Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tiga Pangeran Tampan - real story

Bimabet
Minal Aidzin wal Faizin.... Mohon maaf lahir dan batin
 
Ada cerita baru nih si om nya ngak bilang2 sih jadi terlambat deh ..... Baru nyadar nih ....

Banyak thread banyak rejeki..
Lanjut suhu.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Uwaaah,real story nih hu?
Luar biasa sekali pikiran pak Bram ya, visioner..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hadooohh......
Sialan banget nih..... Karya Si Bos Gardayana2019..... selalu bikin ngaceng pembacanya :tegang:
karya anda memang heubat bos :Peace::semangat:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bikin Panjang lagi ceritanya, lanjut ke mama Puput yang sudah menjanda….
 
Tiga Pangeran Tampan
Real Story

Index :
Bagian 01-------- page 01





















































































Bagian 1




Kisah Nyata ini kudedikasikan buat SP Terima kasih atas bantuan tenaga, fikiran dan pengertiannya yaaa…

Aku merasa seperti ditakdirkan hanya untuk disakiti dan disia-siakan. Namun aku tak henti-hentinya membangkitkan semangatku sendiri, tanpa mau mengeluh kepada siapa pun. Juga kepada Mama, aku bertutur yang baik-baik saja, tak pernah bercerita tentang yang pahit-pahit.
Padahal hatiku sudah dikoyak oleh lelaki itu, lelaki yang telah merenggut kesucianku itu, yang lalu menghilang entah ke mana.
Namun aku tak mau menyalahkan orang lain. Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Menyalahkan kebodohanku sendiri, karena mau saja dirayu dan dicumbu oleh lelaki yang membuatku tak ingin menyebutkan namanya itu.
Biarlah, aku harus mampu melupakannya. Melupakan segala yang pernah terjadi dengannya.
Aku berhasil mengalihkan pikiran dan perasaanku, kepada kuliahku meski hanya sampai D3. Aku pun jadi rajin senam dan berolahraga pada waktu luangku. Sehingga tubuhku makin terbentuk, yang kata teman-temanku jadi semakin indah.
Namun tiap kali ada cowok yang berusaha mendekatiku dengan sikap yang “lain”, aku selalu berusaha menghindarinya secara halus. Bahkan ada perasaan curiga pada cowok mana pun yang berusaha mendekatiku.
Akibatnya, mungkin mereka menilaiku sebagai cewek jutek. Karena senyum pun jadi sesuatu yang mahal bagiku.
Walau pun begitu, tidak berarti bahwa aku tak punya teman. Cukup banyak temanku. Tapi hampir semuanya cewek. Ada juga cowok, seperti Yodi dan Alexander. Namun aku selalu bersikap serius kepada mereka, agar jangan memancing-mancing ke arah hubungan yang lebih dari sekadar teman.
Berkat keseriusan dan kegigihanku, akhirnya aku bisa menyelesaikan pendidikanku di akademi itu. Dan setelah diwisuda aku mulai menebar lamaran ke sana- sini. Memang tak mudah mendapat pekerjaan di masa kini. Yang sudah S1 dan S2 pun masih banyak yang nganggur. Apalagi aku yang cuma berbekal ijazah D3.
Lebih dari tiga bulan aku melamar ke sana-sini, tiada juga jawaban yang sesuai dengan harapanku. Padahal wawancara pun sudah berkali-kali. Tapi jawabannya senada terus, “Hasilnya nanti akan dikirim lewat surat.”
Sehingga aku jadi letih sendiri.
Di saat-saat yang membuatku hampiur putus asa itu, datang surat yang tak terduga. Surat yang menyatakan bahwa aku diterima di sebuah perusahaan besar, dengan jabatan yang sesuai dengan pendidikanku (akademi sekretaris), sebagai sekretaris pribadi owner perusahaan itu. Berarti aku akan menjadi sekretaris pribadi orang nomor satu di perusahaan besar itu… !
Gaji yang akan kuperoleh pun lumayan besar menurut ukuranku. Yah… lumayan lah. Minimal aku bisa membantu kebutuhan Mama, agar jangan hanya mengandalkan uang pensiun yang cuma beberapa ratus ribu per bulan.
Namun di balik kegiranganku, ada perasaan waswas juga. Masalahnya, aku sering mendengar cerita tentang kehidupan para sekretaris pribadi.
Ya, tadinya aku suka punya pikiran negatif tentang jabatan seorang sekretaris seperti aku ini. Karena sering kudengar atau kubaca cerita tentang boss yang macem-macem di kantor atau di mana saja.
Tapi setelah dua tahun aku bekerja sebagai sekretaris owner perusahaan yang cukup besar ini, aku tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari big bossku. Pak Bram, demikian nama bossku itu, adalah seorang lelaki yang selalu serius di mataku. Dia tak pernah bercanda atau berbicara yang ngawur. Mulutnya seolah dibatasi, hanya untuk membicarakan masalah bisnis semata denganku. Begitu pula sikap dan perilakunya, tak pernah menyimpang. Dia benar-benar serius ketika berhadapan denganku.
Karena itu aku menjadi simpati juga padanya. Sikapnya yang serius tapi lembut itu, membuatku hormat padanya. Bahkan diam-diam aku menganggapnya sebagai seorang ayah, karena sifat kebapakannya lebih menonjol daripada sikap seorang boss kepada anak buahnya.
Sering juga Pak Bram membawaku ke luar kota, untuk mengunjungi cabang-cabang perusahaannya. Namun selalu saja ia bersikap resmi, sebagai boss kepada anak buahnya. Tak pernah ada sesuatu yang bersifat negatif. Karena itu aku selalu merasa aman bersamanya, di mana pun aku bersamanya.
Apakah sikap dan perilaku bossku itu karena pada dasarnya dia tak pernah macam-macam, atau karena usianya sudah kepala 5, sementara aku baru berusia 25 tahun, sehingga ia menganggapku sebagai anaknya ? Entahlah. Yang jelas aku merasa aman dan nyaman di mana pun aku bersamanya.
Begitulah penilaian dan perasaanku terhadap beliau pada awalnya.
Tapi pada suatu hari, ketika aku sedang makan bersama Pak Bram di sebuah restoran, terjadilah percakapan seperti ini :
“Orang tuamu masih lengkap, Put ?” tanyanya.
“Tinggal ibu Pak. Ayah sudah meninggal,” sahutku.
“Punya saudara berapa orang ?”
“Gak punya Pak. Saya anak tunggal.”
“Ohya ?! Terus ibumu kerja apa ?”
“Gak kerja Pak. Cuma di rumah saja.”
Pak Bram mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba ia menanyakan sesuatu yang cukup mengejutkanku : “Kamu mau menjadi istriku ?”
“Iii... istri muda maksud Bapak ?” aku balik bertanya, dalam kaget.
“Kamu belum tau seluk beluk diriku ya. Tiga tahun yang lalu istriku meninggal. Dan sampai sekarang aku tidak punya istri.”
“Wah... baru sekarang saya mendengarnya Pak. Tadinya saya pikir Bapak masih punya istri.”
“Anak sih ada. Tiga orang. Kalau istri tidak punya. Sampai saat ini aku ini masih duda, Put.”
Aku terlongong. Semuanya ini mengejutkan. Sehingga aku tak berani sembarangan bicara.
Lalu Pak Bram berkata lagi, “Selama dua tahun aku memperhatikanmu dari segala sudut. Dan aku mengambil kesimpulan, bahwa kamu cukup layak untuk menjadi istriku.”
Aku tertunduk. Aku tak percaya pada pendengaranku sendiri. Bahwa bossku, seorang pengusaha yang kaya raya, bermaksud memperistrikanku. Apakah itu mungkin ?
“Bagaimana ? Apakah kamu siap untuk menjadi istriku ?” tanya Pak Bram setelah aku agak lama terdiam.
Aku tertunduk dan menyahut lirih, “Saya orang tak punya Pak. Sementara Bapak... “
“Jangan bicara masalah harta. Karena aku tidak membutuhkan hartamu serupiah pun. Aku hanya ingin kamu mendampingiku di sisa kehidupanku, Put.”
Aku tertunduk lagi.
“Tak dijawab sekarang juga tak apa-apa. Pikirin aja dulu sematang-matangnya, ya Put.”
“Iii... iya Pak.”
“Mmm... sekarang kamu punya pacar ?”
“Dulu sih punya. Tapi sudah putus sebelum saya bekerja di perusahaan Bapak.”
“Jadi sekarang gak punya pacar ?”
“Nggak Pak. Sekarang saya konsen ingin membahagiakan ibu saya aja.”
“Baguslah kalau begitu. Jadi aku kasih waktu untuk berpikir dalam beberapa hari ke depan. Coba rundingkan dengan ibumu. Karena aku ingin agar pernikahan kita mendapat restu dari ibumu. Kalau sudah mendapat persetujuan dari ibumu, nanti aku akan datang ke rumahmu, untuk melamarmu.”
“Rumah saya gubuk Pak. Malu... ”
“Jangan bicara begitu lagi ah. Setelah kita menikah, aku bisa menempatkan ibumu di rumah baru kan ?”
“Maksudnya... Bapak mau menghadiahkan rumah untuk saya dan ibu saya ?”
“Iya. Mmm... sekarang kita lihat rumahnya ya. “
Dari restoran itu Pak Bram membawaku ke sebuah rumah baru yang terletak di kompleks perumahan elit.
“Bagaimana ? Cocok kan rumah ini untuk tempat tinggal ibumu nanti ?” tanya Pak Bram dengan tatapan lembut.
“Speechless Pak... ini benar-benar surprise. Jadi... gak tau harus bilang apa.... “ sahutku dalam kebingungan.
Ya... aku memang sudah berusaha untuk mengerti kalau Pak Bram berniat menikahiku. Tapi apakah niat itu akan tetap ada setelah beliau mengetahui latar belakang kehidupan cintaku yang telah merenggut kesucianku ?
Masa laluku dengan Herdi memang kebablasan. Membuatku terlena ketika keperawananku diterobos oleh kejantanan Herdi. Lalu membuatku jadi tergantung pada pacarku itu. Membuatku pasrah saja ketika ia ingin mengulanginya terus menerus. Kapan pun ia menghendaki hubungan seksual, selalu kuberikan, meski aku tidak menghendakinya. Karena aku takut ia merajuk lalu meninggalkanku.
Namun akhirnya ia benar-benar meninggalkanku, dalam keadaan tak suci lagi.
Memang aku tak hamil, saking rajinnya menelan pil kontrasepsi. Tapi hatiku sakit... sakit sekali... karena Herdi tega meninggalkanku dalam keadaan yang sudah ternoda.
Dan sejak ditinggalkan oleh Herdi, aku jadi malas berpacaran lagi. Karena takut mengalami kepahitan lagi.
Itulah yang membuatku speechless ketika Pak Bram menjelaskan bahwa rumah megah itu akan dihadiahkan padaku, untuk tempat tinggal Mama setelah aku menjadi istri Pak Bram. Dan sudah terbayang betapa cemerlangnya masa depanku seandainya aku sudah menjadi istri Pak Bram...
Tapi, apakah Pak Bram masih mau memperistrikanku seandainya beliau tahu masa laluku yang sudah ternoda ini ?
“Rumah ini disita oleh bank, kemudian dilelang. Aku yang memenangkan lelangnya dan sudah kubayar lunas. Tinggal menunggu sertifikatnya aja,” kata Pak Bram sambil menyalakan rokoknya.
Kami masih sama-sama berdiri di dalam rumah itu, karena belum ada furniture di dalamnya.
“Tapi... rumah ini kelihatannya masih baru Pak,” kataku berusaha menanggapi, “Bau catnya juga masih kecium.”
“Kan sudah direnovasi di sana-sini, ada penambahan pula sebuah kamar di lantai dua. Sekarang tinggal beli furniture dan perabotan rumah aja yang belum. Soal kecil itu sih.”
“Tapi Pak... apakah Bapak serius mau menikahi saya ?”
“Puput.... kapan aku pernah bercanda ? Apalagi dalam masalah sepenting ini. Aku ingin menjadikanmu sebagai pelabuhan terakhirku. Makanya pikirkanlah sematang mungkin, apakah kamu sudah siap untuk menjadi istriku atau tidak ?”
Aku tertunduk. Ada yang ingin kusampaikan, tapi berat mengucapkannya.
“Kenapa ? Kok malah seperti sedih ?” tanya Pak Bram sambil memegang tanganku.
“Sa... saya takut Bapak menyesal di satu saat kelak, karena saya… banyak kekurangan… “
“Aku akan menerima kamu apa adanya.”
Aku tercenung beberapa saat. Apakah aku harus merahasiakan bahwa aku tidak virgin lagi ? Tapi bagaimana kalau kelak Pak Bram merasa ditipu oleh kenyataan yang sebenarnya… bahwa aku tidak suci lagi ? Aaaah… mendingan aku blak-blakan saja dari sekarang, agar Pak Bram tahu keadaanku yang sebenarnya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Maka akhirnya aku berkata sambil menunduk, “Kalau Bapak mau menerima saya dalam keadaan tidak perawan lagi, sekarang juga saya bisa menjawab keinginan Bapak.”
Di luar dugaanku Pak Bram menggenggam tanganku sambil berkata lembut, “Aku juga bukan bujangan lagi, malah sudah punya tiga orang anak. Aku tak peduli apakah kamu masih perawan atau tidak, Put. Masalah keperawanan kan hanya masalah satu malam. Yang jauh lebih penting adalah hari-hari setelah kita menikah nanti.”
Aku tercengang. “Jadi... Bapak mau menerima saya apa adanya ?” tanyaku sambil menatap wajah Pak Bram.
“Iya,” Pak Bram mengangguk sambil menggenggam kedua tanganku, “Aku akan menerima masalah kecil itu, karena aku sudah jatuh cinta padamu, Sayang.”
“Kalau begitu, saya siap untuk menjadi istri Bapak,” kataku dengan nada bersemangat.
Untuk pertama kalinya Pak Bram memegang kedua belah pipiku dengan sepasang tangan lembutnya, “Baguslah. Aku berjanji untuk membahagiakanmu, ya Sayang.”
“Saya juga berjanji untuk menjadi istri yang sejati dan siap untuk mengabdi kepada Bapak setelah menjadi suami saya... “
“Hmmm... sebaiknya sekarang saja aku akan mengantarkanmu pulang. Untuk menemui ibumu ya. Aku sudah tak sabar lagi, Put.”
“Tapi rumah saya di dalam gang kecil, gak bisa masuk mobil Pak.”
“Gak apa-apa. Ohya... makanan kegemaran ibumu apa Put ?”
“Ah, Mama sih dikasih martabak pisang coklat juga senang.”
“Kalau pizza seneng gak ?”
“Seneng juga. Terutama pizza tuna.”
“Baiklah, kalau begitu kita beli oleh-oleh pizza dan martabak dulu buat ibumu yang akan menjadi calon mertuaku ya.”
Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di samping Pak Bram lagi, di dalam mobilnya yang dikemudikan oleh sopirnya yang bernama Rahmat itu.
Kebetulan di dekat outlets pizza ada tukang martabak paling terkenal di kotaku. Maka ketika pesanan pizza tuna sedang dikerjakan, aku mempersilakan Pak Bram menunggu di dalam outlets pizza, sementara aku yang nyebrang untuk membeli martabak pisang coklat kesukaan Mama.
Pada waktu martabak itu dibuat, aku sempat menelepon Mama, tanpa sepengetahuan Pak Bram.
Lewat handphone aku berkata, “Mama dandan yang rapi ya. Rumah juga tolong dirapikan, jangan berantakan. Boss mau bertamu dan ingin bertemu dengan Mama sebagai calon mertua...”
“Haaa ?! Memangnya boss mau menikah denganmu ?”
“Rencananya sih begitu Mam.”
“Kamu akan dijadikan istri muda Put ?”
“Gak Mam. Aku juga baru tau, ternyata istri boss itu sudah tiga tahun meninggal. Sampai sekarang dia menduda. Makanya dia ingin menikahiku. Mungkin nanti dia akan menyampaikannya juga sama Mama.”
“Oooh... syukurlah Put. Mama senang mendengarnya.”
“Tapi usianya lebih tua dari Mama lho.”
“Biar aja. Justru lelaki yang sudah berumur itu sudah melepaskan egonya, lalu ingin membahagiakan istrinya.”
“Jadi Mama setuju kalau aku jadi istri boss ?”
“Setuju, Sayang. Daripada kawin dengan yang sebaya denganmu, malah gak jelas ujungnya, seperti dengan Herdi dahulu kan ?”
“Iya Mam. Sekarang tolong Mama beresin ruang tamu, lalu dandan serapi mungkin ya.”
“Iya. Eh... mama harus nyediain apa buat nyuguhin bossmu itu ?”
“Gak usah repot-repot deh Mam. Dia sih senengnya kopi yang kental. Gulanya sedikit aja, setengah sendok teh juga cukup.”
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Pak Bram lagi, dengan oleh-oleh pizza dan martabak untuk Mama.
“Ibumu ada di rumah ?” tanya Pak Bram setelah mobilnya meluncur di jalan aspal.
“Ada Pak. Tadi sudah saya telepon untuk memastikannya.”
“Baguslah kalau begitu.”
Di mulut gang menuju rumahku, kuminta Rahmat menghentikan mobil. Lalu aku dan Pak Bram turun dari mobil, menuju gang kecil yang sudah familiar denganku sejak masa kecil.
Rumah peninggalan almarhum ayahku tidak besar. Hanya ada 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tapi bentuknya minimalis, senantiasa ditata pula oleh Mama, sehingga aku tidak terlalu malu menerima Pak Bram di rumah ini.

Pak Bram mengutarakan maksudnya menjumpai Mama malam itu. Bahwa beliau berniat memperistrikanku. Mama mempersilakan untuk bertanya padaku, apakah aku bersedia menjadi calon istri Pak Bram atau tidak. Lalu aku mengangguk, tanda bersedia. Mama pun lalu menyatakan persetujuannya. Menyatakan bahwa ia merestuiku untuk menjadi istri Pak Bram.
Maka clear lah sudah. Bahwa aku sudah direstui oleh Mama untuk menjadi calon Istri Pak Bram.
Beberapa hari kemudian, Pak Bram membawaku ke rumahnya, untuk memperkenalkanku kepada anak-anaknya.
Ketiga anak Pak Bram menyambutku dengan sikap ramah. Lalu Pak Bram memperkenalkanku dengan ketiga anak cowoknya satu persatu. Nama mereka panjang-panjang, namun aku akan mengingat nama-nama kecilnya saja. Anak pertama bernama Eka, sudah kuliah semester 5 di fakultas teknik industri. Anak kedua bernama Dwi, sudah kuliah semester 3 di fakultas psikologi. Dan anak ketiga bernama Tri, sudah kuliah juga di fakultas ekonomi baru semester pertama.
“Jadi kalian harus memanggil Mami pada calon istri Papi ini ya,” kata Pak Bram kepada anak-anaknya. Ketiga anak muda itu pun mengangguk-angguk.
Sebulan menjelang akad nikah, aku dan Mama pindah ke rumah yang sudah disediakan oleh calon suamiku. Rumah megah di perumahan paling elite di kotaku itu.
Mama kelihatannya sangat senang tinggal di rumah baru ini. Terlebih setelah datang sebuah mobil baru beserta sopirnya yang bernama Dadang.
“Saya ditugaskan oleh Boss untuk menjadi sopir pribadi Ibu,” kata sopir itu.
Sementara itu di kantor pun Pak Bram mengumpulkan semua karyawan dan karyawatinya. Pada saat itulah Pak Bram mengumumkan, bahwa beliau akan menikah denganku. Kemudian kedudukanku pun berubah, menjadi orang kedua di dalam perusahaan. Juga Pak Bram minta agar semuanya memanggil Ibu Bram padaku, terutama setelah akad nikah yang akan dilaksanakan seminggu lagi.
Pak Bram juga meminta agar pada hari resepsi pernikahanku dengannya, semua karyawan dan karyawati diminta untuk hadir. Hari resepsinya memang pada hari Minggu siang, sementara akad nikah akan dilaksanakan pagi harinya di tempat resepsi itu juga.
Biasanya pesta pernikahan itu dibiayai oleh pihak mempelai perempuan. Tapi pesta pernikahan kami 100% dibiayai oleh Pak Bram, yang selanjutnya kupanggil Papi atau Pap aja.
Pesta pernikahan kami luar biasa mewahnya (menurut levelku). Gedung yang kami pakai untuk resepsi besar sekali. Namun tamu yang datang banyak sekali, memenuhi gedung itu. Teman-teman bisnis suamiku diundang semua. Begitu pula karyawan dan karyawati perusahaan hadir semua.
Dari pihakku, saudara-saudara dari pihak Mama dan almarhum Papa diundang semua. Teman-temanku pun diundang semua, baik teman dalam pergaulan sehari-hari maupun teman -teman kuliahku.
Suamiku menawarkan untuk berbulan madu ke luar negri. Tapi aku menolaknya secara halus. “Perusahaan kan gak bisa ditinggalkan lama-lama Pap. Nanti aja kalau ada libur panjang, kita bisa tour ke luar negri,” kataku.
“Jadi bulan madunya mau ditunda aja ?” tanya suamiku.
“Iya Pap. Bulan madunya di rumah aja. Gak usah buang-buang waktu dan energi, sementara perusahaan bisa berjalan normal.”
Papi mencium bibirku, lalu berkata, “Inilah salah satu yang kusukai darimu, Sayang. Anak muda sebaya denganmu pasti tergiur mendengar tawaran bulan madu di luar negri. Tapi kamu memilih bulan madu di rumah, agar perusahaan tetap normal gerakannya.”
Aku cuma tersenyum. Padahal aku pun mengagumi banyak hal dari kepribadian suamiku. Antara lain, beliau hanya mau berhubungan sex denganku setelah aku sah menjadi istrinya.
Terlalu banyak kalau aku harus menceritakan semua yang telah terjadi pada diriku setelah resmi menjadi Nyonya Bram di usia 25 tahun ini.
Mama memang tinggal di rumah baru dalam kompleks perumahan elite itu. Tapi aku tinggal di rumah suamiku yang sangat megah laksana istana itu.
Tak usah kusebutkan satu persatu tentang keistimewaan demi keistimewaan rumah megah ini. Yang jelas aku merasa laksana seorang permaisuri yang baru dinikahi oleh seorang raja. Pelayan seolah siap di setiap sudut, untuk melayani aku atau suamiku dan anak-anaknya. Tapi di rumah megah ini tidak ada pembantu wanita. Semuanya laki-laki. Bahkan juru masak pun seorang lelaki muda yang pernah jadi chef di sebuah hotel bintang lima.
Karena itu akulah satu-satunya perempuan yang ada di dalam rumah megah ini. Papi pernah bercerita tentang alasannya tidak menerima pegawai wanita di rumah ini. Bahwa Eka, Dwi dan Tri sudah remaja semua. Jadi Papi takut menerima pegawai wanita di rumah ini. “Bukan rahasia lagi bahwa di zaman sekarang pembantu suka dijadikan sasaran pelampiasan nafsu majikan atau anak cowoknya. Bahkan banyak juga pembantu yang hamil oleh majikan atau anak majikan. Yang lebih berbahaya lagi, tak jarang juga pembantu dikendalikan oleh mafia, lalu sengaja menjebak anak majikannya sampai hamil, lalu terjadilah pemerasan,” kata suamiku.
Memang ketiga anak tiriku sedang dalam masa sangat tertarik pada lawan jenis mereka. Bahkan Eka, yang usianya enam tahun lebih muda dariku, sering berusaha mendekatiku dengan cara yang berbeda dibanding adik-adiknya. Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap sebagai seorang ibu. Dan berusaha untuk membuat jarak sedemikian rupa, agar tak sampai kebablasan.
Suamiku sendiri pernah bilang, bahwa ibu kandung ketiga anaknya sangat memanjakan mereka. Terlebih anak bungsunya yang bernama Tri itu (namanya panjang, tapi aku hanya mengingat nama kecilnya saja). Tri itu setelah kelas 3 SMP pun masih senang tidur dikeloni oleh ibunya, kata suamiku. Maklumlah anak bungsu.
Aku cuma tersenyum. Menurutku, bukan hanya Tri yang manja padaku. Eka dan Dwi juga senantiasa bersikap manja. Sehingga aku sering salah tingkah.
Maka kataku, “Bukan hanya Tri yang suka manja padaku. Eka dan Dwi juga manja. Kalau Papi sedang di luar kota, mereka berebutan ingin tidur bersamaku. Tapi suka kutolak secara halus.”
“Gak apa-apa sih. Mereka kan seperti mendapat pengganti ibu kandung. Jadi kalau aku sedang di luar kota, atur aja mereka secara bergiliran. Misalnya malam pertama Eka yang diizinkan tidur bersamamu, malam kedua Dwi, malam ketiga Tri. Adil kan ?”
“Tapi mereka sudah gede-gede Pap. Aku sering jengah sendiri jadinya. Apalagi Eka... sudah duapuluh tahun kan ?”
“Iya, Eka sudah duapuluh tahun. Dwi sembilanbelas, Tri hampir delapanbelas. Perbedaan umur mereka hanya setahun-setahun.”
“Berarti mereka sudah remaja, bukan anak kecil lagi kan ? Sedangkan mereka itu laki-laki... “
“Jelaskan saja, apa sebenarnya yang kamu takutkan, Sayang ?” tanya suamiku sambil mengelus rambutku.
Aku menunduk sambil berkata, “Papi bisa menebaknya sendiri apa yang kutakutkan.”
Lalu... diluar dugaanku Papi berkata, “Meski terjadi suatu ketelanjuran, kalau anakku sendiri yang melakukannya, aku rela. Yang penting jangan sampai hamil aja.”
Aku kaget mendengar ucapan suamiku itu. “Jadi... Papi... takkan marah kalau salah seorang di antara mereka melakukan sesuatu padaku ?”
“Iya,” Papi mengangguk, “Aku berpandangan moderat dalam soal yang satu itu. Yang penting kamu tidak disakiti.”
Dengan tenang suamiku mengutarakan lebih jauh tentang alasan kenapa ia mengijinkan kalau anak-anaknya melakukan “sesuatu” padaku. Bahwa di zaman sekarang banyak sekali bahayanya kalau anak muda melakukan hubungan sex secara sembarangan di luar. Antara lain ancaman penularan HIV-AIDS. Karena itu, suamiku mengijinkan kalau anak-anaknya menggauliku. Bahkan hal itu jauh lebih aman bagi anak-anaknya yang semuanya sudah remaja itu.
“Tapi seandainya nanti terjadi kontak seksual, suruh mereka merahasiakannya padaku. Jangan sampai mereka tau bahwa aku sudah mengijinkan, agar mereka tidak sewenang-wenang padamu nanti,” kata suamiku selanjutnya.
Ketika aku masih terdiam dalam perasaan bingung, suamiku berkata lagi, “Jadi, kalau aku sedang di luar kota, kamu takkan kesepian, Sayang.”
Aku cuma menunduk. Padahal memang sudah terjadi sesuatu di antara aku dengan Eka. Awalnya ketika aku berenang di kolam renang yang berada di bagian tengah rumah megah ini, Eka baru pulang kuliah dan ikutan berenang dengan hanya mengenakan celana dalam. Bukan celana renang. “Aku ngiler, pengen ikutan berenang sama Mami,” katanya.
Aku cuma menyambutnya dengan senyum. Lalu berenang lagi, sampai merasa letih. Kemudian merebahkan diri di kursi malas di samping kolam renang.
Eka pun naik ke pinggiran kolam renang. Lalu duduk di kursi malas samping kursi malas yang kupakai rebahan. Tidak rebahan seperti aku. Malah tersenyum-senyum memandangiku yang masih mengenakan bikini.
“Kenapa tersenyum-senyum gitu ?” tanyaku dengan nada datar.
“Lagi kagum pada Mami...” sahutnya sambil merebahkan diri juga di kursi malasnya, tapi dengan wajah mengarah padaku.
“Kagum sama apanya ?” tanyaku.
“Segalanya. Dalam pakaian renang seperti itu, tampak sekali tubuh Mami bagus, wajah Mami cantik dan... “ Eka tidak melanjutkan kata-katanya.
“Dan apa ?” desakku.
Eka turun dari kursi malasnya, “Seksi... ! Hihihiii... !”
Eka seperti malu. Kemudian bergegas meninggalkan kolam renang.
Aku terlongong. Ucapan Eka itu tidak bisa disebut sebagai ucapan anak kepada ibunya. Lalu apa yang ada di dalam otak dan hatinya ?
Entahlah.
Yang jelas, besok siangnya, ketika aku baru selesai mandi dan sedang mematut-matut diri di depan meja rias, Eka masuk ke dalam kamarku sambil mengepit map plastiknya.
“Aku mau ke kampus Mam,” ucapnya sambil menghampiriku. Seperti biasa, ketiga anak tiriku kalau mau berangkat kuliah atau sekolah suka cium tangan dan cipika-cipiki.
Itu yang Eka lakukan. Mencium punggung tanganku, lalu seperti mau cipika-cipiki. Tapi, kali ini dia mencium bibirku ! Tentu saja hal itu membuatku kaget. Tapi aku berusaha tenang. Lalu mencubit perutnya setelah ciuman itu dilepaskan, “Cium bibir sih harus sama pacar. Bukan sama Mami,” ucapku dengan sikap datar.
“Gak apa-apa kan Mam... ini sebagai tanda sayang aja sama Mami,” ucap Eka sambil melingkarkan lengannya di leherku dan... mencium bibirku lagi ... !
Setelah ciuman kedua itu terlepas, aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Lalu Eka berangkat kuliah siang. Biasanya kalau dapat kuliah siang, Eka suka pulang malam.
Setelah si sulung itu berangkat, aku naik ke lantai dua. Kamar-kamar ketiga anak tiriku ada di lantai dua. Dan siang itu aku memasuki kamar Eka. Ingin menggeledah kamar itu. Takut kalau-kalau ada sesuatu yang kutakutkan, yang biasa digunakan oleh kaum remaja. Tapi aku tidak menemukan benda terlarang di kamarnya itu. Lalu kenapa Eka bersikap seperti itu padaku ?

Semuanya itu memang tak pernah kulaporkan kepada suamiku. Karena takut Eka dimarahi oleh ayahnya.
Tapi kini... suamiku sendiri yang seolah memberi jalan. Bahkan seperti menganjurkan, agar aku meladeni anak-anaknya jika pada suatu saat terjadi “sesuatu”. Alasannya memang masuk di akal. Bahwa ketimbang anak-anaknya sembarangan mengobral sperma di tempat kotor, mendingan di rumah sendiri, yang sudah pasti “bersih dan aman”.
Apakah semua ayah seperti suamiku ? Mungkin tidak, mungkin di antara seribu ayah belum tentu ada seorang ayah yang seperti suamiku itu.
Aku yakin bahwa kalau kuladeni, Eka itu pasti akan berkepanjangan.
Lalu... entah kenapa, aku malah mulai membayangkannya. Ya, aku tak mau munafik bahwa anjuran suamiku itu membuatku berpikir jauh. Tentang sosok ketiga anak tiriku yang memang bagus-bagus bentuknya. Eka memiliki perawakan atletis, tinggi tegap, karena rajin berolah raga. Sementara wajahnya, aku tak mau menilai, karena kegantengan atau ketampanan seorang pria itu relatif. Tergantung mata siapa yang menilainya.
Kalau menilai soal ketampanan, mungkin si bungsu Tri yang paling tampan dan imut. Sementara kelebihan Dwi adalah machonya itu.

Sampai pada suatu saat, ketika aku sedang sarapan pagi bersama ketiga anak tiriku, Tri nyeletuk, “Papi ke Manado, Mam ?”
“Iya,” sahutku, “Mungkin semingguan Papi di Manado.”
“Asyik... nanti malam bisa tidur sama Mami ya,” kata Dwi dengan pandangan berharap.
“Kalian kan udah gede semua. Kenapa harus tidur sama Mami ?” tanyaku sambil menyeka mulutku dengan tissue.
Eka yang menjawab. Menerangkan bahwa semasa ibu mereka masih ada, mereka sering tidur secara bergiliran kalau ayah mereka sedang di luar kota.
“Begini aja,” kataku, “kalau kalian ramai-ramai tidur di kamar Mami, nanti malah gak bisa tidur, karena terlalu banyak... paling juga pada ngobrol dan becanda. Jadi begini aja, nanti malam Eka yang tidur di kamar Mami. Besok Dwi. Lusa Tri. Setuju ?”
“Setuju !” sahut mereka hampir serempak.
Dwi lalu cium tangan dan cipika cipiki denganku, karena mau berangkat kuliah. Tri juga mau berangkat kuliah juga, melakukan hal yang sama.
Hanya Eka yang tetap santai di depan meja makan, sambil memperhatikanku.
“Kamu kuliah siang lagi ?” tanyaku.
“Hari ini gak ada kuliah Mam. Tadinya mau latihan basket, tapi males. Hujan mulu sih.”
“Mmm... kamu senang dapat giliran tidur di kamar Mami nanti malam ?” tanyaku sambil berdiri, lalu melangkah ke pintu kamarku.
Terdengar suara Eka di belakangku, “Hehehee... senang sekali Mam.”
“Sekarang anterin Mami ka kantor, bisa ?” tanyaku sambil membalikkan badan, jadi berhadapan dengan Eka.
“Bisa Mam. Memang kalau Papi lagi di luar kota, Mami harus gantiin Papi ya ?”
“Iya. Selama Papi belum pulang, Mami harus ngantor terus. Eh kamu udah mandi belum ?”
“Udah Mam. Kalau belum mandi sih gak makan sarapan dulu dong.”
“Ya udah, ganti baju dulu sana gih. Kalau ke kantor, harus formal pakaiannya.”
“Pakai dasi dan jas ?”
“Gak perlu juga. Yang penting, jangan pakai jeans dan baju kaus gitu.”
“Iya Mam,” sahut Eka sambil membalikkan badan, lalu berlari ke arah tangga menuju lantai dua, di mana kamarnya berada.
Aku pun masuk ke kamarku.
Kukenakan rok span dan jas serba putih, dengan blouse katun berwarna pink. Lalu bermake up di depan cermin rias, sampai terdengar suara Eka di ambang pintu kamarku, “Wah, Mami mengenakan stelan serba putih gitu... aku paling suka melihatnya.”
Aku cuma tersenyum. Lalu mengambil tas kerjaku dan melangkah ke arah pintu.
“Mau pakai mobilku apa mobil Mami ?” tanya Eka yang mengikuti langkahku dari belakang.
“Pakai mobil Mami aja. Mobilmu berisik knalpotnya,” sahutku.
Kami menuju garasi yang sangat luas ukurannya. Di situ tersimpan beberapa mobil kami.
Tidak aneh lagi, di zaman sekarang orang kebanyakan pun bisa memiliki banyak mobil. Maka tak aneh kalau kami juga memiliki banyak mobil mahal, yang hanya dimiliki oleh kelas menengah ke atas.
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobilku, yang dikemudikan oleh Ekaputra Pratama, anak tiriku yang sulung.
“Nanti kamu kalau mau pulang dulu, ya pulang aja. Yang penting sebelum jam tiga sore sudah di kantor lagi, buat jemput Mami,” kataku.
“Gak ah. Mau nunggu Mami aja di kantor, sampai pulang,” sahut Eka di belakang setir.
“Nanti gak kesal nungguin sampai jam tiga sore ?”
“Gaklah. Kan ada ruang istirahat Papi. Bisa rebahan di situ sambil nonton televisi.”

Setibanya di kantor, Eka benar-benar masuk ke ruang yang biasa dipakai istirahat oleh ayahnya. Sementara aku pun langsung duduk di belakang meja kerjaku.
Setelah aku menjadi Nyonya Bram, di ruang kerja ini tidak ada lagi sekretaris owner perusahaan. Karena itu setelah aku jadi istri big boss, sekaligus menjadi sekretarisnya.
Dengan sendirinya kalau agak lama tidak ke kantor, pekerjaanku jadi lumayan banyak.
Sementara Eka mendekam terus di ruang rehat, entah sedang tiduran, entah sedang nonton televisi.
Namun ketika sudah jam makan siang, ia muncul di ruang kerjaku. “Mami sibuk ya ? Ada yang bisa kubantu ?” tanyanya di belakang kursi kerjaku.
“Mmm ? Kalau mau sih pijitin bahu Mami aja. Nunduk terus, jadi pegel nih bahu Mami,” sahutku.
“Iya Mam,” sahut Eka yang masih berdiri di belakang kursi kerjaku.
Lalu terasa tangan Eka memijati sepasang bahuku. “Jangan terlalu keras mijatnya ya,” pintaku yang diiyakan olehnya.
Enak juga rasanya bahuku dipijati oleh anak tiriku. Tapi pada suatu saat, aku terhenyak, karena tiba-tiba saja kedua tangan Eka menyelundup ke balik behaku dan langsung mendekam di kedua payudaraku.
“Eka... !” hanya itu yang terlontar dari mulutku. Tapi entah kenapa, aku membiarkan saja ia menjamah dan memainkan kedua puting payudaraku.
Lalu terdengar suara Eka di belakangku, “Maaf... jangan marah ya Mam... aku sudah tidak kuat lagi menahan perasaan ini... “
Kupegang kedua tangan Eka yang sedang memainkan puting payudaraku. Tapi aku tidak berusaha mengeluarkannya dari balik behaku. Sementara aku sendiri menyadari bahwa tubuhku mulai menghangat, karena tangan Eka itu... terkadang meremas payudaraku dengan lembut, terkadang juga mengelus-elus putingnya. Jelas ini membuatku berdesir-desir tak menentu. Terlebih setelah mengingat ucapan suamiku, yang memang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sehingga meski terjadi “sesuatu” dengan Eka ini, aku takkan disalahkan.
Aku masih ingat benar ucapan suamiku itu, “..... Yang penting kamu tidak disakiti. Dan kalau bisa sih jangan sampai hamil.”
Soal kehamilan memang tidak kutakutkan. Karena sebelum menikah dengan Papi pun aku sudah dijaga oleh suntikan birth control. Masih berlaku sampai empat bulan ke depan.
Dan kini kedua payudaraku sudah berada di dalam genggamannya. Bukankah ini merupakan awal dari kebangkitan birahiku ?
“Memangnya perasaanmu pada Mami gimana, Ka ?” tanyaku sambil tetap membiarkan tangannya berada di balik behaku.
Sebagai jawaban, Eka mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu terdengar bisikannya, “Sangat tergiur, Mam.”
Aku terdiam sesaat. Lalu mengeluarkan tangan Eka dari balik beha dan blouseku. Kemudian berdiri sambil memegang kedua pergelangan tangan Eka. Dan menatapnya dengan senyum di bibir.
“Mami kan kepunyaan Papi. Memangnya kamu gak takut dimarahi sama Papi ?” tanyaku sambil meremas kedua tangannya.
“Mudah-mudahan Papi jangan sampai tau,” sahutnya sambil tersenyum.
Dan... tiba-tiba saja bibir yang sedang tersenyum itu menyeruduk bibirku.
Aku terhenyak. Namun akhirnya aku menikmati ciuman hangat Eka. Bahkan berlanjut ke saling lumat yang sangat membangkitkan libidoku.
Namun hanya sebentar kami saling lumat, karena aku melepaskannya, lalu melangkah ke ruang istirahat. Dan Eka mengikuti langkahku.
Aku duduk di sofa tak begitu jauh dari bed yang biasa digunakan oleh suamiku untuk rebahan istirahat. Eka pun duduk di sampingku, dengan sorot mata berharap. Pasti ia sudah berpikir jauh mengenai diriku.

Jujur, aku pun membutuhkannya saat ini. Tapi aku bingung, karena takut mencederai nilai sakral pernikahanku dengan ayah Eka.
Namun genggaman Eka di pergelangan tanganku, menggoyahkan pertahananku. Terlebih ketika mendekatkan wajahnya ke wajahku, dengan sorot seperti minta dikasihani. Sehingga dengan mudah aku pun memagut bibirnya, lalu melanjutkan sesuatu yang belum selesai di ruang kerjaku tadi. Saling lumat sambil merengkuh badannya ke dalam pelukan hangat..
Batinku berdesir dan memanas. Dan aku tak mau munafik. Bahwa aku ingin melangkah lebih jauh. Bukan sekadar saling lumat bibir.
Maka setelah belasan menit saling lumat bibir, aku menunjuk ke arah pintu yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang istirahat ini. “Kunci dulu pintunya, biar tenang,” kataku.
“Iya Mam,” sahut Eka sambil berdiri. Lalu melangkah ke arah pintu yang sudah tertutup tapi belum dikuncikan itu.
Pada saat itulah aku pun berdiri sambil melepaskan kancing jas putihku sambil melangkah ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi aku merenung sejenak. Lalu kutanggalkan jas putih dan blouse pinkku. Disusul dengan pelepasan behaku. Kemudian blouse katun kupakai lagi, sementara beha dan jas putih kugantungkan di kapstok.
Merenung lagi sejenak. Lalu menanggalkan celana dalamku dan duduk di kloset sambil menaikkan spanrokku tinggi-tinggi. Setelah kencing, kucuci kemaluanku sebersih mungkin. Lalu berdiri dan menggantungkan celana dalamku di kapstok.
Di depan cermin aku berkaca sesaat. Aku masih mengenakan blouse katun tipis berwarna pink ini. Masih mengenakan spanrok putih pula. Tapi kulihat pentil payudaraku membayang di balik blouseku. Dan di balik spanrokku, tiada celana dalam lagi… !
Apakah aku sudah merencanakan sedemikian jauhnya dengan Eka yang masih sangat belia itu ?
Entahlah. Yang jelas, hasratku memang sudah menagih-nagih. Dan membayangkan betapa indahnya kalau aku mendapatkan segalanya dengan anak tiriku siang ini juga.
Ketika aku keluar dari dalam kamar mandi, kulihat Eka sudah duduk lagi di sofa yang tadi kami duduki.
Eka terlongong melihatku sudah melepaskan jas putihku. Pasti ia sadar bahwa di balik blouse katun yang sangat tipis ini tiada bra lagi. Karena tadi aku menyaksikan sendiri lewat cermin kamar mandi, bahwa bentuk payudaraku membayang jelas di balik blouseku.
Eka makin terlongong setelah aku berdiri di depannya sambil tersenyum.
“Kenapa bengong ?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Hehee… Mami gak pake beha…” sahut Eka sambil mendekatkan tangannya ke arah dadaku.
“Iya,” sahutku, “Emang kenapa ? Mau nen seperti bayi ?”
“Hehee… mau Mam… mau banget.. “
Tanpa basa basi lagi kulepaskan blouseku. Lalu, “Nenenlah sepuasmu,” kataku.
Eka tercengang. Dan langsung menyerudukkan mulutnya ke payudaraku sambil memegang payudara yang akan diemutnya.
Eka tak cuma mengulum puting payudara kiriku. Ujung lidahnya pun beraksi, menjilati bagian terpeka di payudaraku ini. Sementara tangannya pun meremas payudara kananku.
Dan…aaaah… semua ini membangkitkan hasratku. Makin lama makin menjadi-jadi. Maka ketika Eka semakin lahap mengisap dan menjilati puting payudaraku, tanganku pun mulai menarik ritsleting celana jeans Eka. Lalu menyelusup ke dalam… ke balik celana dalamnya… dan… kupegang penis Eka yang masih bersembunyi di balik celana dalamnya itu… wow… ternyata penis Eka sudah tegang… tegang sekali… !
Ini ereksi yang sempurna, tidak seperti ereksi suamiku yang selalu harus “kubantu” agar mampu menggauliku. Itu pun bisa mogok-mogok di “tengah jalan”.
“Punyamu sudah keras gini, Eka,” bisikku sambil meremas penis Eka yang belum kusembulkan itu.
“Iii…iya Mam… “ sahut Eka tergagap.
Aku tahu apa artinya semua ini. Bahwa aku dan Eka sudah saling membutuhkan.
Apa lagi yang harus kutunggu ?
Maka dengan binal kutarik tangan anak tiriku dan kuselusupkan ke balik spanrokku. Lalu kutempelkan di permukaan kemaluanku yang tak bercelana dalam ini.
Eka terkejut setelah menyadari bahwa tangannya sudah mendarat di permukaan kemaluanku ini. “Ma…Mami gak pake ce…celana dalam ?” cetusnya tergagap lagi.
“Iya… kan mau dikasihin sama kamu,” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Eka, lalu kupijat hidung Eka yang mancung itu dengan senyum di bibir.
“Oooh… Mami baik sekali. Aku berjanji akan menyayangi Mami sampai kapan pun.”
Sebagai jawaban, aku merebahkan diri di sofa, sekaligus menyingkapkan spanrokku tinggi-tinggi. Maka Eka bisa melihat bagian tubuhku dari perut sampai ke telapak kakiku.
“Lakukanlah segala khayalanmu tentang Mami selama ini,” kataku sambil tersenyum. Disahut dengan anggukan kepala Eka.

Tadinya kuduga Eka akan kebingungan dan membutuhkan bimbinganku.
Tapi ternyata Eka sudah sangat tahu apa yang harus dilakukannya, jauh melebihi pria yang jam terbangnya masih biasa-biasa saja.
Ia mengawali dengan memegang pergelangan kaki kananku. Lalu dengan telaten ia menjilati telapak kakiku, membuatku merinding dalam geli yang fantastis. Terkadang gigitan-gigitan kecilnya mendarat di jari-jari kakiku, dilanjutkan dengan jilatan di betisku, lalu merayap ke lututku…ke pahaku… oooh… ini membuatku terpejam dalam kejutan yang indah sekali. Sepasang pahaku pun sengaja kurentangkan selebar mungkin, karena bibir dan lidah Eka merayap terus ke atas… sampai ke pangkal pahaku.
Membuatku semakin degdegan.
Terlebih setelah mulut trampil Eka mulai beraksi di bibir vaginaku. Membuatku terkejang-kejang dalam arus nikmat yang tiada bandingannya. Tapi hanya beberapa detik kubiarkan Eka menjilati kewanitaanku. Lalu kutarik kepalanya sampai berhadapan dengan wajahku. “Eka… di sini kan setiap ruangan ada cctv-nya…!” ucapku cemas.
“Kamera cctv-nya udah dimatiin Mam, ” sahut Eka sambil tersenyum.
“Kamu matiin ?”
“Nggak Mam. Kamera di ruangan ini udah lama dimatiin oleh Papi. Mungkin karena Papi gak mau gerak-geriknya terpantau terus dari ruang security.”
“O, gitu. Memang ruang ini kan private room.”
Eka mengangguk. Menatapku dengan senyum. Membuatku terlongong sesaat. Dan akhirnya kurengkuh lehernya. Kubisiki telinganya, “Kamu udah gak tahan lagi ya. Mmm… Masukin aja punyamu. Tapi jangan telanjang. Nanti aja di rumah kalau mau telanjang sih.”
“Iya Mam…” sahut Eka sambil menurunkan celana jeans dan celana dalamnya sampai di lututnya.
Lalu terasa sesuatu yang hangat diletakkan di ambang mulut vaginaku.
Kurenggangkan kedua belah pahaku, sambil memegang penis Eka dan membimbingnya agar berada pada posisi yang tepat. Lalu… aaah… batang kemaluan Eka mulai membenam ke dalam liang kewanitaanku. Blesssssssssssssssss……
Pada saat itulah aku spontan merengkuh lehernya sambil berbisik, “Sudah masuk, Sayang. Ayo lanjutkan… Mami juga udah horny berat nih… “
Dengan nafas berdengus-dengus Eka mulai mengayun penisnya di dalam jepitan liang mekiku.
Aaahhh… entah kenapa… rasanya ayunan penis anak tiriku ini jauh lebih enak daripada persetubuhan-persetubuhanku dengan ayahnya. Apakah karena ereksi penis Eka sempurna, atau karena Eka tergolong brondong bagiku… entahlah.
Yang jelas, baru beberapa menit Eka mengentotku, tak tertahankan lagi…. aku menggeliat nikmat… meremas-remas rambut Eka sambil menahan nafas… aaah… ternyata aku sudah orgasme… !
Tapi aku tak mau ketahuan bahwa aku sudah mengalami orgasme. Karena itu kudorong dada Eka sambil berkata, “Pindah aja ke bed biar leluasa… “
“Iiii… iya Mam, “ Eka mengangguk sambil mencabut penisnya.
Aku pun bangkit sambil menanggalkan spanrokku dan berkata, “Udah kepalangan basah, telanjang aja sekalian. Kamu juga harus telanjang Ka.”
“Iya Mam,” sahut Eka, sementara aku mengeringkan liang kemaluanku dengan kertas tissue basah. Aku melakukan hal ini, karena aku ingin agar liang kemaluanku tidak terlalu basah sehabis orgasme barusan.
Setelah telanjang, Eka menghampiriku di bed. Kudorong dadanya sedemikian rupa, sehingga ia jadi terlentang di atas kasur. Aku pun meletakkan sepasang lututku di kanan-kiri perut Eka, sambil memegang batang kemaluannya yang masih sangat tegang. Eka diam saja dan seperti mengerti apa yang akan kulakukan.
Kuletakkan “topi baja” Eka tepat di ambang mulut vaginaku. Lalu kuturunkan badanku sedikit demi sedikit, sehingga penis Eka pun amblas ke dalam liang kemaluanku.
Tadinya aku ingin “aktif” sambil berlutut. Tapi aku ingin payudaraku bertempelan dengan dada Eka, ingin pula beraksi sambil melumat bibirnya. Maka akhirnya aku menjatuhkan diri, menelungkup di atas dada anak tiriku. Kulanjutkan dengan “kegiatan” mengayun pinggulku… membuat penis Eka dibesot-besot oleh liang kewanitaanku.
Dengus - dengus nafas Eka pun mulai bersahutan dengan rintihan dan rengekan histerisku. Aku memang sudah lepas kontrol, sehingga terkadang aku meraung-raung keras, tanpa takut kedengaran ke luar, karena aku tahu bahwa ruang istirahat ini kedap suara.
Ruangan berAC tak mampu mendinginkan kehangatan kami. Dada Eka sudah keringatan lagi, bercampur baur dengan keringatku. Dan ketika aku menggulingkan diri, jadi menelentang di samping Eka, kontol anak tiriku pun terlepas. Tapi tak sulit baginya untuk membenamkannya kembali ke dalam memekku. Yang kusambut dengan dekapan di pinggangnya.
Eka menatapku sesaat. Lalu tersenyum dan mulai mengentotku lagi dengan gagahnya.
Aku benar-benar menikmati entotan Eka ini. Karena kontol Eka ini bukan cuma gagah dalam ukurannya saja, tapi juga perkasa dalam durasinya. Sehingga timbul tanda tanya di dalam benakku, “Kenapa Eka bisa tahan lama begini ? Bukankah biasanya kalau cowok yang belum berpengalaman itu tak bisa bertahan lama waktu bersetubuh untuk pertama kalinya ?”
Namun lalu semuanya itu kulupakan begitu saja, karena aku ingin menikmati entotan Eka kembali secara perfect. Kugoyang-goyang pantatku dengan tujuan agar kelentitku sering bergesekan dengan kontol anak tiriku. Karena itu goyanganku lebih banyak kugerakkan menghempas-hempas, sehingga ketika memekku menukik, itilku terfasa bergesekan dengan kontol Eka. Terus-terusan aku melakukan gerakan ini. Dan… oooo… betapa nikmatnya pergesekan itilku dengan kontol Eka ini. Sementara Eka pun tampak keenakan dengan goyangan pantatku ini.
“Duuuh…. Mamiii…. goyangan Mami ini enak sekali Maaaam…. iyaaaaa…. goyang terus Maaam…. “ celoteh Eka waktu sedang gencar-gencarnya dia mengentotku.
Aku pun menjawabnya dengan bisikan, “Kontolmu juga enak banget, Sayang… Ayo entot terus yang kencang… biar mami bisa orga lagi… “
Eka malah menghentikan entotannya sejenak, lalu bertanya, “Emangnya Mami udah orgasme tadi ?”
Kucubit pipi EKa sambil menyahut jujur, “Udah waktu di sofa tadi, Sayang… emwuaaaaaah…. “ kucium bibir Eka dengan mesra. “Ayo entot lagi… jangan direndem gini… nanti keburu jadi ager… hihihihiii… “
Eka ikutan ketawa. Lalu melanjutkan entotannya dengan gagahnya.
Aku pun bergoyang pinggul lagi. Dengan gerakan terarah seperti tadi. Meliuk-liuk dan menghempas-hempas. Kelentitku pun bergesekan lagi dengan kontol Eka terus menerus. Tentu saja hal ini menimbulkan kenikmatan yang luar biasa bagiku.
Begitu lama Eka menyetubuhiku. Sehingga keringatnya mulai berjatuhan ke atas dada dan pipiku. Namun aku tak mempedulikannya.
Sementara aku sendiri mulai keringatan, terutama di leher dan di ketiakku. Tapi alangkah pandainya Eka menciptakan kenikmatan untukku. Ia justru asyik menjilati keringat di leherku dan juga di ketiakku. O… semua ini membuatku tambah sayang saja padanya.
Sehingga pada suatu saat aku membisikinya, “Biar nikmat, kita lepasin bareng-bareng yok… “
“Iya Mam, “ sahut Eka terengah, “Memangnya Mami udah mau lepas lagi ?”
“Iya Sayang… “
“Oke Mam… ini aku juga udah mau ejakulasi… “
Lalu Eka mempercepat entotannya, sementara aku pun semakin binal menggoyang pinggulku, sehingga gesekan antara itilku dengan kontol anak tiriku semakin kerap dan kencang juga.
Akhirnya kami sama-sama berkelojotan, sama-sama menahan nafas. Dan semuanya berujung di satu titik yang indah… indah sekali… bahwa ketika aku mencapai orgasme, kontol anak tiriku pun menyemprot-nyemprotkan cairan kental hangatnya di dalam liang senggamaku….. cret….crot…cretttt…. crooooootttt…. crottttttttttt…. crooooooottttttt…. !
Duh… sungguh indah semua yang telah kualami ini.
Sehingga Eka layak mendapatkan ciumanku yang bertubi-tubi, sebagai tanda terimakasihku atas kejantanannya yang membuatku terkapar di pantai kepuasan.

Dalam perjalanan pulang, Eka bertanya di belakang setir mobil yang sedang dikemudikannya, “Nanti malam masih ada jatah untukku kan Mam ?”
Aku mengangguk dan menjawabnya dengan lembut, “Iya sayang. Mami akan kasih sampai kamu benar-benar puas. Tapi mami mau bertanya tentang satu hal… “
“Masalah apa Mam ?” tanyanya.
“Eka… sepertinya kamu sudah berpengalaman menggauli perempuan. Jujur jawabnya ya. “
“Iya,” Eka mengangguk, “tapi hanya dengan satu perempuan aja. Ya dengan Mbak Wulan itu.”
“Wulan ?! Siapa dia ? ”
“Seorang janda yang disediakan oleh Papi untuk meladeni kami bertiga.”
“Janda untuk meladeni kamu dengan Dwi dan Tri ?”
“Iya. Tadinya Mbak Wulan melamar untuk kerja di perusahaan. Tapi saat itu gak ada lowongan. Lalu Papi mengarahkan untuk meladeni kami bertiga.”
“Ohya ? Terus Wulan itu tinggal di rumah kita ?”
“Iya Mam. Pandangan Papi cukup maju sih. Papi takut kami bertiga tergoda oleh perempuan nakal yang bisa menularkan penyakit kotor, penyakit HIV/AIDS dan sebagainya. Karena itu Mbak Wulan ditugaskan untuk meladeni kebutuhan seksual kami. “
“Jadi… kalian bergiliran untuk menggauli perempuan bernama Wulan itu ?”
“Iya Mam. “
“Papi juga suka minta dilayani sama Wulan ?”
“Gak Mam. Aku jamin itu sih. Mbak Wulan kan disediakan untuk anak-anak Papi doang.”
“Terus ke mana sekarang Wulan itu ?”
“Sudah menikah lagi dengan lelaki yang cinta pertamanya dahulu.”
“Ogitu… terus pada waktu Wulan masih tinggal di rumah, bagaimana cara dia meladeni kalian ? Dikeroyok rame-rame ? “
“Ada jatahnya masing-masing. Misalnya Senin malam bersamaku, malam Selasa bersama Dwi dan malam Rabu bersama Tri. Tapi kalau sedang mens, istirahat dulu. “
“Waktu giliran kamu, misalnya, gimana caranya ? Apa kamu yang masuk ke kamar dia ?”
“Mbak Wulan yang masuk ke kamarku. Kalau jatah Dwi, ya begitu juga, Mbak Wulan yang masuk ke dalam kamar Dwi. “
Aku terdiam. Dengan pikiran bermacam-macam. Apakah Papi menempatkanku sebagai pengganti Wulan ? Bukankah sebelum terbang ke Manado, Papi menganjurkanku agar meladeni saja jika anak-anaknya ingin menggauliku ? apakah aku ini disamakan dengan perempuan bernama Wulan itu ?”
Tapi… aku tak mau menuduh ke arah itu. Siapa tahu ada maksud lain di hati suamiku. Iya…aku tetap yakin, suamiku adalah seorang lelaki bijak. Siapa tahu ia sengaja memberiku kepuasan dengan cara seperti itu. Karena ketiga anaknya pastilah bisa memberikan kepuasan padaku. Kepuasan yang kurang kudapatkan dari Papi (maklum usianya sudah sepuh).
Aku harus tetap positive thinking. Rasanya tak mungkin Papi menyamakanku dengan perempuan bernama Wulan itu. Karena aku merasakannya sendiri betapa Papi sangat memanjakanku dalam keseharianku. Kalau aku sekadar dianggap wanita bayaran, tak mungkin Papi memanjakanku seperti itu. Bahkan sebelum menikahiku pun Papi sudah menghadiahkan rumah megah untuk tempat tinggal Mama, yang sertifikatnya atas namaku.
Bahkan buku rekening perusahaan pun sudah diserahkan padaku. Buku cek yang sudah ditandatangani juga diberikan padaku. Maka kalau aku mau, apa pun bisa kubeli. Tinggal menuliskan nominalnya saja di cek-cek itu, lalu dicairkan ke bank. Tapi aku belum pernah memanfaatkan buku cek itu. Karena aku merasa semua kebutuhanku sudah terpenuhi. Tak perlu mengganggu dana perusahaan.
Menang bnyak ni puput uuugghhh
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd