Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT The MAD Trip

ninggalin jejak dulu dah, ceritanya bagus banget gak asal ngumbar nafsu. ditunggu banget lanjutannya.
 
Wah om black balik lagi nih
Harus maraton baca ulang biar dapet lagi feelnya

Ane doain semoga cepet update
 
Sebelum baca update...

Gue cuma mau berbagi cerita selama rentang waktu menghilang dari peredaran. Yah, cerita-cerita yang merubah hidup dan pola pikir gue selama hampir setahunan ini. Selama menghilang dan mangkir dari kewajiban untuk update, gue udah ngalamin banyak hal. Banyak banget. Hal-hal yang membahagiakan, juga menyakitkan. Selama hampir setahun ini, gue ditinggal pergi orang-orang yang pernah mengisi hari-hari gue. Bukan, bukan pergi selamanya. Mereka hanya pergi, memutuskan untuk mencari kebahagiaan sendiri-sendiri.

Gue juga mesti jadi pengganti kepala keluarga—meski untuk beberapa bulan. Gue harus memainkan peran lebih sebagai anggota keluarga. Ya, mengisi posisi-posisi yang kosong. Beban yang tadinya gue kira ringan, ternyata beratnya ampun-ampunan. Beban adalah tanggung jawab, benar. Karena tanggung jawab jugalah, manusia jadi lebih kuat. Mau ga mau. Suka ga suka. Terima atau engga.

Gue juga pernah ada di titik terendah kehidupan beberapa waktu lalu. Secara fisik dan materi, ga ada masalah berarti. Tapi masalah terberatnya adalah mental. Haaah, saat itu, mental gue lagi bener-bener down. Bagian itu yang bikin gue ngerasa insecure, ga nyaman, ga percaya diri, rendah diri, depresi. Mungkin, orang akan melihat itu sebagai adegan drama. Terlalu berlebihan. Ya, gue-terlalu-berlebihan. Terlalu memaksakan orang lain supaya ngerti kondisi gue. Dan itu menyedihkan.

Gue pernah ada di posisi sulit. Sebagai kakak pertama yang udah bukan masanya lagi cuma mikirin perasaan sendiri. Sebagai anak yang harus mengerti kondisi kedua orangtuanya. Sebagai individu yang ingin ditemani, karena selalu merasa sendiri.

Gue pernah mengalami hari-hari dimana kehilangan adalah masalah terberat yang gue hadapi. Gue sering kehilangan. Tapi bukankah kita semua pernah kehilangan? Kita pernah ditinggal pergi, ditinggal mati, atau terpaksa meninggalkan. Semua berujung kehilangan. Karena itu, muncul ketakutan-ketakutan dalam diri kita. Gimana kalo dia ninggalin gue? Apa jadinya kalo mereka pergi? Pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang, menghantui. Kita benci merasa kehilangan, dan ingin mereka tinggal. Gue selalu pengen mereka untuk tinggal. Tapi, kehilangan membuat kita belajar untuk mengikhlaskan. Merelakan.

Gue pernah jadi orang yang emosinya ga terkendali. Iya, bahkan tahun-tahun sebelumnya, gue udah jadi orang yang panasan. Ada yang senggol dikit, hantam. Hampir tiap ada percikan di lounge, gue nimbrung untuk cari keributan. Gue pernah jadi orang yang manajemen emosinya buruk. Buruk banget. Gue sering bikin sakit hati orang. Disini, maupun di dunia nyata.

Gue pernah jadi orang yang ga percaya dengan mimpi-mimpi. Dulu, gue itu pemimpi banget. Anak idealis. Percaya bahwa kekuatan mimpi bisa merubah dunia. Dulu, sebelum gue digerus ujian hidup. Semakin dewasa, masalah yang kita hadapi semakin berat. Gue kaget. Ternyata, masalah-masalah gue selama ini ga ada apa-apanya. Gue kecewa. Mimpi-mimpi dan angan-angan untuk merubah dunia jadi lebih baik, gue buang gitu aja. Sepemimpi apapun seseorang, dia ga akan bisa bertahan lama melawan kenyataan.

Gue pernah jadi orang yang disakiti. Menjadi yang tersakiti seakan memberi gue kuasa untuk berbuat apapun kepada orang lain sebagai pembenaran—atau pelarian. Padahal itu salah. Karena terus mencari pembenaran itu juga, gue jadi orang paling brengsek di mata orang ini—satu-satunya cewek yang selalu nemenin gue di masa-masa paling suram di hidup gue tahun ini. Gue pernah salah-gunain kepercayaan dia. Gue pernah buat dia ngebuang semuanya, dan harus mulai semuanya dari awal lagi.

Gue pernah jadi orang yang ngerusak kepercayaan orang lain, termasuk dia. Karena kita jauh, gue ngerasa dia ga perlu tau urusan-urusan gue. Padahal, harusnya gue sadar, dia yang paling jauh, tapi kenapa seakan keberadaannya terasa paling dekat?

Gue pernah jadi pribadi paling buruk.

Tapi karena hal-hal buruklah manusia belajar untuk menjadi baik, lebih baik.

Gue jadi sadar, dan menghargai penuh tugas dan tanggung jawab seorang Ayah; juga luar biasa sabarnya seorang Ibu. Ketika gue jadi keduanya, gue jadi bisa liat cara mereka memandang dunia di sekitar mereka—dari sudut pandang masing-masing. Gue jadi ngerti, jadi salah satunya itu luar biasa susah, apalagi keduanya. Karena itu, sekarang gue jadi lebih menghormati mereka. Semoga, sikap ini bisa bertahan selamanya.

Gue juga belajar bahwa kita ga bisa memaksakan setiap orang untuk mengerti kita. Yang paling penting, belajarlah mengerti jika ingin dimengerti. Sesusah apapun kondisi kita, adalah luar biasa ketika kita masih mau mengerti orang lain. Gue juga jadi lebih mandiri, meski kadang suka angin-anginan sama sikap males gue ini. Gue belajar untuk bangkit, karena menjadi orang gagal bukan pilihan. Gue mulai nambahin hal penting di hidup gue yang seharusnya ada dari dulu, yaitu tujuan.

Gue belajar, bahwa dari posisi-posisi sulitlah manusia dapat menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Gue jadi ngerti untuk apa jadi anak pertama; ada perasaan adek-adek gue yang mesti diselamatkan. Gue jadi sadar kenapa selama ini ada di rumah tapi kayak bukan rumah. Itu karena gue mengenyahkan adek-adek gue dari kehidupan gue sendiri. Gue belajar banyak. Salah satunya, jadilah kakak yang melindungi dan punya tanggung jawab.

Gue jadi mengerti beratnya melepaskan, dan begitu susahnya mengikhlaskan. Justru karena itu, gue jadi lebih berani menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Selama ini, gue selalu takut ditinggal sendirian. Gue takut akan kehilangan. Manusia selalu takut akan hal-hal yang belum terjadi. Kali ini, gue coba hadapi ketakutan-ketakutan itu. Gue jadi lebih berani menghadapi kehilangan. Ajaibnya, semakin kita berani untuk merelakan, mengikhlaskan, semakin mudah kita bisa melepaskan. Dan dibalik semua itu, ada hal-hal baru menanti. Yang lama selalu disiapkan pengganti. Yang paling luar biasa, gue engga lagi takut akan kesendirian. Sekarang, gue bisa liat sisi lain dari merasa sendiri. Kita jadi lebih fokus, lebih memahami diri sendiri, lebih banyak menemukan pemikiran-pemikiran baru. Iya, kita ga benar-benar sendiri. Kita lupa bahwa dunia bukan hanya tentang manusia. Semesta ada di sekeliling kita.

Gue jadi belajar mengendalikan diri. Untuk semua sikap dan perbuatan yang ga mengenakkan dan terkesan arogan, jujur, gue minta maaf banget. Gue baru sadar, emosi bukan hanya tentang marah-marah. Emosi adalah ragam aksi yang diberikan Tuhan untuk digunakan sebaik-baiknya. Emosi itu kaya. Variatif. Ekspresif.

Gue juga jadi belajar untuk lebih menyiapkan diri. Mungkin, dulu gue belum siap. Gue cuma punya mimpi dan harapan, tapi ga berimbang dengan kemampuan. Timpang. Terlalu banyak berharap dan bermimpi, tapi langsung menyerah ketika dikecewakan. Sekarang, gue mulai semuanya dari awal lagi. Kali ini dengan persiapan lebih matang, tapi masih dengan mimpi yang sama. Ketika kita sadar bahwa kita ga mungkin bisa mewujudkan mimpi-mimpi kita dan menyerah, kita cuma bisa pasrah. Energi-energi yang kelihatannya negatif, mereka bilang. Padahal jika dilihat lebih dekat, kita diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri. Kita diuji, apa sebegitu kuatkah mimpi kita untuk diwujudkan? Sanggupkah mimpi kita melawan kenyataan? Gue pernah menyerah, dan ga malu untuk pungut mimpi gue lagi demi kesempatan selanjutnya. Selalu ada kesempatan, untuk mereka yang mau berusaha.

Gue belajar tentang pentingnya kepercayaan. Tentang berharganya sebuah tujuan. Gue belajar bahwa pelajaran paling sederhana tentang kehidupan dapat kita temukan dari sebuah buku. Ada lembaran yang diisi, dan lembaran-lembaran kosong. Lembaran baru. Tujuan gue sekarang adalah menulis lembaran baru itu. Diisi dengan tulisan-tulisan paling dapat dipercaya, sedapat mungkin minim bekas hapusan. Berusaha jujur, jika salah ya salah—tanpa ditutupi.

Semoga, dia mengerti. Maaf, karena pernah jadi orang yang mengecewakan.

Untuk semua yang sabar banget nunggu, terima kasih. Gue akan kembaliin kepercayaan kalian.

Selamat datang kembali.

Cie, bacanya serius banget ya? Ahahaha, tapi bener deh, cuma pengen berbagi cerita aja kok. Hidup ini penuh cerita, mamen. Rangkai cerita kalian, karena tiap orang punya bukunya masing-masing, dan amat disayangkan kalo bukunya dibiarkan kosong.

Berceritalah. Karena dengannya, kita ada.


Selamat menikmati tulisan kali ini.
 
Bagian Tiga Belas-Dua:
Princess and Her Jack Knight




Hari ini, Manda main kerumah gue. Ini momen perdana dia main kerumah, dan langsung disambut meriah sama Nyokap. Saking meriahnya, Nyokap langsung ngacir ke pasar buat belanja—dan masak, satu hal yang jarang dia lakuin meski ada suami dan anak-anaknya dirumah. Ironis kan?

Tapi dari dulu Nyokap emang kayak gitu tiap ada temen (ataupun pacar) cewek gue main kerumah. Dulu waktu sama Aurel, tiap kali cewek itu main kerumah, Nyokap ngasih sambutan kayak orang mau hajatan tiga hari tiga malem. Meriah, hebring, mewah. Jelas, gue ga bisa nikmatin itu semua. Bukan gara-gara jamuan kelewat lebay-nya, tapi karena dampak setelahnya.

Besoknya, ongkos sekolah dan kerja semua laki-laki dirumah ini dipangkas abis buat nutupin acara prasmanan kemarinnya.

Back to this present, gue lagi sibuk bikinin minum buat Manda, sementara dia sibuk mainin kartu remi yang lupa gue beresin abis main sama Bokap-Nyokap semalem. Woiya jelas, kita keluarga harmonis dong, sampe main kartu aja bareng. Tapi percaya deh, ga se-harmonis itu kok. Selalu ada harga yang mesti dibayar oleh orang yang kalah, dan dalam kasus keluarga kami, harganya adalah ongkos mingguan gue dan Bokap. Tiap kali kita –gue atau Bokap- kalah, ongkos kita dikurangi 2,5 persen dari totalnya. Idih banget kan, macemnya zakat fitrah! Coba aja bayangin sepuluh kali kalah, bisa jajan kerupuk sama teh gelas doang gue entar di kantin. Nah, ongkos yang dikurangi dialokasikan untuk tabungan, atau keperluan mendadak, yah minimal arisan. Ujung-ujungnya, itu untuk kebaikan kita semua sih. Tapi caranya itu loh!

Kadang, gue ngerasa pengen banget gadein Nyokap gue aja. Sungguh.

"Ka Febri, sini atuh temenin aku. Menjauh terus, semacam layangan sama pemiliknya aja," komentar Manda setengah teriak, dari ruang tamu.

Sambil bawa nampan, gue bales, "Halaaah, layangan kalo diturunin juga nyamperin pemiliknya kok. Oh iya, nih, silahkan diminum."

"Kayak Kak Febri nyamperin aku gini ya?"

Sejenak, kami saling tatap-tatapan. Satu detik, dua, tiga, empat, atapiluloooh... muka polosnya itu bikin gue terkesima! Apalagi ditambah kata-katanya tadi, bikin kayak ada cetar-cetar gesekan gelombang elektromagnetik dari dua pemancar yang saling terhubung dalam suatu kondisi sederhana yang berusaha untuk... whatever! Kenapa jadi ngaco gini coba?

"Oh iya, Mama Kak Febri kenapa mesti repot-repot belanja sih? Kan tadi aku juga udah makan di kantin."

Gue, yang bingung nentuin sikap apakah harus seneng karena Nyokap akhirnya masak atau merana karena tau duit jajan gue bakal di-cut, cuma bisa senyum mesem. "Kenapa ya....," gue nyoba cari jawaban yang pas. "Mungkin, gara-gara dirumah ini cuma dia perempuan sendiri. Sisanya ya kami-kami ini, laki-laki tulen," kata gue sambil nunjuk ke foto keluarga yang dipajang di dinding.

"Oh, pantes. Ternyata suasana ramai sekalipun ga bisa menghindarkan orang dari kesendirian ya Kak..."

"Tapi, kalo kita liat dari sudut pandang lain, kesendirian dibutuhkan buat mereka yang lagi berusaha memahami diri sendiri. Jadi ya... relatif sih, tergantung dari sudut mana kita ngeliatnya."

Spontan, mata Manda langsung berbinar-binar gitu natap gue. Nah, gue yang ngerasa jengah ditatap gitu, malah buang muka kesamping. Tapi... pipi gue berasa panas, terus gue ngerasa malu. Malu banget.

"Oh iya," kata Manda lagi, "Siapa yang abis main kartu ini, Kak?"

"Gue. Nyokap. Bokap."

"Emang bisa main semua?"

Gue cuma ngangguk lemes. Bukan karena males jawab pertanyaan Manda, tapi karena gue keinget teror tadi malem pas main kartu. In order to stay survive, manusia bakal ngelakuin apapun. Bahkan beradaptasi dan mengembangkan diri. Gue sama Bokap yang dasarnya jago main kartu, bahkan ga ada apa-apanya dihadapan Nyokap. Mungkin, ini karena alesan kita main kartu kurang kuat. Motif kita cuma 'mempertahankan ongkos dan jajan' sementara Nyokap 'mempertahankan kondisi keuangan keluarga biar bisa nyampe bulan depan'. Ibarat di pilem-pilem, tujuan kita cuma nyelametin hari ini biar semua bisa berjalan lancar, sementara Nyokap mesti nyelametin dunia. Beda jauh. Ga kekejar. Ibarat bensin premium sama aftur. Ibarat buku stensilan sama majalah Playboy. Ibarat Kobo-chan sama Son Goku.

"Main kartu yuk?" ajak Manda.

"Emang seru cuma berdua?"

"Ngg, adek Kak Febri ga diajak?"

"Dia mah tidur siang jam segini, namanya juga masih kecil."

Manda naro telunjuk di bibirnya, ngebuat satu gestur lagi mikir. "Emang, kalo udah gede?"

"Nidurin orang."

Jawaban asal dari gue malah bikin Manda ketawa ngakak. Ketawa sekenceng-kencengnya, sampe ga sadar kalo dia sekarang ada dirumah orang. Sampe... ngilangin citra anggun dan polosnya selama ini. Tapi serius, ini anak emang manisnya natural. Baru kali ini gue begitu amazed sama orang ketawa gegulingan kiri-kanan sambil megangin perut.

"Aduh... Kak Febri mah...! Udah apa, perut aku sakit ini..."

"Lah?"

"Eh tapi yang ini serius!" Manda langsung duduk lagi, dan mukanya yang tadi melas-mules itu langsung berubah datar. "Pernah kepikiran ga, kenapa urutan kartu remi itu As sampe sepuluh, dan Jack-Queen-King? Maksud aku, kenapa ga ada Princess? Atau, minimal Prince gitu?"

Jir. Emang dikata lagi nonton Barbie, pake ada Prince sama Princessnya? "Hngg... mungkin gini kali ya," sebelum nerusin kata-kata, gue mijit kening gue yang tiba-tiba pusing gara-gara pertanyaan gapenting tapi krusial-nya Manda. "Siapa tau anaknya King sama Queen itu cewek. Kalo cowok, ngapain nempatin Jack? Kasih aja posisinya ke Prince. Make sense, kan?"

Manda ngangguk dua kali, tapi mukanya sekarang makin kebingungan. "Nah, terus kenapa ga ada Princess?"

"Jadi gini," gue ngasih liat masing-masing Queen dan King dalam empat jenis berbeda. "Liat gambar di sisi pojok Queen sama King kan? Nah, mereka itu masing-masing megang senjata, tandanya mereka lagi tawur... ehm, perang. Senjata mereka digunain buat ngelindungin diri sendiri, jadi mana sempet mereka ngelindungin puterinya? Nah—"

Tiba-tiba, Manda motong penjelasan asal gue, "Oh iya pantes, jadi King sama Queen nyewa Jack buat ngelindungin puteri mereka ya? Aku ngerti sekarang! Berarti si Jack ini ksatria pelindung dong Kak?"

"He'eh, semacam bodyguard gitu."

"Atau sekuriti?"

"Atau centeng."

"Centeng itu apa?" tanya Manda.

"Centeng itu... ah, pokoknya gitulah. Ga penting juga dibahas. Pokoknya intinya tuh si Jack ini disewa buat ngelindungin si Princess. Selesai."

Aduh, ini Nyokap gue kenapa lama amat belanjanya sih? Buruan balik kek, gue udah mumet mesti berjuang sendirian ngeladenin pertanyaan-pertanyaan anti-mainstream*-nya Manda yang absurd.

"Kak Febri, aku mau nanya lagi dong."

Males-malesan, gue ngejawab, "Apaan lagi, duh..."

"Mau ga...," dia agak ragu-ragu gitu buat nerusin pertanyaannya. "...Jadi Jack buat aku?"

Spontan, gue ngangkat sebelah alis (Cieeee, udah bisa ceritanya nih mimik muka heran begini) terus nanya balik ke dia. "Terus, bayarannya apa dong? Kan kalo Jack disewa, dan kalo disewa itu pasti ada bayarannya."

Manda yang lagi duduk menyamping, berkali-kali ngebenerin posisi duduknya—khas gestur orang yang lagi resah. Dia juga beberapa kali ngegigit bibirnya sebelum nundukin mukanya. Terus, tanpa natap gue, Manda ngejawab, "Hati aku."

Gue. Cuma. Bisa. Diem.

Seakan waktu berhenti, seakan gue ada di ruang hampa. Lama, terbang, melayang. Menikmati rasa hangat hati dan sajian muka merah merona Manda. Dan sedetik kemudian gue dilempar lagi ke kenyataan. Kali ini, gue tiba-tiba berharap Nyokap lama pulangnya, dan berdoa semoga momen ini ga pernah berakhir.

Tapi suara motor yang masuk ke garasi bikin buyar segalanya. Abis ini, pasti ada sesuatu yang lebih ga enak nyusul.

"BIIII....! BANTUIN MAMA BAWA PLASTIK BELANJAAN! CEPETAAAAN...!"

Tuh kan. Sayangnya, Tuhan engga ngabulin doa gue yang ini.

***

Acara makan malem kali ini terasa beda banget. Pertama sih, karena Bokap bisa ikut makan malem kali ini. Terus, sekarang peserta ceweknya ada dua. Yeah, karena satu mulut cewek itu sebanding sama serombongan cowok kalo lagi nongkrong, karena ini dua jadi dobel. Engga, bukan dobel. Tapi kadar kecerewetan mereka membelah diri, dalam regenerasi kecepatan super, hingga tak terbatas. Nyokap serasa nemu anak ketemu gede yang paling ngerti posisinya sebagai ibu di keluarga ini. Keliatan sih, dari obrolan mereka yang ga jauh-jauh dari kuliner, mode, belanja-belanja, dandan-dandanan, aktor-aktor red carpet idola sepanjang masa, dan diskonan. Nyokap juga berkali-kali muji betapa cantiknya Manda, dan berkali-kali juga berniat mau menghadap ke Om-Tantenya Manda; dengan niat mau tuker tambah gue sama dia.

Serius, gue bakal gade ini emak-emak.

"Tante, masakannya enak deh. Aku mau dong dimasakin begini tiap hari," komentar Manda setelah nyobain tumis kangkung bikinan Nyokap.

"Aduh, Neng geulis, dibilang jangan panggil tante. Panggil aja Mama, gitu... Anggap aja Mama sendiri, ya?" bales Nyokap sambil ngelempar senyum keibuan. "Sok, dihabiskeun kangkungnya. Manda mau tambah? Masih banyak ini. Abisin aja ga apa-apa, ga ada yang makan kok. Mereka mah payah, tiap dimasakin malah ga dimakan. Mama ngerasa seperti engga dihargai...."

Gue sama Bokap langsung pandang-pandangan. Seakan, pikiran kami terkoneksi nyusun rencana buat sleding Nyokap. Agak nyakitin juga ngomongnya, masak aja jarang, apa yang mau dimakan?!

"Ajarin Manda masak ya kapan-kapan, mau ga Tan... eh, Ma? Hehe."

Di sisi lain, gue ngeliat Manda kayak nemuin idola baru. Ya, gue kayaknya tau mau jadi apa dia di masa depan nanti. Mungkin, sekarang di mata Manda, dia ngeliat Nyokap udah kayak ngeliat senior—dalam arti sebenarnya.

Makan malem kali ini, lebih di dominasi sama obrolan Nyokap-Manda. Sementara gue dan Bokap yang cuma sesekali saling ngelempar kalimat, kalah saing dari mereka berdua. Dan setelah acara makan malem selesai, Manda langsung pamit pulang.

"Bukan maksud mau esempe –setelah makan pulang- Ma, tapi udah malem. Manda ga enak namu sampe malem gini. Aku pamit ya," ijin Manda ke kami semua.

Ngelepas Manda pulang udah kayak ngelepas lulus-lulusan aja. Penuh emosi dan haru. Nyokap juga ga abis-abisnya ngingetin Manda buat sering-sering main kerumah. Malah, ngancem gue kalo gue ga bisa bawa Manda main kerumah minimal seminggu sekali, duit ongkos gue bakal dipotong. Lah, inimah maju kena mundur kena dong? Dia main ga main juga ujung-ujungnya duit gue bakal dipotong!

"Ebi, dianter atuh Mandanya!" perintah Nyokap.

"Motornya kagak ada."

"Lagian, motor pake dikasih ke polisi. Pake motor Mama yang Mio tuh, cepet udah malem."

Sigap, gue ambil jaket sama helm. Belajar dari pengalaman, kali ini gue bawa dua helm. Abis minta STNK sama duit bensin (kan dikasihnya dua puluh ribu, lumayan isiin aja ceban terus sisanya beli bubur kacang ijo—muehehehehe) gue sama Manda langsung ngacir ninggalin rumah.

"Kak," itu kata yang pertama kali keluar dari bibir Manda pas di motor.

"Oit?"

"Aku boleh sering main kerumah?"

"Kenapa ga boleh? Main mah main aja. Lagian mending dirumah gue kan, daripada sendirian dirumah lo."

"Hehe, iya..."

"Don't just 'Hehe, iya...' like that. Mulai sekarang, hindari kegiatan yang ga penting, sebisa mungkin. Kalo ada apa-apa, bisa hubungin gue. Ga ada alesan buat takut, lo kan ga sendirian sekarang."

Dari spion yang gue arahin ke mukanya, gue bisa ngeliat Manda senyum ke gue. Mungkin, dia ngerti maksud dari omongan gue mengarahnya kemana, dan gue juga sebisa mungkin menghindari obrolan ngegunain kalimat frontal. Kita mana tau, kapan orang bisa sembuh dari trauma pengalaman buruknya, kan? Berbicara sama orang lain dengan kalimat yang engga dipikir dulu biasanya akan berakhir ga enak, dan gue lagi menghindari yang kayak gitu. Dewasa dikit lah, biar masih muda. Yang tua aja banyak yang sifatnya kayak anak muda. Ups.

"Kak, aku mau cerita. Sebenernya, di hari kita terlambat bareng untuk pertama kali itu, aku tadinya mutusin mau pindah sekolah loh," katanya, mulai obrolan baru.

"Lah terus kenapa ga jadi? Harusnya lo pindah aja, kan demi kebaikan lo sendiri Man."

"Gimana ya... agak susah jelasinnya. Jadi... sebelum berangkat sekolah, aku tuh kayak nemu kebetulan-kebetulan aneh gitu."

Acielah. Ceritanya mulai enak disimak nih. Oke, gue pelanin deh gasnya, biar lama sampe rumah Manda. "Kebetulan aneh gimana? Ini kalo cerita jangan diputer-puter apasih."

"Aku pikir sih, ini dimulai dari malam sebelumnya. Aku tiba-tiba ga bisa tidur, dan baru tidur habis Subuh. Alarm bunyi tapi aku ga bangun, malah kebangun pas Om-Tante aku tutup pintu pagar karena mereka mau kerja. Aku langsung mandi dan habis mandi, seragam yang aku siapin dari malemnya tiba-tiba lecek dan ada di lantai, padahal tadinya aku gantung. Akhirnya aku setrika dulu. Terus, pas sarapan, tumben banget Tante beli peyek udang. Dan pandangan mata aku ga bisa lepas dari bulan Februari di kalender.

"Pas berangkat kan kesiangan, dan ojek langganan aku diserobot orang lain. Akhirnya aku naik angkot, itu tumben macet banget. Dijalan, ada orang gila tiba-tiba tiduran dan ngehalangin angkot yang aku naikin melintas. Terus angkotnya kena tilang polisi, dan aku dioper ke angkot lain. Pokoknya, segala sesuatu yang aku lakuin supaya engga telat, malah terjadi sebaliknya. Puncaknya, aku telat dan ketemu Kak Febri di depan gerbang."

"Oh, iya-iya, gue inget! Yang elo gue jutekin ya?"

"Iya, aku dijutekin. Dalam hati tuh ya, aku bilang, 'jahat banget ini orang, serius' gitu," bales Manda, lirih.

"Ahahahaha, itu mood gue lagi dongkol sama Nyokap tuh, gara-gara pindah kota sama sekolah. Eh iya, terus-terus?"

"Ngg... anehnya, setelah ketemu Kak Febri, niatan aku untuk pindah malah hilang. Waktu itu, aku masih belum ngerti kenapa, tapi setelah nangis di depan Kak Febri yang di toilet itu... aku sadar akan satu hal. Semua hal-hal aneh yang seakan berusaha menghalangi aku masuk sekolah tepat waktu itu ibarat pertanda-pertanda, seakan semesta mau nemuin aku ke Kak Febri. Ngerti ga?"

Gue ngangguk ragu-ragu. Kalo dipikir, agak masuk akal juga sih, meski seharusnya ini ga masuk akal sebenernya. Ah, tapi ada yang pernah bilang, kalo logika menyesuaikan dengan keadaan dan pola pikir. Jadi, makin luas pola pikir lo, makin besar juga kemungkinan logika lo nerima hal-hal yang ga masuk akal sekalipun. Hebat ya otak manusia itu? Makanya, jangan dirusakin, sayang tau.

"Kak, kelewatan tau! Puter balik ish, rumah aku kan yang itu," teriak Manda sambil nepuk pundak gue, dan tangan satunya nunjuk salah satu rumah berpagar hijau.

Ga kerasa, gue udah sampe depan rumah Manda. Setelah dia turun dan ngasih helm, gue mau nyalain motor tapi kemudian dicegah Manda.

"Jadi intinya, aku mau bilang... 'kamu' adalah titik akhir dari semua pertanda-pertanda yang semesta arahkan," katanya, lugas. Tapi gue kok nangkep kayak ada yang aneh? Ah iya, dia ga panggil gue kayak panggilan biasanya; tapi pake 'kamu'. Cieee Ebi...

Manda lalu ngulurin tangan kanannya ke gue. "Salim dong sama yang tuaan. Kan biar pamitnya sopan tau," katanya, ngeledek. Oke, dia mulai ngelunjak. Bakal gue masukin dia ke daftar orang-orang yang mau gue sleding.

Biar cepet –dan terpaksa- gue sambut uluran tangannya, dan langsung gue merem sambil naro punggung tangannya di kening gue. Pas gue buka mata, muka Manda udah deket banget sama muka gue, dan tangan kanannya sekarang megang helm yang gue pake, narik muka gue untuk ngedeketin dia. Terus, terus, terus... wawawawaaaa! Bibirnya nempel ke idung gue! Cuma kecupan kilat, dan Manda langsung narik lagi badannya ngejauh dari gue.

Sambil nunduk, Manda puter badannya ngebelakangin gue. "Sa-sampai ke-ketemu besok K-Kak, and... thank... thank you, fo-for being my Jack Knight," katanya terbata-bata, dan masih tetep ngebelakangin gue!

Bahkan, dia dadah-dadah ke gue pun masih tetep ngebelakangin!

Manda sekarang udah masuk kerumahnya, dan gue masih bengong di depan pager. Bengong... bengong... tapi rasanya kok seneng? Ah, gue benci banget perasaan-perasaan ngehek ini. Pasti entar malem gue bakal ngegalau uring-uringan dikasur sambil dengerin lagu-lagu yang makin nambah derita menggalau. Sumpah, gue-bener-bener-benci-perasaan-berbunga-bunga-ini!

Seketika, bait-bait terakhir dari lagu Surga Cinta-nya Ada Band terngiang-ngiang di kepala gue.

Terbanglah, Cinta.
Sampaikan sayangku hanya bagi dia.
Tak ingin rasa sepi, meratapi...
Malang tanpa dirinya.

Gue langsung nyalain motor, terus menjauh dari area rumah Manda. Membawa serta perasaan yang asdfghjkl ini.

Oh iya. Baru kali ini gue dicium idungnya.



(Bersambung)
 
:kk: sugoooiii...

pesen tempat dulu ya kk... nanti baca :ngeteh: :senam:
 
akhirnya balik juga my sweety girl manda, semoga lancar ya :kk:

wish you all the best for your real life bang Black, GOD bless you

*eh bener nggak itu inggrisnya :pusing:

:bata: melayang salah bahasa inggris :haha:
 
Makasih suhu....banyak pelajaran yg ane dpt dari tread ini...
Sekali lagi terima kasih banyak ....:ampun:
 
Keren lah cara mengungkapkan dalam tulisan suhu..
Terbaaeekkkkk lah !

And Welcome Back suhu black !
 
yeah bang black balik, thanks for update. tetep semangat bangg. btw abang pernah jadi centeng ape ?? wkwk
 
baru baca bab pertama... bagus sich tulisannya, enak banget dibaca :like: .. sepertinya juga lucu ini cerita :hammer: :ngacir: isi komen dulu deh, ntar dilanjutin lg bacanya... :o
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd