Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VIRDA

PART 10


VIRDA


DEQWO


POV VIRDA

Pagi ini cerah berawan dan waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku melempar smartphone ke atas kasur mengabaikan semua dering yang sejak aku bangun terus terdengar tanpa henti. Nick terus mencoba menghubungiku, aku tidak perduli, yang jelas aku memilih untuk tidak perduli, sampai aku menemukan rasa jenuhku terhadapnya. Setelah rapi berdandan, aku putuskan menjawab panggilan itu.

“Ya hallo ...!” Aku keluarkan nada ketusku.

“Kenapa kamu gak angkat teleponku ... Aku ingin bicara denganmu ...” Kata Nick yang sontak membuat emosiku tiba-tiba saja melonjak naik.

“Inikan udah diangkat! Kenapa masih protes? Memangnya Bapak ada perlu apa sama saya?” Tanyaku tak bisa menutupi nada ketus dari suaraku dan mendadak aku merasa kesal setengah mati terhadap lelaki ini.

“Virda ini semua tidak benar ... Aku dijebak!” Ucapannya tersebut bagiku hanyalah sebatas bualan semata untuk menutupi kedoknya yang kemarin malam bermesraan dengan wanita lain.

“Sudahlah jangan diomongin lagi ... Sekarang saya mau pergi ... Sudah siang.” Berbicara dengannya seperti ini membuat aku mengingat kejadian malam itu. Kejadian yang membuatku nyaris tidak bisa tidur akibat memikirkannya semalam suntuk.

“Ya sudah ... Aku tunggu di kantor, ya ...” Jelas Nick dengan nada suara yang tidak menunjukkan tanda-tanda dia tersingungnya atas ucapanku.

Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung memutuskan hubungan pembicaraanku dengan Nick. Memainkan jemariku yang sedikit gemetar karena emosiku yang bercampur aduk karenanya. Dia telah membuatku merasa dongkol setengah mati. Ada rasa sakit di sudut hatiku. Sakit yang aku sendiri tidak bisa deskripsikan seperti apa. Bagaimana bentuk dan rasanya, yang jelas, berdenyut dan mendesak air mataku untuk keluar.

Aku tarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Sekuat tenaga aku menahan desakan itu dengan menganggap kalau Nick hanya ingin mempermainkanku saja. Aku langkahkan kakiku keluar kamar tidur menuju ruang makan. Aku yakin orangtuaku sudah menunggu di sana. Mataku terbuka sempurna saat menyadari bahwa Deqwo sudah berada di salah satu kursi menghadapi hidangan sarapan paginya.

“Wo ... Ngapain lu?” Tanyaku heran.

“Ikut sarapan.” Jawabnya santai.

“Ihk ... Tumben banget sih ...” Walaupun heran tapi aku senang dia ada di sini sekarang.

“Gak sih Vir ... Emang gue ada perlu ama lu aja ...” Jawabnya sambil tersenyum.

“Hhhhmm ... Jangan macem-macem keperluan lu, ya?” Aku coba memperingatinya.

“Ya ... Gue gak akan macem-macem ...” Jawabnya lembut.

Dan kami pun menikmati sarapan pagi hari ini. Aku, Deqwo dan kedua orangtuaku terlibat perbincangan ringan seputar dunia kerja. Setelah selesai sarapan, aku dan Deqwo bersiap-siap untuk berangkat ke kantor masing-masing. Namun, saat sampai di teras rumah, Deqwo memintaku untuk duduk di kursi teras dan aku pun menuruti kemauan Deqwo dengan sedikit berdebar.

“Vir ... Sebenarnya gue ke sini untuk minta maaf sama lu ... Karena gue udah nyusahin lu ...” Katanya sambil mengamati wajahku lekat-lekat.

“Kalau masalah itu ... Gue harap, jangan lagi diomongin, Wo ... Gue udah nganggap lu saudara ... Juga Anta ... Lu berdua selalu ada di hati gue ... Sebagai saudara.” Kataku hati-hati, menjaga suaraku terdengar netral.

“Kalau masalah itu, gue udah lupain, Vir ... Ini masalah lain.” Katanya lagi yang membuatku terkejut.

“Masalah apa lagi, Wo?” Jantungku mendadak berdegup kencang.

“Tapi sebelumnya ... Gue mau minta maaf dulu sama lu ... Dan gue harap lu gak marah setelah gue ceritain masalah ini.” Ujarnya sambil menahan nafasnya.

“Loe tuh kalau ngomong selalu berbelit-belit ... Langsung aja deh ... Ada apa?” Kataku sedikit kesal dengan kebiasaan Deqwo yang tidak pernah hilang kalau sedang berbicara denganku.

“Gak, Vir ... Gue ingin lu maafin gue dulu ...” Deqwo memaksa.

“Ya udah ... Gue maafin lu ...” Aku memaafkan yang aku sendiri tidak mengerti kenapa aku harus memaafkannya.

“Gini, Vir ... Ini masalah kejadian tadi malam ... Sebenarnya Nick tidak bersalah ... Karena cowok lu, gue yang jebak ...” Sangat terdengar bodoh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa sadar aku menatap Deqwo dengan tatapan tajam dan sinis.

“Maksud lu ....!” Lepas seketika nada marahku.

“Vir ... Maafin gue ... Kejadian semalam itu, Dona yang mengatur.” Lirih Deqwo yang terlihat gelisah.

“........” Bibirku terasa membeku tetapi bergetar yang diikuti dengan gemetarnya seluruh tubuhku menahan amarah.

“Gue kasih Nick obat tidur ... Setelah dia gak sadar, gue bawa ke kamar hotel dan Dona sudah menunggu di sana. Selebihnya gue gak tau apa yang dikerjakan Dona di sana.” Jelasnya lagi yang sekarang Deqwo mengalihkan pandangannya dariku.

“Lu ... Tega ya, Wo?!” Kekagetanku membuat emosiku mulai terpancing.

“Sekali lagi maafin gue ... Dan gue harap jangan salahkan Nick ... Dia hanya korban kejahatan gue sama Dona ...” Deqwo lantas berdiri dan meninggalkan aku sendiri.

Tentu saja penjelasan Deqwo itu seketika membuat hatiku sakit. Aku sama sekali tidak menyangka, Deqwo tega melakukan hal sepicik itu. Aku tidak paham mengapa dia begitu jahat. Tetapi akhirnya aku tidak mau mengeluarkan energi untuk marah padanya. Apapun yang membuat sedih dan marah cukup aku terima saja dengan lapang dada. Aku sangat sadar, ternyata membalas seseorang yang pernah menyakiti perasaan itu tidak enak. Tidak enak karena artinya aku mengikuti sikap buruknya. Jika aku tidak menyukai sikapnya, seharusnya aku tidak bersikap seperti dirinya. Kalo tidak, aku akan membenci diriku sendiri.

“Gue maafin lu, Wo ...” Ucapku dalam hati.


NAYA

Sudah waktunya berangkat ke kantor. Aku melaju pelahan dengan kendaraanku, menyelusuri jalanan yang semakin padat oleh bermacam kendaraan. Setelah bergelut dengan kemacetan yang begitu parah, akhirnya aku sampai di kantorku. Kulirik jam tanganku. Pukul 08.35. Aku terlambat 35 menit dari jam masuk kerja. Dengan agak tergesa aku langsung menuju ruangan kerja.

“Pagi ... Bu ...” Sapa asistenku ketika aku sampai di depan ruanganku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan lalu membuka pintu kantorku dan masuk kedalamnya. Aku tidak langsung duduk dan bekerja di meja kerjaku melainkan duduk di sofa yang berada di tengah ruangan.

“Virda ... Aduh ... Gawat!” Aku cukup terkejut dengan kedatangan Naya yang tiba-tiba heboh.

“Ada apa, Nay?” Tanyaku santai.

“Boss baru kita ... Nick ... Dia sejak tadi marah-marah gak jelas. Semua kena dampratnya!” Raut wajahnya penuh kegelisahan dan kecemasan.

“Oh ... Biarin saja ... Mungkin dia lagi kesal.” Jawabku santai.

“Vir ... Cuma kamu yang bisa menghentikannya ... Kasian pegawai ...” Keluh Naya sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.

“Hhhhhmm ... Ya, udah ...” Kataku sembari beranjak dari dudukku dan berjalan menuju ruangan Nick.


NICK

Tak berapa lama, aku sampai di ruangan Nick. Aku terkejut karena suara kemarahan Nick sampai ke telingaku yang keluar dari ruangannya. Tanpa permisi aku segera masuk. DEUGG! Alangkah terkesiapnya aku saat melihat Dona terduduk di atas lantai sambil menangis sementara Nick berdiri di hadapannya dengan bertolak pinggang.

“Hentikan, Nick!” Entah kenapa tiba-tiba aku khawatir terhadap Dona. Dengan sedikit berlari aku hampiri Dona, aku angkat tubuhnya dan menopang dengan kedua tangan kemudian memapahnya ke sofa.

“Orang seperti dia sudah seharusnya mendapat hukuman.” Teriak Nick yang masih terlihat marah.

“Sudah ... Cukup ... Nick!” Kataku memperingatinya.

“Kenapa kamu membelanya? Dia telah memfitnahku dan mencelakai kamu?” Nada suaranya belum juga berubah, aku memalingkan tatapanku ke wajah Nick.

“Kau apakan dia?” Tanyaku sengit.

“......” Nick tidak menjawab terlihat sekali pucat pasi. Wajahnya tegang seperti biasanya orang yang sangat ketakutan.

“Aku sangat tidak suka dengan laki-laki yang gampangan menyakiti perempuan.” Aku marah padanya karena dia telah melukai Dona. Dari sudut bibir Dona meleleh darah yang aku yakini itu adalah hasil perbuatan Nick.

“Aku akan memecatnya ... Aku tidak sudi mempunyai pegawai orang jahat seperti dia!” Kata Nick sambil mendekat ke arah mejanya.

“Sekalian dengan aku ... Pecat kami berdua ...” Ucapku seraya membersihkan darah di sudut bibir Dona.

“Vir ... Jangan ... Jangan lakukan itu!” Seru Dona sambil memegangi tanganku yang sedang membersihkan luka di bibirnya.

“Biarin saja ... Kita tidak butuh pimpinan yang kasar pada perempuan!” Kukeraskan suaraku agar Nick mendengarnya.

“Vir ...!” Lirih Dona sambil menatap mataku. Bulir-bulir air matanya menetes lagi di pipinya.

“Sudahlah Dona ... Ayo, kita pulang!” Ajakku pada Dona.

“Virda ...! Apa yang kamu perbuat?” Teriak Nick padaku. Seketika itu juga aku menoleh pada Nick dengan sorot mata kecewa sambil menggelengkan kepala.

“Aku resign Nick ...” Kataku.

“Apa??? Kamu ... Ah, tidak ... Nggak, Vir ...” Ucap Nick sambil melangkah mendekatiku.

Aku halau tangan Nick yang berusaha menahanku. Aku dan Dona keluar dari ruangan kerjanya, sementara laki-laki itu hanya berdiri terpatung di tempatnya. Kugenggam tangan Dona dengan erat agar hubunganku dengannya membaik dan dia terikat menjadi kesatuan yang memadu dan akhirnya rasa persaudaraan bertemu. Nampaknya usahaku tidak sia-sia, Dona pun mempererat genggamannya pada tanganku. Dona menatapku dengan penuh penghargaan, aku peluk pundaknya dan kukatakan ...

“Semangat ya Don ... Lu gak sendirian, gue bersama lu ...” Kataku.

“Vir ... Gue jadi malu sama lo ... Ternyata lu baik banget ...” Lirihnya.

“Kita sudah berteman sejak lama, Don ... Pertemanan lebih penting daripada cowok brengsek seperti dia ...” Sahutku.

“Virda ... Maafin gue ya ...” Tiba-tiba Dona merangkulku, jalan kami terhenti.

“Sudah, Don ... Gak ada yang perlu dimaafin sama gue juga ...” Ucapku sambil membalas pelukannya.

Kami berpelukan lama, seolah-olah tak ingin lepas. Pelukan yang menguatkan hatiku untuk menerima Dona sebagai sahabatku. Salah satu pelajaran hidup yang menurutku sangat berkesan selama hidup adalah arti persaudaraan yang aku dapatkan dari seseorang yang selama ini sangat membenciku. Air mata Dona terasa membasahi pundakku, seperti ada perasaan penyesalan yang besar. Tak lama kemudian, aku urai pelukanku dan mengajak Dona segera keluar gedung perusahaan ini. Setelah mengambil semua barang-barang dari ruangan masing-masing, kami pun bersama-sama keluar gedung perusahaan.

“Sekarang kita mau kemana, Vir?” Tanya Dona setelah berada di dalam kendaraanku.

“Kita ke tempat Deqwo ... Siapa tau ada kerjaan untuk kita di sana.” Jawabku sambil tersenyum.

“Eeemm ... Jangan salahin dia ya, Vir ... Karena ... Gue ...” Ucapan Dona segera kuputus.

“Gue udah tau, Don ... Lu berdua yang melakukannya ...” Sahutku santai.

“Eh ... Jadi, lo udah tau?” Tanya Dona Heran.

“Deqwo yang cerita ...” Lirihku.
“Oh ....” Dona menundukkan mukanya.

“Deqwo dan Anta selalu ada di hati gue ...” Kini aku sedikit bergumam.

Dona hanya tersenyum dengan apa yang aku ungkapkan. Persahabatan kami memang tak diragukan lagi. Ada yang bilang kalau kami ini sekelompok orang aneh dengan berbagai macam sifat. Walau kenyataannya, kami pernah memiliki konflik mendalam yang nyaris meruntuhkannya. Persahabatan kami memang bukan tipe yang harus selalu bersama, tetapi kami tahu, kami ada untuk satu sama lain.

Singkat cerita, kami pun sampai di perusahaan Deqwo bekerja. Deqwo menduduki jabatan yang cukup penting di perusahaannya, sehingga aku berpikir tidak akan susah baginya untuk mendudukan kami sebagai pegawainya. Aku dan Dona berjalan di belakang security yang mengantarkan kami ke ruang kerjanya. Setelah melewati ruang sekretarisnya, kami masuk ke ruangan di mana Deqwo bekerja.

“Selamat siang, Pak!” Sapaku pada Deqwo. Dia memandang kami dengan penuh antusias, tersenyum. Wajah seorang pemimpin yang tegas tergambar jelas dari raut muka dan cara ia bersikap.

“Virda ... Dona ...” Ucapnya sangat ramah.

“Maaf ... Kami mengganggu Bapak.” Kataku lagi.

“Ada apa sih ini ... Jangan gitu bicaranya ...” Kata Deqwo sambil mempersilahkan kami duduk di sofa.

“Gini, Wo ... Gue ama Dona mau ngelamar kerja di tempat lu ...” Kataku pelan.

“Jangan bercanda ah ...” Respon Deqwo yang terlihat terkejut.

“Serius, Wo ... Gue ama Dona udah resign dari perusahaan kami, sekarang gue ama Dona mau minta kerjaan sama lu ...” Kataku lagi penuh penekanan.

“Benar itu, Don?” Deqwo bertanya kepada Dona seperti ingin meyakinkan ucapanku.

“Ya, Wo ...” Lirih Dona.

“Kalian Gila ... Kenapa bisa begini?” Tanya Deqwo sambil geleng-geleng kepala.

Aku ceritakan kejadian yang baru saja terjadi padaku dan Dona. Deqwo terlihat mencemaskan sesuatu, dan sangat serius mendengarkan ceritaku. Setelah selesai aku bercerita, Deqwo memejamkan mata dan merentangkan kedua tangannya, sesekali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Gue akan terima Dona sebagai pegawai di sini, tetapi lu Vir ... Lu harus balik ama Nick ... Dia membutuhkan lu di sana ...” Kata Deqwo sambil memperbaiki posisi duduknya.

“Kok, gitu sih Wo ...” Protesku.

“Nick adalah masa depan lu ... Dia berbuat gitu sama Dona karena gak mau kehilangan lu ...” Jelasnya dengan lembut dan sangat terlihat bijaksana.

“Wo ... Gue gak suka sama laki-laki yang suka menyakiti perempuan ...!” Kataku keras.

“Apa lu gak ngerasi disakiti sama gue?” Tanyanya.

“Lu mah lain ... Lu kan sahabat gue.” Lirihku sambil menatapnya.

“Gak, Vir ... Lu harus balik ... Nick sedang menunggu lu ...” Katanya lagi penuh penekanan.

Aku dan Deqwo terlibat adu argumen yang cukup sengit. Lama-lama aku merasa ada kebenaran dari seluruh pernyataan Deqwo kalau aku harus kembali pada Nick. Aku mendapat pencerahan dari Deqwo, yang sampai kini masih kupikirkan kebenarannya. Entah aku setuju atau tidak. Dia bilang, aku harus kembali pada Nick karena laki-laki itu sangat mencintaiku.

“Hhhmm ... Oke deh, Wo ... Makasih atas nasehatnya ... Gue balik dulu ke kantor sekarang ...” Kataku seraya berdiri dan berjalan meninggalkan Deqwo dan Dona.

“Hati-hati ... Jangan belok kemana-mama, langsung temui Nick!” Perintah Deqwo. Aku tersenyum mendengar ucapan Deqwo barusan lalu keluar dari ruangan kerjanya.

###



POV DEQWO

Aku melepas kepergian Virda dengan hati yang sangat lapang. Segala beban di hatiku sirna sudah. Kegelisahanku berakhir sudah. Seketika itu aku teringat Anta yang sudah memberikan aku pencerahan hati. Mempertahankan persahabatan jauh lebih penting dari pada apapun selain keluargaku, dan itulah prinsip yang aku pegang saat ini. Aku ingin selalu menjadi sahabatnya karena dia sangat baik. Aku menyayanginya sebagai sahabat, tidak lebih.

Kini aku bersama Dona. Di hadapanku kini, keangkuhannya seakan mencair seperti bongkahan es yang terkena pancaran sinar mentari. Dona mulai menjadi sosok yang lain di mataku, sosok angkuh dan jahat yang selama ini melekat pada dirinya seketika berubah dengan sikap anggunnya. Menarik, itulah dia dalam penilaianku saat ini. Hatiku kini tidak bisa dideskripsikan bagaimana rupanya. Apa ini definisi sebenarnya dari cinta atau sebuah kekacauan mikrokosmik.

Hari ini tak bisa kupungkiri, aku menyukainya obrolan santai kami yang menenangkan. Seolah kami saling mengerti satu sama lain. Kami berbincang penuh kenyamanan dan keintiman, layaknya dua sejoli yang sudah mengenal dengan lama. Sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah mukaku, aku merasakan getaran aneh yang mengusik ketenangan dadaku.

“Sudah siang, Don ... Kita istirahat dulu ... Kita makan siang yu ...!” Ajakku pada Dona yang sedari tadi terus membantu menyelesaikan pekerjaanku.

“Ayo ... Emang gue juga udah lapar.” Sahutnya riang.

“Mau makan di mana?” Tanyaku.

“Terserah lo aja ...” Jawabnya.

“Ya, udah ... Ayo!” Ajakku lagi sambil membukakan pintu untuknya.

Sejenak kami jalan berdampingan keluar kantor. Lalu tanpa disuruh, kugandeng tangan Dona. Dia menatapku, aku pura-pura tidak menghiraukannya. Perlahan, jari-jari tangannya bertautan dengan jari tangan milikku. Dan itu berhasil membuatku menoleh ke samping, dia juga sama. Pandangan kami bertemu dan kami saling melemparkan senyum.

Tanpa pikir panjang aku segera meluncur ke sebuah restoran yang jaraknya tidak begitu jauh dari lokasi perusahaanku. Restoran yang aku pilih adalah restoran masakan khas betawi. Setelah sampai, kami memilih tempat duduk yang agak dipojokan agar lebih rileks dan santai. Ketika disodori menu, aku senang sekali ternyata memang sangat betawi. Ada gado-gado, sayur asem, soto betawi, sop buntut dan lain-lain. Mungkin harganya agak sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan harga makanan sejenis di pedagang kaki lima, tetapi aku rasa oke aja. Aku memesan sop buntut plus nasi putih dan kebetulan rasa sop buntutnya top banget.

“Don ... Gue kok liat lu lain hari ini ...” Kataku setelah menyelesaikan makan siangku.

“Lain gimana sih, Wo ...” Tanya Dona yang terlihat pipinya memerah.

“Entahlah ... Lu keliatan ...” Aku seperti tak sanggup untuk meneruskan kata-kataku. Lalu dia tersenyum simpul, seolah menemukan sesuatu dari raut wajahku.

Tiba-tiba aku terpana dengan orang yang duduk di depanku. Dia tersenyum sangat manis lembut seperti marshmellow, bikin aku ingin menggigitnya. Jika dulu duniaku selalu terarah kepada Virda, kini perlahan-lahan mulai teralihkan dan perasaanku pada wanita di hadapanku ini mulai berkembang. Aku tidak mengerti kenapa secepat ini rasa itu hadir di hatiku.

Aku ingin menepis, tetapi lagi-lagi aku hanyalah seorang laki-laki. Sebuah kedekatan biasa yang kujalani dengan seorang lawan jenis bagiku bukanlah sebuah hal yang biasa. Aku tidak pernah benar-benar bisa merasa nyaman dengan banyak orang. Aku tidak pernah benar-benar bisa bersikap gamblang di hadapan atau di dekat lawan jenis yang menurutku bukan siapa-siapa. Namun, di hadapannya atau di dekatnya aku merasa dapat menjadi diriku sendiri. Dia tidak pernah mencelaku. Di hadapanku, kini Dona selalu menampilkan deretan gigi-giginya yang rapi dalam setiap ekspresi tawanya yang begitu ceria.

Entah bagaimana bisa terjadi, tiba-tiba saja aku merasa dengan begitu percaya diri jika dia adalah sosok jodoh yang Semesta takdirkan untukku. Anganku perlahan mulai merajut satu persatu mimpi untuk bisa membangun sebuah pondasi cinta yang hakiki bersamanya.

“Hei ... Wo ...” Ucap Dona sambil mengipaskan tangannya tepat di mukaku.

“Eh ... ya ... Maaf ...” Gerakan Dona membuyarkan semua lamunanku.
“Lu ... Kenapa sih Wo?” Tanya Dona sambil mengulum senyumnya.

“Eem ... Gak ... Gak kenapa-napa ...” Jujur aku sangat malu ketahuan sedang mengamatinya. Dona juga kelihatan malu, aku bisa melihat pipinya yang merah itu, walaupun ia tetap menundukkan kepalanya.

“Lu juga ... Keliat ganteng hari ini.” Ucap Dona lembut. Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan betapa aku sangat bahagia mendengar itu.

Kami pun beradu pandang dan sepakat tanpa kata. Kuulurkan tangan kananku. Dona melepas senyumnya, lalu mengulurkan tangan kanannya. Kedua tangan saling genggam-menggenggam menguatkan hati untuk saling mengasihi. Selangkah cinta itu merebak bagai wangi bunga di taman, sekuntum benih yang terhembus langsung mulai berakar, meski masih banyak kemungkinan yang akan tejadi. Alam seakan ikut bernyanyi, menyambut hari-hari penuh misteri, silih berganti tak kunjung berhenti.

“Oh ... Waktunya kembali ke kantor.” Kataku sambil melepaskan gengaman tanganku.

“Eh ... Ya ...” Jawabnya.

Aku membayar semua makanan yang baru saja kami lahap dan setelahnya aku dan Dona keluar restoran menuju kendaraanku yang terparkir di halaman restoran. Aku melaju pelan karena tidak ingin segera mengakhiri gelendotan mesra Dona di lenganku. Aku mulai terbiasa dengan kepalanya bersandar di bahuku. Rasanya memyenangkan, bahkan terasa sangat nyaman. Aku memeluknya dengan erat, dengan tangan kiriku. Aku cium pucuk kepalanya berkali-kali.

Sesampainya di kantor, aku tidak lantas mengerjakan pekerjaanku, tetapi aku lebih memilih untuk bermesraan dengannya. Kemesraan itu disambut hangat oleh Dona untuk kemudian dilanjutkan dengan peluk dan cium. Lalu aku tunjukan suhu kemesraan yang meningkat, sambil tertawa Dona mendorong dadaku dan memijit hidungku sambil mengingatkan untuk menahan diri.

“Sayang ... Ini di kantor loh ...!” Dona memperingatkanku dan mengusir tanganku dari pahanya.

“Gak apa-apa ... Aman kok ...” Kataku sambil mempererat pelukan tanganku agar Dona tidak beranjak dari pangkuanku.

“Gak ah ... Lebih baik lu kerja lagi ...” Akhirnya kubiarkan Dona melepaskan diri dan berjalan menuju Sofa lalu mengambil tasnya.

“Eh ... Kamu mau kemana?” Tanyaku.

“Gue tunggu di rumah ya? Bye ...” Sahut Dona sambil keluar dari ruangan kerjaku.

Aku tersenyum dan membiarkan Dona pergi. Aku pun tersadar, ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Secepatnya aku selesaikan pekerjaan itu dan tidak terasa akhirnya selesai juga. Sekali lagi, aku meyakinkan apakah benar sudah tidak ada yang tertinggal dan semua pekerjaan telah terselesaikan dengan baik. Kemudian, aku pun keluar kantor, pulang agak lebih awal, karena ada sesuatu yang perlu aku tuntaskan.

Kendaraanku meluncur dengan kecepatan cukup tinggi dan yang aku tuju adalah rumah Dona, kali ini aku tidak di ajak ke apartemen-nya. Tak butuh waktu lama aku sampai di rumahnya. Segera kuparkirkan mobilku di depan pagar rumah Dona, kemudian masuk ke dalam karena ada sosok wanita cantik yang sudah menungguku sejak tadi.

“Hai ...” Sapanya penuh suka cita.

“Rumah lu sepi banget ... Kemana ortu?” Tanyaku sambil mencium keningnya.

“Mereka lagi pergi keluar kota ...” Jawab Dona seraya mengalungkan lengannya ke leherku dan mencium pipiku singkat.

“Kebetulan ...” Lirihku sambil memegangi pinggulnya.

“Ihk ... Ngeres ya?” Desahannya membuatku semakin bergejolak.

“Boleh ...?” Bisikku di telinganya.

“Nikahi dulu ...” Balas bisik Dona.

“Kita kawin dulu ... Baru nikah ...” Kataku sambil mencium cuping telinganya.

“Ihhh .... Aaaahhh ...” Desah Dona lagi yang membuatku semakin lupa.

Kami yang ditemani asmara malam, berbalur birahi cinta yang dalam. Bibir bertemu bibir meski hanya berciuman tanpa lidah, tetapi ciuman ini dilakukan dengan lama dan penuh emosi serta gairah. Cinta dan birahi tak mampu memilah, semua yang kami lakukan secara naluriah dan tanpa rasa bersalah.

Gairah dan kenikmatan yang terus meningkat selama sesi bercumbu ini membuat kami saling membuka pakaian. Tubuh kami yang polos menempel begitu lekat. Aku membopong Dona sambil mulut kami masih saling mencari. Aku membawanya ke dalam kamar, dan saat di kamar ciuman kami semakin menggila. Aku letakkan tubuh Dona di atas ranjang lalu kutindih tubuh bugilnya. Dona membuka lebar-lebar selangkangannya, kugesek-gesekkan dulu penisku di bibir vaginanya, lalu segera kumasukkan penisku ke dalam lubang senggamanya.

“Aduuh sayaannggg… pelan-pelan aja doong… ahhh…” Desah Dona. Aku pun memperlambat masuknya penisku, sambil terus sedikit-sedikit mendorongnya masuk diimbangi dengan gerakan pinggul Dona.

Aku ketawa dan mengecup bibirnya sambil merasakan enaknya himpitan kemaluan Dona yang terasa masih sempit ini. Setelah beberapa saat, aku mulai menggerakkan penisku maju mundur dengan pelan-pelan. Jepitan vaginanya sangat ketat seolah tidak mengijinkan penisku masuk lebih dalam.

“Aaah… uuuhhh… oooww… shhh… ehhmmm…” Desah Dona sambil tangannya memeluk erat bahuku.

Mendengar itu, aku pun mempercepat gerakanku, Dona mengimbangi dengan goyangan pinggulnya yang dahsyat. Hujaman demi hujaman itu semakin membuat suara gaduh, ranjang berantakan, Dona juga tidak tahan lagi dengan remasan dan sodokan penisku, ikut naik turun mengoyak liang surgawinya.

Aku hanya bisa merem-melek sambil terus memompa, merasakan enaknya jepitan dinding-dinding vaginanya. Tidak lama setelah itu, kurasakan denyutan teratur di dinding vagina Dona, kupercepat goyanganku dan kubenamkan dalam-dalam penisku. Tanganku terus meremas-remas payudaranya dan tubuh Dona terasa menegang.

“Ooooh … sayaaanngg … aaahhh… akuuuu mauuu keluaaar… aaawww…” Teriak Dona dengan keras. Tubuhnya melengkung dengan membusung ke depan mendapatkan orgasme. Terlambat aku menyadari, kuremas buah dadanya dengan kuat, hujaman terakhir yang dalam di selakangku sampai membuat Dona mengucurkan cairan panas itu.

Kaki Dona pun memeluk pinggangku dan menarik pinggulku supaya lebih dalam masuknya penisku ke dalam lubang kenikmatannya. Ketika denyutan-denyutan di dinding vagina Dona masih terasa dan tubuh Dona menghentak-hentak, aku merasa aku juga sudah mau keluar. Aku berkali kali menggenjotnya. Barulah beberapa menit kemudian aku menegang dengan kaku, kusemburkan air maniku kuat kuat ke dalam rahimnya.

“Aaaaahhhh … aku mau keluar Sayaaang…” Aku tidak sempat menarik penisku karena kaki Dona memeluk erat pinggangku.

Dona pun sudah pasrah dan tertindih tubuhku dengan kaki melingkar di pinggangku. Luar biasa nikmat menggenjot wanita cantik ini. Kami berdua masih diam dengan posisi tak karuan itu. Barulah ketika Dona lepas dari pengaruh orgasme itu langsung menucubit di lenganku

“Lo harus bertanggung jawab ...” Kata Dona pelan sambil tangannya mengusap-usap mukaku yang penuh keringat.

“Ya ... Sayang ... Gue akan segera ngelamar lu.” Jawabku penuh keyakinan.

“Dua kali lo menodai gue ...” Candanya genit.

“Nanti gue tambah, jadi ketiga kali ... Mau?” Balas candaku padanya.

“Ihhh ... Mau ....” Seru Dona sambil memelukku.

Pagut memagut berpelukan membasahkan. Raga mengejang saling ingin terpuaskan lalu kami pun berdekapan tak terpisahkan. Kami berdua terus saling memeluk erat dengan masih bersatunya tubuh kami. Dan kami berdua kemudian menutup mata dengan penuh kepuasan. Ketika mataku terbuka, Dona tersenyum senang sambil masih terpejam. Kukecup ringan bibirnya itu.

“Sayang ... Maukah kamu menjadi istriku?” Bisikku di telinganya. Mata Dona terbuka dan memandangku sayu.

“Gak kecepetan, Wo?” Lirihnya.

“Menurut lu, gimana?” Tanyaku.

“Kita jalani dulu seperti ini ... Gue masih ingin tau siapa diri lo.” Jawabnya.

“Jadi menurut lu ... Ini terlalu cepat?” Tanyaku lagi.

“......” Dona menjawab dengan anggukan dan senyumannya.

“Percayalah ... Gue sangat mencintai lu, Na ...” Kataku sambil memainkan hidungnya.

“Hi hi hi ... Aneh ya, sayang ... Secepat ini, gue juga gitu ...” Dona tertawa cekikikan.

“Gitu gimana?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Gue juga ... Mencintai lo ...” Pelan tetapi jelas terdengar.

Aku mencintai Dona tanpa alasan, tanpa memperdulikan keburukannya karena cinta itu datang tiba-tiba dan sekarang aku merasakannya. Ia datang dan melukiskan warna ceria dalam hidupku, mengobati hati yang luka, menghapus gundah dengan tawa. Entah apa yang Semesta rencanakan dalam hidupku. Ia memberiku wanita yang terbaik juga cinta yang luar biasa.

###

BERSAMBUNG...
 
izin bookmark nanti bacanya:kretek:
Giliran kamiuu up besok..:kretek:
Sehat selalu om...
Masih kalah juga ama eyang semua... padahal udah gelar tikar dari tadi...
Makasih neng Gadis updatenya
Sehat Selalu... Sukses di RL..
Masama om, semoga terhibur...
Amin... Maacih doanya om..
Sukses juga buat om dan sehat selalu..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd