Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

CHAPTER 3
Mempesona


Apa yang kalian harapkan setelah kejadian, tanpa sengaja, sepasang mata ini melihat ke sepasang keindahan milik gadis itu?

Apakah kalian berfikir ke arah – mayoritas orang akan memikirkan?

Maka kan ku jawab, tak ada. Toh! Bukan kali pertama bagiku untuk melihat sepasang payudara berbungkuskan bra seperti itu. Aku juga memilikinya di rumah, milik Andini yang bahkan dapat ku simpulkan jika bentuk yang ku miliki di rumah, lebih besar. Yang juga, setiap saat ketika ingin, dengan mudah ku nikmati. Karena Andini, istriku adalah perwujudan seorang wanita yang tercipta dari tulang rusuk seorang suami yang tersambung dengan sempurna. Maka amat sangat tak elok, apabila terus menerus pikiran ini di kuasai oleh sesuatu yang sempat ku lihat kala itu, di dapur. Milik Tiara.

Karena tidak adanya kejadian yang begitu berarti, maka aku lebih banyak kan bercerita tentang beberapa hal saja yang terjadi dalam kehidupanku, setelah, rumah ini penghuninya bukan hanya aku maupun Andini saja, melainkan ada Tiara dan juga tertambah dua penghuni lainnya. Bernama Wina pegawai Bank, dan Mona adalah mahasiswi jurusan sastra yang berbeda kampus dengan Tiara.

Maka rumah ini pun semakin ramai saja. Semakin membuatku terhindar dari hal-hal yang amat sangat tak ku inginkan selama ini.



Hmm....

Ku mohon, singkirkan pemikiran kalian jika aku akan tertarik dengan dua penghuni kos lainnya di rumah ini. Yang pertama, kedua wanita itu tak ada sesuatu yang special yang ku nilai, meski yah, kebanyakan wanita muda pada umumnya, penampilan mereka tetap menarik.

Lalu kedua, aku adalah pria yang mencintai keluarga. Sejak ku ikrarkan janji di depan penghulu, kala ku nikahi Andini, sejak itu lah, hati ini sepenuhnya ia miliki. Mencintai Andini, adalah sebagai bentuk tanggung jawab serta kewajibanku sebagai suami.



Tapi....

Tiara........................

Dia berbeda.

...

...

...

Oh ia, for info....

Dari ketiga penghuninya, hanya Tiara-lah yang tak sekeyakinan dengan kami. Dan hanya Tiara-lah yang sepertinya di berikan tempat khusus oleh Andini, karena mengingat dia yang paling muda, dan paling mudah untuk terbuka. Begitu sepenggal cerita dari Andini kepadaku. Karena kedua penghuni lainnya, umurnya pun sudah 20-an ke atas, serta memiliki kehidupan masing-masing di luar sana. Memilik kekasih yang kerap kali datang bertamu. Bukan di dalam kamar masing-masing, melainkan bertamu entah di ruang tamu, atau di ruang samping, atau mungkin juga hanya mengobrol di teras depan saja.

Berbeda dengan Tiara. Gadis periang dan lugu itu, sepertinya sulit buat bergaul di luar sana, maka, tempat untuk mencurahkan apapun itu, hanya di rumah ini, pun hanya bersama Andini yang sepertinya telah ia anggap sebagai kakak.

Yah, aku sangat bersyukur dengan kehadiran Tiara di rumah ini. Andini tak pernah lagi melemparkan kalimat bermakna, merasakan ‘Kebosanan’ sendirian di rumah ini. Apalagi dengan keberadaan Tiara, sedikit banyaknya sangat membantu Andini dalam menentukan produk jualannya yang baru buat ia jajakkan di social medianya.

Aku tak heran jika Tiara amat sangat memahami masalah fashion yang tengah trend di jaman sekarang ini. Karena gadis itu sangat mengikuti perkembangannya.



Tapi....

Justru cara dia berpenampilan sehari-hari, baik itu di rumah, maupun ketika ingin keluar dari rumah, unik dan lucu.

Seperti sore ini.....

Dari ruang kecil di sisi samping berdekatan dengan ruangan gym, aku baru saja keluar selepas menunaikan kewajiban 4 rakaat sore-ku sebagai umat-NYA. Sarung beserta segala perlengkapan sholatku, tentu ku letakkan di dalam mushollah, jadi selepas sholat aku kembali hanya dengan berkaos oblong serta bercelana pendek saja. Seperti keseharianku selama di rumah. Aku bukan type orang yang menyukai mengenakan sarung jika berada di rumah. Selain bikin gerah, agak kurang nyaman saja menurutku.

Ku dapati gadis itu menuruni tangga, ketika baru saja masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.

Dengan menggunakan T-shirt berlengan panjang putih ke abu-abuan, mengenakan topi besar berwarna coklat, bawahannya masih seperti biasa, dengan rok di atas lutut yang tak begitu span, menyempurnakan tampilan lekukan sepasang paha mungilnya yang seputih pualam, serta senyum khas lucunya yang sering menjadi penghibur di kala penat selepas kerja – melangkah turun dari tangga lantai dua menuju ke bawah, yang mengharuskanku mau tak mau, untuk sejenak mengalihkan pandangan ini darinya.

“Pak....” dia menyapaku, ketika sudah berada di lantai bawah. Yang juga, mengakhiri pengalihan pandanganku sejak tadi, sejak ia menuruni tangga, karena, aku berusaha untuk tidak berlama-lama menatap ke sepasang kaki milik gadis mungil ini.

“Iya Ra.” Ada sedikit gesture lucu yang ku lihat darinya, di saat aku membalas sapaannya itu. Yang memaksaku akhirnya mengernyit.

Oh iya, setelah kejadian sore itu, ketika aku membantu memberinya penanganan pertama kala terluka, aku berusaha untuk menghindar darinya. Entahlah, aku juga tak begitu paham alasannya mengapa.

“Kak Dini masih bobo, Pak?” dia bertanya. Kepalanya agak miring ke samping, matanya yang menyipit dengan bulu mata lentik itu, menatap ke arahku. Membalas menatapku.

Hanya sepersekian detik, aku merasa cara gadis ini menatap padaku, memberikan efek tak mengenakkan di dalam sana. Jika orang lain yang melihat, mungkin sikap dan kebiasaan Tiara ini, hal biasa terjadi. Tapi, tidak denganku.

Dia telah berhasil, secuil saja, menyihirku.

Hal itu di perparah, ketika keningnya mengernyit. Dari cara dia menatap, dan dari ekspresi yang ia tunjukkan, sepertinya bermakna sedang bingung dengan sikap pria di hadapannya ini.

Aku....

Ah, aku tak berani lagi membalas menatapnya. Sampai-sampai, tanpa ia sadari, aku menggertakkan gigi ini. Merasa gemas padanya. Ingin menggerakkan tangan ini, hanya untuk sekedar mencubit pipinya. Tapi semua itu, masih berhasil buat ku tahan.

“Pak.... kok bengong?”

“Oh iya. Andini masih tidur di kamar, sepertinya Ra.” Akhirnya, aku mampu membalas ucapannya. “Kalo memang kamu punya urusan penting dengannya, biar saya membangunkannya sekarang”

“Ihhhh.... tidak... tidak pak.” Begitu responnya. Sambil tubuhnya sedikit bergerak lucu, menunjukkan rasa sungkannya terhadapku. Lalu, sepasang mata lucu itu mendelik, kedua bola matanya bergerak ke samping. Sepertinya gadis itu sedang mikir. Entah apa yang ia pikirkan. Lalu jari telunjuk lentiknya, bergerak untuk sekedar bersentuhan dengan dagunya. “Emm.... Itu Pak. Tiara pengen mintol ke bapak”

Aku yang tak mau lebih parah terpesona hanya oleh gadis muda ini, maka aku melangkah melewatinya, tapi memberinya gesture jika aku masih tetap akan mengajaknya mengobrol. Rupanya gadis itu menangkap isyarat dariku. Dia mengikutiku dari belakang menuju ke ruang tengah sana. Aku duduk di sofa, gadis itu masih berdiri di hadapanku.

Begitu ku arahkan pandanganku padanya. Dia membuat ekspresinya semakin lucu saja. Sepasang mata menyipitnya itu, terangkat ke atas. Seperti senyum yang di paksa, tapi sangat lucu dan mempesona.

Apalagi, tubuhnya bergerak-gerak lucu. Pelan sih, seperti sedang tak sabaran menungguku membuka suara lagi. Aku harap, kalian bisa menangkap apa yang ku gambarkan tentang situasi di hadapanku saat ini.

Dan karena itu, memicuku untuk tersenyum. Tipis sih...

Karena memang, gadis periang di hadapanku ini, terlihat lucu dan menggemaskan.

“Kamu kenapa seperti cacing kepanasan gitu, Ra?”

“Idiihhhhhhh...” dia bergidik, jangan bilang dia merinding karena suaraku? “Duhhhh.... suara bapak” kedua tangannya sampai menyentuh sendiri leher bagian belakangnya. Aku semakin mengernyit di buatnya.

“Oh iya, sejak lama saya ingin menanyakan itu. Ada apa dengan suara saya?” karena sudah terlanjur, aku tanyakan saja.

“Hmm... Suara bapak.... hmm.... Sleep callable banget. Ups. Maaf pak. Maafin Tiara kalo udah lancang” setelah mengatakan itu, dia sampai membungkuk dua kali, cara orang jejepangan buat meminta maaf, atau sekedar memberi penghormatan.

Jujur, baru kali ini aku mendengar itu.

Sleep Callable? Hmm, suara yang bisa di ajak tidur, gitu? Ah, entahlah, aku tak tahu makna yang sebenarnya.

Aku sekali lagi hanya tersenyum saja menanggapi candaannya itu.

“Oke Ra. Tadi kamu mau minta tolong apa?” aku pun membuka suara, mengingatkan padanya akan tujuannya tadi menemuiku.

“Itu... pak. Kan mob... mobil Tiara lagi di bengkel. Nah Tiara lagi mau balik ke kampus karena laptop Tiara ketinggalan. Sejak tadi susah banget dapet ojek online.... hmm, Kalo bapak mengizinkan, boleh gak, Tiara pinjem mobil Pak Rudi?” belum juga ku tanggapi, “Nanti Tiara ngisi full deh bbmnya”

Aku menggeleng singkat.

“Dari sini ke kampus kamu, Cuma 15 km-an Ra. Jadi, jika kamu Pulang pergi hanya menghabiskan 2 literan lebih, dan kamu tak perlu mengisikan bensin.” Tanggapku.

“Hehehe tapi Tiara tetep isiin kok Pak.” Ia membalas.

Aku menggeleng sekali lagi, kemudian beranjak dari duduk. “Bentar, saya ambilkan kunci dan STNK nya di kamar”

Gadis itu membungkuk kembali. “Terima kasih pak.... terima kasih”

“Kamu itu. Belum juga saya pinjemin, sudah berterima kasih seberlebihan ini”

“Eh?” ekspresinya sangat menggemaskan.

“Ya sudah, tunggu sebentar”

“Baik Pak”

Ku tinggalkan gadis itu di ruang tengah, melangkah ke kamar.

Begitu tiba di kamar, ku bangunkan istriku untuk menyampaikan keinginan Tiara tadi.

“Hoaemmm.... kenapa yah?”

“Kamu gak sholat Ashar bun?” tanyaku sekedar membuka obrolan.

“Oh iya... astaga hampir lupa” balas Andini. Segera bangun dari tidurnya.

“Dan satu lagi. Ayah mau sampaikan jika Tiara ingin meminjam mobil, mau ia pake ke kampus buat ngambil laptop yang ketinggalan di sana, karena mobilnya pagi tadi masuk bengkel”

“Ya udah yah, pinjemin aja.” Sambil membalas, sambil berdiri, berjalan menjauh dari ranjang. Anehnya, bukannya langsung masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar, Andini malah menyempatkan bercermin sejenak. Ckckck, dasar wanita.

“Ayah juga mau ajakin Bunda selepas sholat. Mau ke mall, buat beli sesuatu”

“Ahhh males yah. Bunda lagi males keluar-keluar”

“Kalo begitu, ayah pergi sendiri saja. Gak apa-apa kan?”

“Iya...” balas Andini. “Udah sana, kasian Tiara nungguin pasti di depan”

“Oke” segera ku sambar kunci mobil fortunerku, karena biar gadis itu pakai ini. Sedangkan aku cukup mobil kecil aja, karena aku hanya ingin membeli beberapa peralatan komputer buat di toko cabang kecilku yang kebetulan komputer adminnya lagi eror.

Setibanya kembali di depan, Tiara masih berdiri. Masih pada posisinya di awal tadi. Membelakangiku yang lagi berjalan menuju ke arahnya.

“Malah masih berdiri. Kenapa tidak duduk saja” aku bergumam pelan yang penting gadis itu mendengarnya.

“Eh.... iya Pak” dia senyum kecut.

“Nih, pake yang gede aja, Ra”

“Eh gak usah pak. Cukup yang kecil aja...” dia menolak. Padahal tanganku yang sedang memegang kunci, telah ku angsurkan padanya.

“Udah pake aja. Gak usah sungkan” kataku.

“Jangan pak. Tiara takut....” Gadis itu sampai menyentuh tanganku untuk kali ketiga, yang pertama kala kami bersalaman waktu perkenalan di awal, kedua, di saat kejadian jarinya teriris. Dan ketiga, saat sekarang.

Yang membuat tiba-tiba suasana menjadi agak kaku, ketika Tiara malah bukan sekedar menyentuh, di raihnya telapak tanganku yang tengah posisi membuka, di katupkan, di satukan agar menutup, menyembunyikan kunci mobil di dalamnya.

Setelahnya. Dia tak langsung menarik tangannya itu. Dia menatapku, sambil menunjukkan senyum lucunya kembali. “Ya udah deh pak. Tiara cabut aja sekarang, hehehe, mau naik ojek online aja”

“Loh... Tia. Kenapa gak mau pake mobil kakak aja sayang?” tiba-tiba Andini muncul dari kamar, berjalan ke arah kami.

Sial! Mana Tiara masih saja memegang tanganku. Spontan, aku yang lantas menariknya. Aku melangkah mundur sedikit saja, memberi jarak agak berjauhan dengan gadis polos itu.

“Tapi.... yah.” Andini kini menatap ke arahku.

“Hmm...”

“Bukannya ayah juga mau keluar tadi? Kenapa gak sekalian saja anterin Tiara ke kampusnya. Itung-itung biar ayah bisa lebih akrab dengannya, hehehe, karena kata Tia, ayah itu orangnya dingin banget. Justru selama ini, Tia malah kesannya takut gitu ama ayah.... hihihii”

“Ihhhhh kak Dini.” Tiara protes. Mata mungilnya itu membelalak, hal itu membuat wajahnya semakin lucu saja - Langsung menjauh dariku, mendekat ke Andini.

“Lucunya adik aku ihhh....... hihihi, sini.... sini sayang.” Istriku segera memeluknya dari samping. Jadi di hadapanku saat ini, Andini seperti baru menemukan sosok seorang adik yang memang sejak dulu di inginkannya. Mengingat, Andini anak bungsu dari dua bersaudara. Tiara sampai membuka topinya, sekedar membuatnya nyaman untuk memeluk Andini.

“Kak Dini tega.... masa di depannya Pak ayah bilang gitu” sambil berucap, sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandanganku di bawah ketiak istriku yang tengah memeluknya.

“Loh emeng bener kan?”

Wait.... wait.

Pak ayah? Sedikit menggelitik sih, Cuma aku mengabaikan. Tak ingin menertawakan panggilan dari gadis itu padaku, barusan.

“Ihhhh Tiara kan jadi malu tau, kak”

Tapi....

“Jadi.... mau kan yah, nemenin Tiara ke kampusnya bentaran, baru ayah ajakin sekalian dia buat belanja keperluan ayah. Hehe.... biar bunda masak di rumah, sekalian masak buat Mona dan Wina deh.”



Tanpa mereka sadari. Tiba-tiba jantungku bergerumuh di dalam sana. Ingin menolak keinginan Andini, tapi bukankah rasanya aneh jika menolak? Dan tak ada alasan kuat bagiku buat menolak juga, bukan? Tapi, jika aku malah mengiyakan, apakah aku akan baik-baik saja berada di samping gadis periang, manja, lucu nan menggemaskan ini?

Belum juga aku tersadar dari lamunan, Tiara membalas ucapan Andini.

“Tiara takut kak....”

“Loh, justru karena kamu takut itu.... makanya kakak pengen kamu deketin ayah gih. Hehehe, masa ama suami kakak kamu malah takut. Harusnya ayah juga kamu anggap seperti kakak seperti ke kak Dini.”

“Tapi kak....”

“Udah, gak ada tapi-tapian, anak gadis imut gini, gak baik kalo malem-malem nyetir sendiri. Jadi udah sana.....” ujar Andini kembali, sembari melepaskan diri dari pelukan Tiara. “Ayah.... udah gih, ganti baju dulu sana. Gak mungkin keluar Cuma celana pendekan gitu kan?”

“Iya” balasku. Membalas sambil menahan nafas.

“Padahal... kerenan gini kak. Hehe, ups” celetuk Tiara.

“Nahhh, tuh yah. Kan ayah suka minta saran ke bunda, kalo mau keluar ayah harus pake apa, pake ini lah pake itulah. Mulai sekarang, ada baiknya ayah minta sarannya juga ke Tiara.”

Semakin menyiksa saja keadaan di sore menjelang magrib ini.

“Ayah gak mungkin keluar bercelana pendek, karena takut, telat tiba di rumah dan waktu magrib telah tiba. Jadi ayah berganti celana saja” ujarku selanjutnya.

“Ya udah deh”

“Tunggu bentar....” aku pun berjalan meninggalkan kedua perempuan itu, berjalan menuju ke kamar.



Sambil berjalan ini, aku sempat mendengar mereka lanjut berbicara.

“Tuh kan Tia. Ayah gak protes kalo kamu ikutan. Hehehe,”

“Eh iya ya kak Din. Pak ayah malah gak jawab apa-apa, gak protes, dan tidak mengiyakan juga”

“Yah begitulah suami kakak dek. Jarang berbicara, tapi, selalu langsung bertindak untuk menyenangkan hati pasangannya. Untuk tidak mengecewakan pasangannya”



Ah iya....

Benar kata Andini, bukankah aku belum menyetujui keinginannya tadi?

Sial.

Mau kembali ke mereka, buat menolak, tapi perasaan ini tak kuasa buat melakukannya. Rasanya, di dalam sana, semakin kuat buat menetapkan keinginan ini untuk sekedar bepergian berdua dengan Tiara.





Bersambung Chapter 4
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd