Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Elena (tamat?)

makasih udah dibaca...

buat agan @raedevil sama agan @mtroyes makasih saran sarannya...

mengenai sex-nya, nanti tetep ada sih...belum tahu kayak apa juga, belum ketulis..haha

trus mengenai ilustrasi,
kalo yg dimaksud ilustrasi = gambar...ane ga bisa nyarinya suhu...

gini aja, kalian bantu cari aja, terus post di sini, nanti kita bahas...hahaha... (modus ini mah)

menurut kalian,

elena itu seperti siapa
rani itu seperti siapa

tapi ga pake hadiah ya suhu... :ampun:
:semangat:
 
Saya suka ceritanya
Dan gaya berceritanya

Menunggu update aja
 
Kalo ane bole saran sih
Elena : adinda azani
Rani : yoelitta palar(mama boy)
:adek:

barusan gugling,
eh tapi, elena nya kurang pas gan... :ampun:

rani nya juga terlalu milf...hahaha....
 
Nungguin lena
:alamak:

Nunggu update..cewek begini yang bikin girang..dan ngaceng.

Elena....mau poligami? :adek:

dimanakah kau elena?

Saya suka ceritanya
Dan gaya berceritanya

Menunggu update aja

Mantap. Lanjutkan suhu..


makasih udah baca suhu suhu.. :ampun:

apdet sudah jadi, tinggal edit...sore nanti deh...tapi cuma dikit... :ha:

:semangat:
 
( ELENA part 4 )


Tak mungkin ah….


Seekor rusa betina tak akan melirik seekor domba jantan. Bahkan kucing anggora-pun punya kecenderungan untuk memilih ras tertentu dalam hal perjodohan.

Seharian aku di kantor, sama sekali tidak bisa fokus.
Aku masih berpikir, apa maksud Elena salim seperti tadi. Mungkin aku dianggap kakak ? Wajar sih kalau lihat hubungan dia dengan Rani.

Ahh.. Masa iya Elena jatuh hati ke aku?
Sepertinya gak mungkin. Jelas jelas Elena tahu kalau aku sudah punya istri, dan Rani-pun sudah seperti kakak baginya. Iya. Sangat tidak mungkin.



=0=


Pagi berikutnya, persis sebelum aku berangkat, hal serupa terjadi. Kali ini, Elena memakai celana panjang kain, dipadu dengan hem putih dan blazer kecil. Dengan ciuman ke pipi kiri dan kanan ke istriku, Elena melangkah membonceng motor yang kukendarai.


Sepanjang perjalanan, ingin sekali aku bertanya mengenai kejadian kemarin. Tapi, belum juga sepatah kata keluar dari mulutku, gerbang kecil Rumah Sakit sudah terlihat.


“Makasih ya mas…” Elena berkata sambil tangannya mengulur lagi ke arahku.

Aku cuma mengangguk, dan kembali uluran tanganku berakhir di dahinya. Namun, tidak seperti kemarin yang seakan terburu memutar badan dan berjalan menjauh, kali ini Elena tersenyum manis.

Meskipun dengan dandanan yang rapi, dewasa, namun senyumnya masih senyum Elena yang dulu. Kepalanya sedikit miring ke kanan, dan matanya semakin menyipit, menggemaskan.

Tapi, ini harus berakhir.

Aku tak boleh tenggelam dalam imaji semu terhadap keindahan duniawi seorang Elena. Aku punya tanggung jawab, kewajiban terhadap Rani, Farah, dan masa depan.


Elena hanyalah godaan yang sangat mungkin kusalahpahami. Tidak, aku harus yakinkan, kalau aku salah paham.

Aku harus selalu mengulang ulang kalimat tersebut.

Memastikan diriku untuk fokus bekerja, meskipun senyum Elena memang sangat susah untuk dilupakan.


=0=


Pagi berikutnya, aku berangkat agak telat. Jam setengah tujuh, aku masih di ruang kerja, di bagian depan rumah. Sengaja aku sedikit membuang waktu di sini, membalas beberapa email, tentang pekerjaan tentunya.

Aku berpikir untuk menghindari Elena.

Aku sudah menghitung waktu, absen pagi di kantor aku tak boleh telat. Tapi jam setengah delapan dari rumah, aku rasa masih aman.

Setelah berpakaian rapi, aku keluar ke belakang.


Di teras belakang, Rani sedang mengobrol dengan Elena. Samar samar terdengar mereka membicarakan tentang bumbu atau resep masak memasak.

“Yaah, sudah ditunggu Elena tuh, kok tumben belum berangkat dari tadi.”


Elena menunggu …


DEGG….


=0=


Aku tak kuat.

Maafkan aku Rani.

Maafkan aku Farah.

Maafkan aku…


Elena terlalu mempesona.

Dan aku hanyut dalam bunga indah kehidupan duniawi.

Aku tak lagi bisa menipu diriku sendiri.


Aku terpesona, terjatuh dalam pesona….

Seorang Elena.


Entah sudah berapa hari berturut turut, Elena selalu berangkat pagi denganku. Tak hanya itu, hampir tiap sore, gadis itu juga selalu ada di teras belakang, entah sekedar duduk duduk ngobrol dengan istriku, atau mengajak Farah bermain.

Bayangan Elena tak dapat hilang. Matanya yang berbinar ketika aku ajak berbicara. Keceriaannya, keramahannya kepada Farah, anakku.


Sampai akhirnya, pagi itu.

Berawal seperti pagi pagi sebelumnya, sepulang dari masjid, aku mengambil air untuk mencuci motorku dan Rani. Setelah selesai, ruang keluarga mulai ramai dengan suara Farah yang makin cerewet tiap hari.


Semerbak wangi masakan pun menyusul, sarapan sudah siap. Aku peluk Rani dari belakang, saat menata meja makan.

“Iiihh..ayah bau.. mandi sana ah…”

Kutepuk pantat montok istriku sebelum berlalu ke kamar mandi sambil tertawa.

Aku baru saja melepas baju dan celana, saat pintu kamar mandi utama diketuk dari luar.

“Yaahh...bukain dong…”

Pintu kamar mandi kubuka, kepalaku melongok keluar. Kudapati Rani di depan pintu, dengan bibir bawah yang digigit.

“Belum kesiangan kan?” Rani memancing.

Kujawab pertanyaan Rani dengan pelukan dan ciuman ke arah leher.


Beberapa menit kemudian, dibawah guyuran gemericik air shower, kedua bibir kita saling menyatu. Saling tukar menukar nafas cinta.


=0=


“Ehh..Bun. Farah tidur lagi ya?” tanyaku sambil membilas badan.


“Iya Yah. Tadi habis selimutin Farah, kok tiba tiba jadi kepengen mandi… Eh, dimandiin.” Rani menjawab sambil membilas rambutnya di bawah shower yang sama.

Kugelitikin pinggang Rani, membuyarkan konsentrasi dia ke rambutnya.

Kucium bibir Rani sekali lagi, sebelum aku matikan shower dan ambil handuk untuk mengeringkan diri.




Seperti biasa, jam setengah tujuh. Aku sudah siap di atas motor. Elena juga sedang berpamitan dengan Rani.

Motor matic segera melaju pelan.


“Mas… Tadi sepertinya seru ya sama Kak Rani…”

“He...apa El?” aku sedikit kaget.


“Hehe, suara Kak Rani sampai kedengeran di teras kamarku mas…”

“Ooh..hehe…” aku tak tahu harus menjawab apa.


Aku memilih diam, pun dengan Elena tak lagi meneruskan pembicaraan. Tapi aku merasakan, badan Elena semakin merapat.


DEGG….

Di bawah pohon samping gerbang rumah sakit aku menghentikan laju kendaraan. Kali ini, gadis di belakangku ini tak langsung beringsut. Elena masih diam di belakangku, dengan badan yang hampir rapat menempel di punggungku.


“Ell...sudah sampai” aku berkata.

“Eh, iya...hehe..maaf mas…” Elena segera melangkah turun perlahan. Aku sengaja menunggu. Aku menunggu saat saat gadis itu mengulurkan tangan.

Elena berdiri di samping aku yang masih di atas jok motor. Dengan senyum khasnya, dia mengulurkan tangan. Aku balas senyum dia, lalu kusambut tangannya.

Saat Elena mengangkat telapak tanganku, diarahkan ke dahinya, perlahan kutarik tangan lembut gadis itu. Elena melangkah maju, mendekat.


Perlahan, tapi pasti, kukecup persis diantara dua matanya.

Gadis itu terbengong. Aku juga seperti tersengat aliran listrik, kaget atas kelakuanku sendiri.

Mata Elena memandangku, telapak tangannya menutup mulutnya. Sedetik kemudian, tiba tiba gadis cantik di depanku terisak.


“Astaghfirullah…. Maaf El…”

Hanya tiga kata itu yang bisa keluar dari bibirku sebelum aku memacu motorku pergi.


What have i done.

( b e r s a m b u n g )
 
Bimabet
:ampun:

makasih udah dibaca agan agan semua...

apdet cuma dikit soalnya curhatan hampir kelar ..

:ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd