Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

Bimabet
Nemplokin sendal dulu biar gak ketinggalan update
 
CHAPTER 4A
'Bukan' Sang Penggoda


Seperti yang ku jelaskan sebelumnya, jika aku tak memiliki alasan untuk menolak keinginan Andini, untuk aku, mengantarkan Tiara ke kampusnya buat mengambil laptop yang ketinggalan, lalu di lanjutkan ke Mall buat membeli beberapa keperluanku.

Dan yah, itulah yang akan kami lakukan. Pergi bersama.

Berdua....



Dengan Tiara?




Sedikit ku helakan nafas ketika mengingat keinginan istriku ini. Bukannya menjauhkanku dari fitnah, ini malah lebih mendekatkan. Apakah Andini sama sekali tidak menyadari apa, jika ini salah. Jika ini akan mulai mendobrak benteng pertahanan yang sedari awal ku bangun?

Ya sudahlah. Mungkin aku saja yang terlalu parno, karena mengingat niatku sejak awal menikahi Andini, yang telah membuang jauh-jauh pemikiran untuk tergoda oleh perempuan yang menggoda.

Jadi, mari kita skip saja perasaan yang tak mengenakkanku di dalam sana. Karena aku sendiri masih berusaha untuk berfikir positif, saja.

Selesai berganti pakaian. Dengan kaos hitam berlogo hammer di dada kiri, serta celana chino slim, sandal santai - tanpa lupa mengambil kaca mata karena kondisi mataku yang apabila ingin mengemudi harus terbantukan alat berkaca silinder itu. Aku lebih dulu keluar untuk sekedar membuka pintu gerbang sekalian menyalakan mesin mobil. Tiara berjalan bersisian dengan Andini, mengikuti dari belakang hingga terhenti di pintu rumah.

“Bun... ayah pergi dulu.” Ujarku pada Andini, dan tak lupa sebelumnya ku berikan tangan ini buat ia salim. Ternyata ku sadari jika semua itu menjadi perhatian penuh Tiara yang masih berada di samping Andini.

“Aku? Tiara ke.. kep... pengen juga pak ayah...” celetuk Tiara sambil memberikan gesture untuk meminta tanganku buat ia salim, seperti yang Andini lakukan barusan.

“Loh dek. Kan kamu yang pergi, kok malah udah mau minta saliman segala. Hehehe” itu Andini.

“Eh iya yah ups.... tuk... tuk....” gadis itu tersadar, dan jari telunjuk mungil dan lentik itu ia ketukkan ke dahinya sendiri.

Aku yang memperhatikan, tak memberi respon yang berlebih. Hanya senyum semata.

Setelahnya, aku memungkasi sesegera mungkin biar obrolan tidak memending niatku untuk segera keluar dari rumah.

“Kak... Tiara pergi dulu ya. Pinjem pak ayah dulu. Hehe” pamit Tiara ke Andini.

“Dasar. Ambil aja sana, yang penting kudu di pulangin dengan utuh yah pak ayahnya” malah Andini menimpali. Dan aku yakin, itu hanya sekedar candaan semata.

Begitu dari ekor mata, ku sadari jika Tiara sedang menatapku dengan ekspresi lucu, aku segera mengambil sikap. “Bunda....” aku bergumam, sekedar untuk menegur Andini. Jika bercanda itu, kudu di pikirkan juga. Meski sekedar gumaman, tapi sarat akan ketegasan.

Hal itu membuat Tiara malah terdiam. Kepalanya yang bertopi coklat, sampai tertunduk.

“Tuh kan yah. Tia jadi takut lagi ama ayah.... ayah sih. Ihhhhh, di bilangin Tiara takut tuh, malah makin di buat takut” Aku hanya merespon dengan menggeleng kepala saja. Aku tak ingin, sikapku akan di pandang berlebihan, khususnya pada Tiara.

“Ya sudah, ayah jalan dulu.... Assalamualaikum” tak ku hiraukan ucapan istriku, aku segera berpamitan padanya.

“Wa’alaikumsalam....” itu Andini.

“Wa... walaikumsalam...” loh he? Itu juga Tiara? Kenapa dia membalas salamku? Meski dia tak sekeyakinan dengan kami, tapi hal biasa ku dengar, ketika salam ku ucapkan, mendapatkan balasan dari orang yang tak seagama. Tapi, justru bukan itu yang menjadi perhatianku, meski aku tak lagi melihat ke arah mereka, melainkan....

“Ihh kamu juga ikut sana. Malah diem bae, malah balesin salamnya ayah. Piye toh dek” nah ini yang aku maksudkan.

“Tiara takut.... kak.”

Aku akhirnya menoleh, pada akhirnya pula, ku berikan senyum pada gadis itu. “Yuk Ra. Gak usah takut, saya bukan pemakan manusia, saya hanya suka makan capcay saja”

“Hehehehehe....” gadis itu tertawa renyah. Anehnya, kenapa aku bisa merasa selega itu ya?

“Kak.... Tia jalan dulu ya” ahhh, akhirnya, gadis itu kembali seperti sedia kala. Riang dan ceria.

“Iya... hati-hati.” Balas Andini. Aku sempat bersitatap dengan istriku itu, dia hanya melempar senyum di sertai kepala berkerudungnya yang terangguk.

...

...

...

And then....

Di sinlah kami berada. Di dalam mobil, di jalan menuju ke bekas kampusku dulu. Yang sekarang menjadi kampus gadis yang duduk di sebelahku.

Awalnya ku suruh gadis itu untuk duduk di belakang, di jok tengah, karena aku takut, aku malah jadi kurang fokus akibat keseringan memalingkan pandanganku ke tubuh bagian bawahnya yang hanya ber-rok jeans biru muda semata, yang menunjukkan sepasang paha putih mulusnya itu. Dan ia malah nyeletuk, “Tiara gak mau ah, pak. Bentar di kira Tiara kurang ajar karena udah biarin bapak sendirian nyetir di depan, mirip supir taksi online... ups!” setelahnya, ia menutup mulutnya dengan telapak kanannya itu.

Aku hanya senyum tipis saja.

“Ya sudah, jika memang itu yang kamu inginkan.”

Tiara dengan riang masuk ke dalam mobil, mengambil posisi nyaman di sebelah jok kemudi. Aku yang belum masuk ke dalam, sepintas sempat merasakan getar menggoda dalam sana, karena lagi-lagi, proses saat gadis itu duduk, roknya agak tertarik ke atas. Ahhh, again. ‘Maafkan saya’. Maaf, karena telah lancang melihat sepasang paha yang begitu proporsional, putih mulus bak pualam, bahkan saking putihnya, tampak samar aku bisa melihat beberapa urat-urat berwarna kehijauan di sana.

Ahhh, bukankah, sudah bukan hal baru aku melihat paha wanita seputih itu? Bukankah sepasang paha Andini juga putih, meski pemenangnya masih milik gadis itu.

Namun....

Sumpah, ada rasa yang tak mengenakkan kembali hadir menggoda di dalam sana. Tapi segera ku paksa buat membuang jauh-jauh pemikiran tak logisku barusan, dan untuk memungkasi acara kebekuan diri ini, aku segera masuk dan memposisikan diri di belakang kemudi.

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, aku sempat menatap dari dalam mobil, ke dalam mata Andini yang berdiri di sisi pintu pagar, melambaikan tangan, pun mendapat balasan juga dari Tiara yang membuka kaca mobil, untuk sekedar meredakan gejolak tak normal di dalam dada ini.

Semakin menjauhnya mobil ini berjalan, semakin aku mencoba seberusaha mungkin agar tidak memalingkan wajahku ke samping. Lebih tepatnya sedikit ke bawah. Karena aku tahu, amat sangat sadar, jika sepasang paha yang sempat terkagumi itu sudah terekspose dengan sempurna, pun, sang empunya malah biasa-biasa saja. Malah aku juga merasakan, jika ini bukan karena di sengaja. Sikap gadis lucu di sebelahku ini sama sekali tidak ada unsur menggoda.

Gadis yang polos....

Tiara....

Kenapa engkau menyiksa seperti ini, dek?





Bersambung Chapter 4B
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd