Tarra Nadhira
Guru Semprot
- Daftar
- 6 Feb 2011
- Post
- 671
- Like diterima
- 72
*Setiap kita pasti memiliki lembaran-lembaran kenangan yang tersimpan rapih dalam rak-rak di sanubari. Seperti apa yang saya rasakan ketika itu, ketika sepasang mata (nya) yang seakan mengajak saya untuk pulang kembali ke rumah yang pernah saya tinggalkan. Meski kenangan tinggallah kenangan, dan semua itu akan menjadi sulit saat kita menyadari bahwa waktu memang berputar membuntuti jarum jam, yakinlah, bahwa ada beberapa ruang dan waktu yang mampu menghentikan laju sang waktu dan membuat kita menangis saat kita sebenarnya ingin tertawa dan terbahak-bahak.
Seumur-umur, baru kali ini aku menginjakan kaki di Rumah Sakit jiwa, sebuah gedung yang telah berdiri sejak jaman penjajahan dulu. Langkahku adalah langkah yang ragu, menapaki jalan demi jalan dari parkiran menuju sebuah ruangan melewati koridor-koridor yang hening.
Dan bukan tanpa sebab aku datang ke sini. Aku datang hendak menemui seorang pasien perempuan, yang ku ketahui melalui orang-orang, bahwa perempuan tersebut adalah salah satu korban pemerkosaan dari kerusuhan antar etnis yang pecah beberapa tahun lalu.
Perempuan tsb, kini hidup sebatang kara. Hanya berteman Tuhan dan jiwanya sendiri. Semua harapannya telah sirna, mati bersama kedua orang tua dan asap-asap yang membumbung dari api yang melumat tempat tinggalnya.
Aku telah sampai di kamarnya ..
Sungguh, aku tak ingin melihatnya lebih dekat, tak juga ingin aku melihatnya lebih jauh. Aku hanya melihatnya dari balik jendela, dengan mata yang nanar dan perasaan yang miris dalam hati. Sesosok perempuan yang telah terpinggirkan oleh kehidupan, ia hanya diam terduduk di tepian ranjang dengan kepala yang di cengkram oleh cakar-cakar tajam dari masa lalu.
Matanya menatap tapi tak melihat, hanya menerawang mencari tahu sejauh mana jarak antara orang-orang di luar sana dengan teriakannya yang semakin tak terdengar.
Itu Tya .. temanku dulu sewaktu SMA, Tya tak hanya menjadi teman, perempuan itu juga pernah menjadi pacarku, yang akhirnya kami berpisah setelah sama-sama lulus SMA. Karena pihak dan kerabat terdekat keluargaku tak menyetujui aku berhubungan dengan perempuan dari etnis tertentu.
Ku geser langkahku, ingin aku menatap wajah dan matanya ..
Seharusnya aku tak merasakan hal yang seperti ini, harusnya aku sudah berada di rumah bersama istri juga bidadari kecil ku. Namun ada sesuatu di balik bening mata itu, tentang terbenamnya matahari dan memory yang menyentak masa lalu ku ..
Waktu itu, sepuluh tahun yg lalu ..
"eh ujan .. !!" teriak Tya kala itu, tatkala mendung telah menurunkan hujannya di saat kami belum sampai di rumah sepulang dari sekolah.
"sini .. Yaa !!" kata ku seraya meraih lengannya dan menuntunnya ke sebuah dangau (saung) yg terletak tak jauh dari tepi jalan yang biasa kami lewati setiap berangkat atau pulang sekolah.
Sebuah dangau panggung berdinding bilik bambu milik pak Imron, yg sepertinya telah di tinggalkan pemiliknya, karena mungkin mereka sudah menebak bahwa hujan akan segera mengguyur.
Tya, atau Seftya Wida, adalah tetangga ku, rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah nenekku, karena sewaktu SMA aku tinggal di rumah nenek ku di sebuah desa yang masih asri dan jauh dari pusat perkotaan, sementara kedua orang tua ku sibuk bekerja di Jakarta. Sebenarnya, kalo aja aku tidak nakal, orang tua ku tak'kan menyekolahkanku di sini (kampung nenek ku). Kini aku hampir 3 tahun menetap di desa ini, dimana jarak yang ku tempuh untuk sampai di sekolah hampir 5 kilo-an. Harus menggunakan angkutan desa pula, yang kala itu ongkosnya masih 300 perak, belum lagi aku harus berjalan sejauh lebih dari 3 kilo meter melintasi jalan yang memisahkan kampung ku dengan jalan beraspal yang menghubungkan antar desa dan pusat kota.
Minggu-minggu pertama aku tinggal di sini adalah mimpi buruk yang tak ingin ku alami, sampai akhirnya aku berkenalan dengan Tya, Sang Bunga desa, dan mimpi-mimpi buruk itu pun berubah menjadi mimpi yang indah.
Tak sulit bagiku untuk menaklukan hatinya dengan wajah ini, dan hanya beberapa minggu kami berkenalan, kami telah menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan, meski aku harus menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari para pengagum Tya. I don't Care ..
Sepasang mata Tya yang memendar teduh itu begitu sejuk di pandang, di sempurnakan dengan garis wajah yang lembut dan harmonisasi dari bibir dan hidung yang terpadu menyenangkan, menjadikan Tya sebagai salah satu dari warna pelangi di antara warna pelangi yang lainnya. Tingginya semampai, yg ketika berdiri, tak ubah nya seperti bunga lili di atas hamparan savana, dan angin-angin genit yang sengaja membelai rambut hitam legamnya yang panjang, menarik setiap hati para kurcaci di kiri dan kanannya, agar mendendangkan qasidah-qasidah cinta yang indah untuk Setya Wilda.
" awas sepatu kamu basahh .. !!" saranku padanya, sementara aku mulai melepaskan tali temali sepatu hitamku, lalu melepaskan kedua sepatu dan menjijingnya masuk bersamaku ke atas dangau. Tya pun menyusulku sembari menjinjing sepatunya dengan lengan kiri.
Iseng-iseng aku periksa pintu dangau pak Imron tsb, kali aja tak terkunci.
Dan ternyata benar saja, pintu yang terbuat dari kayu itu tak terkunci hanya menutup erat karena di himpit karet-karet ban.
" ech .. ga ke konci Ya .. " ucapku seraya membuka pintu yang tebuat dari kayu tsb.
" jangan Vid .. nanti di omelin lho .. " cegah Tya
" agh .. gapapa, gada orang ini kok, lagian enakan di dalem, ga kedinginan !! " tukas ku, sambil terus membukanya, bahkan kini aku memberanikan diri, melongokan kepalaku ke dalam dangau tsb.
Gelap !! tak ada penerangan sedikit pun, selain sisa-sisa cahaya sore ini yang menyelinap payah melalui celah bilik.
" sini Ya .. " ajakku sambil melangkahkan kaki lebih dalam lagi.
Tanpa menjawab, Tya mengekor di belakangku meski sebenarnya aku tahu, ia ragu melakukannya.
Sesampainya di dalam, ku nyalahkan lighterku dan menyorotkan sinarnya ke beberapa bagian dalam dangau tsb, berharap menemukan media penerangan.
" I get it .. !!" aku bergumam begitu melihat sebuah lampu minyak yang terpojok di sudut dekat cangkul dan peralatan berkebun lainnya. Segera saja ku raih alat penerangan tsb, dan tanpa berpikir panjang ku sulut sumbunya.
" taraa .. " ku tunjukan lampu minyak itu pada Tya, yang sedari tadi hanya terdiam menggigil di belakangku.
" kalo beginikan keliatan cakepnya .. xixixi " candaku padanya yang langsung di balasnya dengan cibiran di bibir yang tipis menggemaskan.
Ku letakan lampu tsb di lantai dangau yang juga terbuat dari bambu yang di anyam sedemikian rapih dan kokoh. Sejurus kemudian, ku raih 2 lembar daun pisang yang tersandar tak jauh dari kami dan memberikannya satu pada Tya sementara yang satu lagi untuk ku sendiri.
" buat apaan nih ?! "
" buat duduk lah neng, masa buat di makan " jawabku sembari meletakan pantatku pada lantai yang telah ku lapisi dengan daun pisang.
Tya pun menurutinya, duduk bersimpuh menghadap lampu minyak yang berada di tengah kami, sementara gemuruh hujan makin deras, di sertai salakan petir dan cahaya kilat yang mendebarkan.
Aku teringat pada sebatang rokok di dalam tas ku dan sebenarnya, saat ini adalah saat-saat yang menyenangkan untuk menikmati asap tembakau tsb. Namun keinginan itu harus ku pupus, mengingat Tya sangat tak suka pada asap rokok. Dan untuk beberapa menit ke depan, kami hanya berbincang dan bermain tebak-tebakan yang garing.
" tebak nih yaah, Bagaimana caranya memasukan gajah ke dalam kulkas ?? " aku memulai tebakan ku. dan aku yakin kalo Tya tak'an bisa menjawabnya.
" engggg .. " Tya berfikir dengan kening yang berkerut, sesekali menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat rambutnya berayun mengikuti gerakan kepalanya. Imut banget sihh dia, kaya sengaja mengundang tangan ku untuk menjamah kelembutannya.
" di potong-potong aja tuh gajahnya .. hehe " jawabnya ngasal.
" salah .. !!"
" terus ?! gimana ?! aku ga tau .."
" mo tau ga jawabannya ?! "
" iya !! "
" jawabannyaaaa .. buka pintu kulkasnya, masukin gajanya terus tutup lagi dech pintunya .. kelar (selesai) kan !!"
" lhaa emangnya bisa, kan enggak muaat ?! "
" yang aku tanyain kan caranya bukan, muat atao engga muatnya .. xixixi "
" ahhh dasaaarrr !! Dapot "
Dapot bukanlah namaku, melainkan nama asli ku (David) yang di plesetkan. Dan Tya kerap menyebutnya untuk meledekku.
" nihh lagiii yaaa !! Gimana caranya masukin kuda ke dalem kulkas ?! "
" buka pintu (kulkas) nya, masukin kudanya, terus tutup lagi dech .. hahaha .. iya khaan ?! "
" SALAAAHHH !! "
" kok salah ?! trus apa dong jawabannya ?! "
" buka pintu (kulkasnya) keluarin dulu gajahnya, kan tadi di dalemnya ada gajah, nah kalo si gajah udah keluarrr .. baru degh masukin kuda-nya !! hahaha "
" ahhhh "
" nihh satu lagii, satuuuu lagiii "
" iyaa apa ?! "
" Gajah sama Kuda, kalo balap lari, menangan siapa ?! "
" Hmmm .. yaaa kuda lhaa .. kan kuda binatang pelari, sementara gajah bukan, dan bertubuh tambun pula, bener khann ?! "
" salah lagi ... !! "
" kok salah meluluuu seeehh ?! "
" jawabanyaaaa .. adaaalaaaahhh GAJAH. kenapa gajah, selambat-lambat apapun si GAJAH berlari, pasti dia akan sampai duluan di garis finish, karna si kuda masih ada di dalem kulkas, belom kamu keluarinnn .. iyaaa kaannn !!! hahahahaaaaa "
" pertanyaannya masih nyambung yaaaa .. ihh dia maachh .. " Tya jengkel mendengar jawabannya, saking jengkelnya, dia mencabut bulu kaki ku.
" adaaooww sakiiittt !! " sergah ku seraya memburu tangannya, dan ..
Aku begitu erat menggenggam tangannya, pun genggamannya semakin serat dalam genggamanku. Juga pandangan kami, pandangan kami semakin erat.
" ehemm .. " Tya berdehem, seraya melepaskan genggamannya perlahan dan membuang pandangannya ke bawah. Sejurus kemudian, ia merapihkan rambutnya. Makin bertambah cantik dia .. bertambah burem pula otak ku ini. Ku singkirkan lampu minyak di depanku, menggesernya agak ke tengah, lalu meringsek mendekati si cantik yang masih tertunduk malu.
Ku ambil lagi lengan kirinya dengan kedua tangan ku, dan ia pun memberikan di sertai pandangan yang begitu teduh ke arahku. Cukup lama aku mengecup, punggung tangannya, hingga akhirnya ..
" aku sayang sama kamu Ya !! " ujar ku sambil tetap menggenggam lengannya.
" aku juga sayang sama kamu .. David jelekk " balasnya terkekeh.
Sementara, bisikan setan yang berbaur dalam aliran darahku, membuat tubuhku makin beringsut beberapa centi lagi ke arahnya. Hingga kami tak berjarak lagi, dan ku angkat kedua kakinya lalu ku tumpangkan di atas kedua paha ku, setelah sebelumnya, ku singkap beberapa centi rok abu-abu tsb. Usai menumpangkan kedua kakinya di atas pahaku, ku tarik lebih dalam tubuhnya, dengan kedua tangan yang ku lingkarkan di punggungnya. Seketika itu juga, ku sodorkan muka ini, ke wajahnya, seriring tatapan kami yang tak henti-henti, bibir-bibir kami pun bertemu dan mulai merasakan hangat tubuh masing-masing.
Sementara Tya mengalungkan sepasang lengannya di tengkuk ku, ku pagut lebih keras bibir bawahnya, hingga terdengar lenguhan dan terendus wangi nafasnya yang berjejalan masuk ke dalam tenggorokan ini. Tak lama kemudian, ku lumat seluruh permukaan bibirnya, ku poles semuanya dengan lidah dan ludah dan dengusan itu semakin nyata di telinga ku di antara gemuruh hujan-hujan di luar sana. Hingga akhirnya lidah kami pun bersua, saling mengecap dan melilit seiring dekapan dadaku yang menghimpit buah dadanya yang ingin segera ku remas.
Sesekali kami melepaskan ciuman kami dan menatap satu sama lain, dan kembali memagut bibir-bibir yang tampak mengkilap dan terbias cahaya dari api yang menjadi saksi, bagaimana cinta memperbudak perasaan-perasaan anak manusia.
Ku seret lidahku menuju telinganya untuk segera meniupkan beberapa kata-kata cinta ke dalam jiwanya, tak terkecuali nafas-nafas hangat yang akan memerindingkannya.
" Tya sayang ga ama David ?! " tanya ku dalam bisik tepat di ujung liang telinganya.
Dan si cantik hanya mengangguk pelan sambil mengeratkan dekapannya dalam pelukku.
Berkali-kali Tya mendesah tatkala ujung lidah ku menggelitik dan menjilati daun dan bagian belakang telinganya. Sementara di bawah, Tya makin menggesek-gesekan selangkangannya tepat di mana penis ku makin mengeras tak tertahankan, aku pun sesekali membalas gesekan tsb sambil tetap menjilati telinganya yang tak bergiwang (anting). Usai bermain-main dengan daun telinga si cantik, ku lanjutkan rangsanganku padanya di bagian leher dan sesekali menciumi wangi dagunya. Terus dan terus ku turunkan cumbuanku, lalu membenamkan wajah ini di antara payudaranya yang masih terlindung. Ku lepaskan rangkulanku yang melingkar di punggungnya.
Kedua lenganku mulai menyelinap ke dalam baju seragamnya lewat belakang, menggerayang lembut sisi-sisi punggungnya kanan kiri, kemudian meringsut ke atas dan melepaskan pengunci BRA-nya. Punggung si cantik agak sedikit merebah ke belakang, karena dorongan dari keningku yang menempeli dadanya. Ku tarik lenganku dari tali behanya yang telah terlepas untuk menjemput sepasang payudara milik kembang desa di balik sana.
" oouuucchh !! " jelas terdengar desahannya, begitu kedua lengan ini telah sampai di payudaranya, payudara yang masih kencang dan halus.
Beberapa menit ku remas buah dadanya itu, si cantik mulai melucuti kancing-kancing seragamnya sendiri, dari bawah ke atas. Bertambah senanglah hati ini, karena kini bentuk payudaranya terpampang jelas di mataku setelah sebelumnya ku singsingkan BRA berwarna beige tsb. Kedua puting dan aerolanya masih begitu imut-imut dan segar. Sejenak ku mainkan bagian tsb dengan ujung-ujung kuku-ku sementara si cantik memperhatikannya dengan mata yang makin meredup. Sejurus kemudian, ku tempelkan bibirku di sana, ku kecup mesra kedua putingnya silih berganti.
" oouuucchhh ... !! ssscchhh .. !!! " si cantik mendesah begitu ku kulum puting sebelah kirinya, sementara puting sebelah kanannya terpilin jari-jari ku.
Selesai menyusu di kedua payudara itu, ku rebahkan lagi tubuh si cantik. Sambil terus mencumbu sesenti demi sesenti perutnya, ku rebahkan terus tubuhnya.. terus dan terus .. hingga punggungnya menyentuh lantai.
Tak mau seragamnya kotor oleh remah-remah, Tya meraih selembar daun pisang untuk melapisi lantai, lalu kembali membaringkan tubuhnya pada lantai yang telah di alasi daun pisang tsb.
Mendapati Tya sudah memberikan "kepasrahannya", ku renggangkan jarakku dengannya. Beringsut sedikit ke belakang seraya memegangi kedua tungkai kaki mulusnya, sepasang kaki indah yang di hiasi sedikit bulu-bulu yang menggoda. Ku seret cengkramanku menuju selangkangannya, praktis, rok abu-abu-nya pun ikut tersingkap. Terus dan terus ku singkap, hingga menemukan celana dalam berwarna pink yang membalut area kewanitaannya dan degup jantungku pun semakin tak keruan. Semakin dalam cengkramanku bergeser, semakin melebar pula jarak antara kedua pahanya.
Dan kini bagian itu terpampang jelas, bagian tersensitive dari tubuh seorang kembang desa. Paha dan selangkangannya begitu mulus, hingga tak henti-hentinya mata ini memandang dan mengagumi, betapa Tuhan begitu sempurna mengukir setiap lekuk pada tubuh Tya. Ku julurkan kepalaku ke tengah pahanya yang masih ku genggam, membuat jarak yang cukup, agar kepala ini bisa menjulur lebih dalam lagi, lagi dan ..
Big bang present
Anal Creampie (memory daun pisang)
Anal Creampie (memory daun pisang)
Seumur-umur, baru kali ini aku menginjakan kaki di Rumah Sakit jiwa, sebuah gedung yang telah berdiri sejak jaman penjajahan dulu. Langkahku adalah langkah yang ragu, menapaki jalan demi jalan dari parkiran menuju sebuah ruangan melewati koridor-koridor yang hening.
Dan bukan tanpa sebab aku datang ke sini. Aku datang hendak menemui seorang pasien perempuan, yang ku ketahui melalui orang-orang, bahwa perempuan tersebut adalah salah satu korban pemerkosaan dari kerusuhan antar etnis yang pecah beberapa tahun lalu.
Perempuan tsb, kini hidup sebatang kara. Hanya berteman Tuhan dan jiwanya sendiri. Semua harapannya telah sirna, mati bersama kedua orang tua dan asap-asap yang membumbung dari api yang melumat tempat tinggalnya.
Aku telah sampai di kamarnya ..
Sungguh, aku tak ingin melihatnya lebih dekat, tak juga ingin aku melihatnya lebih jauh. Aku hanya melihatnya dari balik jendela, dengan mata yang nanar dan perasaan yang miris dalam hati. Sesosok perempuan yang telah terpinggirkan oleh kehidupan, ia hanya diam terduduk di tepian ranjang dengan kepala yang di cengkram oleh cakar-cakar tajam dari masa lalu.
Matanya menatap tapi tak melihat, hanya menerawang mencari tahu sejauh mana jarak antara orang-orang di luar sana dengan teriakannya yang semakin tak terdengar.
Itu Tya .. temanku dulu sewaktu SMA, Tya tak hanya menjadi teman, perempuan itu juga pernah menjadi pacarku, yang akhirnya kami berpisah setelah sama-sama lulus SMA. Karena pihak dan kerabat terdekat keluargaku tak menyetujui aku berhubungan dengan perempuan dari etnis tertentu.
Ku geser langkahku, ingin aku menatap wajah dan matanya ..
Seharusnya aku tak merasakan hal yang seperti ini, harusnya aku sudah berada di rumah bersama istri juga bidadari kecil ku. Namun ada sesuatu di balik bening mata itu, tentang terbenamnya matahari dan memory yang menyentak masa lalu ku ..
Waktu itu, sepuluh tahun yg lalu ..
"eh ujan .. !!" teriak Tya kala itu, tatkala mendung telah menurunkan hujannya di saat kami belum sampai di rumah sepulang dari sekolah.
"sini .. Yaa !!" kata ku seraya meraih lengannya dan menuntunnya ke sebuah dangau (saung) yg terletak tak jauh dari tepi jalan yang biasa kami lewati setiap berangkat atau pulang sekolah.
Sebuah dangau panggung berdinding bilik bambu milik pak Imron, yg sepertinya telah di tinggalkan pemiliknya, karena mungkin mereka sudah menebak bahwa hujan akan segera mengguyur.
Tya, atau Seftya Wida, adalah tetangga ku, rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah nenekku, karena sewaktu SMA aku tinggal di rumah nenek ku di sebuah desa yang masih asri dan jauh dari pusat perkotaan, sementara kedua orang tua ku sibuk bekerja di Jakarta. Sebenarnya, kalo aja aku tidak nakal, orang tua ku tak'kan menyekolahkanku di sini (kampung nenek ku). Kini aku hampir 3 tahun menetap di desa ini, dimana jarak yang ku tempuh untuk sampai di sekolah hampir 5 kilo-an. Harus menggunakan angkutan desa pula, yang kala itu ongkosnya masih 300 perak, belum lagi aku harus berjalan sejauh lebih dari 3 kilo meter melintasi jalan yang memisahkan kampung ku dengan jalan beraspal yang menghubungkan antar desa dan pusat kota.
Minggu-minggu pertama aku tinggal di sini adalah mimpi buruk yang tak ingin ku alami, sampai akhirnya aku berkenalan dengan Tya, Sang Bunga desa, dan mimpi-mimpi buruk itu pun berubah menjadi mimpi yang indah.
Tak sulit bagiku untuk menaklukan hatinya dengan wajah ini, dan hanya beberapa minggu kami berkenalan, kami telah menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan, meski aku harus menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari para pengagum Tya. I don't Care ..
Sepasang mata Tya yang memendar teduh itu begitu sejuk di pandang, di sempurnakan dengan garis wajah yang lembut dan harmonisasi dari bibir dan hidung yang terpadu menyenangkan, menjadikan Tya sebagai salah satu dari warna pelangi di antara warna pelangi yang lainnya. Tingginya semampai, yg ketika berdiri, tak ubah nya seperti bunga lili di atas hamparan savana, dan angin-angin genit yang sengaja membelai rambut hitam legamnya yang panjang, menarik setiap hati para kurcaci di kiri dan kanannya, agar mendendangkan qasidah-qasidah cinta yang indah untuk Setya Wilda.
" awas sepatu kamu basahh .. !!" saranku padanya, sementara aku mulai melepaskan tali temali sepatu hitamku, lalu melepaskan kedua sepatu dan menjijingnya masuk bersamaku ke atas dangau. Tya pun menyusulku sembari menjinjing sepatunya dengan lengan kiri.
Iseng-iseng aku periksa pintu dangau pak Imron tsb, kali aja tak terkunci.
Dan ternyata benar saja, pintu yang terbuat dari kayu itu tak terkunci hanya menutup erat karena di himpit karet-karet ban.
" ech .. ga ke konci Ya .. " ucapku seraya membuka pintu yang tebuat dari kayu tsb.
" jangan Vid .. nanti di omelin lho .. " cegah Tya
" agh .. gapapa, gada orang ini kok, lagian enakan di dalem, ga kedinginan !! " tukas ku, sambil terus membukanya, bahkan kini aku memberanikan diri, melongokan kepalaku ke dalam dangau tsb.
Gelap !! tak ada penerangan sedikit pun, selain sisa-sisa cahaya sore ini yang menyelinap payah melalui celah bilik.
" sini Ya .. " ajakku sambil melangkahkan kaki lebih dalam lagi.
Tanpa menjawab, Tya mengekor di belakangku meski sebenarnya aku tahu, ia ragu melakukannya.
Sesampainya di dalam, ku nyalahkan lighterku dan menyorotkan sinarnya ke beberapa bagian dalam dangau tsb, berharap menemukan media penerangan.
" I get it .. !!" aku bergumam begitu melihat sebuah lampu minyak yang terpojok di sudut dekat cangkul dan peralatan berkebun lainnya. Segera saja ku raih alat penerangan tsb, dan tanpa berpikir panjang ku sulut sumbunya.
" taraa .. " ku tunjukan lampu minyak itu pada Tya, yang sedari tadi hanya terdiam menggigil di belakangku.
" kalo beginikan keliatan cakepnya .. xixixi " candaku padanya yang langsung di balasnya dengan cibiran di bibir yang tipis menggemaskan.
Ku letakan lampu tsb di lantai dangau yang juga terbuat dari bambu yang di anyam sedemikian rapih dan kokoh. Sejurus kemudian, ku raih 2 lembar daun pisang yang tersandar tak jauh dari kami dan memberikannya satu pada Tya sementara yang satu lagi untuk ku sendiri.
" buat apaan nih ?! "
" buat duduk lah neng, masa buat di makan " jawabku sembari meletakan pantatku pada lantai yang telah ku lapisi dengan daun pisang.
Tya pun menurutinya, duduk bersimpuh menghadap lampu minyak yang berada di tengah kami, sementara gemuruh hujan makin deras, di sertai salakan petir dan cahaya kilat yang mendebarkan.
Aku teringat pada sebatang rokok di dalam tas ku dan sebenarnya, saat ini adalah saat-saat yang menyenangkan untuk menikmati asap tembakau tsb. Namun keinginan itu harus ku pupus, mengingat Tya sangat tak suka pada asap rokok. Dan untuk beberapa menit ke depan, kami hanya berbincang dan bermain tebak-tebakan yang garing.
" tebak nih yaah, Bagaimana caranya memasukan gajah ke dalam kulkas ?? " aku memulai tebakan ku. dan aku yakin kalo Tya tak'an bisa menjawabnya.
" engggg .. " Tya berfikir dengan kening yang berkerut, sesekali menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat rambutnya berayun mengikuti gerakan kepalanya. Imut banget sihh dia, kaya sengaja mengundang tangan ku untuk menjamah kelembutannya.
" di potong-potong aja tuh gajahnya .. hehe " jawabnya ngasal.
" salah .. !!"
" terus ?! gimana ?! aku ga tau .."
" mo tau ga jawabannya ?! "
" iya !! "
" jawabannyaaaa .. buka pintu kulkasnya, masukin gajanya terus tutup lagi dech pintunya .. kelar (selesai) kan !!"
" lhaa emangnya bisa, kan enggak muaat ?! "
" yang aku tanyain kan caranya bukan, muat atao engga muatnya .. xixixi "
" ahhh dasaaarrr !! Dapot "
Dapot bukanlah namaku, melainkan nama asli ku (David) yang di plesetkan. Dan Tya kerap menyebutnya untuk meledekku.
" nihh lagiii yaaa !! Gimana caranya masukin kuda ke dalem kulkas ?! "
" buka pintu (kulkas) nya, masukin kudanya, terus tutup lagi dech .. hahaha .. iya khaan ?! "
" SALAAAHHH !! "
" kok salah ?! trus apa dong jawabannya ?! "
" buka pintu (kulkasnya) keluarin dulu gajahnya, kan tadi di dalemnya ada gajah, nah kalo si gajah udah keluarrr .. baru degh masukin kuda-nya !! hahaha "
" ahhhh "
" nihh satu lagii, satuuuu lagiii "
" iyaa apa ?! "
" Gajah sama Kuda, kalo balap lari, menangan siapa ?! "
" Hmmm .. yaaa kuda lhaa .. kan kuda binatang pelari, sementara gajah bukan, dan bertubuh tambun pula, bener khann ?! "
" salah lagi ... !! "
" kok salah meluluuu seeehh ?! "
" jawabanyaaaa .. adaaalaaaahhh GAJAH. kenapa gajah, selambat-lambat apapun si GAJAH berlari, pasti dia akan sampai duluan di garis finish, karna si kuda masih ada di dalem kulkas, belom kamu keluarinnn .. iyaaa kaannn !!! hahahahaaaaa "
" pertanyaannya masih nyambung yaaaa .. ihh dia maachh .. " Tya jengkel mendengar jawabannya, saking jengkelnya, dia mencabut bulu kaki ku.
" adaaooww sakiiittt !! " sergah ku seraya memburu tangannya, dan ..
Aku begitu erat menggenggam tangannya, pun genggamannya semakin serat dalam genggamanku. Juga pandangan kami, pandangan kami semakin erat.
" ehemm .. " Tya berdehem, seraya melepaskan genggamannya perlahan dan membuang pandangannya ke bawah. Sejurus kemudian, ia merapihkan rambutnya. Makin bertambah cantik dia .. bertambah burem pula otak ku ini. Ku singkirkan lampu minyak di depanku, menggesernya agak ke tengah, lalu meringsek mendekati si cantik yang masih tertunduk malu.
Ku ambil lagi lengan kirinya dengan kedua tangan ku, dan ia pun memberikan di sertai pandangan yang begitu teduh ke arahku. Cukup lama aku mengecup, punggung tangannya, hingga akhirnya ..
" aku sayang sama kamu Ya !! " ujar ku sambil tetap menggenggam lengannya.
" aku juga sayang sama kamu .. David jelekk " balasnya terkekeh.
Sementara, bisikan setan yang berbaur dalam aliran darahku, membuat tubuhku makin beringsut beberapa centi lagi ke arahnya. Hingga kami tak berjarak lagi, dan ku angkat kedua kakinya lalu ku tumpangkan di atas kedua paha ku, setelah sebelumnya, ku singkap beberapa centi rok abu-abu tsb. Usai menumpangkan kedua kakinya di atas pahaku, ku tarik lebih dalam tubuhnya, dengan kedua tangan yang ku lingkarkan di punggungnya. Seketika itu juga, ku sodorkan muka ini, ke wajahnya, seriring tatapan kami yang tak henti-henti, bibir-bibir kami pun bertemu dan mulai merasakan hangat tubuh masing-masing.
Sementara Tya mengalungkan sepasang lengannya di tengkuk ku, ku pagut lebih keras bibir bawahnya, hingga terdengar lenguhan dan terendus wangi nafasnya yang berjejalan masuk ke dalam tenggorokan ini. Tak lama kemudian, ku lumat seluruh permukaan bibirnya, ku poles semuanya dengan lidah dan ludah dan dengusan itu semakin nyata di telinga ku di antara gemuruh hujan-hujan di luar sana. Hingga akhirnya lidah kami pun bersua, saling mengecap dan melilit seiring dekapan dadaku yang menghimpit buah dadanya yang ingin segera ku remas.
Sesekali kami melepaskan ciuman kami dan menatap satu sama lain, dan kembali memagut bibir-bibir yang tampak mengkilap dan terbias cahaya dari api yang menjadi saksi, bagaimana cinta memperbudak perasaan-perasaan anak manusia.
Ku seret lidahku menuju telinganya untuk segera meniupkan beberapa kata-kata cinta ke dalam jiwanya, tak terkecuali nafas-nafas hangat yang akan memerindingkannya.
" Tya sayang ga ama David ?! " tanya ku dalam bisik tepat di ujung liang telinganya.
Dan si cantik hanya mengangguk pelan sambil mengeratkan dekapannya dalam pelukku.
Berkali-kali Tya mendesah tatkala ujung lidah ku menggelitik dan menjilati daun dan bagian belakang telinganya. Sementara di bawah, Tya makin menggesek-gesekan selangkangannya tepat di mana penis ku makin mengeras tak tertahankan, aku pun sesekali membalas gesekan tsb sambil tetap menjilati telinganya yang tak bergiwang (anting). Usai bermain-main dengan daun telinga si cantik, ku lanjutkan rangsanganku padanya di bagian leher dan sesekali menciumi wangi dagunya. Terus dan terus ku turunkan cumbuanku, lalu membenamkan wajah ini di antara payudaranya yang masih terlindung. Ku lepaskan rangkulanku yang melingkar di punggungnya.
Kedua lenganku mulai menyelinap ke dalam baju seragamnya lewat belakang, menggerayang lembut sisi-sisi punggungnya kanan kiri, kemudian meringsut ke atas dan melepaskan pengunci BRA-nya. Punggung si cantik agak sedikit merebah ke belakang, karena dorongan dari keningku yang menempeli dadanya. Ku tarik lenganku dari tali behanya yang telah terlepas untuk menjemput sepasang payudara milik kembang desa di balik sana.
" oouuucchh !! " jelas terdengar desahannya, begitu kedua lengan ini telah sampai di payudaranya, payudara yang masih kencang dan halus.
Beberapa menit ku remas buah dadanya itu, si cantik mulai melucuti kancing-kancing seragamnya sendiri, dari bawah ke atas. Bertambah senanglah hati ini, karena kini bentuk payudaranya terpampang jelas di mataku setelah sebelumnya ku singsingkan BRA berwarna beige tsb. Kedua puting dan aerolanya masih begitu imut-imut dan segar. Sejenak ku mainkan bagian tsb dengan ujung-ujung kuku-ku sementara si cantik memperhatikannya dengan mata yang makin meredup. Sejurus kemudian, ku tempelkan bibirku di sana, ku kecup mesra kedua putingnya silih berganti.
" oouuucchhh ... !! ssscchhh .. !!! " si cantik mendesah begitu ku kulum puting sebelah kirinya, sementara puting sebelah kanannya terpilin jari-jari ku.
Selesai menyusu di kedua payudara itu, ku rebahkan lagi tubuh si cantik. Sambil terus mencumbu sesenti demi sesenti perutnya, ku rebahkan terus tubuhnya.. terus dan terus .. hingga punggungnya menyentuh lantai.
Tak mau seragamnya kotor oleh remah-remah, Tya meraih selembar daun pisang untuk melapisi lantai, lalu kembali membaringkan tubuhnya pada lantai yang telah di alasi daun pisang tsb.
Mendapati Tya sudah memberikan "kepasrahannya", ku renggangkan jarakku dengannya. Beringsut sedikit ke belakang seraya memegangi kedua tungkai kaki mulusnya, sepasang kaki indah yang di hiasi sedikit bulu-bulu yang menggoda. Ku seret cengkramanku menuju selangkangannya, praktis, rok abu-abu-nya pun ikut tersingkap. Terus dan terus ku singkap, hingga menemukan celana dalam berwarna pink yang membalut area kewanitaannya dan degup jantungku pun semakin tak keruan. Semakin dalam cengkramanku bergeser, semakin melebar pula jarak antara kedua pahanya.
Dan kini bagian itu terpampang jelas, bagian tersensitive dari tubuh seorang kembang desa. Paha dan selangkangannya begitu mulus, hingga tak henti-hentinya mata ini memandang dan mengagumi, betapa Tuhan begitu sempurna mengukir setiap lekuk pada tubuh Tya. Ku julurkan kepalaku ke tengah pahanya yang masih ku genggam, membuat jarak yang cukup, agar kepala ini bisa menjulur lebih dalam lagi, lagi dan ..
Terakhir diubah: