02 Ida Meng-kadali Buaya
Pasangan Yanto dan Ida adalah tetangga yang mengontrak persis disamping rumahnya. Ida sebaya dengan dirinya. Secara ekonomi mereka pas-pasan. Perasaan Widia sudah curiga suaminya main mata dengan Ida. Tapi tak pernah bisa dibuktikan, wong karena waskat dan dirinya selalu ada dirumah. Entah kalau rendevue di luar.
Kejadian dengan pakde, menimbulkan ide tak genah
“Pakde, aku ada masalah dengan tetangga sebelah, curiga Mas Abi ada main dengan dia”
“Masa sih nduk? Kamu yakin?”
Belum terbukti sih, tapi gimana panas betul hati ini, padahal bertetanggal
‘Mau kamu apa, Nduk?”
“Pakde rayu dia, nanti aku tunjukan ke mas abi bahwa dia perempuan nggak betul’
“Bolee juga rencana nii anak” ujar pakde dalam hati, wah harus disiasati nih.
“Mana mau dia ama orang tua bangkotan seperti pakde”
“Mmmm nanti aku yang atur”
“Nggg anu nduk....” pakde kembali pasang jerat, belum tentu pakde sanggup, itu tu..
“Lho pakde kan kemarin.....hebat sekali ....” sambil berbisik takut kedengaran hantu, padahal rumah kosong
“Itu kan hanya dengan kamu ndukkk, masa sih nggak percaya udah dibilang berkali2, itu pun nggak sengaja mergoki kamu tidur, terbayang sosok budemu, krn itu pakde sudah tua gini kok jadi lupa daratan?”
“Nggg nanti widia pikirin, tapi pakde mau bantu yaa?
Widia menduga, Ida saat tanggal tua bakalan sering mampir, tampaknya mengharapkan sedit bantuan suaminya. Dan betul saja. Ida berkunjug beramah-ramah, sambil menanyakan Abi kok nggak kelihatan padahal mobil ada sejak kemarin lusa.
“Ooo mas Abi keluar kota, paling cepat tiga hari lagi, kenapa Ida”
“Anu ada pesan dari mas Yanto tentang jadwal ronda” pandai Ida menyamarkan maksud. Suaranya agak gelisah, maklum selama ini secara diam-diam Abi sedikit-sedikit memberikan uang, dengan niat tertentu, yg kelamaan jadi terasa sebagai penerimaan rutin. Hutang warung sudah menumpuk, sisa gaji suaminya terlanjur habis urusan lain.
Mewujudkan dendamnya, Widia memasang jerat. “Ida kamu sudah kenal pakde ku kan, kemarin lusa baru datang dari Surabaya, eh kamu tau nggak tukang urut yang bagus. Pakdeku disurabaya ada tukang urut langganan, disini aku tak tahu”
“Lho kenapa nggak mbak aja yang ngurut?”
“Sungkan aja dengan pakde sendiri, apalagi aku memang nggak bisa ngurut. Tolong ya kasih informasi tukang urut yang baik, maksimal seratus lima puluh ribu per datang satu jam”
“Aku aja deh mbak, mungkin cocok urutanku” “besar juga seratus lima puluh ribu Cuma sejam, katanya dalam hati. “Tapi mbak ada nemenin kan? Aku juga emoh kalau sendiri
--
“Pakde ini kenalkan Ida, tetangga sebelah. Katanya kemaren pegal-pegal naik bis lama, Ida ini katanya jago urut lho” Widia belagak promosi “Daripada cari tukang urut diiklan, dia aja”
“Waduuu....gimana ya?” Pakde mengimbangi sandiwara Widia pura2 menolak
“Knapa pakde? Kemarin katanya mencari, sekarang kok berubah?” Ida mulai dihinggapi rasa cemas, kehilangan potensi penerimaan dadakan.
“Anuuu....” “Knapa.??? Widia mendesak
Pura-pura membisikan ketelinga Widia, tapi tetap terdengar Ida “Yang ngurut cantik manis begini, biasanya pakde dengan nenek tua atau orang buta”
“Welehhhh, kirain ada apa, Ida kamu dibilang cantik oleh pakde, pakde sungkan, kamu bisa sekarang Ida?”
“Terserah pakde lah” lega juga, dikirain penolakan apa gitu
Untung ada lotion minyak zaitun, pakai ini dulu Ida, sana di kamar pakde dibelakang.
Pakde mempersiapkan diri, melepas pakaian dan memakai kolor tanpa cd. Dirinya menarik nafas dalam-dalam berkonsentrasi mempersiapkan raga tuanya.
Sekian lama hidup sendiri dan banyak membaca buku tua, pakde mendapatkan kitab kuno ajaran tao, sex kuno ala tao dari dataran China, dimana dengan olah raga jasmani pengaturan nafas, perlahan-lahan kehendak atau pikiran bisa mengendalikan jasmani. Dengan olahnafas semacam Wei Tang Kung, perlahan suatu saat pikiran mengendalikan raga, terutama kejantanan. Kelancaran darah dan sehatnya simpul saraf memudahkan kehendak pikirannya membangunkan atau menidurkan siotong sesukannya.
Jangan sampai si otong mendadak bangun mengagetkan lawan.
Pakde menelungkupkan diri, berkonsentrasi mengatur nafas menahan si otong.
Dirasakannya ada yang masuk kekamar, dan duduk disisi tempat tidur, mulai mengurut.
“Wooo dasar anak muda sekarang, nggak becus apa-apa” ejek pakde dalam hati, merasakan Ida mulai mengurut sekenanya. Dicuekin saja.
Sepenuh daya Ida mengerahkan kemampuannya, memang dasar tak pernah berlatih, lama-lama dirinya kelelahan sendiri. Ternyata otot-otot pakde sangat pejal, bahkan melebihi suamiya, teknisi PLN. Kerasnya otot pakde dengan cepat menghabiskan tenaganya, waktu pun baru sepuluh menit. Keringat mulai menetes didahi. Nafasnya yang sedikit terengah langsung disadari pakde
Pakde membalikkan badan, “Kamu capai nduk?”
“Nggak kok” pura-pura
Ayo balik lagi pakde
“Lebih keras lagi nduk” pakde bersiasat, “naaa. Disitu... pegal sekali, yang keras nduk...”
Semakin menetes keringat Ida, pijatannya melemah
“wah...pasti kamu capai yaa”
“Nggak kok hhh...” masih juga berbohong, karena mengharap bayaran “urutan saya gimana pakde ...” tanya nya khawatir
“Ngggg...” pakde menolak menjawab, Ida merasa pasti kurang enak.
“Anu pakde, tadi mbak Ida nawarin aku, asal aku iyakan saja, karena lagi kepepet butuh uang. Sejam seatus lima puluh ribu, padahal aku sudah bilang tak biasa ngurut lho?” Ida memelintir alasan.
“Ya sudah nduk, urut sesukamu saja, tunggu sejam, nanti aku iyakan urutannya, bereskan”
“Trima kasih pakde” Kini Ida tak lagi mengurut, telapak tangannya yang berbalur lotion dibelainya ke dada pade., yang kini terlentang
“Wah kamu keringatan, pakde mengusap peluh didahi Ida. Capai yaa?
Ida tersenyum meneruskan belai urutnya
“Ngurut tu begini” sambil berbaring pakde manjangkau bahu Ida, jemarinya mencari dan menemukan otot tegang disana, dipijitnya dengan tekanan sedang, perlahan-lahan sampai otot itu melemas kembali.
Jarang bahkan tak pernah Ida merasakan pijatan seenak ini, “Enak pakde.., kok malalah pakde yang bisa ngurut”
“Iya lah nduk, puluhan tahun diurut lama-lama kang ngerti mana yang enak dan yang tidak?” sambil terus memijit
“Sebelahnya pakde” waduh... tukang urut malah kasih perintah, yang dituruti pakde sambil berbaring memijit sisi leher dan kepala Ida.
“Waduhhh nduk lulitmu lembut sekali” sembari memijit leher. Sebelah tanganya meraba bulu-bulu halus dilengan Ida, tanganmu juga halus sekali. “Wah cilaka nduk..”
“Knapa pakde?”
“Anu tadi pakde menolak karena kamu cantik sekali, pakde udah tua, lama hidup sendiri kangen juga membelai kulit halus dan wajah cantik, jadi teringat puluhan tahun lalu, tuh pakde gemas ngeliat kamu”
“Terus... udahan ah... nggak tahan Pakde ingin membelai kamu”
“Wah bagaimana ini” bisa nggak dibayar penuh “Iya udah pakde sama-sama ngurut aja, tapi jangan nakal yaa? Ida mengancam penuh percaya diri, wong sudah tua loyo bisa apaan.
“Sini kamu baring, kasian cepe dari tadi” Pakde menggeserkan tubuhnya. Ragu juga Ida, tapi karena memang kecapaian dan pegal sedari tadi, dirinya naik kedipan berbaring miring menghadapi laki tua ini. Karena berbaring miring, hanya tangan kiri Ida yang bebas, sebaliknya tangan kanan pakde yang bebas
“Pakde!!” kaget juga Ida merasakan tapak tangan pakde menjangkau langsung kulitnya. Rupanya pakde langsung sanya menyelinap dibaling kaos Ida yang memang sedikit terangkat.
“Lho katanya tadi boleh” pakde nyengir menggoda
“oo iya lupa” Ida kembali setengah melamun membelai dada pakde
Cekatan tapak pakde menggerayangi seluruh punggung Ida, memijit-mijit. Sekali sekali tapaknya turun kebawah punggung menekan kuat tulang belakang. Tapi rintangan tali beha bak jadi polisi tidur menghalangi mondar mandirnya tapak kasar itu.
“Punggungmu lembut sekali nduk...” Keenakan Ida diurut punggungnya, tak sadar beringsut merapat, tentu saja dipengaruhi tekanan urutan yang sengaja diperkuat sekaligus mendorong merapat. Selang berapa menit, kedua tubuh itu lumayan merapat, bahkan lengan kiri pakde yang tertindih tubuhnya sendiri, tapaknya sudah menyentuh gundukan buah dada Ida, yang terbalut bra. Sengaja kembali pakde menekan urut di daerah tali beha, mendorong dada itu tersentuh tapak tangan yang sengaja terbuka.
Karena sudah merapat, dan dada membusung sudah merapat ditapak tangan kiri, tanpa Ida sadari. “Hi..hi...hi...” pakde udah lupa bulu ketiak perempuan” Pijatan mulai mengarah kesisi punggung, menjelujuri naik keatas dan turun kebawah berulang-ulang. Tak usah ditanya pangkal susu yang berkali-kali tersenggol, menimbulkan desiran nikmat,
Selanjutnya pakde berkonsentrasi diketiak yang dihiasi bulu tebal, gayanya mengurut otot ketiak, sedikit banyak menekan pangkal payu dara sebelah atas. Kini mulai kian menggelisahkan Ida.
“Enak nian diurut...” Mana pernah mas Yanto mengurut dirinya
Telaten pakde mengurut disana, sesekali jempolnya melebar sengaja menyentuh montoknya buah dada Ida, dibatasi bra. Ida mendiamkan saja. Bahkan tanganya kini berhenti meraba, tapi merangkul leher pakde layaknya sepasang kekasih. Terasa sangat nyaman otot-otot punggungnya dipijati.
Semakin dibiarkan, pakde makin memberanikan diri, “lembut kali dadamu nduk..” sembari menyelinapkan ibu jari kedalam cup branya dari sebelah atas. Berkutat disekitar sana, jempol itu memijat lembut pangkal gundukan susu kenyal, empat jari yang lainnya pura-pura menggaruki bulu-bulu ketiak yang tebal. Makin mendesirkan nikmat buah dadanya dipijat lembut.
Sekali kini jempol mulai menyentuh puting, seolah tak sengaja, membuat Ida sedikit terjengkit, “Pakde....shhh...” walaupun enak, Ida menegur.
“Maaf nggak sengaja nduk, habis pegel nii, sana tengkurap, pakde mau serius ngurutnya
Mulailah pakde mengerahkan tenaga mengurut punggung ibu muda ini, membalurkan tangannya dengan minyak lotion, jemarinya lincah mencari otot-otot sekujur punggung yang mulus. Mengurut dari dalam lapisan kaos,.
“Tenaganya cukup ndukk..” keenakan Ida diurut punggungnya ditambah licinya minyak loton.
“Hooo oooh pakde”
“Tukang urut harus tahu seberapa besar tekanan tenaga yang diinginkan pasiennya” Pakde berceloteh sambil rajin menjelajahi sekujur punggung mulus Ida. Sesekali jempolnya menyeiop masuk ke ban kulot Ida, menekan kuat urat di pangkal tulang belakang.
Bermenit-menit pakde mengurut sekujur punggung, pangkal leher, dan kulit kepala, yang membawa kesegaran. “Wah.. talinya makin ganggu saja nii nduk”
Meyakini pakde Cuma mengurut, sambil tengkurep kedua tangan Ida menjangkau kaitan bh dipunggungnya melepas kaitan tersebut. Untuk jaga-jaga Ida, tak melepas Bhnya, bahkan kedua tanganya merapat disisi tubuh
“Hmmm kena kau...” pakde melanjutkan pijatannya, kali ini sesekali masing-masing empat jarinya yang dilaburi minyak mengurut kedua sisi tubuh Ida, menekan kuat dari pinggang ke ketiak. Percuma saja sisi lengan Ida merapat, toh tetap saja area dekat pangkal susunya terjamah kembali. Kali ini Ida merasakan nyaman, bercampur geli. Pakde berkonsentrasi dikedua wilayah itu terus menerus. Sesekali tampak pundak Ida terjengkit saat usapan jemari merambah kuat disisi tubuh yang peka. Nyaman dilengkapi dengan desiran nikmat. Pakde sedikit memperkuat tekanan tenaganya,, saat melalui area itu, kontan membuat Ida menggelinjang
“Hmmm sudah lampu kuning nii menjelang ijo..” Pijatan berikutnya lebih diturunkan sedikit, menggusur sisi pinggang, yang tentu saja kini menabrak pangkal susu. Kembali membuat tubuh menggelinjang. Dengan tekun dulangnya berkali kali mengurut sangat perlahan namun bertenaga.
“Sakit ndukk...” pakde menggoda
“Shhh... nggak pakde geli....” Menambah intensitas, pijatan pakde terkadang berkutat diketiak, jempolnya menekan bulu ketiak, keempat jemari memutar-mutar menjangkau dada atas Ida dari belakang. Secara khusus menghindari daerah terlarang., disambung dengan pijatan menurun, dengan sengaja semakin memasuki pangkal payudara, dan kembali keatas.
Tali bra sudah tergeletak, hanya cup nya saja yang masih tertindih montoknya payudara. Pikiran Ida sudah buntu tak bisa membedakan mana urutan yang betul mana yang nakal, karena saat akan diprotes serangan ditarik mundur, meninggalkan desir nikmat.
Semakin berani urutan itu, usapan dari belakang, kali ini mulai dari punggung, kesisi dada pangkal dada, merambah ke atas dada . Praktis bukit payudaranya sekarang diurut.
“Pakde....shhhh” protesnya terdengar tak jelas
“Ya... nduk...” sembari memutar masingmasing keempat jarinya , dipangkal payudara
“Pakde... geliiiihhh...”
“Oooo.....:” kini urutan sudah menjadi massage payudara, mulai kini pakde tak lagi bergerilya, sudah melakukan serangan terbuka, mengingat perlawanan sudah melemah. Masasenya semakin intens, bak pemijat pro, pakde memasase payudara dari belakan. Sia-sia kedua lengan Ida drapatkan mencegah serangan. Masing-masing kelima jemari pakde sudah sedari tadi menembus pertahanan, membanjirkan desiran nikmat.
Sekian lama tak ada penolakan, kali ini dilakukan serangan frontal. Dari belakang kedua tapak tangan menangkup kemontokan payu dara Ida. Jemari yang satu meremas lembut, jemari yang lain memilin puting yang sudah mengeras sedari tadi. Ida pasrah dibuatnya. Ibu muda ini menikmati nikmatnya masase lalaki tua.
** Keberhasilan termin pertama.
Karena memang menang umur, yang artinya ekstra sabar, pakde merancang jerat lanjutannya. Dibalikkannya tubuh Ida, telentang, Ida berupaya memegang cup yang menempel didadanya. Pakde berniat masase dari depan terang terangan. Penuh percaya diri, Kedua tapak tangannya menelusup kebalik kaos, langsung menyelip kebawah cup, menangkup, buah dada montok, diulanginya masase yang tadi, tapi kali ini dari depan.
Shok juga Ida mendapati area kehormatannya mendadak dijarah lelaki tua asing ini. Terpana tak habis pikir, dipandangnya tajam lelaki tua dihadapannya, yang tampak serius berkonsentrasi memijat. Tapi desiran nikmat sedari tadi mengaburkan akalsehatnya, kedua tangannya kini dari balik kaos, memegang masing-masing punggung tapak pakde, menjaga agar tidak kurang ajar.
“Suka ndukkk..... pijatannya” pakde menggoda
“Shhh ... pakde nakal ...”
“Lho katanya tadi boleh...” tak dapat diingat Ida kapan dia mempermisikan, dirinya hanya terdiam ditimpa desiran nikmat.
“Ndukkk..... rasanya montok sekali susumu ini” sembari meremas dan memilin keras. “Kenyal sekali, pasti belum pernah nyusuin”
Mana ada perempuan yang tak bangga dipuji, “Hangat dan kenyal....” kembali diremas dan dipilin menggelinjangkan keras siibu. Tangan Ida kini mencengkeram tapak pakde, gemas mempermisikan aksi masasenya. Berulang-ulang dan berbagai gerakan masase.
Akal sehat Ida masih bekerja, diliriknya kolor pakde, yang terkadang menyentuh pinggulnya, terasa kosong. Pasti udah loyo ni kakek “pikirnya dalam hati mencemooh” Pada dasarnya memang Ida agak culas, ego kepentingan sendiri, terkadang mudah berbohong.
Pura-pura Ida menguji dengan dengkulnya, memang serasa kosong, tak ada yang menonjol diasana.
Pakde ketawa dalam hati, “Bocah bau kencur, aku ini sudah tuwir tapi rajin senam taichi, pernafasan dll. Masalah ngaceng atau tidak seperti tingal pencet tombol. Aku nggak nafsu sama kamu, bukan tipeku, paling ponten enam, ini cuman upaya menaklukan ponakanku”
Sekian lama pakde menggasak tubuh depan Ida dari balik kaos, dengan laburan minyak lotion zaitun, dijarahnya semua area yang terjangkau.
“Wah ndukkk perutmu rata nian, pandai kamu jaga diri, pasti suamimu bangga” bengkak lobang hidung Ida mendengar pujian, tak menyadari mana sopan dipuji sambil tubuh telanjang dijamahi. Sesekali jemari menyelusup kedalam ban kulot, menekan memijit perut bawah Ida, berbarengan dengan sebelah tapak tangan memeras payudara kenyal. Membuat Ida tak mapu memprotes. Sekali menjadi dua, dua menjadi tiga, dan menjadi berkali kali dibiarkan jemari menyelusup keban kulit.
Memberanikan pakde berpindah konsentrasi, sambil menambah minyak ditangan kali ini pakde memasase dari depan, wilayah dibalik ban kulit. Sembari menggigit bibir meningkatkan percaya diri, biar aja kakek ini mungkin hobi pijat, enak lagi, tak mungkinlah macam macam, dicermatinya kolor yang tak menunjukkan tanda kehidupan.
Sambil meningkatkan kewaspadaan Ida membiarkan, kedua jemari pakde menjarah jauh kedalam lapisan kulotnya.. Diperhatikannya wajah pakde serius konsentrasi. Bermenit-menit berlalu, sisi dalam kulotnya diperlakukan setara, bahkan sampai terasa kasat kehabisan minyak. Desir nikmat perlahan menghilang diganti rasa nyaman dan segar.
Pakde menarik tangan dan melaburkan kembali minyak zaitun, kali ini kembali menjarah kedua buahdada yang masih bersembunyi dibalik kaos. Langsung kembali Ida menikmati semilir nikmat, masase dipayudaranya, terpejam-pejam matanya, mulai turun tingkat kewaspadaan, sesekali menggigit bibir menahan enak. Sebelah tangan pakde segera merayap turun perlahan berpindah area serang, kali ini kembali menelusup ban kulut, langsung menjangkau jauh menyelip kebawah cd, memijat-mijat area baru, area pubik, menyentuh tebalnya bulu bulu rimbun.
Perlahan tapi pasti bagian tiap bagian sekujur tubuh indan terjarah. Kali ini sudah menjangkau perut bawah, yang ditumbuhi bulu tebal, tanpa sadar dibiarkan, bila tadi diwaspadai dengan ekstra cermat, tapi karena berkali kali ini diserang dua front sekaligus, tambah bobol kewaspadaan. Dengan sabar pijatan pakde tak merambah lebih jauh. Prinsipnya maju dua langkah, mundur satu langkah, dan kembali maju dua langkah, dikombinasi dengan serangan panas dingin bergonta-ganti. Sebelah tangan memasase payudara, sebelah lain memijat lipatan pangkal paha dan hutan segitiga disana.
“Pakde....shhh nakal...” Tangan Ida mencengkeram pergelangan yang nakal itu, tapi tanpa menahan bergerak, hanya mewaspadai bila turun lebih jauh. Tentu saja pakde jauh lebih lihai. Kali ini serangannya sekaligus panas menimbulkan desarn nikmat diseputaran dua bukit montok, serangan dingin di lipatan paha dan area segitiga, rasa nyaman urat-rat yang pegal. Berlama-lama.
**Demikianlah pakde memproklamirkan keberhasilan termin kedua
Ida yang sudah panas dingin keenakan, mendadak terhenti urutan pakdenya.
Membuka matanya diperhatikan pakdenya beringsut ke ujung dipan.
“Nduk....ini teknik pijat siatsu dari jepang, kombinasi refleksi dan akupuntur. Pakde cuman pernah ngerasain dan melihat tapi sama sekali nggak tau tekninya”
Penuh rasa ingin tahu dan kembali waspada, Ida memperhatikan, pakde berlutut dan mengangkat sebelah lutut ida, memanggul pergelangan kaki dibahu. Sebelah jemari mulai mengurut pergelangan kaki, sebelah lain memijat kuat telapak kaki, dimulai dari jemari dan seluruh tapak kaki. Terkadang lutut Ida ditekung, agar kedua jempol pakde bisa menekan kuat tapak kaki.
“Nah ini yg pakde nggak ngerti” Karena pijatan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan syaraf kaki.
“Ooo...” aneh-aneh aja, tapi nyaman benar lho. Ida kali ini sudah yakin seyakin-yakinya, kakek tua ini hobi pijat dan dipijat. Lumayanlah dijadikan latihan praktik dapat duit. Kewaspadaanya kembali menurun jauh ketingkat sebelumnya. Dicermatinya pakde mulai mengganti target ke kaki yang lain, membuatnya terpaksa mengangkang dihadapan tubuh pakde.. Berlama lama pijatan di tapak kaki, urat achiles, di pergelangan dan dibetis, dan bawah lutut. Berkali-kali diulangnya baluran minya ditangan. Ida merem melek nyaman keenakan. Hanya area itu yang bebas serang.
“Hmmm betismu istilah jawanya, bak padi bunting, menandakan proporsi yang indah”
Lagi lagi cuping hidung Ida mengembang.
“Harusnya sekarang pijat otot paha, tapi celanamu itu nggangu dik, susah kalo kulit nggak kena minyak.” Ida kembali dilanda kegamangan, tapi weleh kakek loyo memang bisa apaaan, sedari tadi juga bisanya cuma ngurut.
“Tuu kan... dipijat dilapis kain bisa lecet” sengaja pakde memijat atas lutut yang terbalut kulot.
“Harusnya dari tapak kaki keatas, kepaha, kembali lagi turun dan ditutup pijak refleksi, gitu sii teorinya” Pakde serius meyakinkan
“Pijatan tujuannya melancarkan aliran darah dan fungsi saraf, setelah semua lancar baru simpul-simpul syaraf di tapak kaki di pijat akupuntur, sehingga efeknya optimal keseluruh tubuh. Itu kenapa, kalo sakit lever, bila dipijat saraf tertentu dikaki bisa kesakitan” Tambah meyakinkan
Dengan sudah tanpa keraguan, Sambil telentang Ida melepas kancing kulotnya, mengangkat pinggul dan memelorotkan kulotnya, sampai kelutut di teruskan dibantu pakde lepas dari kaki. “Yessss...” sorak pakde. Walaupun ada CD, itumah urusan gampang, yang paling berat meyakinkan melepas celana. Ida pun merasa masih berpakaian, toh kaos dan cd nya masih terpasang. Dirinya lupa itu Cuma ilusi, wong isi dalamnya sudah dijarah habis. Seluruh wilayah sudah ditaklukan, tinggal pusat komandonya saja.
Menutupi semangat 45nya dengan berpura-pura kelelahan, pakde kembali berlutut keposisi tadi, mengangkat kaki Ida dan memanggulnya kembali. Menatap kakek loyo beringsut Ida merasa lucu sendiri. Tak menyadari predator siap menerkam.
“Waduhhh pahamu mulus nia ndukkk...istri pakde aja dulu rasanya tak seindah ini” Mulut pakde tak kalah lihatnya melontarkan pujian gombal. Saat meringis dipuji, sontak dirinya meraskan desir nikmat, batang pahanya diurut keras, geli campur nikmat
“Adduuhhhhhh... geli pakdeeee,,,” Ida kini menjerit lirih batang pahanya diurut kuat, pingulnya menggelinjang. Pakde mengurangi tekanan tenaganya
“Shhh.....shh......” Ida mendesis tiap kali kedua jemari pakde memeras naik turun batang pahanya yang mulus. Kedua tapak menjepit batang paha memerasnya turun sampai tangan menyentuh cd dan kemudia memeras naik kearah lutut, kuat dan perlahan, berulang-ulang. Membuat Ida menggelinjang-gelinjang. Sekian lama kegelian dan keenakan, pakde memberinya jeda. Pakde berngsut sedikit, memindahkan kaki di bahu kirinya, dan mengangkat kaki yang lain dibahu kanan. Terjadilah adegan heboh. Sepasang kaki paha telanjang dipanggul lelaki tua. Kembali diulangnya serangan ke batang paha sebelahnya, yang langsung juga membuat Ida menggelinjang kembali.
Kembali pakde memperlihatkan kesabarannya memeras batang paha Ida, sesekali dengan sengaja saat memeras kebawah, sisi kelingkingnya menekan lepitan pangkal paha terbalut cd, yang sudah ternyata sudah lembab. Berpura-pura Memeras memutar dipangkal paha,, sengaja menggesek pusat kewanitaan.
Ibu jari pakde menekan kuat sisi dalam paha Ida, mencari pusat sarat terpeka dipaha dalam, dicobanya beberapa titik dan diteumkannya. Ida kontan menjengkit tersengat geli saat titik dipaha dalamnya ditekan kuat. Tiap wanita punya lokasi yang berbeda2. Sesekali pakde menekan kuat ibu jari disana melentingkan Punggung ida kegelian menyengat.
Serangan panas birahi ini, semakin membubungkan Ida dalam kenikmatan, sangat gelisah dirinya digoda berahi sedari tadi, serangan panas dingin berganti-ganti. Susah payah dipandanginya, wajah pakde yang tampak serius mempraktikan seni pijatnya.
“Hhhhhh.... pakde....hhh... geliiihhhh” berlama lama Pakde mendera Ida dengan kenikmatan
Ketika pakde memperhatikan Ida sudah kian sering memejamkan mata, disiapkannya serangan tahap berikutnya.
Mencapai termin ketiga
Pakde melepaskan serangannya, dan bangkit beringsut merebahkan diri menyamping sisi Ida, “Hhhhhhhhhh..... cape juga....wah belum setengah jam sudah lemes gini, ternyata hebat yaa para tukang urut bisa bekerja berjam-jam” Dengan cerdik, pakde mengelabui Ida berpura-pura loyo, bersiap melancarkan termin keempat, serangan final.
“Hooo...ohhhh, pakde....” sangat kecewa kehilangan desiran nikmat dan geli bertubi-tubi “tapi pakde urutannya enak sekali lhoo...” sopan santu Ida balas memuji. “pasti nggak kalah dengan pengurut profesional” Ida menatap wajah yang ada disisinya.
Sambil menelengkan kepala dengan tangannya, tangan kanan pakde seolah tak sengaja mengelus perut telanjang Ida yang kaosnya kurang panjang menutup kebawah. “Ahh kamu bisa aja, wong cuma asal-asalan meniru” berpura merendah. Ida sama sekali tak menyadari, dirinya sudah diambang pemangsaan. Ibarat bendungan, tanggulnya sudah kritis, sudah retak, siap bobol. Bra sudah lepas kancingnya, kulot sudah lepas, hilang waspada, bolak balik didera kenikmatan.
“Bener pakde, belum pernah Ida merasa nyaman diurut seperti ini” Berbohong, maksudnya keenakan.
“Ahh masa...”
“Bener, deh...: cup mendadak Ida men-sun pipi laki tua, refleks bangkit mesranya, mau nggak mau telah digasak sekujur tubuh.
“Tapi Ida, tubuhmu benar-benar mulus lho, aku cermati dari ujung kepala keujung kaki” puji pakde seraya memulai serangan barunya, tanganya kembali mulai menjelajah sekujur depan Ida, membelai lembut perut yang rata, naik keatas menelusup dalam kaos membelai buah dada kenyal, menggilas pentil, perlahan berulang-ulang.
“Shhhh pakde ....bisa aja” tersenyum menerima puji dan desir nikmat, buah dadanya kembali diremas. Ida kini linglung tak bisa membedakan pura-pura mengurut dan jamahan porno.
“Wahhh... andaikan pakde lebih muda dua puluh tahun, pasti nduk aku kejar habis-habisnya” Tapak tangannya menyusur kebawah, seolah mengulang pijatan tadi dipangkal batang paha.
“Hii...hi....hiii...shhhhh pakde bisa saja..hhh” Ida merasa lucu mengabaikan usapan-usapan, yang semakin mendesir nikmat. Dibiarkan dan kini kian dirindukan, belaian jemari pakde dipusat kepekaannya.
Kembali tangan pakde mengusap keatas, sengaja meraba dan menekan daging dilapisi cd, merambah keatas , menyelinap dalam kaos dan kembali menyergap buah dada yang membusung, meremas kian kasar, memilin puting kian keras.
“Shhh pakde.....geli...” kini Ida yang berpura-pura
“Wahh ndukkk, pakde jadi kepingin lihat susumu, daritadi hanya terasa mengkal dan montok nian” berpura=pura selucu mungkin, sembari memilin puting yang lain bergantian “Pasti indah sekali... pakde sudah bisa membayangkan”
Setengah tak sadar, naluriah Ida melepas kaosnya, terjadilah kedua insan berbaring berdampingan hanya mengenakan penutup aurat bawah.
“Tuh... betulkan...”Indah sekali...” pakde menegakan tubuhnya, sebelah tangannya kontan meremas susu yang lain, kembali terulang masase payudara, kali ini sama sekali direlakan telanjang.
Ida mulai menggelinjang keenakan, menerima serangan panas yang kian intens. Matanya mulai kembali merem melek. Sabar dan lembut kedua tapak tangan pakde menggarap area peka buah dada Ida, berlama-lama kembali membawa Ida terbang.. Bak bermain piano, tapak tangan yang lain kembali mengggarap pangkal paha Ida, memijitnya bergantian.
Tak terasa Ida semakin merapatkan pahanya menggapai nikmat pijatan disana. Terasa basah cd dikepitan paha Ida. Disengajakan jemarinya menggosok paha dengan sisi menggerus cd yang basah, Semenit dua berlalu intensitas tinggi ini, menggarap atas bawah, mulai membuat pinggul Ida menggeliat naik, berusaha menyentuhkan daerah klitnya ke tangan pakde.
Pakde merasakannya sudah tiba waktunya serangan utama, memandangi ibu muda yang gelisah menggeliat dihadapannya, segera menyelipkan jarinya masuk kedalam cd, menerobos rimbunnya bulu tebal, menyeruak menemukan liang yang sudah basah. Tanpa sungkan, sembari menggosok kerimbunan bulu, jari tengahnya mulai mencucuk masuk, melakukan pengenalan lingkungan, dimana pusat sensitif.
Kontan Tubuh Ida menjengkit “Ngghhhhhhh. Tangan Ida menggenggam kuat tangan tangan yang menyiksanya, tapi bukannya minta berhenti tapi mencari pegangan. Kelihaian jemari pakde mulai membuat pinggul Ida bergerak semakin liar. Dengan cepat pakde menemukan daging menunjol diliang, dan mempermainkannya, mencari sentuhan apa yang paling membuat pinggul ini menggelinjang,. Ternyata hanya dengan tekanan jari sedang dikelentit itu, membuat pinggul menggeliat.
Karuan saja, dimaksimalkan intensitasnya, membuat pinggul itu kian menggelora, mengejar kelincahan jemari menekan-nekan disana.
Hingga akhirnya Ida mengejang kuat, mencapai puncah klimaksnya. Dijepitnya jemari nakal itu sekuat tenaga dikepitan pahanya, tangannya menekan kuat tangan laki tua, tak mengijinkan untuk pergi.
Tercapailah termin keempat
Sambil tersenyum sendiri, pakde mulai merancang proyek lainnya, dua proyek sekali jalan.
Sekian menit berlalu, saat mata Ida mula terbuka,”Sebentar pakde kecapaian maklum udah tua, ambil minum dulu yaa haus, cape niii ngurut” demikian lihai pakde menegaskan semua itu hanyalah urut-mengurut dan diirnya lelaki loto” Ida nurut saja, memang hanya diurut, tak mungkinlah kakek ini masih bisabangun . Dari tadi saja Cuma begitu, sambil mengingat2
Pakde mengambila sarung yang terlipat, ditebarkannya menutup ketelanjangan Ida, melangkah keluar, menutup pintu, mencari ponakannya dikamar, sengaja bertelanjang dada hanya kolor kebanggaan.
“Ndukkkk... anu...pakde sebenarnya bisa menaklukan tetanggamu, tapi ...” akting malu
“Kenapa pakde...” Widia terheran. Diperiksanya pengakuan pakdenya, melangkah menuju kamar belakang, membuka pintu hati hati, dan mengintip Ida terbaring , hanya pinggul diselimuti sarung, dengan dada yang telanjang. Widia menafsirkan pasti telanjang bulat, padahal cdnya masih ada lho.
“Knapa pakde....” bertanya ulang ke pakdenya yang sudah duduk disisi ranjang.
“Anu... ndukkk... oom mu nggak bisa bangun”
“Hahhhhh masa...” tak percaya dirasa Widia, wong kemarin lusa, dirinya habis-habisan digarap” tapi pakde kemarin...” sampai merona merah wajahnya
“Lha kan sudah pakde bilang, saya sendiri heran, sudah lama loyo, kok memergoki kamu tidur langsung tergugah? Pakde hanya bisa menduga karena kamu mirip bude atau karena kenangan kita lalu”
“Jadi gimana dong rencana kita pakde” Kecewa rencananya gagal menjatuhkan Ida.
“Nggak tahulah pakde..., hanya sama kamu lah pakde berhasrat” melontarkan tipuan sekaligus gombal
Widia terdiam berpikir keras, teringat janjinya kemarin lusa untuk tak mengulang hubungan intim dengan pakde “Gimana yaa...? tanya dihati
“Gimana nduk.... sebentar lagi Ida pasti minta pulang” mengejek dan mendesak, membaca kebingungan ponakannya
“Ngghhh.... aku kocok lagi pakde??” tanyanya jengah
“Terserah kamu lah, pakde nurut.” sorak sorai batinnya, dengan akting ogah-ogahan
Segera Widia memelorotkan kolor, berlutut dihadapan pakde yang berdiri telanjang, mendapatkan unggokan daging lunglai, terlihat kecil dibandingkan keperkasaan kemarin. Dibelai-belainya sembari diurutnya oomnya yang lemas.
Wah...sia-sia tekad nya tak mengulang, padahal belum ada dua hari.
Sekian lama tak kunjung bangkit, yang memang ditahan oleh pakdenya yang sudah ahli,
“Anu ndukkk, mungkin buka bajunya...” pakdenya mengingatkan.
“OO iya, kemarin kan aku dipergoki tidur dengan pakaian daster” Tanpa ragu dilepaskan seluruh bajunya telanjang dihadapan pakdenya. Agak kasar karena ingin cepat, Widia jongkok dengan wajah menghadap paha pakde. Langsung menyelomot daging yang layu.
Sembari menyeringai pakde menjangkau kedua buah dada yang menggantung, dipermainkannya kedua benda peka itu. Sekian lama berlalu tak juga bangkit oomnya itu. Widia kini merasakan kembli desiran desiran nimat akibat payudara dibelai belai. Mulai pegal Widia beranjak dan berlutut ditengah pembaringan, pakde merespon dengan membaringkan badan. Widia langsung menundukkan wajah kembali mengulang kuluman burung yang lemas, sembari memijat bola yang bergantung.
Tentu saja pakde tidak menyaiakan peluang ini, direngkuhnya bokong bulat, diangkatnya, yang terpaksa dituruti widia yang tengah mengemot, sembari beringsut. Dibopongnya, bulu rimbun dikangkangkan diwajahnya, langsung pakde menjilati bibir kemaluan ponakannya. Kontan bergetar pinggul Widia.
Kini dengan santai pakde menjilat-jilat bibir kemaluan, kedua tangannya meremas-remas lembut dua buah dada yang bergelantungan. Kontan efek terasa uar biasa intens mendera Widia
Tanpa disadari menjelang terulang kembali, peristiwa yang diniatkannya tak akan terulang. Dengan gemas Widia meningkatkan kulumannya tak juga membawa hasil, pikirnya dalam hati, benar rupanya analisa pakde. Pinggulnya bergoyang keenakan menghindari serangan lidah pakde dibibir liangnya. Makin merasa keenakan, tak kunjung ommnya bangkit. Sedang birahinya kian membara.
Pakde, yang merasakan strteginya berjalan lancar, meningkatnya intensitas serangannya, digulingkan tubuhnya menyamping tanpa menghentikan permainan lidah, mencari posisi agar bisa serang lebih baik. Kini dua tubuh telanjang itu saling terbaling rapat dalam posisi miring. Cucukan pakde semakin dalam, gempuran lidahnya merambah kearea yang makin luas. Serangannya tidak sekedan mencucuk dan menjilat, tapi menjilat sambil menekan dan mengampelas dengan lidah kasar. Kian menggeleparkan Widia.
Dua menit berlalu, paha widia dengan kurang ajar mulai menjepit pakdenya, membenamkan wajah tua itu di liang kenikmatan, tak kuat menahan intensitas kenikmatan yang dirinya mulai, yang mulai mendengus keenakan. Tak juga oomnya bangun. Putus asa ... ya wesss pikirnya dalam hati, gagal sudah rencanaku. Dinikmati saja yang enak dibawah sana
“Pakde....jahat....shhhhh’
“Hmphhhhh....: pakde tak bisa menjawab wajahnya dikempit habis habisan. Dirasakannya alat vitalnya sudah berhenti dikerja Widia. “Rasain luuu...kena dehhh” rencananya kembali berhasil meyakikan Widia. Llidahnya kian dicucukkan dalam dalam. Melentingkan pinggang Widia, “Ngghhhhhhhh....”
Lidahnya dengan kasar menggerus berbagai sisi liang Widia, diimbangi dengan gelinjangan liar. Pakde kini mulai menjilat-jilat, menarik nafas dalam-dalam, melakukan olah nafas, tanpa terasa diganggu kempitan paha Widia disisi telinganya. Upaya ponakannya mengempit ditahannya dengan mengangkannya lebar-lebar paha. Perlahan namun pasti, batangnya mulai bangun, kombinasi olah nafas, geliatan birahi w, rintihan dan suara lenguhan nafas. Hal yang tak diketahui Widia. Karena Widia sudah memulai pendakian klimaksnya, liangnya dikocok-kocok lidah tua kasar. Pinggulnya kini melonjak liar.
“Pakde...hh...pakde.....” Widia mengejang dan mengedan, dipuncak klimaksnya
Pakde beringsut keatas, meletakkan pinggulnya diantara kangkangan paha w, mendekatkan wajahnya ke wajah yang terpejam sayu. “Ndukkk ommmu sudah bangun tuu” sengaja meledek, wanita yang sedang terlena.
“Ooo yahhh...” kontan bangkit setengah sadarnya, tangannya lemas menjangkau kebawah, dan keget mendapati batang keras yang kembali tegang seperti kemarin.
Dengan nakal pakde, menyentuhkan helm bajanya kedalam lepitan yang panas dan basah, menekan pelan, sedikit menyumpal. “Hanya kamu yang bisa membangkitkan gairah pakde nduk”
Menceracau Widia tak sadar bangkit egoisnya “Masukin pakde ....hhh” lupa sudah janji, padahal baru saja dua hari.
“Lho ndukkk ...” seolah menggoda “Kan kita udah sepakat tak mengulangi lagi, nanti Ida curiga” tapi memantapkan penerimaan ponakannya, yang sedari kemarin masih menolak dirinya.
“Nghhhh..... jahat....ayo dong....”
“Ya wesss nduk...” kontan diamblaskan batangnya disana, mengisi pejal liang wanita Widia.
“Shhh.....” demikian lega, korekan lidah lihai pakdenya walaupun hebat, tapi masih tak sebanding dengan kepenuhan gelorah birahi dibawah sana, disumpal pejal batang keras.
Mumpung baru klimaks, pakde segera memainkan teknik standarnya, batang ditekan keras keberbagai sisi liang w, perlahan tapi kuat Tiap kali ditekan tiap kali Widia menggeliat, mengeluhhh menghantar nya kebukit bukit klimaks yang berturutan
“Pakdehhhhh....Pakdehhh... entah beberapa puluh kali Widia menggeliat dan mendengus digasak batang pakdenya, sampai akhirnya lemas sama sekali.
Mengetahui sudah cukup, “Pakde menjalankan perintah ya nduk” meledek habis.
Cuek saja melenggang telanjang, pakde memasuki kamar belakang, mendapati Ida sedang terlelap. Buah dadanya indah membusung telanjang. Sarung yang hanya mamapu menutup bagian bawahnya.
Pakde menyiapkan serangan pamungkasnya, meterai hubungan raga. Dibukanya sarung, dikangkangkan paha telanjang , Diposiskan dirinya bersimpuh diantara paha yang mengangkang lebar.
Mulai dijilatinya bulu-bulu halus dipangal paha, perlahan. Dijangkaunya kedua tangan keatas membelai dada telanjang yang membusung, semenit dua menit Ida masih tak sadar ada yang mempermainkan dirinya, tapi lidah pakde mulai merasakan meremangnya bulu-bulu halus yang dijilatinya. Puting diatas sana juga mulai mengeras.
“Ida... “ slrupppp “Ida ....” slurippp sambil memanggil lrih sambil menjilat berulang ulang, semenit dua, hingga akhirnya Ida terbangun
“Ya ...pakde....” sedari tadi rupanya dirinya sudah terbangun, tapi kehilangan pemahaman, kaget dan bingung ada lelaki yang memanggil lirih, kok ada yang mengerayangi, kok ada yang menjilati, kok telanjang. Tapi ingatannya pulih. “ooo kakek loyo tukang urut, pakdenya Widia, uang seratus lima puluh ribu”
Slurip.....“Sudah bangun tooo...” slurpp “., enak tidurnya?” Slurpp ..... slurp...
“Iya pakde... habis pekade pandai mengurut sih, sudah jam brapa, biasanya brapa jam sihh pakde” Ida bersemu merah, dan tak mampu menyembunyikan mata duitannya
Slurpppp “Biasanya antar sejam dua jammm” slurppp “tergantung sihh” slurpp “mau pulang ndukk?”
“Iya eh... nggak pakde... terserah saja” takut kepotong bayarannya berahi mulai menjangkiti dirinya, sedari tadi buah dadanya dibelai, pangkal pahnya dijilati.
Slurpp “Ya wiss kalau mau pulang: slurp “tapi pakde mau kasih salam..” slurp...slurp
“Shhh.... salam apa pakde...” kian geli
Slurp “ boleh pakde cium ini? “ slurp slurp pakde mencucukan lidahnya di bagian cd yang sudah basah kuyup.
Kaget juga Ida, dimintai hal tak genah ini, tapi karena akan pulang, dan sedari tadi memang hanya pijat erotis, pura –pura enggan, Ida mengangguk.
S;urp “Bolee nduk? Slurp tentusaja anggukan itu tak terlihat
“”Iya... tapi jangan nakal yaa...shhh” Entah berapa kali Ida mengancam jangan nakal tapi selalu jebol. Sudah hakul yakin pakdenya Widia loyo, wong sedari tadi kalau mau bisa macem2.
Dengan sigap pakde melucuti cd, yang dengan sukarela dibantu Ida dengan menggangkat pinggulnya. Pakde yang berjongkok menyembunyikan ular pyton yang siap menerkam, menggangkat rapat kedua belahan paha lurus keatas, dan menarik cd itu , keatas, melewati lutut, dan akhirnya lepas, asal dilempar.
Slurp “ kapan-kapan urut lagi yaaa” slurp ... kali ini lidah pakde mulai membantai pusat komando Ida
“Ngghhhhhh....iyahhh ... pakdehhh... hhhh” sudah enak, dibayar pula, pikirannya jahat.
Kian ganas pakde mencucuki dinding liang itu, kembali menggeletarkan dirinya. “shhh...shhhh”
Bergantian mencucuki dan mengamplas gundukan daging kecil dipngkal liangnya, menjadikan Ida kian mendesis dan terhentak-hentak.” Shh....shhhh”
Sekian lama pakde menggasak wanita ini dengan tujuan membungkam kesadarannya oleh puncak klimaks. Hingga memang pada akhirnya tercapai puncak klimaks itu,
“Shhh..... “ Ida mengedan panjang, membeliakkan matanya saat klitorisnya dihisap kuat-kuat saat melewati puncak nikmat.
Dengan sigap pakde menggeser tubuhnya keatas, bertumpu kedua siku, bidang dadanya menindih buahdada yang kenyal mengganal, mulutnya mendekati mulut Ida yang ternganga ngos-ngosan, sengaja bagian bawahnya tak menyentuh pangkal. Lidahnya mencucuki ringan sisi mulut Ida, kedua lubang hidung, menyapu bagian pinggir berulang ulang.
“Boleh dimasukin?” pakde mengejek berbisik, sengaja menyalahtafsirkan maksud tujuan
“Boleh pakdeeee” tentu saja yang Ida maksud adalah lidah pakde mencucuk rongga mulutnya
“Rasain luuu...” ejek pakde dalam hati, mengarahkan rudal dengan hati-hati, menempelkan diliang paha yang sudah terkangkang lebar, langsung mencobloskan dalam-dalam
“Egggggghhhhhhhhh....” Tak sanggup memprotes mulutnya disumpal kuluman bibir pakde, “apa itu....dibawah... aduhhhh mama....aduh mama.....”batinnya kaget menjerit, tapi sanubarinya terlegakan, menikmati kepenuhan diruang kewanitaannya, sesak terasa seolah keulu hati.
Mendadak buas, sebelah tangan pakde mencengkeram kepala Ida, merapatkannya untuk mulutnya dikemot habis-habisnya, mencegahnya menyuarakan protes. Sebelah tangannya kuat mencengkeram bokong, mencegahnya melarikan diri. Pinggulnya menekan kuat lagi, semakin amblas, menekan lagi. Sampai lima kali upaya paksa pakde lakukan hingga akhirnya amblas dengan penuh.
Tak sanggup Ida menggeliatkan pinggulnya melarikan diri, setelah lima kali upaya paksa. Kontan Ida kembali merasa lemah dirinya meresapi nikmatnya kepenuhan dibawah sana, “apa ituuu.. aduhh mama ...apa itu...”
“Mphhh.....mgphhh...mmphhhh...” desahan nafasnya terganjal kuluman pakde., yang dengan teratur menekan kuat kuat liangnya. Dengan kejam pakde mengorek-ngoerk rahimnya sampai akhirnya Ida sungguh lunglai tak berdaya. Hujaman pakde tak mampu lagi diresapi nya. Matanya terkejam rapat.
Pakde mengistirahatkan dirinya, terutama memberikan kesempatan Ida terlena, yang karena lunglai tak mampu memprotes menyuarakan penolakan.
Batangnya tetap dibiarkan terganjal, kakinya lurus rapat, diantara kedua paha Ida yang sedari tadi berupaya mengangkan selebar-lebarnya, tak kuat menyangkak batang keras yang meluluhlantakkan lubang pusat komandonya. Ditumpukan berat tubuhnya merata keatas tubuh Ida, mengupayakan berpadunya seluas mungkin permukaan kulit mereka. Kedua tangan menjepit wajah Ida, yang kini matanya terpejam nafas terengah-engah,dengan mulut terbuka, sangat menggairahkan.
Dinantikan menit menit berlalu, sampai akhirnya kembali kesadarannya perlahan
“Huuuhuuuu pakde jahat... pakde nakal...: Menyadari dirinya kini adalah istri ternoda. Tanpa menyadari egoisnya selama ini bermain api menggoda suami orang sekedar alasan ekonomi.
“Lhooo ndukk.... tadikan pakde minta ijin, dibolehkan” Terkekeh dalam hati ...
“Nngghhhhhh....” tak sanggup mencari alasan pembenaran, memang diingatnya tadi lelaki yang disangkanya loyo ini minta ijin dimasukin, dkiranya ijin lidah mencium masuk kemulut. Tak habis pikir sejak kapan kok batang mengeras, wong secara cermat terus menerus diwadpadainya. Tapi semilir birahi, segera menyapu penyesalannya.
“Pakde boleh cium....” lelaki tua ini mengajukan ijin yang tak perlu, wong sedari tadi sudah melumat habis-habisnya. Tapi maksudnya, belum ada ijin mencium sedangkan ijin yang lain, termasuk membenamkan batang ke vagina, sudah diberikan.
“Ngghhhh....” mengijinkan, mulailah pakde mengecupi wajah Ida, berlama-lama memesrai, membiarkan tubuh dibawahnya memulihkan tenaga, untuk sebentar dihajarnya kembali.
Ida meresapi kemesraan laki tua yang hampir tak dikenalnya ini. Awal dikira tua dan loyo, dalam waktu sejam lebih memberikan berbagai kenikmatan dan kenyamanan bagi dirinya. Pejal dan sesak memenuhi liang wanitanya, membuatnya tak habis pikir. Percik-percik nikmat sedikit membara, meresapi liangnya yang berdenyut-denyut.
“Pakde.... lepas....”
“Tapi ndukkk pakde belum apa-apa?, sedari tadi nungguin Ida”
“Hahhhh kaget benak Ida” memang seikitpun tak berkurang kepenuhan dibawah sana.
“ngghhhh...” pura-puira menolak manja
“Bolee ya ...” direpon diam saja, tandanya tak menolak, tapi malu mengundang
Pakde mulai lembut menarik tiangnya perlahan, untuk kemudian diamblaskan lagi lebih perlahan, sangat sabar puluhan kali dua detik sekali, berati lebih tiga menit.
Hingga suatu saat, dirasakannya kuku Ida mencengkeram bokongnya, sekuat tenaga mengkikuti hujaman dan tarikannya, menadakan pendkian puncak nikmat.
Pakde menggangkat kedua lutut Ida mengangkang melayang, merubah tumpuan bobot tubuhnya sebagian, ke lengan lurus disisi kepala Ida. sebgian lagi di paha yang ditindih perutnya. Posisi yang makin membuat coblosannya kian mendalam. Dihujam demkian dalam tak kuat rasanya Ida menahan derita, dijepitnya kuat-kuat pinggang yang menghujam dirinya. Pakde sedikit mepercepat coblosannya, Ida mulai melontarkan geliatan erotis pienggulnya, menyambut dan menarik setiap hujaman yang datang. Ida sekuat tenaga tanpa sadar mulai menguleg-nguleg batang yang memberinya kenikmatan tak tertahan. Dengan penuh kesabaran pakde mengikuti goyang ngebor Ida, padahal sebaliknya permpuan itu lah yang dibor.
Semakin cepat pinggul Ida berputar, dan melenguh lenguh, diimbangi kecepatan hujaman yang sama. Singkat kata Ida kembali meledak mencapai puncak orgasmenya, saat pakde masih jauh dari finish. Kebetulan pakde melirik pintu, didapatinya ponakannya terpana menontont adegan penyiksaan ini. Entah sejak kapan mengintip.
Kontan saja pakde mempertontonkan keperkasaaannya , sembari mengedipkan mata memberi kode “Beginikah maksudmuuu ndukkk”
Tak memperdulikan Ida yang tengah menggelepar melewati klimaks, dilipatgandakan kecepatan hujamannya, menusuk keberbagai arah. Dipan lama itu menjerit-jerit keras Bahkan karena tubuh Ida menggeliat melarikan diri keatas pembaringan, kepalanya mentok dipapan dipan, tapi karena tak berkurang hantaman dari bawah, leher itu sedikit menekuk, akaibat lari menghindar. Pinggul pakde tetap merapat dan menghujam kian cepat, kini kedua tangan pakde memegang bahu Ida, mencegahnya bergesar keatas.
“Ohhh....sudah....ohhhh.... sudah...” Ida kini merintih menghiba
Sambil melirik, dan memberi tanda, dengan roman bertanya, pakde tetap konstan kecepatannya menghujam dan menarik batangnya,.
Dua pasang mata saling menatap, pakde mentatapnya pandangan mata Widia yang terpana, yang satu eksibionis memamerkan kecepatan gerakan pinggulnya, membiarkan korban Ida menggelepar menghiba dihentikan penyiksaan.
Akhirnya Widia mengangguk, entah apa maksudnya, mungkin cukup deee.
Kontan Pakde mengentikan hujamannya, melepaskan diri, dan menyelimuti tubuh lunglai telanjang dengan sarung tadi., sambil berbisik “Ndukkk kamu nanti keluar sendiri yaaa, saya ngamanin W, supaya nggak ketahuan, nggak sadar ranjangnya keras berbunyi
Dirinya melangkah keluar ruangan menghampiri ponakannya yang sedari tadi terpana menonton adegan. Widia yang menggengam tiga lembar lima puluh ribuan meletakkan uang itu dimeja makan.
Menyambut pakdenya yang merapat terutama batang keras yang mengacung. Meremasnya gemas, tak habis pikir sudah tua kok kerasnya tak kunjung hilang. Jangan2 batang bikinan? Tapi dirasakannya kini berdenyut-denyut
Pakde menatap tajam menyirakkan keinginan hatinya. Yang kali ini dengan segera dituruti Widia. Digandengnya batang keras itu, menyeret pakde kekamar depan, tersenyum geli pakde diperlakukan demikian.
Didorongnya kasar tubuh pakde terlentang di kasur, dengan kaki terjuntai menapak lantai. Widia dengan cepat menanggalkan kembali pakainya. Sisa kelembaban divaginanya tak sempat dibersihkan, keburu didengarnya berbagai suara aneh dibelakang, terutama keriyetan dipan kayu yang bergoyang keras. Ditambahi lenguhan-lenguhan tetangganya, mendorong widia, mengintip dan terpana sendiri.
Birahinya kontan kembali bergolak golak memandang pakde memacu menunggangi saingan asmaranya. Haru rasanya pakdenya menuruti perintahnya. Diperlihatkan kekasaran dan kebuasan menyenangkan hati w, membayangkan siksa derita musuhnya. Apalagi saat pakde mendapati dirinya mengintip, dan bertanya dengan kode, luluh hati widia, lengkaplah rasa sayangnya. Ditambah lagi ketika diperintahkan dengan anggukan, langsung pakde melepas perilaku seksnya dan menghampiri dirinya. Widia kini yakin seyakin nya bahwa pakdenya hanya bisa menikmati dirinya.
Tanpa basa basi, Widia berjongkok cepat mengamblaskan batang itu kerahimnya, butuh tiga kali mengedan panjang, untuk amblas cukup dalam. Widia memutuskan melakukan tarian erotis kesukaan pakdenya, diingatnya pujian-pujian lalu
Mengintip keluar kamar, menilai ruang tengah kosong, dan dipandangnya ada tiga lembaran limapuluh rebu, segera disambarnya, dan berjingkat cepat keluar rumah, pulang. Walaupun terasa lemah lunglai, lega aman....Widia nggak tahu.