Flindskjold
Adik Semprot
- Daftar
- 8 Aug 2014
- Post
- 111
- Like diterima
- 490
PROLOG
"Cat nya jangan lupa diangkut ya, Leh!" sedikit berteriak, Mamiku mengingatkan Soleh, salah satu pegawai kamu yang berbadan kekar itu, agar tidak lupa mengangkut pesanan salah satu langganan di toko matrial kami.
"Terus tadi si Pandi minta apa lagi, Tin? Lu catet nggak?" tanya Mami kepadaku. Akupun menyebutkan satu persatu bahan bangunan yang beberapa saat lalu dipesan oleh Pak Pandi, langganan kami. Ia kemudian meraih secarik kertas berisikan daftar bahan tersebut, memperhatikannya dengan seksama.
"Udah diangkut semua kan ya?"
"Udah mam." jawabku.
"Yaudah, lu mandi sana. Udah sore. Abis itu lu pegi ke depan beli makan ya."
"Ok, Mam."
***
Namaku Martin, saat ini aku masih duduk di bangku kelas dua sebuah SMAK yang terletak di Jakarta Pusat, aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ci Fany, kakak tertuaku, tinggal bersama suaminya di Jakarta Utara. Ko Jonathan, atau Ko Jojo, kakak keduaku, sedang melanjutkan studinya di Singapura. Dirumah utama, aku tinggal bersama Mami dan Papiku. Papi selain membuka usaha matrial di rumah, juga memiliki beberapa toko di bidang lain. Seperti toko elektronik dan lain - lain. Maka dari itu, bisa dibilang rumah kami adalah yang paling luas di daerah ini. Selain toko matrial di bagian depan, ada ruangan yang di fungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stok - stok barang elektronik yang nantinya akan di oper ke toko - toko.
Mamiku, akrab dipanggil Ci Ella atau Ceceh oleh pegawai di rumah maupun oleh para pelanggan. Di usianya yang baru menginjak 39 Tahun, Mamiku terbilang cukup terlihat awet muda. Tingginya kira kira 160an sentimeter, warna kulit Mami khas seperti keturunan kebanyakan, kuning langsat. Ia banyak menghabiskan waktunya di toko matrial, juga seringkali membantu menyortir stok barang - barang elektronik. Setelah itu sekitar jam 5 atau jam 6 sore, Mami baru akan pulang ke rumah.
Untuk memperjelas para pembaca, aku akan sedikit menjelaskan denah rumahku, maaf aku tidak pandai menggambar.
Jadi, di bagian depan rumahku adalah toko matrial, bahan - bahan bangunan diletakkan disana. Sementara gudang yang menyimoan stok - stok barang elektronik terletak persis disamping toko matrial. Sementara rumahku, kami harus berjalan masuk lebih dalam agar bisa mencapainya. Terbayang? Ya, memang sangat luas. Jarak dari rumahku ke pintu pagar saja kira - kira kurang lebih sampai 100 meteran. Terbayang, kan? Rumah utama. Rumah utama kami memiliki dua lantai. Lantai yang difungsikan untuk ruang keluarga, ruang makan dan tempat istirahat keluarga adalah lantai dua. Sementara di lantai dasar memiliki dua buah kamar, satu kamar di isi oleh pegawai matrial yang berjumlah tiga orang, Mas Gino, Pak Johari dan Pak Trisna, mereka berasal dari luar ibukota, maka darioada menyewa kost atau kontrakan, lebih baik menginap disini. Sedangkan dua pegawai sisanya seoerti Bang Soleh dan Bang Harun tinggal di dekat sini, orang asli sini. Kemuddian satu kamar lagi di isi oleh seorang asisten rumah tangga kami, Mbak Yuni.
Akhir - akhir ini entah kenapa Mami dan Papi sudah sangat jarang terlihat berbicara satu sama lain. Bahkan dua minggu terakhir ini, Papi jarang sekali tidur dirumah. Sekalinya pulang, paling hanya untuk ikut menyortir beberapa barang elektronik dan mengangkutnya entah ke toko yang mana. Akhir - akhir ini Mami jadi lebih sering emosi, menggerutu dan marah - marah. Seperti saat ini, pukul sembilan malam ini aku dan Mami, sedang asik menonton film aksi di televisi, akan tetapi tiba - tiba suara musik dangdut yang cukup keras terdengar.
"Lu denger tuh, kalo nggak ada Papi lu jadi pada seenak jidatnya aja disini," oceh Mami. Memang akhir - akhir ini semenjak Papi jarang pulang, ada saja masalah yang mereka buat. Seperti kemarin salah seorang pelanggan yang komplen karna genteng banyak yang hancur. Bukan hanya itu, mereka juga seringkali tertangkap basah bertindak tidak sopan. Sesekali aku mendapati para pegawai Mami memandang Mami dengan tatapan yang kurang ajar, seakan - akan menelanjangi Mami. Mas Gino, misalnya, aku mendapatinya secara sembunyi - sembunyi memandangi Mamu yang sedang mencatat pemasukan saat itu. Padahal saat itu Mami tidak mengenakan pakaian seksi, hanya kaus putih polos kebesaran dan celana pendek setengah paha. Ia memandangi Mami sambil meremas - remas kemaluannya. Gila, bukan? Aku memang mengakui kalau Mami memiliki wajah yang sangat cantik, bahkan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Namun, apakah wajar melakukan hal seperti itu?
Namun, sebuah pertanyaan di dalam kepalaku sering kali berbisik, "Mengapa aku diam saja, melihat Mamiku dilecehkan?"
"Cat nya jangan lupa diangkut ya, Leh!" sedikit berteriak, Mamiku mengingatkan Soleh, salah satu pegawai kamu yang berbadan kekar itu, agar tidak lupa mengangkut pesanan salah satu langganan di toko matrial kami.
"Terus tadi si Pandi minta apa lagi, Tin? Lu catet nggak?" tanya Mami kepadaku. Akupun menyebutkan satu persatu bahan bangunan yang beberapa saat lalu dipesan oleh Pak Pandi, langganan kami. Ia kemudian meraih secarik kertas berisikan daftar bahan tersebut, memperhatikannya dengan seksama.
"Udah diangkut semua kan ya?"
"Udah mam." jawabku.
"Yaudah, lu mandi sana. Udah sore. Abis itu lu pegi ke depan beli makan ya."
"Ok, Mam."
***
Namaku Martin, saat ini aku masih duduk di bangku kelas dua sebuah SMAK yang terletak di Jakarta Pusat, aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ci Fany, kakak tertuaku, tinggal bersama suaminya di Jakarta Utara. Ko Jonathan, atau Ko Jojo, kakak keduaku, sedang melanjutkan studinya di Singapura. Dirumah utama, aku tinggal bersama Mami dan Papiku. Papi selain membuka usaha matrial di rumah, juga memiliki beberapa toko di bidang lain. Seperti toko elektronik dan lain - lain. Maka dari itu, bisa dibilang rumah kami adalah yang paling luas di daerah ini. Selain toko matrial di bagian depan, ada ruangan yang di fungsikan sebagai gudang untuk menyimpan stok - stok barang elektronik yang nantinya akan di oper ke toko - toko.
Mamiku, akrab dipanggil Ci Ella atau Ceceh oleh pegawai di rumah maupun oleh para pelanggan. Di usianya yang baru menginjak 39 Tahun, Mamiku terbilang cukup terlihat awet muda. Tingginya kira kira 160an sentimeter, warna kulit Mami khas seperti keturunan kebanyakan, kuning langsat. Ia banyak menghabiskan waktunya di toko matrial, juga seringkali membantu menyortir stok barang - barang elektronik. Setelah itu sekitar jam 5 atau jam 6 sore, Mami baru akan pulang ke rumah.
Untuk memperjelas para pembaca, aku akan sedikit menjelaskan denah rumahku, maaf aku tidak pandai menggambar.
Jadi, di bagian depan rumahku adalah toko matrial, bahan - bahan bangunan diletakkan disana. Sementara gudang yang menyimoan stok - stok barang elektronik terletak persis disamping toko matrial. Sementara rumahku, kami harus berjalan masuk lebih dalam agar bisa mencapainya. Terbayang? Ya, memang sangat luas. Jarak dari rumahku ke pintu pagar saja kira - kira kurang lebih sampai 100 meteran. Terbayang, kan? Rumah utama. Rumah utama kami memiliki dua lantai. Lantai yang difungsikan untuk ruang keluarga, ruang makan dan tempat istirahat keluarga adalah lantai dua. Sementara di lantai dasar memiliki dua buah kamar, satu kamar di isi oleh pegawai matrial yang berjumlah tiga orang, Mas Gino, Pak Johari dan Pak Trisna, mereka berasal dari luar ibukota, maka darioada menyewa kost atau kontrakan, lebih baik menginap disini. Sedangkan dua pegawai sisanya seoerti Bang Soleh dan Bang Harun tinggal di dekat sini, orang asli sini. Kemuddian satu kamar lagi di isi oleh seorang asisten rumah tangga kami, Mbak Yuni.
Akhir - akhir ini entah kenapa Mami dan Papi sudah sangat jarang terlihat berbicara satu sama lain. Bahkan dua minggu terakhir ini, Papi jarang sekali tidur dirumah. Sekalinya pulang, paling hanya untuk ikut menyortir beberapa barang elektronik dan mengangkutnya entah ke toko yang mana. Akhir - akhir ini Mami jadi lebih sering emosi, menggerutu dan marah - marah. Seperti saat ini, pukul sembilan malam ini aku dan Mami, sedang asik menonton film aksi di televisi, akan tetapi tiba - tiba suara musik dangdut yang cukup keras terdengar.
"Lu denger tuh, kalo nggak ada Papi lu jadi pada seenak jidatnya aja disini," oceh Mami. Memang akhir - akhir ini semenjak Papi jarang pulang, ada saja masalah yang mereka buat. Seperti kemarin salah seorang pelanggan yang komplen karna genteng banyak yang hancur. Bukan hanya itu, mereka juga seringkali tertangkap basah bertindak tidak sopan. Sesekali aku mendapati para pegawai Mami memandang Mami dengan tatapan yang kurang ajar, seakan - akan menelanjangi Mami. Mas Gino, misalnya, aku mendapatinya secara sembunyi - sembunyi memandangi Mamu yang sedang mencatat pemasukan saat itu. Padahal saat itu Mami tidak mengenakan pakaian seksi, hanya kaus putih polos kebesaran dan celana pendek setengah paha. Ia memandangi Mami sambil meremas - remas kemaluannya. Gila, bukan? Aku memang mengakui kalau Mami memiliki wajah yang sangat cantik, bahkan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Namun, apakah wajar melakukan hal seperti itu?
Namun, sebuah pertanyaan di dalam kepalaku sering kali berbisik, "Mengapa aku diam saja, melihat Mamiku dilecehkan?"
Terakhir diubah: