Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 12
TERPESONA KEPADAMU




Ada rasa di hatiku.
Saat ku pertama bersamamu.
Senyum manis di bibirmu.
Membuat diriku terpesona kepadamu.

Ingin kuungkapkan semuanya padamu.
Akan kucurahkan segalanya untukmu.

Biarkanlah kugenggam kasihmu
Lupakanlah segala prasangka
Hanya engkau yang ada di hatiku slalu.
Hanya kau seorang.


“Hanya Dirimu”, Bayou





Setiap orang tua yang baru mempunyai anak pasti pernah merasakan perasaan lelah yang tak bisa dipermasalahkan. Saat mereka tengah tertidur, tiba-tiba saja justru diganggu oleh sang buah hati yang tiba-tiba terbangun, entah karena haus, kaget karena tiba-tiba terbangun, atau karena alasan lain. Ingin marah pun tidak ada gunanya, karena emosi sesaat itu pasti akan langsung hilang begitu melihat wajah sang anak yang lucu.

Hal itu jugalah yang menjadi makanan sehari-hari Maya, yang belum genap dua tahun dikaruniai seorang bocah lelaki bernama Athar. Hampir setiap pagi, sang anak selalu memberikan dorongan-dorongan lembut, tanpa peduli baru berapa jam Ibunya beristirahat. Bila sudah begitu, mau tidak mau Maya harus segera membuka mata sebelum buah hatinya merasa kesal dan menangis.

Seperti apa yang terjadi pagi ini, di saat Maya sedang enak-enak beristirahat, sang anak justru mulai menendang-nendang perutnya. Perempuan cantik tersebut akhirnya terbangun dan melirik ke arah buah hatinya. Bocah kecil itu sebenarnya masih tampak mengantuk, terlihat dari matanya yang masih sayu. Namun mungkin dia merasa sedikit haus, sehingga tidak bisa lelap tertidur.

“Duh, Kakak Athar ini... Baru juga beberapa jam yang lalu netek, masa sekarang sudah haus lagi. Kembung loh nanti perutnya.”

Meski begitu, Maya tetap mengangkat kaos longgar yang ia kenakan, sehingga memperlihatkan payudaranya yang mulus tanpa cela. Sang suami memang akhir-akhir ini jarang sekali menyentuh daerah sensitif tersebut, baik dengan tangan maupun mulutnya, sehingga tidak ada bekas cupangan sama sekali yang tertinggal di sana.

Ketika ditanya, suaminya yang bernama Ervan menjawab bahwa ia khawatir akan merasa tidak tahan untuk mengulum puting Maya, dan justru meminum air susu yang tersimpan di balik kedua buah dada tersebut, sesuatu yang seharusnya menjadi milik Athar seorang. Karena itu, payudara sang perempuan cantik itu saat ini praktis hanya milik buah hatinya saja.

Dengan lembut, Maya memposisikan sang anak agar berada tepat di hadapan buah dadanya, sebelum kemudian menyodorkan putingnya yang mungil, yang begitu pas dengan ukuran mulut Athar. Bocah kecil tersebut langsung mengulum secuil daging berwarna kecoklatan itu secara perlahan, lalu menyedot air susu yang keluar dari lubang mungil di ujungnya dengan tempo yang beraturan, agar rasa hausnya cepat hilang.

Selama masa menyusui, Maya hampir tidak pernah mengenakan bra ketika tidur di malam hari. Dengan begitu, ia bisa dengan mudah menyodorkan payudaranya demi memberikan asupan ASI kepada sang buah hati kapanpun dibutuhkan. Apabila dibandingkan dengan anak-anak lain, Athar memang terhitung rakus bila sudah menetek, sehingga berat badannya bisa berkembang dengan pesat.

Katanya sih kebanyakan anak laki-laki memang suka sekali menetek seperti itu, bahkan hingga mereka dewasa. Eh.

“Minum yang banyak ya, Sayang. Biar cepat kenyang, setelah itu kamu bisa bobo lagi dengan nyenyak,” ujar Maya pada sang buah hati. Ia tampak bangga bisa membesarkan anak laki-laki tersebut hingga bisa tumbuh dengan baik.

Sambil menetek di payudara sebelah kiri, Athar pun melabuhkan tangannya yang mungil di payudara sebelah kanan sang Ibunda. Sentuhan lembut tersebut membuat Maya merasa sedikit geli. Ia coba mengingat-ingat kapan terakhir buah dadanya disentuh seperti itu.

Oh iya... Kan baru semalam.

Maya jadi teringat apa yang terjadi di malam sebelumnya, saat payudaranya disentuh oleh seorang pria dewasa. Masalahnya, pria yang menyentuh bagian intim tersebut bukanlah Ervan Darmawan, suaminya, yang justru telah tertidur pulas saat kejadian tersebut berlangsung.

“Terima kasih, Pak Santo,” ujar Maya pada pria yang sudah bersikap begitu berani di depan mata perempuan tersebut, dengan mengusir kurir suruhan Pak Ronggo.

Entah mendapat dorongan dari mana, Maya akhirnya menghamburkan diri ke pelukan pria paruh baya tersebut, hingga dada mereka berdua saling menempel satu sama lain. Maya bahkan langsung memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di pundak Pak Santo.

“E-Eh, Mbak Maya...” Pria berperut gendut itu tampak gelagapan menerima pelukan sang bidadari yang begitu mendadak.

Pak Santo hanya sesekali melihat kondisi sekeliling, khawatir ada orang lain yang melihat kebersamaan mereka berdua. Ia tentu tidak menolak dipeluk seperti itu, tetapi rasa sungkan apabila dilihat orang lain jelas masih ada. Untungnya, saat ia datang kembali ke rumah itu untuk menawarkan jamu pun, hari sebenarnya sudah cukup larut. Karena itu, tak heran kalau suasana cluster Kembang Arum Asri juga sudah sangat sepi, karena semua penghuninya sudah terlelap di peraduan mereka masing-masing.

Di momen itulah, Pak Santo mulai memanfaatkan situasi dengan cara menyentuhkan tangannya ke payudara Maya. Meski mengenakan jilbab instan yang cukup lebar, payudara Maya yang membusung tetap saja jelas terlihat, karena ukurannya yang tidak bisa dibilang kecil. Aroma tubuh Maya yang bagaikan seorang primadona pun membuat pria tua tersebut tidak bisa menahan diri untuk menjamah tubuhnya.

Sentuhan tersebut berlangsung cukup singkat, dan tanpa tekanan yang bisa mengubahnya jadi semacam remasan. Meski begitu, aksi itu sudah cukup untuk menyadarkan Maya akan bahaya baru yang mungkin mengancam. Perempuan itu pun langsung menarik tubuhnya demi menjaga jarak, serta membenahi posisi jilbabnya yang sedikit berantakan.

“Sekali lagi, terima kasih ya Pak Santo atas bantuannya.”

Maya tentu tidak merasa marah, karena justru dirinya lah yang pertama kali memeluk sang pria. Karena itu, ia tetap menyunggingkan senyum tanda terima kasih karena bantuan tetangga barunya tersebut.

“Sama-sama Mbak Maya. Yang namanya tetangga, wajib hukumnya untuk saling membantu. Iya tho?” Jawab Pak Santo dengan kikuk. Pria tua itu seperti khawatir kalau ia baru saja melakukan sesuatu yang kelewat batas, sehingga membuat Maya jadi ilfeel. “Kalau-kalau kapan begitu orang yang tadi, atau siapa pun, datang ke sini untuk mengganggu Mbak Maya, jangan sungkan-sungkan untuk cerita sama saya. Biar saya yang menendang pantatnya sampai mental ke Kandang Jurang, haha.”

“Haha, Pak Santo bisa saja. Tapi sepertinya ini sudah cukup larut, saya sudah harus masuk ke rumah. Bapak juga pasti perlu istirahat, kan?”

“I-Iya, Mbak Maya. Semoga nyenyak tidurnya malam ini.”

“Bapak juga ya…”

Begitu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, Maya tidak langsung menuju ke kamar tempat anaknya berada. Ia justru menyempatkan diri untuk berhenti dan mengintip ke luar jendela.

Lelaki tua yang tadi menolongnya memang sudah berjalan ke arah kediamannya. Namun anehnya, ia tidak berjalan dengan gerakan yang normal, melainkan sambil melompat-lompat kegirangan seperti orang baru menang lotre. Sesekali pria tersebut membalikkan badan ke arah rumah Maya, lalu tersenyum, sebelum kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Maya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil cekikikan sendiri saat mengingat kembali kejadian semalam. Ia jelas bukan perempuan lugu dan naif yang tidak tahu betapa kotornya pikiran para lelaki. Sebelum menikah dengan Ervan pun, sudah sering sekali ia menolak pria yang hanya ingin menguasai tubuhnya yang indah.

Namun untuk kasus Pak Santo, ia hanya berusaha menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya saja.

Apabila dibantu, ya jangan lupa ucapkan terima kasih. Apabila diganggu, ya sama juga, langsung hajar saja tanpa perlu basa-basi, pikirnya.

Karena itu, meski tidak merasa marah, perempuan berparas rupawan tersebut juga berniat untuk tidak lagi membiarkan tubuhnya jatuh ke pelukan pria tua itu. Kejadian semalam harus menjadi momen terakhir payudaranya disentuh oleh pria selain Mas Ervan.

“Aku harus tetap menjaga hubungan dengan Pak Santo ini. Karena sepertinya dia sudah cukup lama tinggal di daerah Kembang Arum, dan seharusnya tahu beberapa informasi tentang kematian keluargaku,” gumam Maya penuh dendam.

Perempuan yang kulitnya begitu putih dan mulus bagai keramik tersebut melirik ke arah samping, dan mendapati anaknya sudah kembali tertidur. Ia sudah tidak merasakan isapan sama sekali di payudaranya, meski putingnya masih berada di dalam rongga mulut sang bocah. Setelah ditunggu beberapa saat, barulah puting mungil itu terlepas.

Karena tidak ingin membangunkan sang anak, Maya menggeser posisi Athar agar berada di sisi ranjang yang lebih lega. Setelah itu, perempuan cantik tersebut langsung bangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar.

Begitu berada di ruang tengah, Maya menatap ke arah jendela yang menghadap ke luar, di mana cahaya matahari mulai memasuki kediaman barunya tersebut, lengkap dengan kehangatan yang menyertainya. Benar-benar terasa indah.

“Lho, Mas Ervan lagi ngapain?” Tanya Maya saat melihat sang suami justru tengah sibuk di dapur, sambil menggoreng-goreng sesuatu.

“Ya masak dong, Sayang. Masa tampilan udah kayak Masterchef begini dibilang lagi ngaduk semen?” Jawab Ervan sambil menoleh ke belakang, dan mendapati sang istri tercinta tengah berjalan menghampirinya. “Kok sudah bangun?”

“Ya habis aku seperti mencium bau-bau kenikmatan gitu dari luar kamar. Makanya aku bela-belain buat buka mata dan bangun, hihihi.”

“Mas nggak nyangka kalau kamu bisa gombal juga, hahaha. Masih pagi lho ini. Oh iya, Kakak Athar mana?”

“Biasa lah, Mas. Habis nenen ya tidur lagi dia.”

“Hahaa... Jangan-jangan air susu kamu itu ada obat tidurnya, makanya setiap nenen langsung tepar dia,” ujar Ervan yang terbahak-bahak karena leluconnya sendiri.

“Hmm, bisa jadi sih. Mas Ervan mau coba buktiin?” Balas Maya sambil menyodorkan payudaranya yang begitu membusung itu, meski masih tertutup kaos.

Ervan tahu bahwa istrinya tersebut hanya bercanda, dan langsung mundur untuk menghindar. “Duh, adek ini. Pagi-pagi sudah bikin panas dingin aja. Hrrrhh.”

“Masa sih Mas? Yakin neh nggak mau susu aku? Ya sudah kalau begitu...”

“Dih, ngambek. Ya jangan sekarang dong, Sayang. Kan aku lagi masak. Lagian cowok mana sih yang nggak mau kalau dikasih susu kamu yang montok itu?”

“Hmm, emangnya susu aku beneran montok, Mas?”

“Jelas, lah. Bahkan bandot-bandot tua yang bantu kita menurunkan barang semalam saja bisa sampai nggak ngedip gitu melototin buah melon kamu itu, Dek,” ujar Ervan sambil mematikan kompor, karena masakan yang ia buat sepertinya sudah matang dengan sempurna.

“Tuh kan, Mas Ervan malah balik ngomongin itu lagi. Apa jangan-jangan Mas malah suka ya kalau aku diterkam sama mereka? Ayo ngaku! Huhuu...”

“Ya nggak gitu dong, Dek Maya sayang. Mana ada sih cowok yang rela tubuh istrinya yang menawan ini digerayangi oleh pria lain. Apalagi prianya adalah keledai-keledai bau tanah seperti Bapak-Bapak kemarin, haha.”

“Ihh, kok kasar gitu ngomongnya. Lagian kalau nggak salah beneran ada tahu suami-suami yang punya keinginan seperti itu. Katanya mereka justru horny kalau lihat istri mereka disetubuhi oleh pria lain.”

“Masa sih? Kamu tahu dari mana?”

“Ya dari Google lah... aku sempat searching-searching iseng. Apa ya namanya... cuck... cuck... cuckold! Iya, istilahnya cuckold, Mas!”

“Yaeelaaah. Ya ya pernah denger. Embuh apalah itu namanya. Aku bukan pria dengan harga diri yang rendah seperti itu, Dek Maya. Kamu kayak baru kenal aku setahun dua tahun saja sih,” jawab Ervan. Ia mengernyitkan dahi dan menatap Maya dengan curiga, “Atau… jangan-jangan malah kamu yang punya fantasi digarap sama begundal-begundal tua itu?”

“Hidih! Mas Ervan apaan siiiiihhh... Amit-amit jabang bayiii...” tanggap Maya sambil memukul-mukul lengan sang suami dengan manja.

“Ampun sayang, ampuunnn... Lama-lama sakit juga neh, hahaa.”

Karena malas menanggapi obrolan sang suami, Maya kemudian berinisiatif untuk mengambil dua buah piring untuk menyajikan nasi goreng yang baru saja dibuat oleh Ervan. Dan ternyata porsinya benar-benar pas, hanya cukup untuk mereka berdua.

“Oh iya, Dek. Mas jadi lupa mau nanya sesuatu.”

“Mau nanya apa, Mas?”

“Itu lho. Tadi kan mas beres-beres, eh ternyata ada botol bekas sirup gitu di teras depan. Isinya kayak jamu kalau nggak salah, baunya sih mirip. Terus di sampingnya ada piring bekas pisang goreng, yang seinget Mas terakhir itu ada di dalam. Itu punya siapa ya?” Tanya Ervan sambil membetulkan posisi kacamatanya.

Maya merasa kaget saat mendengar pertanyaan suaminya. Ia bingung harus menjawab dengan jujur atau tidak, khawatir Ervan nantinya malah punya pemikiran yang tidak-tidak tentang dirinya.

Namun bila berbohong pun, Ervan pasti akan tahu. Salah-salah, suaminya itu malah curiga apabila Maya tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Merahasiakan masalah dengan Pak Ronggo saja sudah begitu sulit, apalagi kalau harus ditambah dengan kebohongan lain.

“Oh, semalem Pak Santo balik lagi ke sini. Dia yang bawa botol sirup berisi jamu itu.”

“Pak Santo itu yang mana ya? Yang kumisan kayak Mas Adam suaminya Inul? Atau yang pake peci?”

“Yang pertama, Mas. Kalau yang pake peci itu namanya Pak Hamzah.”

“Wihh... kamu sudah hapal ya semua nama Bapak-Bapak itu. Lalu mau ngapain Pak Santo balik lagi ke sini?”

“Ya itu, dia katanya baru bikin jamu racikan sendiri, terus mau ngajak Mas minum jamu bareng.”

“Terus kenapa kamu nggak bangunin Mas?”

“Aku tadinya mau bangunin, tapi kayaknya Mas udah capek banget. Pules banget tidurnya sampe ngorok... Kan aku jadi nggak enak kalau mau bangunin. Hihihih.”

“Masa iya Mas sampe ngorok? Ngarang ihh...”

“Hahaa, ya Mas coba saja rekam sendiri suara Mas kalau lagi tidur, wleee...”

“Tapi lanjutannya bagaimana itu tadi Pak Santo? Kalau aku lagi tidur, kok itu jamunya sudah sisa setengah?”

“Ya karena nggak enak sama dia yang sudah bantu-bantu kita pindahan, aku temenin saja sebentar.”

“Hmm...” Ervan tampak berpikir sejenak tentang cerita yang baru saja dia terima.

“Kenapa Mas? Kok kayaknya bingung?”

“Tapi semalem kamu nggak diapa-apain kan sama dia? Kok aku jadi khawatir.”

Oh tentu tidak... Tetek istrimu ini sudah sempat dipegang oleh lelaki tua itu, Mas. Kami berdua pun sudah saling berpelukan mesra.

Namun tentu Maya tidak bisa menceritakan bagian tersebut, dan memilih untuk mengalihkan obrolan.

“Ihh... Mas ini ngomong apa sih? Ga jelas. Udah ah, mending makan dulu yuk, aku sudah laper neh.”

Mereka berdua pun duduk di meja makan yang sudah cukup rapi, meski di sekitarnya masih ada beberapa kardus berisi barang yang belum dibuka sama sekali. Maya harus mengakui bahwa masakan Ervan benar-benar enak, bahkan lebih enak dari yang biasa dia buat. Suaminya itu memang punya semacam bakat untuk meracik santapan.

“Oh iya, Dek. Hari ini aku mau survei ke lokasi kerja aku di Pos pengamatan gunung api. Kamu mau ikut?”

“Hmm, boleh deh Mas. Jauh nggak?” Maya sedikit khawatir kalau dia akan kelelahan. Mereka berdua pun belum mengenal siapa pun di lingkungan cluster yang bisa dimintai tolong untuk menjaga Athar. Artinya, bocah tersebut harus ikut dibawa.

“Kalau menurut informasi Pak RT kemarin sih nggak terlalu jauh ya. Atau begini saja, kalau nanti ternyata memang terlalu jauh dan di tengah jalan kamu kelelahan, kita langsung balik pulang. Toh, Mas baru harus bekerja beberapa hari lagi kok, bukan sekarang.”

“Oke deh, suamiku yang ganteng...”

“Ganteng mana sama Pak Santo?”

“Gantengan Pak Hamzah, wleee...”

“Hahaa,” Ervan tampak tertawa sambil mengacak-ngacak rambut istrinya yang tergerai indah.



***



Butuh waktu hampir setengah jam sebelum mobil SUV yang ditumpangi Ervan dan Maya sampai di pos penjagaan, yang berada di lereng Gunung Mandiri. Di pos tersebut, kendaraan harus berhenti karena setelah itu jalan ke atas gunung hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Begitu keluar dari mobil, Maya bisa menghirup udara yang begitu segar, khas daerah pegunungan. Perempuan yang terbiasa tinggal di kota itu pun tampak menikmati hawa yang cukup dingin, meski matahari sudah naik cukup tinggi.

“Segaaaaar!”

“Udaranya segar ya, Dek? Makanya aku bilang tadi pakai baju yang sedikit hangat untuk kamu sama Kakak Athar,” ujar Ervan sambil membimbing istrinya menuju jalan mendaki ke arah lokasi kerjanya nanti.

“Iya, Mas. Enak banget di sini. Mas juga jangan lupa bawa beberapa baju hangat ketika berjaga di Pos pengamatan,” jawab Maya sambil menepuk-nepuk punggung sang anak yang berada di gendongannya.

Begitu keduanya berada dekat dengan pos penjagaan, seorang laki-laki tua dengan jaket buluk dan topi abu-abu yang biasanya dikenakan pelajar SMA mendadak keluar dari pos tersebut. Ketika ketiganya saling bertatapan, mereka tampak kaget.

“Lho, Bapak? Hmm... Pak Karjo kan?” Tanya Ervan yang coba memastikan. Pria tersebut memang punya kesulitan tersendiri untuk menghapal nama orang, apalagi yang baru ditemui satu atau dua kali.

Pria yang dipanggil Pak Karjo itu pun tampak kikuk dan risih, seperti maling yang baru tertangkap basah bersama barang curiannya. Ia melepaskan topi dan menggaruk-garuk kepalanya yang dipenuhi rambut berwarna putih. Setelah itu, ia pun menyengir untuk mencairkan suasana.

“Eh, a-ada Pak Ervan. Lagi mau ke mana, Pak?”

“Ya mau ke atas, Pak. Kan kemarin saya sudah cerita waktu ketemu di rumah Pak RT, kalau saya baru saja ditugaskan di Pos pengamatan gunung yang ada di atas.”

“Ohh... iya, iya,” jawab Pak Karjo berlagak bloon.

“Bapak sendiri ngapain di sini? Kok tadi dari dalam pos penjagaan? Setahu saya, Bapak bukan penjaga pos ini kan?”

“Hehehe, saya bisa jelaskan, Pak,” meski sempat ragu untuk membuka suara, akhirnya pria tua tersebut tetap menceritakan juga latar belakang kehidupannya. “Sebenarnya saya ini tidak punya pekerjaan. Dan karena selama berpuluh-puluh tahun pos ini tidak ada yang menjaga, makanya saya berinisiatif untuk mengawasinya. Ya, seperti Pak Ervan yang suka ngawasin gunung berapi gitu lah. Hehehehee... Cuma bedanya kalau Bapak digaji pemerintah, kalau saya cuma digaji sama Yang Maha Kuasa.”

Sebagai pengawas gunung senior, Ervan jelas tahu betul tingkah orang-orang seperti Pak Karjo. Di banyak gunung lain juga tidak jauh berbeda, selalu saja ada sosok pengangguran yang tiba-tiba tinggal di pos sepanjang jalur pendakian, yang kemudian mereka anggap sebagai rumah sendiri. Biasanya, mereka akan mencari pendapatan dengan meminta uang kepada para pelancong yang mau mendaki gunung atau menawarkan jasa porter.

Meski begitu, mereka biasanya sudah tahu sama tahu saja dengan aparat resmi yang bertugas menjaga daerah pegunungan. Selama tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pendaki yang hilang atau kebakaran hutan, posisi mereka bisa dijamin aman. Beberapa oknum petugas bahkan ada yang memanfaatkan para penjaga pos gadungan tersebut untuk menarik iuran bulanan.

“Iya, Pak. Saya paham kok. Yang penting dirawat saja posnya ya Pak. Jangan sampai terbengkalai dan kotor,” ujar Ervan.

“Siap, Pak!” Jawab Pak Karjo sambil memberikan sikap penghormatan, layaknya prajurit kepada komandannya.

Di sebelah Ervan, Maya tampak sedang mengingat-ingat kapan dia pernah bertemu dengan pria tersebut. Wajahnya seperti tidak asing di kepala Maya.

“Kita pernah ketemu Pak Karjo ini di mana ya, Mas?” Bisik Maya pelan, agar tidak didengar oleh pria tua itu.

“Itu lho, Dek. Yang kebetulan ada di rumah Pak RT waktu kita lagi lapor untuk menjadi penduduk baru.”

“Owalaaahh... Pangling aku. Habis waktu itu kayaknya dia nggak pakai baju sekumal ini. Yang katanya setelah kita pulang mau ada sesi foto di mana gitu kan?”

“Iya, betul. Yang waktu itu kamu bingung sesi foto apa yang perlu model busuk kayak begitu kan, hahaa.”

“Husshh... Pelan-pelan ngomongnya, Mas. Nanti kedengeran,” ujar Maya sambil menempelkan telunjuk di bibirnya yang ranum.

Ervan kemudian mengalihkan perhatian kembali ke Pak Karjo. “Kalau begitu, saya izin naik dulu ke atas ya, Pak. Mari...”

“Mari, Pak... Bu...”

Tanpa diketahui oleh Ervan dan Maya, Pak Karjo tidak langsung berpaling ketika keduanya sudah melewati pos dan menyusuri jalan menanjak menuju kantor tempat sang pria bertugas. Pria tua itu terus memandangi pasangan suami istri tersebut dari belakang. Lebih tepatnya, ke arah bokong sang istri yang berlenggak lenggok ke kiri kanan dengan gerakan yang begitu sensual, membangkitkan hasrat terpendam Pak Karjo yang sudah lama tidak tersalurkan.

“Ya ampun, daerah Kembang Arum ini sudah jadi seperti surga. Setelah kehadiran bidadari-bidadari cantik seperti Nisa, Shinta, dan Amy, kini ada lagi perempuan berparas seperti malaikat bernama Maya. Bisa gak ya kalau suatu saat aku cicipi memek salah satu dari mereka? Pasti legit banget rasanya, hee...” Batin Pak Karjo.



***



Untungnya, tidak perlu waktu yang terlalu lama bagi Maya dan Ervan untuk mendaki dari pos tempat Pak Karjo ‘bertugas’ hingga sampai ke Pos pengamatan gunung api, Gunung Mandiri.

Sang istri tampak sudah mulai kelelahan, apalagi dia harus berjalan sambil menggendong anaknya yang sudah cukup berat di usianya sekarang. Keringat pun mulai mengucur di keningnya yang mulus.

“Akhirnya, sampai juga ya, Dek. Ini dia tempat Mas akan bekerja nanti,” ujar sang suami. “Kita masuk ke dalam yuk.”

“Iya, Mas...” Maya sudah langsung membayangkan alangkah nyamannya bila ia bisa duduk di atas sofa yang empuk, untuk sekadar menaruh anak di gendongannya, serta mengistirahatkan kakinya.

Beruntung, doa Maya terkabul.

Pos tersebut ternyata berukuran tidak begitu besar, mungkin hanya sekitar 6x6 meter. Namun tempat itu berisi perlengkapan pemantau aktivitas seismik yang begitu lengkap, termasuk beberapa layar monitor yang Maya jelas tidak paham data apa yang tampil di sana. Sofa empuk yang sedari tadi diimpikan perempuan tersebut juga tersedia di dalam Pos.

Selain berbagai perangkat pengamatan, tempat tersebut juga mempunyai sebuah kamar tidur untuk beristirahat bagi petugas pemantau, serta sebuah toilet merangkap kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Namun dengan hawa yang dingin di atas gunung seperti ini, siapa juga yang akan sering-sering mandi?

“Tempatnya enak juga ya, Mas,” ujar Maya sambil melihat-lihat semua detail yang ada di ruangan tersebut. Ia sudah langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa, serta membaringkan Athar yang sudah tertidur tepat di sampingnya.

“Alhamdulillah, Dek. Sepertinya Mas akan kerasan berjaga di pos ini.”

“Lho, jangan sampai kerasan dong, Mas.”

“Hmm, kenapa begitu?”

“Ya nanti kalau Mas terlalu betah di sini, malah lupa pulang lagi. Aku kan sendirian di rumah, cuma sama Kakak Athar. Mas mau aku jadi santapan Bapak-Bapak mesum? Hahaa...”

“Hahaa, bisa saja kamu. Cepet bilang amit-amit jabang bayi, biar gak kejadian.”

“Dih, Mas ini udah gede masih percaya takhayul.”

Mereka berdua sama-sama tertawa, seperti ingin melepaskan lelah setelah perjalanan mendaki gunung yang ternyata cukup memakan waktu dan stamina. Dalam hati, Maya sebenarnya kurang nyaman dengan jarak antara rumahnya dan Pos pengamatan gunung api tempat suaminya bekerja, yang tidak bisa dibilang dekat. Ia khawatir suaminya tidak bisa kembali ke rumah sewaktu-waktu dia membutuhkan, demikian juga sebaliknya.

Namun Maya cepat-cepat menepis pikiran buruk tersebut.

“Kita itu harus selalu berpikir positif. Lagipula, memang aku ini siapa bisa mengatur-ngatur sang suami harus bekerja di mana?” Pikir Maya dalam hati.

Bicara tentang pikiran buruk...

Drrrrrtttt.

Maya merasakan ponsel di kantong celana panjangnya bergetar, tanda bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Dan ketika ia membuka layar dan memeriksa siapa pengirim pesan tersebut, hatinya seperti ingin meloncat keluar.

Baru saja dia bisa mendapatkan momen berduaan dengan sang suami di tempat yang sepi ini, seseorang yang terus merongrongnya sejak pindah ke daerah Kembang Arum ini justru kembali mengganggunya. Benar-benar tidak tahu tempat dan waktu.

“Mas, aku boleh keluar sebentar? Mau lihat-lihat pemandangan,” ujar Maya, yang jelas tidak bisa membuka pesan tersebut di hadapan sang suami.

Ervan terlihat sedang memeriksa beberapa data di layar monitor. Karena itu, ia hanya menoleh sebentar dan menganggukkan kepalanya tanda setuju. “Jangan jauh-jauh ya, Sayang. Nanti kamu malah nyasar.”

“Hahaa, beres Mas. Aku kan udah gede, wlee.”

“Ya kan tidak ada salahnya kalau berhati-hati.”

Untungnya, sang suami masih belum bisa menangkap raut wajah Maya yang selalu bermuram durja dari waktu ke waktu. Perubahan ekspresi tersebut biasanya bertepatan dengan masuknya pesan atau panggilan telepon dari seseorang yang tidak diinginkan sang perempuan. Sudah berkali-kali Maya memblokir nomor teleponnya, tapi orang tersebut malah menghubungi dengan nomor lain. Hal yang sama pun terjadi saat ini.

Begitu menemukan sebuah tempat sepi, yang menghadap ke bentangan lembah luas dengan pemandangan alam yang begitu mempesona, barulah Maya berani untuk membuka pesan yang baru saja ia terima. Sebelum membacanya, Maya menyempatkan diri untuk menghela napas panjang, demi menjaga kesabarannya.

“Mengapa kamu tolak karangan bunga dariku, Maya sayang. Apakah bunganya kurang indah? Atau justru ukurannya kurang besar? Kalau soal ukuran sih, punya saya jelas jauh lebih besar. Mengapa kamu tidak kembali saja ke sekolah, biar bisa merasakan punyaku yang besar ini. Dengan begitu, kita jadi bisa bikin adik lucu untuk Kakak Athar kan?”

Dan itu bukan satu-satunya pesan yang ia terima dari sang pengirim tersebut.

“Jangan kira dengan pindah ke kampung antah berantah kamu akan menjadi aman, Maya. Ke ujung dunia pun, aku pasti akan terus mengejarmu. Siapkan saja memekmu yang sempit dan legit itu untuk kontol besarku, ya... Hahaha. Dijamin kamu bakal merem melek keenakan.”

Sudah begitu saja pesannya? Tidak. Tidak berhenti sampai di situ.

“Baru juga pindah, sudah ada saja bandot tua yang melindungimu. Coba katakan apa yang kau berikan sama dia sehingga dia berani melawan orang suruhanku? Apa jangan-jangan dia juga sudah mengobrak-abrik memekmu dan menjilati seluruh tubuh indahmu seperti yang akan kulakukan padamu?”

Ini jelas bukan kali pertama Maya menerima pesan berisi kata-kata cabul dari mantan atasannya saat bekerja sebagai guru di sebuah SMK, yang bernama Pak Ronggo itu. Maya memang bisa mengabaikan, atau langsung menghapus pesan-pesan tersebut begitu saja. Namun ia tidak menyangka kalau Pak Ronggo akan sampai mengirim seseorang untuk memata-matai dirinya di daerah Kembang Arum ini, yang lokasinya jauh dari peradaban.

“Sepertinya mulai sekarang aku harus ekstra hati-hati dalam menghadapi Pak Ronggo ini. Bukan mustahil suatu saat ia akan datang langsung ke desa ini, dan merusak rumah tanggaku dengan Mas Ervan. Bangsat memang orang itu,” gumam Maya dalam hati.

Tangan perempuan tersebut tampak mengepal kencang, seperti memendam emosi mendalam yang tidak bisa ia lepaskan. Tatapan matanya pun begitu tajam ke arah hamparan pohon dan rerumputan di hadapannya, meluapkan kemarahan yang begitu membuncah. Masalahnya, kepada siapa emosi tersebut ia arahkan?

Kalau bukan karena alasan lain, Maya mungkin akan langsung melampiaskan kebenciannya pada Pak Ronggo, yang sudah berani melakukan pelecehan terhadap dirinya.

Namun di saat yang sama, sang suami justru memberikan kabar bahwa ia mendapat perintah mutasi ke daerah lain. Berita tersebut seperti mengembalikan kesumat yang sudah ia pendam sejak bertahun-tahun lalu. Masalah dengan Pak Ronggo jelas tidak ada artinya bila dibandingkan dengan dendam abadi tersebut.

“Hmm, kamu mau dipindah ke mana, Mas?” Tanya Maya kepada suaminya yang menyampaikan informasi tersebut saat mereka tengah berada di atas ranjang dan baru beranjak untuk tidur.

“Ke Gunung Mandiri, Dek.”

Batin Maya langsung terkejut saat mendengar nama gunung yang sangat tidak asing tersebut.

“Gu-Gunung Mandiri, Mas?”

“Iya, Dek. Kata teman yang pernah tugas di sana sih, ada kampung di sekitar situ yang namanya Kembang Arum. Kita bisa tinggal di sana, jadi nggak perlu LDM.”

“Apa itu Mas?”

Long Distance Marriage. Hahaa.”

“Ih, Mas Ervan ini kok tahu-tahu aja istilah kayak begitu.”

“Ya, walaupun umur selalu nambah, tapi kita harus tetap up-to-date dengan perkembangan terkini kan? Jadi bagaimana, kamu gak masalah kan dengan perpindahan tersebut?”

Maya hanya tersenyum, lalu memeluk tubuh suaminya dengan erat. “Ke mana pun kamu pergi, aku dan Kakak Athar akan selalu menyertai, Mas.”

“Ihh, memang istriku ini yang terbaik sedunia. Aku sayang banget sama kamu, Dek. Sebuah anugerah bagiku bisa mendapatkan istri sebaik, secantik, dan sepengertian kamu. Karena itu, aku tidak akan menyia-nyiakan kamu. Apalagi setelah kehadiran Athar, semua menjadi begitu sempurna.”

“Mau bikin lebih sempurna lagi, Mas?”

“Hmm, bagaimana caranya, Dek?”

Maya pun mengedipkan matanya dengan gaya yang centil. “Ya, siapa tahu setelah punya anak laki-laki, mau juga punya anak perempuan.”

Sang suami tentu langsung tahu apa yang dimaksud Maya. Tanpa basa-basi, ia pun langsung mengangkat kaosnya hingga terlepas, lalu menindih tubuh istrinya yang begitu menggoda. Setelah itu, ia pun langsung mengecup-ngecup leher sang istri, serta menjilat-jilat daun telinganya. “Kamu iseng banget sih pake kode-kode begitu.”

“Tapi Mas nggak akan nolak kan?”

“Memangnya aku bodoh, nolak tawaran buat ngentotin perempuan yang body-nya sesemok kamu.”

“Ihh, Mas Ervan ngomongnya nakal. Awas nanti aku bilangin sama Ibu.”

“Coba aja kalau berani.”

Mereka pun asyik bersetubuh dengan penuh cinta dan tawa malam itu. Meski sang suami tidak tahu bahwa saat istrinya tengah mendesah binal di bawah kangkangan tubuhnya, batin perempuan tersebut sibuk mengenyahkan pikiran tentang Pak Ronggo yang selama ini terus mengisi ruang-ruang tersembunyi di kepalanya.

Saat itu juga, Maya telah mengganti kebenciannya pada sang atasan, menjadi kemarahan pada daerah yang namanya baru saja ia dengar kembali setelah sekian lama. Daerah yang dalam sekejap telah merenggut seluruh anggota keluarganya. Keluarga yang begitu ia cintai dengan sepenuh hatinya.

“Gunung Mandiri... kampung Kembang Arum... Aku akan datang ke sana...”

Itulah alasan mengapa Maya membatalkan, atau lebih tepatnya menunda, rencananya untuk melampiaskan kebenciannya pada Pak Ronggo. Mengetahui kenyataan yang terjadi di balik kematian ayah, ibu, dan adiknya, serta melakukan pembalasan kepada sang pelaku, jelas jauh lebih penting bagi Maya.

Saat pikiran Maya tengah dipenuhi amarah dan dendam di lereng Gunung Mandiri, perempuan tersebut merasakan tubuhnya dipeluk oleh seseorang dari belakang. Meski awalnya kaget, tapi Maya tidak menolak pelukan tersebut, karena aroma parfum yang begitu jantan membuat ia langsung tahu siapa sosok yang sedang memeluknya tersebut.

“Ihh, Mas Ervan ganjen banget pakai peluk-peluk segala.”

“Memangnya nggak boleh peluk istri sendiri?”

“Boleh sih, tapi nanti kalau ada yang lihat bagaimana?”

“Ya biarin aja, paling mereka ngiri sama Mas yang punya istri cantik kayak bidadari seperti kamu,” ujar Ervan. Ia kini telah merebahkan kepalanya di pundak sang istri.

“Masa sih? Cantik mana sama Mbak berjilbab yang punya motor Vespa kemarin?”

“Cantik kamu lah, Sayang.”

“Yakin? Terus ngapain coba kemarin pake senyum-senyum sama dia?”

“Ya basa-basi aja sama tetangga baru. Lagian juga harusnya dia yang justru minder sih.”

“Minder kenapa?”

“Tiba-tiba ada pendatang baru yang cantiknya ngalahin semua perempuan di cluster Kembang Arum Asri, hahaa.”

“Haisshh... Gombal!” balas Maya sambil menangkupkan tangannya pada tangan sang suami yang kini telah berlabuh di pinggangnya. “Kakak Athar belum bangun, Mas?”

“Belum, masih tidur pulas dia.”

“Nanti kalau dia bangun, nggak ada yang jagain dong?” Tiba-tiba Maya merasa khawatir dengan anaknya yang kini tengah terbaring sendirian di dalam pos.

“Sudah, nggak apa-apa. Aku pengin berduaan sama kamu sebentar saja, sambil melihat pemandangan yang indah ini,” balas Ervan sambil memelukku lebih erat. “Kamu tadi kenapa? Kok muka kamu kayak serius banget?”

“E-Emmm... Aku nggak apa-apa kok, Mas.”

“Beneran?”

“Bener, Mas. Cuma tadi sempat inget sama Ayah, Ibu, dan Eno saja.”

“Oh. Wajar sih kalau begitu. Tapi jangan sering-sering dipikirin. Mereka bertiga sudah bahagia di surga.”

“I-Iya, Mas,” jawab Maya, meski dalam hati ia tidak bisa melupakan sedikitpun kebencian yang terus ia pendam.

Baru beberapa menit Maya dan Ervan menikmati pemandangan indah Gunung Mandiri hanya berdua saja, tiba-tiba terdengar bunyi gemerisik seperti ada yang baru saja melewati rerumputan di sekitar situ. Pasangan suami istri tersebut pun menoleh ke belakang untuk mencari asal suara.

Meski jaraknya masih cukup jauh, mereka bisa melihat sesosok pria tua yang mengenakan peci. Wajah dan perawakannya yang gempal dan brewokan pun langsung mencuri perhatian. Pria tersebut tampak kelelahan. Ia baru saja menghentikan langkahnya menyusuri jalan setapak ke arah puncak gunung, lalu terduduk lemas di atas sebuah batu besar.

“Lho? Itu kan Bapak yang bantu kita semalam,” ujar Ervan.

“Hmm, sepertinya iya Mas,” balas Maya.

“Kita samperin yuk.”

“Ihh, ngapain sih Mas. Sudah biarin saja. Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau semalam tatapannya saja sudah seperti menelanjangi aku. Memangnya Mas nggak risih aku dekat-dekat sama dia?”

“Iya sih. Tapi dia sepertinya sedang butuh pertolongan. Masa iya kita nggak bantu? Ini sudah kewajiban.”

Kalau mereka tidak sedang bermesraan, mungkin justru Maya yang akan berinisiatif terlebih dahulu untuk menolong pria tua tersebut. Namun kini posisinya mereka berdua tengah berpelukan, sembari menikmati pemandangan indah nan romantis di hadapan mereka.

“Masa iya mau berhenti begitu saja, hanya demi Bapak-Bapak tua itu?” Pikir Maya.

Namun perempuan tersebut tentu tidak bisa menolak keinginan baik sang suami, lalu menganggukkan kepala tanda setuju.

“Ya sudah. Ayo kita ke sana, Mas.”

Ketika posisi pasangan suami istri tersebut telah begitu dekat, sang pria tua masih terlihat kelelahan dan tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Sembari duduk di atas batu besar, ia menundukkan kepala ke arah tanah. Ia bahkan sampai tidak menyadari kedatangan Maya dan Ervan yang merupakan tetangga barunya di cluster Kembang Arum Asri itu.

“Pak Hamzah,” ujar Ervan sambil menepuk pundak pria tua tersebut dari belakang.

Karena kaget, pria yang selalu mengenakan peci warna hitam itu langsung melompat ke depan, lalu membalikkan badan. Ia sempat terdiam sebentar, entah karena coba mengingat-ingat siapa pasangan yang baru saja menyapa dirinya, atau karena terpana akan kecantikan Maya yang begitu sempurna.

“Eh, Mbak Maya... Dan Maaass...”

“Ervan, Pak. Nama saya Ervan,” potong suami dari Maya tersebut setelah melihat Pak Hamzah merasa kesulitan menyebut namanya.

Dasar bandot tua, ingatnya cuma sama yang cantik-cantik saja, pikirnya.

“Ah iya. Mas Ervan. Kalian sedang ngapain di sini?”

“Pak Hamzah lupa ya, Pos tempat saya bertugas kan ada di situ,” jawab Ervan sambil menunjuk ke arah bangunan yang tadi ia singgahi bersama sang istri.

“Owalahhh... Bener juga. Saya kok jadi pelupa gini ya.”

“Makanya inget umur, Pak. Jangan kerjaannya lihatin tetek istri saya terus,” batin Ervan.

“Bapak sendiri sedang apa di sini?”

“Saya tadi niatnya pengin olahraga, jalan-jalan santai aja begitu. Tapi ternyata lumayan capek juga ya,” ujar pria tua tersebut dengan deru nafas yang masih belum normal.

“Bapak ada air minum?”

Pak Hamzah menunjukkan sebuah tumbler berukuran kecil, ia membuka dan membalik tumbler itu. Isinya sudah benar-benar kosong. Pria tua berpeci itu geleng-geleng kepala, “Sudah habis.”

Ervan sempat berpikir sejenak bagaimana cara agar bisa membantu Pak Hamzah, tetapi sang istri keburu mendahuluinya.

“Kebetulan di Pos ada air minum. Bapak mau mampir sebentar untuk mengisi tumbler? Sekalian istirahat sebentar di sana juga boleh,” ujar Maya.

“Duh, bagaimana ya? Apa tidak merepotkan?”

“Kalau Bapak pingsan atau bahkan mati di sini, justru malah bikin tambah repot,” gumam Ervan dalam hati.

“Nggak merepotkan kok, Pak. Iya kan Mas?”

“I-Iya. Boleh kok kalau Bapak mau istirahat sebentar di Pos,” jawab Ervan, meski sedikit ragu-ragu.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Pak Hamzah dengan senyum penuh kebahagiaan.

“Mari, Pak,” ujar Ervan.

Sesaat Pak Hamzah melirik ke arah wajah Maya yang begitu teduh, apalagi dengan pakaian santai yang ia kenakan hari ini. Payudaranya yang masih berukuran sedang karena masih harus menampung ASI untuk sang anak membuat perempuan itu tampak begitu seksi di mata Pak Hamzah.

Begitu pasangan suami istri tersebut berjalan lebih dahulu menuju Pos, Pak Hamzah sengaja mengikuti dari belakang. Dengan begitu, ia jadi bisa menikmati bokong Maya yang montok dari belakang. Celana panjang yang dikenakan perempuan tersebut memang sedikit ketat membentuk tubuhnya, sehingga gerakan pantatnya yang bergoyang ke kiri dan kanan setiap kali melangkah jadi bisa jelas terlihat.

“Benar-benar rezeki nomplok sih ini namanya. Jadi gak tahan mau sodok memek Mbak Maya dari belakang. Ahhh...” Batin Pak Hamzah.

Ketika mereka bertiga sudah sampai di dalam Pos, Ervan langsung menunjuk ke arah alat penyaring air yang bisa mengubah air mentah menjadi aman untuk diminum. Dalam hati, pria itu memuji siapa pun yang mempunyai ide untuk memasang alat tersebut, sehingga tidak perlu ada lagi kerepotan menggotong-gotong galon air mineral dari bawah gunung.

“Silakan, Pak. Dispensernya ada di pojok sana.”

“Oh iya. Terima kasih, Mas Ervan.”

Pak Hamzah mengikuti arahan Ervan sambil memandang ke seantero ruangan. Ini adalah kali pertama ia masuk ke dalam Pos pemantauan gunung api tersebut, meski sudah seringkali melewatinya setiap kali mendaki Gunung Mandiri. Namun pandangannya tiba-tiba tertuju pada sosok mungil yang tengah tertidur di atas sofa.

“Lho, Athar juga diajak?”

“Iya, Pak. Kami kan belum mempunyai pembantu, jadinya saya harus membawa Athar ke mana-mana,” jawab Maya.

“Oh iya, benar juga.”

Tak lama kemudian, Athar mulai menggeliat-geliat di atas sofa, sembari perlahan membuka matanya yang mungil. Ia memandang ke kiri dan kanan, seperti ingin mengenali tempat baru tersebut. Namun baru beberapa saat ia bangun, bayi tersebut langsung menangis.

“Huuaaaaaaa...”

“Kakak Athar kenapa?” Ujar Maya yang bingung akan perubahan sikap anaknya yang begitu mendadak itu. Ia pun langsung mengangkat Athar ke dalam gendongannya, sembari menepuk-nepuk punggung sang bayi dengan lembut.

“Huuuuuaaaaaaaa...”

Tangisan Athar tidak kunjung berhenti, dan justru makin kencang. Maya melirik ke arah sang suami, yang justru sedang sibuk memeriksa grafik-grafik aneh di layar monitor.

“Mas Ervan, anaknya nangis terus neh.”

“Mungkin dia baru pipis atau pup, atau haus...” Ervan menjawab tanpa menoleh sama sekali.

Merasa diabaikan, Maya mulai meninggikan suaranya. “Mas! Lihat ke sini dong! Kakak Athar itu baru saja minum, jadi jadwal minumnya lagi masih lama. Dan aku sudah cek popoknya, dia tidak pup atau pipis kok!”

Sang suami menghela nafas, lalu mengalah. Ia pun mengalihkan pandangannya dari monitor, dan langsung menghampiri sang istri.

“Iya, maaf. Tiba-tiba ada data yang harus Mas periksa. Jadi kamu maunya bagaimana?” Tanya Ervan dengan lembut.

“Kita pulang aja, yuk. Sepertinya Kakak Athar masih belum terbiasa di sini.”

“Hmm, tapi Mas sepertinya harus monitor beberapa data dulu. Sebentar aja kok. Kamu mau nunggu kan?”

“Tapi berapa lama?”

“Ya nggak tahu, tergantung ini benar-benar penting atau nggak...”

Mendengar kata-kata sang suami yang tidak memberikan kepastian, Maya jadi semakin kesal. Apalagi melihat tangisan Athar yang tidak kunjung berhenti.

“Bagaimana kalau Mbak Maya pulang duluan saja sama saya?” Pak Hamzah yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba membuka suara.

“Memangnya Bapak bawa kendaraan?” Tanya Ervan.

“Ya bawa dong. Masa saya ke sini jalan kaki sih, Mas? Bisa pingsan duluan saya, hehehehe. Saya taro mobil di bawah tadi, dekat Pos tempat Pak Karjo.”

“Oh, berarti sama ya dengan mobil saya tadi.”

“Jadi bagaimana? Mau saya antarkan saja Mbak Maya dan Athar-nya?”

Maya tidak menjawab apa-apa dan hanya menatap ke arah sang suami. Dipelototi seperti itu, Ervan jadi tambah pusing. Dalam hati, ia sebenarnya merasa enggan membiarkan istrinya diantar pulang oleh pria tua berotak mesum seperti Pak Hamzah. Namun dia juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Karena apabila ada masalah, bisa fatal akibatnya nanti.

“Kamu nggak apa-apa kalau pulang sama Pak Hamzah?” Tanya Ervan kepada sang istri.

“Memangnya Mas nggak bisa cepetan aja gitu kerjanya?”

“Ya, Mas nggak bisa memastikan, Dek.”

Meski tampak menggerutu, Maya akhirnya menuruti permintaan sang suami. “Ya sudah, terserah Mas saja.”

“Oke kalau begitu. Pak Hamzah, saya titip istri dan anak saya ya. Minta tolong diantarkan sampai rumah,” ujar Ervan kepada sang pria tua.

“Siap, Mas Ervan. Ayo Mbak Maya, kita berangkat sekarang,” ujar Pak Hamzah sambil cengengesan, seperti bocah kecil yang baru dibelikan mainan oleh orang tuanya.

“Berawal dari bantu-bantu pindahan, berlanjut ke ngajak jalan-jalan, siapa tahu berakhir dengan diajak ngadu kemaluan, hahaa,” pikir sang pria tua.



***



“Mbak Maya itu usianya berapa sih? Sudah ada tiga puluh?” Tanya Pak Hamzah begitu mobil yang ia kemudikan mulai bergerak menuju cluster Kembang Arum Asri. Ia seperti tidak mau menyia-nyiakan waktu berduaan dengan sang perempuan cantik, dan berusaha memanfaatkannya untuk melakukan PDKT.

“Hahaa, belum kok Pak. Saya masih dua puluhan. Memangnya sudah kelihatan tua ya?”

Meski masih merasa kesal karena sang suami lebih memilih pekerjaan daripada mengantarkan istrinya pulang, Maya tetap berusaha bersikap lembut di hadapan Pak Hamzah. Ya, setidaknya untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga baru.

“Oh, bukan begitu maksud saya, Mbak Maya. Cuma wajahnya memang terlihat dewasa banget, makanya saya kira sudah tiga puluh,” ujar Pak Hamzah sambil cengengesan. “Tapi tetap luar biasa kok cantiknya, hehehee.”

“Bisa saja Bapak. Ini ceritanya bukan lagi ngerayu saya kan?”

“Kalau iya bagaimana, Mbak? Hee.”

“Ya nggak boleh dong, Pak. Udah ada buntut kayak begini kok masih mau dirayu,” lanjut Maya sambil menunjuk Athar yang tengah duduk di pangkuannya.

“Kata orang, kalau sudah punya buntut justru tempiknya makin nikmat kalau disodok-sodok, apalagi kalau bisa sambil nyedot-nyedot air susumu itu, Mbak Maya,” gumam Pak Hamzah dalam hati.

Pria tua itu berkali-kali menggunakan kesempatan jalan yang lengang untuk menoleh ke samping kiri, di mana Maya tengah memposisikan anaknya agar merasa nyaman. Ibu muda tersebut terlihat begitu anggun saat ia mengusap keringat dari wajahnya yang cantik, dengan hidung mancung dan dagu lancip, membuat pria manapun pasti akan tergoda karenanya.

“Oh iya, panggil saya Maya saja, Pak. Nggak usah pake Mbak. Hee.”

“Haa, oke deh Maya.”

“Bapak sendiri usianya berapa? Sama Pak Santo lebih tua siapa?”

“Duh, jangan ditanya lah, Maya. Jadi berasa tua banget saya. Kami berdua itu seumuran, mungkin hampir sama dengan Bapak kamu.”

“Hmm... Ayah saya sudah meninggal, Pak.”

“Oh. Maaf,” melihat Maya tiba-tiba muram, Pak Hamzah langsung merasa bersalah, “Sa-saya minta maaf kalau sudah bikin kamu teringat akan mendiang Ayah kamu.”

“Iya, Pak. Nggak apa-apa kok,” sebenarnya setiap kali ada orang yang menyebut-nyebut Ayahnya, Maya pasti akan langsung merasa sedih. Namun ia jelas tidak ingin meluapkan emosi tersebut di depan orang asing seperti pria tua yang sedang mengemudikan mobil. “Tapi serius deh, Pak Hamzah tuh masih kelihatan lebih muda tahu, gak kelihatan seumuran sama Pak Santo. Apa sih rahasianya?”

“Gunung...”

Sang pengemudi tampak tidak bisa terlalu konsentrasi akan pertanyaan Maya, karena berkali-kali teralihkan oleh gunung kembar sang perempuan yang membusung. Meski masih terlindungi oleh secarik kaos lengan panjang, tetap saja bentuknya yang indah tidak bisa tertutupi dengan baik.

“Hmm, kok gunung sih Pak?”

“Eh itu... Apa... Maksudnya... Ya mungkin ada gunanya juga saya suka jalan pagi dan mendaki gunung sejak muda. Dan kebetulan pekerjaan saya dulu memang lumayan membutuhkan fisik. Iya, itu maksud saya.”

“Wah, bagus tuh pak kalau suka olahraga dan naik gunung. Asal jangan lupa bawa air minum aja ya, hihihi.”

“Hahaa, iya... Iya... Tapi sekarang kan kalau kelupaan bisa langsung mampir ke Pos-nya Mas Ervan.”

“Betul juga. Eh iya, ngomong-ngomong, Bapak sudah lama tinggal di cluster Kembang Arum Asri?”

“Lumayan, sepuluh tahun mungkin ada.”

“Memang sebelumnya Bapak tinggal di mana?”

“Setelah menikah, saya dan istri sempat tinggal di kota, sebelum kemudian memilih untuk menikmati sisa hidup di dekat Gunung Mandiri sini. Impian kami dulu memang pensiun di dekat gunung yang hawanya sejuk.”

“Lalu anak Bapak?”

“Saya tidak punya anak.”

“Oh, maaf Pak.”

“Hahaa. Tidak apa-apa, Maya. Saya sebenarnya pengen banget punya keturunan, tapi kebetulan istri saya tidak bisa.”

“Mungkin Yang Di Atas ingin memberikan rezeki dengan cara yang berbeda kepada Bapak.”

“Sepertinya begitu, Maya.”

“Dan mungkin rezeki tersebut diberikan lewat kesempatan untuk mencicipi tubuhmu yang sempurna dari atas sampai bawah ini, Maya. Duhh... Toketmu itu menantang banget sih buat dikenyot-kenyot,” gumam Pak Hamzah sambil melirik ke arah ibu muda yang duduk di sebelahnya.

“Tapi selama Bapak tinggal di daerah Kembang Arum ini, pernah ada kejadian yang aneh-aneh nggak sih, Pak?”

“Aneh-aneh bagaimana, Maya?”

“Ya misalnya ada tindak kejahatan seperti jambret, pencurian, perampokan, atau...”

“Atau apa?”

“…atau bahkan pembunuhan.”

Sambil mengemudi, sang pria paruh baya tampak coba mengingat-ingat kejadian kriminal yang pernah terjadi di daerah tempat tinggal mereka, karena jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Daerah Kembang Arum bisa dikatakan hampir bersih dari tindak kejahatan, meski tidak ada yang bisa memastikan apakah itu karena memang benar-benar tidak ada penjahat, atau penjahatnya justru terlalu pintar untuk menyembunyikan aksi mereka.

“Hmm, sepertinya selama ini tidak ada kejadian yang aneh. Ya, paling cuma pertengkaran beberapa pemuda, biasanya masalah perempuan. Tapi yang kayak gitu juga banyak kan di mana-mana, dan tidak pernah ada yang berujung fatal juga.”

“Beneran nggak ada sama sekali, Pak?” Pancing Maya.

“Satu-satunya kejadian yang membuat polisi sampai harus datang ke Kembang Arum ya kasus kebakaran rumah beberapa tahun yang lalu...”

Maya tiba-tiba tertarik dengan cerita tersebut. “Kebakaran? Kebakaran di mana? Bagaimana tuh ceritanya, Pak?”

“Ya waktu itu tiba-tiba ada sebuah rumah yang terbakar habis, sampai menewaskan tiga orang anggota keluarga yang ada di dalamnya. Padahal mereka baru saja beberapa bulan pindah ke sini. Lokasinya dekat kok dari cluster.”

“T-Tragis sekali ya, Pak.”

“Iya, tragis memang. Saya sempat bertemu dengan anggota keluarga tersebut satu atau dua kali, sepertinya mereka orang baik.”

“Itu rumahnya memang tidak sengaja terbakar atau bagaimana, Pak?”

“Waktu itu sih polisi bilangnya ada konsleting atau apa gitu. Saya juga kurang ingat,” jawab Pak Hamzah yang mulai sedikit curiga akan pertanyaan Maya yang bertubi-tubi. “Hmm? Kamu suka sama kasus-kasus seperti itu ya, Maya?”

“Emm, itu... Bagaimana ya...” Maya tampak kesulitan mencari alasan yang pas. “Kebetulan saya suka sekali nonton video-video YouTube yang temanya kriminal-kriminal begitu, Pak. Apalagi kalau ada teori konspirasi di belakangnya, entah kenapa menarik saja meskipun mengerikan, hihihi.”

“Oh, cukup aneh juga ya kesukaan kamu.”

Maya hanya menanggapi dengan tersenyum basa-basi.

Dalam hati, perempuan tersebut cukup senang karena ia bisa mengorek-ngorek informasi tentang kejadian yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu dari Pak Hamzah. Namun di sisi lain, batin Maya seperti terbakar emosi karena kembali mengingat bagaimana para polisi yang tidak kompeten justru menganggap kasus tersebut sebagai kecelakaan. Mereka bahkan tidak menanggapi sama sekali ketika Maya menjelaskan bahwa beberapa hari sebelum kejadian, sang adik yang bernama Eno sempat menelponnya dengan nada suara penuh ketakutan.

Yang lebih mengesalkan, kasus tersebut bahkan tidak diliput oleh satu pun media massa, sehingga satu-satunya sumber informasi tentang kejadian itu hanya bisa didapat Maya dari pihak kepolisian lewat sambungan telepon. Sayangnya, setiap kali Maya meminta konfirmasi akan hal-hal kecil tentang kasus tersebut, jawaban mereka pasti selalu berputar-putar, seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

“Aku pasti akan menyingkap apa yang tersembunyi dari kasus kematian kalian, Ayah, Ibu, Eno. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum bisa memastikan siapa pun yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut, nantinya mendapat balasan yang setimpal atas perbuatannya,” batin Maya. Begitu emosinya perempuan cantik tersebut, hingga membuat giginya bergemeretak.

Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Pak Hamzah akhirnya memasuki gerbang cluster Kembang Arum Asri. Meski sedikit kecewa, pria tua itu tetap mengarahkan kendaraannya ke arah kediaman Maya dan Ervan, lalu berhenti tepat di depannya.

“Terima kasih ya Pak atas tumpangannya.”

“I-Iya. Sama-sama, Maya.”

“Eh, Kakak Athar sudah tidur rupanya,” gumam perempuan tersebut.

Begitu asyiknya ia mengobrol dengan Pak Hamzah, sampai tidak sadar kalau anaknya sudah terlelap di pangkuannya. Karena itu, ia berusaha turun dari mobil dengan hati-hati, agar tidak membangunkan sang buah hati.

Sebelum menutup pintu, Maya sempat melirik ke arah Pak Hamzah yang baru saja mengantarkannya pulang. Pria paruh baya itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dari raut wajahnya, membuat Maya jadi merasa tidak enak. Perempuan itu khawatir kalau hal ini justru bisa menjadi awal yang tidak baik bagi hubungannya dengan sang tetangga.

“Bapak mau mampir dulu?” Tanya perempuan tersebut pada akhirnya.

Meski sebenarnya pertanyaan itu hanya basa-basi, Pak Hamzah jelas tidak mau melewatkan kesempatan emas itu. Ia pun mengangguk dengan yakin.

“Boleh!”

Begitu mereka berdua turun dari mobil, Maya mempersilahkan Pak Hamzah untuk duduk di teras rumah. Pada malam sebelumnya, sang perempuan juga menjamu pria tua lain yang bernama Pak Santo di tempat yang sama.

“Tunggu di sini saja ya, Pak. Nggak enak kalau di dalam. Khawatir jadi fitnah kalau kita hanya berdua di dalam saat Mas Ervan nggak ada,” ujar Maya sambil memberikan senyum termanisnya.

“Duh, sudah cantik, bodinya seksi, perilakunya pun alim luar biasa. Kamu itu kenapa seperti nggak berhenti-berhenti menambah alasan bagiku untuk bisa memilikimu sepenuhnya sih, Maya,” gumam Pak Hamzah dalam hati.

“Pak Hamzah, kok bengong? Saya ke dalam dulu ya sebentar, mau taro Kakak Athar di kamar.”

“Eh, i-iya Maya. Silakan.”

Tak lama kemudian, Maya kembali ke teras rumah sambil membawa segelas air minum, dan menghidangkannya di hadapan Pak Hamzah.

“Silakan diminum dulu, Pak. Biar kembali segar,” ujar ibu muda tersebut yang kemudian duduk di sebuah bangku lain yang ada di sana.

“Terima kasih, Maya.”

“Berarti sekarang Pak Hamzah selain menjalankan hobi olahraga dan naik gunung, apa ada kegiatan lain?”

“Nggak ada sih, Maya. Karena saya dulu pernah jadi kuli bangunan, paling ya kalau ada yang butuh bantuan untuk bangun rumah atau semacamnya, pokoknya pekerjaan yang pakai fisik begitu, saya suka ikut bantu.”

“Oh begitu. Kalau istri Bapak?”

“Dia sih di rumah saja. Paling kalau ada permintaan bikin catering, baru dia sibuk. Itu pun di waktu-waktu tertentu saja, tidak sering juga.”

“Kapan-kapan ajak dong istrinya main ke mari.”

“Dengan senang hati, Maya. Atau mungkin kalau Mas Ervan lagi tugas di Pos pengamatan, kamu boleh loh mampir ke rumah saya. Istri saya pasti senang kalau ada teman ngobrol.”

“Huuaaa... Huaaaa...”

Belum sempat Maya menjawab ajakan tersebut, tiba-tiba terdengar suara tangisan dari dalam rumah.

Perempuan tersebut melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya, dan tampak baru menyadari sesuatu.

“Duh, tunggu sebentar ya, Pak Hamzah. Saya tinggal netekin Athar dulu. Sepertinya sudah waktunya dia untuk minum susu,” ujar Maya sambil masuk ke dalam rumah.

“Apa tidak salah yang aku dengar tadi? Mbak Maya? Mau apa? Netekin? Susu? Wow... Apakah itu sebuah kode? Hahaa...” Pak Hamzah hanya tertawa-tawa sendiri dengan pikiran mesumnya.

Begitu ditinggal sendirian, Pak Hamzah mulai melihat-lihat bentuk rumah yang baru saja direnovasi tersebut setelah lama tidak ditinggali. Karena itu, kondisinya benar-benar terasa seperti bangunan baru. Meski begitu, pria tua tersebut tetap menemukan beberapa kesamaan dengan rumah yang ia tinggali bersama sang istri.

“Hmm, sepertinya memang semua rumah di cluster ini punya model dan detail yang sama persis. Cuma posisinya saja yang kadang dibolak-balik dari kiri ke kanan,” ujarnya pada diri sendiri, sebelum menyadari sebuah fakta penting. “Eh, kalau begitu, jangan-jangan itunya juga sama?”

Dengan gerak-gerik yang sedikit mencurigakan, Pak Hamzah mulai melirik-lirik ke dalam rumah Maya yang pintunya memang dibiarkan terbuka. Kondisi di dalam tampak begitu sepi karena sang pemilik sedang sibuk memberikan air susu kepada buah hatinya di dalam kamar.

Perlahan, Pak Hamzah bangkit dari tempat duduknya dan mulai beranjak masuk ke dalam rumah. Peci yang selalu terpasang di kepalanya, tidak lupa ia letakkan dulu di meja kecil yang ada di teras. Ia terus bergerak menuju sebuah toilet merangkap kamar mandi yang ada di lantai dasar, lalu masuk ke dalamnya. Pintu toilet tersebut pun ia tutup, meski tidak ia kunci. Semua perlengkapan di dalamnya persis dengan apa yang ia temukan di rumahnya, termasuk keberadaan sebuah bak mandi untuk menampung air.

Pak Hamzah kemudian melirik ke arah atas, dan tersenyum penuh kemenangan saat melihat dua buah blok transparan yang memang terpasang untuk memberikan pencahayaan yang lebih baik ke dalam toilet. Dengan hati-hati, pria paruh baya itu kemudian menaiki sisi bak mandi hingga wajahnya berada di posisi yang setara dengan blok transparan tersebut.

“Nah, benar kan. Persis sama dengan yang ada di rumahku. Sudah kuduga, pembuat rumah di cluster ini ternyata menggunakan material yang sama,” gumam Pak Hamzah.

Blok transparan yang terpasang di toilet tersebut ternyata bisa berfungsi layaknya cermin satu arah yang digunakan di ruang interogasi kepolisian. Dari sisi seberang, blok tersebut memang terlihat buram. Namun dari sisi dalam toilet, seseorang bisa dengan leluasa melihat pemandangan di baliknya.

Dan dari posisi di mana Pak Hamzah berada saat ini, ia bisa melihat ke arah ruang tidur utama yang posisinya tepat di samping toilet tersebut. Karena itu, sang pria paruh baya tersebut kini bisa leluasa melihat pemandangan indah seorang ibu muda yang tengah meneteki buah hatinya di atas ranjang.

“Duh, toketmu itu lho Maya. Nggak terlalu gede, nggak terlalu kecil, kayaknya pas banget di tangan saya... Bentuknya juga indah banget, apalagi kalau putingnya lagi disedot-sedot anakmu kayak gitu... Belahannya apalagi, bikin aku pengen cepet-cepet mendaki kedua gunung indah itu.”

Maya memang masih menggunakan kaos yang ia kenakan saat pergi ke Pos di Gunung Mandiri. Namun ujungnya telah ia angkat hingga ke batas leher, menampakkan tubuh bagian atasnya yang begitu mulus dan putih. Pusar yang berada di bagian bawah perut pun turut menarik perhatian. Terlihat sekali kalau perempuan tersebut merupakan sosok yang selalu merawat fisiknya dengan baik.

Menariknya, sebuah bra berwarna ungu tampak tergeletak di sisi ranjang yang lain.

“Jadi kamu ternyata tipe perempuan yang lebih suka melepas beha ya kalau lagi netekin anak. Bagus kalau begitu, Maya, jadi akan lebih mudah kalau aku mau meremas-remas toketmu itu kapan pun aku mau, hee.”

Dalam diam, Pak Hamzah mencermati betul bentuk dan lekuk payudara Maya yang bisa terlihat jelas dari posisinya berdiri saat ini. Bulatan buah dada tersebut tampak sempurna, seperti buah melon berukuran sedang. Kekencangannya pun pas, tidak terlalu mengendur seperti para perempuan yang sudah dimakan usia. Apalagi bila memperhatikan bagian areola yang berwarna coklat muda, dengan puting yang mengacung tegak, Pak Hamzah pun sampai harus meneguk ludahnya sendiri saking terpananya dia akan keindahan sosok perempuan yang sudah bersuami dan beranak satu itu.

“Putingmu itu segar sekali, Maya, seperti puting anak kuliahan saja. Jadi nggak sabar aku bayangin bisa ngemutin puting perempuan berjilbab yang cantiknya gak ada tandingan seperti kamu, uhuuu... Coba sini Athar minggir dulu, gantian Om Hamzah yang mau nenen sama Mama kamu.”

Tanpa terasa, kemaluan Pak Hamzah mulai berdiri tegak di balik celana trainingnya. Meski masih terlindungi oleh secarik celana dalam, batang kejantanan itu seperti tak tahan untuk melesak keluar. Karena merasa tak tahan, sang pria tua mulai mengelus-elus penisnya tersebut dengan tangan dari luar celana, membuatnya semakin bangkit dari posisi tidur.

“Baru lihat toketnya saja sudah bikin horny begini, apalagi kalau aku dikasih lihat belahan yang ada di selangkangan kamu itu, Maya, hee. Langsung aku bikin kejang-kejang kamu nanti.”

Namun tak lama kemudian, tiba-tiba Maya melepaskan putingnya dari kuluman sang buah hati, yang sepertinya sudah kembali terlelap. Perempuan cantik itu pun kemudian menutup kembali kaosnya dan bangkit dari ranjang.

Hal tersebut membuat Pak Hamzah panik, karena itu artinya ia harus segera kembali ke tempatnya menunggu di teras. Akan sangat sulit untuk menjelaskan mengapa ia berada di kamar mandi ini. Namun karena rasa kalut yang mendadak datang, pria berperut buncit itu tidak bisa menjaga pijakannya di pinggir bak mandi, hingga akhirnya tergelincir dan ambruk ke lantai kamar mandi.

“Aaaarrrgghhh !!”

Pak Hamzah tidak bisa menahan teriakan karena rasa perih yang seketika muncul. Untung saja ia bisa menjaga agar kepalanya tidak langsung terbentur lantai. Namun akibatnya, urat kaki sang pria tua pun menjadi korban.

“Lho, Bapak kenapa?”

Tiba-tiba terdengar suara lembut Maya yang langsung menghampiri Pak Hamzah. Karena posisi pintu kamar mandi itu tidak dalam keadaan terkunci, perempuan pemilik rumah itu pun bisa dengan mudah membukanya. Ia tampak kaget ketika menemukan Pak Hamzah berada di dalamnya.

Dengan sigap, istri dari Ervan itu langsung menggapai tangan Pak Hamzah, demi membantu sang pria untuk bangkit dari posisi terlentang menjadi terduduk di kamar mandi.

“Bapak kok ada di sini?” Tanya Maya bingung.

“Tadi saya kebelet buang air kecil, Maya. Jadi mohon maaf kalau saya lancang langsung masuk saja ke rumah ini.”

“Ta-tapi… bagaimana Bapak tahu kalau kamar mandinya di sini?”

“Ya kan semua rumah di cluster kita modelnya sama semua, Maya. Jelas saya tahu di mana posisi kamar mandinya.”

“Oh iya, benar juga. Lalu kenapa Bapak bisa jatuh? Kepleset?”

“Maklum, sudah tua. Tadi tidak sengaja tergelincir karena lantai yang licin.”

Dalam hati Maya sebenarnya meragukan hal tersebut, karena seingatnya tadi pagi ia sempat membersihkan lantai kamar mandi tersebut, agar tidak licin.

“Bapak bisa berdiri dan jalan?”

Pak Hamzah coba mengangkat tubuh dengan bertopang pada kedua tangannya, namun gagal. Rasa perih di pergelangan kaki sebelah kanan membuat pria tua tersebut kembali terduduk pasrah di lantai kamar mandi.

“Sepertinya kaki saya sedikit terkilir...”

Bingung harus berbuat apa, Maya akhirnya sedikit berjongkok dan menyodorkan bahunya untuk menjadi tumpuan bagi sang pria berperut buncit itu.

“Sini saya bantu berdiri, Pak.”

“Ng-Nggak apa-apa nih, Maya?”

“Iya, nggak apa-apa, Pak. Memangnya Bapak mau terus-terusan duduk di lantai kamar mandi begitu?”

“Iya, sih. Mohon maaf ya, Maya.”

Dengan hati gembira ria, Pak Hamzah langsung mengalungkan tangannya ke bahu Maya yang begitu lembut, tetapi cukup bagi tumpuannya agar bisa berdiri dengan lebih baik. Meski kaki kanannya masih terasa perih, tetapi bantuan dari Maya membuat pria tua itu mampu berjalan meski hanya dengan satu kaki.

Ketika dipapah oleh Maya, Pak Hamzah merasa begitu bahagia bisa menyentuh langsung tubuh indah yang sejak tadi telah menjadi objek kekagumannya. Sayang sekali tangannya tidak cukup panjang untuk menggapai pinggiran payudara, dan ia pun harus puas dengan merangkul leher perempuan cantik itu saja.

Begitu sampai di ruang tamu, Maya pun membantu Pak Hamzah duduk di atas sofa.

“Bapak masih belum bisa jalan?” Tanya Maya.

Pak Hamzah mengangguk, sambil meringis menahan sakit yang tiba-tiba menyerbu. Ia tidak menyangka kalau efek jatuh di kamar mandi bisa separah ini. Namun ia lebih tidak menyangka apa yang kemudian ia dengar dari bidadari menawan yang tengah bersamanya.

“Bapak mau saya pijat kakinya? Biar bisa cepat jalan lagi.”

“Memang Mbak Maya bisa pijat?”

“Dulu pernah diajarin sama Ibu saya.”

Membiarkan kakinya disentuh oleh tangan lembut perempuan seperti Maya, siapa sih yang akan menolak? Pikir Pak Hamzah.

“Boleh Mbak, kalau tidak merepotkan.”

“Baiklah. Maaf ya Pak, akan sedikit sakit soalnya.”

Maya kemudian mengangkat kaki Pak Hamzah hingga naik ke atas sofa. Sedangkan ia sendiri duduk di lantai, dengan posisi kedua kaki sejajar dan lutut yang menekuk. Tangannya yang lembut kini mulai mengurut-urut aliran darah dan sambungan persendian di pergelangan kaki sang pria tua.

Dari posisinya saat ini, Pak Hamzah bisa melihat bongkahan payudara Maya yang berada di balik kaos lengan panjang. Apalagi ketika ibu muda tersebut berkali-kali menundukkan kepala saat memijat kakinya.

“Maya sadar nggak sih kalau puting payudaranya itu sedikit nyeplak di kaosnya? Dia kayaknya belum sempat pake beha lagi deh, karena buru-buru mau nolongin aku. Sumpah rejeki setahun langsung kepake dalam sehari ini mah...” Batin Pak Hamzah.

Namun pria tua itu tampak kecewa karena tidak lama kemudian, Maya menghentikan pijatannya. Hal itu pun mengakhiri mimpi indah Pak Hamzah yang bisa menikmati pemandangan luar biasa indah dari jarak yang begitu dekat.

“Sudah, Pak. Coba digerakkan lagi kakinya, masih sakit nggak?”

Pak Hamzah sebenarnya ingin sekali berkata tidak, agar ia kembali dipijat oleh Maya. Namun anehnya, kakinya yang semula sakit memang benar-benar sudah membaik.

“Wah, sepertinya sudah mendingan neh. Ternyata pintar juga ya kamu Maya. Ini sih namanya bakat.”

“Pak Hamzah bisa saja,” jawab Maya sambil tersenyum. “Kalau begitu, Bapak bisa pulang sendiri kan?”

“Eh, bi-bisa Maya... Nyetir mobil ke rumah sih bukan masalah lagi kalau sudah enakan begini.”

Pak Hamzah sebenarnya merasa sedikit sakit hati karena nada bicara Maya yang seperti ‘mengusirnya’. Namun ia tentu tidak mau gegabah di awal perkenalannya dengan ibu muda yang baru ia temui beberapa kali ini.

“Sepertinya kamu ini tipe jinak-jinak merpati ya, Maya. Akan lebih nikmat apabila aku menikmati tubuhmu di saat kamu benar-benar menginginkannya. Hahaa...” Batin pria tua tersebut.

Begitu Pak Hamzah keluar dari rumah, ia langsung mengambil pecinya yang ada di atas meja, lalu terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan.

Maya tampak melepas kepergian Pak Hamzah dari teras, sebelum kemudian menyadari ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya.

“Ya ampun, dari tadi aku ternyata belum pake beha ya? Jangan-jangan tadi Pak Hamzah juga sempat menyadari hal itu? Ya ampun, bego banget sih kamu, Maya! Bego ah!” gumam perempuan cantik itu sambil berlari masuk kembali ke dalam rumah.

Ia tidak menyadari keberadaan sepasang mata yang sedari tadi mengawasinya dari balik sebuah pohon besar yang berada di dekat rumah tersebut.



***



Malam sudah menjelang di cluster Kembang Arum Asri, dan hampir semua penghuninya sudah tertidur di peraduan mereka masing-masing. Namun di salah satu rumah, seorang pria tua tampak tengah asyik menggerakkan pinggulnya maju mundur di atas ranjang, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang gempal.

Di bawahnya, seorang perempuan yang juga sudah dalam kondisi telanjang tampak begitu menikmati genjotan pria tersebut. Rambutnya yang panjang tampak tergerai bebas, menghiasi wajahnya yang tidak bisa dibilang buruk rupa.

“Nggghhhh... Nikmat banget bisa genjot-genjot memek kamu yang sempit ini Maya... Ahhhh...” erang sang pria yang tampaknya sudah tidak bisa menahan diri untuk melepaskan seluruh birahi yang sudah ia tahan sejak lama.

Sang perempuan yang sedang ia tindih hanya diam seribu bahasa, meski mulutnya kini tengah terbuka sedikit. Lidahnya yang hangat sedikit terjulur keluar karena desakan libido yang juga telah begitu membludak.

“Izinkan aku menjadi suamimu malam ini, Maya. Mumpung Mas Ervan lagi nggak ada... Ahhh...”

Semakin lama, tusukan demi tusukan yang dilancarkan pria tua tersebut bertambah intens, seiring dengan keringat yang mulai mengucur di tubuh keduanya. Mereka seperti tidak peduli akan hari esok yang akan menjelang.

“Enak mana kontol aku dengan kontol suamimu, Maya? Cepat jawab !!”

“Lebih enak kontol kamu, Pak. Nggghhh...” ujar sang perempuan lirih.

“Masa sih? Kok bisa begitu Maya?”

“Punya Bapak lebih besar, lebih panjang, dan lebih tahan lama dibanding Mas Ervan yang baru sekali celup saja sudah langsung keluar. Hmmpphhh...”

“Ahhh, pantes tadi kamu pijet-pijet saya sambil gak pake beha ya? Ternyata emang udah pengin banget dientotin sambil diremes-remes toketnya kayak gini ya? Hahaa... Di balik jilbab alim yang selalu kamu pakai, ternyata kamu ini perempuan nakal juga ya, Maya? Ahhhh...”

“Saya cuma berani gini sama Pak Hamzah saja, nggak mau sama yang lain. Nggghhh...”

“Bener? Sama Pak Santo atau Pak RT juga nggak mau? Hahaa...”

“Nggak mau Pak. Maunya sama Bapak aja. Ahhhh... Ayo cepetan keluarin peju kamu di memek aku Paaaaakkk...”

“Mau bikin adek buat Athar ya? Hahaha... Sini aku siram rahim kamu biar hangat, Maya. Biar kamu jadi milikku sepenuhnya. Aaaaaahhhhhhhhh...”

“Aaaaaaaaaahhhhhhhhh...”

Lolongan penuh birahi kedua insan tersebut seperti menjadi penanda sampainya mereka ke puncak syahwat yang sudah mereka nanti-nantikan. Tubuh sang pria tua pun ambruk di atas sang perempuan, lalu mengecup-ngecup pipinya dengan lembut. Ia sengaja tidak segera mencabut batang kejantanannya dari liang senggama sang perempuan, demi membuat sensasi yang tidak bisa dilupakan oleh mereka berdua.

“Maafkan aku ya, Bu.”

“Iya, Pak. Aku ngerti kok.”

Mereka pun saling berpelukan mesra, dengan tubuh yang masih tanpa busana, seperti yang selalu mereka lakukan selama bertahun-tahun pernikahan mereka.





BAGIAN 12 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 13



NEXT WEEK : Ada AIDA
IN TWO WEEKS : Ada INTAN
 
Itu yang bilang macet-macet pengen tak timpuk palanya. Wong dah jelas ada tulisan next week & in two weeks kok. Brati tiap weekend ada update entah hari sabtu atau minggu.

Drpd nulis tanda tanda macet. Mending semangatin dengan memberi komentar yang menarik, misal berteori apa gimana..

Btw like dulu baru baca ya hu.
 
waduh kok ini si maya ga ada angin ga ada hujan kok langsung di genjot ya , tiba2 aja udah bugil ngentot ama pak hamzah

apakah ada tulisan yang terhapus atau gimana ya ? mau ngocok tapi kok flow nya tiba2 gini haha

edit: ternyata istrinya pak hamzah sedang maen roleplay, wakakak
 
Terakhir diubah:
waduh kok ini si maya ga ada angin ga ada hujan kok langsung di genjot ya , tiba2 aja udah bugil ngentot ama pak hamzah

apakah ada tulisan yang terhapus atau gimana ya ? mau ngocok tapi kok flow nya tiba2 gini haha

Aduh, bagaimana ini suhu @killertomato ? Jangan-jangan ada tulisan yang terhapus, wuaaaa ...

Eh, sepertinya nggak ada, hihiii
 
terima kasih updatenya, mungkin maya akan mencari informasi kematian keluarganya dengan mengandalkan tubuhnya kepada pria tua cluster kembang arum
 
Itu yang bilang macet-macet pengen tak timpuk palanya. Wong dah jelas ada tulisan next week & in two weeks kok. Brati tiap weekend ada update entah hari sabtu atau minggu.

Drpd nulis tanda tanda macet. Mending semangatin dengan memberi komentar yang menarik, misal berteori apa gimana..

Btw like dulu baru baca ya hu.
Macet juga biasa aja, namanya cerita bersambung kadang moodnya ngilang, nikmatin aja yang ada ya kan hu
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd