Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Trix!

Bimabet
Naiz... Gak rugi ngikutin cerita ini bertaun2 :hore:
 
Wuaannnjjiirrrrr selesai juga w baca dari part pertama sampe abis,,,
Tapi terbayar dengan ending yg EPIC,,,
Twist dimana2 ( sampe bingung harus inget2 lagi part sebelumnya 😭😭😭))
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Epilog
It’s Terrible Day to Rain
by: ______???????_________




2019, empat tahun kemudian....


Tuhan menciptakan Ruang, dan juga Waktu. Tapi berbeda dengan Ruang di mana engkau bisa bergerak bebas dalam bidang tiga dimensi, Waktu membuatmu hanya mampu bergerak menuju satu arah: masa depan, dengan nol persen kemungkinnan untuk memperbaiki segala hal yang terjadi di masa lalu.

Rasanya terlalu mengerikan, ia harus menjejakkan kaki lagi di tempat ini. Banyak perubahan fasad bangunan yang bertumbuhan yang membuatnya tampak seperti kota yang benar-benar berbeda, tapi setiap sudut kota itu, setiap sudut lorong-lorong itu, terlalu banyak kenangan yang tidak bisa disembunyikan. Kenangan yang memaksamu mengingatnya, betapapun engkau tidak ingin mengingatnya.

Hujan turun dalan tetesan-tetesan lembut ketika ia menjejakkan kaki di tempat tujuan. Langit muram. Matari disembunyikan dalam kroma warna kelabu. Kalau boleh, rasanya ia ingin segera pergi dari tempat ini, tapi hari ini ia sudah terlanjur memiliki janji untuk bertemu seorang kawan lama.

Ia cuma satu hari di kota ini, transit, bahkan sebenarnya ia hanya mampir di kota tetangga, tapi ketika mendengar orang itu juga berada di kota yang sama, tak ada pilihan lain selain memenuhi undangan, lagi pula hampir empat tahun keduanya tidak bertemu.

Ia pun tiba di tempat perjanjian. Di sebuah kedai kopi waralaba di pertokoan besar. Ada kanopi warna hijau yang menaungi selasar panjang luar ruang. Tapi kali ini mereka memilih bertemu di bagian dalam ruang, di meja kecil di dekat kasir. Aroma kopi tercium menyeruak, bersama harum kayu maple dari perabotan yang baru dipelitur.

Seorang wanita bertubuh mungil duduk di situ, menyesap segelas Machiato hangat sambil memain-mainkan rambutnya yang ikal. Matanya membola ke kiri dan kekanan, sambil mencari-cari orang yang ditunggunya dari tadi itu. Sebenarnya ia sempat melihat sepintas, namun matanya segera bergerak ke arah lain. Tak mengenali. Tentu saja ia tak akan mengenali, karena dengan rambut panjang sebahu, tubuh jenjang yang dibalut rok rajut selutut dan cardigans warna salem, sungguh tak akan ada yang menduga kalau wanita ini adalah orang yang sama yang pernah dikenalnya empat tahun yang lalu.

Ia tersenyum kikuk, agak malu juga rasanya muncul dengan riasan wajah warna cerah dan gincu nude seperti ini. Kawannya memandang sejenak, berusaha mengenali wajah itu dari memori lama yang masih tersimpan dalam lorong-lorong ingatannya. Dan ketika ia yakin itu adalah orang yang sama, tawanya segera meledak.

"WAKAKAKAKAKAKAKA!!!!!! BANGKEEEEEH!!!! ELU BENERAN JADI CEWEK SEKARANG, WAKAKAKA!"

"Diem, ah, malu," Joanna, atau Jo agak tersipu pipinya -kita panggil dia seperti itu, karena aku belum terbiasa mengetik namanya dengan huruf berbeda.-

"Ebuset, seriusan gua. Empat tahun nggak ketemu, elu udah beda banget," Flo menggut-manggut sambil mengagumi. "Gini, dong. Kalau gini kan gue nggak kena zonk. E tapi gue tetep normal, lho Jo. Elu? Eh, gue nanya gini bukan mau ngajakin, hehehehe..."

"People changes," Jo tersenyum kecil dan membuka buku menu, dan baru ia membuka satu halaman, matanya segera tertuju kepada seorang anak yang menghambur memeluk kawan lamanya. Seorang pengasuh berseragam menyusul tergopoh, tak sanggup menyusul hiperaktivitas bocah berusia 3 tahun itu.

"Lhooo... katanya tadi nggak mau nungguin mama," Flo berkata menyambut.

"Nonono..." si kecil memanjat naik ke pangkuan ibunya. "Kangen."

"Anakmu, Flo?"

Flo tersenyum dan mengangguk, memeluk erat-erat anak lelaki itu.

Jo tertegun lama. Rambut ikal, dagu tegas, mata hitam besar. Ia segera bisa mengenali wajah itu.

".... Mirip, ya..." kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Hujan turun bersamaan dengan pandangan matanya yang mengabur dan cepat-cepat dipalingkan ke arah lain. Jo memilih memesan secangkir teh hijau hangat. Tapi suara hujan itu terdengar semakin keras dan mengganggu.

Deras.

Sangat deras.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Hujan sejatinya hanyalah siklus kecil sebuah molekul air. Jatuh, menggenang, menguap, terbang, membeku, dan terjebak dalam Samsara yang berulang tanpa memiliki kesempatan protes kepada semesta. Seperti siklus kehidupan-kematian-kelahiran yang terus berjalan meskipun kau berusaha untuk menyangkal. Seperti waktu.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagi manusia-manusia itu untuk berevolusi. Jo, Flo, Trix, mengarungi waktu dengan caranya masing-masing. Flo bekerja di biro Iklan ternama di Singapura. Membesarkan anaknya dari Iko seorang diri.

Semua berevolusi dengan caranya masing-masing.

Kecuali Nanas.

Yah nggak usah ditanya deh, dia nasibnya seperti apa. Nyaris mati gara-gara pergaulan online, Nanas kayanya masih belum ada kapok-kapoknya tuh. Nanas emang pensiun nulis di 1000Kertas. Sekarang dia nulis di Wattpad.

"Elu masih nulis, Jo?"

"Masih, lah."

"Bokep?"

"Kagak, hahaha."

Jo kembali menulis novel. Tentu saja Flo tahu itu. Ia adalah salah satu pembaca setianya.

Jo meninggalkan Jogja dan kenangan pahit yang ada di dalamnya dan memulai lembar baru. Flo tak tahu jelas di mana ia tinggal, tapi ia adalah orang pertama yang bersorak girang ketika melihat sampul buku Jo terpajang di toko buku.

"Ngomong-ngomong soal nulis. Elu pernah ketemu Trix, Jo?"

"Setelah di acara nikahannya? Kayanya enggak, deh..."

Trix. Ah. Manusia itu. Sepeninggal ayahnya, tentu sang kakak yang memegang kendali perusahan-perusahaannya.

Tapi terlalu naif rasanya kalau mengatakan Arga tidak terlibat. Hanya orang itu satu-satunya yang tahu lokasi Jo disekap. Dan dari cara bergerak dan membunuh seefisien itu, rasanya tak ada satupun yang bisa membantai Rejos dan teman-temannya selain anggota pasukan khusus. Mayat Mamet dan Rejos sengaja ditinggal di tempat itu. Sebagai barang bukti ketika polisi menyerbu masuk, dan membuka bobrok dari sang ayah.

Apakah Arga bekerja sama dengan A-J?

Tapi apa motifnya?

Merebut kekuasaan?

Arga adalah anak pertama, tak perlu melakukan hal-hal merepotkan seperti itu jika hanya untuk mendapat warisan.

A-J. Bajingan itu. Masih belum jelas motif apa yang melatarbelakangi ia melakukan semua kegilaan itu. God Syndrome bisa jadi, sama seperti orang sinting yang ingin melihat dunia terbakar, mungkin orang itu hanya ingin membuat manusia-manusia anonim yang haus perhatian dunia maya itu saling cakar. Meski akhir-akhir ini Flo berpikiran bahwa motif A-J sebenarnya lebih sederhana daripada yang kita duga.

Semenjak kematian sang godfather, satu persatu orang-orang yang menginkan 1000 Kertas sebagai komunitas bawah tanah disingkirkan satu persatu. Mamet, Rejos, juga orang-orang yang ditangkap karena kasus mucikari. 1000 Kertas mengikat kerjasama dengan Google, go legal, bahkan melantai di bursa saham. Nilai perusahaan yang gila-gilaan. Traffic iklan masif. Tris, istrinya yang duduk dibangku CEO. A-J bahkan tidak perlu tampil ke permukaan, karena yang dilakukannya hanya mengatur semua dari belakang layar.

"Gue baru tahu nama aslinya A-J di undangannya Trix."

"Sama."

"Jo. Elu tahu A-J itu lulusan Akmil? Gue baru tahu waktu Googling. A-J Pernah bertugas di bawah perintah Arga dalam operasi di Poso sebelum dipecat tidak hormat, entah karena apa."

"Gue nggak tahu, dan gue nggak mau tahu. Ngapain sih elu masih kepo?"

"Kadang gue nggak ikhlas aja waktu sadar kalau pembunuh Iko dan Meiji masih bebas berkeliaran."

Jo menarik napas berat. "Nggak ada yang berakhir baik dengan balas dendam, Flo," kata Jo pelan. "Seharusnya elu yang paling tahu itu."

"Dan memasrahkan keadilan kepada Tuhan?"

"Kita nggak punya bukti apa-apa tentang A-J. Elu tahu itu."

"Tetep aja, Jo. Gue nggak terima."

"Tapi kita berhasil menyintas. Flo."

Flo terdiam.

"Dan elu bisa hidup bahagia, tanpa harus membuktikan apa-apa."

Flo melirik anaknya yang bermain di kejauhan.

"Cuma dia sumber kebahagiaan gue, Jo..." kata Flo pelan.

Jo mengusap punggung tangan Flo yang bergetar.

Flo membuang pandangan, menyeka matanya yang berkaca.

Di luar jendela hujan mulai turun dan membentuk rinai kelabu yang menyelubungi kota itu. Beberapa orang berlari kecil sambil menutupi kepala dengan telapak tangan. Beberapa berlindung di bawah perdu yang merindangi trotoar itu. Sama seperti manusia yang hanya mampu tunduk pada tanda-tanda alam.

"I miss him," desis Jo dengan pandangan berkaca.

Wajah Flo yang murung tiba-tiba berubah ceria seperti sediakala begitu menemukan bahan pergunjingan.

"Gua cewek, sih.... jadi kelihatan banget kalau Iko itu protektif banget ke elu. Awalnya sih gue jijik banget, secara gue kira kalian sama-sama cowok. Tapi setelah gua tahu elu cewek, udah obvious banget! Ahahaha!"

"Eh, lu jangan nuduh gue pelakor, dong," Jo mencoba mengelak, tapi rona-rona merah muda di pipinya terlalu jelas untuk bisa disembunyikan.

"Eng... gue nggak tahu juga, sih... habisnya hubungan kalian itu complicated gitu, sih...."

Jo menunduk dengan wajah bersemu kemerahan. Ya Salam. Manis bangeeet. Nggak nolak deh, kalau gue diajakin lesbian lagi, batin Flo yang belum sembuh otak mesumnya.

"Tapi gue yakin, sih. Kalau hubungan kalian sebenarnya lebih dari temen."

"Benernya Iko dulu pernah nembak gue pas kelas 3," Jo berkata nyaris tak bersuara.

"Naah... kan... baru ngaku lu!"

"Tapi gue tolak."

"Ya iyalah secara elu lesbi."

Jo semakin tersipu-sipu.

"Etapi kalau seandainya elu straight, nih. Elu terima nggak Iko jadi cowok lu?"

"Eh, elu kok kepo gitu sih, Flo?"

"Jawab dulu, elu terima nggak?"

Wajah Jo semakin tertunduk.

Pertanyaan itu.

Pertanyaan yang menghantuinya sampai detik ini.

Yang membuatnya merasa bersalah selama ini.

"Elu juga sayang sama Iko, Jo?"

Jo terdiam.

Lama.

Sebelum akhirnya terlihat anggukan pelan.

Ada bunyi hujan yang turun semakin deras.

Ada sesuatu yang selesai.


T R I X
T H E E N D

2015-2019


PLAYLIST

HUJAN BULAN JUNI | Sapardi Joko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu



Udah ngga penasaran lagi nunggu episode di wattpad kelar 🤣🤣
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd