Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Warna Itu Untuk Kamu [2019]

seravi_yvi

Guru Semprot
Daftar
6 Jun 2017
Post
553
Like diterima
654
Bimabet




WARNA ITU UNTUK KAMU

<<<<>>>>
Langit bersemu merah seiring munculnya sang mentari. Suara binatang mulai terdengar di dalam hutan yang penuh pepohonan besar. Pepohonan itu mengelilingi sebuah villa yang berdiri kokoh di lereng gunung dengan posisi menghadap ke sebuah danau.

Suara berisik terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.

“Pikiran gue blank. Boring!! ” Seorang perempuan berambut pirang berucap keras.

“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang menyala. “Liat ini! Susu gue mengkerut!”

Signal buruk sekali. Payah!” Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal. Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.

“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally failed!

Dua pasang mata melirik malas ke arah sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang menggangu keheningan pagi.

“Gue bela-belain kaga tidur semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”

“Em, elo payah kalo bikin rencana! ”

“Next event gue yang urus!! Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"

*
Anggi mendesah resah di dalam mobil mewah yang melaju meninggalkan kampung menuju ibu kota. Wajah cantiknya keruh. Perempuan muda berperawakan sedang itu duduk bertopang dagu. Mata indahnya mengintip lewat kaca mobil, melihat pepohonan yang melambai sedih mengucapkan salam perpisahan untuknya.

Anggi melirik Emilia yang tertidur nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.

“Apakah Bu Emilia benar-benar orang baik?” Anggi membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.

“Bu, kita udah sampe.”

Anggi tersentak mendengar suara si supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.

“Ini rumah saya, Anggi.”

Anggi turun dari mobil kemudian mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai tiga.

Tap Tap Tap

Suara alas kaki menghantam tangga terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai tiga menoleh ke arah sumber suara.

“Em, elo baru pulang? “ Seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.

“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia santai. “Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff baru gue. Dia bakal tinggal di sini. ” Emilia memperkenalkan Anggi. “Anggi, ini Jonathan, kakak saya,” Emilia melanjutkan.

Anggi tersipu malu melihat wajah ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.

“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”

Anggi hanya tersenyum dan mengangguk. Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.

**

Rumah keluarga Emilia berlantai empat bergaya semi modern. Isi rumah sangat komplit. Mulai dari kolam renang, tempat olahraga, tempat yoga, dan taman yang indah. Emilia tinggal di lantai tiga dan Anggi kebagian satu kamar yang ukuranya sepertiga kamar Emilia. Bagi Anggi kamar itu cukup luas. Dia juga mewarisi beberapa perabotan dari penghuni sebelumnya.

Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak. Orang tua Emilia tidak berada di sana dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik, pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.

Pekerjaan yang diberikan Emilia kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya. Anggi sangat menghomati Emilia. Bagi gadis yang memiliki tahilalat di atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain. Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang wanita primadona di kampungnya.

“Tap Tap Tap”

Anggi hafal suara itu. Itu adalah suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa kali menyapa sekedar berkata “haii Anggi!”, “selamat pagi Anggi ”, “selamat sore Anggi.” Mereka tidak pernah mengobrol lebih jauh.

Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda ditulis oleh beberapa orang.

"LELAKI BANGSAAT !!!! BERWAJAH MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"

"WANITA PENIPU !! PEMBOHONG !!

" KELUARGA TERKUTUK !!"

"GUE ANCUUUR , ELO REMUK ! DASAR LONTE SIALAN !!

Tulisan yang berisi makian kasar itu membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.

***
Dua bulan berlalu.

Mendung tebal menyelimuti kota, berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada pertemuan khusus sejak pagi.

Udara lebih dingin dari biasanya. Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.

Suara lagu favorit Anggi mengalun lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia. Dia memutar tubuh di depan cermin beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan pinggul indah.

Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.

Ttjddduuuuaaaarrrr

Suara petir menggelegar. Anggi menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya kaget.

Tjddduuaarrrraaaaaaarrrrr

Terdengar suara petir yang lebih keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.

Blaaam

Lampu padam. Aliran listrik terputus. Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba, mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.

Tap Tap Tap

Anggi mendengar derap kaki berlari menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan pakaian.

“ Nggi.. Anggii!”

Anggi mendengar suara orang memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari kamar.

“Anggii.. Anggiii! ” Sesosok tubuh yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.

“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang? Kenapa lari-lari?”

“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan, “ujan dan gelap, saya males sendirian.”

“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”

“A-Lima.” Jawaban Emilia berbarengan dengan lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.

*****
Emilia mengemudikan mobil melewati jalan sepi yang membelah hutan Mangrove menuju sebuah rumah yang disebut Emilia sebagai ‘Rumah A-Lima’. Rumah itu terletak di dekat tebing yang menghadap ke pantai.

Hujan sudah berhenti turun ketika mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana. Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.

“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh, Bu?”

“Warna menunjukan identitas. Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.

Luas kelima bangunan itu hanya setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa kursi kayu panjang berderet di dekatnya.

Anggi mengikuti Emilia berjalan ke arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya. Emilia pernah bercerita kepada Anggi, nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.

“Nggi, kamu jangan baper ama mereka. Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia berpesan kepada Anggi.

Seorang wanita memakai dress hitam panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.

Wanita lain memakai dress merah duduk menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan angkuh. Dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall. Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan, “cepetan dong! Saya mau ke bandara!”, “cepetan dong! saya mau makan malam!”, “ cepet cepet cepet! Saya sudah ditunguin taxi!” Semua yang diucapkan Davina itu adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.

Di dekat Davina, seorang wanita memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun. Selain itu, dia memiliki kebiasaan memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.

Emila kemudian duduk di dekat seorang perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia. Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.

“Itu adalah gallery kami, berisi barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan bercat kuning tidak jauh dari mereka.

“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan yang tertutup kain.

At least, itu hasil imajinasi gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan Monica. “Dasar tukang bacot!”

“Anggi, kami berlima mau membahas sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”

Anggi mengerti ucapan Emilia. Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’ oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.

“Em, asisten lo ngikut terus ya?” ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya. “Elo balik jadi anak manja dan penakut, hihihi.”

Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke arah Anggi . “Gue demen dia. Dia polos dan bisa dipercaya,” ujarnya lirih. “Gue ngerasa nyaman ama dia.”

“Yakin?” Davina menatap tajam. “ Elo kagak bakal korbanin dia, kan? kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.

“Gimana, kalian udah dapet cowo keren untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.

Of course! Gue tinggal julurin lidah aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.

“Berarti persiapan udah beres, ya?” tanya Emilia.

“Yes, but we need extra money.”

“Em, lo mesti ajak assiten lo terlibat dalam game!” Davina berucap serius. “Game kali ini spesial!”

“Emang game-nya apaan?” Emilia penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu dan membuat Emilia berpikir.

******
Gallery merupakan ruangan yang luas. Cahaya lampunya remang. Ukiran-ukiran antik khas Bali dan Jepara menghiasi dinding. Ada juga beberapa lukisan yang dibingkai dengan kayu berukir. Banyak meja kayu solid di tengah ruangan, beberapa diberi alas kain tenun tradisional. Di atas beberapa meja kayu terdapat topeng berbentuk wajah manusia. Di pojok ruangan, di atas lantai berwarna coklat tua, ada beberapa lampu yang terbuat dari kayu memancarkan cahaya kuning redup. Banyak anyaman dari bahan rotan dan bambu tergantung di dinding.

Anggi mulai merasa bosan. Menurut Anggi yang tidak mengerti seni, terlalu banyak benda yang menurutnya aneh berada di tempat itu. Barang yang sama sekali tidak membuat Anggi kagum. Anggi lebih menyukai pakaian indah ketimbang benda seperti itu. Mungkin cara orang kaya menghabiskan uang adalah dengan membeli benda seperti itu, pikir Anggi.

Anggi memutuskan berjalan keluar ruangan. Dia mendekat ke arah A-Lima berkumpul dan hendak minta ijin kepada Emilia untuk berjalan-jalan di taman.

Denting suara gelas beradu terdengar ketika anggota A-Lima mengangkat tangan bersulang.

“Kamu mau wine, Nggi?””

“Bikin mabuk ya Bu?”

“Enggak kalo sedikit. Mau coba?”

“Eh, tidak usah Bu. Dulu pacar saya ngelarang saya minum yang bikin mabuk.”

“What?! Elo punya pacar Nggi? ” Monica berteriak sambil tertawa.

“Dulu Bu. Sekarang dia udah nikah ama orang.” Anggi tersipu malu dan juga merasa sedih.

“Udah diapain aja?” Rimelda menaikan kedua alis mengoda. “Susumu pasti sering disedot dan diremes yaaaa?! Hihihi.”

“Gimana rasanya Nggi? Enak ? Geli?”

“Eh! Enggak Bu!” Wajah Anggi merah padam.

“Bo’ong! Sini gue cek! Gue tau mana yang udah pernah disedot ato belom! Hihihi.”

Anggi terdiam dan merasa risih. Serangan dari mereka memang susah dilawan. Dia merasa malu, jengah, dan bingung. Emilia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggi merasa wajahnya semakin panas.

Mereka bersorak seperti berdemo. Anggi buru-buru pamit ke taman karena sangat malu. Terdengar gelak tawa di belakangnya. Dia berusaha tidak terlalu memikirkanya. Dia mulai mengerti kenapa Emilia menyuruhnya agar tidak baper.

Suasana di taman saat itu hening. Udara berhembus segar dan dingin setelah hujan. Anggi menikmati rumput yang basah menyentuh kakinya. Dia melanjutkan berjalan menikmati indahnya malam.

Anggi melihat sebuah bangunan besar yang memiliki warna tembok biru muda tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah pintu yang memiliki warna aneh membuatnya tertegun. Terdapat sebuah tulisan di tengah-tengah pintu.

“KE-GEM-BI-RA-AN” Anggi membaca tulisan itu sambil menjulurkan tangan meraba.

“Pintu itu hasil kegilaan si Em, bos elo.”

Anggi menoleh ke arah sumber suara. Rimelda dan Davina sudah berdiri tidak jauh dari Anggi.

“Em suka corat-coret sembarangan. Bagi gue itu kotor, tapi bagi dia itu seni, “ ujar Rimelda.

“Bulan depan, kami mau pesta di sini,” ujar Davina sambil menunjuk bangunan berwarna biru muda itu. “Lo dateng ya, Anggi!”

“Mungkin Bu, kalo Bu Emilia mengijinkan,” ujar Anggi ragu.

“Hahaha. Bahasa lo kaku amat!” Rimelda tertawa. “Udah berapa bulan lo kerja ama Em?”

“Sudah tiga bulan lebih, Bu.”

“Betah?” Kedua alis Rimelda naik. “Biasanya kagak ada yang betah ama dia lebih dari dua bulan!”

“Meskipun sering marah sama saya, dia baik sekali,” ujar Anggi tulus mencoba membela Emilia. Davina dan Rimelda saling pandang, kemudian kompak tertawa begitu keras. Anggi keheranan.

“Hihihi. Hati-hati Anggi! Em itu monster!” Rimelda berbisik. “Emmmmm, mungkin lebih kejam dari monster. Kami kenal Em udah dari dulu. Sebelum lo lahir.”

”Lo itu polos. Dia suka orang polos, Hahaha. “

Anggi mengerutkan alis. Mungkin ini yang dimaksud Emilia kalau teman-temanya rese dan kelewatan. Sebelum berlalu, mereka mengingatkan Anggi lagi.

“Oh ya. Inget datang bulan depan! Kami ada game seru."

*******
Sebulan kemudian di Rumah A-Lima.
Senin, 20:00

Anggi berdandan rapi. Dia mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jeans biru yang menunjukan bentuk indah pinggulnya. Wajahnya cerah berseri. Bibirnya terlihat lebih merah karena lipstick. Emilia berjalan di sampingnya. Wanita yang tingginya hampir sama dengan Anggi itu juga mengenakan kemeja berbahan sutra lembut berwarna biru gelap. Bawahannya berupa celana panjang longgar juga berwarna biru. Sangat kontras dengan kulit putihnya. Dia menggenggam sebuah handbag berwarna hampir sama dengan pakaiannya.

Mereka berdua berjalan di bawah cahaya remang lampu taman di Rumah A-Lima. Bintang di langit bertaburan indah. Tidak seperti sebulan yang lalu, ketika pertama kalinya Anggi kesana.

Hari ini akan diadakan pesta di rumah A-Lima. Anggi melihat jumlah kendaraan di parkir lebih banyak dibandingkan ketika pertama kali dia ke sini. Bangunan itu juga sudah di dekorasi berbeda, ada beberapa kursi di dekat kolam renang. Lampu di depan masing-masing ruangan menyala lebih terang.

Rimelda yang memakai dress ketat hitam menyambut mereka dengan segelas minuman. Seperti biasa, dia itu selalu tampil heboh dan seksi. Belahan dadanya terlihat menggoda. Dia juga menggunakan wedges yang cukup tinggi.

Davina dengan dress panjang berwarna merah menyala. Dress lembut itu sampai ke mata kakinya. Dia terlihat begitu anggun. Warna rambutnya saat ini adalah biru dengan sedikit warna abu-abu menyala.

Diandra mengenakan pakaian mirip Anggi. Sebuah kemeja longgar, berwarna biru dengan garis-garis putih horizontal. Dia juga memakai celana jeans ketat. Kacamata yang dikenakan saat ini berbentuk kotak. Bibir munggil wanita itu begitu glossy, basah dan menggoda. Rambut pendek sebahu tidak mampu menyembunyikan leher jenjangnya.

“Kamu cantik sekali malam ini. Sudah siap bermain?” Rimelda bertanya kepada Anggi. “ Elo yang bakal gantiin Em, kan?”

“Iya Bu.”

“Be carefull sweety. She so tricky. Em itu licik!” Monica menakuti Anggi. Anggi terlihat ragu. Dia menatap Emilia meminta penjelasan.

“Dia udah sepakat jadi wakil gue. Elo tinggal jelasin peraturannya ama dia. ” Emilia menyahut dengan tenang. “Kami tidak akan mengubah keputusan.”

Anggi sudah berjanji menggantikan Emilia dalam permainan itu, tetapi dia belum mendapat informasi mengenai permainan apa yang akan mereka mainkan. Emilia juga mengatakan kalau dia tidak mengetahui detail permainan. Hanya Monica dan Davina yang tahu karena merekalah yang merancang game-nya. Emilia mampu meyakinkan Anggi kalau permainan itu hanya untuk bergembira.

“Actualy, this game a bit different. Game yang WOW dan enggak akan terlupakan. Tapi elo malah minta asisten elo ngewakilin. I hope, elo gak nyesel nanti, Em!”

“Kalo boleh tau, itu game apa?” Tanya Anggi. Perasaanya mulai tidak enak.

“Ayo masuk ke kamar Biru Muda. Gue jelasin di sana,” sahut Davina.

Rasa ingin tahu yang membuncah menuntun Anggi mengikuti langkah Emilia memasuki satu-satunya pintu penghubung. Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas tetapi remang. Hanya ada cahaya redup di langit-langit ruangan yang cukup tinggi. Cahaya itu hanya membantu membuat bentuk samar yang memberi penunjuk akan adanya suatu benda.

Kamar Kegembiraan atau juga disebut Ruang Biru Muda adalah ruangan luas yang bentuknya mirirp tempat pertunjukan seni panggung. Luas ruangan itu 600 meter persegi dengan tinggi tembok delapan meter. Setengah ruangan itu adalah panggung dan setengah lagi adalah ruangan kosong yang biasanya diisi kursi sebagai tempat menonton. Hanya ada sebuah pintu masuk di sebelah Utara dekat panggung. Panggung berbentuk memanjang dengan tinggi satu meter dari lantai.

Monica mengarahkan teman-temannya ke tengah-tengah ruangan. Memersilahkan mereka duduk di kursi yang berjarak sekitar dua meter dari tangga yang berfungsi untuk naik ke atas panggung.

“Let’s start the game!”

Davina tertawa renyah kemudian menekan saklar. Seketika cahaya terang menyorot dari atas menyinari sepertiga panggung, yaitu bagian kanan panggung. Memperlihatkan sebuah tempat tidur berwarna putih berukuran 4 x 4 meter dikelilingi kelambu tipis biru muda. Di atasnya duduk lima orang lelaki memakai penutup mata dengan pakaian serba hitam.

Saklar kedua ditekan. Cahaya kembali menyorot dari atas, kali ini kebagian sebelah kiri panggung. Di sana terdapat lima kursi berderet. Di setiap kursi, duduk satu orang lelaki menghadap ke arah kursi penonton. Mereka mengenakan penutup mata warna hitam dan juga masker bibir. Pakaian mereka cukup aneh, yaitu celana pendek dan baju kaos mirip pakaian olahraga. Warnanya mencolok dan masing-masing memiliki warna berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.

Saklar ketiga ditekan dan lampu menyorot ke tengah-tengah panggung. Seluruh panggung menjadi terang. Terlihat dua buah sofa berwarna biru tua sepanjang dua meter di posisiakan berhadapan. Jarak antar sofa sekitar satu setengah meter. Di antara sofa berdiri dua orang yang memakai topeng power ranger. Jenis kelamin mereka tidak dapat dikenali dengan jelas karena mengenakan jubah hitam lebar bertuliskan ‘JURI’. Selain itu, terdapat juga sebuah layar berukuran lebar tidak jauh dari sofa, menunjukan angka 00:00:00. Penanda, jam : menit : detik.

Alis Anggi mengkerut. Gadis itu menggigit kukunya. Sejak tadi dia berpikir, kira-kira permainan apa yang akan mereka mainkan. Sudah pasti ini bukan permainan yang biasa. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya.

Monica yang menggunakan kaos putih tanpa lengan dan celana jeans pendek berdiri di hadapan kelima wanita lainnya. Sebuah tatoo bunga kecil terlihat di lengan kanan wanita itu.

“Oke! Dengerin baik-baik! Aturan mainnya simple,” kata Monica.

“Pertama, kalian harus memilih salah satu dari lima lelaki yang duduk di kursi.” Telunjuk Monica mengarah ke panggung tempat lelaki pakaian warna-warni duduk. “Mereka memiliki nomor di punggung baju masing-masing.”

“Setelah kalian memilih, kalian akan mendapat nomer urut sesuai nomor yang tertera di punggung mereka. Ada nomor dari satu sampai lima.” Monica melanjutkan penjelasannya.

“Kemudian kalian akan masuk ke dalam permainan. Kalian dan jagoan pilihan kalian akan saling berhadapan di sofa di tengah panggung.“ Monica menarik nafas sejenak. ”Tugas kalian gampang-gampang nikmat. Kalian diberi waktu tiga puluh menit untuk membuat mereka ‘croot’ tanpa menyentuh. Sudah ada juri yang akan menjadi pengawas dan tukang hitung waktu.”

“Crot?! Maksudnya apa Bu?” Anggi mengerutkan alis bingung.

“Sperma menyembur dari penis mereka, Anggi! Hihihi,”

Anggi shock. Ucapan yang baginya tabu diucapkan dengan santai oleh mereka. Meskipun dia menjadi paham dengan apa yang dimaksud ‘croot’, tetap saja Anggi merasa malu dan risih.

“Simple-nya begini Anggi, kamu hanya perlu berhadapan dengan lelaki pilihanmu, biarkan dia memainkan penisnya sendiri. Kamu hanya perlu menggoda. Tapi ingat! TIDAK BOLEH menyentuh mereka.”

“Elo boleh buka baju dan pamerin toket lo!”

Dug Dug Dug. Jantung Anggi menendang-nendang. Wajahnya merah, mendengarnya saja dia sudah malu, apalagi harus melakukan itu semua. Dia tidak percaya perempuan itu mengatakan dengan begitu luwes hal yang menurut Anggi sangat tabu.

“Mimpi! Ini pasti mimpi!”

Anggi diam-diam mencubit kulitnya. Anggi merasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi. Dia mendadak ingin pergi dari ruangan itu, tetapi sudah terlamabat. Dia sudah berjanji dengan mereka. Bisa saja hal yang lebih gila akan terjadi kalau dia membatalkan janjinya.

“Kamu paham kan, Nggi?!”

Anggi tersentak. Dia menganguk lemas, tidak terucap apapun dari bibirnya. Ludahnya mendadak terasa pahit.

“Pemenangnya adalah yang memiliki waktu tercepat untuk croot dan yang kalah adalah yang membutuhkan waktu paling lama untuk croot!”

“Gimana kalo kaga croot setelah waktu habis?” Diandra bertanya.

“Berarti mereka homo, atau kalian bukan wanita asli. Hihihi.” Davina tertawa manis.

“Trus lima laki di tempat tidur itu mo ngapain?”

“Gue akan jelasin lebih lengkap dari atas panggung. Okaay?”

Rimelda yang memakai dress ketat hitam maju ke panggung. Dia mengulangi apa yang dijelaskan Monica tadi dengan lebih bersemangat dan berapi-api.

“Yang butuh waktu paling lama untuk ‘croot’ dinyatakan sebagai pecundang atau loser. “

“Hukuman bagi pecundang adalah menjadi budak mereka yang ada di tempat tidur!”

Rimelda menunjuk tempat tidur yang berisi lima lelaki dengan mata tertutup kain. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari tempat tidur. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan bergembira.

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”


Kata-kata itu berputar di kepala Anggi. Anggi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendekat ke arah Emilia dan mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin membatalkan permainan itu. Dia tidak sanggup melakukannya.

“Elo mau ingkar janji?! Tidak segampang itu!” Davina berucap dengan sorot mata tajam. “Kalo elo gak mau ikut. Elo bakal diserahin pada lelaki di panggung.”

“Kamu dianggap kalah tanpa bermain!! “ Monica menimpali. “ Bukan begitu Em?”

Anggi gemetar. Dia memandang Emilia penuh harap.

“Anggi, jangan permalukan saya. Tolong ikut bermain. Kamu pasti bisa!” Emilia berucap serius.

Anggi merasa ada tembok besar yang mendadak menghimpit tubuhnya mendengar ucapan Emilia. Harapannya untuk tidak ikut bermain pupus sudah. Dia mencoba menguasai diri. Mencoba menguatkan hati sambil menunduk dengan tubuh bergetar. Dia merasakan tubuhnya mendadak begitu panas. Aliran darahnya sangat cepat. Ketakutan menguras seluruh fokusnya. Dia menyesal berjanji mewakili Emilia.

“Oke, sekarang kita persilahkan tamu spesial kita untuk memilih jagoannya.” Teriak Rimelda dari panggung. “Anggi! Kamu yang pertama memilih!”

Saking fokusnya Anggi dengan pikiran sendiri, dia tidak mendengar ketika Rimelda menyebut namanya beberapa kali.

“Anggi!” Teriakan Emilia menyadarkanya.

Eh! Apa?”

“Kamu pilih yang mana?”

Anggi mengumpat dalam hati. Sekarang dia harus memilih diantara kelima lelaki berpakaian aneh itu. Dalam kekalutan Anggi mencoba keberuntungan mengunakan trik kuno. Dengan tangan gemetar dia menghitung kancing kemejanya.

Merah

Kuning

Hijau

Biru muda

Biru tua

Merah


Hitungan Anggi berhenti di merah. Dengan gugup Anggi menunjuk lelaki yang memakai pakaian warna merah. Dia berdoa dalam hati agar mendapat hal yang terbaik. Lelaki itu memiliki nomor punggung 4. Setelah semua memilih, hasilnya adalah, Monica Nomor 1, Rimelda nomor 2, Davina Nomor 3, Anggi Nomor 4, dan Diandra Nomor 5.

Anggi lega sekaligus galau berat. Dia sedikit lega karena masih punya waktu berpikir. Dia mulai menghitung, dia mempunyai waktu maksimal 90 menit sebelum gilirannya tiba.

“Kenapa mereka tenang sekali?” Anggi heran ketika melirik wajah anggota A-Lima. “Apa hukuman itu hanya sekedar ancaman?”, Anggi membatin. “Atau mereka memang gila?”

“Ayo kita mulai. Nomor satu maju ke panggung!” Terdengar teriakan juri.

Anggi mencoba mengumpulkan ketenangan. Matanya teralihkan ke panggung karena penasaran. Juri melepas penutup mata si nomor 1. Laki-laki itu duduk di sofa menunggu Monica yang melenggok anggun menuju panggung.

Monica menghempaskan tubuhnya ke sofa dan duduk berhadapan dengan si nomor 1. Pahanya yang kencang berisi hanya sedikit tertutup celana pendek ketat.

“Mulai!” terdengar teriakan juri.

Monica bersandar di sofa, dia meremas paha. Tatapan matanya menggoda lelaki di depannya. Lelaki itu sudah memelorotkan celana sampai ke lutut. Tangan kanannya memegang penis sambil mengocok pelan.

Deru nafas si nomor 1 semakin berat ketika Monica melepas celana pendek sekaligus celana dalamnya dan melempar ke sofa tempat duduk si lelaki. T-shirt Monica yang agak lebar menyembunyikan vagina wanita itu dari pandangan si lelaki. Dada si lelaki berdebar keras melihat bokong dan pinggul Monica yang begitu menggoda. Tangannya semakin cepat mengocok penis.

Monica kemudian duduk bersandar di sofa menghadap si lelaki. Perempuan berkulit putih itu menaikkan kedua kaki. Membuka lebar paha sehingga kakinya membentuk huruf M. Dia menyingkap ke atas T-Shirt yang dikenakan sehingga terlihat vagina tembem tanpa rambut di bawah perut yang rata dengan tatoo ivy melingkari pusar.

Lelaki di depannya semakin tegang. Kocokan penisnya semakin cepat. Nafasnya tersengal menyaksikan jari tangan Monica mengubel-ubel alat kelamin sendiri. Permukaan lubang vagina Monica terlihat cukup jelas oleh si nomer 1. Monica menjulurkan lidah kemudian membasahi tangan dengan air liur. Tangannya kembali turun memainkan vagina. Monica membelai klitoris, gerakan tangannya sangat cepat. Bokongnya bergerak menggesek sofa. Desahan keluar dari bibirnya.

Plllaakkk

Pllaaakk


Tangan kiri Monica menampar paha sendiri sehingga bergetar dan berwarna kemerahan. Tangan kanan semakin bersemangat memainkan vagina. Wanita itu merasakan tubuhnya semakin panas. Dia membuka T-Shirt yang dikenakan dan melempar ke lantai. Payudara Monica tidak dapat ditutup sempurna oleh bra yang dikenakannya, terlihat menyembul indah menggairahkan.

Monica berdiri. Dia menungging ke arah si nomor satu. Menggerakan pinggul dan meliuk menggoda.

Pllaaakkk Plaaakkkk Plaaakkkk

Monica menampar pantat sendiri yang membulat.

Penis si nomer satu berkedut keras menyaksikan pantat Monica yang bergerak menggoda. Monica kemudian mengangkang dan menungging. Dia kembali memainkan vagina dalam posisi itu. Dua jari wanita itu masuk keluar masuk vagina sendiri dengan cepat.

Pleeek Pleeek Pleeek

Terdengar suara vagina yang basah ketika bersentuhan dengan tangannya.

Si nomor 1 merasakan aliran darahnya begitu panas. Dia berdiri sambil mengocok penis dengan cepat. Dia membayangkan penisnya masuk ke lubang vagina Monica.

“Ahhhh Ahhhh hhsssshhhh”

“Arrrgggggggggg Hhhhhhhh”

Crooooooottt croooot

Pada hitungan 00:12:40. Si nomor 1 mengejang dengan sperma menyemprot ke lantai dan hampir mengenai tubuh Monica. Nafas lelaki itu tersengal. Monica mendekat ke arahnya dan memberi kecupan di bibir lelaki itu.

“Thanks....!”

Monica terlihat puas. Kemudian dengan bangga dia menaikkan tangan menghadap ke arah teman-temannya sambil berteriak. Si nomor 1 meninggalkan panggung dan Monica mengenakan pakaian, kemudian kembali duduk mencari teman-temannya.

Tubuh Anggi bergetar hebat menyaksikan hal itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Gilaaaa! Ini gilaaa!”

Tubuh Anggi panas bukan main. Keringat dingin muncul di keningnya. Dia menatap keempat perempuan lain yang berada di sampingnya. Semua menunjukan ekspresi biasa saja. Rimelda dan Davina malah terlihat berteriak penuh semangat. Emilia dan Diandra kalem.

“Ayoo! Nomer dua maju!!”

Rimelda berlari ke atas panggung. Dia begitu bersemangat. Si nomer 2 sudah duduk di sofa tanpa mengenakan penutup mata.

“Masker lo lepasin dong!” Rimelda berteriak. Si nomer 2 menurut. Rimelda tersenyum senang, “Anak baik. Ayyooo kita bersenang-senang!”

Si nomer dua berhadapan dengan Rimelda. Celananya melorot sampai ke lutut. Melihat perempuan berpakaian seksi itu dia sudah merasa sangat tegang. Bentuk tubuh Rimelda berisi dan fuck-able sekali.

Rimelda meraih tali dress di lengan dan melepasnya. Dia menarik turun dengan pelan. Payudara yang bulat menyembul indah. Lelaki itu menahan nafas melihat payudara besar tapi kencang milik Rimelda. Putingnya mengacung menantang. Rimelda menggoyangkan tubuh. Kedua payudara bergetar. Tubuh si nomer dua juga bergetar hebat. Dia mengocok penisnya semakin cepat.

“Elo pengen nyedot ini? ” Rimelda meremas dada sambil mendesah penuh nafsu. “Julurin lidah lo dan jilat sepuasnya. Eyyyaaahhhhhh... aaaa shhhh!”

Lelaki itu menurut dan menjulurkan lidah seperti orang sedang menjilat payudara. Rimelda mendesah sambil menggoyangkan tubuh erotis. Dia meremas payudara sendiri dengan kasar. Memainkan puting dengan jemari seolah disedot oleh lelaki itu. Dia membayangkan dan begitu menghayati.

“WOW! Penis lo gede banget! Kalo elo menang, gue bakal ngeseks ama elo!” Rimelda menjulurkan lidah. “Gue bakal telen penis lo sampe nyangkut di tenggorokan gue! Pasti nikmat banget. Mulut gue pasti meluber. Owwwwwwhhhh.”

“Ato kontol elo mau di jepit pake ini?” Rimelda menggesekkan kedua payudara.

“Kalo elo masih belom puas, gue masih punya aset yang lain!” Rimelda dengan tergesa melepas dress beserta dalamannya sehingga dia telanjang bulat. Tubuh indah Rimelda benar-benar terekspos di hadapan lelaki itu.

“Liat bokong gue!” Rimelda membelakangi lelaki itu. Dia menggerakkan pinggul sehingga bokongnya bergetar. Perempuan itu kemudian menari erotis. “ Elo suka kan? Kalo elo mau. Nanti Elo bisa tampar, cium, dan gigit ini sepuasnya! ”

“Gue akan goyang elo sampe puas dan minta ampun! Hihihi.”

Rimelda kemudian menungging. Dia menunjukan vagina indahnya ke hadapan lelaki itu.“Elo boleh masukin kontol elo ke sini!”

“Gue bakal jepit, remes, aduk sampe elo teler!” Rimelda goyang ngebor di atas panggung. Lelaki itu mendesah dan bersemangat mengocok penisnya. Gerakan tangannya super cepat. Wajahnya merah menahan nafsu.

“Hhhmmmmppps sssssshhhhh!!”

Crooooootttt crrrooot

Spermanya menyemprot. Waktu yang di butuhkan adalah, 00:10:13.

Rimelda melonjak girang. Dia berlari ke arah lelaki itu kemudian mengelus penis yang mulai mengecil.

“ Elo kalah, Monic!”

Rimelda berteriak sambil menunjuk Monica. Dia kemudian mengenakan pakaian dan kembali ke tempat duduk.

“Nomer tiga, maju!”

Davina berdiri kemudian menghadap ke arah lima perempuan di dekatnya. Dengan gerakan lincah wanita itu melepaskan dress dan melemparkan ke wajah Rimelda.

“Gue bakal ngalahin elo!”

Davina tersenyum angkuh. Dengan hanya menggenakan celana dalam dan bra dia melangkah anggun menaiki panggung, dengan gaya seorang model dia berputar beberapa kali sambil tersenyum menggoda ke arah si nomor 3.

“Mulai!” Juri mengeluarkan aba-aba.

Davina berdiri di hadapan lelaki yang duduk telanjang dengan penis yang sudah tegang. Mata lelaki itu menatap lekat tubuh indah perempuan yang ada di depannya. Pinggang Davina sangat ramping, perutnya rata tanpa timbunan lemak, pantatnya begitu menonjol kebelakang dan sangat kencang.

Dengan gerakan tubuh indah dan menggoda, dia melepas celana dalam dan bra. Melempar lembut ke lelaki di depannya. Celana dalam Davina tepat mendarat di wajah lelaki itu.

“Pake CD gue buat ngocok penis elo. Dijamin lebih lembut dari tangan lo!”

Lelaki itu mengambil bra dan celana dalam Davina. Dia menempelkan di wajahnya. Tubuh lelaki itu menggigil menghirup aroma menggairahkan yang masih melekat di sana. Dia kemudian memakai celana dalam Davina untuk membungkus penis dan menggerakkan naik turun. Ucapan Davina benar. Celana dalam itu sangat lembut dan terasa begitu hangat. Lelaki itu mendesah nikmat sambil mengamati tubuh telanjang Davina di depannya.

Davina duduk di lantai cukup dekat dengan si nomor tiga. Wanita bertubuh langsing itu meremas payudaranya yang berukuran sedang tetapi kencang. Menjulurkan lidah menjilat puting dengan lidah yang meruncing dan basah. Gairah si nomer tiga begitu menggebu. Tarikan nafasnya sangat berat. Lembut celana dalam Davina membuat penisnya cepat berkedut. Dia mengocok penis sambil menghirup aroma bra Davina yang masih menempel di hidungnya.

Davina mengangkang. Vaginanya berbentuk tipis indah. Sangat pas dengan bentuk tubuhnya yang langsing. Dia membasahi jemari tangan, kemudian dengan jari dia melebarkan permukaan lubang vaginanya yang berwarna kemerahan. Pantatnya bergerak menggesek lantai. Jari tangannya menggosok klitoris dengan cepat.

Lelaki itu masih belum croot meskipun nafasnya sudah menderu kencang. Tatapan matanya semakin nanar ketika melihat Davina sudah berada di ujung sofa. Perempuan itu mengangkang dan menggesekkan vagina di pinggiran sofa yang lembut. Pinggul perempuan itu menyentak indah, teratur dan sangat erotis.

Si nomor tiga dapat melihat cukup jelas vagina Davina bergerak menyusuri lembutnya sofa. Dia membayangkan penisnya berada di lubang vagina perempuan itu. Dia memimpikan bokong semok davina menari lincah di atas tubuhnya. Dia mengocok penisnya dengan cepat, semakin cepat berpacu dengan waktu.

“Ahhhhhh Shhhaaaatttttt!”

Sperma lelaki itu menyempot. Lelaki itu sengaja mengarahkan penisnya ke bra Davina. Si nomor 3 croot pada, 00:14:15 .

“Bra dan CeDe gue lo ambil sebagi hadiah!” ujar Davina. Dia kemudian berjalan ke arah teman-temannya dengan tubuh telanjang. Mengenakan dress tanpa bra dan celana dalam.

Anggi merasa tubuhnya bergetar hebat. Anggi tegang bukan main. Dia tahu beberapa detik lagi adalah gilirannya. Dia masih bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Adegan yang diperagakan ketiga perempuan itu masih belum bisa dipercaya oleh Anggi. Mereka perempuan tidak tahu malu. Itulah yang ada di benak Anggi.

No 1 : 00:12:40

No 2 : 00:10:13.

No 3 : 00:14:15

Hasil sementara Rimelda menang dan Davina yang kalah. Posisi Monica aman. Mereka hanya menunggu hasil dari Anggi dan Diandra.

“Ingat! Hukuman bagi yang kalah adalah dipersembahkan kepada lima monster buas yang ada di sana! Berhati-hatilah kalian dalam bermain!”

Ucapan Rimelda berputar-putar di kepala Anggi, dia merasa pusing. “Apakah aku harus kabur dari sini?” Anggi melihat sekelilingnya. Sepertinya hal itu tidak memungkinkan.

“Ayo! Sekarang giliran si nomor empat!”

Anggi menatap ke panggung. Lelaki nomor 4 sudah berjalan ke arah sofa. Anggi masih tidak bergeming.

“Ayo Anggi! Semangat! Kamu pasti bisa!”

Rimelda berteriak. Seperti diperintah, tubuh Anggi bergerak maju ke panggung dengan lunglai. Wajahnya begitu pucat. Dia berjalan seperti tidak sadar. Pikirannya melayang kemana-mana. Otaknya sudah tidak kuat memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.

Anggi mulai sesak ketika berada di panggung. Dia merasa begitu asing dengan tempatnya berpijak. Asing dengan orang yang menggelilinginya. Anggi merasa berada di dimensi lain yang menyesatkan. “Apa yang harus kulakukan agar bisa menang?”

“Kalian siap? Kami akan mulai menghitung!” Teriakan juri memasuki telingga Anggi tetapi otak gadis itu tidak bisa mencerna. Anggi tidak merespon. Dia tercekat dan tidak dapat menyahut.

“TUNGGU!!!” Terdengar teriakan keras dari kursi penonton “ GUE MAU DUEL!!”

Anggi terkejut mendengar suara Diandra. Dia melihat perempuan berkacamata itu berdiri kemudian naik ke panggung. Diandra menjelaskan kalau duel yang dimaksud adalah mereka akan maju berbarengan, nomor 4 dan nomor 5 akan manggung bersama. Menggoda jagoan masing-masing secara bersamaan.

“I think, itu seru juga. Gue setuju!”

“Gue sih Yes!”

“Gue juga!”

Teman-teman yang lain juga menyetujui permintaan Diandra. Terdengar sorakan mereka memberi dukungan.

“Gimana?! Elo, mau duel, Nggi?”

Anggi pasrah. Dia setuju saja. Dalam pikirannya hasilnya akan sama. Semua akan terasa berat baginya. Baik duel atau tidak.

“Kalian siap?” Terdengar teriakan juri. ” Kami akan mulai menghitung!”

“Siap! Gue sangat siap!”

Waktu mulai berjalan. Anggi kebingungan.

“Apa aku harus menari?”

“Apa aku harus telanjang?”

“Apa aku harus menawari mereka bercinta?”


Pertanyaan itu datang silih berganti di kepalanya. Anggi melirik Diandra yang berada di sebelah. Dia melihat Diandra duduk santai sambil melipat salah satu kaki. Diandra memejamkan mata bersandar di sofa. Seperti orang tidur.

Diandra seperti sadar kalau Anggi memandangi. Bibir mungilnya berdecak kemudian dia membuka mata dan melirik Anggi. “Elo tegang banget! Ini hanya game. Santai aja!” Diandra kembali memejamkan mata. Sorot matanya begitu tenang. Seolah tidak terjadi apapun. Anggi tidak menyahut. Dalam hatinya dia mencaci maki Diandra.

“Kenapa bisa seperti itu?” Anggi membatin. “Apa mereka sudah terbiasa dengan lelaki?”

Anggi tidak punya waktu banyak memikirkan Diandra karena terdengar teriakan dari kursi penonton. Dia menelan ludahnya beberapa kali. Kepalanya berputar mengamati sekelilingnya. Dia benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Ayyoooo Anggiii! Buat dia crooot!”

“Tunjukan kalau dirimu wanita yang hebat. Ayo kalahkan Diandra!”

Suara Rimelda dan Monica begitu riuh sehingga Anggi mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Teriakan itu menyadarkan Anggi akan beratnya hukuman bagi yang kalah.

Waktu semakin cepat berlalu. Anggi masih belum melakukan apapun. Dia melirik si nomer 4 dan nomor 5. Dia melihat mereka menggengam penis yang sudah menegang. Telinga Anggi tiba-tiba mendengar derai tawa Diandra.

“Lumayan! Bisa tidur lima belas menit!”

Anggi tersentak dan langsung melihat ke arah layar.

00:15:04

“Salah satu dari kita pasti kalah! Hahaha,” ujar Diandra.

Anggi memaki dirinya sendiri. Ternyata dia telah terjebak dalam permainan Dindra. Sekarang dia mengerti kenapa Diandra tidak melakukan apapun, ternyata perempuan itu menunggu waktu selama lima belas menit.

“Permainana ini sudah diatur. Yang kalah sudah ketahuan.” Diandra menaikan salah satu sudut bibirnya. “Salah satu dari kita akan kalah!”

Dindra kemudian berdiri dan berteriak. Dia menaikan kedua tangan dan menghadap ke arah teman-temanya di kursi penonton. Teman- temannya bersorak gembira, wajah Anggi pucat. Dia melihat hal yang sangat berbeda dari Diandra.

Anggi memalingkan pandanganya ke arah kursi, dia melihat Monica berbisik-bisik kepada Emilia. Emilia tertawa lepas sambil melirik Anggi. Dia begitu bergembira melihat ketegangan Anggi.

“Ayo semanggat, Nggi!” Emilia kegirangan. Dia bertepuk tangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Entah kenapa Anggi menjadi muak mendengar kata-kata Emilia yang biasanya begitu dikaguminya. Senyum manis Emilia seolah berubah menjadi senyum penyihir jahat yang memperdaya anak-anak.

Cuiiih! Anggi ingin sekali meludahi wajah Emilia. Wajah perempuan itu mendadak terasa asing bagi Anggi. Dia ingin menumpahkan amarahnya. Semua ini terjadi karena dia menuruti permintaan Emilia. Wanita jahanam itu menariknya kepermainan ini. Anggi sedih dan muak, dia merasa ditipu dan dikhianati. Rasa benci kepada Emilia memuncak. Tangan Anggi mengepal. Kelopak matanya panas dan berkedip cepat.

“Inikah monster yang dikatakan teman-teman Emilia?!”

Air mata Anggi menetes. Dia mengusap dengan jari. Dia tidak ingin ketahuan menangis.

“Aku harus menang! Harus!!”

Emosi Anggi sudah tidak bisa dikendalikan. Dengan tangan bergetar hebat karena rasa frustasi, dia melepas kancing kemeja.

“Inikan yang kalian mau!”

Anggi menjerit. Dihempaskan kemeja sehingga terbuka. Dengan penuh amarah dia melemparkan kemeja ke arah Emilia dan teman-temannya. Dia tidak peduli dengan tubuhnya yang hanya mengenakan bra dan celana panjang. Perasaan malu lenyap ditelan amarah.

“Buka!”

“Buka!”

Penonton semakin riuh. Anggi merasa dirinya sudah gila. Tangannya semakin bergetar, Dia meraih kait bra dan hendak melepasnya.

Plaaaakkk

Kedua telapak tangan Diandra memukul pipi Anggi, sebelum Anggi sempat melepas bra. Tangan Diandra bergerak, memutar kepala Anggi sehingga wajah mereka berhadapan.

“Lihat wajah gue! Semua sudah diatur. Yang kalah sudah di tentukan sebelum kita memilih mereka! Elo percaya bukan?” Diandra tersenyum licik.

“Oh Tidak!!” Anggi memekik tidak percaya melihat wajah Diandra penuh cairah sperma. Senyum Diandra membuat kesadaran Anggi mulai berkurang.

“Aa aa aku kalah!! Tiii tiddaaaak!”

Dug Dug Dug

Jantung Anggi menendang dadanya dengan keras. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa semakin berat. Dia mencoba menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba mengisi paru-parunya dengan oksigen. Otaknya menolak. Anggi merasakan lantai yang dipijaknya berputar. Dia mengoyangkan kepala ketika kesadaran mulai berkurang. Nafasnya tersengal, dia merasa tidak mampu menopang tubuhnya. Anggi terjatuh lunglai.

“Anggi!!!”

*****

Di ruang kegembiraan, sebuah lampu menyorot terang ke atas panggung. Lima tubuh telanjang bulat menatap buas ke arah sesosok tubuh yang terikat di ranjang. Mereka seperti hewan buas yang baru diberikan mangsa.

“Sempit banget! Sepertinya masih perawan, hehehehe!”

“Gue yang pertama!”

“Tidak! Gue yang pertama!”

“Gue!”

“Gue!”

Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan.

******
Senin, jam 23:30. Beberapa jam setelah pesta di Ruang Biru Muda

Di ruangan luas bercat biru tua dengan nyala lampu terang benderang, lima wanita duduk mengitari meja besar yang penuh dengan hidangan makanan. Suara gelak tawa mereka bercampur dengan denting peralatan makan yang beradu.

“Asisten lo gimana, Em?”

“Aman,” jawab Emilia, “ tapi dia polos banget. Gue jadi nyesel.”

“Elo emang kejam, Em! ” Rimelda menyahut. “Gue udah ngasi tau dia buat ngejauhin Elo, tapi dia gak mau. Hihihi.”

“Gue enggak kejam. Kalian aja yang bikin permainan kurang ajar.”

Rimelda tertawa kemudian bangkit untuk mengambil sesuatu di kulkas.

“Kalian pasti suka ini.” Rimelda mengacungkan botol berisi minum berwarna merah. “ Magic mushroom!”

It’s very old fashioned! Minuman kuno dan ketinggalan jaman!” Monica mencibir.

“Kuno tapi gue masih suka. Sekarang susah nyarinya. Hargai lah!”

Rimelda kemudian meletakkan botol itu di sebuah meja kaca tebal berbentuk persegi tidak jauh dari meja makan. Di atasnya terdapat beberapa jenis kue dan camilan terbungkus plastik. Empat buah sofa panjang berukuran sama dan berwarna biru mengelilingi meja setinggi setengah meter itu.

Rimelda duduk di salah satu sofa kemudian berucap, “ Gue suka minuman ini karena efeknya enggak buruk. Kita bisa tertawa sepanjang malam, seperti dulu!” Rimelda kemudian menuangkan minuman itu ke dalam sebuah gelas kecil. “ Elo mau minum ini kan, Monic?”

“Yes!! Let’s ejoy the night!”

******
Selasa, 00:01

Anggi terbaring telentang di atas springbed dengan mata terpejam. Sebuah bantal menyangga kepalanya. Deru nafasnya halus. Dia masih belum sadarkan diri. Telinga Anggi samar-samar mendengar suara, tetapi kelopak matanya enggan dibuka meskipun dia sudah mencoba beberapa kali.

Anggi merasakan jari lembut menyentuh pipi kemudian menyusuri bibirnya. Begitu lembut sampai Anggi terbuai. Tenaga yang hendak digunakanya untuk membuka mata mendadak hilang, dihisap oleh sensasi nikmat dan lembut yang menjalar di bibirnya.

“Bibir?!“

Anggi merasa ada seseorang yang menempelkan bibir di atas bibirnya. Bibir lembut itu kemudian mengulum bibir Anggi. Anggi pasrah dan tidak bisa melawan. Bahkan ketika bibir itu semakin mendesak, Anggi malah mengikuti alurnya. Dengan mata masih terpejam, Anggi membuka bibir, menyambut lidah yang lembut dan hangat memasuki rongga mulutnya. Lidah mereka bergulat saling membelit. Anggi menggeliat dan mendesah. Dia tidak berusaha membuka mata. Dia memilih menikmati dengan mata terpejam.

Indera perasa Anggi jauh lebih peka. Nafas Anggi menderu berat ketika merasakan jemari lembut membelai lengan, kemudian bergerak menyentuh payudaranya. Jemari itu terasa begitu halus di kulit Anggi, darah Anggi berdesir bergejolak. Payudaranya mengeras.

“Shhhhssss ! Hmmmmpppp!!”

Anggi mendesah tertahan saat merasakan jemari tangan memainkan payudaranya. Meremas lembut gundukan, kemudian membelai putingnya. Ciuman di bibirnya semakin panas dan bergairah, Anggi sampai menggerakan kepala mengimbangi.

Tangan Anggi perlahan terangkat. Dia ingin menyentuh sesuatu untuk pelampiasan rasa nikmat. Tetapi dia tidak bisa menyentuh apapun, tanganya berhenti sejenak di udara, kemudian turun dengan kencang menghantam kasur.

Bluuug

Kasur begoyang, begitu juga tubuh Anggi. Dia tersentak kaget. Sensasi nikmat yang tadi dirasakan Anggi mendadak lenyap, menguap dengan cepat seiring kesadaranya yang mulai pulih.

“Kamu baik-baik saja, Nggi?”

Mata Anggi langsung membuka mendengar suara lembut Emilia. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuh Anggi sehingga dia tidak mampu menjawab. Ditatapnya wajah Emilia dan Diandra dengan tatapan kosong. Kesadaran Anggi semakin pulih. Dia menyadari dirinya sudah berada di sebuah ruangan bercat hijau. Mendadak dia teringat kejadian di Ruang Kegembiraan, wajahnya langsung pucat. Dia melihat ke sekujur tubuhnya dengan panik.

“Apa semua yang terjadi di panggung hanya mimpi?” Anggi membatin.

“Game belum selesai, kamu udah gedubrak duluan!” Diandra berucap sambil tertawa. “Em tadi nangis meraung-raung! Dikiranya dikau udah koid. Mati! Haahaha!”

Ucapan Diandra membuat Anggi menyadari kalau yang terjadi di panggung bukan mimpi. Dia kemudian teringat kejadian sebelum dia pingsan. Teringat hukuman yang akan diterimanya. Wajahnya mendadak pucat.

“Saya kalah. Saya takut!” Suara Anggi bergetar.” Bagaimana dengan hukumanya?” Anggi merasa khawatir.

“Mana mungkin menghukum orang yang pingsan. Kami tunggu kamu sadar dulu.” Ucapan Diandra membuat Anggi semakin panik.

“Hihihi, bukan kamu yang kalah tapi lelaki pilihan Diandra.” Emilia menjawab sambil tertawa, “yang croot nomer empat, bukan nomer lima. Mungkin penisnya bengkok, makanya nyemprot ke muka Diandra.”

Diandra tertawa kemudian ikut menjelaskan. Anggi akhirnya tahu kalau sperma yang menyemprot ke wajah Diandra adalah sperma cowok nomer empat, jagoan Anggi.

“Hukumannya gimana? Tidak serius?” Anggi merasa heran kenapa Diandra masih di sini dan tidak dipersembahkan kepada lima lelaki di tempat tidur. Selain itu Anggi merasa bersyukur karena tidak sampai harus menggoda lelaki itu dengan hal yang memalukan baginya. Meskipun dia sudah sempat panik dan membuka bajunya.

“Tetep jalan. Yang nerima hukuman kan yang kalah, yang tidak croot. Gue kan hanya salah pilih jagoan,” ucap Diandra tenang. “Kita kan hanya pemilih. Mereka yang bertanding dan nerima resiko.”

Anggi lega dan baru mengerti sekarang. Ternyata yang dianggap loser atau pecundang bukanlah wanita yang memilih, tetapi pria yang tidak bisa ‘croot’. “Pantes aja mereka tenang sekali!” Anggi membatin. Dia mulai sadar kesalahannya mengartikan kata, tetapi masih ada suatu pertanyaan yang terbesit di benaknya.

“Trus lelaki yang kalah itu diapain?”

“Tidak croot berarti homo. Dia pasti lagi gembira ama teman sejenisnya, “ sahut Diandra. “Seperti yang gue bilang di panggung, permainan ini udah diatur si Monic dan Davi. Yang kalah udah ketahuan sebelum permainan dimulai.”

“Homo tidak akan ngaceng liat wanita kayak kita ini, dia hanya tertarik sesama jenis.”

Diandra kembali menjelaskan. Kelima lelaki yang berada di tempat tidur itu adalah gay dan salah satu dari kelima lelaki yang ikut lomba ‘croot’ juga gay. Monica si event organizer sengaja merancang hal itu. Dia sudah memprediksi lelaki yang gay tidak akan bisa “croot” ketika disuguhi tubuh wanita cantik.

Anggi bergidik mual membayangkan hal itu. Dia tidak percaya ada lelaki yang menyukai sesama jenis. Apalagi lelaki itu terlihat keren.

“Game itu memuakan. Terlalu banyak kelemahanya.” Diandra protes. “ Em beruntung elo mau ngewakilin!”

“Gue sengaja minta duel karena gue males ngegodain mereka. Gue pikir, elo bakal nari telanjang di panggung. Eh ternyata, elo malah panik,” Diandra menjelaskan.” Kalo duel kan cuma butuh satu orang aja untuk godain. Toh, kedua laki itu duduk tidak disekat dan bisa liat kita langsung. Rencana gue, elo yang telanjang, gue yang diem. Hasilnya kan bakal sama, yang gay yang tidak croot. Hihihi!”

“Monic ama Davi bodoh. Mereka setuju-setuju aja pas elo minta duel. Hihihi.”

“Otak mereka mah selalu eror kalo lagi kepepet.”

Diandra dan Emilia tertawa lepas. Anggi juga merasa begitu lega. Janji Emilia kepadanya terbukti, dia aman dan selamat.

“Oh ya! Tadi kamu tidur sambil senyum-senyum. Mimpi indah ya, Nggi?”

Wajah Anggi mendadak bersemu merah mengingat ciuman dan belaian yang dirasakanya tadi. “Huft, Mimpi yang tampak nyata.” Dia merasa malu. Malu karena mimpi itu dan malu karena pingsan ketika permainan.

“Kamu makan dulu! Kamu belum makan dari sore.” Emilia menunjuk makanan di atas meja kecil di pojok ruangan. “Saya ma temen-temen di kamar sebelah. Ruangan biru tua. Kamu ke sana aja kalau mau gabung.”

“Daaahhh Anggi,” Diandra melambaikan tangan kemudian meninggalkan Anggi sendirian.

Pikiran Anggi masih kalut ketika Diandra dan Emilia meninggalkanya. Dia menghempaskan diri ke tempat tidur dengan kuat. Dia ragu apakah dia berada di alam nyata atau mimpi. Dia merasa sangat aneh dan asing dengan momen yang dilaluinya. Semua rasanya seperti mimpi di malam yang panjang. Rasa benci kepada A-Lima yang sempat mengusik pikiranya sudah hilang. Dia menyesal karena sempat menganggap Emilia penipu.

Anggi mengusap wajah. Dia mencoba mengakrabkan diri dengan suasana di sekitarnya. Ditatapnya ruangan luas tempatnya sekarang tidur. Tembok warna hijau. Langit-langit ruangan yang tinggi, di tengahnya ada tiga buah lampu besar menggantung, berbentuk bawang putih dan mengeluarkan cahaya berwarna kekuningan.

“Aku harus makan!”

>><<
Selasa, 01:30

Rimelda, Davina, dan Monica sudah kehilangan kontrol karena magic mushroom. Mereka beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Saling lempar camilan dan mengeluarkan kata-kata jorok dan aneh. Posisi tubuh mereka di atas sofa sudah tidak beraturan. Ada yang tidur dengan kaki naik ke sandaran sofa, ada yang telentang dengan menaruh bantal di bawah pinggang. Sementara itu, Diandra dan Emilia masih tetap terjaga kesadaranya meskipun rasa kantuk menghinggapi mereka. Mereka sama sekali tidak ikut mengkonsumi minuman tersebut.

“Davi, gue udah sange nih! Cepetan suruh mreka kemari!”

“Sabar! Sejam lagilah. Hahaha.

“Lama amat! Gue keburu jadi oma-oma seksi nih! Hihihi”

BRAAAAAAAAAKKK

“Bangsaaaattt!!!”


Terdengar suara keras berbarengan dengan pintu terhempas kuat dan menghantam dinding. Seorang lelaki yang hanya mengenkan celana pendek buru-buru memasuki ruangan tempat A-lima berpesta. Di tubuhnya terlihat beberapa memar dan bercak kemerahan. Dia berjalan teseok-seok menahan sakit. Alisnya tertekuk, pandangan matanya tajam dan liar.

“Ini kejutan elo?”

“Bukan.”

“Who is he? “

“Ntahlah! Bukan gue yang ngundang.” Davina cuek. “Biarin aja!”

Lelaki penuh memar itu berjalan dengan nafas memburu kemudian berhenti di dekat meja makan tidak jauh dari tempat A-Lima berkumpul. Bentuk tubuh lelaki itu cukup bagus. Perutnya rata meskipun tidak terlalu berotot. Hanya saja pandangan matanya aneh dan penuh amarah.

“Kalian kan yang bikin permainan terkutuk itu. Kalian pikir itu lucu?” Lelaki itu berteriak.

“Itu cuma game. Elo siapa sih? Kok baper amat?”

“Kalian kurang ajar! Berani-beraninya kalian ingkar janji!!” Lelaki itu berteriak sambil mengacungkan pisau yang didapatkanya dari atas meja. “Gue akan balas semua ini!”

Terdengar gelak tawa dari sofa. Lelaki itu semakin marah.

“Eh! Kayaknya dia si nomer lima,” ujar Davina, “gue inget wajahnya.”

“Hah! Si homo? Ngapain dia kemari?” Rimelda menatap lelaki yang beramput acak-acakan itu.

“Woy nomer lima! Elo pengen nyoba cewe?! Bosen ama laki, ya? Hahahaha.” Davina beteriak.

“DIAAAMMM!!! GUE BUKAN HOMO!!!”

Teriakan lelaki itu menggelegar bagai guruh. Nafasnya menderu. Dadanya naik turun.

Kembali terdengar gelak tawa A-Lima. Lelaki itu menggeram dengan mata mendelik. Bibirnya bergetar menahan amarah. Dengan cepat tangannya bergerak ke atas meja, menyambar mangkuk berisi makanan dan melemparkan ke arah sofa.

Wuuuuuttttt

Mangkok melayang di samping kepala Rimelda, kemudian menghantam sandaran sofa dan terpental ke lantai. Kuah yang ada di dalamnya berhamburan dan terciprat ke wajah Emilia dan Diandra. Wanita yang sedari tadi diam, sekarang berubah menatap geram ke arah si nomor lima.

Lagi dan lagi terdengar gelak tawa riuh. Lelaki itu menjadi bingung kemudian berteriak parau.

” Bangsaaaaattt!! Kalian akan liat apa yang bisa gue lakuin!! ” Dia mengacungkan pisau ke arah para wanita. “Gue entot kalian semua baru tau rasa!!”

“Haaiiii...! Tunggu dulu.” Rimelda berdiri seolah menghalangi si lelaki. “ Inikan yang elo mau?” Suara lembut Rimelda dikombinasi dengan tatapan menggoda ke arah si nomor lima. Dengan liukan tubuh indah disertai tawa renyah, dia menurunkan dress yang dikenakanya sampai ke pinggang. Bra warna hitam yang menutup payudaranya di lempar ke atas meja. Payudaranya yang berukuran jumbo terekspos.

“ Nyusu dulu yuk! Biar enggak salah paham. Hihihihi. ” Rimelda mengguncangkan tubuh. Kedua payudaranya yang besar berbenturan lembut. Pemandangan itu tidak lepas dari pandangan si lelaki. Lelaki itu merasa jengah. Wajahnya mendadak panas. Nafasnya memburu melihat bentuk payudara Rimelda yang menggiurkan, tetapi lelaki itu tetap tidak bergerak, dia terpaku di dekat meja. Genggaman tangannya pada pisau mulai kendor.

“Hahahaha. Maybe elo kaga bisa bikin dia on, Mel! You already too old! Udah jadi nenek-nenek. Hihi, “ Jari lentik Monica bergerak meletakan rokok di atas asbak kaca. Perempuan dengan bentuk tubuh indah itu kemudian berdiri mengangkang di atas sofa. Dengan terburu-buru dia melepas dress yang dipakai, kemudian melempar ke arah si lelaki. Bra dan celana dalam yang melekat di tubuhnya tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuh Monica yang mengagumkan. Dia menggoyangkan pinggul menari erotis di atas sofa.

“ C’mon, baby!! You can touch me everywhere.” Monica menjulurkan lidah, melenggak-lenggok semakin liar, kemudian tertawa.

Nafas lelaki itu semakin berat. Matanya melotot menyaksikan tubuh Monica. Bentuk pinggul yang indah, pusar yang menggoda, paha yang kencang dan semakin terlihat mulus ketika diterpa cahaya lampu.

“Hahahahahahahahah! Goblog goblog goblog. Kalian semua oon! ” Davina tertawa keras. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arahnya. “Udah tau gay malah kalian ajak ngeseks. Dia kagak bakal ngaceng! ”

Ucapan Davina membuat Rimelda dan Monica menghentikan gerakan. Kedua wanita itu menatap Davina, kemudian tertawa. “Anjir! Gue baru ngeh! Hahahaha.” Efek minuman yang mereka konsumsi cukup berat. Otak mereka menjadi kacau.

Lelaki itu melotot marah ke arah Davina. Mereka beradu pandang. Lelaki itu kalah, dia menunduk. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kepala melirik Rimelda dan Monica. Lelaki itu menyadari tatapan mata Monica mengarah ke celananya. Dia langsung mengumpat dalam hati ketika tahu penisnya tidak bereaksi. Dia merasa seperti pecundang ketika mendapat pandangan mata mencemoh dan senyum sinis dari kedua gadis itu.

“Elo pikir, gue tertarik ama perempuan hina dan murahan macam kalian. Kalian hanya sampah!”

Teriakan parau penuh amarah keluar dari mulut lelaki itu. Itu adalah pembelaan atas harga dirinya yang remuk. Pembelaan kepada penisnya yang tidak bisa berdiri melihat wanita seksi. Tubuhnya gemetar. Dia menunduk dengan bola mata berputar linglung. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada dirinya.

“Udahlah numbe fifth. Kalo jadi gay yang gentle. Gak usah sok jadi pejantan tangguh. Tempatmu bukan di sini. Hihihi!”

“NO ngaceng NO party!”

Cacian dan hinaan membuat lelaki itu geram. Matanya berkaca-kaca. Dia teringat peristiwa yang terjadi kepadanya beberapa jam lalu. Peristiwa yang menguras emosinya. Peristiwa yang memberinya memori buruk sepanjang hidupnya.

Dia melempar pisau ke atas meja. Giginya beradu keras sampai menimbulkan suara ‘kriieet-kriieet’. Matanya berputar liar kebingungan.

“BANGSAAAT!!”

“Kalian semua bangsaaat!!”

“SETAAAAN!!

“Mampus kalian semua!!”

Bug Bug Bug

Tangan lelaki itu mengepal keras. Menghantam meja kayu beberapa kali sehingga peralatan makan yang ada di atas meja bergetar hebat dan mengeluarkan suara gemericing.

BLAAAGGG

Tendangan keras menghujam kaki meja. Nafas lelaki itu terengah-engah. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mengatur nafas kemudian memegang kepala, menjambak rambut dan mengurut keningnya. Dia stress.

Bibirnya berdecak gelisah. Dia tertunduk dengan sorot mata tajam, kemudian memejamkan mata kuat sambil menarik nafas dalam, mencoba mengusir rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Tetapi tiba-tiba bayangan sebuah peristiwa kembali berkelebat di kepalanya. Rahang lelaki itu kembali mengeras menahan emosi.

A-Lima sama sekali tidak peduli kepadanya. Mereka sama sekali tidak menunjukan rasa takut. Lelaki itu mendengus pedih. Dia merasa diabaikan dan tidak dianggap sama sekali. Dia mulai merasakan hal yang aneh mengenai kelima wanita itu. Mereka memiliki ketenangan luar biasa. Amarahnya yang meluap tidak bisa menggubris ketenangan mereka.

“Gue bunuh mereka baru tau rasa!!”

Lelaki bergegas maju terseok-seok. Dia menubruk ke arah Monica, mencekik leher wanita itu. Monica sama sekali tidak melawan dan malah tertawa. Tidak ada pancaran ketakutan di matanya. Lelaki itu mendadak gugup. Menjadi ragu akan kemampuannya untuk membunuh. Dia tidak memiliki mental untuk melakukan hal itu. Dengan frustasi dia melepas cekikan, kemudian menelikung tangan Monica ke belakang dan mengikat dengan dress milik Monica. Kakinya juga diikat dengan kain serbet.

“Ngapain sih elo?” Rimelda heran dengan kelakuan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan dia juga mengikat tangan Rimelda kebelakang.
Beberapa menit kemudian, Davina, Diandra, dan Emilia juga diikat dengan kain serbet yang ada di meja. Mereka sama sekali tidak memberikan perlawanan, sorot mata mereka juga begitu tenang. Tanpa pancaran rasa takut.

“Ini rencana siapa sih? Lumayan keren, kayak ada drama-dramanya gitu! Hihihi.” Rimelda kembali menceracau.

“Enggak! Ini konyol banget! “ Diandra menggerutu setelah didorong paksa merapat ke tembok.

“Elo turutin aja kemauan si gay ini.” Rimelda tertawa lepas. “Gue pengen liat kejutan apa yang bakal dia buat.”

A-Lima duduk sejajar, bersandar di tembok dengan tangan dan kaki terikat. Sementara itu, si lelaki duduk di sofa, jarinya mengetuk meja kaca beberapa kali. Raut wajahnya keruh menandakan kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan amarah.

Setelah hampir sepuluh menit tidak terjadi apa-apa. Rimelda memandang keempat temannya, kemudian dia berteriak.

“Hi nomor lima. Elo mau ngapai sih? Mendingan elo jilatin vegi gue. Kalau gue puas, gue bayar elo lima puluh juta.”

Lelaki itu melotot marah ke arah Rimelda.

“Nama gue Rio!!! Stop panggil gue nomor lima!!!”

Teriakan lelaki itu menggelegar. Raut mukanya begitu jelek. Kelima tawanan saling pandang kemudian nyengir keheranan.

Nice to meet you, Rio, salam kenal! Hihihi. ” Terdengar suara merdu Monica, kemudian disambung gelak tawa.

“Ngapain elo kaga balik ke temen-temen elo?! Elo kan kaga bisa ngaceng ngeliat cewe!”

“Diaaam!! Dasar mulut sampah! Kalian pantas makan sampah!”

Rio muak mendengar ocehan mereka. Dia berdiri dan melangkah cepat ke arah para tawananya, kemudian berhenti di hadapan Rimelda dan Monica. Dia memelorokan celana, mengeluarkan penis.

Seeerrrr

Rio mengencingi wajah Rimelda dan Monica bergantian. Rio tertawa ganjil. Dia seperti orang gila.

“Kenapa elo kagak kencing dalam vegi gue. Kayaknya enak! Hihihi”

“Emang bisa?! Elo kagak liat tadi tititnya kagak ngaceng. Don’t forget. He is a gay!”

Wajah Rio menjadi semakin terbakar. Rio ingin menendang mereka tetapi dia tidak melakukannya. Rio tahu, mereka akan menikmati siksaan darinya. Mereka tidak akan peduli dan terus mengoloknya. Ancaman Rio tidak ada artinya bagi mereka. Mereka begitu tenang tanpa rasa takut.

“Apa mereka tidak waras? Apa seperti ini mental orang kaya?”

Rio melangkah meninggalkan mereka dan menghempaskan tubuh ke sofa. Dia menengadah menatap langit-langit. Rio memejamkan mata, terbayang dengan tujuanya ke rumah itu. Tawaran uang yang cukup menggiurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ada hal yang disembunyikan Rio. Dia sebenarnya duduk gelisah karena rasa sakit di anusnya. Dia melirik hidangan di atas meja yang tersisa cukup banyak dan tidak dimakan. Hal itu membuat Rio tersenyum kecut. Bagi Rio, makanan sebanyak itu sangat penting, cukup baginya untuk bekal seminggu. Namun bagi orang kaya ini, semua itu hanya sesuatu yang gampang dicari dan tidak begitu berguna.

“Hai..! Elo kasian banget! Disiksa, dibunuh, kemudian di sia-siakan!”

Rio berbisik pedih menatap ayam goreng di genggaman tangannya. Bisikan itu lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri. Sekarang dia merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna setelah disiksa.

Dengan perasaan kacau, dia menggigit ayam goreng. Terasa agak pahit di bibirnya yang kering. Dia kemudian meneguk minuman. Mengisi perutnya yang kosong semenjak beberapa jam yang lalu. Semakin lama dia semakin rakus memasukan makanan ke mulutnya. Dia ingin menelan semua makanan yang berhasil digigit. Kemudian menghancurkan bersama kepedihan hatinya.

Setelah makan, energi kembali memenuhi tubuhnya. Rio bersandar di sofa. Kepalanya menengadah menatap lampu yang menggantung, kemudian matanya menatap tembok yang berisi lukisan indah. Pikirannya dan tubuhnya lelah, dia memutuskan untuk memejamkan mata beberapa saat.
Ketenangan Rio terusik oleh suara wanita tawanan. Emosi Rio kembali tersulut.

“Gue harus robek mulut wanita itu satu persatu!!! Dasar wanita jalang!!”
......

 
Terakhir diubah:
*****
Anggi menyemprotkan parfum beraroma lembut ke lehernya. Dia merasa lebih segar setelah mandi. Dengan riang sambil bernyanyi kecil, dia melangkahkan kaki menuju kamar Biru Tua, mencari Emilia dan teman-temannya.

Tok tok tok

Tok tok tok

Tok tok tok


Anggi mengetok pintu ruangan tersebut beberapa kali tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Dia menggenggam gagang pintu mencoba membuka. Pintu tidak terkunci, Anggi kemudian masuk.

Ckleekk Krrriiieet

“Astaga! “ Anggi menghentikan langkah tiba-tiba. Telapak tangan kanan Anggi refleks mendekap dada kiri. Dia merasa jantung hampir melompat dari tubuhnya.

“Aaa.. apa yang terjadi?” Dia melihat sepasang mata penuh pancaran amarah menatap tajam ke arahnya. Seperti pancaran mata hewan buas hendak mengoyak mangsa. Dia adalah Rio. Tangan lelaki itu menggenggam pisau.

Anggi panik melihat meja makan yang berantakan. Dia bertambah panik setelah tahu A-Lima sudah terikat, bersandar di tembok tidak jauh dari sofa. Apalagi tubuh Rimelda dan Monica sudah setengah telanjang, Anggi menjadi semakin khawatir. Anggi menatap kelima perempuan itu. Anggi menyadari kalau A-Lima terlihat tenang meskipun dengan tubuh terikat. Sama seperti ketika bermain di ruang Kegembiraan.

“Apa ini game lain?” Anggi bertanya-tanya dalam hati.

Belum sempat Anggi berpikir lebih jauh. Tiba-tiba saja Rio berlari ke arah Anggi dan menubruk. Anggi tidak sempat menghindar. Dia hanya meronta ketika tubuhnya didekap kemudian di hempaskan ke atas sofa.

“Apa-apaan ini, Pak?!”

Rio menatap tajam nan liar sambil menggigit pisau. Kemudian menelikung kedua tangan Anggi ke belakang dan mengikatnya menjadi satu menggunakan kain serbet. Rio duduk di sofa di hadapan Anggi. Dia menatap lekat wajah Anggi, Anggi tidak berani beradu pandang, dia tertunduk ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat. Dia kembali merasa bermimpi. Meloncat dari mimpi buruk ke mimpi buruk lainnya.

Rio mengenali Anggi. Dia adalah wanita yang dikaguminya ketika berada di panggung. Dia menatap tubuh indah Anggi. Rambut hitam perempuan itu menutup wajahnya yang tertunduk. Rio mengetahui kalau Anggi ketakutan. Itu adalah hal yang diharapkannya. Dia bisa menyiksa perempuan itu.

Rio merasakan tubuh Anggi menggigil hebat. Lengan Rio memeluk bahu Anggi, menekan pipi Anggi dan memaksa wajahnya berpaling menghadap wajah Rio. Rio menggerakan kepala dengan cepat hendak mencium bibir Anggi.

“Pakk!! Lepaskan saya!!”

Anggi berontak menghindar tetapi tangan Rio menahan tubuhnya dengan sangat kuat. Anggi memejamkan mata pedih ketika merasakan lidah basah Rio memaksa menyusuri kelembutan pipi dan bibirnya. Dia mendengar deru nafas Rio yang menggebu penuh nafsu.

Anggi tidak mampu melawan ketika Rio mendesak Anggi ke pojok sofa. Anggi semakin ketakutan dan berusaha melepaskan tangan dari ikatan, tetapi usahanya sia-sia. Dia memejamkan mata meringis.

Tangan Rio mulai meremas lengan Anggi dari permukaan kemejanya. Kepala lelaki itu bergerak ke leher jenjang Anggi. Memberinya ciuman penuh nafsu.

“Mas!! Tolong lepasin sayaa!!” Anggi berteriak kemudian menangis histeris. Dia meronta-ronta, berusaha memberontak. Usahanya sia-sia. Rio malah menindihnya di sofa. Anggi merasakan tubuh berat Rio di atas tubuhnya.

“Bu Em!! Tolong saya Bu!! Hikz hikz hikz.” Bahu Anggi berguncang karena tangis.

Rio tidak peduli dan semakin liar. Bibir lelaki itu terbenam di leher Anggi. Menjilat, menggigit dan menyedot dengan kasar. Aroma parfum Anggi yang lembut membuat penisnya berkedut. Rio bersemangat. Tanganya liar menyusuri tengkuk perempuan itu. Rio terkekeh senang melihat ketakutan Anggi.

Mereka bergulat di atas sofa. Rio duduk di perut Anggi. Jemari tanganya perlahan melepas kancing kemeja perempuan yang masih berusah memberontak itu. Rambut Anggi acak-acakan karena kepalanya yang bergerak kesana-kemari.

“Lepasaiiin!!”

Anggi berteriak memaki, suaranya melengking pedih. Dia menyepakan kaki dan menggeliat, berharap dapat menjauhkan Rio dari tubuhnya, tetapi semua itu sia-sia belaka. Rio sudah berhasil melepaskan seluruh kancing bajunya. Menyibakan kemejanya ke samping sehingga payudara Anggi menyembul dalam balutan bra.

“Hahahaha hahahaha! Toket elo mantep banget”

Rio tertawa senang. Matanya melotot melihat bongkahan daging yang menyembul dari bra Anggi. Satu tangan Rio menekan leher depan Anggi sehingga gadis itu tidak bisa berontak dan satu tangan lagi lagi meremas payudara Anggi. Anggi berteriak marah dan memaki-maki histeris. Dia tidak rela payudaranya diremas dengan paksa dan gratis. Rio senang dan yang membuatnya semakin senang adalah penisnya mau menegang meskipun belum ke bentuk sempurna.

Rio semakin berani dan percaya diri. Dia menarik bra Anggi dengan paksa sehingga melorot. Anggi memaki merasakan sakit ketika bra itu menggesek kulitnya. Rio tidak peduli. Dia lebih fokus kepada payudara Anggi yang menyembul indah. Payudara Anggi mulus, kencang dan cukup besar. Putingnya kecil dan kemerahan. Mata Rio terbelalak menatapnya. Lelaki itu mencoba mengatur nafasnya yang tersengal karena gairah berkobar membara.

Rio menurunkan kepala menuju payudara Anggi. Bibirnya kemudian menyusuri permukaan daging lembut itu, memberi kecupan dan jilatan secara intens. Anggi memberontak. Hal itu malah membuat Rio semakin bernafsu. Kedua tangannya menahan dan meremas gumpalan daging payudara Anggi. Lidahnya terjulur, mengecup puting kemerahan milik gadis itu. Menyedot cukup lama.

“Maasss!! Tolong hentikan Mas!! Stooopp!!”

Anggi menangis semakin keras ketika merasakan lidah basah Rio menyentuh payudaranya. Anggi merasa begitu malu dan terhina. Bra Anggi sudah terjatuh dari sofa. Tangan Rio meremas payudaranya semakin kasar. Lelaki itu mulai mengarahkan jilatan ke pusar Anggi. Anggi menyepakan kaki dan menghentakan tubuh. Dia hendak melawan tetapi itu malah membuat cengkeraman tangan Rio berpindah ke pinggang. Menahan tubuh Anggi dengan kuat. Kata-kata memohon Anggi berubah menjadi makian.

“Kurang ajar. Cuuuuiiiihh!” Anggi meludahi Rio. Dia sangat marah dan frustasi. Rio terkekeh dan semakin bersemangat menggagahi Anggi. Tiba-tiba bayangan peristiwa buruk berkelebat di kepalanya.
....​
Pemaksaan Rio terhadap Anggi tidak lepas dari pengamatan A-Lima. Posisi mereka tidak begitu jauh, hanya saja sedikit terhalang sandaran sofa. Meskipun mereka tidak bisa melihat dengan detail tetapi mereka tahu yang terjadi melalui gerakan teriakan dan tangisan Anggi.

“Issshhh, berisik amat!! Si gay itu ngapain sih? Kagak bisa ngaceng tapi malah perkosa anak orang!”

“Mencoba mencari surga yang sebenarnya. Hihihi!” terdengar tawa Rimelda. Beberapa wanita juga ikut tertawa. Hening sejenak sebelum terdengar Monica nyeletuk.

“Sebenernya yang gay itu nomer empat. Bukan nomer lima.”

Pernyataan Monica yang terkesan serius membuat Emilia menatap tajam.

“Seinget gue juga gitu,” Davina menambahkan, “ hanya saja gue ngerasa heran kenapa yang croot nomer empat. Bukan si nomer lima.”

“I think, ada yang tidak beres!” Monica berbicara serius. Otaknya sudah tidak sekacau tadi. Dia cukup yakin, lelaki yang homo sebenarnya adalah si nomor 4. Dia heran kenapa lelaki itu bisa croot. Seorang gay tidak akan bisa ngaceng liat wanita. Prinsip itu masih melekat di otak Monica yang agak bodoh. Hal itulah yang mendasarinya berani membuat permainan ini. Monica hanya ingin bergembira. Pemerkosaan terhadap Anggi bukan bagian dari rencananya.

“Maksudmu si nomor lima bukan gay?” Diandra mengerutkan kening sambil mengggerakan bibir mungilnya. “Gue jadi mikir, jangan-jangan si nomer empat croot bukan karena liat wanita, tapi dia croot karena liat penis si nomor lima. Si nomer lima kan ngeluarin penis di sampingnya.

“Jadi hasilnya berubah karena duel? Seandainya tidak duel. Si nomor empat belum tentu bisa croot melihat Anggi hampir telanjang. Iya kan?” Emilai berteriak panik. “Karena kalian tidak menari dan telanjang, Si nomer lima tidak croot.”

Mereka berlima terdiam. Logika mereka mulai bisa menerima hal itu. Ada yang tidak beres dengan rencana yang di susun Monica dan Davina. Sesuatu yang diluar dugaan mereka.

“Jadi?! Si nomer lima emang beneran marah dan pengen bunuh kita ya?” Rimelda menyahut. “Gue pikir ini cuma setitingan dan salah satu pelakunya adalah kalian.”

“Dia pasti disiksa kelima gay itu!!” Wajah Emilia tegang. “ Sekarang, Anggi dalam bahaya!! Kita harus lakuin sesuatu!”

“Anggi? Peduli amat ama dia, entar lagi paling dia merintih keenakan. Hihihi!! “ Rimelda terkikik senang. Emilia menggerutu jengkel.

“Udah, elo tenang aja, Em. Gue malah pengen liat apa yang bakal terjadi. Habis ini, elo cari aja asisten baru!”

Emilia tidak peduli ucapan Rimelda. Dia mendengus dan berteriak.

“Rioooo!!! Tolong hentikan, kita selesaikan ini baik-baik!”

Rio sama sekali tidak merespon. Tangis Anggi semakin menjadi. Ucapan Emilia membuat Anggi mempunyai semangat untuk memberontak. Anggi mengamuk dan berusaha mengigit Rio.

“Rio gue tau yang terjadi ama elo. Gue minta maaf. Tolong lepasin Anggi.” Emilia memohon.

“Riiiooo!”

“Riiiooo!!”

Ucapan Emilia yang berulang-ulang membuat Rio menghentikan kegiatanya di atas tubuh Anggi. Dia beranjak ke arah A-Lima dan tersenyum sinis kepada Emilia.

“Sudah terlambat!” Lelaki itu mendengus pedih. “ Yang bakal terjadi ama dia. Tidak ada apa-apanya dibandingin yang gue alamin!!”

“Itu salah elo yang gak bisa croot on time! ” Terdengar ucapan sinis Davina. “ Elo pengecut dan emang pantes ama kelima lelaki itu!! Itu sudah sesuai ama peraturan di game.”

“Elo hanya bisa maksa!! Elo memang laki tapi kaga gentle! Cuiih!! Gue muak ama laki macam elo!”

Rio marah, kakinya terangkat hendak menedang Davina, hanya saja hal itu diurungkannya.

“Gue yakin. Elo belon ngaceng ampe sekarang!! Iya kan, Rio? ” Ucapan itu keluar dari bibir Diandra.

Rio terhenyak kaget. Dia merasa seperti disambar geledek mendengar ucapan Diandra. Ucapan itu memukul telak nuraninya, tetapi dia mengakui kebenarnya. Ketika dia menindih dan menggagahi tubuh Anggi, penisnya hanya beberapa kali berkedut. Mengeras sebentar kemudian lembek lagi. Tidak mau berdiri.

Rio melotot marah kepada Diandra. Dia kembali merasa perih di anusnya ketika pertama kali dimasuki kemaluan pria beberapa jam yang lalu. Dia ingat bagaimana sakitnya perut berkontaksi ketika benda keras milik kelima lelaki itu bergiliran masuk ke lubang anusnya yang sempit. Dia ingat dengan jelas baimana jijiknya dia ketika dipaksa mengulum penis kelima lelaki itu. Dia masih merasakan bekas liur yang menjijikan ketika kelima lelaki itu mengigit dan menjilat sekujur tubuhnya. Tawa mereka ketika mengantri menjilat penisnya masih terputar di kepala Rio.

“Rio! Tolong hentikan!!” Emilia berteriak, “Kalau Elo mau! Gue bisa gantiin Anggi. Gue yang akan bercinta ama, Elo.”

Tawaran yang sangat mengiurkan. Lelaki normal pasti mau melakukan itu. Hanya saja, masalah yang di hadapi Rio berbeda. Penisnya tidak bisa berdiri. Kalau tidak, dia pasti sudah bercinta dengan Emilia dari tadi. Bukan hanya dengan emilia, tapi dengan mereka berlima.

“Gue mau duit!” Ujar Rio.

*******
Beberapa jam lalu, Di Ruang Kegembiraan ketika perlombaan.

Rio duduk di sebuah sofa berdua dengan lelaki yang tidak di kenalnya. Di depan Rio duduk dua orang wanita yang menurut Rio ‘Super Cantik’. Dia adalah Diandra dan Anggi. Baru melihat mereka saja, penis Rio langsung berkedut.

Ctak Ctak

Rio kaget. Itu adalah suara lelaki di sampingnya. Lelaki itu membunyikan bibir sambil mengedipkan mata menggodanya. Dia dapat melihat lelaki itu mengocok penis. Saat itulah penyakit grogi Rio muncul. Dia merasa risih melihat penis lelaki lain. Meskipun begitu dia berusaha fokus kepada dua wanita di depannya.

Hanya saja, Rio heran ketika kedua wanita di depannya tidak melakukan aktifitas apapun untuk menggodanya. Hal itu terjadi selama lima belas menit. Gairah Rio naik turun. Satu hal yang membuatnya semakin risih adalah lelaki di sampingnya tidak melepaskan pandangan dari penis Rio. Lidah lelaki itu terjulur seperti menjilat sesuatu.

Gairah Rio sempat bangkit ketika melihat Anggi membuka baju. Tetapi itu sudah terlambat. Lelaki di sebelahnya memuncratkan sperma mengenai wajah Diandra.

Mulut Rio ternganga. Dia panik ketika melihat Anggi pingsan, tetapi dia lebih panik lagi setelah tahu arti kata ‘pecundang akan dipersembahkan kepada lima lelaki itu’.
..​
Senin, 22:00

Ruang kegembiraan gelap. Hanya satu lampu yang menyorot ke arah panggung yaitu ke arah tempat tidur yang dihuni oleh enam lelaki. Lima orang sudah telanjang bulat dan satu orang mengenakan pakaian olahraga.

“Gue bukan gay. Tolong lepasin gue!” Mata Rio melotot tajam. Kepalanya bergerak panik. Menatap satu persatu lima lelaki yang mengelilinginya. Berharap pengertian dari mereka.

“Tolong kalian dengerin Gue! Janji mereka kagak kaya gini. “ Nafas Rio terengah-engah. “Biarkan gue bicara ama mereka. Ini salah paham!!” Raut wajah ketakutan Rio membuat lima lelaki yang mengelilinginya tertawa. Tangan mereka bergerilia di sekujur tubuh Rio.

“Mungkin dia lagi berimajinasi diperkosa. Biar malam kita menjadi lebih bergairah. Hekhekhek.” Suara serak dari lelaki botak dengan otot kekar terdengar menakutkan di telinga Rio.

“Gue Bukan Gay!! ” Rio berteriak frustasi penuh amarah. Sorot matanya menentang mereka.

BUUUUKKKS

Sebuah pukulan menghujam perut Rio, dia merasa mual. Seorang lelaki duduk di dadanya dan menahan kepala Rio. Rio meronta frustasi. Dia dapat merasakan tangan-tangan bergerilia melepaskan pakaian yang dikenakanya sehingga dia telanjang bulat.

“LEPASIN GUE, NJIING!!!”

Rio berteriak marah dan dibalas suara gelak tawa dari kelima lelaki itu.

“Mending kita ikat aja. Heheh.”

Mereka mengikat tangan Rio dengan kain. Rio masih bisa meronta-ronta. Satu orang lelaki bertubuh gempal menahan tangannya di atas kepala. Rio menggeram marah. Dia juga merasakan dua tangan mencekal pergelangan kakinya hingga terasa perih. Kemudian kakinya dibentangkan sehingga mengangkang lebar.

Rio tidak berdaya ketika merasakan lengan berbulu menelusuri kaki dan menjalar ke pahanya. Dia melotot tidak percaya. Suaranya tercekat seolah ada benda besar tersangkut di tenggorokannya. Dia diperkosa oleh lelaki. Suatu yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi dalam hidupnya.

Belain jemari tangan juga menyurusi dada dan bahkan sekujur tubuhnya. Rio semakin jijik ketika merasakan sesuatu yang basah menyentuh putingnya. Itu adalah lidah. Para gay itu mulai menyerangnya menggunakan lidah, mengecup tubuh Rio sehingga menyisakan warna kemerahan.

Ranjang lembut tempatnya telentang terasa berputar. Otaknya masih belum mampu menerima yang terjadi. Dia memejamkan mata kuat, berharap itu hanya mimpi. Matanya yang terpejam membuat indera yang lain peka. Dia mendengar desis dan tawa kecil dari para lelaki itu ketika mengagumi tubuh Rio.

“Bangsat!!”

Rio meronta kaget ketika merasakan seseorang meremas testis kemudian membelai penisnya yang tidak berdiri. Penis Rio kemudian dikocok. Kepala penisnya dibelai dengan pelan dan lembut.

Rio memejamkan mata jijik ketika seorang mulai mencium leher dan telinganya. Rio menghindar dan meludah. Muak! Dia benar-benar muak.

Tuk Tuk

Seorang menyentil testis Rio sambil tertawa. Rio mengaduh karena merasakan enek sampai ke hulu hatinya. Rio tidak mampu melawan ketika seorang menahan kepalanya dan mulai melumat bibirnya. Rio mengunci bibirnya dengan kuat sambil memejamkan mata. Lelaki yang memperkosa wajahnya tidak menyerah, dia memainkan lidah di seluruh wajah Rio. Rio merasakan wajahnya basah dan bau ludah. Dia semakin jijik. Mual hendak muntah.

Rio kemudian merasakan sesuatu lembut yang menyentuh ujung penisnya yang sedang di kocok. Benda itu memutar di penisnya yang belum tegang. Lelaki yang menjilat wajahnya sudah menyingkir. Terdengar gelak tawa beberapa lelaki yang menatap selangkangan Rio. Rio penasaran dan menaikan kepala melihat ke arah selangkanganya.

“Astaga!!”

Rio shock. Dia melihat seorang lelaki berperut buncit bersimpuh di depan penisnya. Penis lelaki itu sudah tegang. Ujungnya di sentuhkan dengan ujung penis Rio.

“Ayoo adik kecil. Bangun bangun bangun!”

“Ayo bangun. Jangan malu malu!”

“Hahahahahhaa.”

“Sshhhh Akkhhhhhh.” Lelaki itu semakin bersemangat menggosokan penis Rio. Aneh bin ajaib, penis Rio menjadi berkedut.

“Tidak! Tidak! Tidak!” Rio menjerit panik dalam hati. Gosokan penis lelaki itu membuat penis Rio menegang. Deia merasakan geli bersensasi. Rio malu setengah mati tetapi penisnya bereaksi lain. Penisnya semakin tegang, lelaki yang mengelilinginya bersorak kegirangan.
Lelaki keturunan tionghoa itu menggenggam penis Rio. Beberapa penis mulai ikut join berkenalan dengan penis Rio. Mengesek-gesek sambil tertawa.

“Hahahahah. Malu tapi mau, nih!”

“Lama-lama pasti ketagihan!”

Rio hanya bisa pasrah. Perlahan dia merasakan penisnya mulai dijilat. Dua orang melakukan itu, satu menjilat penisnya dan satu lagi menjilat testisnya. Suara tawa gembira mereka menusuk hati Rio, memberikan bekas luka yang sulit ditutup. Pikirannya melayang jauh.
Rio juga merasakan seseorang duduk di penisnya, memaksa penisnya masuk ke dalam lubang anus orang tersebut. Entah beberapa lama berlalu ketika Rio mulai merasakan seseorang membalikan tubuhnya sehingga Rio menjadi tidur telungkup.

Plakk Plakkk

Suara jemari tangan beradu dengan bokong Rio.

“Bokong kapten amerika nihh!! Mantap!”

“Isshhh! Gemes gue.”

Rio dapat merasakan remasan gemas dan cakaran penuh nafsu di bokongnya. Tidak berapa lama, seorang membuka belahan pantatnya. Ada sesuatu yang licin dioleskan ke permukaan anus Rio kemudian seseorang memasukan jari, menusuk anusnya, anus Rio menyempit. Mencoba menolak benda yang memaksa masuk tersebut.

“Dia benar-benar perawan! Hahahah.”

Rio menyerah pasrah ketika merasakan benda hangat menyentuh lubang pantatnya. Rio merasa lemah dan lelah. Dia ingin tertidur dan bangun ketika mereka sudah tidak ada di sampingnya. Tetapi itu tidak terjadi.

“Akkkkkhhh Bangsaaatt kalian!!!”

Rio meringis dan meronta kesakitan. Anusnya terasa begitu perih ketika penis yang besar memasukinya. Terdengar suara tawa begitu keras.
“Akhhhh! Sempit bangat. Shhhaaattt!”

Tubuh Rio bergetar hebat ketika merasakan anusnya semakin disodok dalam. Di berusaha mati-matin agar anusnya tidak terbuka tetapi dia tidak mampu menahannya.

Springbed mulai bergoyang keras. Rio merasakan kram sampai ke perutnya seiring tusukan penis lelaki itu di anusnya. Rio kehilangan kesadaran tetapi hanya sebentar. Tubuhnya kemudian dibolak balik. Ada yang menjilat sekujur tubuhnya. Ada yang membelai penisnya. Ada yang mengemut itu. Mereka juga begitu suka menggigit, bahkan puting Rio tidak lepas dari gigitan mereka.

Rio seolah berada di neraka lebih dari dua jam.

******

Selasa, 03:00

Rio menghempaskan tubuh di sofa. Dia menatap Anggi yang mulai berusaha bangkit. Tangis perempuan itu sudah tidak terdengar. Hanya bahunya saja yang sedikit berguncang. Rio mengusap kepalanya yang pening. Sekarang dia bingung bagaimana caranya melampiaskan amarah.

“Gimana kalo gue kagak bisa ngaceng selamanya?”

“Arrrrggghhhhtt!” Rio menjambak rambutnya. Tangannya mengepal memukul sofa beberapa kali sehingga mengeluarkan suara bergedebuk. Dia kemudian berdiri karena merasa gerah dan haus. Mengambil minuman di kulkas dan meneguknya.

Gluuuck gllukk

Dia meneguk langsung, tidak dalam jumlah banyak, tetapi cukup mempengaruhi otaknya. Beberapa menit kemudian, dia merasa lebih rileks. Dia sengaja tidak menggubris ajakan Emilia tentang tawaran bercinta mengantikan Anggi. Dia takut merasa super duper malu seandainya penisnya tidak bisa berdiri ketika diservis perempuan itu.

Dia kembali meneguk minuman sambil berpikir. Tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalanya. Rio tertawa tebahak-bahak. Dia bangkit dari tempat duduk dengan semangat tinggi. Menatap tajam ke arah Emilia.

“Oke! Gue kagak bakal perkosa dia.” Rio menunjuk Anggi. “Tapi sebagai gantinya. Elo harus bercinta ama dia! Kalian berdua harus bercinta dengan hot! Hahahahahahaa. ” Rio menunjuk Emilia.

“Tadi gue bercinta ama laki. Seakarang elo musti bercinta ama wanita. Biar sama-sama malu dan menderita. Hahahahahah!”

Magic mushroom yang dikonsumsi mengacaukan pikiran Rio. Rasa tertekan membuat logikanya tidak berjalan baik. Dia mulai bepikir, perempuan bercinta dengan sesama jenis sama hinanya dengan lelaki yang bercinta dengan sesama jenis.

“Elo setuju kagak? Kalau kagak. Dia bakal ngentot ama gue.” Rio memandang Emila .”Hahahahah!”

Anggi mengerutkan kening. Dia semakin shock dan malu. Dia berharap Emilia tidak mau melakukan itu. Belum tuntas kepedihanya karena dipaksa Rio, sekarang lelaki itu mengeluarkan ide yang gila lagi. Ide aneh dan sangat memalukan.

“Gue setuju!”

Jawaban Emilia membuat Anggi kaget. Rio tertawa kencang.

“Sekarang lepasin gue!”

Rio melepaskan ikatan di kaki Emilia, sementara itu ikatan di tangannya tetap dibiarkan. Tangan lelaki itu mencekal lengan Emilia, kemudian mendorong tubuh perempuan itu agar duduk di dekat Anggi. Anggi merasa risih dan sangat malu karena bagian dadanya masi terekspos.

“Saya tidak punya pilihan Nggi.” Ujar Emilia. “ Sekarang kamu yang nentuin, kamu pilih dia ato saya?”

Anggi tidak menjawab. Dia malah menangis terisak. Dia mengucapkan kata maaf berkali-kali kepada Emilia. Dia sangat malu.

“Ayo cepetan. Gue mulai bosen! Gak usah pake drama-dramaan!” Rio membentak.

Emilia duduk merapat ke arah. Anggi merasa lebih rileks. Seandainya tanganya tidak terikat, dia pasti akan memeluk Emilia erat-erat. Menumpahkan semua kepedihan dan kegundahan hatinya. Sekarang mereka berdua duduk di sofa dengan tangan masing-masing terikat kebelakang. Hal itu membuat gerakan mereka terbatas.

Mereka saling pandang mencoba membaca pikiran melalui tatapan mata, kemudian wajah Emilia mendekat perlahan. Anggi tidak menghindar, hanya memejamkan mata pasrah. Beberapa detik kemudian, dia merasakan bibir lembut Emilia menyentuh bibirnya. Bibir Emilia mulai menyusuri permukaan bibir Anggi. Mengecup dan memberi rasa hangat. Anggi menyambutnya. Kemudian Emilia menjulurkan lidah menyapu bibir Anggi, memaksa Anggi membuka mulut. Lidah mereka bertemu, saling mengulum.

"Hmmmp"

Darah Anggi berdesir lembut. Anggi ingin menumpaskan emosi dan ketakutan sepanjang malam ini melalui ciuman. Dia membalas ciuman Emilia tidak kalah panasnya. Ciuman mereka semakin dalam dan bergairah. Mereka saling mengecap rasa. Tubuh mereka menempel semakin ketat. Kepala bergerak liar mengimbangi. Deru nafas berat dan menggebu-gebu.

Tidak berapa lama Emilia melepaskan ciuman. Pandangan matanya sayu. Dia mencoba menenangkan nafasnya yang terengah. Posisi tangan yang terikat kebelakang membuatnya merasa tidak nyaman.

Emilia menuntun Anggi memperbaiki posisi. Anggi yang masih bertelanjang dada dengan payudara terekspos duduk bersandar di sofa. Emilia berada di hadapanya berdiri agak membungkuk. Kepala Emilia kemudian turun dan terbenam di leher Anggi. Memberi jilatan lembut dan basah. Tubuh Anggi bergetar nikmat kemudian dia menggelinjang, mendesah indah sambil mengangkat kepalanya, memberi ruang lebih dan keleluasaan kepada Emilia untuk mengeksplorasi.

“Shhhhhh Bu...!”

Anggi mendesah. Jilatan Emilia begitu lembut membuai, sangat berbeda dengan jilatan Rio yang kasar. Emilia begitu lihai menggerakan bibir dan lidah. Mengeksplorasi dan membelai titik-titik sensitif di kulit lembut Anggi. Anggi mengerang manja.

“Ahhh.. sshhhh! Geli Bu!”

Anggi mendesah dan melengkungkan punggung. Tubuhnya bergetar, dia merasakan geli teramat sangat ketika ujung lidah Emilia menyentuh puting susunya. Ada percikan listrik lembut nan nikmat tak terungkap yang mengalir ke seluruh tubuh Anggi. Anggi memejamkan mata kuat sambil mengatur nafasnya yang menderu tersendat. Aliran kenikmatan yang semakin menggelora membuat Anggi tidak sadar melebarkan paha karena merasakan satu titik kenikmatan memuncak di sana.

Anggi mencoba menguasai diri. Dia menunduk hendak melihat apa yang dilakukan Emilia terhadap tubuhnya. Emilia sudah bersimpuh di lantai. Anggi dapat melihat rambut hitam Emilia yang acak-acakan di atas dadanya. Kepala Emilia bergerak berputar naik turun ketika bibirnya sibuk menjilat puting payudara Anggi.

“Hhhhmmmpppp!” Anggi mengigit bibir sambil mendesah tertahan. Dia merasakan bibir Emilia bermain di perut dan pusarnya. Rambut Emilia mengesek payudara Anggi sehingga Anggi melengkungkan tubuh beberapa kali.

Emilia menghentikan ciumanya sambil bergerak sedikit menjauh. Dia menatap Anggi kemudian tersenyum . Anggi membalasnya dengan senyum tersipu malu.

Mereka kembali mengatur posisi. Emilia tidur telentang di atas sofa. Sebuah bantal diletakan di bawah kepalanya. Dia mengangkang, kaki kanan terjuntai ke lantai sementara kaki kiri terangkat tinggi ke sandaran sofa. Emilia menuntun dan memberi Anggi petunjuk. Menyuruh Anggi duduk di ruang antara kedua kakinya. Anggi menurut dan duduk menghadap Emilia.

“Sekarang giliranmu!” Emilia berbisik. “ Belai saya dengan lembut!”

Raut wajah Anggi menunjukan rasa bingung dan canggung.

“Buka kemeja saya!”

“Caranya, Bu?!” Anggi sadar dia tidak mungkin menggunakan tanganya yang terikat.

“Pakai bibirmu!”

Anggi memandang Emilia ragu. Tetapi sorot mata Emilia yang tenang membuat kepercayaan diri Anggi naik.

“Lakukanlah!” Ucapan Emilia memberikan Anggi semangat. Anggi merendahkan tubuh kemudian mencium leher putih Emilia. Dia merasakan kulit itu begitu licin dan lembut. Dia mencium aroma parfum Emilia yang memabukan.

Bibirnya bergerak semakin ke bawah mencari kancing kemeja Emilia yang paling atas. Dia mencoba melepaskan dari lubangnya dengan menggigit. Tidak semudah yang dibayangkan Anggi. Keningnya beradu beberapa kali dengan dagu Emilia ketika Anggi menyeruduk dengan tidak sabar. Hal itu membuat Emilia tertawa mendesis.

Kancing pertama terbuka dan Anggi lega bukan main. Dia mengangkat wajah sambil tersenyum bangga kepada Emilia. Emilia menghadiahinya tawa manis memabukan. Deretan gigi putih yang dibingkai bibir kemerahan terlihat sempurna.

Kancing nomor dua kemeja Emilia terletak tepat di atas tonjolan payudara perempuan itu. Ketika Anggi menggunakan bibir, otomatis kepalanya menekan. Anggi merasakan bantalan empuk payudara Emilia yang masih terbungkus menyentuh pipinya. Ketika kancing nomor dua terbuka, Anggi dapat melihat belahan payudara Emilia yang begitu putih. Menonjol indah dalam balutan bra lembut berwarna biru muda.

Emilia beberapa kali menggeliat kegelian. Bibir perempuan itu mendesah renyah. Pandanganya tidak lepas dari kepala Anggi. Dia menyukai gerakan kepala perempuan itu ketika menekan dadanya. Bahkan dia sengaja bergerak menghidar sehingga menyusahkan Anggi membuka kancing kemejanya. Dia ingin lebih lama menikmati sensasi itu.

Dug Dug Dug

Debaran jantung Anggi semakin keras. Dia merasa tergoda untuk mengoda. Ada tantangan yang luar biasa dengan perkerjaannya yang satu ini. Pekerjaan yang awalnya memalukan menjadi menatang. Reaksi riang yang ditunjukan Emilia membuat dia lupa kondisinya saat ini. Lupa A-Lima dan lupa Rio.

Sebelum melanjutkan aksi di kancing nomor tiga. Anggi sengaja mengecup belahan dada Emilia. Anggi menjilat dan menyedot bongkahan kenyal yang sedikit menyembul dari bra Emilia, meninggalkan bekas kemerahan dan basah. Emilia menggelinjang.

Trik untuk membuka kancing sudah dikuasai Anggi sehingga tidak perlu waktu lama lagi untuk membuka seluruh kancing kemeja Emilia. Tantangan berikutnya cukup susah. Dia harus menyeruduk dan menggesek-gesekan kepala di permukaan perut Emilia untuk menyibakan baju perempuan itu, berusaha menghempaskan kemeja ke kiri dan ke kanan.

Payudara Emilia yang masih tertutup bra biru muda terpampang indah di bawah terang cahaya lampu. Anggi kebingungan saat menyadari kait bra Emilia berada di punggung perempuan itu. Emilia menyuruh Anggi mengigit bra yang dikenakannya dan menarik ke bawah. Anggi melakukannya, Emilia ikut menggerakan tubuh untuk melancarkan prosesi pelepasan bra. Akhirnya berkat kerja keras bos dan anak buahnya, bra Emilia sukses melorot sampai ke perut.

Payudara Emilia begitu indah. Membulat kencang dengan puting berwarna pink. Anggi sampai melirik ke arah payudaranya sendiri. Dia membandingkan ukuran kedua payudara itu. Besarnya hampir sama, hanya saja warna payudara Emilia jauh lebih putih.

“Nggi, tuker posisi ya! Tangan saya udah pegel karena ketindih.”

Anggi menurut. Dia rebah mengangkang di sofa. Emilia kemudian menindih tubuhnya. Mereka berciuman lagi. Anggi merasa darahnya berdesir hebat. Ada sensasi nikmat nan geli luar biasa ketika payudaranya ditindih payudara Emilia. Kedua payudara kencang dan lembut itu saling bersentuhan dan saling menekan.

Ciuman mereka kembali rakus. Emilia sengaja menggerakan tubuh dan mengesekan payudaranya di atas payudara Anggi. Kedua benda kenyal lembut itu saling merangsang. Payudaranya mengeras, begitu juga payudara Emilia. Mereka mengeluarkan rintih kenikmatan. Desis liar yang sambung menyambung dengan suara ciuman.

Gerakan liar penuh gairah membara membuat mereka turun dari sofa dan bergulat di lantai. Ruang sempit antara sofa dan meja kaca mereka manfaatkan sebaik mungkin. Mereka saling mengecup dan membelai. Kadang Anggi yang menyedot dan mencium payudara Emilia dan tidak berapa lama berganti Emilia yang menyedot payudara Anggi. Desahan mereka semakin sering terdengar.

Tubuh mereka kelelahan, nafas mereka tersengal. Mereka memutuskan menghentikan sejenak kegiatan yang mengairahkan itu. Tubuh keduanya sudah bersimbah keringat. Mereka duduk di lantai dan bersandar di sofa. Saling tatap kemudian tertawa. Mereka melupakan orang yang ada di sekitar mereka untuk sesaat.

Tidak berapa lama, Emilia kembali menyerang. Dia mengecup bibir Anggi. Perempuan itu kembali memberi perintah kepada Anggi untuk duduk di sofa, semetara itu Emila bersimpuh di lantai. Kepalanya menghadap perut Anggi. Dia mencium dan menjilatnya. Anggi menggelinjang.

Emilia berusaha melepas kait celana jeans Anggi menggunakan bibirnya. Anggi menahan nafas agar perutnya mengecil dan jeansnya menjadi longgar. Emilia dengan susah payah berhasil melepas kait walaupun perut Anggi beberapa kali kena gigitanya. Setelah berhasil melepas kait, Emilia mengigit anak resleting dan menarik turun.

Emilia menyuruh Anggi berdiri. Perempuan itu juga berdiri kemudian menaikan kaki, menjepit pinggiran atas jeans Anggi dengan kaki dan berusaha menarik turun. Sangat susah melakukan itu dengan posisi berdiri, Emilia hampir terjatuh.

Emilia memutuskan duduk di meja kaca tidak jauh dari sofa, kemudian menaikan kakinya dan menekan jeans Anggi supaya turun. Usahanya tidak sia-sia. Jeans Anggi melorot dengan pelan. Dengan perjuangan yang cukup keras dan menghabiskan cukup banyak fokus dan tenaga, Emilia dan Anggi berhasil melepas jeans tersebut. Anggi merasa malu ketika Emilia menatap selangkanganya yang ditutupi celana dalam.
Emilia berdiri dan menyuruh Anggi duduk dan menarik celana yang dipakainya. Anggi tidak perlu bersusah payah seperti Emilia karena celana Emilia menggunakan elastis dan juga longgar. Tidak hanya sampai di situ, Emilia juga melepaskan celana dalamnya di bantu kaki Anggi.

Tubuh Emilia akan telanjang bulat seandainya bra di perut dan kemeja yang tersangkut di lenganya bisa di lepas. Namun kondisi tubuhnya saat ini sudah cukup memperlihatkan bagian seksi yang biasanya disembunyikan pakaian mahalnya. Lekukan pinggang Emilia terlihat sangat ramping. Perutnya rata. Pahanya mulus, putih, dan kencang. Bokongnya yang kenyal bergertar ketika dia menggerakan tubuh.

Tubuh Emilia tidak lepas dari tatapan bola mata Anggi yang berbinar-binar. Anggi pernah bermimpi memiliki tubuh seindah dan secantik itu. Anggi merasa malu dan jengah. Wajahnya bersemu merah melihat gundukan vagina Emilia yang di tutupi rambut yang tercukur rapi.

Emila tahu apa yang dirasakan Anggi. Dia mendekati perempuan itu dan bersimpuh di depannya. Dengan nakal Emilia menggigit pinggiran atas celana dalam Anggi kemudin menarik kebawah. Anggi yang merasa malu merapatkan kaki sehingga celana dalamnya tersangkut di paha. Kepala Emilia mendesak memaksa maju, membuat Anggi membuka paha. Emilia tertawa kemudian menjilat paha Anggi sehingga Anggi merasakan geli luar biasa. Kemudian Emilia berdiri, menaikan kaki dan menggunakan ujung kaki menjepit, menarik ke bawah untuk melepaskan celana dalam Anggi.

Anggi merasa risih dan salah tingkah ketika Emilia menatapnya lekat. Mata Emilia fokus menatap gundukan vagina di selangkangan Anggi yang tertutup rambut lebat. Anggi merapatkan kedua kakinya. Emilia kemudian merangsek maju dengan nafas memburu. Dia mencium bibir Anggi. Kemudian membungkukan tubuh menciumi payudara Anggi. Nafsu Anggi kembali bangkit .

Anggi pasrah ketika Emilia mendorong tubuhnya kembali duduk di sofa. Emilia bersimpuh di lantai dan kepalanya terbenam di selangkangan Anggi.

“Ahhhh...!”

Anggi memekik tertahan. Dia menggeliat dengan tubuh tersentak ketika Emilia menjilat gundukan vaginanya. Pahanya menegang dan hampir menjepit kepala Emilia. Emilia menyukai respon Anggi. Lidah Emilia kemudian bermain menyusuri permukaan lubang vagina Anggi. Membuat Anggi mengeliat dan mendesah histeris. Gadis itu beberapa kali memejamkan mata dan membenturkan kepala di sandaran sofa karena tidak tahan dengan serbuan gairah yang bertubi-tubi.

“Buu... udah..! Shhhhhhh... Accchhhh!”

“Bu... buu.. janggnnn... ahhhh!”

Mendengar desahan Anggi, Emilia semakin senang. Gairahnya juga ikut melonjak-lonjak. Dengan ujung lidah, dia memainkan klitoris Anggi. Kaki Anggi menghentak memukul lantai, wajahnya mengernyit sambil menengadah menahan serangan kenikmatan yang bertubi-tubi. Jemari tanganya meremas kulit sofa yang didudukinya. Emilia terus menyeruduk mendesak, kaki Anggi sampai naik ke bahu dan menjepit leher Emilia.

Emilia semakin menyerbu. Tubuh Anggi rebah di sofa dengan nafas terengah-engah. Emilia semakin ganas menjilati selangkanganya. Desir kenikmatan semakin cepat menyerang tubuh Anggi. Nafasnya terengah-engah. Dia menggeliat liar.

“Arrrrrrgggggghhhhh.... Buuuuuuuuu!”

Anggi mendesah panjang. Matanya terpejam. Tubuhnya menghentak dengan punggung melengkung. Dia merasakan kenikmatan luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya bersatu dengan keindahan dan perasaan nyaman tiada tara. Anggi orgasme.

Emilia tersenyum. Dia kemudian menarik kepalanya dari selangkangan Anggi.

*******
Rio yang duduk di kursi dekat meja makan memperhatikan kegiatan Emilia dan Anggi dengan tubuh tegang. Dia sama sekali tidak membayangkan akan menyaksikan tontonan seperti itu. Rio menahan nafas. Adegan di depannya sungguh di luar dugaan. Penisnya yang sudah dikira mati rasa mulai menunjukan geliat positif.

Bagi Rio, kedua perempuan itu melakukan tugasnya dengan sangat baik. Kedua perempuan yang bagai bidadari di mata Rio itu berciuman dan bergumul indah. Membuat Rio mengelus-elus penisnya. Bentuk indah payudara mereka membuat Rio begitu tegang.

“Daripa elo kocok sendiri. Mending gue kocokin!”

“Don’t forget. Dia gay!”

Rio yang sedang asik mengelus penis sambil melihat tontonan indah tersentak mendengar suara dari arah tembok yang di susul gelak tawa terbahak-bahak. Rio merasa terganggu, dia menggeram emosi.

“Dasar mulut busuk!”

Rio mengumpat marah. Dia mengumpulkan kain serbet untuk mengikat dan menyumpal mulut mereka. Rimelda, Monica, dan Davina sudah diikat dan disumpal mulutnya. Hanya saja ketika Rio melihat Diandra yang memejamkan mata seperti tertidur, muncul ide lain di kepalanya.
Rio melepaskan ikatan di kaki Diandra dengan kasar. Diandra tersentak membuka mata. Rio kemudian menyeret perempuan itu ke meja makan. Rio menatap lekat wajah cantik di depanya. Bibir mungil Diandra yang kemerahan begitu menggodanya. Diandra mengerutkan alis, menatap tajam mata Rio melalui kacamata kotaknya.

“Elo mau gue pake tangan ato pake mulut?” Diandra berucap tenang.“ Kalo pake tangan, lepasin iketan di tangan gue!”

Rio mengerutkan alis kaget ketika isi kepalanya terbaca oleh Diandra. Perempuan itu begitu blak-blakan. Dia melirik bibir Diandra yang tipis dan kecil mengemaskan. Bentuk bibir yang meruncing ketika berbicara sepertinya penanda watak gadis itu.

“Elo kagak mau buka celana?!” Alis Diandra naik. Sorot matanya begitu tajam di balik kacamatanya. Sama sekali tidak ada senyum di wajah gadis ini.

Rio jengah dan merasa tertantang. Dia berdiri dan memelorotkan celana sampai kelutut. Dia kembali duduk di kursi. Diandra tersenyum tipis sambil menatap Rio. Gadis itu kemudian bersimpuh di depan selangkangan Rio.

“Gue jilat lima menit. Kalo penni elo kagak mau berdiri, mending elo potong aja.”

Detak jantung Rio memacu keras. Dia hampir melupakan adegan Emilia dan Anggi, dia kembali mengarahkan pandanganya ke sofa. Kedua wanita itu dilihatnya saling bantu buka celana.

“Auuuwwwccchhh!”

Rio berteriak tertahan ketika penisnya tersentuh ujung lidah Diandra. Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Penisnya yang setengah tegang mulai dirasakanya geli-geli nikmat. Dia menunduk menatap Diandra ketika gadis itu menengadah menjilat testisnya.

Bibir munggil basah milik Diandra menelusuri permukaan penis Rio. Penis itu semakin menegang. Tangan Lelaki itu mengelus rambut lurus sebahu Diandra yang menggelitik pahanya, sementara mata Rio menatap ke arah Anggi dan Emilia yang sedang saling sentuh di sofa.

“Esssshhh aaaahhhh! Anjiing nikmat bangeeet!”

Rio mendesah. Penisnya sudah masuk ke rongga basah mulut Diandra. Nafas Rio sampai tersengal. Dia kemudian bersandar di kursi agar bisa lebih menikmati sensasi yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Kaki Rio beberapa kali menegang dan menjepit kepala Diandra ketika gadis itu dengan sengaja memberi gigitan lembut di penis Rio.

Ploop

Kepala Diandra terangkat, penis Rio terlepas dari mulutnya. Kenikmatan yang mendadak hilang dari penisnya membuat Rio menatap ke arah selangkanya. Matanya beradu pandang dengan mata Diandra.

“Ternyata elo noob! Elo belum pernah di blow jod sebelumnya, kan?”

Rio tidak menjawab. Dia mengakui kebenaran ucapan Diandra. Cara gadis itu berbicara membuat Rio tidak tersinggung, berbeda dengan ucapan dari ketiga teman Diandra yang masih terikat bersandar di tembok.

“Elo enggak kasin liat tangan gue keiket gini? Lepasin dong. Kasian jemari lentik gue enggak kepake!”

Tatapan mata Diandra begitu menggoda. Rio seperti terhipnotis. Keraguannya hanya terbayang sedetik di kepalanya, kemudian dengan cepat lelaki itu berdiri kemudian melepas ikatan di tangan Diandra.

Diandra mendorong Rio bersandar di meja makan. Gadis itu kemudian duduk di kursi menghadap ke arah Rio. Jemari lentiknya menggegam penis Rio dan mulai mengocok pelan. Tidak berapa lama kepalanya kembali turun mengulum penis Rio. Rio mendesah tertahan. Dia meremas pinggiran meja makan tempatnya bersandar. Nikmat yang menjalar ke tubuhnya membuat otot di tubuhnya tegang. Penisnya mulai berkedut.

Diandra kembali mengangkat kepala menatap Rio sambi berucap,” kalo elo mau remes toket gue, silahkan!” Gadis itu menanggalkan seluruh kancing kemeja, kemudian melepas Bra. Kemejanya dibiarkan melekat di tubuhnya.

Tarikan nafas Rio semakin berat. Dia menatap nanar ke arah payudara Diandra yang menggelantung menantang. Payudara itu ukuranya lebih besar dari payudara Emilia. Bentuk putingnya juga agak berbeda, seperti menyatu dengan warna areola payudaranya yang cukup besar.

Diandra mengulum penis Rio lagi. Posisi Diandra yang agak membungkuk membuat tangan Rio bisa meremas payudara gadis itu. Terasa begitu kenyal dan lembut di tangan Rio. Penis Rio kembali berkedut. Diandra merasakan hal tersebut. Dia semakin nakal.

Diandra menjepit penis Rio dengan payudaranya, kemudian menekan dan mengesek pelan.

“Acchh.. Acchhh aaaahhh!”

Rio mendesah tersendat-sendat. Testur daging lembut payudara Diandra yang membelai penisnya membuatnya gelisah bukan main.
Diandra menjilati kepala penis Rio yang menyembul diantara himpitan payudaranya. Otot paha Rio tegang. Tanganya bergerak gelisah membelai rambut lembut Dindra.

“Accchhhhhhhhh .. ahhh saya mau keluaar! Ahhhh.. nimaaat sekaliii!”

Rio mendesah. Sepertinya dorongan kenikmatan tidak dapat ditahannya lagi. Dia menggerakan pinggang maju mundur sehingga penisnya menggesek-gesek payudara Diandra semakin cepat. Penisnya kemudian berkedut kuat. Rio secara tidak sadar mendorong kepala Diandra menjauh dari penisnya. Diandra kaget ketika penis itu terlepas dari payudaranya. Dia menatap aneh ke arah Rio.

“Aaarrrrggghhhhhhh hhhhhhhh!”

Teriakan Rio cukup keras. Tubuh Rio mengejang. Spermanya menyemprot membasahi kemeja Diandra. Kenikmatan luar biasa memenuhi seluruh tubuhnya. Rio merasa lututnya goyah dan tubuhnya lemas. Dia tersenyum puas ke arah Diandra.

“Anggap aja itu permintaan maaf gue. Gara-gara gue, elo jadi tidur ama kelima gay itu.”

Diandra mengecup bibir Rio. Kemudian matanya terarah ke penis Rio yang sudah mengecil. “Gue mau gabung ama mereka. Kalau elo masih ada tenaga, boleh ikut!”

Rio menatap Diandra yang berjalan ke arah Emilia dan Anggi. Kedua wanita yang terlibat pertempuran birahi sengit itu terlihat duduk bersandar di sofa sambil berbicara. Rio memutuskan memejamkan mata sejenak, menghabiskan sisa-sisa kenikmatan yang masih mengalir di tubuhnya.

“Kenapa engga dilepasin iketan kainnya?!” Ujar Diandra sambil melepas ikatan di tangan Emilia. “Kalian tinggal beradu punggung, bisa saling bantu lepasin iketan. Ato pake mulut juga bisa!”

Emilia dan Anggi saling pandang. Mereka baru menyadari hal itu. Seandainya dia dan Anggi saling bantu, pasti dengan mudah bisa melepaskan ikatan di tangan mereka.

“Sensasinya lebih enak kalo tangan elo diiket ya, Em?!”

Emilia tertawa lepas. “Tengkyuuu Dra! Setidaknya tangan gue bisa kepake buat lepasin celana elo sekarang. Hihihi!” Emilia tertawa genit.

“Enggak perlu. Elo bantu si Anggi aja.”

Emilia menuruti perkataan Diandra. Dia melepaskan ikatan di tangan Anggi. Sementara itu, Diandra melepaskan kacamata, kemudian melepas kemeja dan celana jeans-nya. Dia telanjang bulat di hadapan Anggi dan Emilia.

Diandra lebih pendek dari Emilia. Payudara, bokong, paha gadis itu lebih berisi. Perutnya sedikit membuncit karena kurang olahraga, tetapi di pinggangnya sama sekali tidak terlihat lipatan lemak. Jadi tonjolan lemak di perutnya terlihat menggemaskan.

Rio mengalihkan pandangan menatap langit-langit tinggi tempat tiga buah lampu menggantung. Sebuah senyum puas terbersit di wajahnya. Perlakuan Diandra seperti menyirami bunga yang sempat kering di hatinya. Dendam yang tadi sempat membara di hatinya mendadak lenyap.

Rio bangkit dan meneguk segelas air putih untuk membasahi tenggorokanya yang kering. Lelaki itu kemudian beranjak duduk di sofa. Dia hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca dengan ketiga wanita cantik yang sudah telanjang bulat.

“Rio, elo gak boleh sentuh Anggi tanpa ijin!” Diandra berucap sambil menatap Rio tajam, “tapi elo bebas sentuh gue!”

Diandra menarik tangan Emilia sehingga mereka berdiri. Terdengar tawa merdu keduanya. Mereka kemudian berciuman. Emilia duduk di meja kaca dan Diandra mengangkang di atas paha wanita itu. Meja kaca itu sangat kokoh dan tebal sehingga tidak mungkin pecah. Mereka mengulangi ciuman dengan lebih ganas dan bergairah.

Kedua wanita yang saling meraba. Mereka berdua bergulat penuh gairah di atas meja kaca berukuran tiga kali tiga meter. Tawa dan desahan mereka datang silih berganti. Pergumulan yang berlangsung lama penuh gairah membuat mereka mabuk kenikmatan.

Emilia telentang dan membuka kaki membentuk huruf M. Wajah Diandra tepat terbenam di selangkangannya. Diandra menungging, posisi pantatnya dekat dengan pinggiran meja. Wanita itu asik menjilati lubang vagina Emilia. Desahan Emilia terdengar beberapa kali. Tangannya bergerak tidak terkontrol menyapu plastik berisi sisa makanan di atas meja, membuat beberapa terpelanting jatuh.

Anggi meringkuk di ujung sofa dengan kemeja menutupi tubuhnya. Dia hanya tersenyum melihat apa yang dilakukan kedua wanita itu. Dia tidak bisa mengutuk perbuatan mereka karena Anggi sudah pernah merasakan sensasinya.

Posisi Rio tepat di belakang Diandra. Dia dapat melihat jelas bokong Diandra yang membulat indah bergerak-gerak seolah memanggilnya mendekat. Deru nafas lelaki itu memburu. Penisnya kembali tegang. Dia tidak dapat menahan diri.

Plaaak Plaaaak

Rio menampar lembut bongkahan pantat Diandra sehingga menyisakan bekas kemerahan. Diandra tidak merespon karena sibuk dengan Emilia. Rio kemudian menjulurkan tangan meremas daging kenyal tersebut. Tangannya kemudian membelai lembut anus Diandra dan perlahan turun ke vagina tembem gadis itu.

Rio melebarkan kaki Diandra agar bisa melihat bentuk vagina wanita itu dengan lebih jelas. Vagina Diandra hanya ditumbuhi rambut tipis. Dengan nafsu yang meletup kencang, Rio menggunakan jarinya menelusuri belahan vagina yang mulai becek. Mengubek-ubek lobang vagina Diandra.

Diandra menggeliat mendapat rangsangan dari Rio. Punggungnya melengkung indah. Hanya saja, dia enggan meladeni lelaki itu. Gadis itu ingin menuntaskan aksinya bersama Emilia.

Penis Rio semakin tegang. Dia berdiri dan mendorong sofa yang tadi didudukinya sehingga menempel dengan meja kaca. Karena tinggi meja dan sofa sama, Rio bisa bersimpuh di atas sofa menghadap ke arah pantat Diandra. Rio memegang pinggang Diandra, kemudian menggesekan penisnya di belahan vagina wanita itu. Diandra sama sekali tidak melawan ketika penis Rio memasuki vaginanya. Dia hanya menyesuaikan tubuh agar Rio lebih mudah melakukan penetrasi.

“Aaaahhhhh!”

Rio memejamkan mata merasakan batang penisnya dijepit lubang hangat super nikmat tersebut. Wanita yang pernah diajaknya bercinta tidak memiliki lubang kemaluan sesempit itu. Dia kemudian mengerakan pantatnya maju mundur sehingga penisnya keluar masuk di lubang vagina Diandra.

Tubuh Diandra berguncang karena sodokan Rio. Gadis itu menghentikan jilatanya di vagina Emilia. Dia memutuskan untuk menikamti sodokan Rio.

“Ahhh.. aaaaahhhh!”

Rio menggerakan pantatnya semakin cepat. Terdengar desahan lembut Diandra. Dia menoleh sambil mengigit lidah, memberi semangat kepada Rio.

Emilia yang merasa agak terganggu akhirnya bersila di depan wajah Diandra. Dia mengarahkan payudaranya ke bibir gadis itu. Diandra menyedot puting Emilia dengan rakus. Hentakan Rio mendorong bokong Diandra, membuat tubuhnya berguncang sehingga kadang menyundul payudara Emilia.

Diandra menghentakan tubuhnya tiba-tiba. Penis Rio terlepas dari vaginanya. Rio sama sekali tidak menduga kejadian itu. Dia langsung kehilangan sumber kenikmatanya.

“Lutut gue pegel. Meja ini keras banget. Cape!” Diandra berdiri dan melompat ke lantai. “Em, gue haus. Elo lanjutin ama Rio, ya!”

Rio bengong ketika Diandra melenggok meninggalkanya untuk mengambil air minum. Rio malu-malu menatap tubuh telanjang Emilia yang tidak kalah mengiurkanya. Dia takut perempuan itu menolak.

“Jilatin dulu, baru masukin.” Perintah Emilia sambil melebarkan paha. Wajah perempuan itu merah menahan nafsu.

Rio merangkak, mendekatkan kepala ke selangkangan Emilia. Dia melihat lubang vagina Emilia yang berwarna kemerahan mengkilat basah. Rio meraba dengan jarinya.

“Pake lidah aja Rio. Jangan masukin tangan!”

Perintah Emilia seperti bersifat mutlak. Rio tidak mempunyai kempuan untuk menolak. Dia menjulurkan lidah menyapu permukaan lubang vagina Emilia. Emilia mendesah kegelian. Rio kemudian semakin bersemangat memberikan kecupan dan sedotan. Ujung lidahnya juga memainkan klitoris Emilia. Emilia menggelinjang.

Tangan Rio menangkup bongkahan pantat Emilia dan meremasnya. Wanita itu merintih nikmat. Wajahnya terangkat dan menatap kepala Rio yang masih sibuk di selangkanganya.

“Elo boleh masukin sekarang!”

Rio bersemangat mendengar perintah Emilia. Dengan buru-buru dia memosisikan tubuh di atas wanita itu. Menggesekan penisnya di permukaan vagina Emilia kemudian mendorong masuk.

“Ooouucccchhhhhhh!”

Tubuh Emilia tersentak. Rio mendesah merasakan batang penisnya disedot lubang hangat kemaluan Emilia. Dia merasa batang penisnya seperti diurut nikmat. Lubang kemaluan Emilia dirasa lebih sempit ketimbang Diandra. Hal itu membuat Rio lebih pelan memaju-mundurkan penis.

Rio mencium bibir Emilia. Wanita itu tidak menolak. Ciuman mereka hangat penuh gairah. Tangan Rio bergerilia menyusuri permukaan tubuh Emilia yang menggoda dan nikmat untuk di sentuh.

“Ahhhh Ahhh”

Gerakan pantat Rio semakin liar seiring penisnya yang semakin berkedut. Tusukanya lebih dalam dan keras. Emilia tahu Rio akan segera menyemburkan sperma karena deru nafas lelaki itu sudah begitu berat.

“Jangan keluarin di dalem!” Perintah Emilia.

“Heee ehhh.. iyaa.”

Rio menyahut sambil mendesah. Goyanganya semakin cepat. Dia meremas pantat Emilia dengan gemas. Emilia bergerak mengimbangi di bawah tubuh Rio. Dia meletakan tangan di pinggang lelaki itu dan mencengkeram punggung Rio.

“Sayaa.. mau keluar aaah ahh ahh!”

Rio menghentak cepat. Kemudian dia mencabut penisnya.

“Arrrrrggggggghhhhhhhhhh”

Sperma menyemprot di perut Emilia. Rio terkulai lemas bersimbah keringat. Matanya kembali terpejam meresapi kenikmatan yang hampir menghancurkan seluruh sendinya.

Emila beranjak mendekati Diandra yang sedang duduk di meja makan sambil asik nyemil.

“Rio nuub! Dia juga grogi banget. Gue jadi ingin liat rekaman dia ama lima lelaki itu. Hihihi!”

“Kita mau lanjut sekarang. Ato elo mau maem dulu?”

“Gue ma’em, Elo yang lanjut. Bisa kan?”

Diandra langsung mencengkram pinggang Emilia. Mereka tertawa penuh cinta.

*****
Sebuah handphone berdering di atas meja tetapi tidak ada yang menghiraukan.

Anggi duduk meringkuk di pojok sofa. Kemeja dibuka lebar tanpa terkancing, dipakai untuk menutupi tubuhnya. Rio yang sudah mengenakan celana pendek mendekatinya. Anggi menggeser tubuh menjauh. Dia ketakutan, masih membekas dalam ingatannya perlakuan kasar lelaki itu.

“Gue minta maaf. Gue udah kasar ama elo.” Rio berujar lembut. Pandangan mata mereka beradu. Sorot mata Anggi masih menunjukan sisa kekesalan dan kemarahannya. Dia mendengus. Anggi tidak begitu peduli dan hendak menjauh. Dia enggan meladeni lelaki itu.

“Tadi gue bener-bener hilang kendali!”

Rio berusaha berucap tenang tetapi terkesan penuh emosi. Lelaki itu berusaha menenangkan nafas dan mengatur emosi ketika bayangan buruk kembali melintas di kepalanya. Dia menatap mata Anggi, berharap gadis itu memberinya kemurahan hati.

“Kalo itu malam biasa, gue tidak akan berbuat sejauh itu!” Rio terdiam sejenak, “malam itu terkutuk!”

Mata Rio berkaca-kaca. Ucapanya parau penuh emosi. Anggi menjadi terenyuh mendengarnya. Bercak kemerahan yang menghias tubuh Rio membuat Anggi penasaran.

“Apa yang terjadi?”

Anggi berucap lirih. Sorot matanya masih menunjukan dendam kepada Rio. Rio terdiam dan menatap langit-langit. Dia berusaha menguatkan emosinya.

“Gue nyesel ikut game terkutut itu! Gue kira hanya permainan biasa.” Rio mengatur nafas. “ Temen gue bajingan! Dia nipu gue!”

Rio kemudian menceritakan awalnya dia ikut permainan itu adalah karena ditawari uang lima juta. Temannya menunjukan foto-foto anggota A-Lima dan mengatakan akan melakukan sex party dengan mereka sepanjang malam. Tentu saja Rio tertarik meskipun dia hanya sebagai pelengkap. Dia menerima tawaran temannya. Temannya berjanji, kalau semua akan aman, tidak akan ada penyiksaan, dan hanya berpesta bergembira.

Malam permainan tiba dan Rio sampai di rumah A-Lima. Barang-barang Rio disita sebagai syarat memasuki rumah itu. Mereka berjanji akan mengembalikan keesokan harinya. Sebagai gantinya Rio disuruh memilih pakaian warna-warni bernomor punggung. Hanya itu saja pakaian yang melekat di tubuhnya ketika dia memasuki Ruang Kegembiraan.

“Gue tidak tau apa-apa tentang game itu.”

Rio sama seperti Anggi. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang apa yang harus dilakukannya sebelum Rimelda menjelaskan semuanya di atas panggung. Meskipun Rio merasa sedikit tegang, tetapi dia berusaha untuk melakukannya. Hanya saja, ada peristiwa yang membuat penyakit grogi Rio kumat yaitu setelah Diandra dan Anggi maju berbarengan ke atas panggung.

“Gue tau, waktu itu elo juga panik. Entah kenapa gue juga ngerasa iba dan gue jadi enggak fokus.” Rio menatap Anggi sendu. “Gue juga ngerasa kalau elo dijebak untuk ikut bermain.”

Anggi menarik nafas panjang. Anggi merasa Rio yang di dekatnya sekarang bukanlah Rio yang hendak memperkosanya tadi.

“Saat lo pingsan. Gue berusaha membantu.” Rio menghentikan ucapan dan wajahnya keruh.

“Gue liat wanita itu juga panik liat elo pingsan. Dia menjerit histeris!” Rio menunjuk ke arah Emila yang sedang duduk di dekat Diandra. “Gue juga denger jelas tawa tiga wanita sampah di sana!” Dia menunjuk Tiga wanita yang masih terikat.

“ Gue hampir pingsan ketika tau apa yang mereka maksud dengan menjadi budak kelima lelaki itu. Kaki gue goyah, tenaga gue ilang mendadak. Gue merasa berada di sebuah dunia baru yang asing dan gila. “ Kata demi kata yang Rio ucapkan mempengaruhi nurani Anggi. Dia merasakan hal yang sama dengan lelaki itu.

“Temen yang ngajakin gue ke sini. Dia si nomer satu. Di pergi ninggalin gue seolah semuanya aman. Seperti yang mulut busuknya janjikan!!” Rahang Rio mengeras, jemari tangannya mengepal geram. Kemudian Rio menutup wajah dengan telapak tangan. Kata-kata berikutnya begitu berat diucapkanya. Pemerkosaan kelima lelaki itu kepadanya menyisakan luka yang begitu perih di hatinya. Bekas-bekas di tubuh Rio masih tampak nyata. Bekas di hatinya entah akan terhapus kapan.

Anggi bergidik mual. Dia seolah ikut merasakan rasa sakit yang dialami Rio. Pelan tapi pasti, hatinya mulai terenyuh mendengar pengakuan lelaki itu. Sekarang, dia merasa jauh lebih beruntung. Kejadian yang dialaminya tidak berarti apa-apa dibandingkan yang dialami Rio. Dia bisa menerima alasan kenapa Rio memperlakukannya dengan kasar.

Dinding kebencian di hati Anggi runtuh. Rasa iba memenuhi pikirannya. Dia juga merasa bersalah dengan Rio karena dia juga terlibat permainan itu. Anggi menggeser tubuh mendekati Rio. Raut wajah Rio yang sarat kepedihan meluluhkan hati serta melumpuhkan logika gadis itu.

"Kita senasib, terjebak di sini bersama orang-orang kaya dan gila. "

Anggi menggengam jemari tangan Rio dan meremasnya. Dia berusaha menguatkan hati Rio. Anggi merasa dekat, dia merasa senasib.

"Maaf, aku jadi ngelibatin kamu. Aku benar-benar frustasi dan sakit hati. Seandainya tadi kamu tidak datang ke sini, mungkin aku sudah jadi pembunuh atau malah aku bunuh diri."

Rio membalas meremas jemari Anggi lebih kuat penuh emosi. Anggi tidak sadar menyandarkan kepalanya di bahu Rio.

" Aku ingin berterima kasih dan juga minta maaf."

Pancaran mata lelaki itu sudah sedikit tenang. Amarah dan emosinya yang sempat menumpuk sekarang sudah bisa disalurkan lepas dari tubuhnya.

Suasana antara Rio dan Anggi menjadi begitu cair. Mereka mulai bercerita tentang kehidupan mereka. Hanya saja, ada suara yang mulai menggangu obrolan mereka.

Emilia dan Diandra yang sedang bergumul di meja makan mendesis dan mendesah keras. Mereka mengangkang saling berhadapan, vagina mereka saling menyentuh. Mereka saling tatap dan sengaja menggerakan pinggul yang membuat vagina mereka saling gesek. Wajah mereka sama-sama memerah karena nafsu. Mereka tekadang berciuman dengan penuh gairah, saling remas payudara. Ekspresi yang ditunjukan mereka membuat yang menonton pasti berdebar-debar. Mereka terlalu liar. Aura nafsu terpancar hampir dari seluruh tubuh mereka, tersalurkan ke dalam percikan yang berubah menjadi gerakan erotis.

Rio dan Anggi sama-sama menyaksikan adegan itu. Mereka terhanyut. Tangan mereka yang saling gengam mendadak bergerak. Ada getaran yang mengalir dari tangan ke seluruh tubuh mereka. Mereka kemudian saling pandang dengan perasaan aneh.

“Aku jadi pengen nyium kamu.” Pandangan mata Rio tertuju kepada bibir Anggi yang menggoda.

Anggi tersipu dan langsung menggerakan tubuh berusaha menjauh. Rio menertawakanya. Anggi juga tertawa canggung. Dia memainkan jemari tangan di bibirnya.

" Bolehkan?"

"Boleh ngapain?!"

Rio tidak menjawa, dia mencodongkan badan ke arah Anggi. Anggi tidak menghindar sama sekali. Dia menyambut ciuman lelaki itu. Dia juga ingin menumpahkan emosinya yang sudah terlanjur terombang-ambing di malam itu. Rio kemudian memeluknya.

Dekapan erat Rio membuat tubuh mereka berhimpitan di sofa. Kemeja penutup tubuh Anggi sudah jatuh ke lantai, menyisakan tubuh yang telanjang bulat menantang birahi. Rio merapatkan tubuh, merengkuh kehangatan dan kelembutan tubuh Anggi.

Jari tangan mereka menari indah nan liar. Saling membelai dan menyusuri lekukan tubuh lawan bercinta. Detak jantung yang menghantam dada sebagai pengingat kalau semua yang mereka lalui itu nyata.

Desahan tertahan keluar dadi bibir Anggi ketika jemari Rio membelai payudaranya. Daerah sensitifnya yang mempunyai daya ledak seksual yang menggebu. Anggi memperdalam permainan lidahnya di rongga mulut Rio. Mengecap rasa yang tersembunyi. Celana Rio sudah terlepas dari tubuhnya. Anggi dapat melihat penis lelaki itu mengacung tegang.

Mereka kembali terlibat dalam pergulatan penuh gairah. Rio merebahkan tubuh Anggi di sofa, menindih tubuh telanjang bulat perempuan itu. Rio mendesak paha Anggi sehingga mengangkang lebar dan memposisikan kemaluanya di antara paha perempuan itu.

Kulit mereka yang semakin sering bergesekan membuat panas gairah semakin susah dikendalikan. Rio memainkan jemari membelai lembut vagina Anggi. Anggi menggeliat merintih menuntut perlakuan lebih.

Desahan erotis melambung lembut ke udara. Menemani suara merdu demburan ombak dikejauhan. Anggi menggeliat lembut sambil menyebut nama Rio. Kulit wajahnya bersemu merah. Matanya sendu menahan nafsu yang menggelora indah. Dia menikmati setiap sentuhan Rio di tubuhnya.

Rio mencengkram lembut pinggang Anggi. Menahan agar perempuan itu tidak banyak bergerak. Ujung penisnya sudah beberapa kali menyusuri permukaan lembut nan basah vagina Anggi. Mencoba memberikan rangsangan agar lubang tersebut semakin terbuka.
Anggi menggeram lembut. Tarikan nafasnya berat menunggu kenikmatan lebih yang dijanjikan Rio.

"Aduuuuh!!!"

" Hmmmmmppp... Aahhhh"

Anggi mengernyitkan wajah ketika ujung penis Rio mulai memasuki lubang kemaluanya yang basah. Ada sedikit rasa sakit yang membuat tubuhnya tegang. Hanya saja, tuntutan untuk mengarungi kenikmatan lebih tinggi membuat dia menyesuaikan tubuh. Memberikan keleluasaan kepada Rio untuk mengeksplor lebih jauh.

Tangan Anggi meraih kepala Rio dan menarik turun. Mencium bibir lelaki itu dengan penuh emosi. Rio membalas ciuman sambil menggerakan bokong, memompa penisnya keluar masuk vagina Anggi.

" Ahhhh aahhh ahhh!"

" Ssssshhhh... oucchh."

" Hmmmmpppp, hssssttt ."

Desahan bertubi-tubi menyembur dari mulut mereka. Mereka saling tatap penuh cinta dan gairah. Tangan Rio begitu intens memainkan payudara Anggi. Tangan Anggi membalas dengan meraba punggung dan pinggang Rio. Tidak ada keraguan pada gerakan tubuh mereka. Nafas mereka terengah berat. Bintik keringat kembali muncul. Perkenalan dalam dan singkat di malam yang gila membuat mereka merasa begitu dekat. Ingin bersama-sama melewati malam yang berat dan nikmat.

Anggi sudah menungging di sofa dan Rio menyodok kemaluanya dari belakang. Payudara Anggi yang menggantung berguncang tidak disia-siakan oleh Rio. Rio meremas pelan disertai kecupan lembut di punggung Anggi. Gerakan tubuh mode erotis terlihat begitu menggairahkan. Posisi itu bertahan sampai mereka berhasil merengkuh kenikmatan maksimal.

Mereka berganti posisi lagi. Rio duduk di sofa dan Anggi duduk di pangkuan Rio sambil menggerakan tubuh meliuk-liuk indah. Pinggang ramping perempuan bergerak lembut teratur. Bokongnya yang kecang menggesek-gesek paha Rio. Penis Rio melesak dalam ke lobang vagina Anggi. Basah dan semakin basah.

Rio yang tidak tahan, menangkup bokong Anggi dan meremasnya. Gadis itu semakin bersemangat memainkan pinggul sehingga kemaluan Rio berkedut-kedut di lubang kenikmatanya. Rio merasakan sensasi nikmat luar biasa, penisnya terasa sesak di lubang sempit milik Anggi. Dengan gemas dia mencium payudara yang menggantung di depan kepalanya. Payudara yang berguncang menggoda ketika Anggi menggerakan tubuh.

Deru nafas semakin berat seiring kenikmatan semakin memuncak. Rio mulai mengimbangi gerakan Anggi. Dia mengangkat pantatnya dan menyodok lubang vagina Anggi dengan cepat. Tusukanya dari bawah membuat Anggi gelagapan menyalurkan serangan nikmat bertubi-tubi.

Anggi merintih. Luntutnya bertumpu di sofa, tangannya mencengkeram sandaran sofa dengan erat. Dia berusaha mempertahankan posisinya yang mengangkang. Memberi keleluasaan pantat Rio untuk menyentak ke atas. Penis Rio bergerak cepat dan menusuk keras ke dalam lubang vagina Anggi.

Plaaak

Plaaak

Plaaak


Terdengar suara paha Rio beradu dengan pantat kenyal Anggi. Bongkahan pantat Anggi bergetar mengoda. Rio menjulurkan tangan, meremas kuat sehingga meninggalkan bekas kemerahan.

Wajah Anggi memerah. Dia memekik histeris sebelum merapatkan bibirnya menikmati sensasi yang semakin menyerbu. Vaginanya terasa penuh oleh penis lelaki itu. Sensasi nikmat yang dibangkitkan Rio di vaginanya membuat dia merasa melayang.

Rio merasakan penisnya berkedut. Dia menahan pinggang Anggi dan semakin keras menyodok dari bawah. Anggi mengerakan tubuh mengimbangi. Tubuh mereka menyatu saling memahami. Seolah mereka ditakdirkan berpasangan.

" Aarrrrrrgggggggggccccccchhhhhh"

Tubuh Anggi mengejang, begitu juga tubuh Rio. Sperma menyemprot memasuki lubang vagina Anggi. Anggi merasakan kenikmatan luar biasa. Basah, hangat dan menggetarkan. Dia mencium bibir Rio. Rio membalasnya. Mereka berciuman penuh cinta. Tubuhnya mereka kemudian lemas. Mereka memejamkan mata, membiarkan tubuh lunglai mereka berpelukan.


*********
Di sebuah ruangan.

“Njir, dia beneran kabur dan ngurung kita disini!”

“Elo sih ceroboh naruh kunci!”

“Gue pikir dia gay kaya kita. Kayakya dia emang laki normal. Kita beruntung. Hihihi!”

“Ya udah yuuuuk! Kita lanjut aja. Berlima udah lebih dari cukup!”

******
Rimelda, Emilia, dan Monica sudah terlepas dari ikatan. Ketiga wanita itu memaki-maki tidak jelas. Mereka sudah mengenakan pakaian, begitu juga Anggi, Diandra, Emilia, dan Rio.

Davina terburu-buru berlari keluar ruangan. Dia kemudian kembali bersama lima boneka hidup. Lebih tepatnya lima orang lelaki yang dibungkus kostum binatang. Panda, Beruang, Pinguin, Monyet, dan Kuda. Tepat di selangkangan masing-masing boneka terdapat lubang. Dari lubang itu terlihat penis mengelantung.

Davina belum memasuki ruangan ketika Monica dengan raut wajah jelak menginterogasi Emilia.

“Em, jujur aja. Elo ngerencanain ini biar bisa nikmatin tubuh assiten elo, kan?” Monica menatap lekat bola mata Emilia. “Elo juga nyuruh Rio berdusta ama Anggi sampe mereka mau bercinta?”

“Hehehehehe,” tawa Emilia terdengar merdu. Wajahnya mendadak bersemu merah. “ Imajinasimu kelewatan. Elo terlalu mendramatisir.”

“Elo hanya perlu jawab. Ini rencana elo atau bukan?!”

Emilia menyentuh rambut Monica yang sedikit menutupi wajah perempuan itu. “Coba elo tanya Dindra!”

Monica melirik Diandra menununggu jawaban.

“No baper! No bucin!” Diandra berucap tenang, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Monica. “Elo masih temen gue, kan?”

Monica mendengus kesal. “Gara-gara laki itu, rencana pesta gue jadi berantakan.”

“Hihihi. Terkadang, rencana terbaik adalah tidak membuat rencana sama sekali!”

Emilia mengucapkan kembali apa yang dia dengar dari sebuah film seminggu lalu di tontonnya.


++++ TAMAT ++++




******************

Terima kasih kepada paniti, juri, staff dan semua yang terlibat dalam event LKTCP kali ini.
Terima kasih juga untuk pembaca yang meluangkan waktu membaca karya ala kadarnya ini, semoga terhibur.

 
Terakhir diubah:
Selamat atas karyanya di Gelaran LKTCP 2019




Salam dan sukses selalu :beer:
Makasi Om
ciieee yang dah posting
Ciiieee yang gak jadi gagal ngaceng.
Wuedew smua orang pengen berencana... n jd twist mbulet.... sayang gelaran akhirnya agak terburu2... tapi cerita yg baguusss
Terima kasih Om udah nyempetin nengok

Maklum nih waktu mepet dan RL agak sibuk jadi agak terburu-buru.
 
Selamat dan Sukses buat karya ceritanya Om :)
 
iuhhh gelo ceritanya...... :jempol:


Ini tulisan orang yang lumayan sering baca novel deh kayaknya...bener ga sihhh?????????????????????bener kan ya?? beda soalnya. beda ini mahhhh. tau akumah.

asik bacanya, ga sekedar nyambung, tapi deskripsi latar ceritanya kerasa banget.

kosakatanya banyak, enak deh...
:hore:

terlepas dari cerita homo dan lesbinya yang wow , saya suka penokohan sisi liar para wanita kaya itu :suhu:

tulisan ini bener-bener bikin sex scene antar kalangan! sayang ga ada ngeseks sama hewannya :ha:


sori kalo komentarnya kepanjangan. saya lagi nyamar jadi juri nih sebenernya :haha:
 
iuhhh gelo ceritanya...... :jempol:


Ini tulisan orang yang lumayan sering baca novel deh kayaknya...bener ga sihhh?????????????????????bener kan ya?? beda soalnya. beda ini mahhhh. tau akumah.

asik bacanya, ga sekedar nyambung, tapi deskripsi latar ceritanya kerasa banget.

kosakatanya banyak, enak deh...
:hore:

terlepas dari cerita homo dan lesbinya yang wow , saya suka penokohan sisi liar para wanita kaya itu :suhu:

tulisan ini bener-bener bikin sex scene antar kalangan! sayang ga ada ngeseks sama hewannya :ha:


sori kalo komentarnya kepanjangan. saya lagi nyamar jadi juri nih sebenernya :haha:

Haiiii Kaka! makasi udah mampir. :panlok2:

Saya jarang baca buku, hanya sering bolak balik semprot aja.

Makasi udah nyempetin baca ya.
 
Haiiii Kaka! makasi udah mampir. :panlok2:

Saya jarang baca buku, hanya sering bolak balik semprot aja.

Makasi udah nyempetin baca ya.
sejarang-jarangnya orang baca.
kepekaan bahasa seseorang ga bisa bohong. iya dong. hehe.
ga perlu bacaan yang susah. cukup sering baca tulisan-tulisan yang selevel kosakata di atas.
:kangen:
 
Bimabet
*****
Anggi menyemprotkan parfum beraroma lembut ke lehernya. Dia merasa lebih segar setelah mandi. Dengan riang sambil bernyanyi kecil, dia melangkahkan kaki menuju kamar Biru Tua, mencari Emilia dan teman-temannya.

Tok tok tok

Tok tok tok

Tok tok tok


Anggi mengetok pintu ruangan tersebut beberapa kali tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Dia menggenggam gagang pintu mencoba membuka. Pintu tidak terkunci, Anggi kemudian masuk.

Ckleekk Krrriiieet

“Astaga! “ Anggi menghentikan langkah tiba-tiba. Telapak tangan kanan Anggi refleks mendekap dada kiri. Dia merasa jantung hampir melompat dari tubuhnya.

“Aaa.. apa yang terjadi?” Dia melihat sepasang mata penuh pancaran amarah menatap tajam ke arahnya. Seperti pancaran mata hewan buas hendak mengoyak mangsa. Dia adalah Rio. Tangan lelaki itu menggenggam pisau.

Anggi panik melihat meja makan yang berantakan. Dia bertambah panik setelah tahu A-Lima sudah terikat, bersandar di tembok tidak jauh dari sofa. Apalagi tubuh Rimelda dan Monica sudah setengah telanjang, Anggi menjadi semakin khawatir. Anggi menatap kelima perempuan itu. Anggi menyadari kalau A-Lima terlihat tenang meskipun dengan tubuh terikat. Sama seperti ketika bermain di ruang Kegembiraan.

“Apa ini game lain?” Anggi bertanya-tanya dalam hati.

Belum sempat Anggi berpikir lebih jauh. Tiba-tiba saja Rio berlari ke arah Anggi dan menubruk. Anggi tidak sempat menghindar. Dia hanya meronta ketika tubuhnya didekap kemudian di hempaskan ke atas sofa.

“Apa-apaan ini, Pak?!”

Rio menatap tajam nan liar sambil menggigit pisau. Kemudian menelikung kedua tangan Anggi ke belakang dan mengikatnya menjadi satu menggunakan kain serbet. Rio duduk di sofa di hadapan Anggi. Dia menatap lekat wajah Anggi, Anggi tidak berani beradu pandang, dia tertunduk ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat. Dia kembali merasa bermimpi. Meloncat dari mimpi buruk ke mimpi buruk lainnya.

Rio mengenali Anggi. Dia adalah wanita yang dikaguminya ketika berada di panggung. Dia menatap tubuh indah Anggi. Rambut hitam perempuan itu menutup wajahnya yang tertunduk. Rio mengetahui kalau Anggi ketakutan. Itu adalah hal yang diharapkannya. Dia bisa menyiksa perempuan itu.

Rio merasakan tubuh Anggi menggigil hebat. Lengan Rio memeluk bahu Anggi, menekan pipi Anggi dan memaksa wajahnya berpaling menghadap wajah Rio. Rio menggerakan kepala dengan cepat hendak mencium bibir Anggi.

“Pakk!! Lepaskan saya!!”

Anggi berontak menghindar tetapi tangan Rio menahan tubuhnya dengan sangat kuat. Anggi memejamkan mata pedih ketika merasakan lidah basah Rio memaksa menyusuri kelembutan pipi dan bibirnya. Dia mendengar deru nafas Rio yang menggebu penuh nafsu.

Anggi tidak mampu melawan ketika Rio mendesak Anggi ke pojok sofa. Anggi semakin ketakutan dan berusaha melepaskan tangan dari ikatan, tetapi usahanya sia-sia. Dia memejamkan mata meringis.

Tangan Rio mulai meremas lengan Anggi dari permukaan kemejanya. Kepala lelaki itu bergerak ke leher jenjang Anggi. Memberinya ciuman penuh nafsu.

“Mas!! Tolong lepasin sayaa!!” Anggi berteriak kemudian menangis histeris. Dia meronta-ronta, berusaha memberontak. Usahanya sia-sia. Rio malah menindihnya di sofa. Anggi merasakan tubuh berat Rio di atas tubuhnya.

“Bu Em!! Tolong saya Bu!! Hikz hikz hikz.” Bahu Anggi berguncang karena tangis.

Rio tidak peduli dan semakin liar. Bibir lelaki itu terbenam di leher Anggi. Menjilat, menggigit dan menyedot dengan kasar. Aroma parfum Anggi yang lembut membuat penisnya berkedut. Rio bersemangat. Tanganya liar menyusuri tengkuk perempuan itu. Rio terkekeh senang melihat ketakutan Anggi.

Mereka bergulat di atas sofa. Rio duduk di perut Anggi. Jemari tanganya perlahan melepas kancing kemeja perempuan yang masih berusah memberontak itu. Rambut Anggi acak-acakan karena kepalanya yang bergerak kesana-kemari.

“Lepasaiiin!!”

Anggi berteriak memaki, suaranya melengking pedih. Dia menyepakan kaki dan menggeliat, berharap dapat menjauhkan Rio dari tubuhnya, tetapi semua itu sia-sia belaka. Rio sudah berhasil melepaskan seluruh kancing bajunya. Menyibakan kemejanya ke samping sehingga payudara Anggi menyembul dalam balutan bra.

“Hahahaha hahahaha! Toket elo mantep banget”

Rio tertawa senang. Matanya melotot melihat bongkahan daging yang menyembul dari bra Anggi. Satu tangan Rio menekan leher depan Anggi sehingga gadis itu tidak bisa berontak dan satu tangan lagi lagi meremas payudara Anggi. Anggi berteriak marah dan memaki-maki histeris. Dia tidak rela payudaranya diremas dengan paksa dan gratis. Rio senang dan yang membuatnya semakin senang adalah penisnya mau menegang meskipun belum ke bentuk sempurna.

Rio semakin berani dan percaya diri. Dia menarik bra Anggi dengan paksa sehingga melorot. Anggi memaki merasakan sakit ketika bra itu menggesek kulitnya. Rio tidak peduli. Dia lebih fokus kepada payudara Anggi yang menyembul indah. Payudara Anggi mulus, kencang dan cukup besar. Putingnya kecil dan kemerahan. Mata Rio terbelalak menatapnya. Lelaki itu mencoba mengatur nafasnya yang tersengal karena gairah berkobar membara.

Rio menurunkan kepala menuju payudara Anggi. Bibirnya kemudian menyusuri permukaan daging lembut itu, memberi kecupan dan jilatan secara intens. Anggi memberontak. Hal itu malah membuat Rio semakin bernafsu. Kedua tangannya menahan dan meremas gumpalan daging payudara Anggi. Lidahnya terjulur, mengecup puting kemerahan milik gadis itu. Menyedot cukup lama.

“Maasss!! Tolong hentikan Mas!! Stooopp!!”

Anggi menangis semakin keras ketika merasakan lidah basah Rio menyentuh payudaranya. Anggi merasa begitu malu dan terhina. Bra Anggi sudah terjatuh dari sofa. Tangan Rio meremas payudaranya semakin kasar. Lelaki itu mulai mengarahkan jilatan ke pusar Anggi. Anggi menyepakan kaki dan menghentakan tubuh. Dia hendak melawan tetapi itu malah membuat cengkeraman tangan Rio berpindah ke pinggang. Menahan tubuh Anggi dengan kuat. Kata-kata memohon Anggi berubah menjadi makian.

“Kurang ajar. Cuuuuiiiihh!” Anggi meludahi Rio. Dia sangat marah dan frustasi. Rio terkekeh dan semakin bersemangat menggagahi Anggi. Tiba-tiba bayangan peristiwa buruk berkelebat di kepalanya.
....​
Pemaksaan Rio terhadap Anggi tidak lepas dari pengamatan A-Lima. Posisi mereka tidak begitu jauh, hanya saja sedikit terhalang sandaran sofa. Meskipun mereka tidak bisa melihat dengan detail tetapi mereka tahu yang terjadi melalui gerakan teriakan dan tangisan Anggi.

“Issshhh, berisik amat!! Si gay itu ngapain sih? Kagak bisa ngaceng tapi malah perkosa anak orang!”

“Mencoba mencari surga yang sebenarnya. Hihihi!” terdengar tawa Rimelda. Beberapa wanita juga ikut tertawa. Hening sejenak sebelum terdengar Monica nyeletuk.

“Sebenernya yang gay itu nomer empat. Bukan nomer lima.”

Pernyataan Monica yang terkesan serius membuat Emilia menatap tajam.

“Seinget gue juga gitu,” Davina menambahkan, “ hanya saja gue ngerasa heran kenapa yang croot nomer empat. Bukan si nomer lima.”

“I think, ada yang tidak beres!” Monica berbicara serius. Otaknya sudah tidak sekacau tadi. Dia cukup yakin, lelaki yang homo sebenarnya adalah si nomor 4. Dia heran kenapa lelaki itu bisa croot. Seorang gay tidak akan bisa ngaceng liat wanita. Prinsip itu masih melekat di otak Monica yang agak bodoh. Hal itulah yang mendasarinya berani membuat permainan ini. Monica hanya ingin bergembira. Pemerkosaan terhadap Anggi bukan bagian dari rencananya.

“Maksudmu si nomor lima bukan gay?” Diandra mengerutkan kening sambil mengggerakan bibir mungilnya. “Gue jadi mikir, jangan-jangan si nomer empat croot bukan karena liat wanita, tapi dia croot karena liat penis si nomor lima. Si nomer lima kan ngeluarin penis di sampingnya.

“Jadi hasilnya berubah karena duel? Seandainya tidak duel. Si nomor empat belum tentu bisa croot melihat Anggi hampir telanjang. Iya kan?” Emilai berteriak panik. “Karena kalian tidak menari dan telanjang, Si nomer lima tidak croot.”

Mereka berlima terdiam. Logika mereka mulai bisa menerima hal itu. Ada yang tidak beres dengan rencana yang di susun Monica dan Davina. Sesuatu yang diluar dugaan mereka.

“Jadi?! Si nomer lima emang beneran marah dan pengen bunuh kita ya?” Rimelda menyahut. “Gue pikir ini cuma setitingan dan salah satu pelakunya adalah kalian.”

“Dia pasti disiksa kelima gay itu!!” Wajah Emilia tegang. “ Sekarang, Anggi dalam bahaya!! Kita harus lakuin sesuatu!”

“Anggi? Peduli amat ama dia, entar lagi paling dia merintih keenakan. Hihihi!! “ Rimelda terkikik senang. Emilia menggerutu jengkel.

“Udah, elo tenang aja, Em. Gue malah pengen liat apa yang bakal terjadi. Habis ini, elo cari aja asisten baru!”

Emilia tidak peduli ucapan Rimelda. Dia mendengus dan berteriak.

“Rioooo!!! Tolong hentikan, kita selesaikan ini baik-baik!”

Rio sama sekali tidak merespon. Tangis Anggi semakin menjadi. Ucapan Emilia membuat Anggi mempunyai semangat untuk memberontak. Anggi mengamuk dan berusaha mengigit Rio.

“Rio gue tau yang terjadi ama elo. Gue minta maaf. Tolong lepasin Anggi.” Emilia memohon.

“Riiiooo!”

“Riiiooo!!”

Ucapan Emilia yang berulang-ulang membuat Rio menghentikan kegiatanya di atas tubuh Anggi. Dia beranjak ke arah A-Lima dan tersenyum sinis kepada Emilia.

“Sudah terlambat!” Lelaki itu mendengus pedih. “ Yang bakal terjadi ama dia. Tidak ada apa-apanya dibandingin yang gue alamin!!”

“Itu salah elo yang gak bisa croot on time! ” Terdengar ucapan sinis Davina. “ Elo pengecut dan emang pantes ama kelima lelaki itu!! Itu sudah sesuai ama peraturan di game.”

“Elo hanya bisa maksa!! Elo memang laki tapi kaga gentle! Cuiih!! Gue muak ama laki macam elo!”

Rio marah, kakinya terangkat hendak menedang Davina, hanya saja hal itu diurungkannya.

“Gue yakin. Elo belon ngaceng ampe sekarang!! Iya kan, Rio? ” Ucapan itu keluar dari bibir Diandra.

Rio terhenyak kaget. Dia merasa seperti disambar geledek mendengar ucapan Diandra. Ucapan itu memukul telak nuraninya, tetapi dia mengakui kebenarnya. Ketika dia menindih dan menggagahi tubuh Anggi, penisnya hanya beberapa kali berkedut. Mengeras sebentar kemudian lembek lagi. Tidak mau berdiri.

Rio melotot marah kepada Diandra. Dia kembali merasa perih di anusnya ketika pertama kali dimasuki kemaluan pria beberapa jam yang lalu. Dia ingat bagaimana sakitnya perut berkontaksi ketika benda keras milik kelima lelaki itu bergiliran masuk ke lubang anusnya yang sempit. Dia ingat dengan jelas baimana jijiknya dia ketika dipaksa mengulum penis kelima lelaki itu. Dia masih merasakan bekas liur yang menjijikan ketika kelima lelaki itu mengigit dan menjilat sekujur tubuhnya. Tawa mereka ketika mengantri menjilat penisnya masih terputar di kepala Rio.

“Rio! Tolong hentikan!!” Emilia berteriak, “Kalau Elo mau! Gue bisa gantiin Anggi. Gue yang akan bercinta ama, Elo.”

Tawaran yang sangat mengiurkan. Lelaki normal pasti mau melakukan itu. Hanya saja, masalah yang di hadapi Rio berbeda. Penisnya tidak bisa berdiri. Kalau tidak, dia pasti sudah bercinta dengan Emilia dari tadi. Bukan hanya dengan emilia, tapi dengan mereka berlima.

“Gue mau duit!” Ujar Rio.

*******
Beberapa jam lalu, Di Ruang Kegembiraan ketika perlombaan.

Rio duduk di sebuah sofa berdua dengan lelaki yang tidak di kenalnya. Di depan Rio duduk dua orang wanita yang menurut Rio ‘Super Cantik’. Dia adalah Diandra dan Anggi. Baru melihat mereka saja, penis Rio langsung berkedut.

Ctak Ctak

Rio kaget. Itu adalah suara lelaki di sampingnya. Lelaki itu membunyikan bibir sambil mengedipkan mata menggodanya. Dia dapat melihat lelaki itu mengocok penis. Saat itulah penyakit grogi Rio muncul. Dia merasa risih melihat penis lelaki lain. Meskipun begitu dia berusaha fokus kepada dua wanita di depannya.

Hanya saja, Rio heran ketika kedua wanita di depannya tidak melakukan aktifitas apapun untuk menggodanya. Hal itu terjadi selama lima belas menit. Gairah Rio naik turun. Satu hal yang membuatnya semakin risih adalah lelaki di sampingnya tidak melepaskan pandangan dari penis Rio. Lidah lelaki itu terjulur seperti menjilat sesuatu.

Gairah Rio sempat bangkit ketika melihat Anggi membuka baju. Tetapi itu sudah terlambat. Lelaki di sebelahnya memuncratkan sperma mengenai wajah Diandra.

Mulut Rio ternganga. Dia panik ketika melihat Anggi pingsan, tetapi dia lebih panik lagi setelah tahu arti kata ‘pecundang akan dipersembahkan kepada lima lelaki itu’.
..​
Senin, 22:00

Ruang kegembiraan gelap. Hanya satu lampu yang menyorot ke arah panggung yaitu ke arah tempat tidur yang dihuni oleh enam lelaki. Lima orang sudah telanjang bulat dan satu orang mengenakan pakaian olahraga.

“Gue bukan gay. Tolong lepasin gue!” Mata Rio melotot tajam. Kepalanya bergerak panik. Menatap satu persatu lima lelaki yang mengelilinginya. Berharap pengertian dari mereka.

“Tolong kalian dengerin Gue! Janji mereka kagak kaya gini. “ Nafas Rio terengah-engah. “Biarkan gue bicara ama mereka. Ini salah paham!!” Raut wajah ketakutan Rio membuat lima lelaki yang mengelilinginya tertawa. Tangan mereka bergerilia di sekujur tubuh Rio.

“Mungkin dia lagi berimajinasi diperkosa. Biar malam kita menjadi lebih bergairah. Hekhekhek.” Suara serak dari lelaki botak dengan otot kekar terdengar menakutkan di telinga Rio.

“Gue Bukan Gay!! ” Rio berteriak frustasi penuh amarah. Sorot matanya menentang mereka.

BUUUUKKKS

Sebuah pukulan menghujam perut Rio, dia merasa mual. Seorang lelaki duduk di dadanya dan menahan kepala Rio. Rio meronta frustasi. Dia dapat merasakan tangan-tangan bergerilia melepaskan pakaian yang dikenakanya sehingga dia telanjang bulat.

“LEPASIN GUE, NJIING!!!”

Rio berteriak marah dan dibalas suara gelak tawa dari kelima lelaki itu.

“Mending kita ikat aja. Heheh.”

Mereka mengikat tangan Rio dengan kain. Rio masih bisa meronta-ronta. Satu orang lelaki bertubuh gempal menahan tangannya di atas kepala. Rio menggeram marah. Dia juga merasakan dua tangan mencekal pergelangan kakinya hingga terasa perih. Kemudian kakinya dibentangkan sehingga mengangkang lebar.

Rio tidak berdaya ketika merasakan lengan berbulu menelusuri kaki dan menjalar ke pahanya. Dia melotot tidak percaya. Suaranya tercekat seolah ada benda besar tersangkut di tenggorokannya. Dia diperkosa oleh lelaki. Suatu yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi dalam hidupnya.

Belain jemari tangan juga menyurusi dada dan bahkan sekujur tubuhnya. Rio semakin jijik ketika merasakan sesuatu yang basah menyentuh putingnya. Itu adalah lidah. Para gay itu mulai menyerangnya menggunakan lidah, mengecup tubuh Rio sehingga menyisakan warna kemerahan.

Ranjang lembut tempatnya telentang terasa berputar. Otaknya masih belum mampu menerima yang terjadi. Dia memejamkan mata kuat, berharap itu hanya mimpi. Matanya yang terpejam membuat indera yang lain peka. Dia mendengar desis dan tawa kecil dari para lelaki itu ketika mengagumi tubuh Rio.

“Bangsat!!”

Rio meronta kaget ketika merasakan seseorang meremas testis kemudian membelai penisnya yang tidak berdiri. Penis Rio kemudian dikocok. Kepala penisnya dibelai dengan pelan dan lembut.

Rio memejamkan mata jijik ketika seorang mulai mencium leher dan telinganya. Rio menghindar dan meludah. Muak! Dia benar-benar muak.

Tuk Tuk

Seorang menyentil testis Rio sambil tertawa. Rio mengaduh karena merasakan enek sampai ke hulu hatinya. Rio tidak mampu melawan ketika seorang menahan kepalanya dan mulai melumat bibirnya. Rio mengunci bibirnya dengan kuat sambil memejamkan mata. Lelaki yang memperkosa wajahnya tidak menyerah, dia memainkan lidah di seluruh wajah Rio. Rio merasakan wajahnya basah dan bau ludah. Dia semakin jijik. Mual hendak muntah.

Rio kemudian merasakan sesuatu lembut yang menyentuh ujung penisnya yang sedang di kocok. Benda itu memutar di penisnya yang belum tegang. Lelaki yang menjilat wajahnya sudah menyingkir. Terdengar gelak tawa beberapa lelaki yang menatap selangkangan Rio. Rio penasaran dan menaikan kepala melihat ke arah selangkanganya.

“Astaga!!”

Rio shock. Dia melihat seorang lelaki berperut buncit bersimpuh di depan penisnya. Penis lelaki itu sudah tegang. Ujungnya di sentuhkan dengan ujung penis Rio.

“Ayoo adik kecil. Bangun bangun bangun!”

“Ayo bangun. Jangan malu malu!”

“Hahahahahhaa.”

“Sshhhh Akkhhhhhh.” Lelaki itu semakin bersemangat menggosokan penis Rio. Aneh bin ajaib, penis Rio menjadi berkedut.

“Tidak! Tidak! Tidak!” Rio menjerit panik dalam hati. Gosokan penis lelaki itu membuat penis Rio menegang. Deia merasakan geli bersensasi. Rio malu setengah mati tetapi penisnya bereaksi lain. Penisnya semakin tegang, lelaki yang mengelilinginya bersorak kegirangan.
Lelaki keturunan tionghoa itu menggenggam penis Rio. Beberapa penis mulai ikut join berkenalan dengan penis Rio. Mengesek-gesek sambil tertawa.

“Hahahahah. Malu tapi mau, nih!”

“Lama-lama pasti ketagihan!”

Rio hanya bisa pasrah. Perlahan dia merasakan penisnya mulai dijilat. Dua orang melakukan itu, satu menjilat penisnya dan satu lagi menjilat testisnya. Suara tawa gembira mereka menusuk hati Rio, memberikan bekas luka yang sulit ditutup. Pikirannya melayang jauh.
Rio juga merasakan seseorang duduk di penisnya, memaksa penisnya masuk ke dalam lubang anus orang tersebut. Entah beberapa lama berlalu ketika Rio mulai merasakan seseorang membalikan tubuhnya sehingga Rio menjadi tidur telungkup.

Plakk Plakkk

Suara jemari tangan beradu dengan bokong Rio.

“Bokong kapten amerika nihh!! Mantap!”

“Isshhh! Gemes gue.”

Rio dapat merasakan remasan gemas dan cakaran penuh nafsu di bokongnya. Tidak berapa lama, seorang membuka belahan pantatnya. Ada sesuatu yang licin dioleskan ke permukaan anus Rio kemudian seseorang memasukan jari, menusuk anusnya, anus Rio menyempit. Mencoba menolak benda yang memaksa masuk tersebut.

“Dia benar-benar perawan! Hahahah.”

Rio menyerah pasrah ketika merasakan benda hangat menyentuh lubang pantatnya. Rio merasa lemah dan lelah. Dia ingin tertidur dan bangun ketika mereka sudah tidak ada di sampingnya. Tetapi itu tidak terjadi.

“Akkkkkhhh Bangsaaatt kalian!!!”

Rio meringis dan meronta kesakitan. Anusnya terasa begitu perih ketika penis yang besar memasukinya. Terdengar suara tawa begitu keras.
“Akhhhh! Sempit bangat. Shhhaaattt!”

Tubuh Rio bergetar hebat ketika merasakan anusnya semakin disodok dalam. Di berusaha mati-matin agar anusnya tidak terbuka tetapi dia tidak mampu menahannya.

Springbed mulai bergoyang keras. Rio merasakan kram sampai ke perutnya seiring tusukan penis lelaki itu di anusnya. Rio kehilangan kesadaran tetapi hanya sebentar. Tubuhnya kemudian dibolak balik. Ada yang menjilat sekujur tubuhnya. Ada yang membelai penisnya. Ada yang mengemut itu. Mereka juga begitu suka menggigit, bahkan puting Rio tidak lepas dari gigitan mereka.

Rio seolah berada di neraka lebih dari dua jam.

******

Selasa, 03:00

Rio menghempaskan tubuh di sofa. Dia menatap Anggi yang mulai berusaha bangkit. Tangis perempuan itu sudah tidak terdengar. Hanya bahunya saja yang sedikit berguncang. Rio mengusap kepalanya yang pening. Sekarang dia bingung bagaimana caranya melampiaskan amarah.

“Gimana kalo gue kagak bisa ngaceng selamanya?”

“Arrrrggghhhhtt!” Rio menjambak rambutnya. Tangannya mengepal memukul sofa beberapa kali sehingga mengeluarkan suara bergedebuk. Dia kemudian berdiri karena merasa gerah dan haus. Mengambil minuman di kulkas dan meneguknya.

Gluuuck gllukk

Dia meneguk langsung, tidak dalam jumlah banyak, tetapi cukup mempengaruhi otaknya. Beberapa menit kemudian, dia merasa lebih rileks. Dia sengaja tidak menggubris ajakan Emilia tentang tawaran bercinta mengantikan Anggi. Dia takut merasa super duper malu seandainya penisnya tidak bisa berdiri ketika diservis perempuan itu.

Dia kembali meneguk minuman sambil berpikir. Tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalanya. Rio tertawa tebahak-bahak. Dia bangkit dari tempat duduk dengan semangat tinggi. Menatap tajam ke arah Emilia.

“Oke! Gue kagak bakal perkosa dia.” Rio menunjuk Anggi. “Tapi sebagai gantinya. Elo harus bercinta ama dia! Kalian berdua harus bercinta dengan hot! Hahahahahahaa. ” Rio menunjuk Emilia.

“Tadi gue bercinta ama laki. Seakarang elo musti bercinta ama wanita. Biar sama-sama malu dan menderita. Hahahahahah!”

Magic mushroom yang dikonsumsi mengacaukan pikiran Rio. Rasa tertekan membuat logikanya tidak berjalan baik. Dia mulai bepikir, perempuan bercinta dengan sesama jenis sama hinanya dengan lelaki yang bercinta dengan sesama jenis.

“Elo setuju kagak? Kalau kagak. Dia bakal ngentot ama gue.” Rio memandang Emila .”Hahahahah!”

Anggi mengerutkan kening. Dia semakin shock dan malu. Dia berharap Emilia tidak mau melakukan itu. Belum tuntas kepedihanya karena dipaksa Rio, sekarang lelaki itu mengeluarkan ide yang gila lagi. Ide aneh dan sangat memalukan.

“Gue setuju!”

Jawaban Emilia membuat Anggi kaget. Rio tertawa kencang.

“Sekarang lepasin gue!”

Rio melepaskan ikatan di kaki Emilia, sementara itu ikatan di tangannya tetap dibiarkan. Tangan lelaki itu mencekal lengan Emilia, kemudian mendorong tubuh perempuan itu agar duduk di dekat Anggi. Anggi merasa risih dan sangat malu karena bagian dadanya masi terekspos.

“Saya tidak punya pilihan Nggi.” Ujar Emilia. “ Sekarang kamu yang nentuin, kamu pilih dia ato saya?”

Anggi tidak menjawab. Dia malah menangis terisak. Dia mengucapkan kata maaf berkali-kali kepada Emilia. Dia sangat malu.

“Ayo cepetan. Gue mulai bosen! Gak usah pake drama-dramaan!” Rio membentak.

Emilia duduk merapat ke arah. Anggi merasa lebih rileks. Seandainya tanganya tidak terikat, dia pasti akan memeluk Emilia erat-erat. Menumpahkan semua kepedihan dan kegundahan hatinya. Sekarang mereka berdua duduk di sofa dengan tangan masing-masing terikat kebelakang. Hal itu membuat gerakan mereka terbatas.

Mereka saling pandang mencoba membaca pikiran melalui tatapan mata, kemudian wajah Emilia mendekat perlahan. Anggi tidak menghindar, hanya memejamkan mata pasrah. Beberapa detik kemudian, dia merasakan bibir lembut Emilia menyentuh bibirnya. Bibir Emilia mulai menyusuri permukaan bibir Anggi. Mengecup dan memberi rasa hangat. Anggi menyambutnya. Kemudian Emilia menjulurkan lidah menyapu bibir Anggi, memaksa Anggi membuka mulut. Lidah mereka bertemu, saling mengulum.

"Hmmmp"

Darah Anggi berdesir lembut. Anggi ingin menumpaskan emosi dan ketakutan sepanjang malam ini melalui ciuman. Dia membalas ciuman Emilia tidak kalah panasnya. Ciuman mereka semakin dalam dan bergairah. Mereka saling mengecap rasa. Tubuh mereka menempel semakin ketat. Kepala bergerak liar mengimbangi. Deru nafas berat dan menggebu-gebu.

Tidak berapa lama Emilia melepaskan ciuman. Pandangan matanya sayu. Dia mencoba menenangkan nafasnya yang terengah. Posisi tangan yang terikat kebelakang membuatnya merasa tidak nyaman.

Emilia menuntun Anggi memperbaiki posisi. Anggi yang masih bertelanjang dada dengan payudara terekspos duduk bersandar di sofa. Emilia berada di hadapanya berdiri agak membungkuk. Kepala Emilia kemudian turun dan terbenam di leher Anggi. Memberi jilatan lembut dan basah. Tubuh Anggi bergetar nikmat kemudian dia menggelinjang, mendesah indah sambil mengangkat kepalanya, memberi ruang lebih dan keleluasaan kepada Emilia untuk mengeksplorasi.

“Shhhhhh Bu...!”

Anggi mendesah. Jilatan Emilia begitu lembut membuai, sangat berbeda dengan jilatan Rio yang kasar. Emilia begitu lihai menggerakan bibir dan lidah. Mengeksplorasi dan membelai titik-titik sensitif di kulit lembut Anggi. Anggi mengerang manja.

“Ahhh.. sshhhh! Geli Bu!”

Anggi mendesah dan melengkungkan punggung. Tubuhnya bergetar, dia merasakan geli teramat sangat ketika ujung lidah Emilia menyentuh puting susunya. Ada percikan listrik lembut nan nikmat tak terungkap yang mengalir ke seluruh tubuh Anggi. Anggi memejamkan mata kuat sambil mengatur nafasnya yang menderu tersendat. Aliran kenikmatan yang semakin menggelora membuat Anggi tidak sadar melebarkan paha karena merasakan satu titik kenikmatan memuncak di sana.

Anggi mencoba menguasai diri. Dia menunduk hendak melihat apa yang dilakukan Emilia terhadap tubuhnya. Emilia sudah bersimpuh di lantai. Anggi dapat melihat rambut hitam Emilia yang acak-acakan di atas dadanya. Kepala Emilia bergerak berputar naik turun ketika bibirnya sibuk menjilat puting payudara Anggi.

“Hhhhmmmpppp!” Anggi mengigit bibir sambil mendesah tertahan. Dia merasakan bibir Emilia bermain di perut dan pusarnya. Rambut Emilia mengesek payudara Anggi sehingga Anggi melengkungkan tubuh beberapa kali.

Emilia menghentikan ciumanya sambil bergerak sedikit menjauh. Dia menatap Anggi kemudian tersenyum . Anggi membalasnya dengan senyum tersipu malu.

Mereka kembali mengatur posisi. Emilia tidur telentang di atas sofa. Sebuah bantal diletakan di bawah kepalanya. Dia mengangkang, kaki kanan terjuntai ke lantai sementara kaki kiri terangkat tinggi ke sandaran sofa. Emilia menuntun dan memberi Anggi petunjuk. Menyuruh Anggi duduk di ruang antara kedua kakinya. Anggi menurut dan duduk menghadap Emilia.

“Sekarang giliranmu!” Emilia berbisik. “ Belai saya dengan lembut!”

Raut wajah Anggi menunjukan rasa bingung dan canggung.

“Buka kemeja saya!”

“Caranya, Bu?!” Anggi sadar dia tidak mungkin menggunakan tanganya yang terikat.

“Pakai bibirmu!”

Anggi memandang Emilia ragu. Tetapi sorot mata Emilia yang tenang membuat kepercayaan diri Anggi naik.

“Lakukanlah!” Ucapan Emilia memberikan Anggi semangat. Anggi merendahkan tubuh kemudian mencium leher putih Emilia. Dia merasakan kulit itu begitu licin dan lembut. Dia mencium aroma parfum Emilia yang memabukan.

Bibirnya bergerak semakin ke bawah mencari kancing kemeja Emilia yang paling atas. Dia mencoba melepaskan dari lubangnya dengan menggigit. Tidak semudah yang dibayangkan Anggi. Keningnya beradu beberapa kali dengan dagu Emilia ketika Anggi menyeruduk dengan tidak sabar. Hal itu membuat Emilia tertawa mendesis.

Kancing pertama terbuka dan Anggi lega bukan main. Dia mengangkat wajah sambil tersenyum bangga kepada Emilia. Emilia menghadiahinya tawa manis memabukan. Deretan gigi putih yang dibingkai bibir kemerahan terlihat sempurna.

Kancing nomor dua kemeja Emilia terletak tepat di atas tonjolan payudara perempuan itu. Ketika Anggi menggunakan bibir, otomatis kepalanya menekan. Anggi merasakan bantalan empuk payudara Emilia yang masih terbungkus menyentuh pipinya. Ketika kancing nomor dua terbuka, Anggi dapat melihat belahan payudara Emilia yang begitu putih. Menonjol indah dalam balutan bra lembut berwarna biru muda.

Emilia beberapa kali menggeliat kegelian. Bibir perempuan itu mendesah renyah. Pandanganya tidak lepas dari kepala Anggi. Dia menyukai gerakan kepala perempuan itu ketika menekan dadanya. Bahkan dia sengaja bergerak menghidar sehingga menyusahkan Anggi membuka kancing kemejanya. Dia ingin lebih lama menikmati sensasi itu.

Dug Dug Dug

Debaran jantung Anggi semakin keras. Dia merasa tergoda untuk mengoda. Ada tantangan yang luar biasa dengan perkerjaannya yang satu ini. Pekerjaan yang awalnya memalukan menjadi menatang. Reaksi riang yang ditunjukan Emilia membuat dia lupa kondisinya saat ini. Lupa A-Lima dan lupa Rio.

Sebelum melanjutkan aksi di kancing nomor tiga. Anggi sengaja mengecup belahan dada Emilia. Anggi menjilat dan menyedot bongkahan kenyal yang sedikit menyembul dari bra Emilia, meninggalkan bekas kemerahan dan basah. Emilia menggelinjang.

Trik untuk membuka kancing sudah dikuasai Anggi sehingga tidak perlu waktu lama lagi untuk membuka seluruh kancing kemeja Emilia. Tantangan berikutnya cukup susah. Dia harus menyeruduk dan menggesek-gesekan kepala di permukaan perut Emilia untuk menyibakan baju perempuan itu, berusaha menghempaskan kemeja ke kiri dan ke kanan.

Payudara Emilia yang masih tertutup bra biru muda terpampang indah di bawah terang cahaya lampu. Anggi kebingungan saat menyadari kait bra Emilia berada di punggung perempuan itu. Emilia menyuruh Anggi mengigit bra yang dikenakannya dan menarik ke bawah. Anggi melakukannya, Emilia ikut menggerakan tubuh untuk melancarkan prosesi pelepasan bra. Akhirnya berkat kerja keras bos dan anak buahnya, bra Emilia sukses melorot sampai ke perut.

Payudara Emilia begitu indah. Membulat kencang dengan puting berwarna pink. Anggi sampai melirik ke arah payudaranya sendiri. Dia membandingkan ukuran kedua payudara itu. Besarnya hampir sama, hanya saja warna payudara Emilia jauh lebih putih.

“Nggi, tuker posisi ya! Tangan saya udah pegel karena ketindih.”

Anggi menurut. Dia rebah mengangkang di sofa. Emilia kemudian menindih tubuhnya. Mereka berciuman lagi. Anggi merasa darahnya berdesir hebat. Ada sensasi nikmat nan geli luar biasa ketika payudaranya ditindih payudara Emilia. Kedua payudara kencang dan lembut itu saling bersentuhan dan saling menekan.

Ciuman mereka kembali rakus. Emilia sengaja menggerakan tubuh dan mengesekan payudaranya di atas payudara Anggi. Kedua benda kenyal lembut itu saling merangsang. Payudaranya mengeras, begitu juga payudara Emilia. Mereka mengeluarkan rintih kenikmatan. Desis liar yang sambung menyambung dengan suara ciuman.

Gerakan liar penuh gairah membara membuat mereka turun dari sofa dan bergulat di lantai. Ruang sempit antara sofa dan meja kaca mereka manfaatkan sebaik mungkin. Mereka saling mengecup dan membelai. Kadang Anggi yang menyedot dan mencium payudara Emilia dan tidak berapa lama berganti Emilia yang menyedot payudara Anggi. Desahan mereka semakin sering terdengar.

Tubuh mereka kelelahan, nafas mereka tersengal. Mereka memutuskan menghentikan sejenak kegiatan yang mengairahkan itu. Tubuh keduanya sudah bersimbah keringat. Mereka duduk di lantai dan bersandar di sofa. Saling tatap kemudian tertawa. Mereka melupakan orang yang ada di sekitar mereka untuk sesaat.

Tidak berapa lama, Emilia kembali menyerang. Dia mengecup bibir Anggi. Perempuan itu kembali memberi perintah kepada Anggi untuk duduk di sofa, semetara itu Emila bersimpuh di lantai. Kepalanya menghadap perut Anggi. Dia mencium dan menjilatnya. Anggi menggelinjang.

Emilia berusaha melepas kait celana jeans Anggi menggunakan bibirnya. Anggi menahan nafas agar perutnya mengecil dan jeansnya menjadi longgar. Emilia dengan susah payah berhasil melepas kait walaupun perut Anggi beberapa kali kena gigitanya. Setelah berhasil melepas kait, Emilia mengigit anak resleting dan menarik turun.

Emilia menyuruh Anggi berdiri. Perempuan itu juga berdiri kemudian menaikan kaki, menjepit pinggiran atas jeans Anggi dengan kaki dan berusaha menarik turun. Sangat susah melakukan itu dengan posisi berdiri, Emilia hampir terjatuh.

Emilia memutuskan duduk di meja kaca tidak jauh dari sofa, kemudian menaikan kakinya dan menekan jeans Anggi supaya turun. Usahanya tidak sia-sia. Jeans Anggi melorot dengan pelan. Dengan perjuangan yang cukup keras dan menghabiskan cukup banyak fokus dan tenaga, Emilia dan Anggi berhasil melepas jeans tersebut. Anggi merasa malu ketika Emilia menatap selangkanganya yang ditutupi celana dalam.
Emilia berdiri dan menyuruh Anggi duduk dan menarik celana yang dipakainya. Anggi tidak perlu bersusah payah seperti Emilia karena celana Emilia menggunakan elastis dan juga longgar. Tidak hanya sampai di situ, Emilia juga melepaskan celana dalamnya di bantu kaki Anggi.

Tubuh Emilia akan telanjang bulat seandainya bra di perut dan kemeja yang tersangkut di lenganya bisa di lepas. Namun kondisi tubuhnya saat ini sudah cukup memperlihatkan bagian seksi yang biasanya disembunyikan pakaian mahalnya. Lekukan pinggang Emilia terlihat sangat ramping. Perutnya rata. Pahanya mulus, putih, dan kencang. Bokongnya yang kenyal bergertar ketika dia menggerakan tubuh.

Tubuh Emilia tidak lepas dari tatapan bola mata Anggi yang berbinar-binar. Anggi pernah bermimpi memiliki tubuh seindah dan secantik itu. Anggi merasa malu dan jengah. Wajahnya bersemu merah melihat gundukan vagina Emilia yang di tutupi rambut yang tercukur rapi.

Emila tahu apa yang dirasakan Anggi. Dia mendekati perempuan itu dan bersimpuh di depannya. Dengan nakal Emilia menggigit pinggiran atas celana dalam Anggi kemudin menarik kebawah. Anggi yang merasa malu merapatkan kaki sehingga celana dalamnya tersangkut di paha. Kepala Emilia mendesak memaksa maju, membuat Anggi membuka paha. Emilia tertawa kemudian menjilat paha Anggi sehingga Anggi merasakan geli luar biasa. Kemudian Emilia berdiri, menaikan kaki dan menggunakan ujung kaki menjepit, menarik ke bawah untuk melepaskan celana dalam Anggi.

Anggi merasa risih dan salah tingkah ketika Emilia menatapnya lekat. Mata Emilia fokus menatap gundukan vagina di selangkangan Anggi yang tertutup rambut lebat. Anggi merapatkan kedua kakinya. Emilia kemudian merangsek maju dengan nafas memburu. Dia mencium bibir Anggi. Kemudian membungkukan tubuh menciumi payudara Anggi. Nafsu Anggi kembali bangkit .

Anggi pasrah ketika Emilia mendorong tubuhnya kembali duduk di sofa. Emilia bersimpuh di lantai dan kepalanya terbenam di selangkangan Anggi.

“Ahhhh...!”

Anggi memekik tertahan. Dia menggeliat dengan tubuh tersentak ketika Emilia menjilat gundukan vaginanya. Pahanya menegang dan hampir menjepit kepala Emilia. Emilia menyukai respon Anggi. Lidah Emilia kemudian bermain menyusuri permukaan lubang vagina Anggi. Membuat Anggi mengeliat dan mendesah histeris. Gadis itu beberapa kali memejamkan mata dan membenturkan kepala di sandaran sofa karena tidak tahan dengan serbuan gairah yang bertubi-tubi.

“Buu... udah..! Shhhhhhh... Accchhhh!”

“Bu... buu.. janggnnn... ahhhh!”

Mendengar desahan Anggi, Emilia semakin senang. Gairahnya juga ikut melonjak-lonjak. Dengan ujung lidah, dia memainkan klitoris Anggi. Kaki Anggi menghentak memukul lantai, wajahnya mengernyit sambil menengadah menahan serangan kenikmatan yang bertubi-tubi. Jemari tanganya meremas kulit sofa yang didudukinya. Emilia terus menyeruduk mendesak, kaki Anggi sampai naik ke bahu dan menjepit leher Emilia.

Emilia semakin menyerbu. Tubuh Anggi rebah di sofa dengan nafas terengah-engah. Emilia semakin ganas menjilati selangkanganya. Desir kenikmatan semakin cepat menyerang tubuh Anggi. Nafasnya terengah-engah. Dia menggeliat liar.

“Arrrrrrgggggghhhhh.... Buuuuuuuuu!”

Anggi mendesah panjang. Matanya terpejam. Tubuhnya menghentak dengan punggung melengkung. Dia merasakan kenikmatan luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya bersatu dengan keindahan dan perasaan nyaman tiada tara. Anggi orgasme.

Emilia tersenyum. Dia kemudian menarik kepalanya dari selangkangan Anggi.

*******
Rio yang duduk di kursi dekat meja makan memperhatikan kegiatan Emilia dan Anggi dengan tubuh tegang. Dia sama sekali tidak membayangkan akan menyaksikan tontonan seperti itu. Rio menahan nafas. Adegan di depannya sungguh di luar dugaan. Penisnya yang sudah dikira mati rasa mulai menunjukan geliat positif.

Bagi Rio, kedua perempuan itu melakukan tugasnya dengan sangat baik. Kedua perempuan yang bagai bidadari di mata Rio itu berciuman dan bergumul indah. Membuat Rio mengelus-elus penisnya. Bentuk indah payudara mereka membuat Rio begitu tegang.

“Daripa elo kocok sendiri. Mending gue kocokin!”

“Don’t forget. Dia gay!”

Rio yang sedang asik mengelus penis sambil melihat tontonan indah tersentak mendengar suara dari arah tembok yang di susul gelak tawa terbahak-bahak. Rio merasa terganggu, dia menggeram emosi.

“Dasar mulut busuk!”

Rio mengumpat marah. Dia mengumpulkan kain serbet untuk mengikat dan menyumpal mulut mereka. Rimelda, Monica, dan Davina sudah diikat dan disumpal mulutnya. Hanya saja ketika Rio melihat Diandra yang memejamkan mata seperti tertidur, muncul ide lain di kepalanya.
Rio melepaskan ikatan di kaki Diandra dengan kasar. Diandra tersentak membuka mata. Rio kemudian menyeret perempuan itu ke meja makan. Rio menatap lekat wajah cantik di depanya. Bibir mungil Diandra yang kemerahan begitu menggodanya. Diandra mengerutkan alis, menatap tajam mata Rio melalui kacamata kotaknya.

“Elo mau gue pake tangan ato pake mulut?” Diandra berucap tenang.“ Kalo pake tangan, lepasin iketan di tangan gue!”

Rio mengerutkan alis kaget ketika isi kepalanya terbaca oleh Diandra. Perempuan itu begitu blak-blakan. Dia melirik bibir Diandra yang tipis dan kecil mengemaskan. Bentuk bibir yang meruncing ketika berbicara sepertinya penanda watak gadis itu.

“Elo kagak mau buka celana?!” Alis Diandra naik. Sorot matanya begitu tajam di balik kacamatanya. Sama sekali tidak ada senyum di wajah gadis ini.

Rio jengah dan merasa tertantang. Dia berdiri dan memelorotkan celana sampai kelutut. Dia kembali duduk di kursi. Diandra tersenyum tipis sambil menatap Rio. Gadis itu kemudian bersimpuh di depan selangkangan Rio.

“Gue jilat lima menit. Kalo penni elo kagak mau berdiri, mending elo potong aja.”

Detak jantung Rio memacu keras. Dia hampir melupakan adegan Emilia dan Anggi, dia kembali mengarahkan pandanganya ke sofa. Kedua wanita itu dilihatnya saling bantu buka celana.

“Auuuwwwccchhh!”

Rio berteriak tertahan ketika penisnya tersentuh ujung lidah Diandra. Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Penisnya yang setengah tegang mulai dirasakanya geli-geli nikmat. Dia menunduk menatap Diandra ketika gadis itu menengadah menjilat testisnya.

Bibir munggil basah milik Diandra menelusuri permukaan penis Rio. Penis itu semakin menegang. Tangan Lelaki itu mengelus rambut lurus sebahu Diandra yang menggelitik pahanya, sementara mata Rio menatap ke arah Anggi dan Emilia yang sedang saling sentuh di sofa.

“Esssshhh aaaahhhh! Anjiing nikmat bangeeet!”

Rio mendesah. Penisnya sudah masuk ke rongga basah mulut Diandra. Nafas Rio sampai tersengal. Dia kemudian bersandar di kursi agar bisa lebih menikmati sensasi yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Kaki Rio beberapa kali menegang dan menjepit kepala Diandra ketika gadis itu dengan sengaja memberi gigitan lembut di penis Rio.

Ploop

Kepala Diandra terangkat, penis Rio terlepas dari mulutnya. Kenikmatan yang mendadak hilang dari penisnya membuat Rio menatap ke arah selangkanya. Matanya beradu pandang dengan mata Diandra.

“Ternyata elo noob! Elo belum pernah di blow jod sebelumnya, kan?”

Rio tidak menjawab. Dia mengakui kebenaran ucapan Diandra. Cara gadis itu berbicara membuat Rio tidak tersinggung, berbeda dengan ucapan dari ketiga teman Diandra yang masih terikat bersandar di tembok.

“Elo enggak kasin liat tangan gue keiket gini? Lepasin dong. Kasian jemari lentik gue enggak kepake!”

Tatapan mata Diandra begitu menggoda. Rio seperti terhipnotis. Keraguannya hanya terbayang sedetik di kepalanya, kemudian dengan cepat lelaki itu berdiri kemudian melepas ikatan di tangan Diandra.

Diandra mendorong Rio bersandar di meja makan. Gadis itu kemudian duduk di kursi menghadap ke arah Rio. Jemari lentiknya menggegam penis Rio dan mulai mengocok pelan. Tidak berapa lama kepalanya kembali turun mengulum penis Rio. Rio mendesah tertahan. Dia meremas pinggiran meja makan tempatnya bersandar. Nikmat yang menjalar ke tubuhnya membuat otot di tubuhnya tegang. Penisnya mulai berkedut.

Diandra kembali mengangkat kepala menatap Rio sambi berucap,” kalo elo mau remes toket gue, silahkan!” Gadis itu menanggalkan seluruh kancing kemeja, kemudian melepas Bra. Kemejanya dibiarkan melekat di tubuhnya.

Tarikan nafas Rio semakin berat. Dia menatap nanar ke arah payudara Diandra yang menggelantung menantang. Payudara itu ukuranya lebih besar dari payudara Emilia. Bentuk putingnya juga agak berbeda, seperti menyatu dengan warna areola payudaranya yang cukup besar.

Diandra mengulum penis Rio lagi. Posisi Diandra yang agak membungkuk membuat tangan Rio bisa meremas payudara gadis itu. Terasa begitu kenyal dan lembut di tangan Rio. Penis Rio kembali berkedut. Diandra merasakan hal tersebut. Dia semakin nakal.

Diandra menjepit penis Rio dengan payudaranya, kemudian menekan dan mengesek pelan.

“Acchh.. Acchhh aaaahhh!”

Rio mendesah tersendat-sendat. Testur daging lembut payudara Diandra yang membelai penisnya membuatnya gelisah bukan main.
Diandra menjilati kepala penis Rio yang menyembul diantara himpitan payudaranya. Otot paha Rio tegang. Tanganya bergerak gelisah membelai rambut lembut Dindra.

“Accchhhhhhhhh .. ahhh saya mau keluaar! Ahhhh.. nimaaat sekaliii!”

Rio mendesah. Sepertinya dorongan kenikmatan tidak dapat ditahannya lagi. Dia menggerakan pinggang maju mundur sehingga penisnya menggesek-gesek payudara Diandra semakin cepat. Penisnya kemudian berkedut kuat. Rio secara tidak sadar mendorong kepala Diandra menjauh dari penisnya. Diandra kaget ketika penis itu terlepas dari payudaranya. Dia menatap aneh ke arah Rio.

“Aaarrrrggghhhhhhh hhhhhhhh!”

Teriakan Rio cukup keras. Tubuh Rio mengejang. Spermanya menyemprot membasahi kemeja Diandra. Kenikmatan luar biasa memenuhi seluruh tubuhnya. Rio merasa lututnya goyah dan tubuhnya lemas. Dia tersenyum puas ke arah Diandra.

“Anggap aja itu permintaan maaf gue. Gara-gara gue, elo jadi tidur ama kelima gay itu.”

Diandra mengecup bibir Rio. Kemudian matanya terarah ke penis Rio yang sudah mengecil. “Gue mau gabung ama mereka. Kalau elo masih ada tenaga, boleh ikut!”

Rio menatap Diandra yang berjalan ke arah Emilia dan Anggi. Kedua wanita yang terlibat pertempuran birahi sengit itu terlihat duduk bersandar di sofa sambil berbicara. Rio memutuskan memejamkan mata sejenak, menghabiskan sisa-sisa kenikmatan yang masih mengalir di tubuhnya.

“Kenapa engga dilepasin iketan kainnya?!” Ujar Diandra sambil melepas ikatan di tangan Emilia. “Kalian tinggal beradu punggung, bisa saling bantu lepasin iketan. Ato pake mulut juga bisa!”

Emilia dan Anggi saling pandang. Mereka baru menyadari hal itu. Seandainya dia dan Anggi saling bantu, pasti dengan mudah bisa melepaskan ikatan di tangan mereka.

“Sensasinya lebih enak kalo tangan elo diiket ya, Em?!”

Emilia tertawa lepas. “Tengkyuuu Dra! Setidaknya tangan gue bisa kepake buat lepasin celana elo sekarang. Hihihi!” Emilia tertawa genit.

“Enggak perlu. Elo bantu si Anggi aja.”

Emilia menuruti perkataan Diandra. Dia melepaskan ikatan di tangan Anggi. Sementara itu, Diandra melepaskan kacamata, kemudian melepas kemeja dan celana jeans-nya. Dia telanjang bulat di hadapan Anggi dan Emilia.

Diandra lebih pendek dari Emilia. Payudara, bokong, paha gadis itu lebih berisi. Perutnya sedikit membuncit karena kurang olahraga, tetapi di pinggangnya sama sekali tidak terlihat lipatan lemak. Jadi tonjolan lemak di perutnya terlihat menggemaskan.

Rio mengalihkan pandangan menatap langit-langit tinggi tempat tiga buah lampu menggantung. Sebuah senyum puas terbersit di wajahnya. Perlakuan Diandra seperti menyirami bunga yang sempat kering di hatinya. Dendam yang tadi sempat membara di hatinya mendadak lenyap.

Rio bangkit dan meneguk segelas air putih untuk membasahi tenggorokanya yang kering. Lelaki itu kemudian beranjak duduk di sofa. Dia hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca dengan ketiga wanita cantik yang sudah telanjang bulat.

“Rio, elo gak boleh sentuh Anggi tanpa ijin!” Diandra berucap sambil menatap Rio tajam, “tapi elo bebas sentuh gue!”

Diandra menarik tangan Emilia sehingga mereka berdiri. Terdengar tawa merdu keduanya. Mereka kemudian berciuman. Emilia duduk di meja kaca dan Diandra mengangkang di atas paha wanita itu. Meja kaca itu sangat kokoh dan tebal sehingga tidak mungkin pecah. Mereka mengulangi ciuman dengan lebih ganas dan bergairah.

Kedua wanita yang saling meraba. Mereka berdua bergulat penuh gairah di atas meja kaca berukuran tiga kali tiga meter. Tawa dan desahan mereka datang silih berganti. Pergumulan yang berlangsung lama penuh gairah membuat mereka mabuk kenikmatan.

Emilia telentang dan membuka kaki membentuk huruf M. Wajah Diandra tepat terbenam di selangkangannya. Diandra menungging, posisi pantatnya dekat dengan pinggiran meja. Wanita itu asik menjilati lubang vagina Emilia. Desahan Emilia terdengar beberapa kali. Tangannya bergerak tidak terkontrol menyapu plastik berisi sisa makanan di atas meja, membuat beberapa terpelanting jatuh.

Anggi meringkuk di ujung sofa dengan kemeja menutupi tubuhnya. Dia hanya tersenyum melihat apa yang dilakukan kedua wanita itu. Dia tidak bisa mengutuk perbuatan mereka karena Anggi sudah pernah merasakan sensasinya.

Posisi Rio tepat di belakang Diandra. Dia dapat melihat jelas bokong Diandra yang membulat indah bergerak-gerak seolah memanggilnya mendekat. Deru nafas lelaki itu memburu. Penisnya kembali tegang. Dia tidak dapat menahan diri.

Plaaak Plaaaak

Rio menampar lembut bongkahan pantat Diandra sehingga menyisakan bekas kemerahan. Diandra tidak merespon karena sibuk dengan Emilia. Rio kemudian menjulurkan tangan meremas daging kenyal tersebut. Tangannya kemudian membelai lembut anus Diandra dan perlahan turun ke vagina tembem gadis itu.

Rio melebarkan kaki Diandra agar bisa melihat bentuk vagina wanita itu dengan lebih jelas. Vagina Diandra hanya ditumbuhi rambut tipis. Dengan nafsu yang meletup kencang, Rio menggunakan jarinya menelusuri belahan vagina yang mulai becek. Mengubek-ubek lobang vagina Diandra.

Diandra menggeliat mendapat rangsangan dari Rio. Punggungnya melengkung indah. Hanya saja, dia enggan meladeni lelaki itu. Gadis itu ingin menuntaskan aksinya bersama Emilia.

Penis Rio semakin tegang. Dia berdiri dan mendorong sofa yang tadi didudukinya sehingga menempel dengan meja kaca. Karena tinggi meja dan sofa sama, Rio bisa bersimpuh di atas sofa menghadap ke arah pantat Diandra. Rio memegang pinggang Diandra, kemudian menggesekan penisnya di belahan vagina wanita itu. Diandra sama sekali tidak melawan ketika penis Rio memasuki vaginanya. Dia hanya menyesuaikan tubuh agar Rio lebih mudah melakukan penetrasi.

“Aaaahhhhh!”

Rio memejamkan mata merasakan batang penisnya dijepit lubang hangat super nikmat tersebut. Wanita yang pernah diajaknya bercinta tidak memiliki lubang kemaluan sesempit itu. Dia kemudian mengerakan pantatnya maju mundur sehingga penisnya keluar masuk di lubang vagina Diandra.

Tubuh Diandra berguncang karena sodokan Rio. Gadis itu menghentikan jilatanya di vagina Emilia. Dia memutuskan untuk menikamti sodokan Rio.

“Ahhh.. aaaaahhhh!”

Rio menggerakan pantatnya semakin cepat. Terdengar desahan lembut Diandra. Dia menoleh sambil mengigit lidah, memberi semangat kepada Rio.

Emilia yang merasa agak terganggu akhirnya bersila di depan wajah Diandra. Dia mengarahkan payudaranya ke bibir gadis itu. Diandra menyedot puting Emilia dengan rakus. Hentakan Rio mendorong bokong Diandra, membuat tubuhnya berguncang sehingga kadang menyundul payudara Emilia.

Diandra menghentakan tubuhnya tiba-tiba. Penis Rio terlepas dari vaginanya. Rio sama sekali tidak menduga kejadian itu. Dia langsung kehilangan sumber kenikmatanya.

“Lutut gue pegel. Meja ini keras banget. Cape!” Diandra berdiri dan melompat ke lantai. “Em, gue haus. Elo lanjutin ama Rio, ya!”

Rio bengong ketika Diandra melenggok meninggalkanya untuk mengambil air minum. Rio malu-malu menatap tubuh telanjang Emilia yang tidak kalah mengiurkanya. Dia takut perempuan itu menolak.

“Jilatin dulu, baru masukin.” Perintah Emilia sambil melebarkan paha. Wajah perempuan itu merah menahan nafsu.

Rio merangkak, mendekatkan kepala ke selangkangan Emilia. Dia melihat lubang vagina Emilia yang berwarna kemerahan mengkilat basah. Rio meraba dengan jarinya.

“Pake lidah aja Rio. Jangan masukin tangan!”

Perintah Emilia seperti bersifat mutlak. Rio tidak mempunyai kempuan untuk menolak. Dia menjulurkan lidah menyapu permukaan lubang vagina Emilia. Emilia mendesah kegelian. Rio kemudian semakin bersemangat memberikan kecupan dan sedotan. Ujung lidahnya juga memainkan klitoris Emilia. Emilia menggelinjang.

Tangan Rio menangkup bongkahan pantat Emilia dan meremasnya. Wanita itu merintih nikmat. Wajahnya terangkat dan menatap kepala Rio yang masih sibuk di selangkanganya.

“Elo boleh masukin sekarang!”

Rio bersemangat mendengar perintah Emilia. Dengan buru-buru dia memosisikan tubuh di atas wanita itu. Menggesekan penisnya di permukaan vagina Emilia kemudian mendorong masuk.

“Ooouucccchhhhhhh!”

Tubuh Emilia tersentak. Rio mendesah merasakan batang penisnya disedot lubang hangat kemaluan Emilia. Dia merasa batang penisnya seperti diurut nikmat. Lubang kemaluan Emilia dirasa lebih sempit ketimbang Diandra. Hal itu membuat Rio lebih pelan memaju-mundurkan penis.

Rio mencium bibir Emilia. Wanita itu tidak menolak. Ciuman mereka hangat penuh gairah. Tangan Rio bergerilia menyusuri permukaan tubuh Emilia yang menggoda dan nikmat untuk di sentuh.

“Ahhhh Ahhh”

Gerakan pantat Rio semakin liar seiring penisnya yang semakin berkedut. Tusukanya lebih dalam dan keras. Emilia tahu Rio akan segera menyemburkan sperma karena deru nafas lelaki itu sudah begitu berat.

“Jangan keluarin di dalem!” Perintah Emilia.

“Heee ehhh.. iyaa.”

Rio menyahut sambil mendesah. Goyanganya semakin cepat. Dia meremas pantat Emilia dengan gemas. Emilia bergerak mengimbangi di bawah tubuh Rio. Dia meletakan tangan di pinggang lelaki itu dan mencengkeram punggung Rio.

“Sayaa.. mau keluar aaah ahh ahh!”

Rio menghentak cepat. Kemudian dia mencabut penisnya.

“Arrrrrggggggghhhhhhhhhh”

Sperma menyemprot di perut Emilia. Rio terkulai lemas bersimbah keringat. Matanya kembali terpejam meresapi kenikmatan yang hampir menghancurkan seluruh sendinya.

Emila beranjak mendekati Diandra yang sedang duduk di meja makan sambil asik nyemil.

“Rio nuub! Dia juga grogi banget. Gue jadi ingin liat rekaman dia ama lima lelaki itu. Hihihi!”

“Kita mau lanjut sekarang. Ato elo mau maem dulu?”

“Gue ma’em, Elo yang lanjut. Bisa kan?”

Diandra langsung mencengkram pinggang Emilia. Mereka tertawa penuh cinta.

*****
Sebuah handphone berdering di atas meja tetapi tidak ada yang menghiraukan.

Anggi duduk meringkuk di pojok sofa. Kemeja dibuka lebar tanpa terkancing, dipakai untuk menutupi tubuhnya. Rio yang sudah mengenakan celana pendek mendekatinya. Anggi menggeser tubuh menjauh. Dia ketakutan, masih membekas dalam ingatannya perlakuan kasar lelaki itu.

“Gue minta maaf. Gue udah kasar ama elo.” Rio berujar lembut. Pandangan mata mereka beradu. Sorot mata Anggi masih menunjukan sisa kekesalan dan kemarahannya. Dia mendengus. Anggi tidak begitu peduli dan hendak menjauh. Dia enggan meladeni lelaki itu.

“Tadi gue bener-bener hilang kendali!”

Rio berusaha berucap tenang tetapi terkesan penuh emosi. Lelaki itu berusaha menenangkan nafas dan mengatur emosi ketika bayangan buruk kembali melintas di kepalanya. Dia menatap mata Anggi, berharap gadis itu memberinya kemurahan hati.

“Kalo itu malam biasa, gue tidak akan berbuat sejauh itu!” Rio terdiam sejenak, “malam itu terkutuk!”

Mata Rio berkaca-kaca. Ucapanya parau penuh emosi. Anggi menjadi terenyuh mendengarnya. Bercak kemerahan yang menghias tubuh Rio membuat Anggi penasaran.

“Apa yang terjadi?”

Anggi berucap lirih. Sorot matanya masih menunjukan dendam kepada Rio. Rio terdiam dan menatap langit-langit. Dia berusaha menguatkan emosinya.

“Gue nyesel ikut game terkutut itu! Gue kira hanya permainan biasa.” Rio mengatur nafas. “ Temen gue bajingan! Dia nipu gue!”

Rio kemudian menceritakan awalnya dia ikut permainan itu adalah karena ditawari uang lima juta. Temannya menunjukan foto-foto anggota A-Lima dan mengatakan akan melakukan sex party dengan mereka sepanjang malam. Tentu saja Rio tertarik meskipun dia hanya sebagai pelengkap. Dia menerima tawaran temannya. Temannya berjanji, kalau semua akan aman, tidak akan ada penyiksaan, dan hanya berpesta bergembira.

Malam permainan tiba dan Rio sampai di rumah A-Lima. Barang-barang Rio disita sebagai syarat memasuki rumah itu. Mereka berjanji akan mengembalikan keesokan harinya. Sebagai gantinya Rio disuruh memilih pakaian warna-warni bernomor punggung. Hanya itu saja pakaian yang melekat di tubuhnya ketika dia memasuki Ruang Kegembiraan.

“Gue tidak tau apa-apa tentang game itu.”

Rio sama seperti Anggi. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang apa yang harus dilakukannya sebelum Rimelda menjelaskan semuanya di atas panggung. Meskipun Rio merasa sedikit tegang, tetapi dia berusaha untuk melakukannya. Hanya saja, ada peristiwa yang membuat penyakit grogi Rio kumat yaitu setelah Diandra dan Anggi maju berbarengan ke atas panggung.

“Gue tau, waktu itu elo juga panik. Entah kenapa gue juga ngerasa iba dan gue jadi enggak fokus.” Rio menatap Anggi sendu. “Gue juga ngerasa kalau elo dijebak untuk ikut bermain.”

Anggi menarik nafas panjang. Anggi merasa Rio yang di dekatnya sekarang bukanlah Rio yang hendak memperkosanya tadi.

“Saat lo pingsan. Gue berusaha membantu.” Rio menghentikan ucapan dan wajahnya keruh.

“Gue liat wanita itu juga panik liat elo pingsan. Dia menjerit histeris!” Rio menunjuk ke arah Emila yang sedang duduk di dekat Diandra. “Gue juga denger jelas tawa tiga wanita sampah di sana!” Dia menunjuk Tiga wanita yang masih terikat.

“ Gue hampir pingsan ketika tau apa yang mereka maksud dengan menjadi budak kelima lelaki itu. Kaki gue goyah, tenaga gue ilang mendadak. Gue merasa berada di sebuah dunia baru yang asing dan gila. “ Kata demi kata yang Rio ucapkan mempengaruhi nurani Anggi. Dia merasakan hal yang sama dengan lelaki itu.

“Temen yang ngajakin gue ke sini. Dia si nomer satu. Di pergi ninggalin gue seolah semuanya aman. Seperti yang mulut busuknya janjikan!!” Rahang Rio mengeras, jemari tangannya mengepal geram. Kemudian Rio menutup wajah dengan telapak tangan. Kata-kata berikutnya begitu berat diucapkanya. Pemerkosaan kelima lelaki itu kepadanya menyisakan luka yang begitu perih di hatinya. Bekas-bekas di tubuh Rio masih tampak nyata. Bekas di hatinya entah akan terhapus kapan.

Anggi bergidik mual. Dia seolah ikut merasakan rasa sakit yang dialami Rio. Pelan tapi pasti, hatinya mulai terenyuh mendengar pengakuan lelaki itu. Sekarang, dia merasa jauh lebih beruntung. Kejadian yang dialaminya tidak berarti apa-apa dibandingkan yang dialami Rio. Dia bisa menerima alasan kenapa Rio memperlakukannya dengan kasar.

Dinding kebencian di hati Anggi runtuh. Rasa iba memenuhi pikirannya. Dia juga merasa bersalah dengan Rio karena dia juga terlibat permainan itu. Anggi menggeser tubuh mendekati Rio. Raut wajah Rio yang sarat kepedihan meluluhkan hati serta melumpuhkan logika gadis itu.

"Kita senasib, terjebak di sini bersama orang-orang kaya dan gila. "

Anggi menggengam jemari tangan Rio dan meremasnya. Dia berusaha menguatkan hati Rio. Anggi merasa dekat, dia merasa senasib.

"Maaf, aku jadi ngelibatin kamu. Aku benar-benar frustasi dan sakit hati. Seandainya tadi kamu tidak datang ke sini, mungkin aku sudah jadi pembunuh atau malah aku bunuh diri."

Rio membalas meremas jemari Anggi lebih kuat penuh emosi. Anggi tidak sadar menyandarkan kepalanya di bahu Rio.

" Aku ingin berterima kasih dan juga minta maaf."

Pancaran mata lelaki itu sudah sedikit tenang. Amarah dan emosinya yang sempat menumpuk sekarang sudah bisa disalurkan lepas dari tubuhnya.

Suasana antara Rio dan Anggi menjadi begitu cair. Mereka mulai bercerita tentang kehidupan mereka. Hanya saja, ada suara yang mulai menggangu obrolan mereka.

Emilia dan Diandra yang sedang bergumul di meja makan mendesis dan mendesah keras. Mereka mengangkang saling berhadapan, vagina mereka saling menyentuh. Mereka saling tatap dan sengaja menggerakan pinggul yang membuat vagina mereka saling gesek. Wajah mereka sama-sama memerah karena nafsu. Mereka tekadang berciuman dengan penuh gairah, saling remas payudara. Ekspresi yang ditunjukan mereka membuat yang menonton pasti berdebar-debar. Mereka terlalu liar. Aura nafsu terpancar hampir dari seluruh tubuh mereka, tersalurkan ke dalam percikan yang berubah menjadi gerakan erotis.

Rio dan Anggi sama-sama menyaksikan adegan itu. Mereka terhanyut. Tangan mereka yang saling gengam mendadak bergerak. Ada getaran yang mengalir dari tangan ke seluruh tubuh mereka. Mereka kemudian saling pandang dengan perasaan aneh.

“Aku jadi pengen nyium kamu.” Pandangan mata Rio tertuju kepada bibir Anggi yang menggoda.

Anggi tersipu dan langsung menggerakan tubuh berusaha menjauh. Rio menertawakanya. Anggi juga tertawa canggung. Dia memainkan jemari tangan di bibirnya.

" Bolehkan?"

"Boleh ngapain?!"

Rio tidak menjawa, dia mencodongkan badan ke arah Anggi. Anggi tidak menghindar sama sekali. Dia menyambut ciuman lelaki itu. Dia juga ingin menumpahkan emosinya yang sudah terlanjur terombang-ambing di malam itu. Rio kemudian memeluknya.

Dekapan erat Rio membuat tubuh mereka berhimpitan di sofa. Kemeja penutup tubuh Anggi sudah jatuh ke lantai, menyisakan tubuh yang telanjang bulat menantang birahi. Rio merapatkan tubuh, merengkuh kehangatan dan kelembutan tubuh Anggi.

Jari tangan mereka menari indah nan liar. Saling membelai dan menyusuri lekukan tubuh lawan bercinta. Detak jantung yang menghantam dada sebagai pengingat kalau semua yang mereka lalui itu nyata.

Desahan tertahan keluar dadi bibir Anggi ketika jemari Rio membelai payudaranya. Daerah sensitifnya yang mempunyai daya ledak seksual yang menggebu. Anggi memperdalam permainan lidahnya di rongga mulut Rio. Mengecap rasa yang tersembunyi. Celana Rio sudah terlepas dari tubuhnya. Anggi dapat melihat penis lelaki itu mengacung tegang.

Mereka kembali terlibat dalam pergulatan penuh gairah. Rio merebahkan tubuh Anggi di sofa, menindih tubuh telanjang bulat perempuan itu. Rio mendesak paha Anggi sehingga mengangkang lebar dan memposisikan kemaluanya di antara paha perempuan itu.

Kulit mereka yang semakin sering bergesekan membuat panas gairah semakin susah dikendalikan. Rio memainkan jemari membelai lembut vagina Anggi. Anggi menggeliat merintih menuntut perlakuan lebih.

Desahan erotis melambung lembut ke udara. Menemani suara merdu demburan ombak dikejauhan. Anggi menggeliat lembut sambil menyebut nama Rio. Kulit wajahnya bersemu merah. Matanya sendu menahan nafsu yang menggelora indah. Dia menikmati setiap sentuhan Rio di tubuhnya.

Rio mencengkram lembut pinggang Anggi. Menahan agar perempuan itu tidak banyak bergerak. Ujung penisnya sudah beberapa kali menyusuri permukaan lembut nan basah vagina Anggi. Mencoba memberikan rangsangan agar lubang tersebut semakin terbuka.
Anggi menggeram lembut. Tarikan nafasnya berat menunggu kenikmatan lebih yang dijanjikan Rio.

"Aduuuuh!!!"

" Hmmmmmppp... Aahhhh"

Anggi mengernyitkan wajah ketika ujung penis Rio mulai memasuki lubang kemaluanya yang basah. Ada sedikit rasa sakit yang membuat tubuhnya tegang. Hanya saja, tuntutan untuk mengarungi kenikmatan lebih tinggi membuat dia menyesuaikan tubuh. Memberikan keleluasaan kepada Rio untuk mengeksplor lebih jauh.

Tangan Anggi meraih kepala Rio dan menarik turun. Mencium bibir lelaki itu dengan penuh emosi. Rio membalas ciuman sambil menggerakan bokong, memompa penisnya keluar masuk vagina Anggi.

" Ahhhh aahhh ahhh!"

" Ssssshhhh... oucchh."

" Hmmmmpppp, hssssttt ."

Desahan bertubi-tubi menyembur dari mulut mereka. Mereka saling tatap penuh cinta dan gairah. Tangan Rio begitu intens memainkan payudara Anggi. Tangan Anggi membalas dengan meraba punggung dan pinggang Rio. Tidak ada keraguan pada gerakan tubuh mereka. Nafas mereka terengah berat. Bintik keringat kembali muncul. Perkenalan dalam dan singkat di malam yang gila membuat mereka merasa begitu dekat. Ingin bersama-sama melewati malam yang berat dan nikmat.

Anggi sudah menungging di sofa dan Rio menyodok kemaluanya dari belakang. Payudara Anggi yang menggantung berguncang tidak disia-siakan oleh Rio. Rio meremas pelan disertai kecupan lembut di punggung Anggi. Gerakan tubuh mode erotis terlihat begitu menggairahkan. Posisi itu bertahan sampai mereka berhasil merengkuh kenikmatan maksimal.

Mereka berganti posisi lagi. Rio duduk di sofa dan Anggi duduk di pangkuan Rio sambil menggerakan tubuh meliuk-liuk indah. Pinggang ramping perempuan bergerak lembut teratur. Bokongnya yang kecang menggesek-gesek paha Rio. Penis Rio melesak dalam ke lobang vagina Anggi. Basah dan semakin basah.

Rio yang tidak tahan, menangkup bokong Anggi dan meremasnya. Gadis itu semakin bersemangat memainkan pinggul sehingga kemaluan Rio berkedut-kedut di lubang kenikmatanya. Rio merasakan sensasi nikmat luar biasa, penisnya terasa sesak di lubang sempit milik Anggi. Dengan gemas dia mencium payudara yang menggantung di depan kepalanya. Payudara yang berguncang menggoda ketika Anggi menggerakan tubuh.

Deru nafas semakin berat seiring kenikmatan semakin memuncak. Rio mulai mengimbangi gerakan Anggi. Dia mengangkat pantatnya dan menyodok lubang vagina Anggi dengan cepat. Tusukanya dari bawah membuat Anggi gelagapan menyalurkan serangan nikmat bertubi-tubi.

Anggi merintih. Luntutnya bertumpu di sofa, tangannya mencengkeram sandaran sofa dengan erat. Dia berusaha mempertahankan posisinya yang mengangkang. Memberi keleluasaan pantat Rio untuk menyentak ke atas. Penis Rio bergerak cepat dan menusuk keras ke dalam lubang vagina Anggi.

Plaaak

Plaaak

Plaaak


Terdengar suara paha Rio beradu dengan pantat kenyal Anggi. Bongkahan pantat Anggi bergetar mengoda. Rio menjulurkan tangan, meremas kuat sehingga meninggalkan bekas kemerahan.

Wajah Anggi memerah. Dia memekik histeris sebelum merapatkan bibirnya menikmati sensasi yang semakin menyerbu. Vaginanya terasa penuh oleh penis lelaki itu. Sensasi nikmat yang dibangkitkan Rio di vaginanya membuat dia merasa melayang.

Rio merasakan penisnya berkedut. Dia menahan pinggang Anggi dan semakin keras menyodok dari bawah. Anggi mengerakan tubuh mengimbangi. Tubuh mereka menyatu saling memahami. Seolah mereka ditakdirkan berpasangan.

" Aarrrrrrgggggggggccccccchhhhhh"

Tubuh Anggi mengejang, begitu juga tubuh Rio. Sperma menyemprot memasuki lubang vagina Anggi. Anggi merasakan kenikmatan luar biasa. Basah, hangat dan menggetarkan. Dia mencium bibir Rio. Rio membalasnya. Mereka berciuman penuh cinta. Tubuhnya mereka kemudian lemas. Mereka memejamkan mata, membiarkan tubuh lunglai mereka berpelukan.


*********
Di sebuah ruangan.

“Njir, dia beneran kabur dan ngurung kita disini!”

“Elo sih ceroboh naruh kunci!”

“Gue pikir dia gay kaya kita. Kayakya dia emang laki normal. Kita beruntung. Hihihi!”

“Ya udah yuuuuk! Kita lanjut aja. Berlima udah lebih dari cukup!”

******
Rimelda, Emilia, dan Monica sudah terlepas dari ikatan. Ketiga wanita itu memaki-maki tidak jelas. Mereka sudah mengenakan pakaian, begitu juga Anggi, Diandra, Emilia, dan Rio.

Davina terburu-buru berlari keluar ruangan. Dia kemudian kembali bersama lima boneka hidup. Lebih tepatnya lima orang lelaki yang dibungkus kostum binatang. Panda, Beruang, Pinguin, Monyet, dan Kuda. Tepat di selangkangan masing-masing boneka terdapat lubang. Dari lubang itu terlihat penis mengelantung.

Davina belum memasuki ruangan ketika Monica dengan raut wajah jelak menginterogasi Emilia.

“Em, jujur aja. Elo ngerencanain ini biar bisa nikmatin tubuh assiten elo, kan?” Monica menatap lekat bola mata Emilia. “Elo juga nyuruh Rio berdusta ama Anggi sampe mereka mau bercinta?”

“Hehehehehe,” tawa Emilia terdengar merdu. Wajahnya mendadak bersemu merah. “ Imajinasimu kelewatan. Elo terlalu mendramatisir.”

“Elo hanya perlu jawab. Ini rencana elo atau bukan?!”

Emilia menyentuh rambut Monica yang sedikit menutupi wajah perempuan itu. “Coba elo tanya Dindra!”

Monica melirik Diandra menununggu jawaban.

“No baper! No bucin!” Diandra berucap tenang, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Monica. “Elo masih temen gue, kan?”

Monica mendengus kesal. “Gara-gara laki itu, rencana pesta gue jadi berantakan.”

“Hihihi. Terkadang, rencana terbaik adalah tidak membuat rencana sama sekali!”

Emilia mengucapkan kembali apa yang dia dengar dari sebuah film seminggu lalu di tontonnya.


++++ TAMAT ++++




******************

Terima kasih kepada paniti, juri, staff dan semua yang terlibat dalam event LKTCP kali ini.
Terima kasih juga untuk pembaca yang meluangkan waktu membaca karya ala kadarnya ini, semoga terhibur.

gila imajinasi penulisnya.... kebanyakan nonton sex psikopat kayaknya.... tapi kerena lah.....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd