Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kopi

Bimabet
Bentar ya... Editin dikit-dikit. Menyesuaikan dengan format forum.

Kalau mau komentar silahkan.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mumpung ente nanya tentang kopi n kebetulan kemaren ane baru baca folisofi kopi....

Ente gabungin aja filsofi kopi ke kehidupan cinta si tokoh utama dengan menyertakan beberapa quote terkenal
(Pusing-pusing dah) :pandaketawa:
 
Bab 10


Sedih sedih bila aku bayangkan masa lalu
Sedih sedih bila aku bayangkan masa lalu

Kisah cinta pertamaku riwayat yang syahdu
Dikala engkau membelai dan mengusap rambutku

Di saat aku terlena di dalam pangkuanmu
Semua itu selalu terbayang di mataku
Tak dapat aku lupakan selama hidupku

Selama hidupku

"Oi oi... Kok lagi itu sih yang diputer? Ganti lagu hepi-hepi kek. Cinta yang seneng seneng kek. Gimana kek."

"Iya ya. Salah ambil kaset nih. Bentar ya."

"Bentar bentar. Pegel nih kuping. Dasar penulis galau."

"Iya iya. Sabar kek. Nih tak kasih. Dengerin ya."



Kurasakan ku jatuh cinta
Sejak pertama berjumpa
Senyumanmu yang selalu menghiasi hariku

Kau ciptaanNya yang terindah
Yang menghanyutkan hatiku
Semua telah terjadi
Aku tak bisa berhenti memikirkanmu
Dan ku harapkan engkau tau

Kau yang kuinginkan
meski tak ku ungkapkan
Kau yang kubayangkan
Yang slalu kuimpikan

Aku jatuh cinta
Tlah jatuh cinta
Cinta kepadamu
Ku jatuh cinta

I'm falling in love
I'm falling in love with you


Oh yeah. Ini dia lagunya. Aku jatuh cinta. Finally I fall in love with you. Yuhu!!!

"Najis."

"Biarin. Suka-suka ku lah."

"Gak segitunya juga kali."

"Emang kayak kamu? Sok sokan gak mau sama Novi. Ujung-ujungnya diembat juga. Week."

"Eh, itu yang namanya perjalanan mencari cinta. Gak kayak kamu. Instan."

"Yaelah ngeles. Bilang aja gak punya nyali. Mana yang nembak Novi pula."

"Bukaaaan. Bukan gitu. Itu kan anu, gitu aku..."

"Udah, kebanyakan anu. Lanjut aja ceritanya."

Oke. Em... Sudah beberapa hari berlalu. Sejak saat itu. Kini hari-hariku diisi dengan...

"Kopi."

Cinta.

"Kopi."

Cinta.

"Kopi."

Cintaaa!!!







Baiklah, kopi.

Hubunganku dengan mbak Ani, masih tetap seperti kemarin-kemarin. Ya terkadang kami ketemuan saat di tokoku, eh tokonya. Tapi emang toh nanti kalo kami menikah, itu jadi tokoku juga kan. Ya kan? Kadang ketemu di kos kosanku. Kadang gak ketemu juga. Pokoknya biasa banget deh. Telpon juga jarang. Entah gimana ya nyeritainnya. Pokoknya kehidupanku dan dia masih seperti dulu. Tidak lebih.

Hanya satu yang membedakan. Dia lebih manja denganku!

Yup. Mbak Ani memang orang yang mandiri. Banget banget banget. Tapi sisi lainnya keluar begitu saja kalo denganku. Nah, takutnya sih dia nanti ketahuan manjanya di depan anak buahnya. Kan bisa mempengaruhi reputasi. Ujung-ujungnya kinerjanya anak buahnya menurunnya drastisnya karenanya pada ngeledeknya dianya. Halah ngomong opo seh!

Yup. Aku dan mbak Ani memang berkomitmen untuk tidak terlalu mengubah kehidupan kami. At least...

"Cie sok pake bahasa inggris. Suit suiiiit."

"Hush... Diem!"

At least pada saat ini. Entah kedepannya biar mengalir begitu saja. Begitu kesepakatan kami.

Siang begitu terik. Aku mampir ke warunge Mak Di setelah setengah harian keliling daerah manyar. Sebuah rumah sederhana dengan teras yang disulap menjadi warung kecil. Kupilih karena warung ini dekat dengan daerah Pucang, targetku selanjutnya. Warung berwarna hijau itu terlihat ramai siang ini. Maklum waktunya makan siang.

Setelah memarkirkan motor, aku antri di belakang barisan karyawati-karyawati dan mahasiswi, juga perawat untuk memesan makanan. Hmmm segarnya pemandangan siang ini. Ijo-ijo warna warungnya. Biarpun gak besar yang penting segernya itu lho. Baju blus dengan dada montok hmmm.... Yummy hehehe.

Saat lagi asyik-asyiknya mengantri, tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang.

"Oi, To!"

"Lho, eh? Wongso?"

"Hehehe gimana kabarmu To?"

"Alhamdulillah baik So. Kamu sendiri gimana? Masih sama Asmi?"

"Ya iyalah emang sama siapa lagi. Emang kayak kamu, jomblo akut."

"Eit, siapa yang jomblo. Dah punya keles."

"Emang sudah nikah?"

"Belum sih. Lha kamu sendiri? Emang Asmi wis mbok rabi?"

Wongso hanya nyengir sambil mengangkat dua jari kanannya.

"Anak dua?"

"Hehehe. Lha kamu sendiri gak datang pas nikahanku dulu."

"Lha kamunya gak ngundang. Aku yo gak tau."

"Kamunya juga gak bisa dihubungi. Mana aku gak tau alamatmu pula."

"Hehehe iya nding."

Akhirnya sambil ngantri, kami pun melanjutkan obrolan. Wongso, sahabat lamaku. Entah bagaimana dulu kami ketemu aku lupa, soalnya kami ketemu sudah sangat lama. Saat kami masih sama-sama muda dulu. Tapi dia berasal dari kota lain. Jauh di sana. Sebuah kota di bagian selatan di tengah-tengah pulau jawa.

"Hahaha. Emang ngapain kamu ke Surabaya? Dungaren?" tanyaku setelah kami berhasil mendapatkan makanan dan tempat duduk.

"Nganter temenku. Arya. Inget kan?"

"Arya? Sebentar.. Emmmm.... Yang putih tinggi itu?"

"Ya. Yang kayak jepang itu. Dia jadi bosku sekarang. Aku nganterin dia nyari alat lab di sini. Katanya ada barang murah."

"Ooo... Emang dimana anaknya?"

"Masih di toko situ. Entah daerah mana itu. Deket kok dari sini. Aku disuruh cari makan dulu katanya. Tuh, mobilnya saja tak bawa," katanya sambil menunjuk sebuah mobil mpv warna putih.

"Wah, sukses ya anak itu."

"Hmm... Anak itu memang ulet. Pantes kalo usahanya cepat berkembang. Lha kamu sekarang kerja apa?"

"Jualan kopi. Mau?"

"Kopi sachetan? Apa kiloan?"

"Sachet. Warungmu masih buka kan?"

"Wealah kamu To. Pake acara promosi pula. Emang sih warungku masih buka. Ibu sama Asmi yang nangani. Tapi kamu jual merek apa? Bukannya salesnya beda-beda untuk tiap kota?"

"Emmm yang ini beda So. Kopi tubruk sachet. Gak ada di luaran. Orang kita jualannya aja masih di Surabayaan aja. Belum keluar."

"Iya? Wah, kopi tubruk? Merek baru ya?"

"Enggak juga sih. Dah beberapa tahun ini ada. Tapi ya gitu. Gak terkenal seperti kopi kereta api, atau kopi garangan."

"Hahaha itu mah kopi nasional. Dimana-mana ada itu."

"Ho oh So. Modalnya besar itu. Makanya bisa terkenal."

"Emang enak ya kopimu?"

"Pernah coba kopi tubruk gak?"

"Pernah sih dulu. Kopinya yang agak pekat-pekat gimana itu ya?"

"Yup. Pekat. Kopiku emang dasarnya kopi tubruk. Cuman jualnya aja pake sachet. Gak kiloan. "

"Ooo gitu ya. Boleh... boleh. Nanti tak coba"

"Hahay. Boleh lah. Tak bawain satu pak buat Asmi, eh, warungmu hahaha."

"Hahaha bisa aja kamu To. Emang berapa harganya?" Wongso membuka dompetnya.

"Orrra usah. Geratis buat kamu," aku menjulurkan tangan, memberikan gesture menolak.

"Haiyah, gak bisa To. Ini kamu kan jualan. Bisa rugi kamu begini."

"Halah, gak papa To. Toh kamu kawan lamaku. Lagi pula, itung-itung promosi lah. Kalo memang laris, kamu tinggal pesen lagi. Baru bayar. Gimana? Setuju?"

"Hahaha. Bisa aja kamu To. Yo wes, tak bawa kopimu sak pak. Nanti tak tawarkan ke teman-teman. Kebetulan warungku jadi jujugannya mereka sih," ucap Wongso tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa mereka. Aku sih gak peduli. Toh yang penting aku buka pasar baru hehehe.

Kami pun melanjutkan acara ngobrol in reunion sampai lama sekali dari saat makanan kami habis semua. Kami baru berpisah ketika Wongso mendapat telpon dari Arya. Disuruh jemput katanya. Tidak lupa kami saling bertukar nomer hape. Wongso.... Wongso. Kamu memang teman yang baik hehehe.

Setelah itu, aku pun melanjutkan petualanganku menyusuri sekitaran menur, menuju ke pucang. Menelusup ke setiap warung dan toko yang ada di sana. Lumayan. Target harianku terpenuhi. Malah lebih banyak sekali. Untuk minggu ini, bahkan sampai akhir bulan nanti pun kurasa cukup. Alhasil aku naik motor dengan hati gembira. Hahay...

Sesampainya di kantor, kulihat Tono, Toni, dan Tini sibuk merekap barang yang terjual. Kalau kulihat wajah-wajah para sales, sepertinya minggu ini target penjualan mingguan tercukupi semua. Bahkan dari cerita teman-teman, ada beberapa sudah bisa memenuhi target bulanan yang harus terekap minggu depan.

Aku berjalan menuju ke ruangan Ima ketika Alit mendatangiku.

"Woi To."

"Ai Lit. Onok opo?"
(Ai Lit. Ada apa?)

"Engkok bengi onok acara?"
(Nanti malam ada acara?)

"Gak. Ono opo? Arep ngejak traktiran ta?"
(Gak. Ada apa? Mau ngajak traktiran tah?)

"Hehehe iya. Nanti tak kenalkan sama seseorang."

"Siapa?"

"Ada deh. Kepo aja."

"Hmmm kayaknya ada sesyuatu di belakangkyu deh," lagakku sok bencong.

"Halah, opo ae seh. Mau dicarikan isteri kok malah curigesyen," elak Alit.

"Kalo aku gak mau gimana?"

"Bonus pencapaian targetmu tak potong tujuh puluh persen," ucap Ima tiba-tiba.

Aduh Ima, gak ada cara lain apa. Datang-datang ngageti, ngancam, lumayan kejam pula ancamannya. Bonus itu kan besar. Lumayan lho, bisa sampai separuh gaji.

"Gak bisa nawar nih?"

"Dasar sales. Doyannya nawar," balasnya.

"Lha situ kan juga masih sales," emang sih, hampir semua elemen di sini bisa jadi sales. Bahkan mas Rangga, yang katanya salah satu orang terkaya dengan beberapa petusahaan ternama pun juga ikutan jadi salesnya kopi tubruk.

"Iya sih, tapi kan punya kuasa memotong bonus hahaha," tawa Ima terdengar mengerikan kali ini.

"Gak ada pilihan lain kah?"

"Gak! Mas Rangga sudah memutuskan dalam minggu-minggu ini kamu harus dijodohkan, hahahaha," aduuuh makin mirip mak lampir aja nih ketawanya. Mana bawa-bawa mas Rangga pula. Emang yakin dia mau mikirin nasib karyawannya? Perusahaannya kan banyak. Gak mungkin lah dia mau mikir segitunya. Siapa guwe.

"Eh, Emang gitu Ma? Gak salah tuh?"

"Eit, masih gak percaya aja kamu To. Noh, si bos besar dateng noh. Kena lu kena sukurin dah."

Aku yang masih ngeyel, tak percaya mas Rangga benar-benar datang. Wow... Jarang sekali aku melihatnya di sini. Masih muda, tampan, macho, gagah, gayanya yang cool itu membuatku terpesona...

"Stop stop stop!"

"Ada apa To?"

"hei Di, kamu kira aku hombreng gak jelas apa?"

"..."

"Manusia gak tegas. Asal kamu tau ya. Aku ini masih normal. Masih doyan coli. Masih..."

"Huwakakakakak. Doyan coli. Makanya cari istri!"

"Dulu itu!"

"Sekarang?"

"Masih sih."

"Bruakakakakakak paraaaah parah. Orang kok doyannya coli. Memek masih banyak brur. Ngenes amat lu. Jomblo tidak, nyelup juga kagak. Bruakakakakakkakakakakak."

"Seneng lu temennya terhina."

"Ya seneng lah. Bahagia malah."

"Ya sudahlah. Mungkin nasibku harus begini."

"Wekekekek. Udahan yuk. Lanjut cerita aja."

"Terserah kamu lah. Aku manut."

Mas Rangga dengan wajah tengil-tengilnya melangkah mendekati kami. Disapanya setiap karyawan yang berpapasan dengan ramah. Tampak keempat istrinya yang... Gak ada cacatnya dengan ceria mendampingi suaminya sambil bersenda gurau. Sunggu beruntung mas Rangga mempunyai keluarga super duper harmonis seperti itu.

Perlahan tapi pasti mas Rangga datang mendekat ke arah kami. Dag dig dug jantungku berdebar lebih kencang seperti genderang mau perang, halah! Berdetak lebih kencang dalam seiring langkah kakinya. Hingga akhirnya kami pun berpapasan.

"Woi mas To, mas Alit, mbak Ima."

"Oi mas Rangga," ucap kami bersamaan.

"Mas Alit, mas To dan mbak Ima, bisa minta waktunya sebentar?"

"Siap bos!" ucap kami serempak.

Kami semua pun tertawa kemudian.

Sungguh rasanya tak ada perbedaan antara kami, bawahan dengan bos besar sekalipun. Semua sangat cair. Terutama bagi yang sudah lama di lingkungan sini.

Selanjutnya kami mengikuti pak bos ke dalam ruangannya. Sedangkan para ratu belok kanan, entah ke mana. Semakin dekat, semakin terlihat. Kompak sekali mereka.

"Emm bagaimana perkembangan pemasaran kopi tubruknya mbak Ima?" tanya mas Rangga setelah kami semua duduk di kursi tamu. Heran juga, kami tidak didudukkan di depan kursi pimpinan, atau dimasukkan ke ruang rapat. Beliaunya sendiri yang malah ikutan duduk di kursi tamu. Seolah kami ini tamu perusahaan, bukan bawahannya.

"Emm penjualan dalam dua tahun terakhir sejak saya menjadi manajer marketing cukup bagus sih pak. Gak bagus-bagus banget sih, tapi terlihat ada perkembangan. Sepertinya masyarakat Surabaya sudah mulai mengenal kopi kita."

"Hmm bagus. Memang itu target awal ketika aku mengembangkan divisi marketing dan menunjukmu jadi manajer marketing. Selanjutnya, tolong tingkatkan penjualannya sepuluh persen dalam satu tahun. Bisa?"

"InshaAllah bisa pak. Melihat dari trend tiga bulan terakhir dan survey bulanan kami, ada kecenderungan masyarakat mulai mengenal, bukan lagi mencoba kopi tubruk. Lagipula..."

"Survey? Seingatku gak pernah ada kegiatan survey dalam plan awalmu."

"Hehehe sekedar pertanyaan ringan kepada reseller kita pak. Baik toko maupun warung kopi. Juga keluhan pelanggan yang kami lakukan, beberapa orang sales kepercayaan saya pak," ucap Ima sambil nyengir.

"Hmm bagus. Kamu kreatif juga. Terus hasilnya gimana?"

"Secara umum penikmat kopi rata-rata generasi muda, usia tujuh belas sampai dua puluh lima tahunan yang masih coba-coba, atau generasi tiga puluh empat puluh tahunan yang gak bisa move on dari kopi tubruk pak. Umumnya sih yang sudah pernah tahu rasanya kopi tubruk bilang kopi kita gak jauh beda sama yang aslinya. Hanya pada beberapa kasus ada yang komplain kopinya sedikit kemanisan. Ini sudah saya sampaikan ke manajer produksi dan mereka mau mengevaluasi takaran gulanya pak."

"Hmm gak salah aku memilihmu Ima. Oh iya. Aku ada rencana mau mengembangkan pasarnya ke luar Surabaya secara finansial kita bisa melakukannya. Tapi kira-kira ngatasi gak dengan kekuatan kita sekarang?"

"Personil marketing sekarang ada tiga puluh lima orang termasuk saya. Kebijakan saya sementara setiap orang membawahi satu kecamatan. Sisanya ada tiga orang yang saya gilir untuk mensupport penjualan yang kurang. Kalau ada penambahan saya kita baru bisa menyisir kawasan pinggiran surabaya seperti waru, taman, sedati, gresik, kebomas, menganti, driyorejo, sama daerah kaki suramadu di bangkalan. Yah sekitar enam kecamatanlah. Itupun saya harus turun lagi ke lapangan. Atau ada penambahan karyawan baru untuk bagian marketing."

"Hmm begitu ya. Baiklah, atur semua kebutuhanmu, berapa karyawan yang bisa kamu rekrut, berapa lama waktu training yang mereka butuhkan, dan berapa persen kemungkinan mereka keluar. Hubungi HRD untuk teknis pelaksanaannya. Untuk itu, apakah kamu butuh bantuan?"

"Iya mas. Area yang aku kerjakan sudah sangat luas. untuk menghandle karyawan sekarang ini aku selama ini selalu minta bantuan Alit dan To. Kalau ada penambahan lokasi pemasaran per kecamatan, seperti komitmen dulu, aku mengusulkan paling tidak salah satu dari mereka untuk menjadi perwakilanku untuk penjualan di sana. Bagaimana To? Lit?" usul Ima sambil melirik kami berdua. Aku pun langsung tegang. Gak tanggung-tanggung. Wakil manajer. Jabatan baru. Beban baru. Wilayah baru. Target baru. Kepusingan baru. Hadeeeh. Capek deh. Aku hanya bisa melirik Alit dan mengangkat bahu, meminta pendapatnya.

"Emm baiklah. Jika itu saranmu aku percaya. Toh aku juga tidak meragukan sama sekali kemampuan kalian bertiga. Kalo gak ada kalian dan rekan-rekan seangkatan kalian dulu. Gak bakal kopi tubruk bisa bertahan seperti sekarang. Alit, To. Aku tugaskan kalian menjadi perwakilan manajer marketing untuk dua wilayah pengembangan. Batasnya adalah selatan kali mas untuk kamu To. Dan barat jalan tol untuk kamu Lit. Gimana setuju?"

"Emmm Bukannya gitu mas. Kami merasa belum siap aja menerima beban seperti itu. Lagipula masih banyak yang mampu dari aku kok mas," jawab Alit.

"I.. Iya mas," aku hanya bisa mengiyakan Alit.

"Hahaha iya iya. Dulu aku ingat, Ima pun juga menolak waktu kubentuk manajer khusus yang menggantikan fungsiku sebagai koordinator di pemasaran. Lalu kunamakan aja manajer marketing. Nyatanya, sekarang bisa kan dia jalan sendiri. Kalian yang direkomendasikan sama Ima, berarti kualitas kalian sangat dipercaya olehnya. Jangan takut. Aku pun hanya seorang staf finance ketika ditunjuk bapak mertuaku menggantikan beliau memegang perusahaan multinasional. Awalnya aku sendiri ragu kemampuanku. Nyatanya perusahaan itu masih eksis, bahkan berkembang. Salah satunya dengan kopi tubruk kalian ini," jelas mas Rangga.

"Jadi gak ada alasan lagi untuk menolak. Jabatan kalian sekarang wakil manajer marketing area barat dan pengembangannya, area selatan dan pengembangannya. Dan Ima, kamu tetap bertanggungjawab atas semua penjualan untuk semua area. Koordinasi area yang tidak tercover Alit dan To menjadi kendali Ima."

"Tunjangan untuk kalian berdua sebanyak lima puluh persen dari tunjangan yang diterima Ima. Dengan bonus sebesar lima persen dari bonus yang diterima masing-masing sales di bawah kendali kalian. Untuk Ima, karena tugasnya lebih ringan, bonusnya juga ikut berkurang."

"Tanggung jawab kalian sekarang lebih berat. Aku ingin ada peningkatan penjualan sepuluh persen dari tingkat penjualan saat ini, dan orang-orang di lingkar luar surabaya tahu produk kita. Waktu kalian dua tahun dari sekarang, kecuali kenaikan penjualan sepuluh persen. Ini sama seperti dua tahun lalu, waktu Ima pertama kali menjadi manajer. Ima, kamu penanggung jawab mereka berdua. Jadi kamu tahu resikonya."

"Siap mas," respon Ima cepat.

"Satu lagi, To. Kalo kamu gak dapet-dapet pacar juga, semua bonus dan tunjanganmu aku bekukan."

"Ancik, gak enak rek. Kerja bhakti."

"Eh, ngomong apa kamu?"

"Hehehe enggak pak... Enggak," aku hanya bisa nyengir kuda.

"Ya sudah. Keputusanku akan segera kusampaikan kepada HRD. Jangan khawatir soal finansial perusahaan. Gak bakal bangkrut kalo kalian bisa mencapai target"

"Hahaha," kami tertawa bersama.

Selanjutnya suasana menjadi cair kembali. Bahkan manajer HRD dan manajer keuangan juga dipanggil perihal perubahan jabatan kami. Dengan tangkas, manajer keuangan menghitung kasar biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan pemasaran, berapa keuntungan diperkirakan, dan resiko keuangan yang mingkin terjadi. Hmmm cekatan sekali manajer keuangan. Mungkin tekanan juga baginya sih. Mengingat mas Rangga sendiri dulunya juga orang finance. Bahkan konon salah satu istrinya dulu adalah manajernya sendiri. Ah sudahlah. Sekarang aku yang harus mikir mau ngapain kedepannya. Huft, wakil manajer. Belum bisa membayangkan seperti apa kerjanya. Enakan jadi sales gini. Palingan mikir target tercapai. Gak tercapai, ya ambil sendiri secukupnya hehehe.

"To, inget ya. Nanti malam," ancam Alit ketika kami sudah sampai di parkiran motor.

"Iya iya. Gak lupa aku," ucapku sambil bersungut.

"Rumah makan resmi biasanya. Jam delapan tepat. Gak boleh telat. Ingat," ancam Ima. Busyet, kompak sekali mereka kalo nyadisin aku.

"Iya iya."

Sekarang sudah jam setengah lima. Berarti ada waktu dua setengah jam. Perjalanan ke rumah sekitar satu jam. Ke rumah makan biasanya setengah jam. Berarti aku hanya punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Baiklah, gak usah banyak mikir. Lets go home...
 
Pertamax lagi.

Mumpung ente nanya tentang kopi n kebetulan kemaren ane baru baca folisofi kopi....

Ente gabungin aja filsofi kopi ke kehidupan cinta si tokoh utama dengan menyertakan beberapa quote terkenal
(Pusing-pusing dah) :pandaketawa:
emmm... dipertimbangkan
 
kamprettt....wongso ma rangga diculik di mari....wkwj...
 
Wih..arya,rangga,wongso...lagi pada ngopi....mantaf kopinya
 
Wuihhh ada Arya sam Rangga. Jangan2 nanti ada adegan....






Tusbol juga!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd