeda motor yang dikendarai Amin dan Asty memasuki sebuah bangunan bertingkat dua dengan puluhan pintu yang berderet deret. Itu adalah deretan kamar penginapan sederhana dan murah, yang banyak digunakan oleh para pedagang dari luar daerah, atau juga para pasangan yang ingin memadu kasih. Seperti Amin dan Asty saat ini.

Tak lama kemudian kedua sejoli itu sudah berada didalam sebuah kamar. Ada sebuah pesawat televisi layar datar, dan sebuah ranjang cukup besar yang dilapisi kasur bisa tebal. Hanya ada kipas angin, tanpa AC. Wajar saja, karena sewa kamar itu tidak terlalu mahal. Hanya 50 ribu untuk satu malam. Itupun sudah termasuk bonus sebotol minuman bersoda ukuran sedang.

Berlahan Amin melepas celana panjang denim yang dia pakai, menyisakan sempak saja yang menutupi batang kemaluannya. Batang itu tampak sudah menonjol kencang dan besar. Asty yang melihat itu kemudian mendekati Amin dan berjongkok di hadapannya. Dengan senyum, kedua tangan Asty menyentuh pinggang celana dalam itu dan menariknya turun sampai ke lutut Sang Pria yang sudah menahan konak dari tadi.

Batang besar dan panjang itupun mencuat keluar memamerkan keperkasaannya. Tanpa menunggu lama bibir mungil Asty pun membuka, lidah merah muda berlahan terjulur dan kemudian menyentuh kepala besar itu, membuat Amin mendesah menahan nikmat.

Dengan lembut Asty menjilat kepala kejantanan Amin, menggelitik lubang kecil yang mulai sedikit mengeluarkan cairan bening, kemudian melumat batang itu dengan kuluman yang memabukkan. Amin bergidik, sangat nikmat sekali dia rasakan di sekujur batang kejantanan miliknya.

Sementara Asty dengan bersemangat memajukan mundurkan kepalanya membuat batang itu semakin lama semakin berkilat dan semakin menegang kencang. Amin tak tahan.. Diraihnya tubuh mungil Asty, diangkat kemudian dihempaskan diatas kasur tebal itu, dengan cepat Sang pejantan itu melepas sempak yang masih menyangkut didengkul, kemudian melepas baju kemeja hingga kini Amin telah telanjang sepenuhnya.

Asty mengangkang pasrah.. Dadanya berdebar menanti tindakan Amin selajutnya. Dan pria itu pun kemudian naik keatas ranjang, menindih tubuh Asty, mendaratkan ciuman panas disekujur leher jenjang itu, membuat Asty mendesah desah, tapi desahan itu terhenti ketika lidah Amin menjulur masuk dan membelit lidah Sang wanita dengan belitan yang liar seperti belitan ular phyton melumpuhkan mangsa.

Asty pun lumpuh... Semakin lumpuh ketika tangan Amin kemudian melepas kancing baju itu satu demi satu. Kemudian melepas juga kaitan Bra berwarna biru muda yang menutupi gundukan payudara, sehingga pentil kecil berwarna coklat muda menyembul untuk kemudian kembali hilang dilumat bibir Amin yang mengandung racun birahi.

Tak ada yang keluar dari mulut Sang wanita cantik jelita itu selain desahan dan erangan lirih.. Erangan yang semakin membuat Amin bertambah liar membasuh gundukan payudara itu dengan air ludah. Kedua tangan Asty merangkul erat tubuh Amin, seolah ingin lumatan Amin tak akan pernah berakhir.

Tangan Amin pun mulai beraksi. Menyelusup masuk ke balik celana, kemudian meremas dan mengelus silih berganti, membuat erangan Asty semakin keras terdengar. Tapi suara televisi dengan volume cukup kencang mampu meredam suara erangan itu, sehingga mereka tidak perlu khawatir terdengar sampai keluar kamar.

"Mas.... ". Panggil Asty dengan tatapan mata memohon.. Pinggulnya sedikit terangkat memberi tanda. Dan Amin paham tanda itu. Berlahan Amin bangkit dari dekapannya ke tubuh mungil nan sinyal itu, lantas kedua tangannya membuka kancing celana yang dipakai Asty. Penuh perasaan celana itu ditarik turun sampai lepas dari sepasang kaki Sang wanita, dan kemudian tampaklah kaki putih mulus menggairahkan terbuka lebar dengan pangkal paha yang mengundang selera.

Meski masih tetutup sehelai celana dalam tipis, tapi pesona lobang kewanitaan itu telah memancar menyilaukan mata hati, membutakan kesadaran bagi siapapun yang melihatnya. Termasuk Amin yang kemudian menarik celana dalam itu, melepas nya sekalian supaya tubuh Asty tak lagi terlindungi.

Batang kejantanan Amin berkedut kencang ketika matanya melihat belahan yang merekah merah muda. Sedikit mengkilat belahan itu, pertanda Sang lobang siap untuk dimasuki batang pengundang nikmat milik nya. Amin mengusap keringat yang membasah didahi, kemudian wajahnya turun kebawah, menuju rekahan merah yang mengudang sedari tadi. Rekahan yang membasah mendambakan sentuhan,

Bau khas vagina menyeruak dilobang hidung Amin ketika lidahnya menyentuh bibir kemaluan itu. Bau yang memabukkan, sedikit beraroma mawar, dan rasanya segar sekali dilidah.

Tubuh Asty langsung menegang kencang dengan kepala yang terdongak ketika lumayan itu datang, kedua kakinya melejang pelan, tak tahan didera rasa nikmat yang begitu merasuk sampai ke dalam dada, membuat semua nya menjadi indah, dan semakin lama semakin indah, mata Sang wanita pun terpejam..

Terasa sangat lama Amin bermain lidah dibawah sana, Asty ingin lebih, ingin dimasuki lebih dalam lagi. Jiwanya resah menanti, menunggu Amin menuntunnya meraih kenikmatan di level yang lebih tinggi.

"Mas... ". Asty memanggil lagi, kali ini dengan suara yang terdengar memelas, tak tahan dia dipermainkan lidah, yang hanya memberi kenikmatan di bagian luar kewanitaannya. Dia ingin disentuh dibagian yang terdalam. Dinding kewanitaannya ingin melumat batang panjang dan besar itu, Secepatnya.

Tapi Amin masih betah disana. Dia tak tahu betapa Asty sangat mendambakan hentakan dan tusukan batang perkasa. Wanita itu menggeleng gelengkan kepala, berusaha mengurangi siksaan nikmat yang tanggung dan seperti mempermainkan jiwa nya. Asty ingin segera mencapai puncak Nirwana, tapi Amin masih betah bermain main di lereng lereng curam.

"Mas... Aku tak tahan.... ". Kali ini Asty seperti akan menangis. Menangis meratap ditengah padang gersang, memdambakan seteguk air pelepas dahaga. Air yang sudah terlihat sangat dekat, tapi bisa digapai.

Amin tahu, tapi kali ini dia sengaja ingin mempermainkan wanitanya. Dia ingin Asty memohon mohon, meminta Disetubuhi. Dia ingin Asty yang memulai mendaki. Dan keinginannya seperti akan benar terjadi.

Dengan beringas Asty bangun dari tidurannya, meraih kepala Amin, kemudian menelentangkan tubuh besar lelaki itu diatas kasur busa tebal merek In*ac.

Segera setelah Amin terlentang, Asty merangkak menaiki tubuh itu dan memposisikan batang yang semakin tegak dan keras itu kelobang kemaluannya yang semakin basah saja.

Tanpa basa basi pinggul Asty dihentakkan keras keras kebawah. Lolongan wanita itu terdengar panjang menyayat hati ketika batang kejantanan Amin amblas sedalam dalam nya, menyentuh leher rahim Sang wanita.

Tubuh Asty bergetar, ber kelonjotan diatas tubuh Amin yang terlentang pasrah. Satu tusukan yang teramat keras dan dalam berhasil mengantarkan Asty ke gerbang surga dunia, mulutnya ternganga dengan mata yang mendelik, suara nafasnya seperti tercekik. Tertahan di tenggorokan.

Asty Orgasme dengan hanya satu saja tusukan. Luar biasa sekali nikmatnya. Lantas tubuh mungil putih mulus itu ambruk menimpa Amin yang masih terbaring. Nafas Asty tersengal sengal meresapi jutaan nikmat yang tak mau berhenti mengoyak ngoyak jiwa, dan melemparkannya kedalam api asmara yang membakar hati, meluluh lantakkan kesadaran.

Amin mendorong tubuh Asty ke samping. Membaringkan Sang wanita yang masih terpejam pejam menikmati sisa sisa Orgasmenya yang belum habis.. Kaki itu direntangkan, dan Amin kemudian naik menunggangi Sang kuda binal yang baru saja sampai di puncak.

Hentakan keras mengejutkan Asty, membuat dia terpaksa membuka mata, dan bertahan dari segala hentakan, tusukan, genjotan dan hantaman batang kejantanan yang keluar masuk bertubi tubi dengan kecepatan tinggi.

Asty kewalahan menghadapi serangan batang Amin yang menusuk kencang penuh dendam, tapi dia hanya pasrah, karena lambat laun tusukan itu membawanya kembali mendaki. Tubuh nya terdorong maju mundur seirama hentakan pinggul Amin yang tak berhenti menggenjotkan batangnya keluar masuk dengan sepenuh tenaga. Pria itu seperti kesurupan menunggangi tubuh Asty yang sebenarnya jauh lebih kecil dari tubuhnya.

Sepintas jika dilihat orang akan menaruh kasihan karena tubuh semungil itu digenjot habis habisan oleh seorang pria dengan tubuh kekar berotot dan berbatang panjang.

Tapi dalam persetubuhan, besar kecil tubuh tidak berpengaruh, yang penting sama sama bergairah, karena dengan gairah yang menggebu, batang sebesar apapun akan bisa masuk kedalam lobang kewanitaan wanita semungil apapun. Asalkan tubuh itu sudah bisa mengeluarkan cairan pelicinnya.


Seperempat jam berlalu, tanpa kenal lelah, Amin masih terus menggerakkan pinggulnya turun naik diatas tubuh Asty. Sang wanita yang harus pasrah menerima tusukan beruntun itu hanya diam tanpa reaksi. Matanya menatap Amin dengan tatapan sendu. Gairahnya telah kembali terbangkitkan tapi rasa lelah akibat Orgasme yang luar biasa tadi membuat Sang wanita hanya terlentang pasrah seperti batang pisang. Tak ada gerakan perlawanan, tak ada juga geliat balasan, Asty hanya menunggu gelombang itu datang lagi menerpa. Dia membiarkan Amin berkerja sendiri diatas tubuhnya.

Amin pun terlihat tak mempermasalahkan itu, terbukti meski Asty diam, Amin tetap mengenjot dan menusuk dengan gairah birahi yang telah berada di puncak tertinggi. Dia maklum stamina Asty tak sekuat dirinya, jadi dengan demikian Amin ikhlas mendaki sendirian sambil "menggendong" Asty untuk kembali mencapai Orgasme yang kedua kali.

Bibir kemaluan itu telah memerah, batang Amin pun semakin berkilat tegang maksimal. Asty mulai mengeluarkan desah.. Puncak Nikmat nya sudah mulai kembali terlihat. Pinggul Sang wanita berlahan mulai memberikan gerakan balasan. Membuat Amin yang sudah dekat semakin mempercepat gerakan pinggulnya.

"Ohhhhh... Asty... ". Amin melenguh. Tak sadar bibirnya menyebut nama wanita dalam genjotannya.

"Mas... Terus... ". Asty pun sudah menjelang.

" Lebih cepat Mas... Ooouhhh... ".

Dinding kewanitaan Asty mencengkeram erat batang kejantanan Amin. Erat sekali. Sampai sampai membuat Amin merasa ngilu. Cengkraman itu semakin erat, berkedut, menghisap dan kembali mencengkeram lagi. Dan kemudian Amin pun jebol...


" AAAAAAHHHHHH.....!!! ".

Pinggulnya menekan sangat keras, batang nya terbenam dalam dalam. Dan cairan kental itu menyemprot berulang kali. Memancing orgasme Asty yang memang sudah diambang pintu.

"OOOOOUUHHHHH.... MASSSSS....!! ".

Mata Asty membeliak besar menatap langit langit kamar. Gelombang Orgasme yang kedua ini jauh lebih dahsyat. Tulangnya seperti dilolosi satu persatu. Membuat Asty lemas tergolek tak bertenaga. Terrhimpit tubuh besar Amin yang bergetar dan meyentak nyentak seiring semprotan demi semprotan cairan kental menyirami rahim Asty.

"Terima kasih sayang.. Kamu hebat sekali... ". Amin berucap berlahan sambil mengecup kening Asty dengan mesra.

Asty hanya tersenyum. Perasaannya sedikit resah. Ketika menyambut Orgasme nya tadi, entah kenapa bayangan wajah Zaid tiba tiba muncul di benaknya.
Zaid, kenapa Zaid, bukan Deni...?



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Dilema
-----------




Asty keluar dari ruang dapur dan melangkah ke ruang tamu membawa segelas kopi hitam. Zaid tampak tersenyum, sepertinya dia sudah bisa menguasai diri.

Setelah meletakkan gelas di meja dan sekali lagi menawarkan kepada Pria muda berwajah kaku dan pucat di depannya, Asty kemudian duduk di kursi seberang meja.

"Maaf kalo tadi anak saya merepotkan.. ". Ucapnya memecah keheningan.

" Tak apa apa. Saya suka anak kecil kok... ". Zaid tertawa kecil setelah berucap begitu. Ruang tamu yang tak seberapa besar itu Lantas kembali hening.

Zaid meraih gelas kopi, menghirup sedikit karena masih lumayan panas, kemudian kembali berucap.

" Maaf, suaminya kemana ya...? Kok gak kelihatan.".

"Eh,.. Anu... Hehehe... ". Asty tersipu karena kaget dengan pertanyaan Zaid. Dia sedang melamun ketika Pria itu bertanya.

"Bapaknya Wildan dipenjara... ". Lanjutnya kemudian dengan nada sedih..

"Dimana...? ".

"Tadinya di Lapas kabupaten, tapi kemarin sebelum pulang saya sempat mampir, kata petugas Lapas suami saya sudah dipindahkan ke Nusakambangan.. ". Asty seperti mengeluh ketika mengatakan itu.

" Oh... Memangnya kena berapa tahun... ? ". Zaid kelihatan sangat ingin tahu.

" Tadinya cuma dua tahun. Tapi kata petugas Lapas, Mas Deni terlibat keributan sesama napi, dan dua orang napi meninggal karenanya, jadi hukuman Mas Deni ditambah jadi lima belas tahun. ". Jelas Asty panjang lebar.

Zaid terdiam... Teryata begitu ceritanya.

Asty sebenarnya sedikit heran dengan penampilan Zaid yang baru pertama kali ini dilihatnya. Wajah Zaid terlihat seperti ada yang aneh. Tapi tidak yakin bagian mana yang aneh menurutnya.

Entah kenapa, gaya bicara dan gerak gerik Zaid seperti tidak asing buat Asty. Seperti Asty sudah mengenalnya cukup lama. Atau mungkin sikap Zaid yang kalem dan penuh sopan santun lah yang membuat Asty merasa cepat akrab dan tidak risih meski baru beberapa menit yang lalu saling mengenal.

Rambut gondrong sebahu, Alis tebal, kumis dan brewok yang panjang tapi rapih dan terawat, dan juga jenggot yang tumbuh subur sebenarnya cukup menghadirkan kesan seram diwajah Zaid. Tapi sinar matanya yang hangat dan lembut, serta bibirnya yang selalu tersenyum membuat wajah sangar itu tetap sedap dipandang dan menyenangkan.

Tapi kenapa kulit wajah itu putih pucat...?. Asty jadi bertanya tanya dalam hati sambil terus saja menatap Zaid membuat Pria Muda Guru ngaji itu sedikit malu dan salah tingkah.

"Oh ya.. Sudah berapa lama Bapaknya Wildan dipenjara...? ". Zaid mencoba mengalihkan perhatian.

"Belum ada setahun .. ". Asty menjawab sambil mengalihkan pandangan keluar rumah yang gelap. Dia sadar Pria didepannya itu tak suka diperhatikan.

Sementara Zaid merutuk dalam hati. Dipindahkan ke Nusakambangan, gara gara bunuh sesama napi... Hebat betul...

" Sialan..... ". Zaid memaki tanpa suara.



________________



Pagi menjelang siang.. Embun yang menempel di dedaunan belum sepenuhnya tersapu panas Mentari. Disebuah dermaga tua, seorang pria gondrong rapih tengah berdiri tegak menatap lebarnya sungai. Sesekali Pria itu menghisap sebatang rokok dan kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Pandang matanya di edarkan ke segala penjuru. Terkadang dia menunduk seperti sedang mengamati sesuatu.

Pria itu adalah Zaid. Latifah yang menunjukkan tempat ini pagi tadi. Semalam tanpa sengaja Zaid berjalan kaki sampai kesini, tapi dia tidak sempat memperhatikan keadaan dermaga tua ini secara lebih teliti karena semalam pukul dua dinihari dia hanya penasaran dan membuntuti sebuah motor yang keluar dari rumah Pak Wijoyo saat Zaid sedang mengendap endap dibalik pagar belakang rumah.

Berjalan kaki membuntuti sebuah motor yang dipacu kencang tentu saja membuat Zaid ketinggalan jauh. Sehingga belum sampai pertengahan jalan, motor yang dibuntuti sudah berbalik arah kembali lagi. Hampir saja Zaid ketahuan kalau saja tidak ada gerombolan pohon pisang tumbuh di pinggir jalan. Dengan bersembunyi dibalik gerombolan pohon pisang itu, Zaid hanya bisa melihat sang pengendara motor adalah seorang pemuda bertubuh kekar dengan membawa sekotak kardus kecil yang rapat di lakban.

Menuntaskan rasa penasaran, Zaid memutuskan terus saja berjalan kaki kearah yang awalnya dituju oleh sepeda motor, hingga akhirnya Zaid sampai ke sebuah dermaga tua setengah jam kemudian.

Pukul 3 dinihari, keadaan gelap pekat. Di dermaga itu Zaid tidak menemukan petunjuk apa apa, hanya bekas jejak telapak kaki di hamparan lumpur diatas dek dermaga yang selalu terendam air jika pasang besar. Dengan cahaya lampu hape, Zaid cukup bisa untuk yakin jika jejak itu belumlah lama. Jejak dua orang dan mungkin lebih, serta bekas ban motor yang juga terlihat jelas.

Hingga akhirnya pagi ini ditemani Latifah pria muda berambut gondrong tersisir rapih tidak awut awutan dan brewokan tipis itu kembali lagi ke dermaga tua dengan mengendarai sepeda motor milik Sang Gadis.

Setengah jam berlalu, Zaid hanya berdiri tegak mengawasi sekitar dermaga, sementara Latifah menunggu dibawah pohon Akasia besar dan membuat api unggun kecil sekedar untuk mengusir nyamuk.

Mata Sang pria mengamati aktifitas di dermaga kecil tempat ponton penyeberangan motor dari areal pertambakan ke desa di pesisir sungai. Jarak yang cukup jauh sekitar satu kilometer membuat apa yang diperhatikan oleh Zaid terlihat tidak begitu jelas.

"Gimana Kang...? ". Latifah bertanya ketika Zaid berjalan menghampiri kemudian duduk disebelah Sang Gadis, di sebuah batu besar dengan permukaan yang cukup datar.

"Seperti nya ada kesibukan disini tadi malam... ". Zaid berkata hampir seperti bergumam.

Latifah yang cukup cerdas dan sedikit banyak bisa menduga duga siapa sebenarnya Zaid dan apa tujuannya datang ke Desa Rahayu merasa sedikit tegang. Dadanya berdebar menunggu ucapan Zaid selanjutnya. Tapi sang Pria hanya diam seperti sedang tenggelam dalam lamunan. Dan Latifah tak akan berani mengganggu. Dia hanya menunggu..

Sesekali matanya melirik, memperhatikan wajah Pria yang diam diam disukainya, satu satunya Pria yang pernah melihat tubuh telanjangnya, setidaknya sampai hari ini.

Wajah yang aneh.. Bathin Latifah berkata. Raut wajah itu kaku, pucat seperti tak berdarah.. Ini benar wajah manusia atau bukan....?. Kadang kadang timbul tanya dihati gadis itu.

Secara umum wajah Zaid terlihat sangat menarik. Tampan, dewasa dan tenang penuh Kharisma. Tapi warna kulit wajah yang pucat dan ekspresi yang selalu datar memunculkan keanehan tersendiri bagi Latifah. Seperti robot.....?.

Tangan kanan Zaid merengkuh pundak Sang Gadis yang diam termangu. Dia tahu sedari tadi Latifah terus saja memperhatikan wajahnya.

"Jangan pandangi lama lama.. Nanti jatuh cinta.. ". Canda Si Pemuda membuat wajah Latifah merona.

"Siapa yang mandangin...?. Ge er... ". Latifah berkilah dengan senyum dikulum.

Bahagia sekali Latifah pagi ini. Duduk berdua dengan lelaki yang dicintai, sambil memandang air sungai yang mengalir deras dan bergelombang. Deretan pohon nipah jauh di seberang sana menambah kesyahduan suasana.

Ingin sekali Latifah menyandarkan tubuh didada bidang Sang Pujaan hati, tapi dia malu, malu sekali untuk memulai.

Zaid dengan segala pengalaman hidupnya sebenarnya bisa membaca isi hati Latifah, tapi dia sengaja tidak mau terlalu mengikuti hawa nafsu, karena keberadaan nya di desa ini demi mengemban tugas penting, dia tak ingin rencananya berantakan karena urusan wanita.

Tidak ada yang tahu betapa sebenarnya hati Zaid saat ini tengah dilamun resah dan gundah gulana. Fikiran di otaknya tidak bisa fokus, bayangan wajah seorang wanita selalu hadir mengikuti kemana dan apa saja aktifitas nya. Bayangan raut wajah Asty,
Ibu Wildan dan Jihan, murid mengajinya...



_________________




Tiga hari di tambak sepulangnya dari lereng Semeru, Amin sudah gelisah. Kerinduan pada sang kekasih hati detik demi detik semakin membuncah. Sepanjang malam hanya Asty dan Asty yang bermain di alam fikirannya.

Halaman depan rumah yang sudah ditumbuhi rumput rumput liar setinggi betis belum sempat dia babat. Ditinggal selama kurang lebih satu bulan membuat sekitar rumah nyaris dipenuhi rumput dimana mana. Beberapa bunga di dalam pot yang berjejer di teras depan seperti layu tak pernah tersiram air.

Tarjo tetangga tambak hanya dimintai tolong untuk memberi makan udang, bukan mengurusi rumah. Jadilah rumah yang memang disekitar nya ditumbuhi banyak pohon itu menjadi seperti rumah ditengah hutan belantara.

Tapi Amin belum perduli. Benaknya belum tenang semenjak terpisah dari Asty. Meski baru tiga hari. Setiap saat seperti tak mampu dia lewatkan tanpa membayangkan wajah Sang Wanita Pujaan.

Ingin sekali Amin menelpon, tapi rasa malu menyergap. Apa kata Asty nanti, wanita mungil cantik jelita dan harum mewangi seperti bunga melati itu pasti akan meledeknya habis habisan.

Amin ingin Wanitanya lah yang menelpon duluan. Tapi tiga hari ini jangankan menelpon, bahkan SMS pun tak ada. WA milik Asty pun tak pernah terlihat Online.

Ya... Sebelum pulang kemarin, Amin memang membelikan Asty sebuah hape. Meski bukan hape mahal, tapi sudah cukup keren dan pantas digenggam oleh Ibu Ibu muda seperti Asty.

Tentu saja Asty senang bukan kepalang bisa memiliki hape lagi setelah hape lamanya hancur akibat perkelahian suaminya Deni melawan Jarot dan Alek tempo hari. Hape berwarna biru yang belum lama dibelikan Deni, harus hancur terinjak kaki.



__________________




Dua jam lebih Zaid dan Latifah berada di dermaga. Menjelang tengah hari kedua insan berlainan jenis itu akhirnya beranjak pergi menaiki motor merah muda milik Latifah.

Ditengah perjalanan, diantara rimbunnya batang pohon pisang dipinggir jalan tanah yang mereka lalui, Zaid dikejutkan oleh munculnya lima sosok pria menghalangi laju motor yang dia kendarai. Suasana jalan setapak yang sepi karena sawah sawah disekitar wilayah itu sudah melewati masa panen dan belum dimulai aktifitas penanaman kembali, membuat Latifah yang duduk di belakang motor sedikit ketakutan.

Gadis itu turun ketika motor berhenti, sementara Zaid masih tampak berusaha tenang diatas motor.

"Maaf, ada apa ya....? ". Melihat orang orang yang menghadang jalan hanya diam dengan wajah disangar sangarkan, Zaid mendahului bertanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Zaid, kelima pria itu malah senyum senyum genit pada Latifah.

"Habis dari mana Adek cantik..?. Pacaran ya...? ". Salah satu pria pencegat bertanya pada Latifah disusul suara gelak tawa kelimanya.

" Mending pacaran sama saya Dek... Ketimbang sama cowok jelek muka pucat itu... ". Sahut yang lain setelah suara tawa mereda.

Latifah risih, dan Zaid resah. Sementara kelima Pria itu semakin rapat Mengerubungi. Bahkan salah satu dari mereka mulai berani mencolek pinggang Sang Gadis yang tentu saja langsung terpekik sambil mundur menjauh. Tapi pohon pisang yang tumbuh bergerombol di belakang menghalangi niat mundurnya.

"Jangan ganggu dia.. Katakan, apa mau kalian...!!". Zaid berdiri melindungi Latifah.

Salah satu pria kemudian melangkah pelan mendekati Zaid, jari telunjuknya menuding tepat di depan hidung Sang Pria gondrong muka pucat.

"Kamu.... !!.. Dengar baik baik. Aku tidak akan bertanya apa tujuan mu datang ke desa ini, tapi aku cuma punya satu pesan. Jangan cari gara gara, kalau tidak mau mampus.. !!. ". Ucap sang pria pencegat itu dengan lantang dan telunjuk masih menuding sangat tidak sopan.

"Maksudnya apa... ". Zaid masih coba Bertanya meskipun dihati sudah bisa menebak arah pembicaraan lawan.

"Jangan pura pura bodoh.. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau lakukan tadi malam.. ". Jari yang menuding kini berganti bertolak pinggang.

Zaid segera maklum. Pemuda inilah yang berpapasan dengannya semalam diantara pohon pisang ini. Tapi, bukankah dia sudah bersembunyi...?
Ternyata mata Sang pemuda bertampang sangar ini cukup awas dan teliti.

Melihat Zaid hanya diam tanpa berkata-kata, lelaki muda yang nampaknya adalah pemimpin rombongan pencegat itu kembali berkata dengan suara lantang.

"Sekarang lekas pergi dari sini, tapi jangan bawa Latifah... ".

"Aku yang membawa nya, aku pula yang harus mengantarnya pulang... ". Zaid tentu saja marah dan tak Terima.

Dia tahu siapa lelaki muda tinggi besar dihadapannya. Dia tahu persis. Bahkan amarahnya sejak tadi sudah mendidih, otaknya seperti menggelegak. Zaid paham betul sepak terjang lelaki muda bernama Jarot itu. Jika boleh menuruti emosi, ingin rasanya Zaid membantai habis pemuda brengsek itu. Mengirimnya ke Malaikat maut.

Tapi sekarang dia adalah Zaid, lelaki 30an tahun yang sedang mengemban tugas penting. Tentu semua yang sejauh ini sudah berjalan rapi akan berantakan jika dia sampai tersulut emosi dan bertindak konyol.

"Kalau begitu, Latifah pulang sekarang, kau yang tinggal disini. Kita punya urusan yang harus diselesaikan... ".

" Jarot.. ". Zaid menyebut nama pemuda itu pelan. Pelan sekali. Tapi terdengar jelas suara pelan itu bergetar menahan amarah.

"Aku tak tau urusan apa yang kau maksud, tapi aku tak akan lari. Kulayani kemauan mu.. ". Lanjut Zaid lagi.

"Dek, kamu pulang duluan... ". Perintah Sang Pria muda pada Latifah.

"Tapi Kang....? ". Tentu saja Latifah tak akan mau membiarkan sang Pria yang dicintainya sendirian.

"Tak apa. Ini urusan kecil.. ". Ucap Zaid lagi, mencoba meyakinkan Sang Dara yang terlihat ketakutan.

"Iya... Ini urusan kecil. Aku janji Kang Zaid mu tidak akan kenapa napa... ". Pemuda bernama Jarot tertawa kecil membuat Latifah merengut kesal. Sementara keempat rekan si pemuda cuma tersenyum senyum penuh arti.

"Jarot, aku tau siapa kamu, kalau sampai Kang Zaid kenapa napa, aku tak akan membiarkan kamu bebas berkeliaran... ". Latifah akhirnya mengalah, tapi Sang gadis tak lupa meninggalkan ancaman.

"Aku tak bodoh Latifah,.. ". Jarot cepat menukas.

" Kalau aku berniat buruk, tidak akan kau kubiarkan pergi.. ". Lanjutnya lagi.

"Sekarang pulanglah, sebelum aku berubah pikiran. Dan jangan lupa, siapkan air hangat untuk kekasihmu ini mandi. Mungkin pulang nanti badannya sedikit agak sakit sakit... ". Jarot kemudian tertawa terbahak bahak. Keempat rekannya pun ikut tertawa.

"Pulanglah... ". Zaid berkata setengah memerintah melihat Latifah masih saja bimbang. Mendengar itu Sang Gadis kemudian melangkah mendekati motor, kemudian naik dan menghidupkan mesin matic merah muda kesayangan.

"Hati hati Kang... ". Ucap Latifah kemudian berlahan motor mungil itupun bergerak menjauh.

Tinggal lah kini Zaid seorang diri berhadapan dl dengan lima pemuda tinggi besar bertumpang sangar.

Mata Zaid menatap Jarot dengan tatapan tajam. Ada satu lagi pemuda yang dia kenal selain Jarot. Yaitu pemuda berjaket hoodie abu abu, Alek. Tapi fokusnya lebih tertuju kepada sang pemimpin, yang terlihat sedikit lebih berbahaya.

"Sekarang, katakan apa mau kalian....?.. ".

"Hahahaha..... ". Jarot dan teman-temannya malah tertawa. Kemudian setelah puas tertawa, pemuda itu mendekati Zaid yang berdiri waspada.

"Zaid,.. Aku tidak tau siapa kau, tapi gerak gerikmu tidak ku suka.. ". Jarot bicara pelan tapi penuh tekanan di nada suaranya.

" Dan sebagai pelajaran untuk mu, Terima ini... ". Setelah berkata demikian, dengan cepat sang pemuda melayangkan tinju besarnya ke wajah Zaid. Sang Pria guru ngaji bergerak mundur mengelak, tapi sedikit terlambat karena pukulan Jarot sangat cepat. Tak ayal bibirnya mengucurkan darah terserempet tinju, rasanya perih dan asin. Zaid pun meludah ke tanah, ludah berwarna merah bercampur darah.

Wajah Zaid mengelam, tapi dalam pandangan Jarot terlihat biasa saja. Tetap putih pucat. Hanya sorot mata Zaid yang terlihat menyala. Terkena tinju dibibir membuat emosi Zaid terpicu.

Tapi Pria berambut gondrong itu tak sempat berbuat apa apa ketika mendapati keempat rekan Jarot juga mulai menyerang dengan pukulan dan tendangan bertubi tubi. Jika berhadapan satu lawan satu, Zaid pasti bisa mengatasi Jarot, tapi dikeroyok lima orang.....?.

Tanpa ampun tubuh dan kepala Zaid menjadi bulan bulanan. Sang Pria tukang bersih bersih Masjid itu hanya bisa mengelak dan mencoba menghindar, beberapa pukulan bisa diatasi, tapi lebih banyak lagi pukulan yang bersarang ditubuh dan kepalanya.

Dan pada suatu momen, tubuh Pria gondrong itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terguling ditanah dengan bibir semakin banyak mengucurkan darah. Juga dari lobang hidung yang tampak memerah.

Zaid tergeletak tak berdaya.

"Itu pelajaran pertama... ". Jarot berdiri berkacak pinggang dan berkata pongah.

"Jika sikapmu masih mencurigakan, kau akan mengalami yang jauh lebih mengerikan.. ". Sang pemuda penjaga keamanan di Desa Rahayu itu melanjutkan kata.

Kelima pemuda itu kemudian mengeluarkan tiga buah motor yang diparkir diantara rimbunnya pohon pisang, kemudian berlalu dari tempat itu dengan suara motor yang menderu memekakkan telinga.

Jarot yang mengendarai motor trail paling belakang, sempat mengacungkan tinju sebelum berlalu..

"INGAT KATA KATA KU..!! ". Teriaknya sebelum melesat pergi.



______________



Dari mana Jarot tahu semalam Zaid membuntuti nya...?.

Sebenarnya bukanlah Jarot yang melihat keberadaan Zaid tadi malam. Tapi Alek.

Sesaat setelah Jarot berangkat ke dermaga tua menjemput barang, Alek keluar rumah Pak Wijoyo Bermaksud buang air kecil di samping rumah. Dan secara tak sengaja dia melihat sekelebat bayangan keluar dari kebun belakang dan berjalan kaki mengikuti arah motor Jarot. Alek sepintas mengenali sosok itu adalah Zaid, Sang marbot Masjid yang baru.

Alek pun kemudian melaporkan penemuannya kepada Pak Wijoyo, Sang bos pemilik rumah.

"Kau yakin itu Zaid..? ".

"Yakin sekali Bos... ". Alek menjawab tanpa ragu.

"Kalau begitu, ikuti dia, jalan kaki saja, jangan pakai motor. Lihat sampai dimana tindakannya... ". Perintah Pak Wijoyo kemudian.

Jadilah kemudian Alek membuntuti Zaid dari kejauhan. Sampai kemudian ditengah jalan mereka berpapasan dengan motor Jarot yang sudah kembali pulang.

Setelah motor Jarot lewat, Alek terus saja mengikuti langkah Zaid. Sampai ke dermaga, Alek pun menyaksikan bagaimana Zaid seperti tengah memeriksa sesuatu dengan penerangan lampu hape.

Dan ketika hal itu dia laporkan kepada Pak Wijoyo, Sang Kades mengangguk angguk pelan.

"Anak itu cari masalah... Beri dia pelajaran, tapi jangan dibunuh. Intimidasi saja.. ". Perintah Pak Wijoyo kepada Jarot dan Alek pagi hari nya.

"Kenapa tidak disingkirkan saja Bos...?". Jarot yang bertanya.

"Kita tidak tahu siapa dibelakang nya, bisa jadi dia bertindak seperti itu karena didorong rasa penasaran saja.. ".

"Tapi, bagaimana kalau dia mata mata...? ". Alek mencoba berargumen.

"Mata mata siapa...?. Tidak ada satupun polisi se kabupaten ini yang belum pernah makan uang suap dariku.. ". Alek terdiam mendengar ucapan Pak Wijoyo.

" Beri pelajaran, tapi jangan dibunuh. Aku tak mau repot mengurusi kalian kalau sampai dia mati... ".
Perintah Pak Wijoyo yang dibalas anggukan patuh Jarot dan Alek.

"Pemuda itu pasti cuma iseng... ". Pak Wijoyo mencoba menenangkan diri.

" Kalau dia cukup tangguh, kita bisa rekrut dia menjadi anggota kita... ". Lanjutnya kemudian.



______________




Pagi itu Amin tak tahan didera kerinduan. Dengan hati penuh disesaki rindu, akhirnya dia memutuskan mengunjungi Asty di rumah nya.

Dengan mengendarai motor, Amin menyebrang ke desa Rahayu menggunakan jasa ponton penyebrangan yang selalu ramai penumpang. Ponton itu adalah akses satu satunya bagi para petambak untuk menyebrang ke desa sekitar. Dimana pasar besar pun adanya cuma di seberang wilayah pertambakan. Di areal tambak tidak ada pasar besar, cuma ada kantin kantin sembako yang jumlahnya cukup banyak. Tapi harga barang barang kebutuhan dikantin itu relatif mahal.

Amin sengaja lewat jalan terobosan di tengah persawahan untuk menyingkat waktu tempuh. Jika harus memutar lewat jalan besar, perjalanan akan lebih lama berselisih satu jam lebih.


Cuaca yang sudah cukup lama tidak turun hujan membuat akses jalan ditengah persawahan itu bisa dilalui motor tanpa hambatan. Dengan bersenandung kecil lagu tentang kerinduan Amin memacu motor dengan santai. Sebelah tangan sesekali mengisap sebatang rokok yang terjepit jari. Wajah Sang Pria terlihat ceria, sebentar lagi dia akan bertemu wanita cantik pujaan hatinya. Tak sabar rasanya Amin memeluk dan mencium wanita yang sangat dia cinta. Tapi ketidak sabaran itu di tahan sebisa mungkin, Amin tak ingin terlalu ngebut mengendarai motor nya di jalan sawah. Bisa bisa motor terpeleset dan jatuh, bukannya ketemu Asty untuk melepas rindu, malah nyasar kerumah sakit nantinya.

Dalam fokusnya mengendarai motor, Amin sudah membayangkan betapa saat ini Asty pasti sudah mandi dan berdandan cantik sekali, karena sebelum berangkat dari rumah tadi dia sudah menelpon Sang kekasih, memberi tahu bahwa hari ini dia akan datang berkunjung dan kalau memungkinkan akan menginap barang semalam dua malam. Batang kejantanan nya sudah lama berpuasa, ingin segera di tuntas kan segala hasrat yang membara.

Asty cuma membalas dengan terkikik manja ketika tadi pagi Amin iseng menggoda, menyuruh menyabuni area kewanitaan dengan bersih dan wangi karena nanti malam akan digunakan.

Dalam sikap malu malunya, Asty pun sudah rindu kebersamaan dengan Sang pecintanya. Asty menginginkan, meski tak berani mengatakan.

Sepanjang pengetahuannya, berdasarkan informasi kepala Lapas tempo hari yang mengatakan Suaminya Deni telah ditambah hukuman penjara sampai belasan tahun dan dikirim ke Nusa Kambangan,. Membuat tipis Harapan asty untuk kembali bersatu dengan sang suami. Hal itu pula yang membuat dalam bingungnya Asty semakin tenggelam dalam pengharapan kepada sosok Amin yang berulang kali menjanjikan masa depan yang lebih baik untuknya dan kedua anak-anaknya. Dan juga kejantanan yang yang lebih...?. Entahlah.....

Yang jelas, untuk saat ini Amin lah yang senantiasa siap sedia pada saat Asty membutuhkan apa saja. Termasuk materi. Asty telah dibuatkan rekening sendiri oleh sang Pria, sebuah rekening atas namanya yang berisi saldo cukup lumayan.

Amin yang duda dan seorang petambak yang sering sekali berhasil dalam budi daya, tentu saja tidak kekurangan uang, apalagi sekedar memenuhi kebutuhan Asty dan anaknya yang cuma dua, masih kecil kecil pula.

Rekening Asty disisi saldo 10 juta, tentu saja jumlah uang itu membuat Asty senang sekali. Wanita mana yang tak senang, disaat suami mendekam di penjara, sementara dia sendiri tidak ada pemasukan apa apa, eh, malah dibuatkan rekening dengan saldo sebanyak itu, bahkan dengan janji jika saldo habis, akan segera ditransfer lagi.. Menyenangkan bukan...?..

Seperti ketiban bulan, diberi uang banyak, diberi kepuasan batin pula. Tentu saja Asty hari ini sudah berdandan cantik demi menyambut kedatangan Sang Arjuna.

Jihan dan Wildan kedua anaknya pun kecipratan rezeki dari saldo rekening milik Asty. Beberapa lembar baju berharga lumayan, busana muslim model terkini untuk Jihan mengaji pun dibelikan.

Wildan sibungsu tak mau kalah. Selain beberapa set baju dan celana, tak lupa mainan mainan mahal yang selama ini cuma jadi impian Sang bocah pun dibelikan Sang Ibunda. Sepintas keluarga kecil tampa sosok ayah itu sangat bahagia.

Tak satupun yang tau sebenarnya Asty sering menangis tengah malam jika merenungi nasib hidup yang menimpanya. Bicara cinta, tak ada yang mengalahkan besarnya cinta Asty kepada Deni Sang suami. Tapi Sang suami yang harus mendekam belasan tahun, dari mana bisa menafkahi Asty dan anak anak...?.

Sebagai wanita dewasa, tak ada jalan lain bagi Asty selain memanfaatkan sebisa mungkin setiap peluang yang ada, meski itu harus menggadaikan harga diri. Setidaknya sampai saat ini dia tidak harus melacur demi menyambung hidup, meski bergantung kepada Amin dengan imbalan kehangatan tubuhnya sama saja dengan menjadi pelacur. Tapi bukankah dia hanya harus melayani satu orang saja, bukan berpuluh puluh.. Dan uang yang didapatpun lebih menjanjikan ketimbang jadi PSK.

Disetiap senyum yang dia kembangkan di hadapan Amin, ada jeritan sakit jauh didalam hati kecilnya. Tapi semakin lama tetap saja Asty semakin tenggelam. Tak ada tangan penyelamat yang terulur. Tak ada satupun. Bahkan kedua orang tuanya yang sudah sepuh tak mungkin lagi bisa diandalkan. Jika bergantung pada hasil sewa sawah, paling paling cuma cukup untuk makan saja, itupun harus dengan prihatin.

Beruntung sebenarnya Asty dengan keberadaan Amin yang menyukai nya, meski awalnya enggan, tapi kenyataannya semakin hari Asty pun semakin terlena. Dicukupi oleh Amin kebutuhan lahir dan bathinnya.

Hanya ketika dalam sunyi sepi saja terkadang Asty merasakan sedih tak terkira, menangis, meratap dalam jaga di tengah malam. Menyebutkan nama Deni dalam kerinduan. Tapi jika telah siang, Asty seperti lupa akan segala kesedihan. Kesibukan mengurus anak anak mejadi penghibur hati yang mujarab, apalagi mengurus Amin Sang pejantan yang perkasa.



_______________




Kembali ke tengah sawah...

Sepeninggal Jarot dan konco konco nya, Zaid mencoba berdiri. Dengan berpegangan pada pohon pisang, tubuhnya berhasil ditegakkan tapi limbung dan kemudian jatuh lagi. Kepala terasa pusing, bibirnya pun bengkak dan perih sekali. Mata kiri juga terlihat membengkak. Tapi wajah itu tidak terlihat lebam. Tetap saja putih pucat.

Zaid bersandar dibatang pisang dengan kepayahan. Darah yang meleleh masih terasa lengket meski tak lagi mengalir keluar. Dalam sakitnya dia masih sempat tersenyum getir, kemudian tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek api. Setelah menyeka darah dibibir dengan belakang tangan, Pria gondrong marbot Masjid itu menyalakan rokok dan mulai menghisap berlahan. Dengan tubuh tersandar lemah dan bibir bengkak berdarah, Zaid masih bisa menikmati sebatang rokok, meski meringis ringis menahan perih.

Belum habis setengah batang rokok ditangan, mata Zaid yang membengkak melihat sebuah sepeda motor mendekati dari kejauhan. Seoeda Motor jenis matic itu melaju pelan, semakin mendekat sampai akhirnya Zaid berdebar begitu mengenali si pengendara.

Amin terkejut dan menghentikan laju sepeda motornya begitu melihat seseorang duduk kepayahan diantara pohon pohon pisang dipinggir jalan. Sepertinya orang ini habis berkelahi, terlihat dari bibir dan mata yang bengkak, serta lelehan darah yang belum benar benar mengering.

"Hei... Apa yang terjadi...? ". Amin bertanya setelah mesin sepeda motor benar benar mati.

Si Pria yang ditanya membalas dengan senyum kecil.

"Biasa Bang.. Berantem... ". Jawabnya berdalih. Tak ada gunanya juga menceritakan kenyataan sebenarnya.

Amin turun dan duduk disebelah Si Pria Gondrong.

"Kamu dari desa Rahayu...? ".

"Iya Bang... ".

" Nama saya Amin.... ". Amin memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan. Kedua pria itu berjabat erat.

"Saya Zaid.. Marbot Masjid di desa Rahayu... ". Zaid balas menyebutkan nama.

" Ya sudah. Ayo saya antar kerumah... ".Amin berdiri.

"Nanti saja kita ngobrol ngobrol... ". Katanya lagi.

Zaid mencoba berdiri dan kali ini berhasil meski tetap agak sempoyongan.

"Pelan pelan.. ". Ucap Amin yang sudah menghidupkan kembali mesin maticnya.

Zaid pun naik kebelakang sepeda motor dan duduk dengan kedua tangan merangkul pinggang Amin.

"Pegangan yang erat, Jangan sampai jatuh... ". Amin berkata dengan tertawa kecil membuat Zaid ikut tertawa.

Motor pun kembali melaju, kali ini lebih berlahan lagi karena Amin membonceng seorang pria yang sedang terluka.

" Kamu kenal Pak Dahlan....?". Di antara deru suara motor Amin bertanya.

"Iya, kenal... ". Zaid menjawab pendek.

" Kenapa....? ". Zaid balik bertanya karena Amin diam saja.

"Tujuanku ke rumahnya... ". Amin menjawab sembari tetap fokus mengendalikan laju sepeda motor dijalan tanah yang bergelombang.

"Ooh.... ". Respon Zaid sedikit saja.

"Ngapelin anaknya... ". Amin tertawa terbahak setelah berkata demikian.

Amin tak tahu dibelakangnya Zaid tersentak, hatinya tercekat mendengar kata kata Sang pembonceng barusan. Dada Zaid bergemuruh. Dia tak mampu merespon ucapan Amin karena lidahnya mendadak kelu. Tapi Amin tak memperhatikan itu.

Bahkan sampai memasuki wilayah Desa Rahayu Zaid masih membisu. Bathinnya bergejolak hebat. Firasat nya mengatakan ada sesuatu yang terjadi antara Asty dan Amin, pria yang mengantarkan nya sampai ke rumah.

"Terimakasih bro... Gak mampir dulu... ? ". Zaid berbasa basi ketika turun dari belakang motor.

"Lain kali aja bro... Sudah gak sabar pengen ketemu Asty... ". Tawa Amin mengekeh.. Dan bagi Zaid tawa itu sangat menyebalkan. Ingin rasanya dia menghajar si brengsek Amin, tapi yang keluar dari bibir bengkak nya hanya segaris senyum. Dan senyum itu berubah jadi Seringai ketika Amin berbalik dan kembali melajukan sepeda motornya.

"Bangsat....!! ". Maki Zaid pelan dan tak ada satupun yang mendengar.




______________



Setelah membersihkan diri seperlunya, Zaid termenung sendirian didalam rumah. Kata kata Amin tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Benar benar menyulut emosi Si Pria. Zaid baru saja berhenti menyumpah nyumpah. Segala serapah berhamburan dari bibirnya yang masih bengkak. Bahkan terlihat sebuah kursi plastik terlihat patah akibat tendangan Zaid barusan. Tak ayal kaki yang masih sakit akibat dihajar Jarot dan kawan kawan tadi jadi bertambah sakit karena menendang kursi.

Zaid berfikir keras, bagaimana caranya menghentikan kegilaan Amin. Meski marah, Zaid sadar posisinya sekarang membuat dirinya tak bisa bebas bertindak. Tugas penting yang Diembannya lah yang menjadi penghalang. Jika dia menuruti emosi, bisa bisa semua akan berantakan.

Berfikir sampai kesitu Zaid berlahan meraih hape yang tergeletak dimeja. Layar hape dinyalakan, dan gambar seraut wajah anak kecil berusia 4 tahun yang ganteng dan lucu terlihat dipasang sebagai wallpaper.

Zaid menelpon seseorang... Tak lama telepon pun tersambung.

"Hallo.. Selamat siang Pak... ". Zaid menyapa lawan bicaranya.

"Selamat siang.. Ada hal penting kah.. Sampai menelpon segala, biasanya chat...? ". Balas orang di seberang sana.

Zaid tertawa mendengar kata kata itu. Tawa yang terdengar getir dan hambar.

"Cerita lah... Aku ada banyak waktu untuk menjadi pendengar yang baik.. ". Ucapan itu disambung tawa kecil, sepertinya orang yang ditelpon Zaid menyadari ada masalah yang melanda Zaid saat ini.

Zaid kemudian bicara panjang lebar, menjelaskan situasi yang terjadi sekarang ini. Mulai dari perkembangan penyelidikan yang dia lakukan, sampai kepulangan Asty dari Jawa, dan keakraban yang terjalin diantara Amin dan Asty yang mulai mencurigakan bagi nya. Tak lupa juga Zaid mempertanyakan tentang keputusan untuk mengatakan bahwa Deni dipindah ke nusakambangan karena hukumannya ditambah.

"Apa perlu sampai sejauh itu Pak...? ". Tanya Zaid diakhir ceritanya.

Orang ditelpon terdengar menghela nafas berat.

"Terpaksa.. Tak ada jalan lain.. ". Jawabnya kemudian.

"Kami dari kepolisian tidak menduga Asty akan pulang dan membesuk ke Lapas secepat itu. Jawaban itu diambil sepihak oleh sipir penjara karena panik dan tak tau harus menjawab apa. Para sipir itu tidak bisa disalahkan karena mereka benar benar bingung tanpa arahan sebelumnya dari kepolisian. Saya akui itu kesalahan saya, tidak mempertimbangkan kemungkinan itu.. ".

"Jadi, saya harus bersikap bagaimana, Pak...? ". Lesu sekali nada suara Zaid terdengar.

"Sekarang, kendali ada ditanganmu, berhasil atau tidak, semua tergantung keputusan mu. ". Zaid hanya diam mendengarkan.

" Sudah setengah jalan. Tapi kalau kau ingin menyerah dan membongkar identitas asli mu, ya tidak apa apa. Saya tidak bisa mencegah, karena ini berkaitan dengan masa depan mu.. Tapi sebelumnya saya mohon, pertimbangan semuanya dengan kepala dingin... ". Orang ditelpon melanjutkan kalimatnya.

" Jangan lupa, kalaupun kau membuka kedok, belum tentu akan memperbaiki semuanya, ".

"Maksud Bapak....? ". Zaid terdengar antusias.

" Saran saya, tetaplah dengan Identitas mu yang sekarang, sambil kau pantau sejauh mana hubungan antara Asty dan Amin itu, kalau bisa, kau berilah saran dan nasehat kepada Asty, agar tak terlalu jauh terjerumus, dan berilah harapan, katakan saja bahwa Deni belum tentu dihukum selama itu, karena sekarang masih proses persidangan lanjutan. Dengan begitu harapan dihati Asty kepada suaminya Deni tidak lenyap, Kau paham maksudku kan...? ".

"Paham Pak... ". Zaid menjawab dengan suara lirih kemudian menutup telepon setelah dirasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Sejenak dipandangi nya wajah bocah di wallpaper hape nya. Setetes air mata mengalir membasah di pipi pucat Zaid.

" Tunggu sebentar lagi nak, sampai semua bukti cukup, dan tugas ini selesai.. Kita akan berkumpul bersama lagi.". Zaid bergumam sambil jari tangan nya menyentuh layar hape. Seperti ingin mengelus wajah Sang Bocah.

Zaid terisak.. Dia hampir saja memutuskan menyerah. Tapi jika menyerah, maka dia harus kembali mendekam dipenjara, dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hadiah besar yang dijanjikan jika tugasnya ini berhasil.

Ya... Hadiah besar yang teramat menggiurkan bagi Zaid yang sedari kecil tak pernah hidup bergelimang harta. Bahkan sampai anak pertamanya berusia 8 tahun sekarang, Zaid belum mampu membangun sebuah rumah untuk tempat berlindung keluarganya.

Dan jika tugas berat ini berhasil diselesaikan dengan baik, maka jangankan rumah, mobil mewah pun bisa Zaid beli dengan hadiah besar yang dijanjikan itu. Dan berfikir seperti itu, Zaid memantapkan hati untuk lanjut. Perkara Asty, biarlah akan dia cari jalan keluarnya nanti. Melihat dulu bagaimana perkembangan selanjutnya.



________________



Asty Pramudhita, wanita cantik 29 tahun yang kecantikan wajahnya justru semakin terlihat jelas di usianya yang menjelang kepala tiga keluar menyambut di depan pintu rumah ketika telinganya mendengar deru suara sepeda motor yang khas dan sangat akrab di pendengaran nya. Tubuh nya yang kecil mungil tapi padat berisi meski tidak bisa dibilang gemuk disandarkan ke sisi kiri kusen pintu dengan senyum tipis yang dikulum.

Melihat itu Amin tertawa lebar dan kemudian memarkirkan kendaraan nya di bawah sebatang pohon sawo. Pria yang masih cukup muda itu melangkah menuju om rumah dengan plastik hutan tergenggam ditangan kiri. Plastik besar biasanya berisi oleh oleh.

Wildan, bocah kecil yang berdiri dibalik punggung Asty nampak malu malu ketika disodori plastik besar itu. Matanya mengerling wajah Sang Ibu, dan kemudian tangannya terulur ketika melihat Sang Ibu mengangguk. Aneka macam buah buahan ternyata ada didalam kantong plastik hitam. Wildan jelas merasakan beban berat ketika menggenggam, tapi bocah itu berusaha membawa plastik oleh oleh itu ke ruang tengah.

Asty dan Amin tertawa ketika kemudian Wildan mengeluh capek dan berat dengan ekspresi lucu khas bocah.

"Nih.. Buat jajan.... ". Amin mengulurkan selembar uang 20 ribuan kepada sang bocah, yang disambut gelengan kepala.

"Kenapa... Kurang..? ". Goda Amin melihat Wildan menolak.

"Gak usah Om.. Idan masih punya duit kok... ". Sang bocah polos memberi alasan sambil tangan mungilnya merogoh kantong celana dan menunjukan lipatan uang dua ribuan sisa jajan kemarin sore.

"Gak apa apa, ini buat besok.. ". Amin lantas memasukkan uang di tangannya kedalam kantong celana baru yang dipakai bocah 4 tahun itu.

Asty tersenyum, dan Sang anak pun menurut saja. Kemudian dia berlari kebelakang menemui Sang kakek yang sedang bersantai di teras dapur.

Sejenak hening diruang tengah, dimana Amin duduk lesehan di lantai semen, dilapisi selembar tikar.

"Aku rinnduuuuuu... ".ucap Amin menirukan lirik sebuah lagu lama yang entah judulnya apa. Asty tertawa tergelak kemudian melangkah kedapur.

Tak lama berselang Pak Dahlan muncul menemui tamu putrinya, Amin segera menyongsong dan meraih tangan pak Dahlan kemudian mencium tangan keriput itu dengan takzim. Pak Dahlan tersenyum hambar tanpa sepengetahuan Sang Tamu.

"Sudah lama....? ". Tanya Pak Dahlan berbasa basi.

" Belum kok Pak, baru saja.... ".

" Ooh... ". Lelaki tua bapaknya Asty itu menjawab pendek. Kemudian melangkah keluar ketika mendengar suara anak perempuan kecil mengucap salam..

" Assalamu'alaikum... ". Itu suara anak sulung Asty yang baru pulang dari sekolah.

"Waalaikum salam.... ". Pak Dahlan menyahut ketika tubuh ringkih nya sudah sampai diruang tamu.

"Sudah pulang cu....? " .

"Iya Mbah.... ". Lalu terdengar suara percakapan antara kakek dan cucu kesayangan nya. Terdengar lamat lamat dari ruang tengah.

Setelah melepas sepatu dan meletakkan nya dirak sepatu diteras depan dekat dinding, Jihan masuk diikuti Sang kakek yang melangkah setengah tertatih karena usia,

"Eh,, ada Om Amin... Apa kabar Om....? ". Jihan tersenyum dan kemudian salim. Amin cuma tersenyum sembari tangan kirinya mengelus lembut rambut Sang bocah perempuan.

Jihan cukup akrab dengan sosok yang duduk diruang tengah rumah embahnya ini, karena sudah beberapa kali dia mengetahui Om Om ini bertamu dan bahkan pernah bermalam disini.

Om Amin adalah teman Ibunya, sebatas itu pengetahuan dan nalar Sang bocah delapan tahun.

Setelah sedikit berbasa basi, Jihan kemudian bangkit berdiri dan melangkah setengah berlari menuju ke belakang, sambil tak lupa tangannya meraih dan mencomot sebutir buah apel didalam kantong plastik hitam yang teronggok diatas tikar.

Amin tertawa melihat tingkah Sang bocah..

Sementara Bu Utari cuma menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya berlahan lahan. Dada Sang Ibunda terasa sedikit sesak melihat betapa dalam usia dini seperti itu Jihan dan Wildan kedua cucunya harus terpisah lama dengan Sang Bapak. Entah masih sempat bertemu lagi atau tidak. Seturut apa yang diceritakan Asty, Deni menantunya berada di nusakambangan sekarang , untuk menjalani hukuman yang bertambah menjadi belasan tahun lamanya. Kenyataan yang pedih tentunya..

Kepedihan itu juga lah yang membuat Bu Utari dan juga Pak Dahlan tidak mampu berbuat banyak untuk mencegah semakin mesranya hubungan Asty dengan Amin yang sekarang berada diruang tengah rumahnya itu.

Pokok persoalan utama adalah masalah ekonomi. Bukan berarti kedua orang tua itu mengikhlaskan Asty terjerumus dalam jurang perselingkuhan, akan tetapi untuk Asty hidup dan menghidupi kedua anaknya jelas sekali butuh uang, dan Deni tak akan mampu diandalkan.

Kadang terfikir dibenak Sang Ibu untuk membujuk Asty menggugat cerai Sang suami, tapi orang tua itu tak tega, selama ini Deni adalah menantu yang baik dan suami yang bertanggung jawab, apalagi mengingat terpenjara nya Deni adalah demi mempertahankan kehormatan Sang istri. Adalah suatu perbuatan yang tidak tahu balas budi jika sampai Asty malah menggugat cerai Deni.

Disaat ini Bu Utari sangat bingung, dan semuanya memang dalam keadaan bingung. Sebingung Wildan yang sudah sangat lama tidak digendong gendong oleh Sang Ayah. Biasanya setiap sore Ayah dan anak itu jalan jalan disekitaran rumah, setelah Wildan selesai dimandikan dan tersenyum manis dalam gendongan ketika Sang Istri sibuk didapur memasak untuk makan malam.

Tiba tiba Bu Utari teringat sosok Zaid yang dua tiga minggu belakangan ini sangat akrab dengan Sang cucu. Jika cucu lelaki kesayangannya itu sudah digendong Zaid, maka susah sekali untuk bisa dilepaskan. Seperti Wildan telah menemukan sosok pengganti Sang Ayah. Ya... Zaid, bukan Amin, seandainya saja Bu Utari bisa memilih, dia lebih suka Asty didekati Zaid ketimbang jatuh kepelukan Amin.



_________________



Selepas Adzan maghrib, Asty pamit pada Sang Ibunda untuk keluar sebentar bersama Amin. Jihan dan Wildan sudah dari tadi berangkat ke Masjid untuk mengaji.

"Hati hati.. Jaga diri baik baik... ". Itu saja pesan Bu Utari pada Sang anak.


Sementara Pak Dahlan pura pura tidak tahu dan tetap tenggelam dalam irama lagu keroncong yang terdengar dari sebuah pemutar mp3 milik cucunya Jihan yang baru kemarin dibelikan Asty. Kepala orang tua itu mengangguk angguk seirama lagu, dan Asty akhirnya memutuskan untuk berangkat saja tanpa pamit kepada Sang bapak.

"Kita cari penginapan, dirumah gak bebas... ". Ucap Amin ketika motor matic nya mulai melaju.

Asty hanya diam. Lagipula, dia mau bicara apa...?.
Saat ini dia hanya bisa menurut saja kemajuan Sang Pria. Tak ada keberanian untuk membantah, karena dia sadar, kehidupannya sekarang bergantung pada lelaki yang sekarang sedang dia peluk pinggang nya.

Sepuluh Kilometer dari desa Rahayu, ada sebuah pasar besar. Meski malam, aktifitas di sekitar pasar itu selalu ramai. Bisa dibilang, daerah sekitar pasar itu adalah pusat keramaian di wilayah desa Rahayu dan beberapa desa lainya si sekitar situ.

Dua puluh lima menit kemudian sepeda motor yang dikendarai Amin dan Asty memasuki sebuah bangunan bertingkat dua dengan puluhan pintu yang berderet deret. Itu adalah deretan kamar penginapan sederhana dan murah, yang banyak digunakan oleh para pedagang dari luar daerah, atau juga para pasangan yang ingin memadu kasih. Seperti Amin dan Asty saat ini.

Tak lama kemudian kedua sejoli itu sudah berada didalam sebuah kamar. Ada sebuah pesawat televisi layar datar, dan sebuah ranjang cukup besar yang dilapisi kasur bisa tebal. Hanya ada kipas angin, tanpa AC. Wajar saja, karena sewa kamar itu tidak terlalu mahal. Hanya 50 ribu untuk satu malam. Itupun sudah termasuk bonus sebotol minuman bersoda ukuran sedang.

Berlahan Amin melepas celana panjang denim yang dia pakai, menyisakan sempak saja yang menutupi batang kemaluannya. Batang itu tampak sudah menonjol kencang dan besar. Asty yang melihat itu kemudian mendekati Amin dan berjongkok di hadapannya. Dengan senyum, kedua tangan Asty menyentuh pinggang celana dalam itu dan menariknya turun sampai ke lutut Sang Pria yang sudah menahan konak dari tadi.

Batang besar dan panjang itupun mencuat keluar memamerkan keperkasaannya. Tanpa menunggu lama bibir mungil Asty pun membuka, lidah merah muda berlahan terjulur dan kemudian menyentuh kepala besar itu, membuat Amin mendesah menahan nikmat.

Dengan lembut Asty menjilat kepala kejantanan Amin, menggelitik lubang kecil yang mulai sedikit mengeluarkan cairan bening, kemudian melumat batang itu dengan kuluman yang memabukkan. Amin bergidik, sangat nikmat sekali dia rasakan di sekujur batang kejantanan miliknya.

Sementara Asty dengan bersemangat memajukan mundurkan kepalanya membuat batang itu semakin lama semakin berkilat dan semakin menegang kencang. Amin tak tahan.. Diraihnya tubuh mungil Asty, diangkat kemudian dihempaskan diatas kasur tebal itu, dengan cepat Sang pejantan itu melepas sempak yang masih menyangkut didengkul, kemudian melepas baju kemeja hingga kini Amin telah telanjang sepenuhnya.

Asty mengangkang pasrah.. Dadanya berdebar menanti tindakan Amin selajutnya. Dan pria itu pun kemudian naik keatas ranjang, menindih tubuh Asty, mendaratkan ciuman panas disekujur leher jenjang itu, membuat Asty mendesah desah, tapi desahan itu terhenti ketika lidah Amin menjulur masuk dan membelit lidah Sang wanita dengan belitan yang liar seperti belitan ular phyton melumpuhkan mangsa.

Asty pun lumpuh... Semakin lumpuh ketika tangan Amin kemudian melepas kancing baju itu satu demi satu. Kemudian melepas juga kaitan Bra berwarna biru muda yang menutupi gundukan payudara, sehingga pentil kecil berwarna coklat muda menyembul untuk kemudian kembali hilang dilumat bibir Amin yang mengandung racun birahi.

Tak ada yang keluar dari mulut Sang wanita cantik jelita itu selain desahan dan erangan lirih.. Erangan yang semakin membuat Amin bertambah liar membasuh gundukan payudara itu dengan air ludah. Kedua tangan Asty merangkul erat tubuh Amin, seolah ingin lumatan Amin tak akan pernah berakhir.

Tangan Amin pun mulai beraksi. Menyelusup masuk ke balik celana, kemudian meremas dan mengelus silih berganti, membuat erangan Asty semakin keras terdengar. Tapi suara televisi dengan volume cukup kencang mampu meredam suara erangan itu, sehingga mereka tidak perlu khawatir terdengar sampai keluar kamar.

"Mas.... ". Panggil Asty dengan tatapan mata memohon.. Pinggulnya sedikit terangkat memberi tanda. Dan Amin paham tanda itu. Berlahan Amin bangkit dari dekapannya ke tubuh mungil nan sinyal itu, lantas kedua tangannya membuka kancing celana yang dipakai Asty. Penuh perasaan celana itu ditarik turun sampai lepas dari sepasang kaki Sang wanita, dan kemudian tampaklah kaki putih mulus menggairahkan terbuka lebar dengan pangkal paha yang mengundang selera.

Meski masih tetutup sehelai celana dalam tipis, tapi pesona lobang kewanitaan itu telah memancar menyilaukan mata hati, membutakan kesadaran bagi siapapun yang melihatnya. Termasuk Amin yang kemudian menarik celana dalam itu, melepas nya sekalian supaya tubuh Asty tak lagi terlindungi.

Batang kejantanan Amin berkedut kencang ketika matanya melihat belahan yang merekah merah muda. Sedikit mengkilat belahan itu, pertanda Sang lobang siap untuk dimasuki batang pengundang nikmat milik nya. Amin mengusap keringat yang membasah didahi, kemudian wajahnya turun kebawah, menuju rekahan merah yang mengudang sedari tadi. Rekahan yang membasah mendambakan sentuhan,

Bau khas vagina menyeruak dilobang hidung Amin ketika lidahnya menyentuh bibir kemaluan itu. Bau yang memabukkan, sedikit beraroma mawar, dan rasanya segar sekali dilidah.

Tubuh Asty langsung menegang kencang dengan kepala yang terdongak ketika lumayan itu datang, kedua kakinya melejang pelan, tak tahan didera rasa nikmat yang begitu merasuk sampai ke dalam dada, membuat semua nya menjadi indah, dan semakin lama semakin indah, mata Sang wanita pun terpejam..

Terasa sangat lama Amin bermain lidah dibawah sana, Asty ingin lebih, ingin dimasuki lebih dalam lagi. Jiwanya resah menanti, menunggu Amin menuntunnya meraih kenikmatan di level yang lebih tinggi.

"Mas... ". Asty memanggil lagi, kali ini dengan suara yang terdengar memelas, tak tahan dia dipermainkan lidah, yang hanya memberi kenikmatan di bagian luar kewanitaannya. Dia ingin disentuh dibagian yang terdalam. Dinding kewanitaannya ingin melumat batang panjang dan besar itu, Secepatnya.

Tapi Amin masih betah disana. Dia tak tahu betapa Asty sangat mendambakan hentakan dan tusukan batang perkasa. Wanita itu menggeleng gelengkan kepala, berusaha mengurangi siksaan nikmat yang tanggung dan seperti mempermainkan jiwa nya. Asty ingin segera mencapai puncak Nirwana, tapi Amin masih betah bermain main di lereng lereng curam.

"Mas... Aku tak tahan.... ". Kali ini Asty seperti akan menangis. Menangis meratap ditengah padang gersang, memdambakan seteguk air pelepas dahaga. Air yang sudah terlihat sangat dekat, tapi bisa digapai.

Amin tahu, tapi kali ini dia sengaja ingin mempermainkan wanitanya. Dia ingin Asty memohon mohon, meminta Disetubuhi. Dia ingin Asty yang memulai mendaki. Dan keinginannya seperti akan benar terjadi.

Dengan beringas Asty bangun dari tidurannya, meraih kepala Amin, kemudian menelentangkan tubuh besar lelaki itu diatas kasur busa tebal merek In*ac.

Segera setelah Amin terlentang, Asty merangkak menaiki tubuh itu dan memposisikan batang yang semakin tegak dan keras itu kelobang kemaluannya yang semakin basah saja.

Tanpa basa basi pinggul Asty dihentakkan keras keras kebawah. Lolongan wanita itu terdengar panjang menyayat hati ketika batang kejantanan Amin amblas sedalam dalam nya, menyentuh leher rahim Sang wanita.

Tubuh Asty bergetar, ber kelonjotan diatas tubuh Amin yang terlentang pasrah. Satu tusukan yang teramat keras dan dalam berhasil mengantarkan Asty ke gerbang surga dunia, mulutnya ternganga dengan mata yang mendelik, suara nafasnya seperti tercekik. Tertahan di tenggorokan.

Asty Orgasme dengan hanya satu saja tusukan. Luar biasa sekali nikmatnya. Lantas tubuh mungil putih mulus itu ambruk menimpa Amin yang masih terbaring. Nafas Asty tersengal sengal meresapi jutaan nikmat yang tak mau berhenti mengoyak ngoyak jiwa, dan melemparkannya kedalam api asmara yang membakar hati, meluluh lantakkan kesadaran.

Amin mendorong tubuh Asty ke samping. Mwmbaringkan smag wanita yang masih terpejam pejam menikmati sisa sisa Orgasmenya yang belum habis.. Kaki itu direntangkan, dan Amin kemudian naik menunggangi Sang kuda binal yang baru saja sampai di puncak.

Hentakan keras mengejutkan Asty, membuat dia terpaksa membuka mata, dan bertahan dari segala hentakan, tusukan, genjotan dan hantaman batang kejantanan yang keluar masuk bertubi tubi dengan kecepatan tinggi.

Asty kewalahan menghadapi serangan batang Amin yang menusuk kencang penuh dendam, tapi dia hanya pasrah, karena lambat laun tusukan itu membawanya kembali mendaki. Tubuh nya terdorong maju mundur seirama hentakan pinggul Amin yang tak berhenti menggenjotkan batangnya keluar masuk dengan sepenuh tenaga. Pria itu seperti kesurupan menunggangi tubuh Asty yang sebenarnya jauh lebih kecil dari tubuhnya.

Sepintas jika dilihat orang akan menaruh kasihan karena tubuh semungil itu digenjot habis habisan oleh seorang pria dengan tubuh kekari berotot dan berbatang panjang.

Tapi dalam persetubuhan, besar kecil tubuh tidak berpengaruh, hang penting sama sama bergairah, karena dengan gairah yang menggebu, batang sebesar apapun akan bisa masuk kedalam lobang kewanitaan wanita semungil apapun. Asalkan tubuh itu sudah bisa mengeluarkan cairan pelicinnya.


Seperempat jam berlalu, tanpa kenal lelah, Amin masih terus menggerakkan pinggulnya turun naik diatas tubuh Asty. Sang wanita yang harus pasrah menerima tusukan beruntun itu hanya diam tanpa reaksi. Matanya menatap Amin dengan tatapan sendu. Gairahnya telah kembali terbangkitkan tapi rasa lelah akibat Orgasme yang luar biasa tadi membuat Sang wanita hanya terlentang pasrah seperti batang pisang. Tak ada gerakan perlawanan, tak ada juga geliat balasan, Asty hanya menunggu gelombang itu datang lagi menerpa. Dia membiarkan Amin berkerja sendiri diatas tubuhnya.

Amin pun terlihat tak mempermasalahkan itu, terbukti meski Asty diam, Amin tetap mengenjot dan menusuk dengan gairah birahi yang telah berada di puncak tertinggi. Dia maklum stamina Asty tak sekuat dirinya, jadi dengan demikian Amin ikhlas mendaki sendirian sambil "menggendong" Asty untuk kembali mencapai Orgasme yang kedua kali.

Bibir kemaluan itu telah memerah, batang Amin pun semakin berkilat tegang maksimal. Asty mulai mengeluarkan desah.. Puncak Nikmat nya sudah mulai kembali terlihat. Pinggul Sang wanita berlahan mulai memberikan gerakan balasan. Membuat Amin yang sudah dekat semakin mempercepat gerakan pinggulnya.

"Ohhhhh... Asty... ". Amin melenguh. Tak sadar bibirnya menyebut nama wanita dalam genjotannya.

"Mas... Terus... ". Asty pun sudah menjelang.

" Lebih cepat Mas... Ooouhhh... ".

Dinding kewanitaan Asty mencengkeram erat batang kejantanan Amin. Erat sekali. Sampai sampai membuat Amin merasa ngilu. Cengkraman itu semakin erat, berkedut, menghisap dan kembali mencengkeram lagi. Dan kemudian Amin pun jebol...


" AAAAAAHHHHHH.....!!! ".
Pinggulnya menekan sangat keras, batang nya terbenam dalam dalam. Dan cairan kental itu menyemprot berulang kali. Memancing orgasme Asty yang memang sudah diambang pintu.

"OOOOOUUHHHHH.... MASSSSS....!! ". Mata Asty membeliak besar menatap langit langit kamar. Gelombang Orgasme yang kedua ini jauh lebih dahsyat. Tulangnya seperti dilolosi satu persatu. Membuat Asty lemas tergolek tak bertenaga. Terrhimpit tubuh besar Amin yang bergetar dan meyentak nyentak seiring semprotan demi semprotan cairan kental menyirami rahim Asty.

"Terima kasih sayang.. Kamu nikmat sekali... ". Amin berucap berlahan sambil mengecup kening Asty dengan mesra.

Asty hanya tersenyum. Perasaannya sedikit resah. Ketika menyambut Orgasme nya tadi, entah kenapa bayangan wajah Zaid tiba tiba muncul di benaknya.
Zaid, kenapa Zaid, bukan Deni...?



Bersambung..
Makasih apdetnya @Lidause ... 👍🏿👍🏿👍🏿
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd