Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

CHAPTER 6
Andini Yang Polos



Aku tak tahu persis, sebab gadis yang sejam yang lalu duduk di sebelahku tiba-tiba menitihkan air mata setelah mendengarkanku menyanyikan lagu dari negeri seberang, yang juga berjudul sama seperti namanya. Tiara....

Bahkan lebih dari sekali aku bertanya padanya, tapi dia tak memberikan jawaban yang benar-benar bisa memberiku kelegaan. Hanya jawaban “Tidak apa-apa, pak Ru... Rudi... tidak apa-apa”

Ataukah, “Gak... tiba-tiba saja mata Tia gatal, Pak.... Hehehehe” just it. Bahkan sambil menjawab untuk kali kedua dan ketiga kalinya, wajahnya telah tersenyum. Tawa pelan nan renyah darinya pun, mulai dia perdengarkan kembali padaku. Seolah-olah, ia ingin menekankan jika ia baik-baik saja.

Tapi, jangan tanyakan padaku, apakah aku sepercaya itu dengan jawaban yang seperti bermakna sebuah alasan untuk menutupi yang sebenarnya? Maka ku jawab tidak, tapi aku tak memaksanya untuk menjawab yang sebenarnya. Mungkin, gadis itu punya alasan untuk tidak berterus terang sebab ia menitihkan air mata tadi.



Eh wait....

Bukankah, setelah kejadian ia menitihkan air mata itu, ia tak lagi memanggilku ‘Pak Ayah’? panggilannya padaku, sudah kembali memanggil ‘Pak Rudi’. Sungguh, aku paling tak mampu ketika dihadapkan dengan perasaan sepenarasan ini. Apalagi penasaran terhadap gadis muda yang amat sangat jauh dari perkiraanku selama ini. Dengan mudahnya, mengembalikanku pada masa muda dulu, yang mulai menancapkan busur asmaranya tepat di tengah-tengah jantung.

Pertanyaan lain pun mulai menggeliat di pikiran ini. Apakah aku memang sedang terkena busur asmaranya? Ataukah, telah tercipta birahi dalam diri ini terhadap gadis cantik itu?

Aku tak tahu....

Dan aku sendiri tak mampu untuk menjawab dengan pasti.

Kembali pada kejadian sejaman yang lalu, ketika aku selesai bernyanyi, ketika aku selesai bertanya padanya dan tak mendapatkan jawaban yang pasti – bahkan belum sempat ke mall untuk membeli keperluan, gadis itu tiba-tiba saja berucap, “Pak.... jika Tia pengen di turunkan di sini, karena tiba-tiba Tia kelupaan kalo Tia lagi janjian ama temen, bapak marah gak?”

Pengen percaya, tapi sejujurnya rasa amat sangat sulit, kawan. Tapi jika aku pun tak mengiyakan, rasanya juga agak aneh, seakan-akan aku yang sengaja menahan agar ia tetap berada di dekatku, di sampingku. Dan pada akhirnya, aku mengangguk pelan. “Mau saya turunkan di mana?”

“Di halte itu saja Pak.... boleh?” pandangan Tiara barusan agak aneh, tapi itu hanya sejenak saja, kemudian ia pun menunjukan sikap dan cara ia menatapku seperti biasanya. Ahhhh, wanita.... wanita. Kenapa engkau sangat sulit buat di mengerti?

“Boleh. Wait...” segera ku nyalakan lampu sein ke kiri buat meminta jalan ke sisi kiri pada para pengendara lain.

Setelah mobil ku tepikan, berhenti di pinggir jalan. Aku menunggu gadis di sebelahku untuk berpamitan. Namun nyatanya, dia malah diam. Masih diam sambil menatap ke depan sana. Ada apa sih dengan gadis ini? Batinku bertanya-tanya.

“Ra....” aku memanggil.

“Eh astagaaa.... hehehehe lupa pak” balasnya, dari cara dia berbicara seperti sedikit memaksa agar tetap terlihat ceria.

“Janji kan, bapak tidak marah ke Tiara?” aku mengernyit sesaat, kemudian tersenyum.

“Percayalah.... sampai kapanpun, saya tidak akan pernah bisa marah kepadamu, dek”

Dia membalas senyumanku dengan mimik lucu.

“Ya... ya udah. Tiara pamit ya Pak”

“Pulangnya jangan kemaleman.”

“Tiara janji. Sebelum jam 9 malam, Tiara sudah di rumah.” Entahlah. Mengapa aku percaya kali ini ucapannya itu, yang menjanjikan jika ia tak akan terlambat tiba di rumah, yang hingga akhirnya aku-pun mengangguk padanya.

Setelah itu, dia meminta tanganku dengan gesture pelan, di iringi lengannya yang terulur ke samping kiriku. Mau tak mau ku sambut uluran tangannya. Telapak tanganku bergenggaman dengannya, hanya sedetik atau dua detik saja, sambil bersitatap di bawah penerangan yang temeram. Jenak berikutnya, gadis itu menarik tanganku untuk ia dekatkan pada wajahnya. Ia menyalim tanganku dengan hikmat.

“Tiara pamit Pak.... Assalamualaikum,” he? Dia memberiku salam. Padahal kan ia....? Ahhh sudahlah. Bukan suatu perkara yang harus di debatkan.

“Wa’alaikumsalam, Ra.... hati-hati”

Dia menunjukkan jempolnya setelah tanganku ia lepaskan.

Ketika ia berbalik, secuil saja, ekspresinya berubah sedemikian rupa. Untung saja aku sempat melihatnya, karena detik berikutnya wajahnya tak lagi mengarah padaku. Karena kini posisi gadis itu, sudah akan membuka pintu mobil. Apakah ia sedang memikirkan sesuatu?

Ingin menahannya sebentar saja, tapi aku tak memiliki keberanian. Mau tak mau, ku ikhlaskan gadis itu keluar dari mobil, menutup pintu mobil. Aku membuka kaca, sekali lagi aku menangkap ekspresi yang berbeda dari wajah cantiknya itu.



Kamu kenapa, Tiara?

Hanya itu yang ku pikirkan saat ini. Tapi amat sangat tidak berani buat mengungkap langsung di hadapannya.

Masih.... Masih sama sikap Tiara yang ia tunjukkan padaku. Sikap ceria dan periangnya saat melambaikan tangannya dari luar. Meski aku sadar, kali ini – berbeda. Ada perbedaan, dan aku tak mampu buat menjelaskan bedanya dimana - Amat sangat menyadari, jika semua yang ia tunjukkan saat ini, hanya kepalsuan. Menyamarkan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Aku pun pada akhirnya, mau tak mau membalas lambaian tangannya dan segera menekan pelan pedal gas di bawah buat menjalankan mobilku.

Sudah...

Semuanya sudah selesai. Berakhirnya proses menyiksa yang sejak tadi gadis itu berikan padaku. Kami berpisah di persimpangan halte....

Seiring melajunya mobil yang ku kemudikan, pandanganku pun, masih saja tak mampu lepas dari spion tengah yang memantulkan posisi gadis itu berdiri di tepi trotoar pun, sama halnya denganku. Sama sekali pandangannya tak teralihkan dari mobil yang perlahan, mulai menjauh darinya.

...

...

...

Setibanya di rumah, Andini langsung menanyakan padaku, kenapa aku pulang sendiri tanpa Tiara menemani.

Yah, aku mengurungkan niat buat membeli kebutuhan tokoku di Mall, dan malah memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Hati dan perasaan yang tak mengenakkan, tentu saja menghilangkan mood berbelanja malam ini.

Aku beralasan padanya, sesuai juga alasan Tiara tadi, jika ia tak bisa menemaniku pulang ke rumah, karena ia pun sedang bertemu janji dengan temannya. Andini sempat cemberut, tapi ku colek pipinya dengan manja. Sedikit menyamarkan perasaan tak mengenakkanku di dalam sana.

Seperti biasa, meski cemberut, Andini tetap menyambutku seperti biasa.

Wahai istriku....

Maafkan suamimu, yang tadi, sempat sedikit tergoda oleh pesona sesosok gadis kecil jelmaan bidadari.....

“Ayah.... hmm”

“Ada apa sayang?”

“Ayah capek?”

“Tidak.... kamu lagi pengen?” karena sudah sangat mengerti tabiat Andini, maka aku segera saja menanyakannya.

“Hehehe, hu um.... mumpung yang laen juga belum pada pulang”

“Lagian kalo mereka ada, kamar kita kedap suara.”

“Ahhh ayah.”

Maka segera ku raih tubuh Andini, menggendongnya, membawanya ke dalam kamarku untuk segera ku senggamai.



Begitu pintu kamar terbuka, kemudian menutupnya dan tak lupa menguncinya, aku segera menarik tubuh Andini merapat kepadaku.

Tanpa berkata, aku memeluknya. Memberinya sentuhan demi sentuhan erotis pada titik yang sudah ku kuasai selama ini, setelah menjadi suaminya. Adalah beberapa titik kelemahannya.

Refleks saja, Andini langsung mendesah gelisah ketika mulai dalam penguasaan kecupan dan jilatan di sertai hembusan nafas ini, baik pada leher, telinga lalu kembali memberinya ciuman pada bibirnya yang tak kan pernah lelah ku nikmati.

Sambil bibir kami bertautan, bergelitik lidah, sepasang kaki kami berdua, pun mulai melangkah dengan sendirinya menuju ke ranjang king size.

Setibanya di tepi ranjang, masih belum melepaskan tautan bibir kami. Kami berdua menjatuhkan diri di empuknya ranjang pengantin kami ini.

Karena ia hanya memakai daster, segera saja tanganku mulai beraktivitas bergerilya pada tubuh sensual istriku.

Sentuhan pelanku di perut dan masuk ke dalam, merambah dada, menjadi pernyataan akan keinginan dan hasrat lelakiku.

Andini sempat menatap ke wajahku ketika bibir kami terlepas.

Hanya sesaat saja, kemudian ia kembali mendekatkan bibirnya menyambut aura percintaan yang mulai terbangun.

“Ayah… Kenapa.... hh... kenapa ayah sebernafsu ini?”

Bukankah memang seperti inilah aku, ketika bercinta dengannya, aku selalu bernafsu? Ataukah memang untuk kali ini, ada yang berbeda dari pelayananku kepadanya?

Ahhhh, entahlah....

Aku tak ingin memikirkannya lebih jauh.

Karena ku ingin memberikan Andini kenikmatan kembali.

Remasan tanganku di dadanya membuat tubuh istriku bergetar.

“Ahhhh ayahhhh....”

Inilah yang semestinya terjadi. Wanita inilah yang seharusnya mendapatkan tempat special dalam sana. Bukan buat wanita lain, apalagi buat seorang gadis yang bahkan baru sebulanan lebih ku kenal.

Mungkin saja, kejadian tadi bahkan kejadian sebelum-sebelumnya, hanya sebagai bumbu pernikahan. Mungkin saja....

Aku harus segera meminta maaf pada Andini tanpa berucap, cukup dengan memberinya kepuasaan yang tak bertepi ini. Di kamar ini, aku harus dan wajib mengobati rasa yang menyiksaku ini dengan cara satu sesi percintaan yang dashyat bersamanya.

Seiring sentuhan demi sentuhanku padanya, mulai tercipta birahi yang mulai meninggi. Di tandai dengan betapa aku begitu bernafsu untuk menggauli Andini. Ahh Andini, engkau memang sempurna, dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sedang bercinta seperti ini, engkau tetap menunjukkan kesempurnaanmu, sayangku.



Tapi…

Tiara..............

Ahh… kenapa lagi-lagi aku menyebut namanya.

Apalagi sepasang paha mungilnya yang tadi menjadi santapan sepasang mataku ini? Ahhh sial. Gustii, singkirkan pikiran ini, pikiran tentang keindahan yang dimiliki gadis lucu itu. Cukup pikiranku terfokus pada wanita yang tengah ku gauli saat ini.

Semakin ku berikan penyiksaan pada tubuh istriku ini, semakin nyata bayang-bayang orang lain yang menari-nari di dalam otak ini. Bayangan akan sosok Tiara, tatapannya yang lucu nan menggemaskan, lalu berubah menjadi tatapan yang begitu menyiksa, tatapan yang meski secara sadar ia tersenyum, tapi senyum yang ku lihat adalah senyum seseorang yang lagi di landa gejolak hati yang tak bertepi. Bukan hanya itu saja, meski tak lama bersamanya, berdua di dalam mobil, tapi otak ini sudah bisa merekam bagaimana aroma tubuhnya yang begitu menyejukkan, dan dekatnya dirinya kepadaku saat tadi di dalam mobil, apakah yang membuatku se-bergairah ini?

Oh tidak mungkin....

Mungkin kalian menganggapku aneh, kenapa bisa aku se-bergairah ini terhadap seorang gadis muda seperti Tiara. Namun yang pasti, aku memiliki suatu perasaan special terhadapnya, entah kapan rasa itu muncul, akupun tak mengetahuinya.

Apakah ini yang di namakan penasaran?

Mungkin iya, mungkin juga tidak.



Maaf, Andini…

Aku terus dan terus mencumbu istriku, mulai mencium dari leher, turun ke payudaranya yang sudah ku copot bajunya dengan gerakan cepat. “Ahhh yah… ayaaahhhhh kokkkk nafsuannn banget sekarang, bukannyaaaaa justru bunda tadi yang meeeemintaaa.... ohhhh”

Aku tetap acuh dengan celotehan istriku. Aku kemudian membuka celanaku, dan membisikkan di telinga istriku. “Ayah sudah tak tahan lagi....”

“Ahh iya buruan”

Dalam keadaan yang sama-sama polos, sama-sama telah telanjang sempurna. Dan saat istriku ingin memanjakan batang penisku, aku langsung menepis tangannya. Aku lagi tidak tertarik saat ini untuk mendapat service oral dari Andini. Yang jelas, aku ingin sesegera mungkin menuntaskan hasratku.

Andini menatapku sendu, dengan kerutan di keningnya begitu aku menolaknya.

“Ayah sudah tak tahan lagi” bisikku agar Andini tidak kecewa.

Dia kemudian tersenyum lembut, kemudian mengangguk mempersilahkanku untuk memasukinya.

Sedetik kemudian, aku mengarahkan penisku ke liang senggamanya, aku sampai memejamkan mata merasakan tiap gesek batang penisku memasuki kedalamannya.

Namun yang tak di ketahui istriku, pikiranku justru melayang kemana-mana. Aku bahkan tak mengira bisa sampai bernafsu seperti ini, ketika bayangan pada pikiranku ini, hanya melihat sepasang paha mungil yang tadi menjadi pemandangan indahku. Tak ada yang lain, tapi entah mengapa aku bisa sebergairah seperti sekarang.

“Ohhhh ayah. Kok rasanya ketegangannya maksimal bangett… uhuhhhh” desah istriku ketika aku mulai memompa penisku keluar masuk ke liang senggamanya. Bahkan ritme goyanganku tak seperti biasanya. RPMnya dua kali lipat. Aku melihat gumpalan payudara istriku yang ukurannya sedang, mulai bergoyang menari-nari mengikuti ritme hentakanku di bawah sana.

“Ahhh iya… ahhh iya ayah. Begitu… ahhhh cepat ahhhhh” rengek istriku.

Aku langsung menyambar bibirnya. Menghentikan desahannya. Tanganku yang bebas segera ikut bekerja, meremas payudaranya silih berganti. Anehnya, bayangan pada sepasang payudara berbungkus bra merah jambu itulah, yang tiba-tiba hadir dalam pikiran ini. Padahal jelas-jelas, payudara di hadapanku ini tak ber-bra.

Padahal jelas-jelas, wanita yang tengah ku setubuhi dengan halal ini, telah polos dengan sempurna, kenapa justru penyebab aku sebernafsu ini, hanya karena dua pasang payudara lain yang bahkan tak kuketahui jelas bentuknya?

Ahhh Andiniku yang polos....

Tapi, tetap saja....

Pemenangnya.....

Adalah....

Tiara................

Hentakan kelaminku yang beradu dengan milik istriku itu, semakin kencang, semakin tak terkendali. Bahkan suara keciprat keciprit pun semakin keras terdengar. Kondisi vagina istriku semakin berlendir, bahkan ketika aku melihat ke batang kemaluanku yang tak sepenuhnya mampu tertelan, makin mengkilap, makin basah akibat cairan dari liang senggama istriku.

“Ohhh ayahhhh dalam banget… ohhhhh mentok ayah… ahhhh, bunda sukaaaa!” cerocoh Andini istriku. Aku sempat merasakan gejolak yang semakin besar, namun aku masih bisa menahannya.

Penisku semakin menghentak-hentakkan tubuh istriku di bawah tubuhku ini. Peraduan kelamin kami di bawah sana, semakin membuatku terbang melayang. Sungguh nikmat rasanya, sungguh bahagia rasanya jika menyetubuhi istriku seperti ini.

Aku sangat menyukai ekspresinya ketika sedang ku setubuhi.

Suara desahan serta erangan darinya, semakin membangkitkan gairahku.

Setelah puas posisi aku berada di atas, aku menarik kedua lengan istriku. Tanpa melepaskan penisku, kami mengganti posisi dimana aku kini berada di bawah.

WOT! Adalah posisi yang paling Andini sukain.

Dia pun langsung melakukan tugasnya menaik turunkan bokongnya. Begitu tiba dimana aku harus melaksanakan tugasku, maka aku menahan bongkahan pantatnya, dan mulai mengguncangnya dari bawah.

“Ahhhhhhhhhhhh ayaaaahhhh ja… jangan begitushhh oughhhh my” protes istriku tapi tak ku indahkan sama sekali.

Ku keluar masukkan penisku di vagina istriku dengan kecepatan penuh. Mulut istriku mulai terbuka lebar, dan matanya mulai merem melek. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan.

Namun.....

Ah sialllll......


Kenapa tubuh polos telanjang istriku, tiba-tiba saja telah mengenakan tshirt putih keabu-abuan, lalu, tak berhenti sampai di sana, imaginasiku mulai menganggap, jika Andini malah tengah ber-rok jeans di bawah sana yang juga sudah terangkat hingga ke pinggang? Tanpa sengaja pula, mataku malah melirik ke wajahnya.

Ohhhhh gusti......

Ohhhh......... Tiaraaaaa.....


Stop! Ku mohon, pergilah dulu sekarang, dek. Wajah innocent mu itu, yang begitu manja dan menggemaskan, malah semakin dan semakin membuat birahi ini kian makin terbakar. Ku mohon, janganlah engkau menjadi satu-satunya penyebab, aku tak mampu menahan desakan orgasme yang mulai menghampiri.

Aku memaksa mata ini buat terpejam. Dan berhasil.... karena, nyatanya, kini aku mulai kembali ke kesadaran. Buktinya, aku mulai merasakan jika nafas Andini mulai tertahan-tahan seiring orgasmenya yang sebentar lagi akan pecah. Namun demikian denganku, aku pun merasa heran, mengapa aku tak dapat menahan untuk kali ini. Tak seperti biasanya, pikirku.

Dan…

Satu hentakan terakhir, maka aku menyemprotkan spermaku ke dalam rahim istriku, bersamaan lenguhan panjang terdengar indah dari istriku, yang juga menandakan jika ia telah tiba pada puncak kenikmatannya.

Perasan demi perasan ku rasakan di dalam sana hingga setelah perasan terakhir, aku mengecup kening Andini.

“Duhh ayah… kok banyak banget sperma ayah ya. Gak seperti biasanya?”

Andini melanjutkan, “ayah juga cepet keluarnya, bener-bener gak biasanya deh.... biasanya ayah malah lama keluarnya”

Aku tak jawab. Aku hanya kecup di keningnya, sembari bergumam. Cukup dalam hati saja.



Maafkan saya, Andini....

Maafkan saya, yang telah lancang memikirkan perempuan lain di saat sedang bercinta denganmu. Dan sekali lagi, maafkan saya. Orgasme yang teramat cepat ini, bukan karena engkau penyebabnya, melainkan............................



Tiara....

Gadis innocent, lucu, periang yang bayangannya masih sulit buat ku tepis – lah’ yang menjadi satu-satunya penyebab.




Bersambung Chapter 7
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd