Aku membuka mataku ketika silaunya sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka menyoroti wajahku. Kuregangkan tubuhku, tulangku berderak seperti patah ketika tanganku ku luruskan dan kuangkat keatas. Rasa kantuk masih tersisa.
Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi. Kubiarkan sprei, bantal dan selimut yang masih berantakan.
Dikamar mandi aku langsung membuka seluruh pakaianku dan menggantungkannya di atas gantungan yang hanya terbuat dari bilah kayu yang dipaku di balik pintu. Kuguyur tubuhku dengan air. Dingin sangat. Air Manado memang sangat dingin, bahkan hingga jam sembilan pagi pun airnya maih terasa dingin. Mungkin karena daerah ini berada di atas ketinggian, diatas bukit-bukit dengan pohon-pohon yang masih dibiarkan tumbuh.
Ah, aku bukanlah ahli fisika atau biologi atau apa saja yang tahu tentang soal pengaruh cuaca, iklim atau suhu suatu daerah, dan memang bukan keahlianku mengomentari masalah itu.
Ku guyur tubuhku dengan air, meski awalnya dingin tetapi lama kelamaan terasa nyaman juga dikulit . mungkin kulitku sudah berhasil beradaptasi dengan rangsangan dingin dari luar.
heh ...
Kugosok tubuhku dengan sabun, lalu membilasnya hingga bersih, dan mengakhirinya dengan guyuran air beberapa kali keseluruh tubuhku.
Sejam kemudian (kira-kira segitulah lamanya) aku keluar kamar mandi, tak ada handuk atau kain yang aku pakai mengeringkan tubuh, aku tak punya handuk atau apa saja yang bisa kupakai untuk mengeringkan tubuh. Maklumlah, aku hanya numpang tinggal di kosan temanku, teman yang aku kenal ketika aku kebingungan mau melangkahkan kaki ke mana, mau tinggal dimana dan mau minta tolong pada siapa..., akh mulai lagi aku flash back. Stop.
Kupatut-patut diriku depan cermin yang hanya berukuran kecil. Satu-satunya cermin yang ada dalam kamar ini, dan mungkin yang ada dalam kos kosan ini. Kupandangi tubuh telanjangku, mencermati semua lekuknya. Ada sedikit rasa bangga dalam hatiku dengan tubuh ini. Tanpa berkeinginan memuji diri sendiri aku sangat bersyukur diberi keindahan tubuh yang sangat lumayan bagus. Tubuh inilah yang telah membuat para lelaki itu tanpa kasihan menikmatinya.
Tok...Tok...Tok... terdengar ketukan di pintu kamar.
Siapa tanyaku.
Aku, Rangga... terdengar jawaban. Aku kelabakan. Dengan panik kucari apa saja yang bisa menutupi tubuh telanjangku. Langsung ku raih selimut yang masih teronggok kusut diatas ranjang lalu kulilitkan ke tubuhku sekenanya.
Masuklah, tak dikunci
Kak Rangga melangkah masuk setelah membuka pintu kamar yang tak dikunci. Ditangannya nampak bungkusan dalam tas kresek.
nih, aku bawain nasi goreng. Kamu lapar kan ? ucapnya santai sambil meletakkan bungkusan itu diatas meja.
udah mandi ya. Wangi banget ucapnya. Aku tersenyum menanggapi ucapan basa-basi itu.
Ya udah, aku keluar sebentar. Nasi gorengnya dimakan ya ?
Aku mengangguk. Kak Rangga keluar kamar lalu menutup pintu dari luar.
Sesungguhnya ada sedikit keinginan melintas dipikiranku. Ingin rasanya aku membiarkan tubuhku telanjang di depan Kak Rangga, menikmati ekspresi nakal di wajahnya. Namun sayang dia cepat keluar dari kamar.
Ah, Kak Rangga. Pria penolongku ketika aku kebingungan hendak minta tolong pada siapa saat pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di Kota Manado. Bukankah tak apalah jika aku memberikan sedikit balas budi buatnya dengan memberikan tubuhku untuk dinikmatinya ? Ah, Dia terlalu sopan padaku, tak pernah sekalipun dia berlaku tak senonoh, setiap kali aku mencoba menggodanya dengan hal-hal yang agak nakal, matanya selalu dialihkan ke tempat lain, tak pernah mau memandang aktivitas nakalku. Aku cukup salut dengan pria satu ini, mungkinkah dia tak pernah tertarik dengan tubuhku ? padahal setiap malam aku tidur seranjang dengannya......
Hadeh, kenapa pula aku memikirkan hal ini ?
Masih dengan berbalut selimut, aku duduk di atas ranjang. Ku tumpahkan sedikit lotion ke telapak tangan lalu membalurkannya ke kaki dan lenganku.
Tok...Tok...Tok... terdengar lagi ketukan di pintu kamar. Siapa lagi ini ? apa Kak Rangga lagi ?
Aku tersenyum nakal. Mungkin ini saatnya aku memberi hadiah itu...
Aku bangkit dari tempat tidur dan berdiri, kujinjitkan jari-jari kaki sejenak di lantai kamar yang kasar itu, sejenak kemudian ku berjalan ke pintu, membukanya dengan senyum tersungging dibibir. Didepan pintu Kak Rangga berdiri sambil membawa sebotol Aqua, aku tersenyun nakal dan menikmati ekspresi kaget dan malu di wajah Kak Rangga.
Lho, kok bengong aja ? cepetan masuk..
Kak Rangga seperti tersadar dari lamunannya, aku menarik tangannya masuk ke dalam kamar.
Dengan santai aku berdiri, tubuhku hampir tak dibalut apa-apa, kecuali selimut yang sengaja kulingkarkan dileherku saja, hingga bagian tubuhku yang lain terekspos bebas. Mata Kak Rangga memandang panik, tak disadarinya dia membuka tutup botol Aqua dan meminumnya yang kurasa semestinya itu akan diserahkannya padaku.
Itu bukan untukku...? tanyaku sambil tersenyum.
Eh..iya..., nampak Kak Rangga makin gugup aku belikan lagi ya ?
Ga usah, Kak aku menahan tangannya ketika dia hendak berbalik keluar kamar.
Kak Rangga disini aja, aku ga ingin sendirian
Wajah protes nampak tersirat dari raut wajahnya yang pas-pasan. Hehehe, memang pas-pasanlah, Kak Rangga bukanlah seorang pria tampan dan bertubuh atletis. Dia pria biasa yang tak punya kelebihan dalam hal face dan fisik. Namun dia memiliki banyak hal yang membuatku kagum padanya, diluar dari face dan fisik tentunya. Stop. Kembali lagi ke inti persoalan....
Rangga memandangku tak berkedip, kulirik sebentar wajahnya yang tegang. Ini pertama kali aku melakukan live show didepannya, biasanya dia langsung pergi keluar kamar ketika aku hendak ganti pakaian. Tapi kali ini, sepertinya dia ingin menikmatinya... mungkin saja.
Kak Rangga menuangkan kembali air dalam botol aqua ke dalam mulutnya, mungkin untuk menghilangkan kegugupan, hihihhihi.
Pemandangan didepan matanya yang ku hidangkan pasti sungguh sangat menggugah hasratnya. Seperti tak sanggup melihat live show didepan matanya, Kak Rangga mengalihkan pandangannya ke tempat lain, aku tersenyum senang, kulihat dari gerakan tubuhnya yang menggambarkan bahasa tubuh yang sedang terangsang berat, dia pasti membayangan tubuh bugilku yang terus merongrongnya saat dia mempertahankan ketenangannya.
Ku ambil botol Aqua ditangannya sambil mengedipkan mata, mulutnya menganga seolah-olah seribu kata yang tak sanggup keluar telah menyempitkan ruang pernafasan di paru-parunya.
Aku tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Yes...! bisikku pelan tak terdengar di telinga Rangga. Aku akan rela diperlakukan seperti apa saja kali ini olehnya, dan aku mesti dengan rela memberikan semua ini untuknya, bukan hanya sekedar balas budi, tapi juga melepaskan hasrat yang terpendam dalam hatiku, rasa berupa kebinalan yang telah ditancapkan begitu kuat oleh pria-pria yang telah menikmati tubuhku. Ya, meskipun aku seperti diperkosa oleh mereka ataupun mereka memanfaatkan kepolosanku untuk menikmati tubuhku, tapi kini rasa itu semakin membuncah berubah menjadi semacam kebutuhan akan kenikmatan seks yang selalu menuntut untuk dilampiaskan dalam diriku.
Mendadak, Rangga memelukku. Meskipun sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi rasa terkejut melihat Rangga yang tanpa aba-aba memelukku. Dia menghujami bibirku dengan ganas disertai erangan liarnya.
Ditariknya rambutku ke belakang dengan kasar, Aku berusaha menahan teriakanku, bagaimanapun, aku menginginkan ini, dan resiko apapun harus kuterima sebagai konsekwensinya.
Aku tahu, Rangga memiliki sisi lain dalam dirinya, sejak kali pertama aku mengenalnya, aku sudah menduga hal itu. Hanya saja, apa yang aku lakukan kini atas dasar pemenuhan diri serta balas budi untuknya, sementara mungkin bagi dia ini adalah bagian dari sisi gelapnya. Dari iblis yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dan kini, Iblis itu sedang merasukinya saat ini. Iblis itu sedang merubah pria yang selama ini aku kenal sopan dan gentlemen ini menjadi tak terkendali.
Aku tak peduli, aku hanya peduli pada perasaan bahwa kami membutuhkan ini. Itu saja.
Rangga mendorongku mundur sehingga tubuhku terhempas jatuh terlentang diatas ranjang. Selimut yang merupakan satu-satunya kain yang tadi menempel ditubuhku sudah jatuh sejak tadi, menyebabkan belahan vaginaku tak tertutupi lagi. Aku tak peduli, kutatap Rangga yang masih terengah-engah berdiri ditepi ranjang dengan pakaian yang masih lengkap dengan matanya menatap tak berkedip ke belahan vaginaku.
Kau masih yakin ingin melanjutkan ini ? tanyanya pelan mempertanyakan keyakinanku.
Aku mengangguk lemah. Lanjutkan Kak, aku menginginkan ini... kataku dengan nafas memburu. Yang aku butuhkan sekarang adalah Rangga bertindak lebih jauh.
Segera Rangga naik keatas ranjang, menindihku. Diturunkannya celana jeans ketat yang dipakainya dengan terburu-buru. Diangkatnya tubuhku, lalu membuka resleting celananya, kemudian dalam satu hentakan dia membenamkan penisnya yang keras di dalam liang kewanitaanku. Semua dilakukannya sangat terburu-buru, tanpa foreplay, tanpa diawali sentuhan.
Kau menginginkan ini kan? Rangga berkata disela-sela pompaan dan pagutan bibirnya.
Aku melenguh, Ya, Kak.
Kau merasa nyaman ?
Rangga meremas payudaraku dengan sangat kuat, memelintir puingnya, Aku meringis pelan.
Ya.
Ya, apa?
Aku nyaman, aku menginginkannya, aku menikmatinya
Rangga tersenyum. Gerakannya dibawah sana semakin liar. Pompaannya semakin tak teratur ritmenya, namun mulai menimbulkan rasa nikmat secara perlahan-lahan.
Awalnya Rangga hanya membenamkan saja penisnya dalam liang vaginaku, tak membuat gerakan memompa, tapi kemudian ketika dia mulai menggenjot vaginaku, gerakannya tak terkendali.
plok...plok...plok...
Suara pertemuan selangkangan kami terdengar. Aku masih saja belum sepenuhnya on. Mungkin karena Rangga yang langsung menghajarku tanpa foreplay.
Aku menjerit kecil, saat tangan kanan Rangga meremas lagi payudaraku. Sodokannya semakin kuat, membuat air mata terbentuk di sudut mataku. Rangga terus menggenjot vaginaku dengan penisnya yang cukup besar, seakan-akan tak ada lagi waktu buat kami untuk mengulanginya. Dalam, cepat, dan kasar....
Sesaat kemudian Rangga menegang, tubuhnya mengejang matanya terbeliak, giginya gemeretak. Beberapa detik kemudian, saat vaginaku semakin kuat mencengkeram penisnya, Rangga mengerang, pelukannya pada tubuhku menjadi ketat, dia mengigit leherku, meninggalkan bekas merah disana.
Crott...Crottt...
Semburan sperma terasa hangat memenuhi liang vaginaku. Terdengar suara plop saat Rangga menabut penisnya, Aku melenguh dan tersenyum.
Aku belum orgasme, dan aku tak mempermasalahkan itu. Toh aku hanya ingin memberi hadiah sebagai balas budi padanya.
Aku berbaring terlentang di atas ranjang dengan tubuh yang masih bugil dan cairan sperma yang masih meleleh keluar dari belahan vaginaku. Tanpa kusadar, aku menitikkan air mata dan menahan isakanku. Aku begitu puas telah memberi hadiah pada Rangga. Aku tidak peduli jika akhirnya aku hamil olehnya, aku tidak keberatan menerima sisi kasarnya. Aku menangis bukan karena sedih, melainkan karena perasaan lega, lega telah memberikan dengan ikhlas tubuhku padanya.
Ini bukan pertama kalinya aku ditiduri pria, dan selama itu pula aku tak pernah merasa selega ini. Aku seperti menyukai ini, sangat menyukainya bagaimanapun.
Aku tidak peduli dengan tanggapan dunia, aku tak peduli dengan aturan-aturan munafik dalam kehidupan dunia. Aku telah bersama Kak Rangga yang telah memberi semuanya padaku, perhatian, kepanikannya ketika aku pergi dari kosannya tanpa pamit,dan semuanya yang tak pernah ku rasakan dalam hidupku. Ya, semua hal yang mengharuskan aku tidak keberatan menanggung penderitaan bersamanya. Karena aku butuh apapun lagi dari kehidupan ini, kecuali perhatian dan kasih sayang seperti yang iberi oleh Kak Rangga. Cukup kalimat sederhana, AKU MEMBUTUHKAN KASIH SAYANG YANG TULUS, itu saja yang aku perlukan.