Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CINTA SAYUR ASEM (by Arczre)

sayang bgt... rahma itu istri yg sempurna bro... sangat amat jarang istri kyk gitu..

tapi ceritanya mantaf suhu... seperti baca novel dagh hahhaha...

next update nya di tunggu suhu

:jempol:
seperti biasa ente emang kereen..

:papi:
Komennya tar ja y gan ane harus
Ngejar mobil SUV merah diduga dikendarai tersangka Salsa
:polisi:
:motor1: :motor2: :motor3:

mobil suv nya udah di amankan suhu... :motor 1:

si ular juga di udah di sekap dan siap di buka EXPO nya, di tunggu booking slotnya yo :papi:
 
BAB XXXI

My Love


#Pov Anik#

Setelah Rian menelponku, hatiku entah kenapa gembiraaaaaaaa banget. Setelah beberapa saat lalu aku diputuskan ama Zain karena permasalahan keluarganya, akhirnya aku sendiri lagi. Zain tampak terlibat cekcok ama keluarganya setelah mengetahui aku adalah pacarnya. Mereka sampai bawa-bawa silsilah segala. Duh, aku jadi nggak enak. Akhirnya malam itu Zain mohon maaf atas perlakuan orang tuanya. Dan ia pun dengan sangat terpaksa memutuskan aku.

Aku sempat marah.

"Kamu ini jadi cowok gimana sih? Aku ada di sini mencintaimu tapi kamu sama sekali tak berkorban untukku?" kataku kepada Zain. "Kamu lihat tadi di dalam aku dihina, pake bawa-bawa silsilah segala."

"Nik, maafin aku yah. Tapi mau bagaimana lagi, mereka itu...iya, kami masih ada keluarga bangsawan. Aku nggak pernah bilang ini ke kamu. Aku anggap mereka bakal menerimamu," katanya.

"Setidaknya bela aku dong Zain, kamu cinta aku kan?" tanyaku.

"Iya, aku cinta kamu, tapi Nik.....aku sendiri bingung," jawabnya.

"Kamu beda ama Rian. Rian berani berkorban apapun buat aku. Kamu tidak," kataku.

"Koq kamu bandingin aku ama Rian sih?"

"Iya jelas, ia berkorban buatku, ia juga berkorban buat istrinya. Ia berkorban buat orang-orang yang disayanginya. Kamu nggak!" kataku.

"Aku juga berkorban buat kamu, Nik!"

"Korban apa? Kamu selama ini hanya kepengen agar aku jadi pacarmu sebagai status itu aja kan? Dan ketika statusmu berubah kamu sudah senang, itu aja!"

"Nik, aku juga berkorban. Aku khawatir ama kamu, aku sampai bela-belain kamu, melindungi kamu."

"Trus kenapa kamu diam saja ketika aku dilecehkan sama keluargamu? Kenapa?"

"Itu..."

"Ah, sudahlah Zain. Nikmati saja kamu sama keluargamu itu. Semoga kamu juga dapat istri dari keluarga bangsawan."

"Nik, tunggu Nik!"

Aku langsung pergi meninggalkan Zain. Zain memanggilku berkali-kali, tapi aku terus melangkah meninggalkannya. Hingga kemudian aku nyegat taksi. Aku tinggalkan restoran tempat kami makan malam tadi. Sebel aku. Sebel dengan Zain dan kelakuan keluarganya. Mereka dari orang Palembang, entah keluarga bangsawan apa namanya aku juga nggak jelas. Masih ingat aku bagaimana dengan pedas ibunya menyindirku, "Cari jodoh itu harus jelas bibit, bobot dan bebetnya. Kalau orang ningrat maka harus dengan orang ningrat biar serasi. Bukan dengan orang biasa."

Persetan ama mereka masa bodoh.

Baru setelah tiga hari kemudian Rian BBM dan nelpon aku ingin kembali. Aku rasanya bahagia banget. Ketika aku pulang dari kantor Yuli malah mengerutkan dahi. Tatapannya menyelidik.

"Lo kenapa?" tanyanya.

"Ada deh," jawabku.

"Tiga hari lalu sedih, sekarang ceria lagi, dah dapat cowok baru?"

"Hmm....nggak juga sih."

"Halah, gue itu heran ama elu, koq cepet banget dapat cowok."

"Yee...nggak juga kale," kataku sambil mencibir.

"Habis Zain siapa lagi sekarang?"

"Rian."

"HAH?! Serius lo?"

"Iya, hari Sabtu itu...ah besok berarti dia mau ke sini."

"Serius LO?" Lagi-lagi Yuli menggoyang-goyang bahuku.

"Seriuslah. Besok ia mau ke sini," kataku.

"ADUUUUUHHHHHH Aniiiikk!" Yuli meluk aku.

"Lho, Yul, kenapa lo?" tanyaku.

"Aku turut seneeeeeng!" jawabnya.

"Apaan sih? Yang harusnya senengkan aku," kataku.

"Yah, gue juga seneng dong. Duh mulai dari mana ya? Pokoknya seneng deh. Lo nggak bakal ngerti kalau nggak lihat sendiri Nik. Gue bener-bener nggak habis pikir akhirnya lo bakal kembali ama Rian."

"Emangnya kenapa sih?"

"Udahlah, dari lubuk hati yang paling dalam, lo itu masih suka ama Rian. Gue tau itu, lo nggak usah munafik deh. Selama ini, lo pasti ngarepin ini kan? Jujur deh ama gue!"

Aku memikirkannya dalam-dalam. Bener sih, selama ini memang masih ngarepin dia. "Iya juga sih."

"Nah kaan, kalian berdua itu sama-sama O'onnya dari dulu. Sama-sama suka tapi dipendeeeem terus ampe asem. Udah bersatu eh pisah lagi, habis itu saling memendam rasa lagi. Dah kayak sayur asem. Pake coba-coba mencari cinta segala. Niik Anik. Moga kalian lancar deh."

"Makasih Yul," kataku. Aku tersenyum. Dia sekarang menjadi satu-satunya orang yang sering mendengarkan curhatku. Aku tiba-tiba bisa kangen ama Rian sekarang. Perasaanku yang terkubur selama ini sekarang mulai bangkit lagi. Cintaku kepada dia mulai tumbuh lagi.

****

Pukul sepuluh pagi pesawat Rian datang. Aku sudah menunggunya di Bandara. Rian kulihat sedang berjalan mendorong trolli. Aku dan Yuli melambai kepadanya. Rian segera berjalan cepat ke arahku.

Aku dan dia tinggal beberapa langkah saja sih. Yuli menatap kami berdua, kemudian bilang, "Aku tinggalin kalian dulu deh, sepertinya ada yang ingin disampaikan."

Yuli buru-buru pergi.

Aku hanya menatap mata Rian lekat-lekat. Dia sepertinya lebih tinggi. Nafasku sesak. Melihat dirinya di depanku, menatapku seperti ini. Dan kita tidak ada yang menghalangi selain udara di sekitar kita bahkan kita sampai mematung untuk dua menit. Iya dua menit yang panjang. Kami hanya saling berhadapan tanpa suara. Tanpa bergerak. Mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Nggak Rian, jangan cium aku. Ini tempat publik. Aku nggak mau malu di tempat umum. Itu yang aku batin. Moga dia nggak menciumku. Tapi aku salah. Dia maju ke arahku dan langsung menciumku. Aaaaaakkkkk....no no no...tidaaaak.....Yuliiii, tolong aku. Tolong akuuu...Yuulll aku dicium Rian Yul, dia menciumku lagi Yul. Aduuuuhhh...

Aku emang aneh, dicium di tempat umum tapi nggak ngelawan malah kepengen terus dan terus. Setelah itu Rian melepaskan ciumannya. Iya, Rian tambah tinggi, aku saja sampai mendongak.

Aku mendorong Rian.

"Ini tempat umum, apa nggak nunggu nanti aja?" kataku.

"Bodo amat," katanya.

"Ihh...," aku dorong lagi dia.

"So dengan ini. Kita kembali?" tanyanya.

"Ya deh, terserah," jawabku.

"Ya udah deh, aku pulang," Rian berbalik.

"Rian, Rian koq marah sih!"

Ia berbalik lagi lalu tertawa. "Nggaklah, aku nggak bakal balik pulang tanpa dirimu. Kamu mau pulang bersamaku?"

"Maksudnya?"

"Kembali Ke Kediri, menikah denganku, jadi ibu dari anak-anakku?"

Tiba-tiba Rian berlutut di depanku. Beberapa orang yang lalu lalang di tempat itu tampak tertarik melihat kami. Aku malu. Apalagi dia memegang tanganku. Matanya menatapku.

"Anik Yuanawati. Aku cuma orang biasa, temanmu sejak kecil, sekaligus sahabatmu. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku untuk terus memikirkanmu. Aku ingin kamu menjadi istriku, menjadi pendamping hidupku. Untuk selamanya, hingga maut memisahkan kita. Apakah kamu bersedia ikut denganku? Kembali ke rumah, ke kampung halaman kita dan kita menulis kisah-kisah kita di sana?"

"Rian..."

"Terima! Terima! Terima!" aku mendengar suara Yuli dari kejauhan. Dan tiba-tiba setiap orang yang melihat kami ikut bersorak juga. Aduuuuhhh....aku harus jawab apa?? Teriakannya makin ramai diiringi tepuk tangan. Udah doong....aku maluuu...

Akhirnya aku pun mengangguk, "Iya deh." Daripada disoraki terus.

"YEEEEE!" sorak semua orang. Mereka bertepuk tangan. Rian langsung berdiri memelukku. Kami berpelukan eraat sekali. Aku tak pernah dipeluk Rian seerat ini seolah-olah ia tak ingin melepaskan diriku lagi. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Rian Rian, dari dulu kek kamu ngelamar aku.

****

Seminggu kemudian aku mengundurkan diri jadi reporter. Aku kembali ke Kediri, dan secara resmi Rian melamarku kepada keluargaku. Ibuku ketawa saja mendengar itu sambil bilang begini, "Sudah dapat mbaknya kepengen adiknya juga."

Aku kangen ama keponakanku yang lucu itu. Duh Rangga imutnya. Lucunya adalah tiap kali nangis aku gendong eh, dia diem. Sepertinya nurut ama aku. Bahkan ketika tidur dinina bobokan susah, aku gendong bisa tidur dia. Hihihihi. Lucu. Sampai ibuku nyeletuk "Ya udah, kamu jadi ibunya aja."

Dua hari menjelang pernikahanku dengan Rian. Sesuatu yang tak terkira datang. Zain datang bersama keluarganya ke rumahku.
 
Terakhir diubah:
:capek:
Hosh..hosh...
Gilaaa..!
ane harus lari" ngejar apdatetan suhu..

Gasspoll suhu
 
BAB XXXII

The Moment


#Pov Anik#

Aku terkejut. Ada banyak mobil di luar rumah. Kemudian aku pun melihat Zain keluar dari mobil. Kemudian diikuti yang lainnya. Wah, ada apa ini? Aku berdebar-debar, perasaanku nggak enak nih. Aku lihat kedua orang tua Zain yang kemarin meremehkan aku. Mereka berada di belakang Zain, tampak sang ibu yang merendahkanku kemarin menangis di sana.

Aku pun keluar rumah. Dalam sekejap halaman rumahku penuh orang.

"Ada apa ini?" tanyaku. Aku waktu itu menggendong si Rangga yang sedang tidur. Ibuku soalnya sedang ngurusi butiknya. Aku kebetulan di rumah sendirian.

"Nik, aku ke sini bersama rombongan keluargaku bermaksud melamar kamu," kata Zain.

"Hah?" aku terkejut.

"Iya, aku sudah berikan pengertian kepada kedua orang tuaku, mereka tak akan bisa mencegahku. Biar pun aku harus keluar dari silsilah keluarga mereka aku tak peduli. Aku akan buktikan kepadamu bahwa aku juga bisa berkorban. Aku mengancam kepada mereka aku akan benar-benar pergi dari keluargaku, sekarang aku sudah di sini. Aku dengar kamu pulang ke Kediri, akhirnya kami pun ke sini," kata Zain.

Aduh mak, mateng aku. Gimana ini?

"Aduh, Zain...itu...duh gimana ya...," aku jadi nggak enak ngomong ama dia.

"Nak Anik, ibu mohon maaf ya atas sikap ibu kemarin. Zain udah nggak bisa diubah pendiriannya. Ibu mohon maaf banget, Zain udah bersikeras kepengen ngelamar kamu," kata ibunya Zain.

"Masalahnya nggak semudah itu. Aku...aku mau menikah ama bapaknya anak ini," aku jujur deh.

Semua orang tampak tertegun. Mereka heran.

"Anak siapa itu?" tanya Zain.

"Ini anaknya Mbak Rahma, kakakku," jawabku.

"Oh, Rian ya?" kata Zain. Ia menghela nafas.

"Maaf ya, Zain. Aku emang belum bilang ke kamu. Dua hari lagi aku akan menikah ama Rian. Ma'aaaaf banget, aku nggak bisa menerimamu. Aku mohon maaf juga buat bapak, ibu. Aku memang nggak pantas buat Zain. Kita dari kasta yang berbeda. Aku bisa fahami koq semua itu. Aku mohon maaf sekali. Aku sudah menemukan orang yang aku cintai sejak dulu, sejak ketika pertama kali aku bermain di sawah bersama-sama, bermain layang-layang bersama-sama, belajar bersama, lari-lari ngejar truk tebu bersama-sama. Aku mencintai dia dan aku sadari aku tak bisa melepaskan dia. Maaf ya, kalian semua, terutama kamu Zain. Aku minta maaf banget."

Zain tersenyum. "Tak apa-apa Nik, tak apa-apa. Aku emang terlambat. Seharusnya aku melamar kamu dari dulu. Dan seharusnya mereka tak mencegah aku." Zain menoleh ke ayah dan ibunya.

Tiba-tiba ibunya Zain menghambur ke arahku dan berlutut.

"Nak Anik, kumohon terimalah Zain nak. Ia mengancam akan ninggalin kami kalau ia tak menikah ama kamu, kumohon nak, terimalah Zain. Ibu akan berlutut di sini sampai kamu mau. Apa mas kawin yang diberikan ama calon suamimu itu, ibu bisa berikan lebih banyak, ibu bisa berikan lebih baik. Kamu mau apa nak? Akan ibu berikan," kata wanita ini. Aku lalu duduk di depannya.

"Nggak ibu, tidak. Zain tak akan mungkin melakukan itu. Saya tahu bagaimana sifat Zain. Ia tak akan menyakiti ibunya sendiri. Ibu, bukan masalah mas kawin banyak atau sedikit. Bukan masalah itu. Semuanya adalah masalah ini bu," aku menunjuk ke dadaku. "Karena inilah seseorang akan dicintai, dan dengan karenanyalah aku memilih Rian. Ibu, berdirilah nggak pantas seorang ibu berlutut kepada seorang wanita seperti aku. Ayo bu, berdiri!"

Aku menuntun Ibunya Zain untuk berdiri. Ia menangis tersedu-sedu. Kemudian memelukku. "Ibu minta maaf ya nak. Ibu sangat menyesal sekarang. Kamulah yang seharusnya pantas jadi istrinya Zain. Bukan yang lain. Kamu punya saudari nggak nak? Biar Zain ibu nikahkan ama saudarimu."

"Kakak saya udah meninggal bu, ini anaknya," jawabku.

"Oh...lucunya anak ini," Ibunya Zain tampak mengelus-elus pipinya Rangga. "Kamu punya keluarga yang masih single?"

Wah ini ibu, koq ngebet banget nyari keluargaku yang masih single. Agak aneh aja sih.

"Ada sih, Zain juga kenal koq," kataku.

"Wah, Nik udah nggak usah dituruti maunya ibu," kata Zain.

"Zain, mata ibu terbuka sekarang. Ibu yakin keluarganya Anik ini orangnya baik semua, anaknya aja seperti ini koq. Yang pasti ibu akan nikahkan kamu sama keluarganya Anik. Bagaimana Anik ada nggak?" ibunya Zain jadi superior lagi sekarang. Zain cuma diem. Ia menggeleng-geleng.

"Ada, itu Yuli. Dia masih single bingung cari jodoh sampai sekarang," kataku.

"Wah, Mbak Yuli??" Zain ketawa.

"Eh, kenapa kamu anak ketawa?" tanya ibunya. "Kamu kenal ama dia Zain?"

"Ya iyalah, eh sebentar ibu nggak kepengen jodohin aku ama dia kan?" tanya Zain agak ketakutan.

"Kenapa? Daripada kita nggak ada hasil, lagipula ibu yakin siapa tadi namanya? Yuli ya? Iya Yuli juga pasti sama baiknya ama Anik. Di mana dia tinggal?" tanya ibunya Zain.

"Di jakarta bu," jawab Zain.

"Ayo, sekarang kita ke Jakarta!" kata ibunya Zain. "Makasih ya nak Anik, moga pernikahan kalian langgeng. Ayo pergi!"

Waduh??! Semua rombongan keluarganya Zain pergi. Zain kebingungan.

"Koq bisa jadi begini?" gumam Zain sambil menoleh ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu. "Selamat ya, ibuku nggak bisa dihentikan kalau sudah begini. Sampai jumpa, Nik!"

Aku melambaikan tanganku ke arah Zain. Ibunya dan ayahnya sudah masuk ke dalam mobil, Zain mengikutinya. Mereka pun kemudian pergi. Tak berapa lama kemudian Rian jalan kaki pakai sandal jepit, kaos oblong dan celana selutut sambil membawa belanjaan. Sangat kontras dengan rombongan keluarga Zain yang barusan aku lihat yang bersepatu, rapi, necis.

"Lho, itu tadi Zain yah? Mau ngapain?" tanya Rian.

"Mau ngelamar Yuli," jawabku.

"Hah? Yang bener!?"

"Kasih tahu Yuli gih, biar dia nggak kaget kalau Zain dan keluarganya datang!"

Rian ketawa, "Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi kayaknya seru deh."

Iya Rian, seru. Pasti habis ini Yuli bakal marah-marah ke aku. Hihihihihi.

***

Benarlah apa yang aku pikirkan kemarin. Esoknya Yuli marah-marah ke aku. Ia BBM aku.

Yuli: Niiiiiiikkkk....gilaaaaakkk. Lo kirim rombongan semut ke rumah gue!?

Me: =))
Bagus toh, sekarang nggak jomblo lagi.

Yuli: Nggak jomblo sih nggak jomblo tapi ya nggak gini jugak kale, gue sampe diisuin teroris ama orang-orang. Gara-gara dikunjungi mobil SUV warna item. Trus ngapain lo bilang kalo gue masih kerabat ama lo?

Me: Lah, emang kerabat kan?

Yuli: Iya, tapi koq cowoknya si Zain sih?

Me: Kenapa? Zainnya nolak kamu?

Yuli: Dia juga bingung mutusin.

Me: =))

Yuli: Pake ketawa lagi. Awas lu ya.

Me: Lah, kamunya gimana lho? Mumpung kesempatan ini. Mumpung kamu masih jomblo, toh Zain juga keluarganya tajir, anaknya single. Kurang apa cobak?

Yuli: Tapi ini terlalu instan Nik, gue aja lebih suka bakmi yang dimasak di pinggir jalan daripada masak mie instan.

Me: Ya udahlah Yul, jodoh kan di tangan Tuhan. Kamu mau nerima atau nggak itu keputusanmu. :)

Yuli: Duh, serba salah lagi deh gue. Gue bilang tadi tunggu dua hari deh. Gilaaaaakkk! Awas kalau nanti ketemu ama lo, gue gelitikin lo ampe mampus.

Me: =))

Yuli: :((

Aku ketawa-ketiwi sendiri sampai perutku sakit. Rian yang sedang bermain ama anaknya jadi bingung sendiri, "Ngapain ketawa-ketawa sendiri?"

"Habis lucu, HAhahahahahaha."
 
Update marathon.. :papi:
I like it.. :jempol:
Itu si Jaing mau di :tabok: ama dilempar :bata: apa?
 
BAB XXXIII

Before Mariying You




Komitmen....
Itulah hal yang terpenting dalam sebuah hubungan


#Pov Rian

Aku membantu orang-orang untuk mengatur tenda dan menata kursi. Pernikahanku kali ini kubuat sesederhana mungkin. Karena yah....dananya terbatas. Aku masih ribet ama urusan buka kantor di Kediri, jadi dananya belum begitu banyak. Tapi untung deh, aku ditolong ama Mas Yogi. Semuanya sudah dipersiapkan, sehari menjelang pernikahan aku mengajak Anik sebentar. Aku ingin mengingat-ingat kembali momen kebersamaan kita dulu.

Aku mengajaknya ke sekolah kami. Beda tentu saja. Sudah banyak yang berubah. Karena pagarnya terbuka kami pun masuk, anak-anak sekolah masih ada yang mengikuti ekstrakurikuler.

"Heh, harusnya aku hari ini dipingit lho, ngapain ngajak aku ke sini?" tanya Anik.

"Udah deh, dipingit pun percuma wong aku juga serumah ama kamu koq sekarang," jawabku.

"Aku ingin kembali mengingat-ingat kembali kenangan kita, moga kamu nggak keberatan," kataku.

Anik menyunggingkan senyumnya sampai giginya kelihatan. Beda emang dengan Anik yang dulu.

"Kamu berbeda dengan yang dulu Nik. Aku ingin ungkapkan semuanya sekarang. Kuharap kamu mau denger ya," kataku.

Dia menarik nafas dalam-dalam. "Oke deh. Silakan!"

"Kamu pasti tahu, kalau aku suka ama kamu sejak dulu. Sejak kita masih kecil, sejak kita masih belum mengenal arti cinta yang sesungguhnya," kataku.

"Iya, aku ngerti."

"Kamu juga pasti tahu, alasanku selalu ikut kemanapun kamu sekolah, itu karena aku suka ama kamu."

"Masa' sih? Aku baru tahu."

"Yah, sekarang kamu tahu kan? Aku memang tak sepintar kamu. Untuk ngejar kamu sampai sekolah di sini aku berjuang mati-matian. Akhirnya aku bisa ketemu kamu di sekolah ini dan kita di kelas yang sama."

"Hehehehe, aku terkejut. Beneran, ternyata kamu selama ini terobsesi ama aku ya?"

"Lebih tepatnya pengagum rahasia."

"Ya ya ya terus?"

"Aku sebagai seorang sahabat, sebagai teman, ingin selalu melindungimu, juga Rahma. Kalian berdua lebih dekat kepadaku daripada teman-teman yang lain. Pak Jaelani dan Pak Abdul Karim dua sahabat, kedua ayah kita memang sudah dekat dari dulu, jadi wajar kalau anak-anaknya terutama aku bisa dekat dengan kalian. Jalan lagi yuk!"

Aku menggandeng tangan Anik, sekarang kami berjalan menyusuri lorong kelas. Sampailah kami di depan kelas di mana aku dan anik dulu berada.

"Kamu ingat kelas ini?"

"Iya, ini kelas kita."

"Kamu tahu aku sering lesu kalau pagi karena ngantuk begadang buat belajar, tapi begitu lihat kamu rasa ngantukku hilang."

"Gombal ah."

"Bener koq, terserah deh percaya atau tidak. Itulah kenyataannya. Kamu adalah lentera dalam hari-hariku Nik, aku sebenarnya marah waktu kamu jadikan aku barang taruhan. Tapi sesungguhnya aku tidak bisa marah kepadamu. Aku ingin mengatakan bahwa saat itu aku tak benar-benar marah kepadamu. Aku hanya ingin memberikan pelajaran kepadamu. Itu saja sebenarnya, tapi aku terlalu O'on untuk masalah ini. Aku tak sanggup melihatmu menangis, maka dari itulah aku tak pernah melihatmu ketika kamu bersedih. Untuk menghindar dari dirimu, aku pun tak lagi mengejarmu, aku memilih jurusan yang berbeda denganmu, hal itu semata-mata karena keegoisanku."

"Rian..."

"Yuk, kita jalan lagi!" aku menggandengnya untuk pergi lagi. Kali ini kami pergi ke Gua Selomangleng tempat di mana aku nembak dia.

Aku tahu Anik sekarang berdebar-debar, mengingat kembali kenangan kita di tempat ini. Gua yang konon katanya jadi tempat bertapanya Dewi Kediri ini sekarang sudah banyak berubah. Tempat wisata ini sudah ada tempat parkir yang tertata rapi. Berbeda saat kita dulu ke sini. Aku menggandeng Anik untuk menaiki tangga menuju ke atas. Ke tempat di mana kita dulu saling mengungkapkan perasaan.

Anik terharu. "Kamu masih inget aja tempat ini?"

"Aku tak bisa melupakannya Nik, ini adalah kenangan yang tak akan terlupakan bagiku. Bagaimana aku bisa melupakan saat aku bilang mencintaimu? Nggak akan bisa. Kamu adalah cinta pertamaku, dan akan selamanya seperti itu."

"Rian...tahu nggak sih? Kamu juga cinta pertamaku."

"Sekarang dan selamanya?"

"Iya, sekarang dan selamanya."

"Nik?!" aku menggenggam tangannya, Aku tarik tubuhnya, "Aku mencintaimu."

"Aku juga Rian," katanya. Dahi kami saling menempel. Mata kami terpejam meresapi perasaan kami masing-masing, sebuah kerinduan yang tak tertahankan pun akhirnya terjawab sudah. Kami masih saling mencintai satu sama lain. Sebuah perjalanan cinta yang panjang. Sebuah perjalanan cinta yang penuh liku.

Kusadari sekarang sebenarnya cinta sejatiku bukan hanya Anik, tapi juga Rahma. Keduanya adalah orang-orang yang aku cintai. Mereka berdua adalah teman, sahabat dan juga kekasihku. Sayangnya Rahma harus pergi lebih dulu. Kalau saja Rahma masih hidup, aku tak akan melepaskan mereka berdua. Rahma yang baik kepadaku. Anik yang aku sayangi. Mereka berdua bagaikan dua bidadari yang memang tercipta hanya untukku.

Dan kini salah satu bidadari akan mengisi hidupku lagi. Pancaran mata mereka sama, mata seseorang yang mencintaiku. Pandangan yang mana Rahma juga pernah memandangku dengan cara seperti itu, Anik kini menatapku dengan pandangan yang sama. Wajahku maju dan kini kami berciuman lagi, entah sudah berapa banyak kami berciuman tapi ciuman kali ini adalah ciuman kerinduan kami. Bahasa tubuh kami sudah mengatakannya. Ini adalah awal bagi kami untuk menulis kisah cinta kami di masa depan.

Aku merindukanmu Nik, sangat merindukanmu. Bibirnya tetap manis, sama seperti ketika pertama kali aku menciumnya. Setelah ciuman itu kami menundukkan wajah kami dan saling menyentuhkan dahi kami. Kami tersenyum penuh arti. Seolah-olah hari itu semuanya menjadi ada pada tempatnya. Kembali ke tempat semula, tempat di mana hati bertaut kepada yang semestinya.

"Kita pulang yuk!?" kata Anik. "Nanti dicariin ibu."

Aku kemudian menggadenganya. Tangannya menggenggam erat tanganku. Berbeda dengan Rahma, Rahma tak pernah menggenggam erat tanganku seperti ini, itulah perbedaan dia dengan kakaknya. Rahma, kali ini aku akan menjaga Anik, sesuai dengan wasiat terakhirmu.

***

Aku dijewer oleh ibuku. "Adudududuh! Ampun bu, ampuun."

"Awakmu iki lho, sesuk iku rabi. Kudune arek wadon dipingit eeeeeehhh....malah diajak gendhakan!(Kamu ini lho, besok itu nikah. Harusnya anak gadis itu dipingit eeehhh...malah diajak pacaran)" kata ibuku.

Mas Yogi ngakak. "Wis ora kuat bu si Rian. Hahahahahaha!"

Telingaku sampai panas dijewer ibu. Aku melihat Rangga yang masih bayi digendong ibuku itu ketawa melihatku dijewer. Waduh anakku saja sampai ketawa.

"Hahahahaha, rasakno kon, diguyu anake dhewe(Rasakan kamu, sampai diketawain anaknya sendiri)" kata Mas Yogi. Di rumah ini ada dua anaknya Mas Yogi, Yudistira ama Arjuna. Mereka tampak sedang mengetawai aku juga.

Walah, semua anak kecil ini ngetawain aku. Dasar....
 
Terakhir diubah:
kamoent segera datang suhu...
ayo warga semprot semua...
kita datang ke pernikahannya rian&anik
 
BAB XXXIV

After Mariying You




Inilah The Ultimate Fuck!


Aku ke KUA pakai kemeja putih dan jas hitam. Sang penghulu sudah siap, aku pun dijabat tangannya. Ada bapak, ibu, sama wali dan saksi dari pihak Anik ada Pak Liknya. Ini adalah saat-saat yang bersejarah. Anik menunggu di rumah. Karena Ijab Qabul emang nggak perlu wanitanya datang. Aku berdebar-debar, takut salah ngomong.

"Saudara Rian Ramadhani bin Jaelani, apakah saudara bersedia menikah dengan Anik Yuanawati binti Abdul Karim dengan mas kawin uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai?"

"Saya terima nikahnya Anik Yuanawati binti Abdul Karim dengan mas kawin uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai," kataku. Agak ngos-ngosan juga. Bukan karena lari-larian, tapi karena beban berat yang tiba-tiba saja kerasa di punggungku.

"Sah saksi?" tanya pak penghulu.

"Saaahhh," jawab semua orang serempak.

Yah, inilah masa depan itu. Aku sudah resmi jadi suaminya. Pernikahan ini aku hanya mengundang teman-temanku yang dekat aja dan para tetangga, sangat berbeda dengan pernikahan pertamaku yang meriah.

Anik, wanita yang menjadi istriku ini memakai gamis putih, persis seperti Rahma. Wajah mereka berdua mirip. Ahh...sial, aku jadi teringat Rahma. Anik mengusap bahuku. Ia membisikkan sesuatu.

"Aku tahu aku mirip Mbak Rahma, tapi jangan tampilkan ekspresi terharu ya. Nggak enak dilihat para tamu," katanya. Tahu aja apa yang ada di pikiranku. Aku menoleh ke arahnya. Ia mengangguk sambil senyum.

Hari itu tamu-tamunya nggak sebanyak dulu. Setidaknya malam pengantin keduaku, aku tidak secapek dulu. Aku heran kenapa kamarnya Anik dikasih wallpaper segala. Sore hari semuanya sudah beres-beres. Kursi-kursi sudah dibereskan. Ya emang kami nggak mewah acaranya. Biasa aja. Yang penting kan para tetangga udah tahu kalau kita menikah.

"Ini apaan, Nik?" tanyaku.

"Oh...aku yang minta dipasangin," jawabnya.

"Kenapa? Nggak biasanya. Beda banget."

Anik melepaskan kerudungnya. Rambutnya panjang, sama seperti Rahma. Aneh juga sih, Rahma nggak kepengen aku membayangkan Anik ketika melihat dirinya, tapi ini sebaliknya melihat Anik aku malah terbayang wajahnya. Apa memang ia inginkan aku seperti ini? Apa dia memang inginkan agar aku bisa bersama Anik dengan terus mengingatnya? Sekarang aku malah melihat dua orang ada dalam satu tubuh. Anik dan Rahma ada dalam satu tubuh yang sama. Aku tak melihat ada perbedaan pada diri mereka. Sama semuanya. Sifat-sifat Anik sekarang seperti Rahma, hampir tak ada perbedaan.

Ia menoleh ke arahku. "Aku mandi dulu ya?!"

"Silakan!" kataku. "Aku sudah koq tadi."

Anik menuju kamar mandi. Aku kemudian membuka laptopku memeriksa email-email sebentar karena dealku dengan beberapa orang untuk membuka kantor di Kediri harus aku cek lagi. Sibuk membalasi email dan membalas ucapan selamat teman-temanku di facebook sampai aku lupa waktu. Tiba-tiba saja Anik udah selesai Mandinya. Wangi bener. Dia cuma pake handuk. Aduh...bener kan? Sama seperti Rahma.

"Urusan kerjaan?" tanyanya.

"Iya," jawabku. "Maaf ya."

Aku tutup laptopku.

"Teruskan saja nggak apa-apa kalau memang penting," katanya.

Rambut Anik sedikit basah. Wajahnya sangat cantik habis mandi. Aku letakkan laptop di meja. Dia berdiri menuju ke lemari baju. Aku mencegahnya dan langsung aku ciumi lehernya.

"Rian, udah dong. Aku mau ganti baju dulu," katanya.

"Aku melarangmu," kataku.

"Duh, yang udah nggak sabar," katanya.

Aku tak peduli, aku balikkan badannya dan aku cium dia. Lidah kami saling memagut. Perasaan ini...sebentar aku pernah merasakan perasaan ini. Aku ingat-ingat lagi, ya...ini dia. Ini dia perasaanku, perasaan pertama kali aku mimpi basah dengan Anik. Tapi kali ini beda, aku merasa aku bercinta dengan dua orang. Dua orang dalam satu tubuh.

Anik menaikkan kaosku hingga terlepas. Aku kemudian membuka lilitan handuknya telanjanglah dia sekarang. Aku kembali lagi melihat dadanya. Dada yang dulu pernah aku lihat. Payudara yang menantang, payudara yang dulu kentang banget ingin aku hisap. Sekarang tak ada lagi yang menghalangiku. Aku hanya menatapnya saja.

"Kenapa hanya dilihat saja, Rian?"

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan kali ini?"

"Apa?"

"Ini adalah The Ultimate Fuck," kataku.

"Apaan itu?"

Aku tak memberi jawabannya. Aku segera menggendong Anik hingga kami sudah ada di atas ranjang. Kami berciuman lagi sambil aku meremas kedua buah dadanya. Anik menggeliat merangkulku. Ciumanku mulai turun ke lehernya, aku cupangi lehernya, aku cipok sampai membekas kemerahan.

"Rian...sayang....ahhh....ahhhh," Anik merinding, aku bisa merasakan bulu kuduknya merinding. Aku tak puas menciumi lehernya. Cipokanku benar-benar membekas bahkan mungkin bakal terlihat kalau dia nggak pakai kerudung nanti. Aku benar-benar rindu dia. Kuciumi buah dadanya. Ahh...aku baru lihat sekarang putingnya warnanya benar-benar sempurna, pink kecoklatan. Warna putingnya itu membuatku ingin mengisapnya. Kuhisap putingnya, kujilati.

Sluurrrppp. Aku hisap sampai pipiku kempot.

"Riaan....aahh...jangan keras-keras. Sakit..!" katanya. Aku melihat wajah Anik yang memohon. Aku mengangguk. Aku pelankan sekarang menghisap putingnya. Putingnya mulai mengeras. Ahh..nikmat sekali. Kucupangi pula buah dadanya. Sampai benar-benar membekas merah. Seperti Rahma, aku mencupangi buah dadanya gemas sekali. "Riaaannn....hhmmmhh...terus...enak Rian..!"

Aku pandangi hasil karyaku sebentar. Aku menciumi perutnya setelah itu. Anik mulai tahu apa arah tujuanku dan dia membuka pahanya. Aku terus ke bawah kukelamuti seluruh kulitnya yang mulus itu. Sampailah aku di sebuah surga yang selama ini tertutup dan tabu dilihat oleh siapa saja. Surga milik Anik ini bersih. Aku bahkan tak melihat bekas sehelai pun bulu tumbuh di sana. Apa emang dia nggak pernah tumbuh bulu? Indah sekali. Aku bisa melihat seluruh bentuk kemaluannya, merah, tembem dan menggiurkan. Ingin aku kecup dan jilati. Ingin juga aku hisap seluruh cairan yang keluar dari sana. Aku sibakkan sebentar, ah iya, cairannya udah keluar.

"Riaann...," desahnya.

Mulutku kemudian menempel di bibir kemaluannya. Pantatnya menggelinjang. Merasakan sesuatu luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apalagi ketika lidahku masuk ke lubangnya, menggelitik dan menyedoti cairannya. Tangan Anik mulai meremas rambutku, meremas-remas rambutku seperti membuat adonan kue. Aku sibuk menjilati dan memberikan kenikmatan kepada Anik. Kepalanya bergoyang kiri kanan, pantatnya naik turun, ia sudah menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan.

"Riaaan...ehhkkk...aahhhhkk...ohh...sssshhhttt....udah Rian! Udah....udah doongg! Aku nggak kuat Rian....aduh...aduhhhh.....aaaaahhhhh!"

Anik melenguh keras. Ia bahkan sampai bangun sambil memeluk kepalaku. Kuhentikan aktivitasku yang membuatnya keenakan itu. Setelah berhenti ia ambruk lagi. Nafasnya ngos-ngosan seperti lari maraton.

"Rian,...kamu tega! Aku keluar tadi!" katanya cemberut. "Kamu apain punyaku? Enak banget."

"Hehehe....kasih tahu nggak ya?"

"Rian, masukin yah? Aku udah nggak tahan Rian, punyaku gatel banget. Aku sudah siap."

Inilah dia The Ultimate Fuck! Rasanya benar-benar berbeda. Semuanya berbeda. Aku akan benar-benar memasukkan senjataku ke Anik. Orang yang benar-benar aku cintai. Aku seperti mendapat kekuatan entah dari mana, punyaku tegang sekali, nggak pernah sekeras ini sebelumnya.

"Rian, itu punyamu, gedhe banget. Sakit nggak ya masuk nanti?" tanyanya. "Peluk aku!"

Aku kemudian memeluknya. Kuposisikan kepala pionku tepat di depan lubangnya. Mungkin karena emang sudah becek, atau memang sudah jodohnya tiba-tiba saja pionku sudah masuk saja setengah, membuat Anik tersentak. Dia menatap wajahku. Ditampakkannyalah rasa sakit di raut wajahnya. Ia meringis sambil menggigit bibir bawahnya.

"Riaan...cium aku!" katanya. Kuciumi dia sekarang. Pinggulku mulai bergerak, naik turun perlahan-lahan. Batangku yang tegang maksimal ini mulai menyesuaikan diri dengan rongga kemaluannya, kemudian satu tekanan yang agak keras lagi membuat kedua pahanya menjepit pinggangku. Aku merasakan sekarang ini selaput daranya pecah, SREETTTTT! Anik tegang. Aku bisa merasakannya, dia merangkulku erat. Mungkin benar-benar sakit rasanya. Aku diamkan saja kemaluannya meremas-remas dan menyedot-nyedot batangku. Ahh....rasanya seperti inilah, persis seperti mimpiku dulu. Mimpi basahku ketika aku bercinta bersamanya.

Anik, tahukah engkau, sekarang ini aku benar-benar merasakan yang namanya Ultimate Fuck. Aku mulai goyangkan setelah beberapa lama penisku ada di dalam kemaluannya. Kali ini ia melepaskan ciumannya. Hanya suara ah dan uh yang aku dengar keluar dari mulutnya. Ia masih memejamkan mata. Dada kami berhimpitan menimbulkan sensasi yang luar biasa nikmat. Kualihkan sekarang mulutku ke buah dadanya, aku menyusu disana. Menyusu seperti anakku Rangga.

"Aaaahh....Riaan...kamu cinta aku Rian?"

"Iya, Nik. Sangaaaat cinta."

"Aku juga Rian. Aku rela jadi ibu dari anak-anakmu. Inilah keinginanku sekarang. Aku tak pernah berkorban cinta demi dirimu. Sekarang aku ingin berkorban demi cintaku kepadamu. Ayo Rian, buahi rahimku. Isilah rahimku Rian. Ayo! Terusss.....teruss...!"

Sesuai keinginannya aku percepat goyanganku.

"Ohh...Nik...Nik...enak banget, seret, punyamu seperti mijit-mijit punyaku," kataku.

"Penuh banget Rian. Punyamu penuh....sesek rasanya, ngilu...ahhkkk."

"Ahhh...Niiik....enak Niiik.....bercinta denganmu sungguh enak. Aku mau lagi dan lagi."

"Ahhh....sayangku, teruslah, terus....terserah kamu mau berapa kali bercinta denganku. Aku akan meladenimu."

"Aku kangen kamu Rian. Jangan pergi lagi dariku ya?"

"Aku tak akan pergi lagi. Ahhh...ahh...Niik....aku mentok nih, mau keluar...oohh...ohh..."

"Rian, punyamu tegang banget, keras....aahhh...ahh...ayo Rian, rahimku siap disemprot. Semprotkan Rian, basahi Rahimku."

"Aaahh...ahhh....ahhhh...ini dia, ini...ini.....aahhh....AAAAHHKKK!"

"Riaaann...aaaahhhhh....aahhh!"

Lahar panas keluar dari penisku membasahi rahimnya. Nikmat banget. Baru kali ini aku menyemprot selega ini. Tidak dengan Rahma. Ini beda. Aku benar-benar merasakan Ultimate Fuck yang sebenarnya. Puasnya benar-benar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kedua insan ini pun saling berpelukan erat. Kami akhiri orgasme ini dengan berciuman mesra, saling memagut lagi. Aku masih menindih Anik, membelai rambutnya keringatnya bercucuran.

Punyaku masih tegang aja. Belum tidur juga, padahal biasanya kalau sudah bercinta bakal lemes sebentar. Ini tidak. Sepertinya ingin lagi.

"Belum lemes?" bisiknya.

"Belum nih," kataku.

Aku pun menggoyang lagi. Aahh...nikmat sekali, baru kali ini aku merasakan setelah keluar aku masih bisa keenakan kalau digoyang.

"Teruskan saja sayang, aku akan menerimanya," kata Anik.

Aku teruskan goyanganku. Anik hanya pasrah menerima genjotanku yang naik turun ini. Kakinya hanya dibuka lebar saja menerima setiap tusukanku. Goyanganku makin berenergi, makin semangat. Pelukanku makin menghangat. Anik makin keenakan terhadap perlakuanku. Pantatnya pun ikut bergoyang kiri kanan. Batang kemaluanku seperti dioblok-oblok. Uhh..ngilu rasanya, apalagi kemaluannya makin menjepitku erat dan menyedot-nyedot.

Ahhh....sebentar lagi aku akan keluar lagi. Dan bener saja. Pantatku makin bergoyang naik turun. Anik tahu aku akan keluar lagi. Ia mangerang.

"Aaaaahhhh....Riaaaaaaannnnnnnnn!" ia berteriak keras. Seakan tak peduli ada yang mendengar atau tidak.

"Niiikkk...aaahhhhhh....keluar aku!" gila, aku belum mencabut kemaluanku padahal. Udah dua kali keluar aja. CROOT! CROOT! CROOT! Uuhhh...masih banyak yang keluar membasahi rahim Anik. Tapi aku belum lelah. Penisku pun masih tegang. Apa-apaan ini, aku sepertinya benar-benar tak kelelahan.

"Sayang....masih tegang aja? Aku sudah lemes," katanya.

"Sudahankah?"

"Teruskan sampai kamu puas," kata Anik yang kelelahan.

Aku bergoyang lagi naik turun. Ahhh...makin enak aja ini. Aku rasanya nggak puas-puas ngentotin dia. Uhhh...aahhh....enak banget. Penisku serasa digelitik. Ngilu tapi enak, bahkan mungkin rasa kenikmatan saja yang bisa aku rasakan dari penisku. Seluruh tubuhku benar-benar seperti merasakannya. Kami berciuman lagi, kedutan-kedutan di penisku makin menambah sensasi kenikmatan, dan....edaaaaann....penisku gatel lagi. KEluar lagii! AAAHHHHHH.....CROOOTT! CROOOTT!

Anik sedikit tersentak. Ia sudah kelelahan menerima tiga kali spermaku. Entah sudah berapa kali dia orgasme. Punyaku baru mulai lemes, mengkerut. Kemudian keluar dengan sendirinya. Aku berlutut dan kulihat hasil karyaku di bawah sana. Spermaku banyak sekali keluar dari kemaluannya disusul bercak darah yang bercampur. Batangku juga dipenuhi lendir dan bercak darah. Inilah dia Ultimate Fuck. Ahh....aku puas sekali. Puasss.... Aku mengambil selimut, kututupi tubuh Anik dan diriku. Ia kelelahan hingga tertidur sambil terlentang. Aku kemudian memeluknya. Kuciumi pipinya.

Anik sudah tertidur. Nafasnya yang tadi memburu kini mulai tenang dan mendengkur halus. Malam pengantin ini tak akan aku lupakan. Benar-benar luar biasa.

****

Pagi sudah datang. Anik sudah bangun dan mandi. Aku masih tertidur. Baru bangun ketika ia menciumku.

"Bangun say," katanya.

"Eh, udah pagi ya?" tanyaku.

"Udah dong. Hebat banget semalem. Punyaku ampe ngilu. Masih kerasa sampe sekarang. Pantes aja Mbak Rahma sampe lemes digarap ama kamu."

"Hehehehe, habis ini juga kamu bakal ngerasain koq."

"Idih, ogah ah."

"Lah, kenapa?"

"Kalau aku lemes, siapa yang ngurus kamu nantinya?"

"Hehehehe. Yah, bisa diatur itu."

Hidungku dicubit olehnya. "Dasar lelaki maunya ituuu mulu."

"Kamu tahu kan sekarang artinya apa itu Ultimate Fuck?"

"Iya, tahu. Kamu benar-benar melampiaskan semuanya kepadaku tadi malem ya? Melampiaskan semua angan, cinta, sayang dan nafsumu. Gilaaak, ampe lemes."

Aku bangun lalu kucium bibirnya. Kami berpagutan lagi. Ia mendorongku.

"Kenapa?"

"Ih, belum gosok gigi. Asem," katanya sambil menutup mulutnya.

"Hehehehe, biarin. Kan enak."

Aku lalu berdiri. Nggak pake baju. Punyaku tegang aja.

"Duh, Beib, tegang lagi nih," kataku.

"Idiiihh...semalem apa belum cukup?"

"Belum kayaknya," kataku.

"Hehehehe, sini sini!" ia memeluk pantatku dan tanpa basa-basi pionku sudah dilahapnya HAP!

"Aaahhh...," desahku.

Pagi-pagi dapat blowjob itu sesuatu. Anik terampil sekali mengurut kemaluanku tangan satunya memeluk pinggangku, kadang diusap-usapnya perutku. Kepalanya maju mundur memberikan stimulus ke batangku. Nikmat banget. Mulutnya menjepit kemaluanku dan lidahnya menari-nari menggelitik kepala pionku.

"Belajar di mana Nik?" tanyaku.

Ia menggeleng. Kocokannya makin cepat dan ia menyedotnya. Ahhh...gilaaakk...aku nggak tahan. Aku goyang-goyangkan pinggangku dan...keluar deh pejuhnya. Anik tampung semuanya di mulutnya. Ia sedot-sedot. Uhhh....aku biasa juga keluarkan di mulut Rahma dan dia nggak nolak untuk nelan pejuhku. Dan....surprise, Anik juga nggak nolak ia telan semuanya.

Setelah selesai, Anik berdiri.

"Puas sayang?" tanyanya.

"Iya."

"Lain kali banyak makan buah ya, rasanya asin," katanya.

"Iya deh, iya."

"Mandi sanah, habis ini anterin aku yah, ke Radio Suara ******."

"Mau apa?"

"Ada lowongan jadi penyiar radio, siapa tahu rejekiku di sana."

"Oke deh," aku bergegas ke kamar mandi.

Ini adalah kisahku dengan Anik. Berakhir dengan Happy Ending semoga. Aku masih menuliskan perjalanan cinta kami sampai sekarang.

Aku bermimpi bertemu lagi dengan Rahma. Kali ini Rahma menungguku di sebuah tikar. Aku berjalan bersama Anik menuju ke tikar itu yang ternyata sudah ada banyak sekali makanan di sana.

"Apa kabar Yang?" sapanya.

"Baik," kataku.

"Nih, aku suapin," katanya. Aku pun disuapi olehnya.

"Anik, kamu juga ya," katanya. Ia menyuapi Anik.

Aku rindu wajahnya, wajah Rahma yang tersenyum. Rahma kemudian bercanda bersama Anik. Mereka berdua mirip. Sangat mirip. Bahkan aku melihat di dalam diri Anik ada Rahma. Sosok yang telah pergi mendahuluiku. Dan di akhir mimpiku, aku memeluk mereka semua, aku memeluk keduanya. Mereka berdua bersandar ke dadaku. Aku mencintai mereka berdua. Ya, aku mencintai mereka berdua.
 
Terakhir diubah:
BAB TERAKHIR

ENDING


#Pov Anik#

Rian, sosok laki-laki yang bukan saja suami, tapi juga teman dan sahabat. Ayah dari anak-anakku. Hidup menjadi seorang istri dari sahabat masa kecil mungkin adalah hal yang langka. Setiap kenangan masa kecilku selalu membekas di hatiku. Ibaratnya Rian ini juga adalah saudaraku. Aku tak pernah lagi menyesali perjumpaanku dengan dia. Aku tak pernah menyesali perpisahanku dengan dia dulu. Justru jalan-jalan itulah yang membuatku makin tegar menghadapi halangan dan rintangan.

Aku sekarang menjadi penyiar radio di salah satu radio swasta di Kota Tahu. Awalnya sih agak kagok juga, tapi Rian menyemangatiku. Rindu rasanya aku ingin kembali jadi reporter. Tapi itu udah masa lalu. Aku tak mau lagi jauh dari orang yang aku cintai. Aku tak mau jauh dari anak-anakku. Tak mau jauh dari suamiku. Tak mau juga jauh dari ibuku. Aku terpaksa mengorbankan cita-citaku demi mereka. Demi orang-orang yang aku cintai. Bukankah Cinta itu butuh pengorbanan? Inilah pengorbananku untuk mereka. I love you my family.

Rangga sudah aku anggap sebagai anakku sendiri dan kini ia manggil aku dengan sebutan ibu. Duh, bisa melihat anak-anakku main bersama denannya itu suatu anugrah yang tak terkira. Suamiku sendiri? Dia sekarang bikin percetakan sendiri di Kediri. Dengan berbekal pengalamannya di Surabaya, akhirnya ia mendirikan percetakan yang boleh dibilang nggak sepi order.

Ah iya, Yuli ama Zain beneran nikah. Dan Yuli masih aja dendam ama aku. Tapi ia menerima tuh lamaran orang tuanya Zain. Lucu juga. Mirip kisah sinetron aja. Ia masih dendam buat ngelitikin aku sampe mampus. Entah deh kapan juga ia akan ke Kediri. Sekarang ia sudah ke Palembang. Ikut Zain, bahagia di sana. Kami masih berhubungan lewat telepon, ataupun lewat BBM. Sekarang mereka sudah dikaruniai seorang anak. Kami bersenda gurau sambil bilang, "Jodohin yuk anak kita Nik, kayaknya cocok deh." Aku tertawa aja kala ingat itu.

Ini kisahku, kisahnya Rian, kisahnya Mbak Rahma. Tiga orang yang terlibat cinta segitiga. Akhirnya dari teman jadi sahabat. Dari sahabat jadi pacar. Dari pacar jadi suami istri. Kami pun menyadari bahwa kekuatan cinta itu emang ada. Terbukti dari apa yang terjadi kepada kami. Terpisah oleh jarak tapi masing-masing dari kami masih punya keterikatan satu dengan yang lain.

~ END OF STORY ~

done.
barangkali ada yang tahu nih siapa Anik. Hehehehe. :p
tebakannya siapa tadi yang jadi reporternya stasiun tvnya CT. Anda tepat dapat 100 :D


Thnk you Anik untuk sharing ceritanya dengan menyesuaikan di sana-sini agar enak dibaca. Ada beberapa bagian yang aku tambahkan sendiri. Ya iyalah, harus itu. Masa' malam penganten juga aku harus liat mereka? =))

Thx for para suhu dan agan yang sudah memberikan atensinya. Maaf ya menghabiskan stock tissue. Hihihihi.

Moga nggak mirip cerita sinetron. Karena ini cerita diangkat dari kisah nyata saya harap kurang lebihnya mohon dimaafkan. Pasti banyak kekurangannya. Tapi kuharap nggak bikin ceritanya jadi jelek.

dah ah.
 
Terakhir diubah:
Hadir.. Mas Broh..
Bawa perut kosong ajah..
 
Bimabet
Gila... baru tadi sore baca Anik gagal diperkosa eh ini tiba-tiba Rian mau nikah aja sama Anik :hore:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd