Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Underestimated

otakrusak

Suka Semprot
Daftar
16 Nov 2013
Post
16
Like diterima
214
Lokasi
In your dream
Bimabet
Sekian tahun berlalu, ternyata Forum Semproter masih ada.
Saya cek...karya saya dulu (lain judul "MUDIK") sudah tak terlihat, tapi terarsip di backup server (?)
Sebagai rasa terima kasih forum ini pernah membantu menyemprot dimasa lalu, juga efek corona .... saya upload karya pribadi yang selama ini jadi simpanan. Untung ngga hilang saat reformat PC

Karya pribadi diinsertkan diagram/gambar demi mempermudah imajinasi agar lebih semprot (adblocker agar di nonaktifkan)

UNDERESTIMATED

01 Anggap Enteng "Widia"
02 Meng-kadali Buaya "Ida"
03 Widia dan Ida antara Submisif dan Adiktif

03a​
03b
03c
04 Ida Adiktif
04a​
04b
05 Widia's Dresscode
06 Sertfikasi Therapis - Ida
07 Persembahan Bagi Suami
08 Kandidat Babon dan Target Operasi Bu Ustad dan Sitomboi
09 Ronda
10 Self Pity Self Destruck Babon - Fitri
11
12
13

Bab 01 adalah karya orang lain, yang direvisi sedemikian rupa, dan dijadikan Fondasi Untuk bab-bab selanjutnya.
 
Terakhir diubah:
Reserved

01 Anggap Enteng Widia​

Pakde mendadak menghubungi ingin datang dari Surabaya berkunjung, bila diijinkan. Abi suami Widia, bersemangat mengijinkan apalagi sebentar lagi dirinya akan tugas seminggu luar kota. Kasihan istrinya sendirii.

Widia enggan, tapi mendengar semangat dan argumentasi Abi, tak membantah lagi. Pakde datang sehari menjelang penugasan Abi. Perawakan Pakdenya semakin kurus dibanding dulu. Tujuh tahun lalu. Diusianya sekarang yang 58 baru saja pensiun, praktis 7 tahun sudah menduda.

Saat keberangkatan, Abi, hati Widia mulai waswas, terkenang kejadian tujuh tahun lalu. Berdua saja dirumah, Widia jadi semakin hati-hati terhadap pakde. Pintu kamar selalu dikunci dari dalam. Tetapi masih saja Widia kecolongan sampai suatu ketika terulang kembali perisitiwa masa lalu yang sering disesalkan. Sore itu Widia habis senam seperti biasanya sekali dalam seminggu. Setelah mandi Widia langsung makan untuk kemudian istirahat di kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam, Widia jadi mengantuk dan langsung tertidur. Celakanya, Widia lupa mengunci pintu kamar. Setengah bermimpi, Widia merasakan tubuhnya begitu nyaman. Rasa penat dan pegal-pegal tadi berangsur hilang. Bahkan Widia merasakan tubuhnya bereaksi aneh. Rasa nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatnya melayang-layang. Widia seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa bagian-bagian peka di tubuhnya. Tanpa sadar Widia menggeliat merasakan semua ini sambil melenguh perlahan.

Dalam tidurnya, Widia mengira ini perbuatan suaminya yang memang akhir-akhir ini suka mencumbunya di kala tidur. Namun begitu ingat bahwa ia masih di luar kota, Widia segera terbangun dan membuka matanya lebar-lebar. Hampir saja Widia menjerit sekuat tenaga begitu melihat pakde sambil tersenyum tengah menciumi betisnya, sementara dasternya sudah terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh pahanya yang putih mulus.

"Pakde! Ngapain ke sini?" bentaknya dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah babu cucinya.

"Widia, maafkan pakde. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang", ia malah berkata seperti itu bukannya malu didamprat olehnya.

"Pakde nggak boleh. Keluar, saya mohon", pintanya menghiba karena dilihat tatapan mata pakde terasa liar menggerayang ke sekujur tubuhnya. Widia buru-buru menurunkan daster menutupi pahanya. Widia beringsut menjauhinya dan mepet ke ujung ranjang. Pakde kembali menghampirinya dan duduk persis di sampingnya. Tubuhnya mepet kepadanya. Widia semakin ketakutan.

"Kamu tidak kasihan melihat pakde seperti ini? Ayolah, kita khan pernah melakukannya", desaknya.

"Jangan bicarakan masa lalu. Widia sudah melupakannya dan tak akan pernah akan mengulanginya", jawabnya dengan marah karena diingatkan peristiwa yang paling disesali.

"OK. Pakde nggak akan cerita itu lagi. Tapi kasihanilah pakdemu ini. Sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakannya lagi", lanjutnya kemudian.
Pakde lalu bercerita bahwa ia tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain bude dan dirinya. Widia setengah tak percaya mendengar omongannya. Pakde memang pandai sekali membuat wanita tersanjung. Dan entah kenapa Widiapun merasakan hal seperti itu. Ketika ditatap wajahnya, Widia jadi trenyuh dan berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan hasrat pakde yang kelihatan sudah menggebu-gebu.

‘Wid, pakde beberapa kali coba mendekati perempuan lain, tapi entah kenapa tidak pernah timbul hasrat. Mungkin karena selalu terkenang budemu dan kamu” Widia mendengar keluhan dalam suara pakdenya.

“Tapi Pakde ....” Nada amarah disuaranya mulai berkurang

“Pakde sudah sendirian sekian lama, mencoba menjauh dari kamu Wid, tapi kejadian dulu terlalu berkesan bagi pakde, kenangan itu selalu menghambat keinginan pakde ke wanita lain. Bertahun-tahun pakdemu ini selalu loyo pada wanita lain, sehingga pakde takut untuk jadi serius’, semakin gencar lelaki lihai ini membujuk rayu.

‘Masa sih Pakde ...” nada marah mulai berganti keheranan.

“Pakde juga tak mengerti’ Sembari dirinya memberanikan diri merangkul bahu ponakannya. “Ketika tadi tak sengaja pakde melihat kamu tidur, entah kenapa tanpa sadar hasrat Pakde berkobar-kobar, sudah bertahun-tahun pakde tak pernah seperti begini, entah kenapa melihat kamu yang cantik tertidur, pakde jadi lupa diri. Maafkan pakde ya...” Sembari mengecup dahi ponakannya.

“Iya lah pakde, tapi cepat keluar, nanti terlihat simbak” Nada suaranya kembali ramah.

“Tapi nduk, bagaimana ini pakde tak tahan niiii, ” nada pakde mulai sedikit genit membujuk.

Widia tahu persis pakde akan berbuat apapun bila sudah dalam keadaan seperti ini.

“Tidak pakde” suaranya tegas, Widia tak akan mengulangi lagi kejadian dulu”

“Tapi nduk...”

“Tak ada tapi, sekarang Pakde keluar yaaa?” suaranya bak membujuk anak kecil, bercanda

Mendengar ketegasan ini, laki tua lihai ini mengubah taktik

“Iya deh nduk, pakde keluar, tapi gimana yaa ngiluuu niii, oom kecilmu terlanjur bangun”

Widia, sdikit tercekat. Mata tua lihai, melihat lubang kelemahan

“Aduh…duh… udah lama banget ngga bisa bangun begini… aneh rasanya…” Lihai mengalihkan ke topik lain

Keponakannya kian bangkit keheranan

Widia tanpa sadar didorong kenangan reflek meraba tonjolan keras dibalik kolor pakdenya ‘Wah ... keras” benak Widia kaget.

“Oom kecilmu mendadak kengen lho nduk sama kamu, kasih salam dong?” merubah ke humor porno, dengan niat menggelitik kenangan ponakannya dimasa lalu

Tanpa sadar Widia meremas lembut tonjolan keras itu. Bangkit ingin tahu kewanitaannya.

“Nduk, baiklah kalau kamu tidak bersedia lagi, ya nggak apa-apa, itu tandanya kamu istri yang baik, tapi kalau boleh pakde minta tolong, rasanya pusing ni dan ngilu, bertahun-tahun tidak pernah oom kecilmu bangun. Entah kenapa ketemu kamu kok mendadak bangun, bantuin tidurin dong ya sayang? Wajahnya di bikinkan selucu mungkin, menutupi niat porno dalam dirinya.

“Ahh pakde ...emoh” tergugah sedikit ingin tahunya

“Nduk kamu kan sudah dewasa, masa orang tua seperti pakde harus masturbasi seperti anak remaja? Kamu ingin pakde malam-malam begini nyari tempat pelacuran?”

Widia terdiam, tak rela juga rasanya saudara dekatnya harus ketempat kotor.

“Sebentar aja kok nduk.., kalau nggak biar pakde tunggu disini sampe oommu tidur lagi”

Bermenit-menit berlalu, keduanya saling adu keras kepala.

Lelaki tua ini, lihai berakting resah…

Widia melirik tonjolan dibalik celana pakdenya, Akhirnya batin Widia sedikit mengalah dan mau memasturbasi, agar Pakdenya mau segera keluar kamar.

“Baiklah pakde, tapi kali ini saja yaaa, jangan sampai terulang lagi”

Dan inilah kesalahan besarnya. Widia terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Dipikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Disentuhnya tonjolan kolor itu dan ternyata sangat keras. Rasa ingin tahunya kian membesar. Diselusupkan tangannya kedalam kolor, Widia langsung menyentuh batang panas dan keras. Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya ditarik dipelorotkan turun, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Widia agak terkesima juga melihat batang pakde yang masih gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.

Tangannya bergerak canggung. Bagaimananpun juga baru kali ini Widia memegang batang orang selain milik suaminya. Kejadian dulu meski dulu pernah merasakannya tetapi bukan memegang. Tapi itu dulu sekali.

Didorong iba dan ingin tahu, perlahan-lahan tangannya menggenggam batangnya. Didengar pakde melenguh seraya menyebut namanya. Widia mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah pakde meringis menahan remasan lembut tangannnya pada batangnya. Widia mulai bergerak turun naik menyusuri batangnya yang sudah teramat keras. Ingin tahunya sudah kian membesar, kok sudah demikian tua masih sangar perkasa, kalah batang milik suaminya.

Sekali-sekali ujung telunjuknya mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya. Didengar pakde kembali melenguhkan ngilu akibat usapannya. Widia tahu pakde sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air maninya. Selesai sudah, pikirnya mulai tenang.

Dua menit, tiga sampai lima menit berikutnya pakde masih bertahan meski kocokannya sudah semakin cepat.

“Aduh..Wid...aduhhhhh...” pakde menyuarakan keluhannya sembari dengan sengaja merangkul, sambil mengeluhkan suaranya ditelinga Widia’

“Hmmmm sebentar lagi... tampaknya” Ujar Widia dalam hati membiarkan pakdenya merangkul tubuhnya dan mendekap sisi wajahnya. Terasa nafas panas pakdenya mendera kupingnya menimbulkan rasa geli.

“Sshhhhh....shhhhh...shhhh...” Pakde sengaja mendesis ditelinga Widia tiap kali jemari itu mengocok, sambil mulai mendekap erat tubuh seksi ponakannya. Widia memeras-meras keras batangnya, seolah mengundang ... ayo... kerahkan kemampuanmu... Silaki tua merasakan saatnya sudah tepat, sebelah tangannya yang bebas mulai mendekap buah dada Widia.

Fellatio-03-Cinema-Stroke.jpg


“Pakde....” Tangan kiri widia menepis tangan pakdenya.

“Ohhhh maaf nduk..... tak sengaja ... habis enak sekali nduk...”

Dengan sebal Widia kembali mengocok batang itu

Dirasakan tangan pakde menggerayang lagi ke arah dadanya. “Pakde!!!” Widia kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.

"Pakde mau...shhh... ohh....biar cepet keluar.. ouh….hampir nii ndukk", kata pakde memberi alasan.

Widia tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena dipikir ada benarnya juga. Biar cepat selesai, katanya dalam hati. Pakde tersenyum melihatnya tidak melarangnya lagi. Ia dengan lembut mulai meremas-remas payudara di balik dasternya. Widia memang tidak mengenakan bh setiap akan tidur, jadi remasan tangan pakde langsung terasa karena kain daster itu lembut dan tipis. Sebagai wanita normal, Widia merasakan kenikmatan atas remasan ini. Apalagi dibarengi tangannya menggenggam batangnya dengan erat, berahinya sedikit banyak bergolak, walaupun kuat pertahanan moral dan akal sehatnya, tetapi mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati Widia sudah bertekad sekuat tenaga untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan dirinya juga. Karena tentunya setelah ini selesai pakde tidak akan berbuat lebih jauh lagi seperti dulu.

“Wid tetemu kenyal sekali, masih sama seperti dulu, hebat kamu menjaga badan” berganti ganti memilin puting dan meremas gundukan daging dari luar.

Widia tak menjawab, tapi tak sadar membalas pujian dengan membetot ekstra keras.”Eghhhhh....” sengaja pakde teroura terpekik sembari membalas dengan meremas kuat buah dada Widia.

Kegemasan birahi mulai menjangkiti Widia, sesekali dirinya sengaja mengasari batang pakdenya, yang otomatis dibalas dengan remasan kuat”, seolah terjadi komunikasi saling balas.

Sesekali serangan Widia mulai menjadi semakin sering, yang kontan diimbangi dengan sebelah tangan pakde lain merangkul leher Widia, menjamah susunya yang lain. Kini kedua jemari pakde mulai bekerjasama mengimbangi kocokan Widia.

Widia mulai kesulitan menahan birahi, saat kedua susunya beberapa saat dipermainkan tangan ahli. Bergantian pentilnya dipelintir sembari susu sebelahnya diremas lembut. Mulailah terjadi perlombaan kecil-kecilan.

"Widia sayang.., buka ya? Sedikit aja..", pinta pakde kemudian.
"Jangan pakde. Tadi khan sudah janji nggak akan macam-macam..", ujarnya mengingatkan.
"Pakde kangen melihat" Sembari kedua jempolnya mengurut keras pangkal payudaranya.

“Ngghhhhhh ....” Bak kerbau dicocok hidung, sebelah tangan Widia tanpa sengaja memelorotkan dasternya jatuh diperutnya, memampangkan kedua bongkahan buah dada yang menggantung indah.

Widia jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Tampak menggantung sepasang payudara indah membuat nafas pakde semakin memburu kencang melihatnya setengah telanjang.

"Oh.., Widia kamu benar-benar cantik sekali, tubuhmu indah sekali", pujinya sambil memilin-milin puting susunya.

Widia terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak diinginkan. Dirinya harus bertindak cepat. Birahinya mula bangkit tak tertahan, susunya dipilin dan diremas-remas. Widia mulai panik. Batinnya bertanya haruskah memakai jurus rahasia? Jurus yang hanya jadi milik suaminya?

Dalam kebingungan, pakdenya semakin mempergencar serangan pilinan dan remasannya, membuat otak widia tak mampu berpikir.

Satu ketika saat semakin tak tahan kenikmatan susunya dipilin dan diremas, mendadak dirinya bertindak lebih jauh, langsung dimasukkan batang pakde ke dalam mulutnya dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Dengan posisi wajahnya menelungkup dipangkuan pakdenya, Widia tidak melihat perbuatan pakde pada tubuhnya.

Dengan berkonsentrasi melaksanakan jurus rahasia kuluman batang, Widia tak menyadari si laki lihai langsung leluasa menggerayang ke sekujur tubuhnya. Bahkan ketika dirasakan pangkal susunya mulai dikemot bibir dengan kuat Widia tak berusaha mencegahnya. Widia lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan kulumannya pada batang batangnya semakin mengganas sampai-sampai pakdenya terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutnya.
Tanpa disadari Widia dirinya mulai melakukan perlombaan, kocokannya mulai bernafsu, seiring sekujur tubuhnya kian bebas digerayangi pakdenya.

Widia tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuannya untuk membuatnya segera selesai. Keyakinannya ini ternyata berakibat fatal baginya. Terutama karena pakde sedemikian lihai menggeliat-geliat menyatakan ketidaktahannannya lagi.

Tapi, Kembali berlalu lima menit, Widia walau merasakan detik-detik ujung klimaks pakdenya, tapi heran tak kunjung terjadi…

Widia jadi penasaran, sekaligus merasa tertantang. Suaminya pun yang sudah terbiasa dengannya, bila sudah dikeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa dengan pakdenya? Apa ia memakai obat kuat?

“Argghhhhhh widdd.......” Pakde sengaja mengejangkan tubuhnya, memancing ponakannya bertindah lebih jauh, pura-pura saat sudah menjelang, sembari menggeser duduknya menjadi memberingkan diri. Widia merasakan rambutnya dicengkeram. Bagus dehhh.. sebentar lagi. Tanpa melepaskan kemotannya wajah Widia mengikuti arah gerakan pinggul pakdenya, menjadi ditengah pembaringan, Widia bersimpuh mengemot kuat sambil mengocok batang dengan ritme sedang, disisi tubuh pakdenya yang celananya melorot dipaha.

Dengan posisi ini, tanpa disadari widia, kedua jemari pakdenya sudah mulai menjelajahi tubuhnya yang lain. Sebelah tangannya tetap konsentrasi menyerang gundukan susu kenyal yang kini menggantung, meningkatkan efek kenikmatan pada diri Widia. Sebelah tangan yang lain mula menelusup belahan pantatnya, meremas-remas kedua bongkahan dengan bersemangat.

69-01-Original.jpg


Berahi Widia mulai memuncak, tapi ditengah penasarannya, berjuang berlomba menuntaskan oom kecilnya yang tak kunjung mengalah, Widia jadi kurang memperhatikan perbuatan pakde, yang mengangkat pantatnya, mengarahkan dirinya menelungkup dengan pangkal paha diwajah pakdenya. Widia merasa posisi ini lebih baik, kedua belah tangannya semakin bebas mengocok batang itu. Kemotannya bisa semakin kuat. Anggukan kepalanya membantu dengan maksimal, bibirnya mengulum gigi mengemut batang raksaksa.

Entah sejak kapan daster tidurnya sudah terlepas dari tubuhnya. Widia baru sadar ketika pakde berusaha menarik celana dalamnya dan itu pun terlambat! Begitu menengok ke bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakinya. Ketika kaget akan menolak, dengan sigap kedua lengan kuat membekap pantat, dan langsung lidahnya menjelujur menyerang liang kewanitaannya.

Ya ampun, kenapa dibiarkan semua ini terjadi. Widia menyesal kenapa memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang direncanakan. Widia terlalu sombong dengan keyakinannya. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya!

Situasi sudah tak terkendali. Lagi-lagi Widia kecolongan. Pakde dengan lihainya dan tanpa disadari sudah membalikkan tubuhnya hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Tubuh Widia kini berada di bawah, sementara wajahnya tetap mengisap-ngisap batang. Dengan sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian dirasakan sentuhan lembut di seputar selangkangannya. Tubuhnya langsung bereaksi dan tanpa sadar Widia menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau, dirasakan kenikmatan cumbuan pakde di sekitar itu. Akh luar biasa! Widia menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Widia marah pada dirinya sendiri, terutama pada tubuhnya sendiri yang sudah tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatnya.

69 Inverted

Tubuhnya meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah pakde. Kedua pahanya mulai mengempit kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkangannya. Diakuinya, pakde memang pandai membuat birahinya memuncak. Kini Widia sudah lupa dengan niatan semula. Widia sudah terbawa arus. Widia malah ingin mengimbangi permainannya. Mulutnya bermain dengan lincah. Buah dadanya dikepitkan ke batang pakdenya.

Sementara batang itu bergerak di antara buah dadanya, mulutnya tak pernah lepas mengulum buah zakar yang bergantungan. Tanpa disadari saling mencumbu bagian vital masing-masing selama lima menit. Widia semakin yakin kalau pakde memakai obat kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara Widia sudah mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaannya. Jilatan dan hisapan mulut pakde benar-benar membuatnya tak berdaya.

Widia semakin tak terkendali. Kini mulutnya mulai tergagap-gagap mengemot batang pakdenya. Tiap kali bibir pakde menghisap klitorisnya, Widia tersengat, pinggulnya meliuk-liuk liar. Mulutnya mulai melenguh kenyuarakan kenikmatan. Terkadang harus menarik nafas panjang, Lomba dirinya menghisap batang kini melemah, dan melemah, semakin tertinggal.

Tubuhnya mulai mengejang, seluruh aliran darah serasa terhenti dan Widia tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang lahar panas yang mengalir begitu cepat.

"Aagghh..!" Widia mulai menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahanannya.

Dirasakan cairan kewanitaannya menyembur tak tertahankan. Tubuhnya menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Widia terkulai lemas sementara batang batang pakde yang berada dalam genggamannya masih mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja. Widia mengeluh karena tak punya pilihan lain. Sudah kepalang basah.

Widia hanya tergolek lemah tak berdaya saat pakde membalikkan badan dan mulai menindih tubuhnya. Dengan sengaja pakde meletakan batang kerasnya diantara belahan paha Widia, hangat. Dengan lembut ia mengusap wajahnya dan mencumbu betapa cantiknya Widia sekarang ini.

"Kau sungguh cantik. Kini kau sudah dewasa. Tubuhmu indah dan jauh lebih berisi.., mmpphh..", katanya sambil menciumi bibirnya, mencoba membuka bibirnya dengan lidahnya.

Widia terpesona oleh pujiannya. Cumbu rayunya begitu menggairahkannya. Widia diperlakukan bagai sebuah boneka porselen yang mudah pecah. Begitu lembut dan hati-hati. Hatinya semakin melambung tinggi mendengar semua kekagumannya terhadap tubuhnya. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang indah dan kini jauh lebih berisi. Payudaranya yang membusung penuh dan menggantung indah di dada. Permukaan perut yang rata, pinggul yang membulat padat berisi menyambung dengan buah pantatnya yang ‘bahenol’.

Bertubi-tubi pujian kekaguman pakde dilontarkan, diiringi kecupan bibir keberbagai bagian tubuh. Ditatapnya wajah pakdenya yang kini menggolekkan tubuh disampingnya.

Bukan hanya pujian dan kecupan saja, diwajahnya pakde berupaya memperlihatkan ekspresi kekaguman yang tak terhingga saat matanya menatap nanar ke arah lembah bukit di sekitar selangkangannya yang dipenuhi bulu-bulu hitam lebat, kontras dengan warna kultinya yang putih mulus. Dirasakan tangannya mengelus paha bagian dalam. Berganti-ganti jemari pakde mengusap bulu-bulu hitam dan sisi paha dalamnya. Widia mulai mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakinya yang tadinya merapat. Kakinya mulai sedikit menggelinjang tiap kali usapan jemari menyentuh pangkal pahanya.

Kini bibir pakde mulai mengecup cuping telinganya dan kembali membisikkan kata mesra ‘Widia oh widia, harum tubuhmu luar biasa, padahal tidak pakai parfum kan nduk?”” mengimbangi elusan jarinya yang kini mulai sesekali mencucuk kedalam liang nikmatnya.

“Oh Pakde, ...” mau tak mau kini pinggulnya terjengkit. Tangannya mulai membelai dada telanjang pakdenya. Pakde semakin dipergiat usapan-usapannya, semakin sering jari tengahnya menekan klitnya.

Ketika dirasakan Widia sudah total menyerah dan mulai kembali menggelinjang, Pakde menempatkan diri di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. Kegiatan jemarinya kini digantikan oleh batang yang sedari tadi dikocok habis-habisan. Dirasakan batangnya ditempelkan pada bibir kemaluannya. Digesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Widia merasa ngilu bercampur geli dan nikmat. Cairan yang masih tersisa di sekitar itu membuat gesekannya semakin lancar karena licin. Widia terengah-engah merasakannya. Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi saat moncong batangnya itu menggesek-gesek kelentitnya yang sudah menegang. Pakde menatap tajam melihat reaksinya. Widia balas menatap seolah memintanya untuk segera memasuki dirinya secepatnya.

Ia tahu persis apa yang dirasakan saat itu. Namun kelihatannya ia ingin melihatnya menderita oleh siksaan nafsunya sendiri. Diakui memang Widia sudah tak tahan untuk segera menikmati batang batangnya dalam memeknya. Widia ingin segera membuatnya ‘KO’. Terus terang Widia sangat penasaran dengan keperkasaannya. Dirinya ingin buktikan bahwa dia bisa membuatnya cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan.

"Pakde ..?" panggilnya menghiba.
"Apa sayang", jawabnya seraya tersenyum melihatnya tersiksa.
"Cepetan.."
"Sabar sayang. Kamu ingin pakde berbuat apa?" tanyanya pura-pura tak mengerti.
Widia tak menjawab. Tentu saja Widia malu mengatakannya secara terbuka apa keinginannya saat itu. Namun pakde sepertinya ingin mendengarnya langsung dari bibirnya. Ia sengaja mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan batangnya. Sementara Widia benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahinya.

"Nggg .... masukin..", katanya akhirnya dengan terpaksa.

Widia sebenarnya sangat malu mengatkan ini. Widia yang tadi begitu ngotot tidak akan memberikan tubuhnya padanya, kini malah meminta-minta. Perempuan macam apa anya ini!?

"Apanya yang dimasukin", tanyanya lagi seperti mengejek.

"Akh pakde...."

"Pakde kan ingat perkataan Widia.." Dengan sengaja pakde menekan batangnya ke pangkal liang widia
"Oohh.., pakde. jahat..uuggh..", Widia kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu.

Widia merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Widia hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirnya sendiri. Tapi apa mau dikata, memang Widia sangat menginginkannya segera.

FF-15-Missionary.jpg

"Baiklah sayang. Tapi pakde nurut dengan yang nduk minta yaaa", kata pakdenya dengan penuh kemenangan telah berhasil menaklukan dirinya.
"Uugghh..", Widia melenguh merasakan desakan batang batangnya yang besar itu.

Widia menunggu cukup lama gerakan batang pakde memasuki dirinya. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, batang pakde cukup panjang juga. Widia sampai menahan nafas saat batangnya terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu hati. Widia baru bernafas lega ketika seluruh batangnya amblas di dalam. Pakde mulai menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Satu, dua dan tiga tusukan mulai berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam liang memeknya membuat batang pakde keluar masuk dengan lancarnya. Widia mengimbangi dengan gerakan pinggulnya. Meliuk perlahan. Naik turun mengikuti irama tusukannya.

Gerakan semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakannya sudah tidak beraturan karena yang penting baginya tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di dalam relung kewanitaannya. Pakde tahu persis apa yang diinginkan. Ia bisa mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran. Widia bagaikan berada di surga merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang pakdenya menjejal penuh seluruh isi liangnya, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginanya.

"Aduuhh.. auuffhh.., nngghh..", Widia meintih, melenguh dan mengerang merasakan semua kenikmatan ini.

Kembali Widia mengakui keperkasaan dan kelihaian pakdenya di atas ranjang. Ia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas diberikan padanya. Yang pasti Widia merasakan kepuasan tak terhingga bercinta dengannya meski disadari perbuatan ini sangat terlarang dan akan mengakibatkan permasalahan besar nantinya. Tetapi saat itu Widia sudah tak perduli dan takkan menyesali kenikmatan yang dialami.

Pakde bergerak semakin cepat. Batangnya bertubi-tubi menusuki daerah-daerah sensitive. Widia meregang tak kuasa menahan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti gelombang mendobrak pertahanannya. Sementara pakde dengan gagahnya masih mengayunkan pinggulnya naik turun, ke kiri dan ke kanan. Erangannya semakin keras terdengar seiring dengan gelombang dahsyat yang semakin mendekati puncaknya. Melihat reaksinya, pakde mempercepat gerakannya. Batang batangnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangnya yang sempit itu akan terkoyak akibatnya.

Dilihat tubuh pakde sudah basah bermandikan keringat. Widia pun demikian. Tubuhnya yang berkeringat nampak mengkilat terkena sinar lampu kamar. Widia mencoba meraih tubuh pakde untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, Widia berhasil memeluknya dengan erat. Direngkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhnya dengan erat. Dirasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhnya. Dibenamkan wajahnya di samping bahunya. Pinggul diangkat tinggi-tinggi sementara keduan tangannya menggapai buah pantatnya dan menekannya kuat-kuat. Dirasakan semburan demi semburan memancar kencang dari dalam dirinya. Widia meregang seperti ayam yang baru dipotong. Tubuhnya mengejang-ngejang di atas puncak kenikmatan yang dialami untuk kedua kalinya saat itu.

"Pakde.., oohh.., aaaahh..", hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya saking dahsyatnya kenikmatan yang dialami bersamanya.

"Sayang nikmatilah semua ini. Pakde ingin kamu dapat merasakan kerinduan pakde ...", bisik pakde dengan mesranya ditelinga Widia, sembari penggulnya menghujam keras beruang-ulang.

“ohhh...ohh... ooooghhh...” Widia hanya bisa terkejang-kejang dan melenguh melepaskan kenikmatan dan bujuk rayu yang menghipnotis sanubarinya.

"Pakde sayang padamu, pakde cinta padamu. Pakde ingin melampiaskan kerinduan yang menyesak selama ini..", lanjutnya tak henti-henti membisikan untaian kata-kata indah yang terdengar begitu romantis. Kini hujaman cepat pinggulnya menjadi tekanan kuat perlahan-lahan menggerus sisi atas liangnya, berganti dengan menggerus sisi bawaha liangnya.

Widia mendengarnya dengan perasaan tak menentu. Lunglai tak berdaya. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang bukan semestinya disayangi. Mengapa keindahan ini dialami bersama pakdenya sendiri, Tanpa terasa air mata menitik jatuh ke pipi.

Pakde terkejut melihat ini. Ia nampak begitu khawatir melihatnya menangis. Gerusannya dihentikan.

"Widia sayang, kenapa menangis?" bisiknya buru-buru.

"Maafkan pakde kalau telah membuatmu menderita..", lanjutnya seraya memeluk dan mengelus-elus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

Widia semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini bukan hanya salahnya. Widia pun berandil besar dalam kesalahan ini. Widia tidak bisa menyalahkannya saja. Widia harus jujur dan adil menyikapinya.

"Pakde tidak salah. Widia yang salah..", katanya kemudian.

"Tidak sayang. Pakde yang salah", katanya besikeras.

"Kita,. Kita sama-sama salah", katanya sekaligus memintanya untuk tidak memperdebatkan masalah ini lagi.

"Terima kasih sayang", kata pakdenya seraya menciumi wajah dan bibirnya. Ciumannya turun keleher, dijilatnya tetesan keringat membasahi leher yang jenjang. Kecupannya turun kedada yang basah oleh keringat, putik susu yang mengeras sedari tadi, seolah berupaya mengeringkan daging kenyal yang basah oleh keringat.

‘Tubuhmu indah sekali sayang” Rayuan manis sembari Kecupan berulang-ulang menjelujuri perutnya yang rata langsing.

Saat terbaring lemas melepas nikmat, telinganya kini dirasuki bisikan-bisikan mesra, diiringi cumbuan disekujur tubuhnya. Hal yang sangat diimpikan umumnya wanita.

Bila sedari tadi tubuhnya diresapi pincak kenikmatan kini sanubarinya dipuaskan oleh rayuan gombal. Menit-menit berlalu.

Kini dirasakan bibir pakde mulai mengecup wajannya. Tanpa sadar lengannya meraih wajah pakdenya membekapnya, dikecupnya bibir tua itu dengan ganas. Dijulurkannya lidahnya dalam-dalam dengan bernafsu. Ciuman panas bernafsu seprti layaknya sepasang pemuda yang sedang jatuh cinta. Pakde yang lihai menyambut baik ciuman itu. Ciuman panjang dan mesra, pakde dan ponakan.

Dirasakan ciumannya di bibirnya berhasil membangkitkan kembali gairahnya. Widia masih penasaran dengannya. Sampai saat ini pakde belum juga mencapai puncaknya. Widia seperti mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini Widia bertekad keras untuk membuatnya mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia berikan kepadanya. Widia sadar kenapa dirinya menjadi antusias untuk melakukannya dengan sepenuh hati. Biarlah terjadi seperti ini, toh pakde tidak akan selamanya berada di sini. Ia harus pulang ke kampungnya. Widia berjanji pada dirinya sendiri, ini merupakan yang terakhir kalinya.

Timbulnya pikiran ini membuatnya semakin bergairah. Apalagi sejak tadi pakde terus-terusan menggerakan batangnya di dalam memeknya. Tiba-tiba saja Widia jadi beringas. Didorong tubuh pakde hingga terlentang. Widia langsung menindihnya dan menicumi wajah, bibir dan sekujur tubuhnya. Kembali diselomoti batang batangnya yang tegak bagai tiang pancang beton itu. Lidahnya menjilat-jilat, mulutnya mengemut-emut. Tangannya mengocok-ngocok batangnya. Dilirik pakde kelihatannya menyukai perubahannya ini.

Cowgirl-08-Cowgirl.jpg

Belum sempat ia akan mengucapkan sesuatu, Widia langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuh pakde. Selangkangannya berada persis di atas batangnya.

"Akh sayang!" pekik pakdenya tertahan ketika batangnya dibimbing memasuki liang memeknya.

Tubuhnya turun perlahan-lahan, menelan habis seluruh batangnya. Selanjutnya Widia bergerak seperti sedang menunggang kuda. Tubuhnya melonjak-lonjak seperti kuda binal yang sedang birahi. Widia tak ubahnya seperti pelacur yang sedang memberikan kepuasan kepada hidung belang. Tetapi Widia tak perduli. Widia terus berpacu. Pinggulnya bergerak turun naik, sambil sekali-sekali meliuk seperti ular. Gerakan pinggulnya persis seperti penyanyi dangdut dengan gaya ngebor, ngecor, patah-patah, bergetar dan entah gaya apalagi. Pokoknya malam itu Widia mengeluarkan semua jurus yang dimiliki dan khusus dipersembahkan kepada pakdenya sendiri!.

"Ouugghh.. Widia.., luar biasa!" puji pakde merasakan hebatnya permainannya.

Pinggulnya mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tangan pakde mencengkeram kedua buah dadanya, diremas dan dipilin-pilin. Ia lalu bangkit setengah duduk. Wajahnya dibenamkan ke atas dadanya. Menciumi putting susunya. Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas. Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan. Keduanya tidak lagi merasakan panasnya udara meski kamarnya menggunakan AC. Tubuh bersimbah peluh, membuat jadi lengket satu sama lain. Widia berkutat mengaduk-aduk pinggulnya. Pakde menggoyangkan pantatnya. Dirasakan tusukan batangnya semakin cepat seiring dengan liukan pinggulnya yang tak kalah cepatnya. Permainan kami semakin meningkat dahsyat.

Sprei ranjangnya sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak terkendali. Dirasakan pakde mulai memperlihatkan tanda-tanda. Widia semakin bersemangat memacu pinggulnya untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulnya akan membuat iri para penyanyi dangdut saat ini.

Tak selang beberapa detik kemudian, Widiapun merasakan desakan yang sama. Widia tak ingin terkalahkan kali ini. Diingin ia pun merasakannya. Tekadnya semakin kuat. Widia terus memacu sambil menjerit-jerit histeris. Widia sudah tak perduli suaranya akan terdengar kemana-mana. Kali ini Widia harus menang! Upayanya ternyata tidak percuma. Dirasakan tubuh pakde mulai mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang. Menggeram seperti harimau terluka. Widia pun merintih persis kuda betina binal yang sedang birahi.

"Eerrgghh.. oouugghh..!" Widia berteriak panjang, tubuhnya menghentak-hentak liar.

Tubuhnya terbawa goncangannya. Widia memeluknya erat-erat agar jangan sampai terpental oleh goncangannya. Mendadak Widia mengejang kuat-kuat. Widiapun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam dirinya. Sambil mendesakan pinggulnya kuat-kuat, Widia berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan.

"Oohh.. pakdee.., ohggggg!" jeritnya tak tertahankan. Tulang-tulangnya serasa lolos dari persendiannya. Tubuhnya lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan sedemikian lama. Kedua lengannya memeluk leher pakdenya kuat-kuat, sembari melepaskan puncak nikmat ketiganya.

Pakde dengan sigap membalikkan posisi tubuhnya tanpa melepaskan batangnya. Langsung dengan tenaga baru menghujam perlahan tapi sangat bertenaga.

“Nggghhhhh.....” Widia hanya mampu mendesis berkali-kali setiap kali batang keras menggerus berbagai sisi liang wanitanya. Semenit dua menit Pakde memanjakan keponakannya, memompa dengan kuat dan perlahan, sampai satu ketika mengeluhpun widia tak bisa, demikian lemas lunglai tak berdaya. Pelukannya pun lepas. Pakdepun mengentikan hujamannya.

“Widia ...kamu sungguh ...” Pakde membiarkan berat tubuhnya menindih tubuh telanjang, dengan batang keras yang tetap terpancang dikewanitaan Widia, dikulumnya mesra bibir lembut, dikecupnya berkali-kali dengan mesra. Sekuat tenaga pakde menumpahkan kemesraannya pada wanita itu. Dirinya menginginkan momen ini menjadi awal dari kisah mesranya dengan sang pokanak. Pakde berupaya keras untuk tidak melakukan aksi kekerasan, diluar batang kerasnya saja, diupayakan agar dirinya bertindak atas kemaupan ponakannya ini.

Sesaat kemudian, bibr Widia mulai beraksi membalas ciuman mesra pakde.

“Wid, pakde bahagia sekali bisa memelukmu, sudah bertahun-tahun pakde menahan rindu dendam, bertahan berusaha menjauhimu” Pakde meregangkan wajahnya menatap tajam dalam jarak sedemikian dekat. Kedua lengannya kini menahan nerat tubuh atasnya, tetapi tanpa sedikitpun merenggangkan bagian bawah yang tetap rapat hangat menyatu.

“Ah pakde... Widia...nggg.... malu ....” Widia melengoskan wajahnya menghindari tajamnya mata silaki tua.

“Kenapa malu? Kan hanya kita berdua? Seperti kejadian dulu walaupun hanya sekali, tetapi menjadi peristiwa yang sangat berkesan bagi pakde”

“Tapi kan aku sudah istri orang...”

“Betul nduk, makanya pakde berjuang menjauh, tapi apa daya ...kangen sekali nduk..., pakde kesepian, tak bisa bergaul, maafin pakde yaaa...” Sembari dikecupnya leher jenjang

“Pakde sudah? Widia sudah tiga kali lho” Gila! Jeritnya dalam hati. Belum pernah rasanya dirinya bercinta sampai sedemikian lamanya. Kenapa pakdenya yang sudah tua bisa sedemikian perkasa? Dan ternyata batang keras itu masih mengganjal kewanitaannya.

“Belum ndukk... pakde takut kamu marah, tadikan sempat kamu larang?

“Kok bisa pakde?”

“Entah, mungkin karena kangen kamu bertahun-tahun, tapi terimakasih ya nduk, mau nerima pakde demikian mesra, kamu mungkin tak menyadari sepinya pakde sendiri disurabaya bertahun-tahun”

“Pakde... ngilu nighh...”

“Ooo iya nduk, sambil melepaskan batang kerasnya”

“Masih keras... nggak pusing...”

“Tidak kok, karena sudah kamu terima, pakde sangat lega...” sambil mencubit bulu hitam lebat dipangkal pahanya

“Jangan terulang lagi yaa pakde.” Tak sadar Widia mengucapkan janji yang bakalan sulit ditepatinya

“Terserah kamu nduk...”
 
Terakhir diubah:

02 Ida Meng-kadali Buaya​

Pasangan Yanto dan Ida adalah tetangga yang mengontrak persis disamping rumahnya. Ida sebaya dengan dirinya. Secara ekonomi mereka pas-pasan. Perasaan Widia sudah curiga suaminya main mata dengan Ida. Tapi tak pernah bisa dibuktikan, wong karena waskat dan dirinya selalu ada dirumah. Entah kalau rendevue di luar.

Kejadian dengan pakde, menimbulkan ide tak genah

“Pakde, aku ada masalah dengan tetangga sebelah, curiga Mas Abi ada main dengan dia”

“Masa sih nduk? Kamu yakin?”

Belum terbukti sih, tapi gimana panas betul hati ini, padahal bertetanggal

‘Mau kamu apa, Nduk?”

“Pakde rayu dia, nanti aku tunjukan ke mas abi bahwa dia perempuan nggak betul’

“Bolee juga rencana nii anak” ujar pakde dalam hati, wah harus disiasati nih.

“Mana mau dia ama orang tua bangkotan seperti pakde”

“Mmmm nanti aku yang atur”

“Nggg anu nduk....” pakde kembali pasang jerat, belum tentu pakde sanggup, itu tu..

“Lho pakde kan kemarin.....hebat sekali ....” sambil berbisik takut kedengaran hantu, padahal rumah kosong

“Itu kan hanya dengan kamu ndukkk, masa sih nggak percaya udah dibilang berkali2, itu pun nggak sengaja mergoki kamu tidur, terbayang sosok budemu, krn itu pakde sudah tua gini kok jadi lupa daratan?”

“Nggg nanti widia pikirin, tapi pakde mau bantu yaa?
Widia menduga, Ida saat tanggal tua bakalan sering mampir, tampaknya mengharapkan sedit bantuan suaminya. Dan betul saja. Ida berkunjug beramah-ramah, sambil menanyakan Abi kok nggak kelihatan padahal mobil ada sejak kemarin lusa.

“Ooo mas Abi keluar kota, paling cepat tiga hari lagi, kenapa Ida”

“Anu ada pesan dari mas Yanto tentang jadwal ronda” pandai Ida menyamarkan maksud. Suaranya agak gelisah, maklum selama ini secara diam-diam Abi sedikit-sedikit memberikan uang, dengan niat tertentu, yg kelamaan jadi terasa sebagai penerimaan rutin. Hutang warung sudah menumpuk, sisa gaji suaminya terlanjur habis urusan lain.

Mewujudkan dendamnya, Widia memasang jerat. “Ida kamu sudah kenal pakde ku kan, kemarin lusa baru datang dari Surabaya, eh kamu tau nggak tukang urut yang bagus. Pakdeku disurabaya ada tukang urut langganan, disini aku tak tahu”

“Lho kenapa nggak mbak aja yang ngurut?”

“Sungkan aja dengan pakde sendiri, apalagi aku memang nggak bisa ngurut. Tolong ya kasih informasi tukang urut yang baik, maksimal seratus lima puluh ribu per datang satu jam”

“Aku aja deh mbak, mungkin cocok urutanku” “besar juga seratus lima puluh ribu Cuma sejam, katanya dalam hati. “Tapi mbak ada nemenin kan? Aku juga emoh kalau sendiri

--

“Pakde ini kenalkan Ida, tetangga sebelah. Katanya kemaren pegal-pegal naik bis lama, Ida ini katanya jago urut lho” Widia belagak promosi “Daripada cari tukang urut diiklan, dia aja”

“Waduuu....gimana ya?” Pakde mengimbangi sandiwara Widia pura2 menolak

“Knapa pakde? Kemarin katanya mencari, sekarang kok berubah?” Ida mulai dihinggapi rasa cemas, kehilangan potensi penerimaan dadakan.

“Anuuu....” “Knapa.??? Widia mendesak

Pura-pura membisikan ketelinga Widia, tapi tetap terdengar Ida “Yang ngurut cantik manis begini, biasanya pakde dengan nenek tua atau orang buta”

“Welehhhh, kirain ada apa, Ida kamu dibilang cantik oleh pakde, pakde sungkan, kamu bisa sekarang Ida?”

“Terserah pakde lah” lega juga, dikirain penolakan apa gitu

Untung ada lotion minyak zaitun, pakai ini dulu Ida, sana di kamar pakde dibelakang.

Pakde mempersiapkan diri, melepas pakaian dan memakai kolor tanpa cd. Dirinya menarik nafas dalam-dalam berkonsentrasi mempersiapkan raga tuanya.

Sekian lama hidup sendiri dan banyak membaca buku tua, pakde mendapatkan kitab kuno ajaran tao, sex kuno ala tao dari dataran China, dimana dengan olah raga jasmani pengaturan nafas, perlahan-lahan kehendak atau pikiran bisa mengendalikan jasmani. Dengan olahnafas semacam Wei Tang Kung, perlahan suatu saat pikiran mengendalikan raga, terutama kejantanan. Kelancaran darah dan sehatnya simpul saraf memudahkan kehendak pikirannya membangunkan atau menidurkan siotong sesukannya.

Jangan sampai si otong mendadak bangun mengagetkan lawan.

Pakde menelungkupkan diri, berkonsentrasi mengatur nafas menahan si otong.

Dirasakannya ada yang masuk kekamar, dan duduk disisi tempat tidur, mulai mengurut.

“Wooo dasar anak muda sekarang, nggak becus apa-apa” ejek pakde dalam hati, merasakan Ida mulai mengurut sekenanya. Dicuekin saja.

Sepenuh daya Ida mengerahkan kemampuannya, memang dasar tak pernah berlatih, lama-lama dirinya kelelahan sendiri. Ternyata otot-otot pakde sangat pejal, bahkan melebihi suamiya, teknisi PLN. Kerasnya otot pakde dengan cepat menghabiskan tenaganya, waktu pun baru sepuluh menit. Keringat mulai menetes didahi. Nafasnya yang sedikit terengah langsung disadari pakde

Pakde membalikkan badan, “Kamu capai nduk?”

“Nggak kok” pura-pura

Ayo balik lagi pakde

“Lebih keras lagi nduk” pakde bersiasat, “naaa. Disitu... pegal sekali, yang keras nduk...”

Semakin menetes keringat Ida, pijatannya melemah

“wah...pasti kamu capai yaa”

“Nggak kok hhh...” masih juga berbohong, karena mengharap bayaran “urutan saya gimana pakde ...” tanya nya khawatir

“Ngggg...” pakde menolak menjawab, Ida merasa pasti kurang enak.

“Anu pakde, tadi mbak Ida nawarin aku, asal aku iyakan saja, karena lagi kepepet butuh uang. Sejam seatus lima puluh ribu, padahal aku sudah bilang tak biasa ngurut lho?” Ida memelintir alasan.

“Ya sudah nduk, urut sesukamu saja, tunggu sejam, nanti aku iyakan urutannya, bereskan”

“Trima kasih pakde” Kini Ida tak lagi mengurut, telapak tangannya yang berbalur lotion dibelainya ke dada pade., yang kini terlentang

“Wah kamu keringatan, pakde mengusap peluh didahi Ida. Capai yaa?

Ida tersenyum meneruskan belai urutnya

“Ngurut tu begini” sambil berbaring pakde manjangkau bahu Ida, jemarinya mencari dan menemukan otot tegang disana, dipijitnya dengan tekanan sedang, perlahan-lahan sampai otot itu melemas kembali.

Jarang bahkan tak pernah Ida merasakan pijatan seenak ini, “Enak pakde.., kok malalah pakde yang bisa ngurut”

“Iya lah nduk, puluhan tahun diurut lama-lama kang ngerti mana yang enak dan yang tidak?” sambil terus memijit

“Sebelahnya pakde” waduh... tukang urut malah kasih perintah, yang dituruti pakde sambil berbaring memijit sisi leher dan kepala Ida.

“Waduhhh nduk lulitmu lembut sekali” sembari memijit leher. Sebelah tanganya meraba bulu-bulu halus dilengan Ida, tanganmu juga halus sekali. “Wah cilaka nduk..”

“Knapa pakde?”

“Anu tadi pakde menolak karena kamu cantik sekali, pakde udah tua, lama hidup sendiri kangen juga membelai kulit halus dan wajah cantik, jadi teringat puluhan tahun lalu, tuh pakde gemas ngeliat kamu”

“Terus... udahan ah... nggak tahan Pakde ingin membelai kamu”

“Wah bagaimana ini” bisa nggak dibayar penuh “Iya udah pakde sama-sama ngurut aja, tapi jangan nakal yaa? Ida mengancam penuh percaya diri, wong sudah tua loyo bisa apaan.

“Sini kamu baring, kasian cepe dari tadi” Pakde menggeserkan tubuhnya. Ragu juga Ida, tapi karena memang kecapaian dan pegal sedari tadi, dirinya naik kedipan berbaring miring menghadapi laki tua ini. Karena berbaring miring, hanya tangan kiri Ida yang bebas, sebaliknya tangan kanan pakde yang bebas

“Pakde!!” kaget juga Ida merasakan tapak tangan pakde menjangkau langsung kulitnya. Rupanya pakde langsung sanya menyelinap dibaling kaos Ida yang memang sedikit terangkat.

“Lho katanya tadi boleh” pakde nyengir menggoda

“oo iya lupa” Ida kembali setengah melamun membelai dada pakde

Cekatan tapak pakde menggerayangi seluruh punggung Ida, memijit-mijit. Sekali sekali tapaknya turun kebawah punggung menekan kuat tulang belakang. Tapi rintangan tali beha bak jadi polisi tidur menghalangi mondar mandirnya tapak kasar itu.

“Punggungmu lembut sekali nduk...” Keenakan Ida diurut punggungnya, tak sadar beringsut merapat, tentu saja dipengaruhi tekanan urutan yang sengaja diperkuat sekaligus mendorong merapat. Selang berapa menit, kedua tubuh itu lumayan merapat, bahkan lengan kiri pakde yang tertindih tubuhnya sendiri, tapaknya sudah menyentuh gundukan buah dada Ida, yang terbalut bra. Sengaja kembali pakde menekan urut di daerah tali beha, mendorong dada itu tersentuh tapak tangan yang sengaja terbuka.

Karena sudah merapat, dan dada membusung sudah merapat ditapak tangan kiri, tanpa Ida sadari. “Hi..hi...hi...” pakde udah lupa bulu ketiak perempuan” Pijatan mulai mengarah kesisi punggung, menjelujuri naik keatas dan turun kebawah berulang-ulang. Tak usah ditanya pangkal susu yang berkali-kali tersenggol, menimbulkan desiran nikmat,

Selanjutnya pakde berkonsentrasi diketiak yang dihiasi bulu tebal, gayanya mengurut otot ketiak, sedikit banyak menekan pangkal payu dara sebelah atas. Kini mulai kian menggelisahkan Ida.

“Enak nian diurut...” Mana pernah mas Yanto mengurut dirinya

Telaten pakde mengurut disana, sesekali jempolnya melebar sengaja menyentuh montoknya buah dada Ida, dibatasi bra. Ida mendiamkan saja. Bahkan tanganya kini berhenti meraba, tapi merangkul leher pakde layaknya sepasang kekasih. Terasa sangat nyaman otot-otot punggungnya dipijati.

Semakin dibiarkan, pakde makin memberanikan diri, “lembut kali dadamu nduk..” sembari menyelinapkan ibu jari kedalam cup branya dari sebelah atas. Berkutat disekitar sana, jempol itu memijat lembut pangkal gundukan susu kenyal, empat jari yang lainnya pura-pura menggaruki bulu-bulu ketiak yang tebal. Makin mendesirkan nikmat buah dadanya dipijat lembut.

Sekali kini jempol mulai menyentuh puting, seolah tak sengaja, membuat Ida sedikit terjengkit, “Pakde....shhh...” walaupun enak, Ida menegur.

“Maaf nggak sengaja nduk, habis pegel nii, sana tengkurap, pakde mau serius ngurutnya

Mulailah pakde mengerahkan tenaga mengurut punggung ibu muda ini, membalurkan tangannya dengan minyak lotion, jemarinya lincah mencari otot-otot sekujur punggung yang mulus. Mengurut dari dalam lapisan kaos,.

“Tenaganya cukup ndukk..” keenakan Ida diurut punggungnya ditambah licinya minyak loton.

“Hooo oooh pakde”

“Tukang urut harus tahu seberapa besar tekanan tenaga yang diinginkan pasiennya” Pakde berceloteh sambil rajin menjelajahi sekujur punggung mulus Ida. Sesekali jempolnya menyeiop masuk ke ban kulot Ida, menekan kuat urat di pangkal tulang belakang.

Bermenit-menit pakde mengurut sekujur punggung, pangkal leher, dan kulit kepala, yang membawa kesegaran. “Wah.. talinya makin ganggu saja nii nduk”

Meyakini pakde Cuma mengurut, sambil tengkurep kedua tangan Ida menjangkau kaitan bh dipunggungnya melepas kaitan tersebut. Untuk jaga-jaga Ida, tak melepas Bhnya, bahkan kedua tanganya merapat disisi tubuh

“Hmmm kena kau...” pakde melanjutkan pijatannya, kali ini sesekali masing-masing empat jarinya yang dilaburi minyak mengurut kedua sisi tubuh Ida, menekan kuat dari pinggang ke ketiak. Percuma saja sisi lengan Ida merapat, toh tetap saja area dekat pangkal susunya terjamah kembali. Kali ini Ida merasakan nyaman, bercampur geli. Pakde berkonsentrasi dikedua wilayah itu terus menerus. Sesekali tampak pundak Ida terjengkit saat usapan jemari merambah kuat disisi tubuh yang peka. Nyaman dilengkapi dengan desiran nikmat. Pakde sedikit memperkuat tekanan tenaganya,, saat melalui area itu, kontan membuat Ida menggelinjang

“Hmmm sudah lampu kuning nii menjelang ijo..” Pijatan berikutnya lebih diturunkan sedikit, menggusur sisi pinggang, yang tentu saja kini menabrak pangkal susu. Kembali membuat tubuh menggelinjang. Dengan tekun dulangnya berkali kali mengurut sangat perlahan namun bertenaga.

“Sakit ndukk...” pakde menggoda

“Shhh... nggak pakde geli....” Menambah intensitas, pijatan pakde terkadang berkutat diketiak, jempolnya menekan bulu ketiak, keempat jemari memutar-mutar menjangkau dada atas Ida dari belakang. Secara khusus menghindari daerah terlarang., disambung dengan pijatan menurun, dengan sengaja semakin memasuki pangkal payudara, dan kembali keatas.

Tali bra sudah tergeletak, hanya cup nya saja yang masih tertindih montoknya payudara. Pikiran Ida sudah buntu tak bisa membedakan mana urutan yang betul mana yang nakal, karena saat akan diprotes serangan ditarik mundur, meninggalkan desir nikmat.

Semakin berani urutan itu, usapan dari belakang, kali ini mulai dari punggung, kesisi dada pangkal dada, merambah ke atas dada . Praktis bukit payudaranya sekarang diurut.

“Pakde....shhhh” protesnya terdengar tak jelas

“Ya... nduk...” sembari memutar masingmasing keempat jarinya , dipangkal payudara

“Pakde... geliiiihhh...”

“Oooo.....:” kini urutan sudah menjadi massage payudara, mulai kini pakde tak lagi bergerilya, sudah melakukan serangan terbuka, mengingat perlawanan sudah melemah. Masasenya semakin intens, bak pemijat pro, pakde memasase payudara dari belakan. Sia-sia kedua lengan Ida drapatkan mencegah serangan. Masing-masing kelima jemari pakde sudah sedari tadi menembus pertahanan, membanjirkan desiran nikmat.

Sekian lama tak ada penolakan, kali ini dilakukan serangan frontal. Dari belakang kedua tapak tangan menangkup kemontokan payu dara Ida. Jemari yang satu meremas lembut, jemari yang lain memilin puting yang sudah mengeras sedari tadi. Ida pasrah dibuatnya. Ibu muda ini menikmati nikmatnya masase lalaki tua.

** Keberhasilan termin pertama.

Karena memang menang umur, yang artinya ekstra sabar, pakde merancang jerat lanjutannya. Dibalikkannya tubuh Ida, telentang, Ida berupaya memegang cup yang menempel didadanya. Pakde berniat masase dari depan terang terangan. Penuh percaya diri, Kedua tapak tangannya menelusup kebalik kaos, langsung menyelip kebawah cup, menangkup, buah dada montok, diulanginya masase yang tadi, tapi kali ini dari depan.

Shok juga Ida mendapati area kehormatannya mendadak dijarah lelaki tua asing ini. Terpana tak habis pikir, dipandangnya tajam lelaki tua dihadapannya, yang tampak serius berkonsentrasi memijat. Tapi desiran nikmat sedari tadi mengaburkan akalsehatnya, kedua tangannya kini dari balik kaos, memegang masing-masing punggung tapak pakde, menjaga agar tidak kurang ajar.

“Suka ndukkk..... pijatannya” pakde menggoda

“Shhh ... pakde nakal ...”

“Lho katanya tadi boleh...” tak dapat diingat Ida kapan dia mempermisikan, dirinya hanya terdiam ditimpa desiran nikmat.

“Ndukkk..... rasanya montok sekali susumu ini” sembari meremas dan memilin keras. “Kenyal sekali, pasti belum pernah nyusuin”

Mana ada perempuan yang tak bangga dipuji, “Hangat dan kenyal....” kembali diremas dan dipilin menggelinjangkan keras siibu. Tangan Ida kini mencengkeram tapak pakde, gemas mempermisikan aksi masasenya. Berulang-ulang dan berbagai gerakan masase.

Akal sehat Ida masih bekerja, diliriknya kolor pakde, yang terkadang menyentuh pinggulnya, terasa kosong. Pasti udah loyo ni kakek “pikirnya dalam hati mencemooh” Pada dasarnya memang Ida agak culas, ego kepentingan sendiri, terkadang mudah berbohong.

Pura-pura Ida menguji dengan dengkulnya, memang serasa kosong, tak ada yang menonjol diasana.

Pakde ketawa dalam hati, “Bocah bau kencur, aku ini sudah tuwir tapi rajin senam taichi, pernafasan dll. Masalah ngaceng atau tidak seperti tingal pencet tombol. Aku nggak nafsu sama kamu, bukan tipeku, paling ponten enam, ini cuman upaya menaklukan ponakanku”

Sekian lama pakde menggasak tubuh depan Ida dari balik kaos, dengan laburan minyak lotion zaitun, dijarahnya semua area yang terjangkau.

“Wah ndukkk perutmu rata nian, pandai kamu jaga diri, pasti suamimu bangga” bengkak lobang hidung Ida mendengar pujian, tak menyadari mana sopan dipuji sambil tubuh telanjang dijamahi. Sesekali jemari menyelusup kedalam ban kulot, menekan memijit perut bawah Ida, berbarengan dengan sebelah tapak tangan memeras payudara kenyal. Membuat Ida tak mapu memprotes. Sekali menjadi dua, dua menjadi tiga, dan menjadi berkali kali dibiarkan jemari menyelusup keban kulit.

Memberanikan pakde berpindah konsentrasi, sambil menambah minyak ditangan kali ini pakde memasase dari depan, wilayah dibalik ban kulit. Sembari menggigit bibir meningkatkan percaya diri, biar aja kakek ini mungkin hobi pijat, enak lagi, tak mungkinlah macam macam, dicermatinya kolor yang tak menunjukkan tanda kehidupan.

Sambil meningkatkan kewaspadaan Ida membiarkan, kedua jemari pakde menjarah jauh kedalam lapisan kulotnya.. Diperhatikannya wajah pakde serius konsentrasi. Bermenit-menit berlalu, sisi dalam kulotnya diperlakukan setara, bahkan sampai terasa kasat kehabisan minyak. Desir nikmat perlahan menghilang diganti rasa nyaman dan segar.

Pakde menarik tangan dan melaburkan kembali minyak zaitun, kali ini kembali menjarah kedua buahdada yang masih bersembunyi dibalik kaos. Langsung kembali Ida menikmati semilir nikmat, masase dipayudaranya, terpejam-pejam matanya, mulai turun tingkat kewaspadaan, sesekali menggigit bibir menahan enak. Sebelah tangan pakde segera merayap turun perlahan berpindah area serang, kali ini kembali menelusup ban kulut, langsung menjangkau jauh menyelip kebawah cd, memijat-mijat area baru, area pubik, menyentuh tebalnya bulu bulu rimbun.

Perlahan tapi pasti bagian tiap bagian sekujur tubuh indan terjarah. Kali ini sudah menjangkau perut bawah, yang ditumbuhi bulu tebal, tanpa sadar dibiarkan, bila tadi diwaspadai dengan ekstra cermat, tapi karena berkali kali ini diserang dua front sekaligus, tambah bobol kewaspadaan. Dengan sabar pijatan pakde tak merambah lebih jauh. Prinsipnya maju dua langkah, mundur satu langkah, dan kembali maju dua langkah, dikombinasi dengan serangan panas dingin bergonta-ganti. Sebelah tangan memasase payudara, sebelah lain memijat lipatan pangkal paha dan hutan segitiga disana.

“Pakde....shhh nakal...” Tangan Ida mencengkeram pergelangan yang nakal itu, tapi tanpa menahan bergerak, hanya mewaspadai bila turun lebih jauh. Tentu saja pakde jauh lebih lihai. Kali ini serangannya sekaligus panas menimbulkan desarn nikmat diseputaran dua bukit montok, serangan dingin di lipatan paha dan area segitiga, rasa nyaman urat-rat yang pegal. Berlama-lama.

**Demikianlah pakde memproklamirkan keberhasilan termin kedua

Ida yang sudah panas dingin keenakan, mendadak terhenti urutan pakdenya.

Membuka matanya diperhatikan pakdenya beringsut ke ujung dipan.

“Nduk....ini teknik pijat siatsu dari jepang, kombinasi refleksi dan akupuntur. Pakde cuman pernah ngerasain dan melihat tapi sama sekali nggak tau tekninya”

Penuh rasa ingin tahu dan kembali waspada, Ida memperhatikan, pakde berlutut dan mengangkat sebelah lutut ida, memanggul pergelangan kaki dibahu. Sebelah jemari mulai mengurut pergelangan kaki, sebelah lain memijat kuat telapak kaki, dimulai dari jemari dan seluruh tapak kaki. Terkadang lutut Ida ditekung, agar kedua jempol pakde bisa menekan kuat tapak kaki.

“Nah ini yg pakde nggak ngerti” Karena pijatan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan syaraf kaki.

“Ooo...” aneh-aneh aja, tapi nyaman benar lho. Ida kali ini sudah yakin seyakin-yakinya, kakek tua ini hobi pijat dan dipijat. Lumayanlah dijadikan latihan praktik dapat duit. Kewaspadaanya kembali menurun jauh ketingkat sebelumnya. Dicermatinya pakde mulai mengganti target ke kaki yang lain, membuatnya terpaksa mengangkang dihadapan tubuh pakde.. Berlama lama pijatan di tapak kaki, urat achiles, di pergelangan dan dibetis, dan bawah lutut. Berkali-kali diulangnya baluran minya ditangan. Ida merem melek nyaman keenakan. Hanya area itu yang bebas serang.

“Hmmm betismu istilah jawanya, bak padi bunting, menandakan proporsi yang indah”

Lagi lagi cuping hidung Ida mengembang.

“Harusnya sekarang pijat otot paha, tapi celanamu itu nggangu dik, susah kalo kulit nggak kena minyak.” Ida kembali dilanda kegamangan, tapi weleh kakek loyo memang bisa apaaan, sedari tadi juga bisanya cuma ngurut.

“Tuu kan... dipijat dilapis kain bisa lecet” sengaja pakde memijat atas lutut yang terbalut kulot.

“Harusnya dari tapak kaki keatas, kepaha, kembali lagi turun dan ditutup pijak refleksi, gitu sii teorinya” Pakde serius meyakinkan

“Pijatan tujuannya melancarkan aliran darah dan fungsi saraf, setelah semua lancar baru simpul-simpul syaraf di tapak kaki di pijat akupuntur, sehingga efeknya optimal keseluruh tubuh. Itu kenapa, kalo sakit lever, bila dipijat saraf tertentu dikaki bisa kesakitan” Tambah meyakinkan

Dengan sudah tanpa keraguan, Sambil telentang Ida melepas kancing kulotnya, mengangkat pinggul dan memelorotkan kulotnya, sampai kelutut di teruskan dibantu pakde lepas dari kaki. “Yessss...” sorak pakde. Walaupun ada CD, itumah urusan gampang, yang paling berat meyakinkan melepas celana. Ida pun merasa masih berpakaian, toh kaos dan cd nya masih terpasang. Dirinya lupa itu Cuma ilusi, wong isi dalamnya sudah dijarah habis. Seluruh wilayah sudah ditaklukan, tinggal pusat komandonya saja.

Menutupi semangat 45nya dengan berpura-pura kelelahan, pakde kembali berlutut keposisi tadi, mengangkat kaki Ida dan memanggulnya kembali. Menatap kakek loyo beringsut Ida merasa lucu sendiri. Tak menyadari predator siap menerkam.

“Waduhhh pahamu mulus nia ndukkk...istri pakde aja dulu rasanya tak seindah ini” Mulut pakde tak kalah lihatnya melontarkan pujian gombal. Saat meringis dipuji, sontak dirinya meraskan desir nikmat, batang pahanya diurut keras, geli campur nikmat

“Adduuhhhhhh... geli pakdeeee,,,” Ida kini menjerit lirih batang pahanya diurut kuat, pingulnya menggelinjang. Pakde mengurangi tekanan tenaganya

“Shhh.....shh......” Ida mendesis tiap kali kedua jemari pakde memeras naik turun batang pahanya yang mulus. Kedua tapak menjepit batang paha memerasnya turun sampai tangan menyentuh cd dan kemudia memeras naik kearah lutut, kuat dan perlahan, berulang-ulang. Membuat Ida menggelinjang-gelinjang. Sekian lama kegelian dan keenakan, pakde memberinya jeda. Pakde berngsut sedikit, memindahkan kaki di bahu kirinya, dan mengangkat kaki yang lain dibahu kanan. Terjadilah adegan heboh. Sepasang kaki paha telanjang dipanggul lelaki tua. Kembali diulangnya serangan ke batang paha sebelahnya, yang langsung juga membuat Ida menggelinjang kembali.

Kembali pakde memperlihatkan kesabarannya memeras batang paha Ida, sesekali dengan sengaja saat memeras kebawah, sisi kelingkingnya menekan lepitan pangkal paha terbalut cd, yang sudah ternyata sudah lembab. Berpura-pura Memeras memutar dipangkal paha,, sengaja menggesek pusat kewanitaan.

Ibu jari pakde menekan kuat sisi dalam paha Ida, mencari pusat sarat terpeka dipaha dalam, dicobanya beberapa titik dan diteumkannya. Ida kontan menjengkit tersengat geli saat titik dipaha dalamnya ditekan kuat. Tiap wanita punya lokasi yang berbeda2. Sesekali pakde menekan kuat ibu jari disana melentingkan Punggung ida kegelian menyengat.

Serangan panas birahi ini, semakin membubungkan Ida dalam kenikmatan, sangat gelisah dirinya digoda berahi sedari tadi, serangan panas dingin berganti-ganti. Susah payah dipandanginya, wajah pakde yang tampak serius mempraktikan seni pijatnya.

“Hhhhhh.... pakde....hhh... geliiihhhh” berlama lama Pakde mendera Ida dengan kenikmatan

Ketika pakde memperhatikan Ida sudah kian sering memejamkan mata, disiapkannya serangan tahap berikutnya.

Mencapai termin ketiga

Pakde melepaskan serangannya, dan bangkit beringsut merebahkan diri menyamping sisi Ida, “Hhhhhhhhhh..... cape juga....wah belum setengah jam sudah lemes gini, ternyata hebat yaa para tukang urut bisa bekerja berjam-jam” Dengan cerdik, pakde mengelabui Ida berpura-pura loyo, bersiap melancarkan termin keempat, serangan final.

“Hooo...ohhhh, pakde....” sangat kecewa kehilangan desiran nikmat dan geli bertubi-tubi “tapi pakde urutannya enak sekali lhoo...” sopan santu Ida balas memuji. “pasti nggak kalah dengan pengurut profesional” Ida menatap wajah yang ada disisinya.

Sambil menelengkan kepala dengan tangannya, tangan kanan pakde seolah tak sengaja mengelus perut telanjang Ida yang kaosnya kurang panjang menutup kebawah. “Ahh kamu bisa aja, wong cuma asal-asalan meniru” berpura merendah. Ida sama sekali tak menyadari, dirinya sudah diambang pemangsaan. Ibarat bendungan, tanggulnya sudah kritis, sudah retak, siap bobol. Bra sudah lepas kancingnya, kulot sudah lepas, hilang waspada, bolak balik didera kenikmatan.

“Bener pakde, belum pernah Ida merasa nyaman diurut seperti ini” Berbohong, maksudnya keenakan.

“Ahh masa...”

“Bener, deh...: cup mendadak Ida men-sun pipi laki tua, refleks bangkit mesranya, mau nggak mau telah digasak sekujur tubuh.

“Tapi Ida, tubuhmu benar-benar mulus lho, aku cermati dari ujung kepala keujung kaki” puji pakde seraya memulai serangan barunya, tanganya kembali mulai menjelajah sekujur depan Ida, membelai lembut perut yang rata, naik keatas menelusup dalam kaos membelai buah dada kenyal, menggilas pentil, perlahan berulang-ulang.

“Shhhh pakde ....bisa aja” tersenyum menerima puji dan desir nikmat, buah dadanya kembali diremas. Ida kini linglung tak bisa membedakan pura-pura mengurut dan jamahan porno.

“Wahhh... andaikan pakde lebih muda dua puluh tahun, pasti nduk aku kejar habis-habisnya” Tapak tangannya menyusur kebawah, seolah mengulang pijatan tadi dipangkal batang paha.

“Hii...hi....hiii...shhhhh pakde bisa saja..hhh” Ida merasa lucu mengabaikan usapan-usapan, yang semakin mendesir nikmat. Dibiarkan dan kini kian dirindukan, belaian jemari pakde dipusat kepekaannya.

Kembali tangan pakde mengusap keatas, sengaja meraba dan menekan daging dilapisi cd, merambah keatas , menyelinap dalam kaos dan kembali menyergap buah dada yang membusung, meremas kian kasar, memilin puting kian keras.

“Shhh pakde.....geli...” kini Ida yang berpura-pura

“Wahh ndukkk, pakde jadi kepingin lihat susumu, daritadi hanya terasa mengkal dan montok nian” berpura=pura selucu mungkin, sembari memilin puting yang lain bergantian “Pasti indah sekali... pakde sudah bisa membayangkan”

Setengah tak sadar, naluriah Ida melepas kaosnya, terjadilah kedua insan berbaring berdampingan hanya mengenakan penutup aurat bawah.

“Tuh... betulkan...”Indah sekali...” pakde menegakan tubuhnya, sebelah tangannya kontan meremas susu yang lain, kembali terulang masase payudara, kali ini sama sekali direlakan telanjang.

Ida mulai menggelinjang keenakan, menerima serangan panas yang kian intens. Matanya mulai kembali merem melek. Sabar dan lembut kedua tapak tangan pakde menggarap area peka buah dada Ida, berlama-lama kembali membawa Ida terbang.. Bak bermain piano, tapak tangan yang lain kembali mengggarap pangkal paha Ida, memijitnya bergantian.

Tak terasa Ida semakin merapatkan pahanya menggapai nikmat pijatan disana. Terasa basah cd dikepitan paha Ida. Disengajakan jemarinya menggosok paha dengan sisi menggerus cd yang basah, Semenit dua berlalu intensitas tinggi ini, menggarap atas bawah, mulai membuat pinggul Ida menggeliat naik, berusaha menyentuhkan daerah klitnya ke tangan pakde.

Pakde merasakannya sudah tiba waktunya serangan utama, memandangi ibu muda yang gelisah menggeliat dihadapannya, segera menyelipkan jarinya masuk kedalam cd, menerobos rimbunnya bulu tebal, menyeruak menemukan liang yang sudah basah. Tanpa sungkan, sembari menggosok kerimbunan bulu, jari tengahnya mulai mencucuk masuk, melakukan pengenalan lingkungan, dimana pusat sensitif.

Kontan Tubuh Ida menjengkit “Ngghhhhhhh. Tangan Ida menggenggam kuat tangan tangan yang menyiksanya, tapi bukannya minta berhenti tapi mencari pegangan. Kelihaian jemari pakde mulai membuat pinggul Ida bergerak semakin liar. Dengan cepat pakde menemukan daging menunjol diliang, dan mempermainkannya, mencari sentuhan apa yang paling membuat pinggul ini menggelinjang,. Ternyata hanya dengan tekanan jari sedang dikelentit itu, membuat pinggul menggeliat.

Karuan saja, dimaksimalkan intensitasnya, membuat pinggul itu kian menggelora, mengejar kelincahan jemari menekan-nekan disana.

Hingga akhirnya Ida mengejang kuat, mencapai puncah klimaksnya. Dijepitnya jemari nakal itu sekuat tenaga dikepitan pahanya, tangannya menekan kuat tangan laki tua, tak mengijinkan untuk pergi.

Tercapailah termin keempat

Sambil tersenyum sendiri, pakde mulai merancang proyek lainnya, dua proyek sekali jalan.

Sekian menit berlalu, saat mata Ida mula terbuka,”Sebentar pakde kecapaian maklum udah tua, ambil minum dulu yaa haus, cape niii ngurut” demikian lihai pakde menegaskan semua itu hanyalah urut-mengurut dan diirnya lelaki loto” Ida nurut saja, memang hanya diurut, tak mungkinlah kakek ini masih bisabangun . Dari tadi saja Cuma begitu, sambil mengingat2

Pakde mengambila sarung yang terlipat, ditebarkannya menutup ketelanjangan Ida, melangkah keluar, menutup pintu, mencari ponakannya dikamar, sengaja bertelanjang dada hanya kolor kebanggaan.

“Ndukkkk... anu...pakde sebenarnya bisa menaklukan tetanggamu, tapi ...” akting malu

“Kenapa pakde...” Widia terheran. Diperiksanya pengakuan pakdenya, melangkah menuju kamar belakang, membuka pintu hati hati, dan mengintip Ida terbaring , hanya pinggul diselimuti sarung, dengan dada yang telanjang. Widia menafsirkan pasti telanjang bulat, padahal cdnya masih ada lho.

“Knapa pakde....” bertanya ulang ke pakdenya yang sudah duduk disisi ranjang.

“Anu... ndukkk... oom mu nggak bisa bangun”

“Hahhhhh masa...” tak percaya dirasa Widia, wong kemarin lusa, dirinya habis-habisan digarap” tapi pakde kemarin...” sampai merona merah wajahnya

“Lha kan sudah pakde bilang, saya sendiri heran, sudah lama loyo, kok memergoki kamu tidur langsung tergugah? Pakde hanya bisa menduga karena kamu mirip bude atau karena kenangan kita lalu”

“Jadi gimana dong rencana kita pakde” Kecewa rencananya gagal menjatuhkan Ida.

“Nggak tahulah pakde..., hanya sama kamu lah pakde berhasrat” melontarkan tipuan sekaligus gombal

Widia terdiam berpikir keras, teringat janjinya kemarin lusa untuk tak mengulang hubungan intim dengan pakde “Gimana yaa...? tanya dihati

“Gimana nduk.... sebentar lagi Ida pasti minta pulang” mengejek dan mendesak, membaca kebingungan ponakannya

Fellatio-02-Atten-Hut.jpg

“Ngghhh.... aku kocok lagi pakde??” tanyanya jengah

“Terserah kamu lah, pakde nurut.” sorak sorai batinnya, dengan akting ogah-ogahan

Segera Widia memelorotkan kolor, berlutut dihadapan pakde yang berdiri telanjang, mendapatkan unggokan daging lunglai, terlihat kecil dibandingkan keperkasaan kemarin. Dibelai-belainya sembari diurutnya oomnya yang lemas.

Wah...sia-sia tekad nya tak mengulang, padahal belum ada dua hari.

Sekian lama tak kunjung bangkit, yang memang ditahan oleh pakdenya yang sudah ahli,

“Anu ndukkk, mungkin buka bajunya...” pakdenya mengingatkan.

“OO iya, kemarin kan aku dipergoki tidur dengan pakaian daster” Tanpa ragu dilepaskan seluruh bajunya telanjang dihadapan pakdenya. Agak kasar karena ingin cepat, Widia jongkok dengan wajah menghadap paha pakde. Langsung menyelomot daging yang layu.

Sembari menyeringai pakde menjangkau kedua buah dada yang menggantung, dipermainkannya kedua benda peka itu. Sekian lama berlalu tak juga bangkit oomnya itu. Widia kini merasakan kembli desiran desiran nimat akibat payudara dibelai belai. Mulai pegal Widia beranjak dan berlutut ditengah pembaringan, pakde merespon dengan membaringkan badan. Widia langsung menundukkan wajah kembali mengulang kuluman burung yang lemas, sembari memijat bola yang bergantung.

Tentu saja pakde tidak menyaiakan peluang ini, direngkuhnya bokong bulat, diangkatnya, yang terpaksa dituruti widia yang tengah mengemot, sembari beringsut. Dibopongnya, bulu rimbun dikangkangkan diwajahnya, langsung pakde menjilati bibir kemaluan ponakannya. Kontan bergetar pinggul Widia.
69-01-Original.jpg

Kini dengan santai pakde menjilat-jilat bibir kemaluan, kedua tangannya meremas-remas lembut dua buah dada yang bergelantungan. Kontan efek terasa uar biasa intens mendera Widia

Tanpa disadari menjelang terulang kembali, peristiwa yang diniatkannya tak akan terulang. Dengan gemas Widia meningkatkan kulumannya tak juga membawa hasil, pikirnya dalam hati, benar rupanya analisa pakde. Pinggulnya bergoyang keenakan menghindari serangan lidah pakde dibibir liangnya. Makin merasa keenakan, tak kunjung ommnya bangkit. Sedang birahinya kian membara.

Pakde, yang merasakan strteginya berjalan lancar, meningkatnya intensitas serangannya, digulingkan tubuhnya menyamping tanpa menghentikan permainan lidah, mencari posisi agar bisa serang lebih baik. Kini dua tubuh telanjang itu saling terbaling rapat dalam posisi miring. Cucukan pakde semakin dalam, gempuran lidahnya merambah kearea yang makin luas. Serangannya tidak sekedan mencucuk dan menjilat, tapi menjilat sambil menekan dan mengampelas dengan lidah kasar. Kian menggeleparkan Widia.
69-04-Sideways.jpg

Dua menit berlalu, paha widia dengan kurang ajar mulai menjepit pakdenya, membenamkan wajah tua itu di liang kenikmatan, tak kuat menahan intensitas kenikmatan yang dirinya mulai, yang mulai mendengus keenakan. Tak juga oomnya bangun. Putus asa ... ya wesss pikirnya dalam hati, gagal sudah rencanaku. Dinikmati saja yang enak dibawah sana

“Pakde....jahat....shhhhh’

“Hmphhhhh....: pakde tak bisa menjawab wajahnya dikempit habis habisan. Dirasakannya alat vitalnya sudah berhenti dikerja Widia. “Rasain luuu...kena dehhh” rencananya kembali berhasil meyakikan Widia. Llidahnya kian dicucukkan dalam dalam. Melentingkan pinggang Widia, “Ngghhhhhhhh....”

Lidahnya dengan kasar menggerus berbagai sisi liang Widia, diimbangi dengan gelinjangan liar. Pakde kini mulai menjilat-jilat, menarik nafas dalam-dalam, melakukan olah nafas, tanpa terasa diganggu kempitan paha Widia disisi telinganya. Upaya ponakannya mengempit ditahannya dengan mengangkannya lebar-lebar paha. Perlahan namun pasti, batangnya mulai bangun, kombinasi olah nafas, geliatan birahi w, rintihan dan suara lenguhan nafas. Hal yang tak diketahui Widia. Karena Widia sudah memulai pendakian klimaksnya, liangnya dikocok-kocok lidah tua kasar. Pinggulnya kini melonjak liar.

“Pakde...hh...pakde.....” Widia mengejang dan mengedan, dipuncak klimaksnya

Pakde beringsut keatas, meletakkan pinggulnya diantara kangkangan paha w, mendekatkan wajahnya ke wajah yang terpejam sayu. “Ndukkk ommmu sudah bangun tuu” sengaja meledek, wanita yang sedang terlena.

“Ooo yahhh...” kontan bangkit setengah sadarnya, tangannya lemas menjangkau kebawah, dan keget mendapati batang keras yang kembali tegang seperti kemarin.
FF-15-Missionary.jpg

Dengan nakal pakde, menyentuhkan helm bajanya kedalam lepitan yang panas dan basah, menekan pelan, sedikit menyumpal. “Hanya kamu yang bisa membangkitkan gairah pakde nduk”

Menceracau Widia tak sadar bangkit egoisnya “Masukin pakde ....hhh” lupa sudah janji, padahal baru saja dua hari.

“Lho ndukkk ...” seolah menggoda “Kan kita udah sepakat tak mengulangi lagi, nanti Ida curiga” tapi memantapkan penerimaan ponakannya, yang sedari kemarin masih menolak dirinya.

“Nghhhh..... jahat....ayo dong....”

“Ya wesss nduk...” kontan diamblaskan batangnya disana, mengisi pejal liang wanita Widia.

“Shhh.....” demikian lega, korekan lidah lihai pakdenya walaupun hebat, tapi masih tak sebanding dengan kepenuhan gelorah birahi dibawah sana, disumpal pejal batang keras.

Mumpung baru klimaks, pakde segera memainkan teknik standarnya, batang ditekan keras keberbagai sisi liang w, perlahan tapi kuat Tiap kali ditekan tiap kali Widia menggeliat, mengeluhhh menghantar nya kebukit bukit klimaks yang berturutan

“Pakdehhhhh....Pakdehhh... entah beberapa puluh kali Widia menggeliat dan mendengus digasak batang pakdenya, sampai akhirnya lemas sama sekali.

Mengetahui sudah cukup, “Pakde menjalankan perintah ya nduk” meledek habis.
Cuek saja melenggang telanjang, pakde memasuki kamar belakang, mendapati Ida sedang terlelap. Buah dadanya indah membusung telanjang. Sarung yang hanya mamapu menutup bagian bawahnya.

Pakde menyiapkan serangan pamungkasnya, meterai hubungan raga. Dibukanya sarung, dikangkangkan paha telanjang , Diposiskan dirinya bersimpuh diantara paha yang mengangkang lebar.

Mulai dijilatinya bulu-bulu halus dipangal paha, perlahan. Dijangkaunya kedua tangan keatas membelai dada telanjang yang membusung, semenit dua menit Ida masih tak sadar ada yang mempermainkan dirinya, tapi lidah pakde mulai merasakan meremangnya bulu-bulu halus yang dijilatinya. Puting diatas sana juga mulai mengeras.

“Ida... “ slrupppp “Ida ....” slurippp sambil memanggil lrih sambil menjilat berulang ulang, semenit dua, hingga akhirnya Ida terbangun

“Ya ...pakde....” sedari tadi rupanya dirinya sudah terbangun, tapi kehilangan pemahaman, kaget dan bingung ada lelaki yang memanggil lirih, kok ada yang mengerayangi, kok ada yang menjilati, kok telanjang. Tapi ingatannya pulih. “ooo kakek loyo tukang urut, pakdenya Widia, uang seratus lima puluh ribu”

Slurip.....“Sudah bangun tooo...” slurpp “., enak tidurnya?” Slurpp ..... slurp...

“Iya pakde... habis pekade pandai mengurut sih, sudah jam brapa, biasanya brapa jam sihh pakde” Ida bersemu merah, dan tak mampu menyembunyikan mata duitannya

Slurpppp “Biasanya antar sejam dua jammm” slurppp “tergantung sihh” slurpp “mau pulang ndukk?”
Cunnilingus-13-Scarf-0-0.jpg

“Iya eh... nggak pakde... terserah saja” takut kepotong bayarannya berahi mulai menjangkiti dirinya, sedari tadi buah dadanya dibelai, pangkal pahnya dijilati.

Slurpp “Ya wiss kalau mau pulang: slurp “tapi pakde mau kasih salam..” slurp...slurp

“Shhh.... salam apa pakde...” kian geli

Slurp “ boleh pakde cium ini? “ slurp slurp pakde mencucukan lidahnya di bagian cd yang sudah basah kuyup.

Kaget juga Ida, dimintai hal tak genah ini, tapi karena akan pulang, dan sedari tadi memang hanya pijat erotis, pura –pura enggan, Ida mengangguk.

S;urp “Bolee nduk? Slurp tentusaja anggukan itu tak terlihat

“”Iya... tapi jangan nakal yaa...shhh” Entah berapa kali Ida mengancam jangan nakal tapi selalu jebol. Sudah hakul yakin pakdenya Widia loyo, wong sedari tadi kalau mau bisa macem2.

Dengan sigap pakde melucuti cd, yang dengan sukarela dibantu Ida dengan menggangkat pinggulnya. Pakde yang berjongkok menyembunyikan ular pyton yang siap menerkam, menggangkat rapat kedua belahan paha lurus keatas, dan menarik cd itu , keatas, melewati lutut, dan akhirnya lepas, asal dilempar.

Slurp “ kapan-kapan urut lagi yaaa” slurp ... kali ini lidah pakde mulai membantai pusat komando Ida

“Ngghhhhhh....iyahhh ... pakdehhh... hhhh” sudah enak, dibayar pula, pikirannya jahat.

Kian ganas pakde mencucuki dinding liang itu, kembali menggeletarkan dirinya. “shhh...shhhh”

Bergantian mencucuki dan mengamplas gundukan daging kecil dipngkal liangnya, menjadikan Ida kian mendesis dan terhentak-hentak.” Shh....shhhh”

Sekian lama pakde menggasak wanita ini dengan tujuan membungkam kesadarannya oleh puncak klimaks. Hingga memang pada akhirnya tercapai puncak klimaks itu,

“Shhh..... “ Ida mengedan panjang, membeliakkan matanya saat klitorisnya dihisap kuat-kuat saat melewati puncak nikmat.

Dengan sigap pakde menggeser tubuhnya keatas, bertumpu kedua siku, bidang dadanya menindih buahdada yang kenyal mengganal, mulutnya mendekati mulut Ida yang ternganga ngos-ngosan, sengaja bagian bawahnya tak menyentuh pangkal. Lidahnya mencucuki ringan sisi mulut Ida, kedua lubang hidung, menyapu bagian pinggir berulang ulang.

“Boleh dimasukin?” pakde mengejek berbisik, sengaja menyalahtafsirkan maksud tujuan

“Boleh pakdeeee” tentu saja yang Ida maksud adalah lidah pakde mencucuk rongga mulutnya

“Rasain luuu...” ejek pakde dalam hati, mengarahkan rudal dengan hati-hati, menempelkan diliang paha yang sudah terkangkang lebar, langsung mencobloskan dalam-dalam

“Egggggghhhhhhhhh....” Tak sanggup memprotes mulutnya disumpal kuluman bibir pakde, “apa itu....dibawah... aduhhhh mama....aduh mama.....”batinnya kaget menjerit, tapi sanubarinya terlegakan, menikmati kepenuhan diruang kewanitaannya, sesak terasa seolah keulu hati.

Mendadak buas, sebelah tangan pakde mencengkeram kepala Ida, merapatkannya untuk mulutnya dikemot habis-habisnya, mencegahnya menyuarakan protes. Sebelah tangannya kuat mencengkeram bokong, mencegahnya melarikan diri. Pinggulnya menekan kuat lagi, semakin amblas, menekan lagi. Sampai lima kali upaya paksa pakde lakukan hingga akhirnya amblas dengan penuh.

Tak sanggup Ida menggeliatkan pinggulnya melarikan diri, setelah lima kali upaya paksa. Kontan Ida kembali merasa lemah dirinya meresapi nikmatnya kepenuhan dibawah sana, “apa ituuu.. aduhh mama ...apa itu...”

“Mphhh.....mgphhh...mmphhhh...” desahan nafasnya terganjal kuluman pakde., yang dengan teratur menekan kuat kuat liangnya. Dengan kejam pakde mengorek-ngoerk rahimnya sampai akhirnya Ida sungguh lunglai tak berdaya. Hujaman pakde tak mampu lagi diresapi nya. Matanya terkejam rapat.

Pakde mengistirahatkan dirinya, terutama memberikan kesempatan Ida terlena, yang karena lunglai tak mampu memprotes menyuarakan penolakan.

Batangnya tetap dibiarkan terganjal, kakinya lurus rapat, diantara kedua paha Ida yang sedari tadi berupaya mengangkan selebar-lebarnya, tak kuat menyangkak batang keras yang meluluhlantakkan lubang pusat komandonya. Ditumpukan berat tubuhnya merata keatas tubuh Ida, mengupayakan berpadunya seluas mungkin permukaan kulit mereka. Kedua tangan menjepit wajah Ida, yang kini matanya terpejam nafas terengah-engah,dengan mulut terbuka, sangat menggairahkan.

Dinantikan menit menit berlalu, sampai akhirnya kembali kesadarannya perlahan

“Huuuhuuuu pakde jahat... pakde nakal...: Menyadari dirinya kini adalah istri ternoda. Tanpa menyadari egoisnya selama ini bermain api menggoda suami orang sekedar alasan ekonomi.

“Lhooo ndukk.... tadikan pakde minta ijin, dibolehkan” Terkekeh dalam hati ...

“Nngghhhhhh....” tak sanggup mencari alasan pembenaran, memang diingatnya tadi lelaki yang disangkanya loyo ini minta ijin dimasukin, dkiranya ijin lidah mencium masuk kemulut. Tak habis pikir sejak kapan kok batang mengeras, wong secara cermat terus menerus diwadpadainya. Tapi semilir birahi, segera menyapu penyesalannya.

“Pakde boleh cium....” lelaki tua ini mengajukan ijin yang tak perlu, wong sedari tadi sudah melumat habis-habisnya. Tapi maksudnya, belum ada ijin mencium sedangkan ijin yang lain, termasuk membenamkan batang ke vagina, sudah diberikan.

“Ngghhhh....” mengijinkan, mulailah pakde mengecupi wajah Ida, berlama-lama memesrai, membiarkan tubuh dibawahnya memulihkan tenaga, untuk sebentar dihajarnya kembali.

Ida meresapi kemesraan laki tua yang hampir tak dikenalnya ini. Awal dikira tua dan loyo, dalam waktu sejam lebih memberikan berbagai kenikmatan dan kenyamanan bagi dirinya. Pejal dan sesak memenuhi liang wanitanya, membuatnya tak habis pikir. Percik-percik nikmat sedikit membara, meresapi liangnya yang berdenyut-denyut.

“Pakde.... lepas....”

“Tapi ndukkk pakde belum apa-apa?, sedari tadi nungguin Ida”

“Hahhhh kaget benak Ida” memang seikitpun tak berkurang kepenuhan dibawah sana.

“ngghhhh...” pura-puira menolak manja

“Bolee ya ...” direpon diam saja, tandanya tak menolak, tapi malu mengundang

Pakde mulai lembut menarik tiangnya perlahan, untuk kemudian diamblaskan lagi lebih perlahan, sangat sabar puluhan kali dua detik sekali, berati lebih tiga menit.
FF-07-Drill.jpg

Hingga suatu saat, dirasakannya kuku Ida mencengkeram bokongnya, sekuat tenaga mengkikuti hujaman dan tarikannya, menadakan pendkian puncak nikmat.

Pakde menggangkat kedua lutut Ida mengangkang melayang, merubah tumpuan bobot tubuhnya sebagian, ke lengan lurus disisi kepala Ida. sebgian lagi di paha yang ditindih perutnya. Posisi yang makin membuat coblosannya kian mendalam. Dihujam demkian dalam tak kuat rasanya Ida menahan derita, dijepitnya kuat-kuat pinggang yang menghujam dirinya. Pakde sedikit mepercepat coblosannya, Ida mulai melontarkan geliatan erotis pienggulnya, menyambut dan menarik setiap hujaman yang datang. Ida sekuat tenaga tanpa sadar mulai menguleg-nguleg batang yang memberinya kenikmatan tak tertahan. Dengan penuh kesabaran pakde mengikuti goyang ngebor Ida, padahal sebaliknya permpuan itu lah yang dibor.

Semakin cepat pinggul Ida berputar, dan melenguh lenguh, diimbangi kecepatan hujaman yang sama. Singkat kata Ida kembali meledak mencapai puncak orgasmenya, saat pakde masih jauh dari finish. Kebetulan pakde melirik pintu, didapatinya ponakannya terpana menontont adegan penyiksaan ini. Entah sejak kapan mengintip.

Kontan saja pakde mempertontonkan keperkasaaannya , sembari mengedipkan mata memberi kode “Beginikah maksudmuuu ndukkk”

Tak memperdulikan Ida yang tengah menggelepar melewati klimaks, dilipatgandakan kecepatan hujamannya, menusuk keberbagai arah. Dipan lama itu menjerit-jerit keras Bahkan karena tubuh Ida menggeliat melarikan diri keatas pembaringan, kepalanya mentok dipapan dipan, tapi karena tak berkurang hantaman dari bawah, leher itu sedikit menekuk, akaibat lari menghindar. Pinggul pakde tetap merapat dan menghujam kian cepat, kini kedua tangan pakde memegang bahu Ida, mencegahnya bergesar keatas.

“Ohhh....sudah....ohhhh.... sudah...” Ida kini merintih menghiba

Sambil melirik, dan memberi tanda, dengan roman bertanya, pakde tetap konstan kecepatannya menghujam dan menarik batangnya,.

Dua pasang mata saling menatap, pakde mentatapnya pandangan mata Widia yang terpana, yang satu eksibionis memamerkan kecepatan gerakan pinggulnya, membiarkan korban Ida menggelepar menghiba dihentikan penyiksaan.

Akhirnya Widia mengangguk, entah apa maksudnya, mungkin cukup deee.

Kontan Pakde mengentikan hujamannya, melepaskan diri, dan menyelimuti tubuh lunglai telanjang dengan sarung tadi., sambil berbisik “Ndukkk kamu nanti keluar sendiri yaaa, saya ngamanin W, supaya nggak ketahuan, nggak sadar ranjangnya keras berbunyi


Dirinya melangkah keluar ruangan menghampiri ponakannya yang sedari tadi terpana menonton adegan. Widia yang menggengam tiga lembar lima puluh ribuan meletakkan uang itu dimeja makan.

Menyambut pakdenya yang merapat terutama batang keras yang mengacung. Meremasnya gemas, tak habis pikir sudah tua kok kerasnya tak kunjung hilang. Jangan2 batang bikinan? Tapi dirasakannya kini berdenyut-denyut

Pakde menatap tajam menyirakkan keinginan hatinya. Yang kali ini dengan segera dituruti Widia. Digandengnya batang keras itu, menyeret pakde kekamar depan, tersenyum geli pakde diperlakukan demikian.

Didorongnya kasar tubuh pakde terlentang di kasur, dengan kaki terjuntai menapak lantai. Widia dengan cepat menanggalkan kembali pakainya. Sisa kelembaban divaginanya tak sempat dibersihkan, keburu didengarnya berbagai suara aneh dibelakang, terutama keriyetan dipan kayu yang bergoyang keras. Ditambahi lenguhan-lenguhan tetangganya, mendorong widia, mengintip dan terpana sendiri.

Birahinya kontan kembali bergolak golak memandang pakde memacu menunggangi saingan asmaranya. Haru rasanya pakdenya menuruti perintahnya. Diperlihatkan kekasaran dan kebuasan menyenangkan hati w, membayangkan siksa derita musuhnya. Apalagi saat pakde mendapati dirinya mengintip, dan bertanya dengan kode, luluh hati widia, lengkaplah rasa sayangnya. Ditambah lagi ketika diperintahkan dengan anggukan, langsung pakde melepas perilaku seksnya dan menghampiri dirinya. Widia kini yakin seyakin nya bahwa pakdenya hanya bisa menikmati dirinya.

FF-16-Missionary-Inverted.jpg

Tanpa basa basi, Widia berjongkok cepat mengamblaskan batang itu kerahimnya, butuh tiga kali mengedan panjang, untuk amblas cukup dalam. Widia memutuskan melakukan tarian erotis kesukaan pakdenya, diingatnya pujian-pujian lalu

Mengintip keluar kamar, menilai ruang tengah kosong, dan dipandangnya ada tiga lembaran limapuluh rebu, segera disambarnya, dan berjingkat cepat keluar rumah, pulang. Walaupun terasa lemah lunglai, lega aman....Widia nggak tahu.
 
Terakhir diubah:

03. Widia dan Ida antara Submisif dan Adiktif​

Uang kemarin sudah habis dalam dua hari, gaji suaminya belakangan ini tidak jelas, Suami Widia, menurut info baru pulang lusa. Teringat pakde hasratnya membara, mendorong Ida seusai masak dan rapi2, berkunjung ketetangga.

“Mbak Widia permisi...” disambut serempak Pakde dan Widia yang keluar dari kamar masing-masing. Panas hati Widia ditahannya sekuat tenaga “Eh Ida masuk....”

Merona paras muka Ida ditatap pakde “Hmmm Widia nggak tau ini ?” “Mas Abie belum pulang yaaa mobilnya nggak ada, ditanyain suamiku kapan bisa ngganti jadwal ronda, kemarin kamis” Pintar Ida mengarang alasan

“Tunggu pulang deh” beramah-ramah ditahan kesabarannya, karena Widia merasa punya senjata menjatuhkan nama baik Ida dimuka suaminya. Thank’s to pakde

“Kebetulan kerjaan dapur sudah selesai, kalau pakde masih pegal aku pijitin?” Nadanya memang ramah menawarkan tapi niatnya duit dan hasrat, tanpa menyadari Widia mengetahui rahasia itu

Kaget Widia mendengar tawaran ramah ini, menolak salah bukan urusannya, mengiyakan makin panas batinnya, merasa pakdenya sekarang sudah jadi kesayangannya disamping suami tercintanya.

Pakde pun diam cengengesan, menyerahkan segalanya ke Widia, wong ponakannya yang punya rencana.

“Terserah pakde, dia yang ngeluh dari kemarin”

Mendengar nada ketidak sukaan ponakannya, pakde menolak halus “Sudah banyak berkurang kok pegalnya, lagi pula nggak enak merepotkan”

“Wow Widia, kalo ini aku bawa minyak urut spesial dari herbal, mahal lho harganya, minyak kemarin sedkit kurang pas” dikuping yang nggak tahu, jawaban ini terdengar cerdas, tapi bagi Widia memuakkan. Kalau pakde sih santai saja, bakalan ketiban rejeki nomplok lagi

Widia tak punya alasan keberatan yang pas, yang malah menimbulkan kecurigaan mengambat rencananya. “Monggo dik, urus pakdeku yang baik, terima kasih sebelumnya” Eneg rasanya bermanis-manis “Sana ditempat biasa saja”

Ketika Ida sudah agak menjauh, digeretnya pakde kekamar “Hmmmm enaak yaaa, pagi pagi disamperin cewe” matanya melotot, sambil mencubit keras, suaranya penuh nada cemburu. Sangat beda dengan tiga hari lalu.

“Aduuuuuu..., lha tadi kan pakde sudah nolak, wong kamu yang ngiyakan?” pamer muka tak bersalah. Membuat Widia KO terdiam.

“Ya udah anggap lanjutan rencana kemarin, tapi jangan lama-lama”

“Wah.... waktu urut kan dua jam, mau berapa lama”

“Itu kan kalo urut beneran, wong ini...ihhhh” semakin keras dicubitnya

“Ampun nduk.... terserah kamu lah berapa lama

“Lima belas menit, awas telat” maunya sich semenit, tapi mana mungkin, yang kemarin saja hampir dua jam “Sudah sana...” Kesal dan panas mengusir padenya

Kontan saja pakde ngeluyur keluar kamar, menuju ruang belakang. Didapatinya ida sedang bebenah. “Ndukkk tunggu sebentar, baringan aja dulu, pakde nyelesaikan sedikit kerjaan yang tadi, tanggung” Ida mengangguk, menahan hasratnya, uang kan sudah ditangan.

Pakde keluar dan menutup pintu, balik lagi kekamar depan, masuk dan menutp pintu

“Sudah? Cepat sekali” Widia mengejek cemburu. Pakde menikmati sandiwara dan adu muslihat ini

“Anu ndukk...”

“Knapa....” melotot galak, dua hari yang lalu mana berani Widia galak ke pakdenya, tapi setelah kemarin lusa, tunduk total, keluar perilakunya seperti istri, posesif, mengatur, bukan ponakan lagi.

“Mesinnya nggak bisa stater...” pakde menggoda.

Widia terdiam, tersapu seluruh amarah dan cemburunya “oo iya pakde hanya bisa birahi padaku saja” tersadar dalam hati. Dihampiri pakdenya , dipeluknya dan dikecup bibirnya “Maapin Widia yaa, marah marah...” Sejenak keduanya kambali terlibat adu mulut, kali ini adu mulut dalam leterlek.

Teringat kejadian lusa “Pakde... gimana caranya bisa bangun? Kemarin sudah susah payah kok nggak berhasil, tapi tiba tiba bisa...” jengah sendiri Widia menganalisa kejadian lalu

“Pakde sekian hari ini juga coba analisa, mungkin...mungkin lho...”

“Knapa pakde...”

“Dari dulu kamu banyak mirip dengan budemu, perawakan, cara jalan, ngomelnya. Setiap prilakumu yang mengingatkan akan budemu rasanya langsung membuat tegangan tinggi”

Analisa yang masuk akal Widia “Hmmm jadi apa aja ya gaya bude dulu... Widia mau coba buktikan?”
 
Langsung keluar kreatifitas laki tua ini “Biasa dulu kalau budemu, ngundang pakde cumbu, dia pake daster. Daster tanpa bh artinya minta dicumbu lama-lama dimanjakan, kalau tak pakai cd tandanya minta dikasari dan pasif, Daster dg bh dan cd tandanya mau nyervis, biasanya kalau pakde pulang dari luar kota kelelahan. itu sementara yang pakde ingat.

“Sana keluar dulu, aku mau praktikan, kalau pintu dibuka tandanya udah siap”

Pakde melangkah keluar menjenguk pasien yang lain

“Awas, Widia pagi gini suka mondar-mandir, tukang urut pakaian biasanya kain kalau yang tradisional, kalau panti pijat pakai hotpan bahan halus agar tidak bikin lecet klien saat kerja. Darurat pakai sarung saja, maaf yan ditinggal dulu. Ooo iya, tak sempat ambil uang di atm” disodorinya dua lembar lima puluh ribuan.

Pakde mengecek dan menutup dan mengunci seluruh pintu, memperkirakan bakalan terjadi pertarungan panjang. Ketika melewati kamar depan, dilihatnya pintu sedikit terbuka. Pakde masuk dan mengunci pintu, dilihatnya Tubuh widia berbaring dikasur, memunggungi pintu. “Yessssss” pakde bersorak, ponakannya memakai daster selutut tanpa lengan.

Pakde menghampiri dan naik kepembaringan memeluk dari belakang, dikecupnya sisi leher dan telinga Widia. Terasa hangat hembusan nafas pakdenya. Konsisten dengan akalnya yang tak genah tadi, konsisten tangannya melakukan penjajagan lingkungan, sembari mengecup pipi Widia yang berpura tidur, dirabanya sisi punggung. Hmmm tak terasa ada tali bha....meraba turun kepinggul, kaget juga tangannya tak merasakan adanya lapisan CD “ Waduuu... minta diperkosa ini anak???”

Memahami teknik komunikasi asal karangnya, tanganya langsung menggerayangi sekujur tubuh, dan segera mendapatkan bahwa memang tak berbh dan tak bercd. Digigitnya bahu yang tak tertutup daster, sambil meremas keras payudara montok, sembari, membelai kasar batang paha yang mulus. Menyingsingkan daster tinggi keatas dan langsung menjamahi rimbunnya bulu tebal bawah perut. Tanpa sedikit mesra pakde segera membenamkan wajahnya dipangkal paha Widia. Dimulainya jilatan keberbagai arah. Horisontal dari sisi dalam paha kiri menuju sisi dalam paha yang lain, melewati dan membajak pangkal liang. Da berbalik arah. Dilanjutkan dengan jilatan dari bawah hampir mendekati anus, menggusur naik membajak kembali liang dan naik keatas benerobos kerimbunan bulu tebal., dan berbalik arah turun kebawah.

Diulangnya berkali-kali, kebuasan itu. Denganjcepat membuat Widia kelojotan kegelian, langsung basah liang kewanitaanya. Dibekapnya kepala jahat yang menggerusi pangkal pahanya, menekan dalam minta kian dikasari.

Kini serangannya berubah menjadi cucukan-cucukan dalam lidahnya mengorek-ngorek sisi kewanitaaan Widia. Tujuannya dua, pertama membasahi dengan cepat berupa ludah dan lendir kenikmatan, sekaligus memnyiapkan penetrasi sesegera mungkin. Sedari tadi menjilati, pakde ssudah mengatur nafas, mengejangkan otot kegelnya, memerintahkan bangun. Agar memberikan informasi bagi Widia bahwa memang betul analisanya. Otongnya ternyata masih patuh, segera bangkit, tanpa perlu dicoek apa-apa. Pakde memelerotkan kolornya tanpa sedikitpun mengurangi korekan lidahnya diliang Widia.

Tuingg, semudah mengerek tiang bendera, dengan mudah batang mengeras, terutama membayangkan dua calon mangsa yang tengah menanti.

FF-15-Missionary.jpg


Mengingsutkan badannya naik, pakde menempatkan topi baja diliang yang kini basah sengaja diludahi. Agak membungkuk sambil memegang batangnya, pakde mencobloskan sedikit, hanya topi baja batangnya. Membuat Widia terlongo, tak menyangka, dikasari adalah seperti ini.

Segera ditariknya kembali batannya keluar slepp, langsung dicobloskan kembali blesss

Coblosas dan tarikan dilakukan dengan cepat, memaksa Widia mengangkangkan pahanya lebar lebar. Walaupun terlihat kasar, tapi secara real, tidak berat, karena hanya coblosan sebatas topi baja. Yang menesahkan Widia adalah, coblosan itu sangat cepat, kurang mengenakkan dirinya. Tapi toh banjir juga ahirnya liangnya.

Pakde merasakan lembab dan basah yang berbeda diujung batangnya. Sinyal bagi gaya penetrasi berikutnya. Kali ini dicobloskan perlahan tapi bertenaga, terus menekan, terus menekan sampai amblas. Pakde menelungkupkan dadanya menekan dada Widia, merapatkan wajah mengulum bibir yang sedari tadi melongo terpana.

Dimulailah salah satu gaya favorit pakde yang terbukti disukai Widia. Sambil mendekap dan mencium mesra, penggul nya yang terlatih dan lentur dilengkungkan keatas perlahan menarik batang keras tiga perempat, disambung dengan ditekan kebawah perlahan dan bertenaga, mengamblaskan kembali batang, menyeruduk ujung rahim Widia

“Shhhh....” mendesis nikmat walaupun serasa diperkosa. Betulah apa yang dikatakan pakde, dirinya adalah sosok pengganti budenya, tuh buktinya batang mengeras tanpa diapa-apakan, hanya sekedar daster. Tidak seperti kemarin.

Begitulah kini, gaya pakde memperkosa dengan cepat membawanya ponakannya mencapai klimaks. Seperti biasa sambil mulutnya dilumat, sambil terus batangnya menggoyang dari bawah, mengiringi Widia mengejang-ngejang berkepanjangan.

Seusai badai mereda, “bagaimana bune, aku kerja?, ada pesan?”

“Nggghhhhh jangan kayak kemarin, keenakan dia... dan jangan lama-lama, lima menit, awas lebih”

“Ya nggak masuk akallah nduk ...” ntar malah dia curiga. Ngurut aja bisa setengah jam” Pakde mengarang alasan mengajukan anggaran waktu lebih panjang menggarap mangsa yang satu itu. Kalau mangsa yang ini, tak perlu terburu-buru

“Yaa udah bagaimana bagusnya...ngggg nanti perkosa lagi yaaaa” Widia manja melepas kesayangannya berjuang, tak menyadari Ida sebenarnya hampir tidak mengurut, sebaliknya berlama diurut dalam upaya menaklukan keculasan dan matrenya. Berikutnya mah tinggal hajar, tomgga; ,memetik hasil. Tak percuma susah payah berjuang menaklukan secara terhormat dan gentel.

Karena Widia dasternya tidak dilepas, Widia menelentang memandang pakdenya keluar ruangan dan pintu tertutup. Pakde mampir dulu kekamar mandi dengan cepat membasuh pangkal batangnya dari sisa-sisa pertempuran. Pakde menuju ruang belakang dan kini memasang slotan pintu, mencegah Widia mengintip dan memergoki, nanti bisa pasang alasan, Ida yang pasang slot pintu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd