Chapter 3
Despair
“Aaarrgghh.. Sreeekkk”
Geraman dan gesekan kaki yang diseret terdengar riuh mendekati mobil kami.
"
Gampang lah, nanti pas diperempatan Gatsu tinggal belok kiri sedikit sebelum ke tegalega, kita bisa selamat”. Kutarik kembali kata gampangku itu. Ternyata saat berbelok ke kiri, jalan menuju TSM sudah sangat kacau, banyak bangkai mobil berserakan di jalan. Lebih dari itu, banyak sekali Mayat hidup yang berkeliaran di jalan. Para
Zombie tersebut mulai berdatangan ke arah kami tertarik oleh suara mesin mobil.
Dengan perlahan kukemudikan mobil ku sembari menghindari para
Zombie yang semakin mendekat ke arah mobil. Beberapa
Zombie yang memang tidak bisa kuhindari dilibas dengan mudah oleh mobil besar ini. Untungnya aku memilih mobil ini untuk pergi keluar daripada mobil kecilku. Mungkin jika kami memilih menggunakan mobil milikku, kami tidak akan sampai sejauh ini.
“Ini nggak bakal kenapa-kenapa Kak?” tanya Anin kepadaku. Mukanya terlihat cemas sembari memperhatikan kerumunan Zombie yang makin banyak mengerubungi mobil kami.
“GRAAAKKK”
Belum sempat kujawab pertanyaan tersebut, dari luar mobil kami tiba-tiba terdengar suara keras. Laju dari mobil yang kami tumpangi terhenti, seperti tersangkut sesuatu. Aku yang kebingungan hanya bisa terus menginjak pedal lebih dalam.
“Kak, ini kenapa nggak maju-maju mobilnya?” tanya Anin kembali. “KYAAA!!!! Cepetan maju Kak!!!” teriak Anin ketakukan ketika pintu kaca disebelahnya digedor-gedor oleh beberapa
Zombie yang terlihat menyeramkan dibaliknya. Di kursi bagian belakang terlihat Celine pun hanya bisa membungkuk menyembunyikan wajahnya.
“Saya juga nggak tau ini Nin, kaya ada yang nyangkut ke rodanya,” ujarku sembari tetap menekan pedal gas dalam-dalam. Mesin mobil ini pun meraung kencang. Namun mobil tetap tidak bergeming, seakan ada kekuatan yang menahan mobil ini tetap diam terpaku.
“DRAAKKKK BLEEEGGHHH”
Suara keras kembali terdengar seiring dengan loncatnya mobil yang kami tumpangi dan langsung melaju dengan kencang meninggalkan kerumunan Zombie. Aku yang kaget tidak dapat mengendalikan mobil yang melesat dengan kencang. Sayup-sayup kudengar teriakan dari Anin dan Celine ketika pandanganku seketika gelap, saat mobil yang kami tumpangi menabrak bangkai mobil dengan keras didepan mobil kami.
Kepalaku masih terasa sakit ketika kubuka mataku dengan perlahan. Sepertinya aku sempat menghilang ketika
airbag dari mobil ini menghantam wajahku dengan kencang. Dengan pandangan yang masih samar kuperiksa Anin yang sepertinya tidak sadarkan diri.
“Nin… Nin…” kataku sembari mengguncangkan pundaknya.
“Nnngghh…” lirih Anin. Langsung kuperiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepala.
“Kamu Nggak apa-apa Nin?” tanyaku kembali memastikan. Anin hanya mengangguk lemah. Syukurlah, sepertinya ia hanya syok saat mobil kami menabrak bangkai mobil didepannya. Benar-benar mobil yang tangguh.
“Selin gimana Kak?” tanya Anin pelan sembari memegangi kepalanya. Langsung ku cek ke bagian kursi belakang tempat Celine duduk. Terlihat Celine tergolek tidak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang diriku langsung pindah ke kursi belakang dan mengecek tubuh Celine.
“Sel… Bangun Sel…” ucapku sembari mengguncangkan tubuhnya setelah kupastikan dirinya masih bernafas. Namun Celine tidak bergeming. Sepertinya ia pingsan.
“GRAAHHH!!!”
Suara geraman dari para Zombie semakin banyak dan kencang. Sepertinya kami sudah mulai dikepung kembali oleh parah Zombie yang berada diluar.
“NIN, AYO KELUAR!!!” Teriakku. Anin yang panik langsung membuka pintu. Sungguh ceroboh sekali, beruntung belum ada
Zombie disekitar pintu keluarnya. Kugendong Celine keluar mobil dan langsung lari mengikuti arah kemana Anin berlari. Sebagian dari
Zombie terlihat mulai mendatangi kami yang bingung harus lari kemana. Samar dari arah berlawanan terlihat pula
Zombie berjalan kearah kami.
DHHAARR!!! DHAAARRR!!!
Terdengar bunyi senapan dari arah kanan. Tak lama terdengar derap langkah kuda mendekat ke arah kami. Terlihat seorang Pria menunggangi kuda berwarna hitam.
“MASUK KEDALAM RUMAH ITU!!!” teriak pria tersebut.
DHHAARR!!! DHHAARR!!!
Suara dari senapan yang dibawa pria tersebut kembali menggema.
“
WOY JURIG!!! WANI KADIEU!!!” teriak pria itu sembari pergi ke arah sebaliknya.
Para Mayat hidup yang awalnya mengikuti kami beruntun mengikuti sang pria yang masih menembakan senapan nya.
“Uy Nin, jangan ngelamun, hayu kita masuk kesana” tegurku kepada Anin yang masih terbengong melihat kejadian tersebut. Kami pun berlari masuk kedalam rumah tersebut. Setelah masuk kedalam rumah, Kurebahkan Celine yang masih tidak sadarkan diri di salah satu sofa di dalam rumah tersebut. Aninpun dengan inisiatif langsung mengunci rumah yang kami masuki ini.
Terlihat Pria tersebut datang dari kejauhan. Tak lama pria tersebut berhenti, sembari menyalakan rokok. Sepertinya beliau menunggu sesuatu. Dari arah jalan Laswi terlihat gerombolan Mayat hidup mendekat ke arah pria tersebut. Sesampainya gerombolan itu di sebuah genangan, pria tersebut melempar punting rokoknya ke genangan tersebut. Seketika genangan tersebut menjadi kolam api dan membakar semua mayat hidup yang lewat sampai habis.
Kami terbengong melihat adegan yang biasanya hanya kami saksikan di layar kaca. Sang pria pun kemudian melempar korek ke dalam selokan depan rumahnya.
BLAAARRR!!!
Kobaran api pun menjalar di depan rumah pria tersebut menjadi seperti pagar api. “
Edyan Tenan!” batinku. Kuda yang masih ditunggangi oleh pria tersebut kemudian berlari kearah jalan Salak dan menghilang dari pandanganku.
“Sekarang gimana kak?” Tanya Anin kepadaku. “Ngg… gimana ya Nin, susah juga kalo kita harus ke TSM kalo kondisinya kayak gini,” jawabku.
“Kalo mau ke TSM, kalian bisa lewat Cibangkong, atau bisa juga lewat belakang Turangga. sepertinya jalanan tersebut masih aman,” ucap pria tersebut seraya masuk kedalam ruang tempat kami berkumpul.
“E-eh, iya bener juga,” kataku kaget.
Busyet, ini Pria masuk darimana ya? Tiba-tiba muncul gini, tadi juga tiba-tiba nolongin aja. Tubuh bapak ini masih terlihat tegap meskipun beberapa bagian rambutnya sudah memutih. Eh iya, Aku teringat belum berterima kasih kepada beliau.
“Sebelumnya terima kasih banyak Pak udah mau nolongin kami. Kami gak tau kalo tadi gak ada Bapak jadinya kami bagaimana,” ujarku sembari mendekat kearah beliau.
“Gak apa-apa dek. Emang udah tugas saya selaku Pelayan Negara buat nolongin warga yang kesulitan. Kalian mau ke TSM? Emang disana ada apa?” Tanya bapak tersebut.
“Kami mau nolongin ngejemput temen pak sebelum ke pengungsian pak,” Jawab Anin kepada Bapak tersebut.
“Oh gitu, bapak ga yakin kalo di TSM masih ada orang, tapi kalo mau ngecek, dicoba aja dulu nanti. Sementara, kalian bisa istirahat dulu disini. Oh iya, maaf bapak kurang sopan, bapak belum memperkenalkan diri. Nama Bapak Suripto, panggil aja Mbah Surip,” Ujarnya sembari mengajak berjabat tangan.
“E-eh, iya pak, Nama saya Alfiansyah pak,
mangga bapak mau manggil apa aja,” Jawabku sembari menyambut tangannya.
GREEP. Anjay, ini tangan keras amat mencetnya.
“Ngghh…”
Suara lirihan dari Celine langsung membuat aku dan Mbah Surip menoleh ke arahnya.
“Seeeliin… Syukur kamu udah siuman. Kakak takut kamu kenapa-kenapa tadi…” ujar Anin sembari mengecek seluruh tubuh Celine
“Ini dimana Kak?” lirih Celine pelan. Ia memicingkan matanya ketika melihat ke sekeliling. Terkadang Ia meringis sambil memegangi kepalanya.
“AAAAAKKKHHH!!!”
Tiba-tiba Celine berteriak dengan keras membuat semua orang terkaget
“Selin takut Kak… Tolong Selin Kak… Zombienya banyak banget Kak… Tolong… huuuuuu… huuuuu…” tangisan Celine tiba-tba pecah setelah dirinya histeris. Anin pun langsung memeluknya erat. Ia pun menoleh ke arah ku dan Mbah Surip.
“Mungkin teman kalian syok berat dengan kejadian tadi,” ujar Mbah sembari mengambil botol minum yang ada di meja. “Coba kasih dia minum dulu, terus bawa Dia ke kamar yang itu,” ujarnya kembali sembari memberikan botol minum kepada Anin.
“Tenang, kalian aman disini,” ujar Mbah kembali. Anin hanya mengangguk dan membawa Celine masuk ke dalam kamar.
“Kalian yakin mau ke TSM? Mbah sendiri ragu apa masih ada orang disana ato nggak,” ucap Mbah kepadaku.
“Saya juga awalnya mikir begitu Mbah, cuman mereka bersikukuh tetep mau kesana, kasian juga kalo mereka kesana tapi nggak ada yang jagain,” jawabku.
“Ya udah, semoga memang teman-teman mereka masih ada disana. Kamu yang kuat ya Nak, mereka membutuhkan itu,” ujar Mbah menyemangatiku. Ia menepuk bahuku sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkanku masuk ke dalam kamarnya.
.
.
.
Kamipun beristirahat di rumah Mbah Surip. Mbah Surip ternyata seorang Purnawirawan dengan pangkat akhir yang cukup tinggi. Dia bercerita jika ia hanya hidup sendiri. Istrinya sudah meninggal dan dia tidak memiliki anak. Mbah Surip berkata kalau semua keluarga tentara sudah diungsikan ketika wabah ini mulai terjadi. Sedangkan Mbah Surip tidak ikut mengungsi dikarenakan belia tidak ingin meninggalkan Bandung. “Saya memang bukan orang Sunda asli dek. Tapi saya lahir di Bandung, besar di Bandung, tinggal di Bandung. Saya ingin meninggal juga disini” Jawabnya mantap.
Kembali ku cek
handphone yang dayanya sedang ku isi di dekat meja televisi. Masih tidak ada sinyal. Lalu kembali ku cek siaran radio darurat, siapa tahu mereka memberi update tentang keadaan terkini.
“SSrrkk… Ssrrrkk… Saassrrrk… insssrrkk.. Sekali lagi, ini adalah siaran darurat Satuan Pengendali Kejadian Luar Biasa. Saat ini Bandung sudah dalam Siaga Satu. Kepada yang masih selamat mohon untuk datang ke Pengungsian yang berada di Tegallega. Mohon hindari yang terkena infeksi. Sekali lagi, saat ini Bandung…”
“
Masih tidak ada update,” batinku. Paling tidak sementara kita sudah aman disini.
Cukup lama kami beristirahat di rumah Mbah. Matahari pun sudah mulai condong ke arah barat. Mbah Surip sudah tidak terlihat, mungkin dia sedang mengurus kudanya dibelakang. Anin dan Celine juga sepertinya sedang beristirahat di kamar. Kurasa aku telah beristirahat dengan cukup, mungkin saatnya Aku mulai mengecek keadaan disekitar, sekalian mencari perbekalan yang tadi sempat tidak kami bawa dari mobil. Akupun segera menghampiri pintu kamar dimana Anin dan Celine beristirahat.
Tok tok tok.
Tak ada jawaban
Tok tok tok
Kembali ku ketuk pintu, namun kali ini sembari menyahuti mereka yang ada di dalam kamar.
“Nin, bisa bicara sebentar?” Sahutku dari luar kamarnya.
Sayup-sayup terdengar aktivitas dari dalam kamar.
“
Bentar kak!” sahutnya dari dalam kamar. Tak lama pintu pun terbuka
“Iya kenapa kak?” ucapnya sembari keluar. Anin terlihat sangat cantik sekalipun ia baru bangun tidur. Seketika ku teringat malam kemarin ketika ia tertidur sembari membuka mulutnya.
“Hihihi…” Spontan aku tertawa mengingat hal tersebut.
“Lah kakak kenapa ketawa? Ketawain aku ya? Aku aneh ya kalo abis bangun tidur? Iiiihhh kakak gitu…” Ucapnya sambil memanyunkan bibirnya. Sungguh lucu sekali.
“Gak gitu Nin, saya cuma inget sesuatu,” aku mencoba menghilangkan pikiran tersebut. “Jadi gini Nin. Saya rencananya mau keluar, kebetulan saya tau daerah sini. Saya mau liat keadaan TSM kaya gimana,” Lanjutku.
“Sekalian saya juga mau nyari sesuatu buat perbekalan. Anin tau kan semua perbekalan kita ketinggalan dimobil yang kebakar tadi,” jelasku menambahkan.
Mendengar hal tersebut Anin diam, Ia pun terlihat berpikir sejenak. “Aku ikut ya, biar bisa bantuin kak Al,” ungkap Anin.
“Eh, yang bener Nin. Kamu ga takut?” ucapku seakan tak percaya.
“Asal kita bisa sampe tempat aman lebih cepet, Anin siap bantu apapun kak,” ucapnya mantap. “Lagian, aku juga kepingin nyari sesuatu kak diluar,” Ucapnya pelan.
“Nyari apaan Nin? Siapa tau saya bisa bantu” tanyaku lagi.
“Iiiihh, kak Al kepo banget deh. Udah ah, aku siap-siap dulu, tunggu sebentar ya...” Ucap Anin sambil menutup pintu kamarnya.
BLAAM
Lebih mirip dibanting sih. Cukup lama aku menunggu Anin. Akupun menunggu sembari melakukan peregangan. Entah apa yang bakal terjadi kedepannya, namun tidak ada salahnya bersiap-siap.
Belum beres diriku melakukan peregangan, tiba-tiba Anin menepuk pundakku dari belakang. “Hayuk Kak, katanya mau pergi, malah pemanasan, kaya mau perform aja,” oloknya mengagetkanku. Disampingnya terdapat Celine yang masih terlihat lemas.
“Eh, iya Nin,” jawabku kepadanya. Lalu kutatap Celine yang berada disampingnya. “Kamu udah baikan Sel?” tanyaku memastikan keadaannya. Ia hanya mengangguk lemah.
“Ya udah kalo gitu. Sebelum pergi mending kita ngobrol dulu sama Mbah Surip,” Kataku sembari mulai berjalan diiringi Anin dan Celine.
Di belakang rumah, kami pun bertemu dengan Mbah Surip. Setelah mengutarakan keinginan kami, serta meminta Mbah untuk menjaga Celine sementara kami pergi. Mbah Surip hanya berpesan untuk berhati-hati, juga apabila ingin melihat TSM dari jarak yang aman, lebih baik untuk menggunakan rute Turangga, karena tidak harus melewati jalan besar, serta ada beberapa bangunan tinggi untuk melihat sekitar.
“Sebentar Nak, kalian tunggu disini,” ucapnya seraya masuk ke dalam gudang yang ada di samping halaman belakang.
Tak lama iapun keluar dengan membawa sebuah tas. “Kalian bawa radio ini ya, biar mudah berhubungan nanti nya. Selain itu, disini ada
binoculars sama belati,” jelas Mbah.
“Siap Mbah, terima kasih banyak atas semua bantuan dan nasihat nya. Saya sama Anin pergi dulu Mbah, sama saya juga minta tolong untuk jagain Selin,” pintaku kepada Mbah. Sebetulnya aku merasa tidak enak meminta Mbah untuk menjaga Celine, namun tubuhnya masih terlalu lemah untuk ku ajak pergi.
“Baik Nak, Mbah juga berpesan hati-hati diluar sana. Terkadang dunia yang kacau membuat manusia yang hidup didalamnya juga kacau,” pesan Mbah Surip sembari mengantar kami sampai ke gerbang belakang. Aku dan Anin pun berangsur menjauh dari rumah Mbah. Meninggalkan Mbah Surip dan Celine yang terlihat khawatir.
Benar sekali, perumahan tentara yang kami lewati relatif sepi. Kami hanya berjumpa 4 sampai 7 mayat hidup yang segera dapat kami hindari maupun atasi. Sampai kami diujung jalan, di kiri kami terlihat blokade jalan melintang membatasi antara jalan ini dan jalan utama. Dari kanan, tak jauh dari tempat kami berdiri, terlihat 2 buah minimarket mengapit sebuah bangunan setinggi 4 lantai. Benar kata Mbah, darisana kita bisa melihat langsung keadaan sekitar.
“Nin, kayanya kita bisa liat langsung TSM dari atas gedung itu,” Aku menunjuk gedung tinggi tersebut.
“Nnngg… Kak boleh gak aku mampir dulu ke minimarket? Aku mau nyari kebutuhan pribadi aku sama Celine kak,” Ucap Anin malu-malu.
“Ya boleh aja Nin, apa ga sekalian bareng aja, biar lebih aman,” balasku menawarkan.
“Iiiihh kakak, udah dibilangin barang pribadi masih aja pengen ikut. Udah kakak jagain aku ya disini,” ucapnya sembari menahanku dan berlari masuk ke dalam minimarket.
“Hati-hati Nin,” Sahutku. Akupun berjaga sambil penasaran, maksud dari benda pribadi itu apa.
.
.
Lama aku menunggu diluar. Aku tidak menemukan kehidupan sejauh mata memandang, baik yang hidup kembali maupun yang benar-benar hidup. “
Anin lama amat ya,” gumamku dalam hati. Kembali aku mengecek siaran darurat dari HP ku, karena memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Masih tetap sama, tidak ada perubahan. Lama menunggu ak menjadi khawatir. Akupun masuk kedalam minimarket tersebut.
Gelap, juga pengap rasanya saat aku masuk ke dalam minimarket tersebut. Banyak benda berserakan di lantai. Aku memperhatikan seluruh ruangan minimarket tersebut tak jauh setelah aku masuk. Aku tidak menemukan Anin dimanapun.
Aku yang khawatir lalu mencari-cari keberadaan Anin di dalam minimarket. Disebuat sudut terlihat Anin menunduk, seperti sedang memilih-milih sesuatu. Tak menyadari keberadaanku, diapun mengangkat sesuatu keatas. Sebuah celana dalam berwarna merah muda. Mirip sekali dengan yang Celine kenakan kemaren. Seketika penisku berontak mengingat pergumulan panasku dengan Celine kemarin. Hal tersebut membuat aku salah tingkah dan berangsur mundur hingga menyebabkan aku kehilangan keseimbangan.
SREEEEKKK!!! BRUUKK!!!
Aku yang panik tak sengaja menyenggol rak hingga barang yang tergantung berguncang. Anin terkaget melihat hal tersebut lalu tersadar akan keberadaanku disana.
“Iiiihhh, kak Al ngapain disini??” pungkas Anin ketika melihat diriku.
“Eehh… itu…” Aku tercekat tidak bisa menjelaskan.
Sepertinya ini akan berakhir buruk
tbc