Chapter 7
Being Watched
Tiara Dharma Saraswati
Nadya Agustina
POV Ara
Yupz, sudah selesai aku memoles wajahku. Sebenarnya cuma dipoles bedak yang tipis saja sih, dan juga lipstik tipis dengan warna natural. Aku memang nggak terlalu suka bersolek, mendandani wajahku seperti wanita kebanyakan. Aku merasa sudah cukup nyaman dengan sedikit polesan
make up tipis seperti ini.
Suamiku juga lebih menyukai aku berpenampilan seperti ini, katanya aku sudah cukup cantik walaupun tanpa
make up. Senang rasanya menerima pujian seperti itu dari suamiku. Aku nggak begitu peduli dengan komentar orang lain, meskipun kebanyakan mengatakan hal yang sama seperti suamiku, yang terpenting adalah bagaimana tanggapan suamiku kepadaku, itu saja.
Pagi ini aku akan langsung berangkat ke Kaliurang. Kemarin Pak Dede sudah menyuruhku seperti itu, nggak perlu ke kantor dulu. Padahal menurut jadwal, para peserta rapat baru akan sampai kemari siang hari, tapi Pak Dede menyuruhku untuk memeriksa kembali persiapan disana, dia mau semua berjalan dengan lancar, dan kalau ada kekurangan segera dipenuhi, sehingga saat tamu datang nggak perlu lagi mengurusi hal-hal yang mengganggu kenyamanan mereka.
Ya sudahlah, pasti pekerjaanku di kantor sudah ada yang membereskan. Setelah selesai sarapan akupun segera berangkat. Saat keluar dari gerbang rumahku, aku melihat seseorang yang nggak kukenal sedang
jogging melintas di depan rumahku. Aneh juga orang ini jogging di sekitar sini, seingatku nggak pernah aku melihat ada orang
jogging di daerah ini selama beberapa bulan aku tinggal disini.
Sekitar 40 menit kemudian aku sampai di villa yang akan kami gunakan di Kaliurang. Masih sepi kondisinya. Tentu saja, karena acara baru akan dimulai siang nanti. Aku kemudian mencari Pak Risman yang mengurusi villa ini. Setelah berputar-putar aku belum menemukan orang itu, tapi aku melihat kondisi villa ini sudah cukup rapi. Mungkin Pak Risman sedang mempersiapkan yang lainnya, pikirku.
Villa ini cukup luas, memiliki banyak kamar, entah berapa jumlahnya aku nggak tahu pasti. Disini juga ada aula yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan atau kegiatan yang lainnya. Halaman dan tamannya juga cukup luas, jadi untuk kegiatan
outdoor pun bisa dilakukan disini. Dengan fasilitas yang cukup lengkap villa ini sering disewa oleh kalangan mahasiswa maupun orang kantoran seperti kami.
Sejenak aku memandangi taman yang asri ini, nggak lama berselang muncul seorang gadis dari dalam villa. Masih cukup muda, aku belum pernah ketemu sama gadis ini, meskipun sudah beberapa kali menyewa villa ini. Penampilannya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur, aku hanya tersenyum saja melihatnya. Kemudian aku memanggilnya.
Dek, sini bentar dek, panggilku.
Eh iya bu, ibu yang mau nyewa villa ini? tanyanya.
Iya, kamu kerja disini? Pak Risman dimana ya? tanyaku.
Iya bu, saya Diah, saya baru sebulan kerja disini, saya tetangga Pak Risman di kampung. Itu Pak Risman masih di dalam bu, barusan sama saya kok, jawabnya.
Ya udah kalau gitu, saya mau ketemu sama dia dulu dek, ujarku.
Iya silahkan bu, kalau gitu saya permisi dulu, pamitnya.
Akupun masuk ke arah yang ditunjuk Diah tadi untuk mencari Pak Risman. Rupanya dia masih duduk menonton tv sambil menikmati kopi hitamnya dan kepulan asap dari rokok kreteknya. Dia hanya memakai celana pendek saja tanpa memakai baju, terlihat perutnya yang mulai dipenuhi oleh lemak, dan dadanya yang sedikit berbulu. Dia menyadari kehadiranku, menoleh dan sedikit terkejut.
Eh Bu Ara, sudah disini bu? Maaf saya ganti baju dulu bu, ujarnya kemudian buru-buru meninggalkanku. Tak lama kemudian paruh baya sudah kembali, sudah berpakaian rapi.
Maaf bu sayang nggak tahu kalau ibu sudah datang, saya pikir masih nanti siang, ujarnya.
Iya nggak papa kok pak, saya juga sebenernya mau kesininya siang, tapi sama Pak Dede disuruh pagi ini langsung kesini. Gimana persiapan buat nanti pak? tanyaku.
Sudah beres bu, kamar-kamar dan aula semua sudah disiapkan. Untuk makan siang nanti juga sudah disiapkan tinggal nanti dimasak sekitar jam 10an bu, kalau untuk makan malam tadi saya suruh si Diah belanja dulu, terangnya.
Oh ya sudah pak. Saya minta kamar 1 ya pak, rencana saya mau nginep sini selama acara ini, ujarku.
Silahkan pilih sendiri bu, saya nggak ngerti soalnya mana yang mau dipakai peserta mana yang mau dipakai panitia, jawabnya.
Ya udah kalau gitu saya ke kamar dulu pak, pamitku.
Silahkan bu, jawabnya.
Aku lalu menuju sebuah kamar, yang memang biasa aku gunakan jika ada acara dan harus menginap disini. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, dengan 2 tempat tidur kecil dan sebuah lemari kecil. Setelah merapikan barang-barangku, aku duduk di salah satu ranjang. Aku malah jadi bingung mau ngapain, semuanya sudah beres, nggak ada lagi yang dilakuin. Mau menghubungi suamiku tapi dia sedang ada training, apa aku tiduran saja ya? Hehe.
Suasana disini memang nyaman, udaranya sejuk, aduh kalau begini terus bisa-bisa tidur beneran ini. Aku merebahkan diri di kasur, memainkan ponsel baruku, membalas pesan di beberapa akun media sosialku. Kemudian melihat ponsel lamaku, tidak ada pesan apa-apa. Karena bosan aku memainkan game di ponselku, sampai nggak terasa aku malah ketiduran, dan aku lupa pintu kamar belum dikunci, belum tertutup rapat malah.
***
Sayup-sayup aku mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap. Mataku terbuka, terbangun dari tidurku. Kulihat jam di ponselku, ya ampun, sudah hampir 3 jam aku tertidur. Aku memperhatikan kondisiku, rokku sedikit tersingkat sampai betisku kelihatan, dan bajuku agak acak-acakan terutama di bagian dada dan perut. Waduh, semoga nggak ada yang melihatku dalam kondisi seperti ini, lagipula kulihat ternyata pintu kamarku nggak tertutup rapat.
Aku segera mematut diri di cermin lemari, membersihkan wajahku, kemudian merapikan pakaian dan kerudungku. Setelah itu aku keluar untuk melihat siapa yang sedang berbincang tadi. Ternyata kudapati Pak Risman sedang berbicara dengan Pak Dede, sudah datang juga dia rupanya.
Pak Dede udah datang tho? Udah lama pak? tanyaku.
Eh Ara udah bangun? tanyanya tersenyum. Duh aku jadi malu ketahuan tidur sama atasanku, padahal kalau dipikir-pikir ini kan masih jam kerja. Atau malah Pak Dede sempat melihat kondisiku saat tertidur dengan pakaian berantakan seperti tadi itu?
Hehe, maaf pak, saya tadi ketiduran, jawabku tersipu.
Haha udah nggak papa, sini duduk dulu, kata Pak Dede.
Udah lama pak? tanyaku lagi.
Yaa udah sekitar 2 jam bapak disini, kamunya lagi tidur, untung ada Pak Risman yang nemenin ngobrol, nggak enak mau bangunin kamu, kayaknya nyenyak gitu tidurmu, jawabnya membuatku makin tersipu malu.
Iya, digoyang sama Pak Dede sampe nggak bangun ya pak? Haha, timpal Pak Risman.
Haha, Pak Risma juga ikut nggoyangin tadi juga nggak kebangun kamu Ra, ujar Pak Dede.
Hah? Digoyangin? Digoyangin gimana maksudnya? Berarti mereka tadi sempat masuk ke kamarku? Aku terbengong-bengong mendengar candaan mereka, entah candaan atau memang betulan. Seingatku memang sebelum ketiduran tadi bajuku masih rapi, tapi begitu bangun kok berantakan, apalagi yang berantakan di bagian dada dan perut, bahkan rokku juga sedikit tersingkap, apa mungkin? Ah tapi aku nggak merasakan apa-apa waktu bangun tadi, nggak, nggak, nggak mungkin lah.
Tak lama kami ngobrol bertiga, Pak Risman minta ijin untuk ke belakang melihat apa untuk makan siang sudah disiapkan apa belum. Sejenak sebelum meninggalkan kami aku sempat menangkap lirikannya yang aneh kepadaku, yang aku nggak tahu apa maksudnya. Aku melanjutkan obrolan dengan Pak Dede, saat itu kami duduk berdampingan.
Kamu jadi nginep sini Ra? tanyanya.
Iya pak jadi, suami saya kemarin maksain buat nginep sini, jawabku.
Lha kok malah maksain?
Iya pak, kan dia juga lagi keluar kota, besok kamis baru pulang, makanya saya disuruh nginep sini, biar ada teman katanya.
Oh gitu, saya juga Ra mau nginep sini saja, disini rame, di rumah saya nggak ada siapa-siapa, hehe.
Hehe, iya pak. Lha bapak tadi berangkat sendiri pa?
Iya tadi mampir kantor bentar, terus kesini, mau nemenin kamu, hehe.
Hahaha bapak bisa aja, jawabku tersipu.
Kami berdua ngobrol dengan santainya, dia memang suka bercanda orangnya. Ada saja gurauannya yang bisa membuatku tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutku karena sakit. Beberapa kali juga tangannya sempat mampir ke pahaku waktu dia bercerita, yang selalu kutepis perlahan. Namun candaannya sekali lagi bisa membuatku rileks dan terbawa suasana.
Tak lama kemudian datanglah teman-temanku yang menjadi panitia acara ini. Memang nggak semua ditunjuk menjadi panitia, karena pekerjaan di kantor juga nggak bisa ditinggal begitu saja. Yang datang sekarang ini ada Faisal, Eko, Tika dan Wulan, sementara yang lain menyusul katanya.
Kamipun segera menyiapkan keperluan untuk registrasi peserta yang mungkin sebentar lagi akan berdatangan. Dan benar saja, baru 15 menit kami menyiapkan semuanya, sudah ada beberapa yang datang. Kamipun menyambutnya dengan ramah, dan mengarahkan mereka untuk registrasi dulu sebelum menuju ke kamar yang sudah kami siapkan.
Kegiatan itu berjalan hingga sore hari. Saat ini teman-teman satu unitku sudah datang semua, termasuk Eko, Nadya dan Lia. Kami kemudian mempersiapkan untuk acara pembukaan nanti malam. Malam ini aku sekamar dengan Nadya, ternyata dia juga menginap disini karena kebetulan suaminya juga sedang pergi keluar kota, sedangkan anaknya dititipkan ke orang tuanya. Di sebelah kanan kamarku ditempati oleh Wulan dan Tika. Sedangkan sebelah kirinya ditempat oleh Pak Dede sendirian.
Malam ini acara pembukaan berjalan dengan lancar. Kami membagikan jadwal kegiatan selama 2 hari kedepan, setelah itu para peserta melakukan kegiatannya masing-masing. Ada yang langsung kembali ke kamar mereka untuk beristirahat, ada yang masih ngobrol-ngobrol di taman, yang memang disediakan tempat semacam gazebo untuk bersantai.
Aku sendiri bersama teman-temanku berkumpul di ruang sekretariat untuk membahas rencana kegiatan besok pagi, memastikan semua perlengkapan untuk rapat sudah siap semua, dan membahas rencana cadangan kiranya acara kami besok terkendala. Setelah merapatkan hampir 2 jam, kamipun berpisah dan menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.
Entah kenapa, perasaanku jadi kurang enak. Aku merasa seperti ada yang memperhatikan, tapi entah siapa. Kuamati orang-orang di sekitarku satu persatu, tapi semua tampak biasa saja. Aku benar-benar merasa ada sesuatu, atau seseorang sedang mengawasiku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, aku coba untuk nggak terlalu memikirkannya.
Aku masih sempat ngobrol dengan Nadya di kamar, sebelum akhirnya dia tertidur duluan karena kecapekan, sedangkan aku yang belum mengantuk, karena tadi siang sempat ketiduran lumayan lama, masih asik memainkan ponselku, dan menghubungi suamiku. Dia juga sepertinya kelelahan, terdengar dari suaranya. Memang seharian tadi kegiatannya cukup padat. Tak lama akupun tertidur.
Keesokan harinya sekitar jam 4.30 aku sudah bangun, lalu pergi ke kamar mandi dan kemudian menjalankan kewajibanku. Setelah itu baru kubangunkan Nadya. Hampir aku terkekeh melihat kondisinya, pakaian dan rambutnya acak-acakan sekali, kerudungnya tergeletak di samping kepalanya.
Setelah bangun diapun segera ke kamar mandi dan langsung mandi ternyata. Wah padahal airnya dingin sekali pagi ini, aku saja nggak langsung mandi, agak nanti lah, biar udaranya nggak sedingin sekarang. Dia keluar kamar mandi berbalut handuk dengan rambut yang basah.
Kamu abis keramas Nad? Nggak dingin apa mandi jam segini?
Hehe, iya Ra, duh dingin banget, tapi ya mau gimana lagi harus mandi keramas dulu aku.
Lhah, kok harus sih?
Iya, semalem abis mimpi enak Ra, haha.
Aku tertawa mendengar jawabannya, entah apa maksudnya. Setelah itu kami masih ngobrol sebentar, sebelum aku mandi. Airnya masih terasa dingin sekali, tapi ya sudahlah, masak mau nunggu sampai siang. Setelah bersiap-siap kamipun keluar untuk melihat persiapan acara hari ini, dan ternyata teman-teman panitia lainpun sudah bersiap.
Sepanjang hari ini aku terus bersama Eko dan Tika. Kami yang kebagian jadi seksi acara harus mengikuti setiap acara yang berlangsung, sekaligus memastikan semua berjalan lancar, sedangkan teman-teman yang lain menunggu di bagiannya masing-masing. Untuk acara hari ini sepenuhnya membahas masalah pekerjaan, yaitu
performance dan pencapaian selama semester pertama, dan rencana untuk semester kedua.
Aku bersyukur acara ini berlangsung dengan sangat lancar, tidak ada diskusi atau debat panjang lebar yang kutakutkan akan membuat jadwal menjadi molor, karena untuk besok kegiatan kami adalah pemantapan serta pembuatan komitmen hasil rapat hari ini serta acara penutupan setelah makan siang.
Selesai makan malam, panitia berkumpul lagi di ruang sekretariat untuk membahas persiapan acara besok. Rapat malam ini nggak terlalu lama karena kami mereview kembali hasil rapat tadi lalu membuatkan dokumen komitmen untuk ditanda tangani besok. Akhirnya sebelum jam 9 rapat kami sudah selesai. Badanku rasanya lelah sekali. Malam ini aku tidur duluan daripada Nadya, setelah sebelumnya memberi kabar kepada suamiku.
Sekitar jam 12 malam aku terbangun karena kebelet pipis, buru-buru ke kamar mandi. Setelah menuntaskan hajat dan keluar dari kamar mandi baru aku sadar Nadya nggak ada di ranjangnya. Kemana perginya dia malam-malam begini, pikirku. Apa mungkin tidur di kamar lain? Tapi kan kamar cewek semua sudah terisi penuh.
Di tengah suasana malam yang sangat sepi ini, sayup-sayup kudengar ada suara-suara aneh. Aku terdiam, berkonsentrasi mendengar suara itu, seperti suara, orang mendesah, dan sepertinya itu berasal dari kamar sebelahku, kamar Pak Dede.
Aku jadi penasaran, dan ingin memastikan suara apa yang kudengar itu. Terlebih suara itu berasal dari kamar Pak Dede, dan saat ini Nadya sedang nggak ada di tempatnya, aku jadi curiga, berpikir yang aneh-aneh. Segera aku memakai kerudungku lalu membuka pintu kamarku. Aku celingukan, memastikan kondisi sepi tidak ada orang. Lalu aku berjalan pelan tanpa menimbulkan suara menuju ke kamar Pak Dede yang kebetulan letaknya di ujung.
Ternyata pintu kamar itu nggak tertutup rapat, sehingga aku bisa sedikit mengintip dari celahnya. Aku langsung terperanjat melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu, sampai-sampai reflek aku menutup mulutku supaya nggak bersuara. Aku melihat Nadya yang sedang dalam keadaan tanpa busana sama sekali, sedang menungging, dan Pak Dede di belakangnya menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Tangan Pak Dede memegangi pinggul Nadya, sementara goyangannya makin lama makin kencang. Dapat kulihat beberapa saat kemudian badan Nadya seperti mengejang, lalu terjatuh lemas. Pak Dede kemudian membalikkan badan Nadya, merenggangkan keuda kakinya kemudian kembali memasukkan batang penisnya yang cukup besar itu ke dalam liang kemaluan Nadya.
Aku dapat melihat dengan jelas kedua rekan kerjaku itu sedang bercinta. Aku melihat bagaimana Pak Dede begitu bernafsu menyetubuhi Nadya, sambil kedua tangannya meremasi payudara Nadya yang montok. Apa mereka nggak sadar kalau pintu kamar ini nggak tertutup rapat? Dan herannya tubuhku nggak mau beranjak pergi, entah kenapa aku ingin menonton persetubuhan mereka hingga akhir.
Desahan-desahan mereka hanya sebatas bisikan, pelan sekali, namun aku masih bisa mendengarnya dengan cukup jelas karena memang kondisi villa yang sepi. Sampai akhirnya aku lihat Pak Dede bergerak semakin cepat, lalu tiba-tiba terdiam dengan batang kemaluan menusuk dalam lubang kewanitaan Nadya, yang badannya tiba-tiba mengejang, membuat dadanya terangkat ke atas.
Kurasa mereka berdua sudah mencapai puncaknya. Dengan nafas tersengal tubuh Pak Dede ambruk menimpa Nadya. Aku nggak percaya ini, ternyata mereka berdua sudah sampai sejauh ini. Pantas saja di tempat karaoke seperti itu dulu, lalu apakah dengan Lia, Pak Dede juga sudah sejauh itu? Apakah selain mereka berdua, ada lagi teman kantorku yang bermain dengan Pak Dede?
Dengan beragam pertanyaan di kepalaku, aku segera kembali ke kamar saat melihat Nadya terbangun dan mulai memakai baju tidurnya. Dengan setenang mungkin tanpa menimbulkan suara, aku posisikan diriku tertidur menghadap ranjang Nadya, dan tak lupa melepas kerudungku. Aku berharap Pak Dede nggak ikut masuk dan melihatku tanpa kerudung.
Tapi ternyata Pak Dede ikut masuk sambil memeluk tubuh Nadya. Dia menutup pintu kamar kami, dan kemudian mencumbui bibir Nadya, sesaat lalu melepaskannya.
Sshhh, udah dong pak, masak belum puas juga? tanya Nadya berbisik.
Hehe, kalo sama kamu nggak ada puasnya sayang, jawab Pak Dede, juga sambil berbisik.
Kan udah dari kemarin saya layani pak, sekarang bapak balik ke kamar deh, entar Ara kebangun lho, ujar Nadya sambil melihatku, memastikan aku masih terlelap.
Bentar sayang, aku mau lihat Ara tidur, tanpa kerudungnya, hehe, jawab Pak Dede.
Aku masih berpura-pura tidur, merasakan ada yang mendekat. Lalu kurasa seperti ada yang membelai lembut rambutku. Jantungku berdetak tak karuan, aku harus gimana? Apa harus bangun dan marah? Atau tetap berpura-pura tidur? Aku jadi makin bingung. Tapi untunglah Nadya segera menarik Pak Dede menjauh dariku.
Udah udah, daripada dia bangun beneran nanti pak, udah sana balik ke kamar, cup, ujar Nadya lalu mencium Pak Dede.
Tanpa menjawab Pak Dede keluar dari kamarku. Nadya segera menutup pintu tanpa menguncinya. Aku dapat melihatnya menuju kamar mandi dan kudengar gemercik air, lalu aku pura-pura terbangun.
Nad, panggilku.
Iya Ra, kamu kebangun ya? Duh maaf deh, aku kebelet pipis soalnya, hehe, ujarnya dari dalam kamar mandi.
Oh ya udah kalau gitu, lanjut tidur lagi Nad, masih jam segini, ujarku.
Iya Ra lanjutin aja, jawabnya.
Aku pun kembali memejamkan mataku namun belum bisa terlelap, masih terpikir kejadian yang baru saja aku lihat. Ternyata kemarin malam mereka juga sudah melakukannya. Pantas saja pagi-pagi Nadya langsung mandi keramas, apa nanti dia juga bakal mandi keramas lagi, kita lihat saja nanti ya Nad, pikirku. Tak lama akupun terlelap.
Pagi harinya, seperti yang sudah kukira semalam, Nadya mandi keramas lagi. Aku hanya tersenyum melihatnya, timbul keinginanku untuk sedikit menggodanya.
Nad, kamu mandi keramas lagi? Mimpi enak lagi ya? haha, godaku.
Haha iya Ra, semalam mimpi enak lagi, lebih enak daripada kemarin, jawabnya ikut tertawa.
Gawat juga kamu Nad, mimpi gitu kok tiap malem, ujarku.
Ya nggak tahu Ra, namanya juga mimpi, hehe.
Kamipun bergegas untuk menyiapkan acara hari ini. Aku harap acara ini bisa lebih lancar dan selesai lebih awal. Dan seperti perkiraanku, acara ini akhirnya selesai lebih cepat, dan bahkan sebelum makan siang sudah ditutup. Beberapa peserta langsung pergi meninggalkan villa ini sementara beberapa lagi masih makan siang disini, termasuk kami semua panitia.
Peserta yang tersisa dan beberapa temanku langsung pulang setelah makan siang, sedangkan aku bersama Nadya, Tika dan Pak Dede masih tinggal sebentar untuk mengurusi masalah biaya sewa villa ini. Belum juga beres urusan pembayaran ini, ternyata Nadya sudah dijemput suaminya, dan Tika pun ikut numpang mereka. Tinggal menyisakan aku dan Pak Dede saja.
Baru jam 2 ini Ra, kamu mau langsung pulang? tanya Pak Dede.
Iya pak, mau langsung pulang aja, panas gini pak, jawabku.
Kita kemana dulu gitu yuk? Ngadem gitu, ajaknya.
Emang mau kemana pak?
Karaokean aja yuk?
Sama siapa pak?
Ya kita aja berdua, yang lain kan udah pada pulang.
Waduh, masak cuma berdua sih pak? Nggak enak saya, tolakku halus.
Nggak enak kenapa? Kayak belum pernah aja cuma berduaan sama saya, kalau nggak enak ya dienakin lah, haha. Udah saya berangkat duluan, saya tunggu disana, ucapnya.
Eh iya iya pak, duh, aku kok malah mengiyakan.
Bener ya, bapak tunggu disana, bapak nggak pulang sebelum kamu datang lho, ancamnya, lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkanku.
Kusesalkan ucapanku tadi, harusnya aku mencari cara untuk menolaknya. Gara-gara ucapanku itu sekarang mau nggak mau aku harus menuruti permintaannya lagi. Kami memang pernah pergi berdua saja setelah survey villa waktu itu, dan itulah yang membuatku enggan untuk pergi bersamanya lagi.
Lima belas menit kemudian akupun meninggalkan villa ini setelah menyelesaikan urusanku dan berpamitan pada Pak Risman, diiringi oleh tatapan aneh darinya. Kunyalakan mobilku untuk dipanasi sejenak. Selama di dalam mobil aku masih bimbang, apa aku harus tetap mengikutinya atau sebaiknya aku pulang saja. Aku masih teringat kejadian beberapa hari yang lalu.
Saat itu harusnya aku pergi bertiga berama Lia juga. Aku yang mengendarai mobil sendiri pergi duluan kesini, sedangkan Pak Dede dan Lia menyusul. Tapi sesampainya disini hanya Pak Dede sendiri tanpa ditemani Lia, karena dia bilang anak Lia mendadak sakit sehingga harus pulang.
Selesai kami survey dan memesan villa Pak Dede mengajakku untuk pergi berkaraoke. Awalnya aku menolak karena harus pergi berdua, tapi dia terus saja merayuku, bahkan mengatakan bahwa dari semua anak buahnya di unitku, hanya tinggal aku saja yang belum pernah menemaninya karaoke berdua, sedangkan Nadya, Lia, Wulan dan Tika sudah pernah semua.
Akhirnya karena merasa nggak enak aku terpaksa menyetujui untuk menemaninya. Aku mengikutinya ke tempat karaoke langganannya. Setelah itu dia memesan ruangan yang sama dengan yang pernah kami gunakan dulu. Ruangan ini letaknya di ujung, jadi jarang orang yang lewat, apalagi di jam-jam seperti itu tempat ini masih sepi.
Aku mengikutinya masuk ke ruangan itu, sambil berharap dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh kepadaku. Kami mulai menyanyi, dan selama setengah jam ini tidak ada hal aneh yang dilakukannya, dan itu membuatku lebih rileks. Tapi tanpa kusadari saat aku sedang menyanyi, dia menggeser sedikit demi sedikit posisi duduknya hingga sekarang persis berada di sampingku.
Aku yang terkaget coba untuk bergeser tapi posisiku sudah mepet ke dinding. Diapun mengajak untuk berduet. Aku kembali merasa was-was, takut kejadian yang dulu terulang lagi. Dan benar saja, tangannya tanpa permisi langsung saja merangkul pundakku, membuatku risih. Tapi dia kelihatan cuek-cuek saja.
Lihatlah luka ini yang sakitnya abadi
Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu
Aku tak akan lupa tak akan pernah bisa
Tentang apa yang harus memisahkan kita
Disaat ku tertahih tanpa kau disni
Kau tetap kunanti demi keyakinan ini
Dia mulai bernyanyi, karena tangannya tak bergerak aku membiarkannya saja. Tapi lambat laun tangan itu bergerak turun, menyusuri dan mengusapi punggungku, hingga kini hinggap di pinggangku.
Jika memang dirimulah tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Kuakan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini
Aku tersentak saat kurasakan tangannya menarik pinggangku untuk semakin mendekat. Ini sih bukan mendekat lagi tapi menempel, dan setelah itu tangannya malah menahanku.
Kita telah lewati rasa yang pernah mati
Bukan hal baru bila kau tinggalkan aku
Tanpa kita mencari jalan untuk kembali
Takdir cinta yang menuntunmu kembali padaku
Disaat ku tertatih (Disaat ku tertatih)
Tanpa kau disini (tanpa kau disini)
Kau tetap kunanti demi keyakinan ini
Saat giliranku menyanyi, kurasakan tangan Pak Dede makin erat memeluk pinggangku, sambil sedikit diusap, membuatku geli. Aku coba tepis tapi tangannya nggak bergeming, bahkan mulai melingkar ke perutku.
Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Kunikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini
Sampai selesai lagu ini tangannya terus memeluk pinggangku. Aku jadi makin deg-degan, darahku berdesir setiap kurasakan usapan di perutku. Di lagu-lagu selanjutnya masih seperti itu, sampai satu jam lamanya. Bahkan aku sampai harus menahan tangannya karena sempat tiba-tiba bergerak naik dan hampir saja menyentuh dadaku.
Aku terus menahan tangannya karena takut kalau nanti bergerak naik lagi, tapi posisi kami justru semakin terlihat seperti orang berpelukan. Dia menggeser duduknya sedikit ke belakang, lalu menarik pinggangku sehingga sekarang tubuhku sedikit menyandar di dadanya. Dan dia melakukan itu semua sambil terus menyanyi, tanpa melihat kearahku.
Dengan cueknya tangan nakal itu masih berusaha untuk naik menggapai dadaku, dan aku masih menahannya dengan kuat. Aku hanya menahannya, tanpa mengucapkan sepatah kata untuk memintanya berhenti. Aku berpikir, apakah waktu dia pergi bersama keempat temanku itu kelakuannya juga seperti ini?
Merasa aku nggak mengijinkannya menyentuh dadaku, dia menggerakan tangannya mengusap daerah di bawah bukit payudaraku. Hal ini membuatku semakin geli, dan nggak terasa tubuhku sedikit menggelinjang, dan tanpa kusadari ujung jarinya sudah sampai dan kurasa menyentuh ujung bawah penutup dadaku.
Paak,, ucapku lirih memintanya menghentikan perbuatan itu.
Udah Ra, rileks aja, ucapnya persis di telingaku sehingga aku merasakan geli disana.
Aku mencoba menghindar tapi tangannya erat merangkulku. Nafasnya dihembus-hembuskan ke telingaku membuatku semakin geli. Sampai saat aku merasakan bibirnya menyentuh telingaku, membuatku tersentak dan menggelinjang. Reflek tanganku berusaha menepis wajahnya agar menjauhi telingaku.
Sebuah kesalahan besar, karena tanganku menepis wajahnya, kini tangannya yang memelukku terbebas, dan langsung hinggap di dadaku. Aku kembali menahan tangannya meskipun terlambat, karena kini tangan itu sudah meremas bukit payudaraku. Kulepaskan mic yang sedari tadi ku pegang, mencoba untuk menarik tangannya agar melepaskan pauudaraku. Tapi selanjutnya, justru tangannya yang satu lagi mencaplok payudaraku yang sebelah lagi dan meremasnya.
Aah pak udah pak, jangaan, pintaku.
Rileks aja Ra, keempat temanmu udah biasa kok kayak gini, jawabnya santai sambil menciumi telingaku dari balik kerudung.
Aku tak percaya ini, jadi keempat temanku yang lain sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh atasanku? Kedua tangan Pak Dede masih meremas lembut payudaraku, sedangkan tanganku hanya memeganginya saja tanpa bisa menariknya. Aku semakin terbawa permainan Pak Dede. Kupejamkan mataku karena malu, saat ini ada pria selain suamiku yang sedang menggerayangi tubuhku, dan parahnya aku nggak melawan sama sekali.
Perlahan rangsangan dari bibir dan kedua tangan Pak Dede membuat birahiku naik. Aku mulai mendesah, pegangan tanganku di kedua tangannya mulai mengendur, dan kedua pahaku mulai bergerak nggak jelas. Kurasakan ada yang basah di bawah sana. Oh tidak, dalam situasi seperti ini aku malah terangsang.
Bibirnya yang mengecupi telingaku kini turun menyusuri leherku yang tertutup, membuat kepalaku tengadah, menyandar di bahunya. Bibirku terbuka mengeluarkan desahan-desahan lirih. Bibir Pak Dede kemudian langsung melumat bibirku. Aku nggak sempat menutupnya sehingga dengan mudah lidahnya masuk ke rongga mulutku dan menari-nari disana. Ini adalah bibir kedua yang berhasil menikmati bibir tipisku.
Aku semakin terbawa birahi yang diberikan Pak Dede. Tubuhku semakin melemah, nggak bisa lagi melawan, tangankupun sudah lemas hanya memegangi kedua tangannya tanpa mampu menariknya. Kenikmatan yang aku rasakan membuatku terlena, hingga tanpa kusadari Pak Dede telah membuka beberapa kancing bajuku, dan kini menyentuh langsung kulit payudaraku.
Tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya. Tubuhku mulai diambil alih oleh nafsu. Kedua tangan Pak Dede sudah masuk melewati penutup dadaku dan kini sedang memilin putingku. Aku semakin menggelinjang, merasakan bahwa di pangkal pahaku sudah begitu basahnya. Lumatan bibir kamipun semakin panas, aku sudah nggak ingat lagi bahwa yang sedang mencumbuiku ini bukanlah suamiku.
Aku semakin melayang dibawanya, sampai benar-benar nggak sadar kalau sekarang ini kancing bajuku sudah terbuka semua. Bahkan tangannya dengan lincah membuka pengait braku yang ada di belakang, dan menyingkapnya ke atas. Payudaraku kini terbuka tanpa penghalang di hadapan pria lain, dan bahkan aku sama sekali nggak bisa mencegahnya.
Badanku dimiringkannya dan disandarkan ke tembok, dia berada di hadapanku kini. Bibirnya masih mencumbui bibirku, sementara kedua tangannya aktif meremas dan memilin dadaku. Dia menyingkap kerudungku, lalu lidahnya menyusuri sepanjang leherku dan sesekali menghisapnya, membuat tubuhku semakin menggelinjang.
Aaahhh paakh, jangaan dibuat tandaa aahh, ucapku.
Dia tak menjawab, tapi terus mencumbui leherku, kemudian turun ke pundakku. Sasaran berikutnya sudah pasti kedua bukit indahku. Dengan lembut dia mencumbui dadaku, dihisap dan dijilatinya putingku yang kemerahan itu, sesekali digigit kecil membuatku makin keras mendesah, kurasakan kini kedua putingku sudah mengeras.
Tanganku sudah tak lagi menahannya, kini malah memeluk tubuhnya. Aku tak kuasa menolak gelombang birahi yang diberikan oleh Pak Dede, aku justru menikmatinya. Otakku sudah dikuasai nafsuku, entah kemana pertahananku selama ini larinya, sehingga aku hanya menurut begitu saja ketika baju dan braku diloloskan dari tubuhku. Kini bagian atas tubuhku telah terbuka sepenuhnya.
Dia menatap wajahku sejenak, aku membalasnya dengan tatapan nanar dan nafas terengah-engah sambil menggelengkan kepalaku. Aku tahu ini nggak seharusnya terjadi, tapi belum sempat aku berbuat apapun bibirnya sudah mengerjai dadaku lagi membuatku tersentak dan kembali larut dalam birahi. Kepalaku terdongak, desahanku semakin keras terdengar, mataku terpejam.
Aku jadi meresapi setiap sentuhan bibir, lidah dan tangannya di kulit dadaku. Sentuhan-sentuhan yang mengirimkan sinyal ke seluruh tubuhku, membuat tubuhku semakin panas, semakin terbakar, sehingga membuatnya menggelinjang tak karuan. Bibir itu sedang asik menghisapi puting merah mudaku bergantian, membuatnya semakin mengeras. Aku semakin terangsang, aku merasa semakin naik dan mendekati puncak.
Aaahh paakhh, aahhh akhuuuuu ah.
Namun saat aku mendekati puncak birahi akibat permainan jarinya di putingku, dia secara tiba-tiba menghentikan semua perbuatannya itu. Dia menarik kedua tangannya dan bibirnya dari tubuhku. Aku terbengong, nanggung sekali rasanya, padahal sebentar lagi aku akan mencapai klimaks. Dia hanya tersenyum saja melihatku, lalu berkata,
Waktunya udah abis tuh Ra, mau lanjut atau pulang? tanyanya.
Eh kita pulang aja pak, jawabku, masih agak terbengong dengan nafas ngos-ngosan.
Ya udah, kalau gitu pakai dulu bajumu, kata Pak Dede dengan santainya.
Aku tersentak, baru aku menyadari keadaanku yang kini polos di bagian atas. Aku buru-buru memakai pakaianku. Aku celingukan mencari dimana braku, ternyata sudah dibawa Pak Dede dan dimasukkan ke saku celananya.
Ini buatku, katanya dengan santai.
Aku yang sudah terlanjur malu langsung saja memakai bajuku tanpa bra lagi. Untung kain bajuku cukup tebal dan kerudungku agak lebar sehingga payudaraku bisa tertutup, nggak kelihatan kalau aku udah nggak pakai bra. Aneh sekali rasanya, karena belum pernah aku seperti ini.
Kulihat Pak Dede hanya tersenyum saja melihat kekikukanku. Dia terlihat santai sekali, seolah sudah biasa seperti ini. Dia nggak mengucapkan maaf, nggak ada penyesalan. Apa itu artinya dia memang sudah merencanakan ini semua, dari awal mengajakku kesini dia memang ingin menjamahku.
Setelah merapikan diri, kami pun berdiri hendak keluar dari ruangan ini. Tetapi sebelum membuka pintu dia kembali menarik dan memelukku, lalu menciumiku dengan ganasnya. Aku yang terkejut hanya membiarkan lidahnya sekali lagi bermain di dalam mulutku. Lidahnya menarik-narik lidahku, dan akupun mulai meladeni permainannya.
Tangannya nggak mau diam, keduanya meremas pantatku dengan gemasnya, bahkan mulai menarik naik rok yang aku pakai, hingga kurasakan tangannya kini mengelusi pantatku yang hanya berbalut celana dalam. Aku berontak, tanganku berusaha meraih tangannya dan menurunkan kembali rokku. Namun justru salah satu tangannya beralih masuk ke sela bajuku dan dengan gerakan cepat sudah sampai di dadaku lagi.
Tangan itu segera meremasi dan memilin putingku. Aku tersentak, kewalahan menghadapi perbuatannya itu. Tangannya yang dipantatku malah ikut menelusup ke dalam celana dalamku, dan langsung meremasinya. Tubuhku menggelinjang, aku ingin menolak tapi birahiku yang sempat padam kini naik lagi. Aku bahkan semakin panas membalas ciumannya.
Tubuhku disandarkan ke tembok, dia merapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga dapat kurasakan ada benda keras di bawah sana, dan dia menggesekannya. Aku semakin kehilangan akal sehatku. Birahiku kembali mengambil alih kesadaranku. Bahkan tanpa sadar pinggulku bergerak mengikuti gerakan pinggulnya. Saat aku mulai terbang ke awan, sekali lagi dia secara tiba-tiba menghentikan perbuatannya dan menarik cepat kedua tangannya dari tubuhku.
Aku kembali menatapnya. Nafasku terengah-engah. Dia kembali membuatku melayang lalu menghempaskannya lagi. Aku menatapnya dengan pandangan yang bertanya-tanya.
Kenapa? tanyanya.
Apa dengan keempat temanku itu, bapak juga seperti ini? tanyaku, yang hanya dijawab dengan anggukan.
Kita lanjutkan lain kali, ucapnya sambil mengecup keningku kemudian melepaskan pelukannya. Lalu dia menggandengku keluar dari ruangan ini.
Aku sangat jengkel dibuatnya. Jengkel karena dia sebagai atasanku sudah memperlakukanku seperti ini. Jengkel karena dia memang ingin menjamah tubuhku, ingin menaklukanku. Dan jengkel karena dia telah berhasil membuatku seperti ini tanpa bisa melawan dan menolak sama sekali. Terlebih, jengkel karena dia membuatku menggantung seperti ini, yang akhirnya malam itu kulampiaskan saat berhubungan intim dengan suamiku.
Aku heran dengan diriku sendiri, kenapa dengan mudahnya aku membiarkan orang lain menyentuh tubuhku, bahkan membiarkannya polos di hadapan orang lain. Aku nggak habis pikir, dia sudah berhasil membuatku pasrah seperti itu, tapi kenapa dia nggak melanjutkan lagi. Bukannya aku mau dijamah lebih jauh lagi. Aku hanya nggak mengerti kenapa dia seolah mempermainkan birahiku. Apakah kali ini dia kembali mengajakku ke tempat itu, untuk melanjutkannya? Apakah dia akan kembali menjamahku? Menjamah seluruh tubuhku?
Aku sebenarnya nggak mau lagi mengulanginya, karena aku sangat merasa bersalah kepada suamiku. Aku selama ini sangat menjaga tubuhku, belum pernah disentuh oleh lawan jenisku kecuali suamiku. Tapi dengan atasanku ini pertahananku mendadak runtuh, aku merasakan suatu yang lain, seperti sebuah sensasi tersendiri, yang malah membangkitkan gairahku.
Aku mulai melajukan kendaraanku. Aku masih belum memutuskan, apakah aku akan langsung pulang ke rumah, atau mengikutinya, dimana itu artinya aku akan kembali membiarkan dia menjamahi tubuhku lebih jauh lagi. Apa yang aku lihat semalem antara dia dan Nadya membuatku berpikir, apakah dengan ketiga temanku yang lain, juga sudah sampai ke tahap itu? Kalau iya, apakah itu berarti akulah target selanjutny?
Beberapa kilometer aku berjalan tiba-tiba kulihat ada kerumunan di depan, tepat di sebuah tikungan tajam setelah jalan yang menurun. Ada apa ya? Sepertinya ada kecelakaan. Aku memperlambat laju kendaraanku. Semakin dekat aku dapat melihat sebuah mobil yang ringsek bagian depannya menabrak pembatas jalan dan sebuah pohon besar.
Ketika hendak melewatinya aku tersentak menyadari sesuatu dan langsung menepikan mobilku. Buru-buru aku keluar dan memastikan. Aku kenal mobil ini, tapi mungkinkah? Aku menanyakan kepada orang-orang disitu dimana pengemudi mobil itu, lalu mereka menunjuk ke arah dimana sesosok mayat penuh darah tengah dibaringkan dan ditutupi oleh daun pisang.
Dengan gemetar aku mendekati sosok itu, lalu perlahan aku buka daun pisang yang menutupinya. DEG! Ya Tuhan, ternyata benar, mayat ini, Pak Dede!
.
***