Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Scene 24
Apa Dia Penyihir Juga?


Ainun ... ...


Winda shirina ardeliana

Dia sudah pergi. Arta, lelaki yang aku sendiri tidak tahu kenapa membuatku bisa memberikan segalanya kepada dia. Masih muda, terpaut cukup jauh. Ups, terpautnya dekat, kalau terpaut cukup jauh, kelihatannya banget kalau akunya yang tua. Kan cuma beberapa tahun saja tapi tetap saja aku lebih tua darinya.

Aku masih bersandar pada kusen jendela ruang tamu, mataku menatap lurus kedepan. Dari balik jendela ini aku bisa melihat keluar, terutama melihat dia yang pergi tanpa dia tahu keberadaanku. Entah kenapa juga aku masih berada disini dan masih betah memandang ke luar. Padahal dia sudah pergi, lampu sudah aku matikan, pintunya juga sudah aku kunci. Seharusnya, aku sudah kembali ke kamarku dan memejamkan mata. Ya itu seharusnya, tapi batinku mengatakan untuk memandangnya hingga dia pergi, hingga semuanya dapat aku pastikan aman.

“Arta...” gumamku.

Aku tarik korden jendela megakhiri lamunanku dibelakang kaca jendela ruang tamu. Aku raih cangkir teh di meja, sudah tidak terasa hangat lagi, dingin. Sesaat aku memandang cangkir itu, ingatanku kembali lagi pada lelaki itu. Arta, lelaki yang baru saja duduk bersamaku dengan mata merah, karena aku sedikit memaksa dia menceritakan masa lalunya untuk kedua kalinya.

“Dan lelaki itu yang pertama kali, ya pertama kali,” bathinku.

Aku tersenyum, bahagia diringi langkahku menuju ke dapur. Pikiranku masih terus mengingat akan ceritanya. Cerita-cerita yang pernah dia ceritakan, cerita bahagia. Namun, ketika ku teringat akan cerita-cerita sedihnya membuatku menghentikan langkah. Dadaku berdegup dengan kencang kala mengingatnya. Menyanyat hati, tapi aku tetap tidak bisa menyalahkannya wajar jika dia melakukan pembunuhan itu. Aku yakin Desy juga tidak bisa menyalahkan Arta jika dari sudut pandang perasaan, tapi jika logika yang berbicara, Arta sudah pasti salah.

“Tapi ini bukan logika, entah apa namanya, yang jelas aku tidak ingin dia salah,”bathinku

Aku melanjutkan ayunan langkahku. Kulupakan ingatan tentang cerita sedihnya, mencoba mengingat kembali cerita-ceritanya yang lucu dan tidak sedih, karena aku suka raut mukanya, tingkahnya ketika dia bercerita tentang hal-hal yang bodoh. ya, dia memang lucu, membuatku terkekeh-kekeh sendiri ketika aku sampai di tempat cuci piring. Aku mencuci cangkirnya disertai senyum bahagiaku, karena ingatanku tentang dirinya.

“Desy,” gumamku

Perempuan itu, jadi ingin aku bercengkrama dengannya. Bawaannya tenang, bahkan dia sempat meminta izin untuk menyimpan nomorku. Tenang sih tenang, tapi aku yakin dia pasti merasakan sedikit cemburu ketika membaca pesanku. Apalagi dia sempat berbalas pesan denganku menggunakan watsapp Arta. Kalau dilihat dari percakapan dengannya, dia bisa menyembunyikannya dariku, tentunya tidak didepan Arta. Sama aku juga bisa tapi kalau sudah didepan Arta, tidak. Marah ya marah, jengkel ya jengkel. Hi hi hi...

“Dasar laki-laki, banyak ceweknya... tapi kenapa aku tidak bisa marah ya? Cemburu sih iya, dan malah geli dengan yang terjadi hi hi hi” lirihku, sembari mencuci cangkir.

“Dia memang lucu”

“Eh...”

Suara yang menggema. Halus dan lembut sekali suaranya. Suara itu berasal dari depan, ruang depan, mungkin di ruang tamu. Membuatku terdiam sebentar, menghentikan kegiatanku mencuci.

“Apa kamu bisa menjaganya?”

“Siapa?” teriakku sedikit keras ketika suara itu sekali lagi aku dengar.

Kini aku bisa mendengarnya dengan jelas tidak seperti sebelumnya. Suara itu berasal dari ruang tamu. Karena penasaran, aku segera membereskan cangkir yang aku cuci. kulap tanganku dengan rok yang aku kenakan, lalu berjalan pelan mencari sumber suara. Pelan aku melangkah menuju ruang tamu. Terdengar suaranya kembali, tapi sekarang beda. Dia kini sedang menyanyikan lagu yang tidak asing lagi bagiku. Walau liriknya tidak jelas, tapi nada yang dia nyanyikan pernah aku dengar. Aku pernah mendengarnya, tapi kenapa setiap kali pada situasi yang dibutuhkan aku tidak bisa mengingatnya.

Aku menghentikan langkahku. Rasa penasaranku mulai sedikit terkikis oleh rasa takutku. Tinggal lima langkah lagi aku sampai di ruang tamu dan bisa melihat siapa yang menyapaku. Saat rasa takut mulai membuat leher belakangku kaku, lagu itu malah semakin keras terdengar.

Seingatku, aku sudah mengunci pintu, tapi kenapa bisa ada orang berada diruang tamu. Tapi siapa yang bisa masuk? hantu? Atau siapa? Rasa penasaranku mulai menguat dan mengalahkan rasa takutku. Ku beranikan diriku untuk melangkah dan melihat siapa yang ada di ruang tamu. Ku pejamkan mataku, menghela nafas panjang, mengumpulkan keberanian. Saat aku membuka mata, aku mulai mengayunkan kakiku selangkah demi selangkah. Dan kini aku berdiri menghadap ke ruang tamu.

“Apa kamu bisa menjaganya?”

Aku benar-benar terkejut ketika melihat wanita yang duduk di ruang tamu.

“Eh, mm-mbak...”

“Hi hi hi bukan...”

Aku membeku. Bukan, bukan yang aku tahu. Seandainya wanita ini adalah yang aku tahu, dia pasti akan mengetuk pintu. Tapi kenapa ada cahaya putih disekitar tubuhnya.

Apa kamu bisa mejaganya?”

“Men-menjaga si-siapa?” aku benar-benar gugup ketika mendengar pertanyaannya.

“hi hi hi yang baru saja pergi”

“A-Arta?” dia mengangguk. Sesaat aku terdiam, dan bayangan Arta muncul dalam benakku. Akupun langsung mengangguk.

“Benarkah?”

“I-iya, aku akan menjaganya”

“Jangan tinggalkan dia ya?”

“I-iya..”

“Terima kasih sudah menjaganya Arta, jika kamu masih bisa menjaganya, tolong jaga dia selalu”

“I-iya...”

“Terima kasih...”

Sekali lagi aku menganggukan kepalaku ke arahnya. tak mampu berkata-kata. Tubuhku seakan dikeliligi es ketika melihat wajahnya yang sangat ayu tersenyum kepadaku. wajahnya benar-benar sama persis.

Aku sadar dia bukan dari duniaku. Ada rasa takut tapi terkadang rasa itu seakan hilang, walau sementara, ketika dia berbicara kepadaku layaknya berbicara dengan orang pada umumnya. Mataku tak henti-hentinya melihat wajahnya, cantik, ayu dan membuatku merasa nyaman. Tatapan wajahnya sangat teduh. Tapi, wajahnya....

“Terima kasih cantik...”

“I-iya...”

Sesaat dia mengatakan kalimat terakhirnya, dia menghilang dari pandanganku, seperti tulisan di pasir pantai yang tersapu ombak. Tapi, sekali lagi, senyumnya, wajah ayunya, menentramkan sekali dan masih terekam di ingatanku. Sesaat setelah dia menghilang, baru tubuhku menjadi bisa bergerak kembali. Lemas. Sempat aku jatuh bersimpuh. Benar-benar aku masih tidak percaya aku melihat seorang wanita yang datang dan menghilang begitu saja dari mataku.

Aku masih tidak percaya, ini mimpi atau bukan. ku cubit tanganku, dan masih terasa sakit. Berarti ini bukan mimpi. Aku bangkit dan mendekati kursi yang baru saja dia dudukki. Berkali-kali aku memutar tubuhku, sekedar memastikan keberadaannya kembali.

“Wajahnya mirip sekali... jika perempuan baru saja ada hubungan dengan Arta, berarti Arta...”

Ku hentikan pikiranku. Segera aku berbalik dan melangkah menuju kamarku. sedikit berlari. Ku buka pintu, kututup rapat dan langsung kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, tempat dimana aku mencapai puncak kenikmatan bersama dengan Arta. Ku pejamkan mataku perlahan dengan beribu pikiran yang kemudian mulai tersusun rapi di otakku. Pertanyaan-pertannyaan kemudian muncul. Kepalaku jadi pusing. Ku raih bantal dan kupeluk.

“Sshh.... aaah...”

Bau keringatnya masih tercium, membuat semua yang menyumpal diotakku tersingkirkan untuk sementara. Memang berbeda bau keringatnya. Berkali-kali aku menghirup bau keringat lelaki itu.

“Eh, kenapa aku malah suka dengan bau keringatnya? Ih, nun... jorok. Hi hi hi....”
 
Terakhir diubah:



Semester lima baru saja mulai. Kampreeet, kenapa malah aku masuk kedalam lubang yang lebih dalam lagi. Padahal lubang itu tidak seharusnya aku masuki. Kalau aku ingat, bukan aku yang sengaja masuk tapi keseret masuk atau memang jalan takdirku, aku harus masuk ke dalam lubang itu. Sialan. Argh!

Plak!

“Curut! Ngelamun saja!”

“Argh, kampret kamu ndrew”

“Lha elu malah ngelamun, mikirin apa?”

“Hai Ar” sapa Helena disela-sela percakapanku dengan Andrew

“Oits len”

“Kampret! Pertanyaanku dijawab!”

“Yaelah, duduk dulu. Ini aku lagi mikir gimana membuat racun yang bisa ngebunuh dalam satu detik”

“Heh! Emang lu mau bunuh siapa?”

“Kamu ndrew”

“Sialan!” bentaknya dengan mendorong kepalaku ke depan.

“Eh, Arta kok gitu, ntar aku sama siapa cobaa,” sedikit canda dari Helena.

“Bercanda Len he he he,” jawabku.

Ya, itu aku, Andrew dan Helena di kantin, ditempat duduk yang seperti biasanya kami gunakan. Aku memang lebih dulu ke kanti, setelah kuliah tadi aku lari keluar. Biasa cowok susah nahan kencing. Sembari menunggu yang lain, kami mengobrol, tepatnya aku dan Andrew. Kalau Helena memang sering diamnya, bersuara pun kadang. Nah, kalau ada teman perempuan yang lain baru dia banyak bersuara.

“Hei kalian, tumben-tumbenan dah dikantin duluan?” sapa Dina, dia berjalan mendekati kami. Aku lihat dia sedikit ceria. Sedikit, ndak banyak.

“Nih nyari si curut” balas Andrew. Dina cuma memandangku sebentar kemudian melengos dan duduk didekat Helena.

“Dina kok cemberut?” tanya Salma

“Aaaa... Heleeeen, kangen pengen peyuk, pengen ciyum Heyeeeeen” balas Dina

“Haaaa????!!” teriak heran kami berdua.

“Apa? apa? ndrew lu menjauh dulu dari Helen, helen milikku hari ini.”

“Yah, kan gue pacarnya, enak saja.”

“Lu pacaran saja tuh sama culun curut.”

“Ish, kejem banget kalau ngomong kamu na’, culun ya culun ndak usah pake curut” protesku

“Dah diem lu!” bentak Dina.

“Dina sudaaaah, gak boleh gitu,” Helena menengahi.

Ah, Dina. Dia sebenarnya suka perempuan atau bagaimana? Kalau sama Helena, kelihatan sekali manjanya, eh salah, mesranya. Aku dan Andrew kemudian menjauh dari mereka, bukan berarti pindah meja. Cuma pindah tempat duduk, yang semula di samping Helena kini di depan mereka. Anehnya, Andrew juga nurut. Kata Andrew, memang seperti itu Dina kalau ketemu sama Helena. Hadeeeh... susah mengerti orang pacaran.

Kampus. Sejenak aku melempar pandanganku ke luar kantin. Melihat gedung-gedung kuliah kembali. Bayangan hari kemarin masih bisa aku ingat jelas, ada keramaian, membuat beberapa Dosen sedikit malas untuk mengajar. Biasalah, bisa jadi mereka terganggu teriakan-teriakan para senior yang megatur mahasiswa baru. Tapi, kini lapangan yang biasa digunakan untuk mereka berkumpul sudah sepi. Keramaian berganti dengan kesibukan para mahasiswa. Lalu lalang mahasiswa, entah mereka memang ada kesibukan dengan kuliahnya atau hanya menyeterika jalanan dalam kampus. Tak ada yang tahu.

Kulihat Andrew sibuk dengan gadgetnya, main game mungkin. Sedangkan Dina dan Helena, dua wanita cantik sedang berbisik-bisik, sempat terengar olehku percakapan mereka tapi sayang, aku tidak bisa memahaminya. Jauh dari tempatku duduk, rombongan teman-temanku mulai mendekati kantin. Dan disaat aku melihat salah satu dari mereka, ada satu yang membuatku merasakan malu. Desy. Padahal beberapa kali aku sudah bertatap muka dengannya, ngobrol juga, semuanya berjalan aman-aman saja. Tapi mungkin, ah, hanya akunya saja yang terlalu grogi.

“Artaaaa...”

“Eh, i-iya Wind.”

“Hayo ngalamun, ngalamunin apa?”

“Endaaaak, ndak ada kok he he he.”

“Ih, daripada ngelamun mending sana pesen makan,” ucap Desy.

“Bener tuh kata Umi, cepet-cepet sana-sana...” usir Winda

“Iya nyah, iya,” aku kemudian berdiri,

“Tuan dan nyonya mau makan apa?”

“Aish, pantes bro ha ha ha” teriak Andrew, disambut tawa dan acungan jempol Burhan, Johan, dan Irfan

“Gundulmu!” balasku

“Eh eh eeeh... Namanya pelayan gak ada yang boleh bentak-bentak, dah cepetan dicatet” ucap Dini sembari memberikan kertas kecil dan pulpen.

Hm, niatnya bercanda malah beneran jadi pelayan warung. Yah senjata makan tuan, ha ha. Satu-persatu mereka menyebutkan pesanan mereka dan aku mencatat. Setelah selesai, aku menuju ke warung. Dari tempatku berdiri menunggu pesana terdengar teriakan-teriakan dari temanku, sudah tidak sabar katanya. Untung ibu kantinnya sudah paham aku da teman-temanku, coba kalau tidak paham, marah-marah. Lha wong catetan baru dikasih kok udah minta jadi pesanannya, ya ndak mungkin to ya.

“Ar...” ucap Andrew tiba-tiba sambil menepuk punggungku, sedikit keras

“Wase, buat kaget saja kamu Ndrew, da pa?”

“Bantu bawa makanan, sekalian mau tanya sama elu, dari kemarin mau tanya lupa mulu”

“Tanya apaan?”

“Gak penting sih, tapi kapan itu aku pernah liat kamu naik motor terus dibelakangnya ada mobil, kayaknya juga sih yang ada di dalem mobil itu si Desy. Bener itu yang ada di motor, elu?” aku terdiam sebentar, ketika mendengar pertannyaan Andrew

“Woi, curut malah ngelamun”

“Eh, a-apa?” tanyaku berbalik sembari otakku mencari jawaban yang bisa membuatnya yakin.

“Beneran itu elu?”

“Yaelah ndrew, tahu sendiri motorku pas itu di servis, ya mana mungkin aku.”

“Kirain elu, ya udah itu aja.”

“Lah? Kenapa kamu bisa ngomong itu aku?”

“Cuma dari bodi yang ngendarai, perawakan aja”

“Yaelah, sok peramal.”

“Namanya juga nebak, kalau itu orang gak pake Helm pastinya gue juga gak bakal penasaran, curut!”

“Makanya itu orang kamu kejar, suruh berhenti, suruh buka helm ha ha”

“Curut, kurang kerjaan banget aku,” dia berbalik, kembali ke meja.

“Lha mau kenama kamu?”

“Balik ke meja, ada masalah? He he he”

“Kampret, katanya mau bantuin malah pergi duluan”

“He he he... biasa alibi biar elu jawab pertanyaan gue, penasaran gue masalahnya.”

Setelah dia pergi, aku mengalihkan pandanganku ke dalam warung. Tumpukan snack dan jajanan yang lain ada tepat didepanku. Ada sedikit rasa takut setelah mengetahui yang aku salip saat itu ternyata benar Andrew dan Helena. Dan... Andrew curiga, kalau itu adalah aku. Tapi, semoga jawabanku tadi bisa membuat kecurigaannya hilang dan tidak mengingatnya lagi. Andai dia tahu kebenarannya, apa yang harus aku lakukan?

Desy. Segera kualihkan pandanganku ke arah meja. Dan entah kebetulan atau tidak, mata kami bertemu walau sesaat, tapi kalau dilihat dari sikapnya yang biasa saja itu, sepertinya kondisi aman. Apa benar dia bisa menjaga rahasiaku? Karena dari teman-temanku, hanya dia yang tahu semuanya.

Setelah lama menunggu, pesanan siap diantar. Beberapa kali aku bolak balik hanya untuk mengantar pesanan tuan dan nyonya. Anehnya, kenapa juga aku mau? Mungkin efek dari kejadian kemarin agar aku terlihat biasa-biasa saja. Padahal mereka juga tidak tahu, kenapa aku jadi panik sendiri? disela aku bolak-balik mengantar makanan mereka, sering mereka selalu mengataiku, mengejekku, tak apalah asal kelakukanku ini membuat Andrew tidak memikirkan hal yang dia lihat kemarin.

“Rut, jangan banyak melamun kasihan tuh makanan gak lu makan” ucap Andrew

“Lagi menunggu.”

“Nunggu apa?”

“Nunggu racun yang aku masukan ke makanan kamu bereaksi he he”

“Kampret!”

Candaku kepada Andrew, sekedar untuk meramaikan suasana. Dalam benakku, aku merasa bodoh sekali hari ini. Sikapku pada hari ini memperlihatkan adanya masalah. Bisa jadi Andrew menyadarinya, apalagi setelah dia bertanya soal pengendara tadi.

Tulit tulit..

Bersikap biasa saja,
Andrew sempat tanya juga ke aku,
Aku sudah jawab kalau aku berada dikos seharian,
Jangan terlalu memperlihatkan sikap bingung, santai

Dia tahu apa yang aku pikirkan. Dia tahu, mungkin dia juga melihat keanehan pada sikapku. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Desy di watsapp, aku terlalu memperlihatkan sikapku yang tidak biasanya. Melamun. Biasanya aku jarang sekali melamun kalau ramai seperti ini. Argh, tapi bagaimana caranya santai? Kalau kemarin aku baru saja membunuh orang? Andrew, semoga dia lupa.

“Arta kenapa sih? Kayak mikir sesuatu?” tanya Winda, sembari memakan makannnya

“Eh, Wind... ndak ada, Cuma lagi mikir saja, kenapa Andrew masih hidup padahal itu racun udah aku masukin ke makanannya he he h”

PlaK!

“Ini beneran elu racun gue!”

“Auch, iya... biar lu cepet matinya, kampret”

“Hadeh kalian, itu kalau gak ribut kenapa?” lerai Johan

“Biasa kakak-adik terpisahkan oleh ruang dan waktu, yang satu setan yang satu demit” timpal Irfan

“Waseeee... sama aja woi!” balas kami berdua

“Nah bener kan, setan ama demit lagi teriak, namanya juga sehati teriak aja bareng, sama lagi omongannya, ha ha,” balas irfan.

“Sudah, sudah makan dulu.... Arta makan!” tenang Dini diakhiri bentakan yang keras ke arahku.

Ya begitulah Dini, galaknya bukan main. Kalau mood-nya sedang bagus ya mau diajak bercanda, kalau mood tidak bagus ya gitu. Terganggu sedikit saja sudah bentak-bentak, atau mungkin karena jengkel sama aku ya? Dasar wanita galak biasanya butuh kasih sayang, biasanya he he he.

Kuliah masih lama, dan yang tertinggal di kantin kini hanya tinggal aku, Andrew dan sang pacar, serta Desy dan Winda. Yang lain sudah memisahkan diri terlebih dahulu, ada yang ke perpustakaan, ada yang pacara di bawah pohon, ada juga yang entah kemana. Memang jarak kuliah pertama dengan kdua begitu lama, kalau pulang terus balik lagi ya percuma saja. Lelah diperjalanan. Makanya banyak yang mencari kesibukan.

“Tebak siapa?”

“Eh, aduh.... ini siapa?”

Sedang asyik-asyiknya mengobrol tiba-tiba mataku tertutup dua telapak tangan. Tangannya kecil. Aneh juga, tidak mungkin kan kalau teman kuliah seperti ini. Tapi suaranya sepertinya pernah kenal, walau sedikit dia ubah nada suaranya.

“Heh! jangan ganggu Arta?!” bentak Winda

“Ih, mbaknya galak, weeeek” langsung kedua telapak tangan itu lepas dan aku mengenali suaranya.

“A-Ana?” aku membalikan tubuhku ke belakang. pandanganku mengikutinya sampai dia duduk disampingku, menggeser duduk Winda.

“Kak Artaaaaa...” rengeknya sembari memeluk lengan kananku.

“Tuh kak, mbaknya bentak-bentak Adik, belaiiiiiiin”

“Aduh mati aku.”bathinku

“Adik?” kata mereka bersamaan, heran.

“I-iya ini adikku”

“Adik angkat kak Arta, weeeeek.... kak Arta kan baik” dua pasang mata memandangku aneh. Desy dan Winda.

“Adik apa adik, adik ketemu gede gitu? Bilang aja gebetan” sindir Winda yang berpindah duduk ke samping Desy.

“Iiih, mbaknya judes banget. Enggak kali, adik beneran weeeek...”

“Kaaak, beliin jajan gorengan terus minumnya jus ya kaaaaaak”

“I-iya”

Aku bangkit, kalau aku lihat semuanya masih bingung. Mungkin karena ada orang baru diperkumpulan ini. Apalagi, aku yang diminta beli jajan saja langsung berangkat. Ku lihat Andrew ikut bangkit dari duduknya. Pasti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan lagi.

“Kemana Ndrew?” tanyaku ketika kami berjalan beriringan menuju kantin

“Mau ambil gorengan” jawabnya singkat

Sekilas ketika aku bangkit tadi, aku melihat wajah Winda yang begitu marah. Marahnya tertahan, karena mungkin ada Desy. Kalau Desy terlihat lebih biasa. Eh, Biasa? Aduh, langsung aku menepuk jidatku. Aku ingat, ingat kalau Desy pernah membuka sematponku. Pasti dia membaca semua percakapan yang ada disana.

“Itu yang dulu pernah gue tanyain ke elu, Ar?” tanya Andrew ketika didepan warung

“Maksud kamu?”

“Adik kamu itu, bukannya elu pernah cerita dulu.”

“Oh.. iya ndrew.”

“Belagak bego lagi... tapi cantik juga, gak lu tembak aja?”

“Adik itu ndrew, adik... edan kamu.”

“Ya, namanya kan adik ketemu gede, gak salah kan?”

“Iya gak salah, tapi akunya yang gak mau... kamu mau?”

“Gak nolak sih.”

“Helena buat aku.”

“Kampret, ogah, Helena aja kalo gue.”

“Makanya, jaga tuh mulut kampret! Udah punya istri masih ngeliat yang lain.”

“Namanya juga cowok,” dia langsung berlalu.

“Lho ndrew, ndak jadi beli gorengan.”

“Alibi bro, alibi.”

Manusia satu ini, dari tadi, bolak-balik cuma mau tanya. Unsur penasaran kelihatannya menguasai otaknya. Jalannya juga sok-sok gaya. Kalau aku lihat, Andrew masih menaruh sedikit curiga kepadaku. Bukan hanya saat ini, tapi bisa jadi setelah tahun baru itu. Ditambah lagi, kejadian tentang Helena. Aku kira Helena sudah bercerita kepada Andrew. ah, sudahlah.

Sejauh mata memandang sembari menunggu pesanan. Dari kejauhan, suasana di meja tampaknya tegang, yang tegang itu Winda sama Ana. Kalau Desy dan Helena tenang. Seperti kakak yang sedang mengasuh adiknya, Cuma senyam-senyum saja melihat sikap judes Winda ke Ana.

Kembali aku ke meja sambil membawa pesanan Ana. Semakin dekat semakin aku dengar jelas, Winda yang selalu menyindir Ana. Ndak tahu juga kenapa Winda bisa sejudes itu, tapi kalau ke Desy tidak sama sekali. Bukannya Winda tahu semua cerita yang aku alami bersama Desy? atau Desy belum bercerita tentang Ana?

Aku duduk disamping Ana, suasana tetap sama malah bisa dibilang bertambah tegang. Tapi dasar ini adikku, pas aku sudah duduk disampingnya, dia langsung melengos dan tidak meladeni Winda. Winda seperti kehilangan mood di katin ini.

“Ya udah Ar, Des, Win dan adiknya Arta, gue mau cabut dulu ma Helen. Cari tempat teduh buat pacaran”

“Ya” jawab kami serempak

Selang beberapa saat setelah Andrew pergi, Winda terlihat ngambek sekali. Lihat wajahku saja tidak mau, dia lebih memilih melihat ke arah yang lain. Desy tersenyum, dia menyangga pipinya. Seakan dia tahu semuanya.

“Mbak...” panggil Ana,

“Mbaknya yang tadi bentak Ana” Winda langsung menoleh ke arah Ana,

“Apa?!”

“Windaaaa, kok bentak-bentak terus” tenang Desy

“Iya, Wind, santai Wind,” selaku.

“Habis sebel, Umi apalagi tuh sama si curut!”

“Iiiih, sama adiknya kak Arta kok sebel. Harusnya tuh mbak itu baik-baik sama Ana dan mbak juga gak boleh sebel sama kak Arta, kak Arta kan baiiiik.”

“Emang harus gitu? Baik-baik ama elu! Ama dia! Ogah!”

“Uuh, mbak kok judes banget siiiih... kan Ana pengennya punya kakak ipar yang gak judes, huuuu. Mending kak Arta sama mbaknya yang ini aja, senyum-senyum terus. Adem...” sembari menunjuk ke arah Desy dengan satu tangannya memegang jus.

“Jangan sok-sokan cari kakak ipar! Kaya Arta laku saja.”

“Banyak kok yang suka sama kak Arta, dan Ana sebagai adik juga harus dapat kasih sayang dari calonnya kak Arta. Jadi pengennya punya kakak ipar yang baik.”

“Huh, bodo!”

“Sudah, sudah jangan dilanjutkan, nanti malah bertengkar kalian,” selaku.

“Hi hi hi... emang siapa saja yang suka sama kak Arta” tanya Desy, dengan senyumannya. Winda pun sedikit menoleh, memaksimalkan bola matanya untuk melirik ke arahku dan Ana.

“Mbaknya yang senyum-senyum sama mbaknya yang judes sama Ana,” mereka berdua sedikit terkejut ketika mendengar kata-kata Ana.

“Masa?” Desy balik bertanya, walau terlihat tenang tapi ada sesuatu.

“Sok tahu!” balas Winda judes, bersamaan dengan pertanyaan Desy.

“Ana kan perempuan mbaaak, jadi tahu. Mana yang suka sama Kak Arta, mana yang enggak. Terus kalau Ana, emang suka sama Kak Arta, sebagai kakak. Kalau sebagai yang lain, gak cocok hi hi hi...”

“Hadeeeh... dasar kalian perempuan hufth....” selaku

“Ih, kak Arta gak boleh ngomong. Huuuu...” sembari menutup mulutku dengan telapak tangannya. Kembali dia menoleh ke arah Desy dan Winda.

“Jadi, Ana pengen punya kakak ipar yaaaaaang baik hi hi hi... baik semuanya hi hi hi....”

Setelah ucapan dari Ana, Winda terlihat sedikit kaku, Desy tersenyum manis. Ada perbedaan mencolok ke sikap mereka berdua, paling mencolok Winda. Awalnya kaku, tapi kemudian dia mulai meleleh, senyumnya pun mulai terlukis di bibir merah jambunya. Aku diam, masalahnya tangan Ana masih dimulutku. Cuma bisa melihat mereka mulai mengobrol, walau sedikit kaku untuk Winda.

“Iih, jadi tambah cantik mbaknya kalau gak judes... jadi pengen punya kakak ipar mbaknya sama mbaknya yang senyum-senyum... cantik-cantik” Ana tersenyum, dibalas senyuman oleh Winda. Walau agak sedikit kaku senyuman itu.

“Hi hi hi... Ini namanya mbak Winda, aku Desy.”

“Ana mbak,” ucap Ana ke Desy dan Winda

“Lucu ya kamu itu hi hi hi,” sambung Desy.

“Mbak Desy sama Mbak Winda juga lucu, hi hi hi... Dan Ana tahu kalau mbak-mbaknya juga baik.”

Sebagai laki-laki aku memilih diam. Karena mau bagaimanapun, laki-laki selalu salah. Mau menjelaskan model apapun tetap saja salah kalau saja ketika perdebatan tadi aku ikut campur. Suasana menjadi cair, tidak seperti sebelumnya. Ana kemudian menceritkan kalau hari ini adalah hari pertama kuliah. Sengaja dia tidak memberi tahuku, untuk membuat kejutan. Seharusnya aku bisa mengetahui kalau Ana akan kuliah, tapi kelihatannya memang aku yang kurang tanya-tanya kalau pas kirim-kiriman pesan.

Dia kemudian bercerita kepada Desy dan Winda. Lucunya, Si Desy dan Winda ini terlihat antusias banget. Dia cerita kuliah di jurusan yang berbeda denganku, terus kalau berangkat diantar, pulang dijemput. Dari cerita yang aku dengar saat ini, dia tidak diperbolehkan berangkat sendiri oleh orang tuanya. Walau sebenarnya aku tahu siapa yang mengantar dan siapa yang dia sebut sebagai orang tua.

Obrolan ngalor-ngidul diantara mereka berdua, tanpa menganggapku ada, semakin lama semakin seperti teman dekat. Entah bagaimana cara Ana bisa mengambil hati mereka, tapi kalau dari analisaku, perubahan sikap Winda setelah... Eh, jangan-jangan. Tidak mungkin, tidak mungkin. Mana mungkin mereka berdua... tapi kalau aku ingat semua kejadian bersama mereka berdua. Mati aku...

“Ya udah mbak-mbakku yang cantik, Ana kulia dulu. itu dah dipanggil sama temen Ana,” sembari menunjuka seorang perempuan yang berada di gedung. Desy dan Winda menoleh ke arah gedung, kemudian mempersilahkan Ana untuk kuliah. Kami bertiga terus melihat Ana hingga dia sampai di gedung.

“Adik ketemu dimana Ar?” tanya Winda.

“Ketemu di jalan” jawabku

“Ketemu di jalan atauuuu...” ucap desy dengan lirikan tajamnya.

Sial, percuma juga aku berbohong. Desy pasti cerita kepada Winda nantinya. Dalam diamku, aku bisa melihat bola mata winda menatapku tajam ketika dia menyedot minumannya. Akunya tetap tenang sambil mencoba mengingat chat-chatku bersama Ana dan Ani. Dan sialnya aku jadi ingat kalau dalam chat group, dimana Ana dan Ani juga ada disitu, terkadang kami bercerita sampai panjang lebar bahkan cerita masa lalu mengenai pertemuan kami. Namanya juga ngobrol. Dan jika Desy membaca chat kami, itu berarti... dia sekarang sudah tahu tentang Keluarga Mas Raga. Walau itu hanya sekilas di peristiwa pertemuanku dengan Ana dan Ani.

“Benera ketemu di jalan kok,” elakku.

“Ya sudah, nanti aku kasih tahu Win,” ucap Desy ke Winda.

“Iya, Umiiiiii....” balas Winda

“Eh.. eh... cerita apaa?”

“Ya gitu deh, ada deh.”

“Akh, Des, i-itu...”

“Daaaaah...” ucap mereka berdua bersamaan

Reflek, aku bangkit dan mengejar mereka. Jujur saja aku merasa penasaran dengan apa yang diketahui oleh Desy. Beberapa kali aku bisa menghentikan langkah mereka tapi percuma, tidak digubris sama sekali. Sekalipun aku sudah membuka kedua tanganku sangat lebar didepan mereka.

“Iih, bau ketiak gak enak dipamerin.”

“Bener tuh Win, iiiih.”

“Eh, itu,” spontan aku menutup tanganku dan mereka melewatiku kembali untuk kesekian kalinya.

Aku menyerah. Tapi aku merasa lebih tenang kalau mereka berdua yang tahu, bukan orang lain. Aku melangkah tepat dibelakang mereka. sesekali mereka menengok kebelakang dan kemudian tertawa yang tertahan telapak tangan mereka. Percuma juga tanya ke mereka kenapa tertawa, karena hasilnya akan sama. Tidak ada jawaban sama seperti penasaranku yang pertama. Hufth, ke dua perempuan ini yang sedang aku buntuti, yang sedang menuju ke ruang kuliah. Tidak ada, tidak jadi, lupa yang mau aku bicarakan. He he he...

Akhirnya aku bisa duduk dibelakang Desy dan Winda, setelah tadi mendapat gangguan dari Andrew,si komting kelas. Lebih apes lagi pas aku sudah duduk dan mengganggu Desy dan Winda, eh malah dapat marah dari Dini dan Dina karena sedikti menggangu . Aku benar-benar tidak tahu kenapa dua perempuan ini juga ikut marah. Padahal yang mau aku goda Desy dan Winda, tapi mereka berdua yang sewot.

Aku kemudian sedikit menarik tubuhku kebelakang, menghindari marah Dini-Dina. Andrew, Biasalah si kampret itu, sama seperti aku suka membuat gaduh kelas. Sebentar Andrew menucuri perhatian kami dikelas dengan teriakan lantangnya. Entah apa yang sedang dia bicarakan, lebih banyak bercandanya dari pada inti dari pokok permasalahan. Lebih baik memandang dua perempuan yang sekarang duduk tepat didepanku.

“Ndrew! Bisa langsung ke pokok permasalahan?” teriak Johan.

“Ah, elu kagak bisa diajak bercanda lu!” balas Andrew dengan wajah nyengirnya.

“Oi, brada, sista, KTM dikumpulkan,” teriak Andrew yang tiba-tiba.

“Lah, buat apa?” tanya Johan

“Makanya kalau komting mau ngomong jangan disela.”

“Iya iya, lha emang buat apa?” lanjut Johan bertanya.

“Gak tahu juga gue, katanya mau ditarik, ganti yang baru. Tapi gak tahu juga bro”

“Sialan lu Ndrew! Gue kira lu tahu” balas Johan.

“Wekekekekek...” tawa Andrew.

“Weleh... baru juga 2 tahun masa ganti lagi” sela Irfan

“Mungkin mau dikasih tambahan status bro. Jomblo atau berpacaran. Gitu kali”

“Masa?” tanya Desy

“Lha Des, Lu tanya gue, gue tanya siapa? Tanya curut? Gak mungkin dia bisa jawab, dia bisanya bersembunyi di selokan ha ha ha”

“Lha? Kampret kamu Ndrew?! Kenapa aku bisa disangkut pautkan?” tanyaku

“Alah Diem lu, curut, mana KTM kamu”

“Iya” jawabku sembari mengambil dompet. Setelah aku membuka dompet, tak ku temukan KTM-ku.

“Woi, rut, kamu mau dikumpulin gak? Ni semuanya dah di kumpulkan!”

“Eh, be-bentar...”

Sial. Kemana lagi KTM, biasanya ada dalam dompet. Aku coba mengingat, tapi tetap saja aku tidak bisa mengingatnya. Tidak ada, tidak ada dalam dompet. Pas bilang sama Andrew, kena marah lagi. Tadi dimarahi Dini, Dina sekarang Andrew. Ini hidup apes banget hari ini. sudah tadi Ana datang-datang minta jajan, uang tinggal dikit. Argh...

“Besok lu urus sendiri,” kata Andrew yang berlalu dan keluar dari ruangan menuju perpus.

“Iya kampret,” balasku sedikit berteriak.

“Untung gak lupa bawa telinga,” sindir Dini.

“Iya... galak banget jadi prempuan.”

“Apa lu bilang?”

Aku langsung menarik kursiku sedikit kebelakang. Duduk tegak, menghindari ayunan tangannya. Kalau lagi seneng, pasti akan aku ejek lagi ini cewek. Tapi lagi males, dan langsung tidak aku acuhkan. Dia marah-marah pun, aku juga tidak peduli. Males. Tidak ditanggapi saja dia masih mencoba memukulku, itu berlangsung sampai Dosen datang. Semua menjadi tenang, dan aku kembali ke rutinitasku. Kuliah.

.
.
.

Ciiit

“Lho Wind?”

“Anterin pulang Ar”

“Lha bukannya kamu tadi bawa mobil?”

“Di pinjem Umi, dah jangan banyak tanya, cepet antar”

“Ndak ada Helm yo

“Hmmm... gitu, kalau sama Umi aja dicariin jalan tikus, sama Winda enggak gitu?”

“Eh... i-itu a-anu, i-iya...”

Terpaksa. Sebenarnya aku sudah merencakana ketika sampai di kos nanti. Yang pertama adalah tidur, yang kedua adalah tidur dan yang ketiga seterusnya adalah bermalas-malasan. Tapi semua rencana berubah 179 derajat semenjak lambaian tangan seorang perempuan berkerudung biru memberhentikan motorku tepat di gerbang keluar kampus. Dengan senyum khas nan menawan, dan juga tas yang tergantung disalah satu pundaknya. Sebenarnya bisa aku menolaknya, bisa aku tidak mempedulikannya, bisa, aku bisa. Dan bisa hancur hidupku kalau aku mengabaikannya.

Winda, perempuan manja. Kalau dekat dengan dia, langsung detak jantungku berdetak dengan cepat. Manjanya itu yang bikin deg-deg’an. Kata dia mobil di bawa Desy, dibawa atau sengaja merencanakan ini semua? Pasti akan ada tanya jawab yang panjang nanti di kosnya. Aku harus memikirkan rencana agar aku bisa langsung pulang ke kontrakan. Hmmm...

“Pelan-pelan saja, lewat jalan sepi.”

“Kok jalan sepi?”

“Mau kalau ketangkep polisi?”

“En-endak juga sih he he”

“Gituu... kaya pas sama Umi dong”

Hadeh, mereka berdua, kelihatannya memang saling terbuka satu sama lain. Tak ada satupun yang tahu aku pernah mengantar Desy melewati jalan alternatif. Dari mana Winda tahu kalau bukan dari Desy, sedangkan aku tidak pernah bercerita. Huft... jalan alternatif menuju kos Desy dan Winda kan beda.

“Pakai Maps di sematpon”

“I-iya...”

Kenapa ini perempuan sekarang seperti Desy? apakah mereka berdua mempunyai kesamaan dalam membaca pikiran orang? Ah itu cuma kebetulan saja. pasti kebetulan, tidak mungkin ada dua orang perempuan yang bisa membaca pikiran dan aku mengenal mereka. tidak mungkin. Segera aku membuka sematpon, mecari jalan alternatif ke kos Winda. Memang semua terasa mudah sekarang, mencari jalan saja tidak perlu tanya sana-sini, cukup dengan kotak kecil.

Ku jalankan motorku menuju gang-gang sempit...

“Pelan saja, Winda gak mau cepet sampe”

“I-iya, ta-tapi...”

“Umi aja boleh masa Winda gak boleh?”

Suaranya pelan dan aku tidak dapat lagi memprotesnya. Dengan duduk menyamping, dia memelukku erat. Rasanya memang sedikit beda dengan Desy, hanya sedikit. Apa mungkin karena ukurannya hampir sama ya? Tapi kalau aku ingat, pas kejadian di gedung itu, tidak samalah dengan Desy, atau yang aku remas itu hanya sebuah ilusi ukuran? Sial, kenapa malah yang bawah berdiri?

“Arta, jangan mikir mesum, Winda gak suka”

“Eh, si-siapa yang mikir mesum”

“Tuh buktinya, jawab aja make gaya culun segala”

“Iya..”

“hi hi hi”

“Argh, kenapa mereka bisa membaca pikiranku? Kenapa?”bathinku

Aku jalankan motor pelan beratapkan langit sore yang menjadi sedikit gelap. Gelap bukan karena mendekati malam, tapi mendung. Sesekali aku menarik gas lebih dalam, tangannya spontan mencubit perutku. Hah, kuperlambat lagi motorku. Semua juga terjadi tiba-tiba, jika saja saat itu aku tidak ada di atap gedung mungkin Winda tidak memelukku seperti ini.

Pelan ku jalankan motorku, menikmati sore yang sebentar lagi menghilang. Awan menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Banyak dari orang-orang masih bersantai di depan rumah mereka. Sempit, panas tapi mereka terlihat bahagia. Mungkin bukan karena rumah mereka bisa tertawa, tapi karena mereka memiliki orang-orang yang mereka sayangi disekitar mereka. Anak-anak masih terlihat bermain diluar, kadang mereka berhenti bermain ketika aku hendak melewati mereka. Jadi kangen dengan kampung.

Perempuan dibelakangku kelihatannya menikmati sekali. Pelukannya erat, pipinya juga terasa hangat ketika direbahkan dipunggungku. Padahal aku sudah memakai jaket, tapi masih saja terasa kehangatan pipinya. Sedikit kebawah ada lagi yang terasa hangat. Eh, lebih baik aku buang pikiran itu jauh-jauh, dia bisa membaca pikiranku.

“Wind, sudah samp...”

“Yuk.”

“I-iya, ta-tapi sebentar, ini motornya disetandar dulu, dikunci dulu.”

“Cepetan, Winda ngantuk tauk”

“Iya iya, bentar”

Dengan satu tangannya menarik tangan kiriku, dia berjalan sangat cepat. Aku masih bisa mengimbanginya, 1 langkahku mungkin 2-3 langkahnya. Beberapa suara menyapaku, aku tidak mengenal mereka hanya tahu wajah mereka saja. Semakin ramah saja mereka semua.

“Ar, Winda mau mandi, buatin mie ya?” suruhnya disertai senyuman.

“I-iya.”

“Oh iya, itu Winda dah beli kopi tapi kopi instan, mau?”

“Iya, nanti aku buat sekalian” aku melangkah menuju dapurnya.

“Winda, susu saja” sembari dia berjalan ke arah kamar mandi.

“Dah punya susu minum susu” gumamku, lirih, pelan sekali.

“Apa Ar?” dia berhenti sejenak.

“Eh, en-endak Wind he he he.”

“Oh, he’em,” jawabnya kemudian melajutkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi.

Fyuh, untung dia tidak mendengar dengan jelas. Kenapa juga tiba-tiba aku berbicara seperti itu ya? aneh, apa karena tadi saat boncengan? Padahal sebelum-sebelumnya ketika sama Winda juga biasa-biasa saja. Apa karena pengaruh dengan Ainun ya? pikiranku jadi sedikit kotor. Bodohlah.

Aku letakan sepiring mie dan dua gelas minuman berdekatan di atas karpet putih. Ku raih remote TV yang ada didekatku, sembari menunggu Winda yang berada dalam kamar mandi, aku menonton televisi. Perempuan memang lama kalau sedang mandi.

Klek...

Aku menoleh ke arahnya.

“Lama banget Wind, dingin mie-nya.”

“Ih, namanya juga perempuan Ar.”

“Makan dulu.”

“Kok cuma satu, kamu gak makan?”

“Udah makan banyak tadi di kantin, kamu liat sendiri kan?”

“Iya sih, ditemeni sama adiknya, cantik lagi. Jadi semangat makannya, ya kan Ar?” Aku tidak menjawab, Aku hanya menoleh ke arahnya saja sebentar.

“Kok diem?”

“Kok tanya gitu?” dengan nada suaraku menirukannya.

“Iiih, Arta marah ya, maraaaah...” ledeknya

“Endak ya, kalau makan banyak itu kan sebelum ada Ana, Wind. Jadi, aku makan banyak karena ada Winda, weeeek.”

Dia balas perkataanku dengan senyumannya dan melanjutkan makannya sampai selesai. wajahnya berubah sedikit merah. Setelah selesai makan, tiba-tiba dia berdiri dan membawa piring ke dapur kamarnya. Aneh juga rasanya melihat dia membawa piring itu ke dapur. Saat dia berjalan ke arah dapur, kulihat bulatan dibawahnya sangat bulat dan tidak turun sedikitpun. Pemandangan yang indah sebenarnya, ah sial, aku mesum lagi.

Setengah berlari dia berjalan ke arahku, melompat dan langsung duduk disampingku. Sedikit mendorongku kesamping lalu memelukk lenganku. Tanpa suara dia merebut remote televisi yang ada ditanganku. Menggantinya dengan acara sinetron yang benar-benar tidak aku suka.

“Ish, pantesan gampang nangis tontonannya sinetron.”

“Biarin weeek, daripada nonton kartun.”

“Ye, biarin kali”

Tulit tulit tulit...

Aku ambil sematponku di saku. Mas jiwa. Tulisan yang sedikit membuatku terkejut. Seakan Winda tahu, dia kemudian memelankan suara televisi. Kami saling berpandangan. Dengan isyarat tubuhnya, dia menyuruhku mengangkat telpon. Ku anggukan kepalaku, dan langsung aku bangkit, tapi tangan Winda menarik lenganku. Menyuruhku tetap duduk disampingnya.

“Sudah disini saja, Winda bisa jaga rahasia kok,” bisiknya ditelingaku.

“Hadeeeh... pasti dia tahu dari Desy juga,” bathinku tanpa menjawab perkataan dari Winda.

Ku angkat telepon Mas Jiwa.

“Halo mas”

“Dimana kamu Ar?”

“Di kamar”

“Baguslah kalau begitu, Oh ya, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, mungkin agak sedikit lama tapi aku harap kamu mau mendengarkannya”

“Iya mas”

“Baiklah ini tentang kasus pembunuhan”

Deg, perasaanku langsung menjadi sangat tidak nyaman ketika mendengar yang baru saja dikatakan mas jiwa didalam telepon. Aku bisa menebak tentang kasus pembunuhan ini. Benar, tanpa memberiku jeda untuk menjawab, mas jiwa langsung meneruskan pembicaraannya. Dia menceritakan kasus pembunuhan yang dia hadapi. Pembunuhan seorang dirumahnya dan juga tiga orang yang terikat dengan tubuh terbakar.

Aku diam, masih mendengarkan cerita mas Jiwa. Winda semakin mendekat dan menempel ke tubuhku. layaknya seorang kekasih, dia menggeser tubuhnya kebelakangku. Merangkul leherku, mendekatkan telinganya tepat disematpon yang aku genggam. Sesekali pelukannya erat, seakan tahu perasaanku saat ini.

Dari cerita mas jiwa, kematian seorang dirumahnya diakibatkan racun yang masuk ke dalam tubuh. Ada tikaman benda tajam, tapi tidak diketemukan benda tajam tersebut. Tikaman pada punggung korban, menurut mas Jiwa, bukan penyebab utama kematian dari korban tapi racun yang mengangkibatkan kematian korban. Semua dia jelaskan kepadaku, tata letak korban, kondisi rumah ketika diketemukan korban. Dia juga menceritakan kondisi mayat yang terbakar. Menurut analisanya, korban yang terbakar dibakar hidup-hidup. Itu ditandai dengan adanya asap yang masuk kedalam paru-paru mereka bertiga.

“Semua analisanya benar,”bathinku

“Ar, Arta!”

“Eh, i-iya mas”

“Kamu tidak tidur kan?”

“Tidak mas”

“Bagaimana menurut kamu?”

“A-aku tidak tahu mas, aku sedang banyak pikiran, banyak tugas kuliah juga, sulit bagiku melakukan analisa”

“Hmmm... ya sudah, mungkin memang seharusnya kamu ada dilokasi, jadi kamu bisa melihatnya secara langsung”

“Maaf mas, tidak bisa membantu”

“Iya gak papa, aku hanya berjudi saja, siapa tahu kamu bisa memecahkannya dengan hanya mendengar penjelasanku. Dan satu lagi Ar, salah satu korban terbakar adalah laboran di tempat kamu kuliah.”

“Be-benarkah mas?”

“Iya, sebagian kartu identitasnya tidak terbakar keseluruhan, setelah diselidiki dia adalah laboran di lab kimia dasar. Bisa jadi orang yang kamu dengar saat kamu bersembunyi digudang adalah dia”

“I-iya mas”

“Hah, kamu itu kelihatannya sedang tidak berkonsentrasi dengan apa yang kita bicarakan, ya sudah, kita lanjutkan besok saja kalau ada waktu”

“I-iya mas, sekali lagi maaf, aku tidak bisa membantu”

“Iya, yang penting kamu hati-hati”

Telepon ditutup, ku hela nafas panjangku. Tidak mungkin aku membantu menganalisa kasus pembunuhan itu, karena akulah sebenarnya pembunuh yang sedang dicari mas Jiwa. Betapa bodohnya aku tadi memperlihatkan kegugupanku, tapi sudahlah sekalipun mas Jiwa mengetahui itu, aku masih bisa mengelak.

“Sudaaaah... Arta tenang saja,” senyum Winda. Entah sejak kapan dia duduk bersimpuh didepanku dengan senyuman menghiasi bibirnya.

“A-anu Wind...”

“Desy sudah cerita?” dia mengangguk.

“Itu spontanitas... sama seperti Umi, Winda gak bisa nyalahin juga gak bisa benerin tindakan Arta. Tapi, Winda Cuma beharap Arta gak sedih, gak bingung lagi. Arta yang milih jalan ini, jadi Arta harus menjalaninya”

Kata-katanya membuatku sedikit terhenyak. Tanpa kusadari dia sudah bangkit, dan berlutut didepanku. Wajahnya tepat berada di wajahku. Aku bisa mencium aroma pekat wangi parfumnya. Merasakan setiap nafas yang keluar.

“Sama seperti ketika Arta nyelametin Winda. Itu jalan yang dipilih Arta, jalan yang membuat Winda akhirnya sadar, kalau masih ada orang-orang yang sayang sama Winda. Dan salah satunya... yang sangat Winda yakin sayang sama Winda... adalah...”

“Ehhsss...”

“Arta”

Srkkk..

Heghh....


“Winmmmmppph....”
 
Terakhir diubah:
Mohon maafnya ya hu,
ceritanya lambat banget dan terkesan jalan ditempat,
mohon maaf juga updatenya jadi tidak teratur, banyak kegiatan hu...

Mohon dimaafkan,
lanjutannya ntar malam ya hu kalau bisa pegang lepi lagi...
 
jalan lambat gpp hu...yg penting dpt feelnya...drpd alur cepat tp malah ga bagus....
 
Mohon maafnya ya hu,
ceritanya lambat banget dan terkesan jalan ditempat,
mohon maaf juga updatenya jadi tidak teratur, banyak kegiatan hu...

Mohon dimaafkan,
lanjutannya ntar malam ya hu kalau bisa pegang lepi lagi...

Tatap semangat master.
ndak perlu buru2. takutnya malah kurang greget ntar critanya.:ampun:
 
Mohon maafnya ya hu,
ceritanya lambat banget dan terkesan jalan ditempat,
mohon maaf juga updatenya jadi tidak teratur, banyak kegiatan hu...

Mohon dimaafkan,
lanjutannya ntar malam ya hu kalau bisa pegang lepi lagi...

Gak apa-apa suhu, yg penting suhu DH sudah berkenan buat update...

Makasih buat updatenya suhu :ampun:
 
Bimabet
Mohon maafnya ya hu,
ceritanya lambat banget dan terkesan jalan ditempat,
mohon maaf juga updatenya jadi tidak teratur, banyak kegiatan hu...

Mohon dimaafkan,
lanjutannya ntar malam ya hu kalau bisa pegang lepi lagi...
Yg dikatakan malam tuh jam brp ya om don? :kretek:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd